Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I
I.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat dan

semakin cangih ini khususnya baik dibidang transportasi, komunikasi, maupun

informasi serta dengan semakin meningkatnya arus globalisasi telah menyebabkan

wilayah negara antara satu dengan wilayah yang lain seakan-akan tanpa ada batas

sehingga perpindahan orang atapun barang dari satu wilayah ke wilayah lain dapat

dilakukan dengan cara mudah dan cepat.

Menurut Didik J. Rachbini 1, teknologi informasi dan media elektronika

dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia,

baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil

lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir bergerak dengan

cepat bahkan terlalu cepat menuju suatu sistem global. Dunia akan menjadi

“global village” yang menyatu, saling tahu dan terbuka, serta saling bergantung

satu sama lain.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping mempunyai

dampak positif bagi kehidupan manusia juga membawa dampak negatif yang

dapat merugikan orang perorangan, masyarakat atau negara. Dampak negatif yang

ditimbulkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu ketika

seseorang menggunakan hal tersebut untuk melakukan sebuah tindak kejahatan,

khususnya kejahatan yang dilakukan didunia maya (cyber crime).

1
Dikdik M. Arief Mansur dan Elistaris Gultom , Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi
Informasi ( Bandung : PT Refika Aditama, 2009 ) hlm. 1
2

Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya penemuan-

penemuan baru seperti internet, merupakan salah satu penyebab munculnya

perubahan sosial, disamping penyebab lainnya seperti bertambah atau

berkurangnya penduduk, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, terjadinya

pemberontakan atau revolusi didalam tubuh masyarakat itu sendiri. Hal yang sama

dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa2 ,

“Dalam kehidupan manusia banyak alasan yang dapat dikemukakan

sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat tetapi

perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak

disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial ”.

Dampak negative terjadi pula akibat pula akibat pengaruh penggunaan

media internet dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Melalui media internet

beberapa jenis tindak pidana semakin mudah untuk dilakukan seperti, tindak

pidana, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, pembobolan rekening,

perusakan sistem cyber (haking), pembobolan kartu kredit (carding), penyerangan

virus (virus attack) dan sebagainya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Roy Suryo, seorang pakar teknologi

informasi, dalam penelitiannya yang dikutip oleh harian kompas menyatakan 3 :

“Kejahatan cyber (cyber crime) kini marak di lima kota besar di Indonesia dan

dalam taraf yang cukup mengkhawatirkan serta dilakukan oleh para hacker yang

rata-rata anak muda yang kelihatannya kreatif, tetapi sesungguhnya mereka

mencuri kartu kredit (carding) melalui internet.”

2
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosoiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni,
Bandung 1986, hlm.11
3
Dikdik M Arief Mansur dan Elistaris Gultom Loct. Cit . hlm 5
3

Kata “cyber” yang berasal dari kata “cybernetics”, merupakan suatu

bidang ilmu yang merupakan perpaduan antara robotic,matematika,elektro, dan

psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener di tahun 1948. Salah satu

aplikasi dari cybernetics adalah dibidang pengendalian (robot) dari jarak jauh.

Dalam hal ini tentunya yang diinginkan adalah sebuah kendali yang betul-betul

sempurna (perfect control).4 Karenanya, Budi Rahardjo berpendapat bahwa

sedikit mengherankan jika kata “cyberspace” yang berasal dari kata “cyber” tidak

dapat dikendalikan. Cyberspace dapat diatur, meskipun penganturannya

membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan cara yang digunakan untuk

mengatur dunia maya.5

Istilah Cyber Crime saat ini merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang

berhubungan dengan dunia maya (cyberspace) dan tindakan kejahatan yang

menggunakan komputer sebagai alatnya. Secara umum yang dimaksud kejahatan

komputer atau kejahatan di dunia cyber (cybercrime) adalah “upaya memasuki

dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan

dengan melawan hukum dengan tanpa menyebabkan perubahan dan atau keruskan

pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut”.

Contoh kasus di Jawa Timur dimana Pelaku melakukan pola kejahatan

dengan menggunakan ponsel pintar. Pertama, mereka masuk dengan akun palsu di

4
Budi Rahardjo, Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia, 2003 .,
hlm 2
5
Karakteristik internet yang sepenuhnya beroperasi secara virtual (maya) dan tidak
mengenal batas-batas teritorial pada gilirannya telah melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang tidak
mengenal batas dapat diatur dan dikontrol oleh hukum yang berlaku saat ini (the existing law ).
Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur mengenai
aktivitas-aktivitas yang melibatkan internet (cyber law). Kenyataan ini telah menyadarkan
masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan
internet (cyber law). Lihat Atip Latifulhayat, “Cyber law” dan urgensinya bagi Indonesia (1),
Pikiran Rakyat, 11 Januari 2001.
4

Apple dan Paypal. Dari akun tersebut, mereka bisa mencuri data berupa nomor

kartu kredit, dan tanggal expired.

"Setelah itu, mereka menggunakan nomor kartu kredit untuk membeli barang-

barang secara online," tambah Arman.

Barang-barang tersebut selanjutnya dijual lagi oleh pelaku. Untuk hasil

penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Total yang

dibobol sebesar Rp 500 juta.

Seluruh pelaku tergabung dalam komunitas di Facebook yang bernama Kolam

Tuyul. Mereka juga memiliki jaringan yang tersebar di beberapa kota sebagai

penadahnya. Polisi telah mengamankan barang bukti berupa laptop, hp, cincin

dan kalung berlian, buku rekening, jam, alat kesehatan, CCTV, sepatu, Nintendo,

alat pemutih gigi, pembersih jamur kaca hingga air brush set.

Dari perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 30 ayat (2) dan atau Pasal 32 ayat (1) UU

RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No. 1 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 46 (2) UU RI No. 19 Tahun

2016 tentang perubahan atas UU RI No. 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE) dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan

denda paling banyak Rp 700 juta.6

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat diketahu, rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencurian

data (carding) (berdasarkan putusan Nomor 597/Pid.Sus/2018/PN Mgl) ?

6
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3927140/pelaku-spamming-dan-carding-
dibekuk-bobol-kartu-kredit-rp-500-juta ( diakses 21 Oktober 2020 jam 14.00 Wib)
5

2. Bagaimana membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana pencurian data

(carding) (berdasarkan putusan Nomor 597/Pid.Sus/2018/PN Mgl ) ?

