Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.1 Shift Kerja


A. Pengertian Shift Kerja
Kerja shift yaitu suatu metode atau gagasan yang dipilih guna mencukupi
permintaan barang atau pun jasa yang semakin meningkat, hampir dari semua
perusahaan atau instansi menggunakan sistem shift kerja kepada para pekerja
karena metode ini dianggap cukup efisien dalam meningkat produktivitas
(Sugiono et al., 2018:131).
Di kutip dari Occuptional Health Clinics for Ontario & Solution, kerja
shift yaitu pekerjaan yang umumnya dimulai bukan pada jam “normal”
(pukul 09.00 – 17.00), tetapi kerja shift dilakukan secara berkelanjutan
selama 24 jam penuh yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
dan produktivitas. Menurut Stevens (2011 dalam Sugiono et al., 2018:131)
shift kerja adalah pekerjaan yang dilakukan selama 24 jam penuh yang dibagi
menjadi setiap 8 jam dan dilakukan secara berkelompok. Sedangkan ILO
(2004 dalam Sugiono et al., 2018:131) mengungkapkan bahwa shift kerja
adalah pengaturan kerja yang dilaksanakan selama 24 jam dan dibagi
berdasarkan waktu pagi, sore dan malam.

B. Jenis - Jenis Shift Kerja


Setiap negara memiliki pengaturan dan standar shift kerja yang berbeda-beda,
hal ini disesuaikan dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Pada umumnya
ada tiga jenis shift kerja yang digunakan, yaitu:
a) Permanent
Shift kerja permanent diatur berdasarkan rotasi kerja, yaitu pekerja
dijadwalkam menjadi bekerja pada waktu pagi, sore atau malam yang
dilakukan secara berkelompok atau grup dalam setiap shift.
b) Continuous
Pekerjaan yang dilakukan selama seminggu penuh, dan libur pada waktu
akhir pekan saja (hari minggu).
c) With or without night work
Aktivitas bekerja para pekerja hanya dilakukan pada malam hari.

C. Pembagian Shift Kerja yang Baik Bagi Kesehatan


Pembagian shift kerja pada dasarnya setiap perusahan memiliki peraturan
yang berbeda, dan yang pasti memenuhi standarisasi bagi pekerja. Umumnya
shift kerja dibagi menjadi waktu shift pagi (pukul 07.00 – 15.00), shift siang
dijadwalkan pada pukul 15.00 – 23.00, dan dilanjutkan shift malam pada
pukul 23.00 – 07.00. Ada beberapa perusahaan juga yang hanya menetapkan
dua shift saja yaitu shift pagi dan shift malam, pekerja harus bekerja selama
12 jam setiap shift.
Shift kerja pada bidang pemberian jasa pelayanan umumnya menggunakan
sistem rotasi kerja 4-4 (4 hari kerja, 4 hari libur), atau sistem 2-3-2 (yaitu 2
hari kerja, 3 hari libur, dan 2 hari kerja).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat pengaturan shift
kerja, yaitu (1) memberikan waktu istirahat yang cukup agar pekerja tidak
kehilangan jam tidur dan merasa lelah yang berlebih dan (2) berikan waktu
kepada pekerja untuk berkumpul dan berinteraksi bersama keluarga dan
lingkungannya (Grandjean, 1988 dalam Winarsunu, 2008). Menurut
penjelasan diatas, maka perencaan yang baik untuk merancang shift kerja
adalah memberikan waktu istirahat atau libur selama 24 jam setelah
melakukan kerja pada shift malam.
Menurut Koemer (1994 dalam Winarsunu, 2008) menjelasakan ada beberapa
kriteria yang bisa ditinjau dalam membuat sistem shift kerja, yaitu: waktu
shift kerja maksimal hanya 8 jam dalam sehari, pemberian waktu kerja shift
malam harus seminimal mungkin, setelah melakukan shift malam sedikitnya
diberikan waktu istirahat selama 24 jam, setiap shift kerja harus memiliki
waktu bebas setiap minggunya, memberikan waktu libur pada akhir tahun
sedikitnya sebanyak hari umum pekerja.
D. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Shift Kerja
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menerapkan shift kerja
agar tidak mempengaruhi kesehatan, yaitu:
1. Kebutuhan operasi 24 jam
Jika sisem kerja non shift dirasa mampu mencukupi kebuttuhan
perusahaan atau instasi, maka sistem shift kerja dapat dipertimbangkan
lagi.
2. Perlunya shift malam permanen
Tidak semua pekerja mampu melaksanakan pekerjaan pada shift malam,
maka kelompok atau orang yang bekerja pada shift malam harus bergilir
atau bergantian.
3. Arah rotasi shift
Di tinjau dari jam biologis manusia, paramedis berpendapat bahwa
sebaiknya rotasi shift kerja dilaksanakan secara kedepan, yaitu mulai dari
shift pagi, sore, dan malam.
4. Panjangnya periode rotasi
Periode rotasi yang direkomendasikan oleh paramedis adalah periode
rotasi cepat, yaitu setiap 2 – 3 hari sekali dilakukan pergantian shift kerja.
5. Waktu dimulainya shift pagi
Pada umumnya shift pagi dapat berpengaruh pada waktu tidur atau
istirahat malam hari yang sedikit, sebaiknya pertimbangkan shift pagi juga
dilihat dari waktu istirahat, jarak, dan kendaraan yang digunakan.
6. Durasi shift kerja
Lamanya waktu bekerja dapat menyebabkan pekerja merasa lelah, waktu
bekerja yang baik dapat ditinjau dari keadaan fisik dan psikis pekerja agar
tidak menimbulkan masalah kesehatan pada pekerja.
7. Waktu istirahat
Waktu untuk beristirahat sangat penting bagi pekerja, pertimbangkan
waktu bekerja dalam stiap shift.
8. Hari libur
Hari libur salah satu hal yang harus diperhartikan oleh perusahaan atau
instansi, karena biasanya pekerja menggunakan waktu libur untuk
menghilangkan kejenuhan dan rasa lelah selama waktu bekerja. Jika
pekerja tidak merasa stress, hal ini dapat membuat fisik dan psikis pekerja
lebih baik dan sehat.

