Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

NSTEMI

Disusun Oleh :
Putri Paramitha O

Pembimbing :
dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (K)

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM


TANGERANG
A. Identitas Pasien
MR : 95XXXX
Nama : Ny. E
Tanggal masuk : 10 April 2021
Usia : 62 Tahun
Status Pernikahan : Menikah
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis pada hari 10 April 2021 di
IGD RSUS.

B. Keluhan Utama
Nyeri dada kiri sejak satu hari SMRS.

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan keluhan nyeri dada kiri satu hari SMRS. Pa
sien mengatakan nyeri dada terasa seerti terntindih, menjalar hingga ke lengan kiri. Nyeri
dada hilang sendiri dalam waktu kurang lebih 30 menit saat istirahat. Sesak disangkal,
keringat dingin disangkal. Tidak ada mual, batuk, demam disangkal.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan mempunyai riwayat darah tinggi minum obat Amlodipin 1 x 10 mg.
Pasien menyangkal riwayat kencing manis, kolesterol, dan infeksi paru sebelumnya.

E. Riwayat Keluarga

Pasien tidak tahu pasti riwayat penyakit di keluarganya.

F. Riwayat Sosial
Pasien menyangkal konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang. Pasien tidak merokok

G. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 GCS : E4 V6 M5
 Kesadaran : compos mentis
 TTV
o Nadi : 69x/menit
o Pernafasan : 19x/menit
o Tekanan Darah : 140/80mmHg
o Suhu : 36.5C
o SpO2 : 98%
b. Kepala : luka (-), inflammasi (-), swelling (-)
c. Mata : Pupil isokor, konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-), edema (-), Reflex
cahaya (+)
d. Mulut dan bibir : Faring hiperemis (-), tonsil tidak membesar, lidah kotor (-), warna
mukosa mulut merah muda, bibir lembab dan tidak ada lesi
e. Hidung : Nafas cuping hidung (-), Deviasi septum (-), Lesi (-), Sumbatan (-), Nyeri
tekan sinus (-)
f. Telinga : Bentuk normal, simetris kanan dan kiri, sekret atau darah -/-, tidak
menggunakan alat bantu dengar, nyeri tekan (-/-)
g. Leher : pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), pemberasan tiroid (-)

h. Paru-paru :
 Inspeksi: Thorax terlihat simetris, retraksi (-), Pernafasan kanan dan kiri
seimbang, bekas luka atau operasi (-), otot bantu pernafasan -/-
 Palpasi : Taktil fremitus simetris pada kedua lapang paru, chest expansion
kanan dan kiri seimbang
 Perkusi : Kedua lapang paru terdengar bunyi sonor
 Auskultasi : VBS +/+, Rhonci -/-, Wheezing -/-
i. Jantung :
 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : Iktus kordis teraba
 Perkusi : Jantung terdengar pekak, batas jantung normal
 Auskultasi : S1-S2 (+), murmur (-)
j. Abdomen :
 Inspeksi : Bentuk abdomen datar, bekas operasi atau luka (-), caput medusa (-),
striae (-), massa (-).
 Auskultasi : Suara bising usus 8x / menit, kesan normal.
 Perkusi : Bunyi abdomen timpani di seluruh regio abdomen, ascites (-).
 Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran hati dan limpa (-), Mcburney sign (-).
k. Ekstremitas
 Ekstremitas atas
Look : inflammasi (-), deformitas (-), luka (-)
Feel : akral hangat (+), nyeri tekan (-)
Move : ROM tidak ada keterbatasan
 Ekstremitas bawah
Look : inflammasi (-), deformitas (-), luka (-)
Feel : akral hangat (+), nyeri tekan (-)
Move : ROM tidak ada keterbatasan

H. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
 Full Blood Count

Hasil Normal

Haemoglobin 12.9 13.2-17.3 g/dl


Hematocrit 38 40-52%
Erythrocyte (RBC) 4.58 4.4-5.9 x 106/uL
White Blood Cell (WBC) 9.11 3.8-10.6 x 103/uL
Platelet Count 261 150-440x103/uL
ESR 35 0-15mm/jam
MCV 83 80-100fL
MCH 28.2 26-34 pg
MCHC 33,9 32-36 g/dl
 Differential Count