I.3 Tujuan dan kegunaan penelitian

I.3.1 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Agar mengetahui dan memahami sistem pemidanaan terhadap pelaku

tindak pidana pencurian data (carding) (berdasarkan putusan Nomor

597/Pid.Sus/2018/PN Mgl )

2. Agar mengetahui dan memahami dalam membuktikan kesalahan pelaku

tindak pidana pencurian data (carding)

I.3.2 Kegunaan penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis sebagai berikut :

1. Segi teoritis

a. Penulis berharap agar hasil penelitian ini bermanfaat bagi kajian

pengetahuan khususnya dibidang Cyber Crime

b. Penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu

bahan rujukam untuk memahami secara khusus tentang Cyber

Crime

2. Segi praktis

a. Penulis berharap dapat memberi sumbangsi pemikiran kepada

pembaca yang ingin memahami lebih mendalam tentang tindak

pidana pencurian data (carding)


6

b. Penulis berharap agar hasil metode penelitian, penulisan karya

ilmiah dapat menjadi salah satu topik dalam diskusi lembaga-

lembaga kemahasiswaan dan seluruh aktivitas akademika pada

umumnya.

I.4 Kerangka teoritis dan konseptual

I.4.1 Kerangka teori adalah identifikasi teori-teori yang dijadikan sebagai

landasan berfikir untuk melaksanakan suatu penelitian atau dengan kata lain untuk

mendiskripsikan kerangka referensi atau teori yang digunakan untuk mengkaji

permasalahan.

1. Teori sistem hukum

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil

tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni

struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law)

dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat

penegak hukum, substansi hukum 40 meliputi perangkat perundang-

undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law)

yang dianut dalam suatu masyarakat. Tentang struktur hukum Friedman

menjelaskan: “To begin with, the legal sytem has the structure of a legal

system consist of elements of this kind: the number and size of courts;

their jurisdiction …Strukture also means how the legislature is organized

…what procedures the police department follow, and so on. Strukture, in

way, is a kind of crosss section of the legal system…a kind of still

photograph, with freezes the action.” Struktur dari sistem hukum terdiri

atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya


7

(termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik

banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya.

Struktur juga berarti bagaimana badan legislatife ditata, apa yang

boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti

oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari

lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat

hukum yang ada. Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang

bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya.

Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan

badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan (Marzuki,2005:24).

Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem

hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi

penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan (Achmad

Ali, 2002 : 8)7. 41 Substansi hukum menurut Friedman adalah (Lawrence

M. Friedman, Op.cit):“Another aspect of the legal system is its substance.

By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of people

inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law

books”. Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang

dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku

nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum

menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki

kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak

hukum. Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat: “The

third component of legal system, of legal culture. By this we mean


7
Achamd Ali : Menguak Tabir Hukum (Jakarta : Gunung Agung, 2002 ) hlm 8
8

people’s attitudes toward law and legal system their belief …in other

word, is the climinate of social thought and social force wicch determines

how law is used, avoided, or abused”.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap

manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap

hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk

menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas

substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-

orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum

tidak akan berjalan secara efektif.

Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa

sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh

hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa

masyarakat kearah yang lebih baik, maka 42 bukan hanya dibutuhkan

ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga

adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek

hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum

(law enforcement) yang baik (Munir Fuady, 2007 : 40) 8. Jadi bekerjanya

hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangannya belaka,

malainkan aktifitas birokrasi pelaksananya (Acmad Ali, 2002 : 97).

2. Teori kesalahan pidana

Dalam hukum pidana dikenal asas yang paling fundamental, yakni

Asas "Tiada Pidana Tanpa Kesalahan" yang dikenal dengan "keine strafe

8
Munir Fuady Perbuatan Melawan Hukum : Pendekatan Kontenporer (Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti , 2007) hlm 40
9

ohne schuld" atau "geen straf zonder schuld" atau "nulla poena sine

culpa". Dari asas tersebut dapat dipahami bahwa kesalahan menjadi salah

satu unsur pertanggungjawaban pidana dari suatu subjek hukum pidana.

Artinya, seseorang yang diakui sebagai subjek hukum harus mempunyai

kesalahan untuk dapat dipidana.

Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan

merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si

pembuat dan perbuatannya. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang

melakukan perbuatan, lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung

jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu

merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.

Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan, dalam

pidana subjek hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara lain: 1)

Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, 2) Perbuatannya

tersebut berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 3) Tidak

adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.

Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan yang lain, dimana unsur yang satu

bergantung pada unsur yang lain.9

3. Tindak pidana cyber crime dalam Undang-undang ITE

Kejahatan cyber crime pada umumnya adalah berupa kejahatan

yang dilakukan didunia maya yang dimuat dalam pasal 30 Undang –

Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang - Undang

9
Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung. Hlm 60
10

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU

ITE”)

1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik orang lain

dengan cara apa pun.

2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses komputer dan /atau sistem elektronik dengan cara apa

pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektonik dan / atau

dokumen elektronik.

3. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

mengakses komputer dan / atau sistem elektronik dengan cara apa

pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol

sistem pengamanan.10

4. Teori tentang pidana carding

Kejahatan carding ini adalah mengambil data kredit seseorang dan

menjual data tersebut. Penjualan data ini bisa digunakan untuk berbagai

macam, misalnya berbelanja online atau mendaftar akun membership

online streaming. Hukum memandang carding sebagai tindak pidana

cyber crime yang menyebabkan kerugian bagi korban baik dari segi

materil maupun non materil, tindakan tersebut merupakan suatu hal yang

dapat dikatakan melanggar ketentuan hukum. Hal ini didasarkan karena

tindak pidana carding dapat dilakukan oleh beberapa metode seperti :

Hack ( Hacking ), Phisisng, Extrapolasi, Sapu Tangan (Sniffer).


10
Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 30
11

I.4.2 Kerangka konsep

a. Sistem pemidanaan merupakan proses penjatuhan atau pemberian pidana

maka sistem pemidanaan mencangkup keseluruhan perundang-undangan

yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau

dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi pidana.

b. Pelaku menurut pasal 55 ayat (1) adalah mereka yang melakukan, yang

menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.11

c. Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah

"Meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan". Jadi pembuktikan itu hanyalah dalam hal

adanya perselisihan sehingga dalam hal perkara di muka pengadilan

terhadap hal-hal yang tidak dapat dibantah oleh pihak lawan, tidak

memerlukan pembuktian.12

d. Pandangan hukum terhadap carding

Berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) penyalahgunaan

kartu kredit (carding) termasuk dalam pasal 362 KUHP, dan pasal 378

KUHP yang merumuskan tentang tindakan pencurian, pemalsuan dan

penipuan. Berikut bunyi dan hukuman dalam pasal-pasal tersebut :

Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

“Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagaian

milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”.

Hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak

sembilan ratus ribu rupiah.

11
Andi Hamzah, Kitab undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Acara
Pidana
12
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pranadya Paramita, 1983), hal. 5.
12

Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau

martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian

kebohongan menggerakan orang lain menyerahkan sesuatu benda

kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang”.

Hukuman diancam karena penipuan dengan pidana paling lama 4 tahun.13

Jadi dari penjelasan pasal diatas, jadi pengertian carding adalah suatu

kejahatan yang menggunakan teknologi komputer melalui jaringan

internet untuk melakukan transaksi dengan menggunakan card credit

orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut baik materil maupun

non materil, juga sebagai perbuatan melanggar hukum dan dapat diartikan

sebagai penipuan kartu kredit online.

I.5 Metode penulisan

Sesuai tujuan dari penulisan yaitu untuk mengungkapkan kebenaran secara


14
sistematis, metodologis dan konsisten , maka penulis menggunakan metode

hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan

hukum primer, sekunder dan tersier. Adapun sumber data prime dan sekunder

yang digunakan dalam penelitian data ini terdiri dari :

13
http//www.adln.unair.ac.id/go.php
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali
Grafindo Persada, 2004) hlm.1
13

I.5.1 Bahan hukum primer yaitu berupa bahan-bahan hukum yang mengikat

yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (“UU ITE”) KUHP, dan Undang-Undang yang

mengikat lainnya.

I.5.2 Bahan hukum sekunder berupa buku-buku atau literatur ilmu hukum

yang didapat dari berbagai perpustakaan diantaranya : perpustakaan

Universitas Krisnadwipayana, perpustakaan Nasional, internet, serta

buku-buku yang penulis miliki yang relevan dengan objek penelitian

dan memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

I.6 Sistematika penulisan

 BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini mengemukakan tentang latar belakang, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teori dan kerangka konsep,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

 BAB II Tinjauan umum tentang sistem pemidanaan tindak pidana

pencurian data (carding)

Dalam Bab ini akan dikemukakan teori-teori yang menjadi dasar penulisan

proposal yang meliputi pengertian tindak pidana Cyber Crime, dan

pengertian tindak pidana carding.

 BAB III Data Hasil Penelitian


14

Studi kasus putusan Nomor 597/Pid.Sus/2018/PN Mgl pada pengadilan

Negeri Malang yang didalamnya akan dijabarkan mengenai kronologi

kasus, dakwaan , serta putusan pengadilan.

 BAB IV Analisis Pembahasan

Bab ini membahas dari menganalisa putusan nomor 597/Pid.Sus/2018/PN

Mgl pada Pengadilan Negeri Malang.

 BAB V Penutup

Pada bab ini memuat kesimpulan yang merupakan pernyataan ringkas,

padat dan jelas serta memuat saran-saran yang dibuat berdasarkan

pertimbangan penulis.
15

DAFTAR PUSTAKA

Buku – buku

1. Achamd Ali : Menguak Tabir Hukum (Jakarta : Gunung Agung, 2002 )

hlm 8

2. Andi Hamzah, Kitab undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-

undang Acara Pidana

3. Budi Rahardjo, Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di

Indonesia, 2003 ., hlm 2

4. Dikdik M. Arief Mansur dan Elistaris Gultom , Cyber Law : Aspek

Hukum Teknologi Informasi ( Bandung : PT Refika Aditama, 2009 ) hlm.

5. Karakteristik internet yang sepenuhnya beroperasi secara virtual (maya)

dan tidak mengenal batas-batas teritorial pada gilirannya telah melahirkan

aktivitas-aktivitas baru yang tidak mengenal batas dapat diatur dan

dikontrol oleh hukum yang berlaku saat ini (the existing law ). Kenyataan

ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur

mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan internet (cyber law).

Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang

mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan internet (cyber

law). Lihat Atip Latifulhayat, “Cyber law” dan urgensinya bagi Indonesia

(1), Pikiran Rakyat, 11 Januari 2001.

6. Munir Fuady Perbuatan Melawan Hukum : Pendekatan Kontenporer

(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2007) hlm 40


16

7. R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pranadya Paramita, 1983), hal.

5.

8. Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosoiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum,

Alumni, Bandung 1986, hlm.11

9. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta

: Rajawali Grafindo Persada, 2004) hlm.1

10. Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru,

Bandung. Hlm 60

Undang-undang

1. Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi da n Transaksi

Elektronik Pasal 30

Internet

1. http//www.adln.unair.ac.id/go.php ( diakses 19 Oktober 2020 jam 23.00

wib )

2. https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3927140/pelaku-spamming-

dan-carding-dibekuk-bobol-kartu-kredit-rp-500-juta ( diakses 21 Oktober

2020 jam 14.00 Wib)


17

BAB II

TINJAUAN UMUM SISTEM PEMIDANAAN

II.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda

maupun berdasarkan asas konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada WvS

Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang

dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk

memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman

pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.15 Istilah-istilah yang

pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam

beberapa literature hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit setidaknya

ada 7 (tujuh) istilah, yakni:

1. Tindak pidana dapat dikatakan sebagai istilah resmi dalam perundang-

undangan pidana Indonesia. Hampir seluruh peraturan perundang-

undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang

menggunakan istilah ini salah satunya adalah Wirjono Prodjodikoro;

2. Peristiwa pidana digunakan beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R. Tresna

dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana, A. Zainal Abidin

dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Pembentuk Undang-Undang

juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-

Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 pada Pasal 14 ayat (1); 1

15
Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
67
18

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin delictum juga digunakan

untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit;

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum

Pidana yang ditulis oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja;

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini diggunakan Mr. Karni dalam

bukunya yang berjudul Ringkasan Tentang Hukum Pidana. Begitu juga

Schravendijk dalam bukunya yang berjudul Pelajaran Tentang Hukum

Pidana Indonesia;

6. Perbuatan yang dapat dihukum digunakan oleh pembentuk undang-undang

dalam UndangUndang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan

Peledak;

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan

beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.16

Menurut Sudarto, pembentuk undang-undang sekarang sudah agak

tetap dalam pemakaian istilah yakni tindak pidana sebagai pengganti

strafbaarfeit, hal ini ditunjukkan pada beberapa peraturan perundang-

undangan antara lain: Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1995 tentang