Agar bekerja shift tidak membahayakan bagi fisik dan kesehatan pekerja,
maka pemerintah membuat peraturan terkait pembagian shift kerja.
Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.
102/MEN/VI/2004 ketentuan jam kerja telah diatur menjadi 2 sistem, yaitu:
1) 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari
kerja dalam 1 minggu; atau 2) 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja
dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. Menurut Undang – Undang no 13 tahun
2003, menambahkan peraturan pembagian shift kerja bagi para pekerja, yaitu
bahwa shift kerja dibagi menjadi 3 periode, periode pagi sampai sore, periode
sore sampai malam, dan periode malam sampai pagi (Sugiono et al.,
2018:135).

E. Dimensi Shift Kerja


Menurut Wagner (1988 dalam health and safety guidance, 2006) dimensi
shift kerja menjadi 5 komponen yaitu:
a. Aktivitas Kerja
Aktivitas kerja harus disesuaikan dengan tugas yang diberikan kepada
perawat, hal ini guna untuk mengurangi rasa lelah yang dirasakan
perawat dan agar tugas yang dikerjakan oleh perawat dapat
terselesaikan dengan baik.
b. Pola Pergeseran
1) Permanen
Shift kerja yang sudah ditentukan sejak awal oleh instansi
pelayanan kesehatan, dimana tidak ada pola pergeseran shift
kerja.
2) Rotasi shift
Rotasi adalah pola shift kerja yang dibuat secara bergantian
dengan perawat lain agar waktu bekerja shift malam antar perawat
berkurang tetapi pola rotasi shift kerja terkadang membuat
perawat sulit beradaptasi dengan tugas dan rekan kerja.
3) Rotasi maju mundur
Pola rotasi shift kerja ini dibuat berdasarkan searah jarum jam
atau maju sehingga dapat membantu mengurangi rasa kelelahan
dan waktu istirahat tercukupi.
4) Rotasi cepat dan rotasi lambat
Rotasi shift kerja dianjurkan berganti setiap 2-3 hari.
c. Waktu Shift
1) Shift malam
Shift malam biasanya dapat mengakibatkan berbagai keluhan
seperti kurang waktu untuk istirahat, kelelahan, dan mengganggu
interaksi social di lingkungan keluarga dan masyarakat.
2) Shift pagi
Shift pagi juga dapat menyebabkan kurangnya jam tidur pada
perawat karena dipengaruhi oleh waktu perjalanan dan kendaraan
yang digunakan untuk berangkat bekerja pada pagi hari.
3) Shift sore
Pada shift sore cenderung pekerja mendapatkan waktu tidur yang
cukup dibandingkan shift lainnya. Resiko kelelahan dan
kecelekaan kerja juga rendah dibandingkan dengan shift pagi dan
malam.
d. Durasi Kerja
1) 8 jam
Durasi jam kerja yang digunaka pada sistem shift kerja umumnya
memang 8 jam, dan karena itu hari libur yang diberikan pun
relative lebih singkat.
2) 12 jam
Berbeda dengan durasi shift kerja yang dilaksanakan selama 8
jam, durasi kerja dengan lama 12 jam memberikan hari libur lebih
lama. Tetapi hal tersebut dapat membuat pekerja merasa lebih