Hasil Normal
Basophil 0 0-1%
Eosinophil 2 1-3%
Band Neutrophil 2 2-6%
Segment Neutrophil 70 50-70%
Limphocyte 20 25-40%
Monocyte 6 2-8%

 Biochemistry
Hasil Normal

Ureum 27 <50.00 mg/dL

Creatinin 1.11 0.5-1.1 mg/dL

CK-MB 15.8 7-25 U/L

Troponin T 74.5 0.00-14.00 pg/mL

Blood Glucose POCT 104 <200 md/dL

b. X-Ray
THORAX
Jantung CTR <50%
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal.
Corakan bronkovalskular kedua paru normal.
Tampak infiltrate minimal padaperihiler bilateral dan basal paru kanan
Sela-sela iga belum melebar dengan diafragma mendatar bilateral
Kedua sinur kostofrenikus lancip.
Tulang-tulang dinding dada intak.

Kesan :
Suspek COPD
Pneumonia
Cor dalam batas normal

Status Hasil : Terverifikasi

c. EKG
I. Resume
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak satu hari smrs, hilang sendiri dal
am +/- 30 menit. nyeri seperti tertindih, disertai sesak.
Riw HT (+) dengan obat amlodipin 1x10 mg. Dari hasil pemeriksaaan EKG ditemukan
ST depresi. Dari hasil pemeriksaan lab ditemukan kenaikan troponin T yang menandakan
adanya kerusakan pada otot jantung.

J. Diagnosis kerja
CAD NSTEMI

K. Tatalaksana
-EKG
-Inj. Ranitidine 50 mg IV, Brilinta 180 mg, Aspilet 160 mg, Atorvastatin 40 mg,
ISDN 5 mg SL
- Co. SPJP rencana primary PCI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada
sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia miokard akut. SKA dapat b
erupa angina pektoris tidak stabil (UAP), infark miokard dengan non-ST elevasi (NSTEMI) ,
infark miokard dengan ST elevasi (STEMI) dan atau kematian jantung mendadak.3
2.2 Etiologi
Etiologi dari sindrom koroner akut adalah 90% akibat adanya trombus yang menyumb
at pada arteri koroner yang aterosklerosis. Diyakini faktor utama pemicu terjadinya trombosis
koroner adalah plak yang ruptur dan erosi. Derajat sumbatan arteri koroner akan mempengaru
hi gejala klinis yang timbul.
Etiologi lain dari sindrom koroner akut adalah emboli arteri koronaria, anomali arteri
kongenital seperti aneurisma arteri koroner, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma, gan
gguan hematologik, diseksi aorta, oklusi arteri koroner akibat vaskulitis, ventrikel hipertrofi,
dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.2-4
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut3 :
a. Pria
b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / k
arotis)
c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pinta
s koroner, atau IKP
d. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus,
riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, r
isiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)

2.3 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koron
er yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan t
udung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trom
bosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombu
s). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun par
sial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain
itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat g
angguan aliran
darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasok
an oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalam
i nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obs
truksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iske
mia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah
gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia
hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel).
Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka menga
lami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angi
na Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatk
an oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa fak
tor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pen
cetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

Gambar 2.1 Tahap perkembangan atherosclerosis


Gambar 2.2 Perbandigan lumen arteri normal dan abnormal
2.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat dae
rah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastri
um. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Kel
uhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri a
bdominal, sesak napas, dan sinkop.3 Selain itu anamnesis mengenai faktor risiko terjadinya S
KA juga penting untuk memperkuat kemungkinan diagnosis.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterang
kan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijump
ai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabete
s, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat
istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivi
tas.3
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard
(nyeri dada nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel ki
ri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
b. Pemeriksaan fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding
dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluha
n angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai r
epresentasi SKA.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotens
i hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tand
a-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema p
aru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kek
uatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nye
ri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirka
n diagnosis banding SKA.3
c. Pemeriksaan Electrokardiogram
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, ele
vasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T.
EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T, dapat disertai dengan
elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Nondiagnostik
4. Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis SK
A tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau
keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan p
emasangan sadapan tambahan.
Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diag
nosis UAP atau NSTEMI. Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik,
sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam j
uga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnos
tik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien di
pantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina ber
ulang. Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST da
n/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipasti
kan.