Pengusutan, Penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Penetapan

Presiden No. 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerjabakti dalam rangka

pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan kejahatan.17

S.R Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana. Jelasnya,

Sianturi memberikan rumusan sebagai berikut: “Tindak pidana adalah

sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang

16
Ibid.
17
Sudarto, op.cit, hlm. 39.
19

dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-

undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh

seseorang (yang bertanggung jawab)”.18

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana.19 Moeljatno berpendapat bahwa, “Perbuatan pidana

adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam

dengan pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan tersebut

ditujukan pada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan oleh kelalaian orang, sedangkan ancaman pidananya

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut”. 20

Sementara perumusan strafbaarfeit, menurut Van Hammel, adalah

sebagai berikut : “Strafbaarfeit” adalah kelakuan orang yang dirumuskan

dalam undang-undang, bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan

dilakukan dengan kesalahan. Maka sifat-sifat yang ada dalam setiap tindak

pidana adalah sifat melanggar hukum (wederrectelijkheid,

onrechtmatigheid).

II.1.1 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Lamintang, tindak pidana dalam KUHP pada umumnya

dapat dijabarkan unsurunsurnya menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur-unsur

subjektif dan objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang

melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan

18
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm. 18-19
19
C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya
Paramita, Jakarta, hlm. 54.
20
Ibid.
20

termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam

hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan mana tindakan dari si

pembuat itu harus dilakukan.21

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa dan dolus).

2. Maksud dan voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti

misalnya dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam

rumusan tindak pidana pembuangan bayi menurut Pasal 308

KUHP.

Sedangkan unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Sifat melanggar hukum.

2. Kualitas si pelaku.

3. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai

penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.22

21
P.A.F Lamintang I, op.cit, h. 184.
22
Ibid.
21

Berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit), hal ini

diawali dengan pendapat Moeljatno seorang guru besar hukum pidana

Universitas Gajah Mada dalam pidato diesnatalis Universitas Gajah Mada

tahun 1955 menyampaikan pidato berjudul “Perbuatan Pidana dan

Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana”, beliau membedakan dengan

tegas “dapat dipidananya perbuatan” dan “dapat dipidana orangnya” dan

karena itu beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” dan

“pertanggungan jawab pidana”. Dengan demikian pengertian perbuatan

pidana tindak meliputi pertanggungjawaban pidana, karena itulah

pandangan Moeljatno disebut pandangan yang bersifat “dualistis”.

Moeljatno menyatakan bahwa untuk adanya perbuatan pidana harus ada

unsur-unsur:

1. Perbuatan oleh manusia.

2. Memenuhi rumusan undang-undang (syarat formil)

3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas Legalitas yang

tersimpan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil pun harus ada

pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan,

oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata

dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.23

Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini

ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Selain

pandangan dualistis dikenal juga pandangan monistis yang melihat


23
Sudarto,op.cit, hlm 27
22

keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu semuanya merupakan sifat dari

perbuatan. Adapun yang termasuk golongan monistis antara lain E.

Mazger yang menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk

adanya pidana. Selanjutnya dikatakan unsur-unsur tindak pidana adalah:

1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau

membiarkan).

2. Sifat melawan hukum (baik objektif maupun subjektif).

3. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang.

4. Diancam dengan pidana.24

Selanjutnya dikatakan bahwa kesalahan dan kemampuan

bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk dalam unsur tindak

pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Simons

mengatakan bahwa pengertian tindak pidana adalah Een strafbaar

gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar person. Jadi unsur-unsur tindak pidana menurut

Simons adalah:

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat

atau membiarkan).

2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).

3. Melawan hukum (onrechtmatig).

4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld verband stand).

5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar

persoon).25

24
Bambang Poernomo,op.cit, hlm 134.
25
Sudarto,op.cit., hlm 32
23

Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut, Simons membedakan adanya

unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit adalah: Yang dimaksud unsur

objektif dari strafbaarfeit adalah:

1. Perbuatan orang.

2. Akibat yang terlihat dari perbuatan itu.

3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan

itu.

Selanjutnya unsur subjektif dari strafbaarfeit adalah:

1. Orang mampu bertanggungjawab.

2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan ini harus

dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan

dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaankeadaan mana

perbuatan itu dilakukan.26

Dapat disimpulkan pendapat dari sarjana yang beraliran monistis tersebut

bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.

Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan

antara criminal act dan criminal responsibility. Menurut Sudarto, kedua pendirian

itu baik aliran monistis maupun aliran dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang

principal dalam menentukan adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian

yang 1 (satu), hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen agar tidak

terjadi kekacauan dalam pengertian. Bagi orang yang berpandangan monistis,

seseorang yang melakukan tindak pidana harus dapat dipidana, sedangkan bagi

yang berpandangan dualistis sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana

karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang ada pada si
26
Ibid.
24

pembuat atau pelaku. Jadi menurut pandangan dualistis, semua syarat yang

diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.27

II.1.2 Jenis –jenis Tindak Pidana

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu,

antara lain sebagai berikut:

1. Menurut KUHP, dibedakan antara lain kejahatan (rechtsdelict)

yang dimuat dalam Buku II KUHP Pasal 104 sampai dengan Pasal

488 dan pelanggaran (wetdelict) yang dimuat dalam Buku III

KUHP Pasal 489 sampai dengan Pasal 569. Kejahatan adalah suatu

perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan

perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana.

Sedangkan, pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah

suatu perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak

pidana karena ada peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya.Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan

“pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian

KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga

merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam

perundang-undangan secara keseluruhan.

2. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten).

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa

larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan

tertentu. Jika seseorang telah berbuat sesuai


27
Sudarto,op.cit,hlm 28
25

II.2 Sistem Pemidanaan

II.2.1 Pengertian sistem pemidanaan

Pemidanaan berasal dari kata dasar “pidana” yang mendapat awalan “pe”

dan akhirnya “an” yang dalam bahasa Indonesia awalaan dan akhiran “pe-an”

terebut merupakan pembentuk kata benda, dengan demikian dapat diartikan

pemidanaan sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana. Menurut Sudarto

sinonim dari pemidanaan adalah penghukuman dalam perkara pidana.

Pengertian sistem pidanaan menurut Hulsam dapat mempunyai arti yang

relatif luas, yaitu aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanski

pidana dan pemidanaan. Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief bila

pemidanaan diartikan secara luas sebagai sesuatu proses penjatuhan atau

pemberian pidana maka sistem pemidanaan mencangkup keseluruhan perundang-

undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau

dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi pidana. Hal ini

berarti semua perundang-undangan hukum pidana substansif, hukum pidana

formil, dan hukum pelaksanaan pidana merupakan satu kesatuan sistem

pemidanaan. Lebih lanjut menurut Barda sistem pemidanaan dalam arti luas

berkaitan dengan sistem hukum nasional.

Sistem pemidanaan tidak diartikan dalam arti luas tetapi dibatasi dalam

hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang diluar

KUHP sebagai subsistem pemidanaan. Menurut Barda sistem pemidanaan

substantif adalah sistem pemidaan dalam perundang-undangan pidana atau

keseluruhan aturan hukum pidana positif/perundang-undangan pidana. Ketentuan-


26

ketentuan tentang pemidaan dalam Aturan Umum ( Buku 1 KUHP ) manapun

ketentuan penyimpangannya dalam Undang-undang diluar KUHP dan aturan

khusus mengenai tindak pidana (Buku II dan Buku III KUHP serta undang-

undang diluar KUHP) merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Sistem

pemidanaan ini akan menyoroti mengenai sistem sanksi, jenis sanksi pidana

(stafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pidana dilaksanakan

(strafmodus) serta sistem perumusan sanksi pidana .

Secara singkat sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem

pemberian atau penjatuhan pidana. Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem

pemidanaan) itu dapat dilihat dari dua sudut yaitu :

1. Sudut Fungsional

Sistem pemidanaan dari sudut bekerjanya/ berfungsinya/ prosesnya, dapat

diartikan sebagai :

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk

fungsionalisasi/operasionalisasi/ konkretisasi pidana.

b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur

bagaimana hukum pidana ditegakan atau dioperasionalkan secara konkret

sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.28

Berdasarkan penjelasan diatas, maka sistem pemidanaan identik dengan

sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari subsistem hukum pidana

materil/ substantif, subsistem pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan

pidana. Ketiga subsistem merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena

tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ ditegakkan secara konkret hanya

28
Barda Nawawi Arief. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aadtya
Bakti. Bandung. Hlm.261
27

dengan salah satu subsistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu

dapat disebut dengan sistem pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan

dalam arti luas.

2. Sudut Norma-Substantif

Hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif, sistem pemidanaan

dapat diartikan sebagai :

a. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk

pemidanaan.

b. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk

pemberian/ penjatuhan dan pelaksanaan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas, maka keseluruhan peraturan perundang-

undangan yang ada di dalam KUHP maupun undang-undang diluar KUHP, pada

hakikatnya merupakan satu-kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan

umum dan aturan khusus. Aturan umum terdapat didalam Buku I KUHP dan

aturan khusus terdapat di dalam buku II dan Buku III KUHP maupun di dalam

undang-undang khusus diluar KUHP.29

Berdasarkan dimensi sesuai konteks di atas maka dapat dikonklusikan

bahwa semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana

Materiel/Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat

dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Konkretnya, sistem pemidanaan

terdiri dari subsistem hukum pidana substantif, subsistem hukum pidana formal,

dan subsistem hukum pelaksanaan/eksekusi pidana.

29
Ibid. Hlm.262
28

II.2.2 Tujuan pemidanaan

PJ.Tak mengemukakan bahwa secara berurutan, generasi lahirnya jenis

pidana adalah sebagai berikut :

1) Generasi pertama adalah pidana penjara yang dianggap sebagai pengganti

pidana badan, misalnya pidana mati, pidana mendayung kapal, kerja

paksa, dan penyiksaan badan sebagaimana tertuang dalam KUHP negara-

negara di Eropa Barat.

2) Generasi ke dua, yaitu bertambah mantapnya sistem pidana penjara di

Eropa Barat sehingga melahirkan beberapa bentuk pidana, misalhnya

pidana penjara, pidana kurungan dan lahir konsepsi penentuan starmaat

ancaman dalam KUHP, yaitu minimum khusus, minimum umum,

maksimum khusus, minimum umum.

3) Generasi ke tiga muncul sebagai akibat dari kelemahan pidana penjara

terutama pidana penjara jangka pendek, sehingga muncul konsepsi pidana

denda.

4) Generasi ke empat lahir sebagai reaksi terhadap keraguan atas pelaksanaan

pidana denda yang diberlakukan secara meluas.30

Dalam perkembangan hukum pidana dapat diungkapkan adanya 3

macam teori, yaitu teori absolut (vergelding theorien) , teori relatif (doel

theorien) , teori gabungan (vernengings theorien)

II.3 Pembuktian

II.3.1 Pengertian Pembuktian

Pembuktian mempunyai dua arti, yakni dalam arti luas, bahwa pembuktian

itu membenarkan hubungan hukum. Membuktikan dalam arti luas , berarti


30
Andi hamzah, op.cit., 1933,p. 18-21
29

memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti sah. Selanjutnya dalam

arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh

penggugat itu dibantah oleh tergugat , sementara hal itu tidak dibantah maka tidak

perlu dibuktikan. Maka membuktikan mempunyai makna logis, yakni

memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan

tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Sedangkan pembuktian konvensial,

yaitu memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif atau memberikan

kepastian didasarkan atau perasaan belaka atau kepastian yang bersifat intuitif

yang biasa disebut “conviction in time” , dan kepastian yang didasarkan pada

pertimbangan akan yang biasa disebut “conviction in raisonee”. Pembuktian

dalam arti yuridis, yakni memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang

memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran

peristiwa yang diajukan.31

II.3.2 Sistem pembuktian dalam Peradilan Pidana di Indonesia.