LOKASI IMA LOKASI ELEVASI SEGMEN


ST
Anterior V1–V4
Anteroseptal V1, V2, V3, V4
Anterolateral V4–V6, I, aVL
Inferior Inferior: II, III, and aVF
Lateral I and aVL
Inferolateral II, III, aVF, and V5 and V6

d. Pemeriksaan Marka Jantung


Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di m
ana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Peng
gunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu k
eluhan angina dan perubahan EKG.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai
normal atas (upper limit of normal, ULN). Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal t
idak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada
pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark
dan menetap sampai 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Apabila pemeriksaan troponin tidak t
ersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga
6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.3

Gambar 3. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung

2.5 Penatalaksanaan
1. Anti Iskemia
a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1
yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberi
kan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale,
dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai diban
dingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama ji
ka terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-
B).penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta
juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indik
asi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan pen
yekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi
Kilip =III (Kelas I-B).
Tabel 1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA
Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis p Dosis untuk angin
arsial a
Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari,


titrasi sampai
maksimum 2x25
mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkura
ngnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardi
um berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal
maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angi
na (Kelas I-C).
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat ni
trat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimba
ngkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi d
alam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh m
enghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angio
tensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mm
Hg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal ja
ntung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C).
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesteras
e: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah
pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).
Tabel 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg
(trinitrin, TNT, glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

c. Calcium channel blockers (CCBs).


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanp
a efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek te
rhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB
tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang.Oleh karena itu CCB, teruta
ma golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Stu
di menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimba
ng dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah me
ndapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra t
erhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi peny
ekat beta (Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan k
ecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas III-B).

Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 mg/hari
2. Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loadi
ng 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjan
g, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dip
ertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berle
bih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT
(dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan
pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu
diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia =65
tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kej
adian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sed
ang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dila
njutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengo
batan awal.Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopid
ogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor.
Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan meneri
ma strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu dipertimb
angkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan
yang meningkat (Kelas IIa-B).
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu
menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangk
an penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor ata
u clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian is
kemik yang tinggi (Kelas IIa-C).
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan)
setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX2 selektif d
an NSAID non-selektif) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent.
Tabel 4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemel
iharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemelihara
an 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemelihara
an 75 mg/hari

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein II
b/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan (Kelas I-
C).Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP ya
ng telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus y
ang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B).Agen ini tidak disarankan diberika
n secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT y
ang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).

4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplate
let (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan
profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang palin
g baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85
IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor
GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan re
ndah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul r
endah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila fondapa
rinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hi
ngga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Tabel 5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA


Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60 U/g, dosis
maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam
target aPTT 11/2-2x control

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdaraha
n dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberik
an bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masi
h efektif. (Kelas IIa-C).
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua a
tau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).
6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeli
ng dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fu
ngsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.Penggunaannya terbatas pada pas
ien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yan
g telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogeni
k.
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi ko
ntra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri =40% dan pasien dengan diabetes mellitu
s, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas (Ke
las IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan pen
elitian yang ada (Kelas IIa-C).
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran t
erhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri =40%, dengan atau tanpa g
ejala klinis gagal jantung (Kelas I-B).

Tabel 6. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA


Inhibitor ACE Dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi di
et, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semu
a penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika
tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebel
um pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <
100 mg/dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untu
k dicapai.

2.6 Prognosis
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala u
paya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang d
apat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam CR
USADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantu
ng, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan te
kanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor, na
mun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi di
kaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.

Tabel 2 Skor risiko perdarahan CRUSADE


Prediktor Skor
Hematokrit
<31 9
31-33,9 7
34-36,9 3
37-39.9 2
≥40 0
Klirens kreatinin, mL/menit
≤15 39
>15-30 35
>30-60 28
>60-90 17
>90-120 7
>120 0
Laju denyut jantung (kali per menit)
≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100 6
101-110 8
111-120 10
≥121 11
Jenis kelamin
Laki-laki 0
Perempuan 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular sebelumny
a
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5

Tabel 3. Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE


Skor CRUSADE Tingkat risiko Risiko perdarahan
1-20 Sangat rendah 3,1%
21-30 Rendah 5,5%
31-40 Moderat 8,6%
41-50 Tinggi 11,9%
>50 Sangat tinggi 19,5%

Anda mungkin juga menyukai