Dalam membahas kekuatan pembuktian alat – alat bukti yang ada dikenal

beberapa sistem pembuktian, yaitu : 32

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka

(Conviction in Time)

Alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri tidak selalu membuktikan

kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa

benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu

diperlukan keyakinan hakim sendiri.33 Berdasarkan pemikiran diatas maka

31
Eddy O.S Hiariej Teori dan Hukum Pembuktian (Jakarta : Erlangga ; 2012), hlm 6-7
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,2004, hlm. 247
33
Ibid., hlm. 248
30

teori conviction of time yang didasarkan pada keyakinan hati nurani hakim

sendiri dapat digunakan untuk menentukan bahwa terdakwa telah

melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan

dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-

undang.34 Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Perancis.35 Dalam hal ini

hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia

telah melakukan apa yang didakwakan. Praktek peradilan juri di Perancis

membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan

banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.36

b. Sistem atau Teori Pembuktian Bedasarkan Undang-Undang secara Positif

(Positief Wetelijk Bewijstheorie)

Pembuktian yang didasarkan melalui kepada alat-alat pembuktian yang

disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan

undang-undang secara positif. Dikatakan positif karena hanya didasarkan

kepada undang-undang, hal ini berarti jika telah terbukti suatu perbuatan

sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka

keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga

teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).37 Menurut D. Simons,

sistem atau teori pembuktian ini berusaha untuk menyingkirkan semua

pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketak, menurut

peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu

34
Ibid
35
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvardering, hlm.149.
Menunjuk Pasal 342 Code d’Instruction Criminelle, disebut juga oleh A.Minjenhof, De
Nederlandse Stafvordering, Harleem : H.D Tjeenk Wilink & zoom, 1967. Diambil Andi Hamxah,
ibid
36
A. Minkenhof,Op.Cit, hlm.219.
37
Andi Hamzah,Op,cit, hlm. 247.
31

berlakunya asas inqusitoir dalam acara pidana.38 Hakim menurutnya

seolah-olah hanya bersikap sebagai robot pelaksana undang-undang tidak

memiliki hati nurani. Hakim hanya suatu alat perlengkapan pengadilan

saja.

c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan

yang logis (La Conviction Raisonee)

Sistem pembuktian ini lahir sebagai jalan tengah atas teori-teori atau

sistem-sistem pembuktian diatas. Menurut teori ini, hakim dapat

memutuskan seseorang bersalah atau tidak berdasarkan keyakinannya,

namun keyakinan hakim tersebut harus berdasarkan kepada dasar-dasar

pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada

peraturan-peraturan pembuktian tertentu.39 Sistem pembuktian ini disebut

juga sistem pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-

alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie). Namun, sistem pembuktian

yang berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang egois ini terbagi

menjadi dua. Yang pertama tersebut diatas, yaitu sistem pembuktian yang

berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction

rasionnee) dan yang kedua ialah sistem pembuktian berdasar undang-

undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheorie).40 Andi Hamzah

juga mengemukakan persamaan dan perbedaan diantara kedua sistem

pembuktian tersebut. Persamaan diantara keduanya ialah sama-sama

berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin

dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya


38
D. Simons, Op,cit, hlm.247.
39
Andi Hamzah,Op,cit, hlm.249
40
Ibid., hlm.249
32

ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tidak pada keyakinan

hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan

yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi

ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut

pilihannya sendiri tentang pelaksanaannya pembuktian yang mana yang

akan ia pergunakan.

d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara

Negatif (Negatief Wettelijk).

Sistem pembuktian ini dianut oleh HIR maupun KUHAP. Hal tersebut

dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP (dahulu pasal 294 HIR41), yang

berbunyi sebagai berikut : 42

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

II.3.3 Alat – alat bukti dalam sistem hukum pembuktian

Dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia, terdapat beberapa doktrin

pengelompokan alat bukti yang membagi alat-alat bukti ke dalam kategori oral

evidence, documentary evidence, material evidence dan electronic evidence.43

Berikut pembagian pada masing-masing kategori :

1. Oral Evidence
41
Pasal 294 ayat (1) HIR berbunyi : “tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika
hakim mendapat keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan
yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan
perbuatan itu”
42
Ibid, hlm . 250
43
33

a. Perdata (keterangan saksi, pengakuan dan sumpah).

b. Pidana (keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan

terdakwa).

2. Documentary Evidence

a. Perdata (surat dan persangkaan)

b. Pidana (surat dan petunjuk)

3. Material Evidence

a. Perdata (tidak dikenal)

b. Pidana (barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana,

barang yang digunakan untuk membantu tindak pidana. Barang

yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana, barang yang

diperoleh dari suatu tindak pidana dan informasi dalam arti khusus)

4. Electronic Evidence

a. Konsep pengelompokan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan

elektronik. Tidak dikenal di Indonesia

b. Konsep tersebut terutama berkembang di negara-negara common

law.

c. Pengaturannya tidak melahirkan alat bukt baru, tetapi memperluas

cangkupan alat bukti yang masuk.

Di dalam hukum acara pidana, dikenal 5 (lima) alat bukti yang sah

sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP. Diluar alat-alat bukti ini,

tidak dibenarkan dipergunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan

terdakwa. Hakim ketua sidang, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat umum

terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti ini saja.
34

Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat

bukti yang ditentukan pada pasal 184 ayat 1 KUHAP. Alat-alat bukti yang

dimaksud adalah :

1. Keterangan saksi

Dalam pasal 185 KUHAP ayat 1 disebutkan bahwa keterangan

saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan. Dalam penjelasan KUHAP dinyatakan bahwa dalam

keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain

atau terstimo nium de auditu. Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan

bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang

ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut

alasan dari pengetahuannya itu. Menurut Andi Hamzah bahwa sesuai

dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan

pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana

keterangan seorang saksi yang mendengar dari orang lain, tidak terjamin

kebenarannya. Maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut

dipakai di Indonesia.44

Sementara itu mengenai kesaksian de auditu sebagai alat bukti

yang membawa pada kesimpulan bahwa perlu diberikan jawaban yang

jelas apa yang dimaksud dengan kesaksian de auditu atau hearsay

evidence itu. Dimana pun pengakuan terhadap hearsay sebagai alat bukti

tergantung pada tujuan untuk apa hal itu diajukan dan apa yang akan

dibuktikan dengan itu. Pada umumnya hearsay diterima sebagai alat bukti

tetapi dibatasi pengertiannya dari pengertian biasa. Tidak diajukan sebagai


44
Andi Hamzah, op.cit., hlm 260
35

hearsay, misalnya keterangan terdakwa bahwa seseorang telah mengakui

kepadanya bahwa orang itulah yang melakukan kejahatan.45

2. Keterangan ahli

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli ialah apa

yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Selanjutnya penjelasan

pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli ini dapat juga

sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut

umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan

mengingat sumpah waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. KUHAP

membedekan keterangan seorang ahlu di persidangan sebagai alat bukti

“keterangan ahli” dan keterangan seorang ahli secara tertulis diluar sidang

pengadilan sebagai alat bukti “surat” (pasal 187 butir C KUHAP), contoh

yang kedua ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.46

Menurut teori hukum pidana yang dimaksud dengan keterangan ahli

adalah keterangan yang diberikan seseorang berdasarkan ilmu dan

pengetahuan yang dikuasainya.

3. Surat

Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP yang disusun oleh

M.Karjadi dan R. Soesilo, pasal 187 membedakan atas empat macam

surat, yaitu :47

a. Berita acara dan surat lain diatur dalam bentuk resmi yang dibuat

oleh pejabat umum yang berwewenang atau yang dibuat

45
Ibid.,hlm. 264-265
46
Ibid, hlm 269
47
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
penjelasan resmi dan komentar serta peraturan Pemerintah R.I No.27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan, Politeia, Bogor, 1997, hlm 166
36

dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau

keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminnya sendiri disertai

dengan alasan tentang keterangan ini.

b. Surat yang dibuat menurut peraturan undang-undang atau surat

yang dibuat oleh penjabat mengenai hal yang termasuk dalam tata

laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan.

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang

diminta secara resmi dari padanya dan,

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan

isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Pada pasal 188 ayat 1 KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai

perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya baik antara

yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri.

Menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Selanjutnya dalam pasal 188 ayat 3 KUHAP dinyatakan bahwa penilaian

atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan

tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan

berdasarkan hati nuraninya.

Berdasarkan pasal 188 ayat 3 KUHAP tersebut diatas, Andi

Hamzah48 menjelaskan bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan


48
Andi hamzah, OP.cit., hlm 272
37

pada hakim dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim

sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim (eigen

warneming van de rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah

dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnnya tidak dapat dijadikan

dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah

diketahui oleh umum.

5. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa menurut pasal 189 ayat 1 adalah apa yang

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia

ketahui sendiri atau alami sendiri. Dalam kasus cyber crime , keterangan

terdakwa dibutuhkan terutama mengenai cara-cara pelaku melakukan

perbuatannya , akibat yang ditimbulkan, informasi jaringan serta

motivasinya. Keterangan terdakwa mengenai keempat hal tersebut sifatnya

memberatkan terdakwa.

Pada praktiknya, perolehan keterangan terdakwa menjadi sesuatu

proses yang sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan kemampuan atau

pengetahuan teknologi informasi penyidik yang terbatas, pelaku cyber

crime yang sulit untuk di identifikasi secara pasti, serta kuatnya jaringan

diantara sesama pelaku cyber crime.

Meskipun bukan tidak mungkin dapat dilakukan penangkapan dan

penahanan terhadapnya, keterangan terdakwa yang bersifat memberatkan

akan sulit diperoleh mengingat seorang pelaku cyber crime tidak akan

bersedia membocorkan atau membuka rahasia jaringan atau kelompok,

baik rahasia identitas pelaku lain maupun cara kerjanya.


38

II.3.4 Peranan Barang Bukti dalam Pembuktian Kasus Cyber Crime

Peranan barang bukti di pengadilan akan sangat membantu hakim dalam

memutuskan suatu perkara terutama untuk menambah keyakinan hakim dalam

menentukan kesalahan terdakwa. Suatu perkara pidana yang ada barang buktinya

biasanya akan mempercepat proses penyelesaian perkara dari pada perkara lain

yang tidak ada barang buktinya.

Seperti telah diuraikan di atas, persoalan mengenai pembuktian

merupakan hal yang paling esensial dalam sebuah kasus. Untuk kepentingan

pembuktian tersebut, kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana

sangat diperlukan.49

Barang bukti atau corpus delicti adalah barang mengenai mana delik

dilakukan (objek delik) dan barang mana delik dilakukan, yaitu alat yang

digunakan untuk melakukan delik ........, termasuk juga barang bukti adalah hasil

dari delik ......., barang yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana50

Barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan

merupakan rangkaian yang tidak terspisahkan. Dalam persidangan semua alat

bukti diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Selain

itu juga akan sangat beperan dalam memberikan keyakinan kepada hakim dalam

memutuskan suatu perkara.

Barang bukti dalam proses pembuktian biasanya diperoleh melalui

penyitaan. Dengan penyitaan,penyidik akan mencari keterhubungan dengan tindak

pidana disita dan dinamakan untuk sementara waktu guna kepentingan

pemeriksaan.

49
Ibid,. Hlm.479
50
Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta : Ghalia, 1986) hlm.100
39

II.3.5 Bukti elektronik sebagai Alat Bukti dalam Kasus Cyber Crime

Penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara cyber

crime sangat dibutuhkan. Undang-Undang ITE memberikan dasar hukum

mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat

bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan. Alat bukti elektronik ialah

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan

formil dan persyaratan mteril yang diatur dalam Undang-Undang ITE yaitu

sebagai berikut :51

“Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa

Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang

menurut perundng-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan

syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE, yang

pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin

keotentikannya, keutuhannya dan ketersediaannya. Untuk menjamin

terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal

dibutuhkan digital forensik.”

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE mengatur bahwa Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakkannya merupakan

alat bukti hukum yang sah. Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik menurut

Pasal 1 butir 11 Undang-Undang ITE adalah :

“Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,foto,Electronic Data Interchange

(EDI), surat elektonik (electronic mail), telegram,teleks, telecopy atau

51
Sitompul, Josua,Cyberspace, Cybercrimes,Cyberlaw : Tinjauan Hukum Pidana,
Tatatnusa,Jakarta,2012, hlm 52.
40

sejenisnya, huruf, tanda, angka,kode akses,simbol,atau perforasi yang

telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang

mampu memahaminya”

Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik dalam Pasal 1 butir 4

Undang-Undang ITE adalah :

“Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,dikirimkan,diterima,atau

disimpan dalam bentuk analog,digital,elektromagnetik,optikal, atau

sejenisnya, yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/atau didengar melalui

komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan,suara,gambar,peta, rancangan,foto atau perforasi yang memiliki

makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya”.

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat

dipisahkan dengan dokumen elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau

kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan dokumen elektronik ialah

wadah informasi elektronik.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yang

pertama informasi elektronik atau dokumen elektronik, yang kedua hasil cetakan

dari informasi elektronik atau hasil cetakan dari dokumen elektronik. Informasi

elektronik dan dokumen elektronik tersebut yang akan menjadi alat bukti

elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetakan dari informasi elektronik

dan dokumen elektronik akan menjadi alat bukti surat.

Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan perluasan dari alat bukti hukum
41

yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Yang dimaksud

perluasan disini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam

pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan disini dimaksudnya :

a) Menambahkan alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di

Indonesia , misalahnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik sebagai alat bukti elektronik menambah jenis alat bukti yang

diatur dalam KUHAP.

b) Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara

pidana di Indonesia, misalhnya dalam KUHAP hasil cetakan dari

Informasi dan/atau Dokumen Elektornik merupakan hasil bukti surat yang

diatur dalam KUHAP.

Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur

dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen

Perusahaan, UU Teririsme, UU Pemberantasan Korupsi,UU Tindak Pidana

Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara berlaku

di Indonesia, Informasi dan/atau Dokumen Elektronik serta hasil cetakkannya

dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.

II.4 Pengertian Carding

Carding adalah kegiatan berbelanja menggunakan nomor dan identitas

kartu kredit orang lain, yang diperoleh secara ilegal, biasanya dengan mencuri

data di internet. Carding dilakukan secara online, dimana tagihan hasil

pembeliann oleh pelaku dilimpahkan kepada pemilik kartu kredit tersebut.

Sebutan pelakunya adalah carder. Sebutan lain untuk kejahatan jenis ini adalah

cyberfroud atau penipuan dunia maya.


42

Menurut riset Clear Commerce Inc :

“Perusahaan teknologi informasi yang berbasi di Texas-As , Indonesia memiliki

carder terbanyak kedua setelah Ukraina. Sebanyak 20 persen transaksi melalui

internet di Indonesia adalah hasil dari kejahatan carding. Akibat tingginya angka

tersebut , banyak situs belanja online yang memblokir IP atau Internet Protocol

yang berasal dari Indonesia. Jika kita akan melakukan transaksi disuatu situs

perbelanjaan online, maka formulir pembelian asal Indonesia tidak dicantumkan

di situs tersebut.52

Kejahatan carding mempunyai dua ruang lingkup, nasional dan

transnasional. Secara nasional adalah pelaku carding melakukannya dalam

lingkup satu negara. Transnasional adalah pelaku carding melakukannya melewati

batas negara. Berdasarkan karakteristik perbedaan tersebut untuk penegakan

hukumnya tidak bisa dilakukan secara tradisional, sebaiknya dilakukan dengan

menggunakan hukum sendiri.

Sifat carding secara umum adalah non-violence kekacauan yang

ditimbulkan tidak terlihat secara langsung, tapi dampak yang ditimbulkan bisa

sangat besar. Karena carding merupakan salah satu dari kejaharan cybercrime

berdasarkan aktivitasnya. Salah satu contohnya dapat menggunakan no rekening

orang lain untuk belanja secara online demi memperkaya diri sendiri. Yang

sebelumnya tentu pelaku (carder) sudah mencuri no rekening dari korban.

Berdasarkan penjelasan tersebut, carding sendiri dapat dikategorikan

sebagai kejahatan yang bersifat transnasional. Ini dikarenakan tindak pidana jenis

ini melewati batas negara. Menurut United Nations Convention on Transnational


52
Suharyo : Penjelasan Hukum Tentang Penerapan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana Terhadap Kasus-kasus Cyber Crime : (Badan Pembinaan Nasional Kementerian Hukum
Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2012 ). hlm 2
43

Organized Crime tahun 2000, kejahatan termasuk kedalam transnasional jika

terdiri dari :53

1. Dilakukan di lebih dari suatu negara.

2. Persiapan, perencanaan,pengarahan dan pengawasan dilakukan dinegara

lain.

3. Melibatkan organized criminal group dimana kejahatan dilakukan dilebih

satu negara.

4. Berdampak serius pada negara lain.

Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai tindak pidana carding yang

terjadi diruang dunia cyber,kejahatan ini dapat dilakukan dimana saja dan

korbannya pun berada dimana saja, bukan hanya pelaku dan korban, tapi tempat

transaksi para carder itu pun dilakukan di wilayah negara lain. Kejahatan ini

dianggap merugikan suatu negara,jika memang kejahatan ini terjadi lintas negara.

Dengan demikian maka tindak pidana carding termasuk dalam tindak kejahatan

transnasional.

53
Muladi, Demokrasi,Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, 1st,Jakarta,
The Habibie Center, 2002.
44

BAB III

DATA TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DATA


(CARDING)

III.1 Lokasi Penelitian

Penelitian yang pertama dilakukan di Jakarta, yaitu Polda Metro Jaya

Jakarta. alasan dipilihnya tempat tersebut sebagai tempat penelitian karena

didasarkan pada pertimbangan bahwa peneliti ingin mencari data mengenai kasus

tindak pidana pencurian data (carding) yang memiliki angka grafik yang

meningkat dan angka grafik mengenai kasus tindak pidana pencurian data

(carding) selama periode 3 tahun terakhir, yaitu tahun 2017-2019 mengalami

peningkatan.

Dan peneliti

III.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dengan cara, sebagai berikut :

1. permohonan data yang diajukan dari Fakultas Hukum Universitas

Krisnadwipayana dengan perihal permohonan pengumpulan data

kriminalistik dan kasus tindak pidana pencurian data (carding) di Polda

Metro Jaya pada tahun 2017-2019 berupa grafik.

2. dan pengumpulan data kriminalistik dan kasus tindak pidana Cyber Crime

seluruh Indonesia.
45

III.2.1 Grafik

45

40

35

30

25
Column2
20

15

10

0
TAHUN 2017 TAHUN 2018 TAHUN 2019

14

12

10

8
Series 3
Series 2
6 Series 1

0
Category 1 Category 2 Category 3 Category 4
46

III.2.2 Data Kasus Pencurian Data ( carding )

III.2.3 Data Hasil Penelitian

III.2.4 Analisis Data


47

BAB IV
ANALISIS PUTUSAN Nomor : 597/Pid.Sus/2018/PN.Mgl.
IV.1 Identitas Tersangka

Nama lengkap : Ferry Piscesa Dwi Cahya

Tempat lahir : Malang

Umur/Tanggal Lahir : 27 Tahun/ 27 February 1991

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tanggal lahir : Jl. Sumpil 1 No.31 Rt.01 Rw.04 Kel. Purwodadi, Kec.

Blimbing, Kota Malang

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

IV.2 Kronoligis Kasus

IV.3 Dakwaan

IV.4 Tuntutan

IV.5 Amar putusan

IV.6 Putusan
48

BAB V

PUTUSAN

Anda mungkin juga menyukai