lelah pada saat hari kerja, mengingat setiap kondisi baik fisik dan
mental tiap orang dapat berbeda.
3) Lebih dari 12 jam
Semakin lama perawat atau pekerja lain melakukan pekerjaan,
maka resiko kesalahan dan kecelakaan dalam bekerja lebih tinggi,
dan dampak yang ditimbulkan bagi kesehatan pun lebih beresiko.
4) Pergeseran yang sangat panjang
Semakin lama durasi shift kerja, maka semakin lama juga waktu
untuk berganti shift dan resiko kelelaha dalam bekerja semakin
besar.
5) Shift yang buruk
Pembagian durasi shift yang buruk, maka membuat sistem shift
kerja juga menjadi buruk
e. Istirahat dalam Shift
1) Waktu istirahat saat shift
Waktu istirahat menjadi sangat penting, terutama pada pekerjaan
yang sering menimbulkan rasa lelah pada saat waktu – waktu shift
akan habis. Waktu untuk tidur menjadi sangat penting terutama
bagi perawat atau pekerja yang melakukan pekerjaan pada shift
malam, sebaiknya pekerja meluangkan waktu untuk tidur selama
20 menit dari 1 jam waktu istirahat agar merasa lebih baik.
2) Hari libur
Hari libur menjadi satu hal yang penting, karena biasanya pada
hari libur pekerja bisa meluangkan waktu untuk bertamasya atau
berkumpul bersama keluarga dan teman, guna untuk mengurangi
rasa lelah dan stres setelah hari – hari bekerja.

I.2 Burnout Syndrome


A. Definisi Burnout Syndrome (BOS)
Istilah burnout pertama kali dikemukakan pada tahun 1973, oleh Herbert
Freudenberger. Burnout yaitu suatu sindrom yang ditandai dengan perasaan
lelah, tidak peduli terhadap diri sendiri, melakukan pekerjaan karena suatu
alasan, menghabiskan waktu dan pikiran dalam pekerjaan, merasa tidak
nyaman karenan berbagai sumber (Mulawarman & Antika, 2020:40).
Membahas burnout lebih lanjut, Jacobs (2003 dalam Mulawarman & Antika,
2020:40) menuturkan bahwa burnout biasanya muncul ketika seseorang
dalam kegagalan, menurunnya prestasi diri, perasaan lelah akibat melakukan
pekerjaan secara berlebihan. Menurut Saleh (2018:30), burnout syndrome
ialah kondisi dimana tubuh manusia berada pada titik puncak perasaan lelah
baik secara fisik maupun mental. Sedangkan menurut Khairani (2015 dalam
Mulawarman & Antika, 2020:41) melihat dari penjelasan Maslach dan Laiter,
burnout yaitu suatu keadaan dimana seseorang merasa lelah secara
emosional, fisik dan psikis yang umumnya diakibatkan karena suasana tempat
kerja yang kurang menyenangkan dan banyaknya tuntutan dalam melakukan
pekerjaan..
Menurut Freudenberger dan Maslach, kejadian burnout biasanya banyak
ditemui pada para pekerja. Burnout biasanya terjadi pada pekerja yang
banyak bertemu dan berkomunikasi dengan orang banyak, biasanya terjadi
pada pekerja pelayanan jasa karena adanya tuntutan komunikasi terapeutik
yang baik (Zhang, 2015 dalam Mulawarman & Antika, 2020:41).

B. Faktor yang Mempengaruhi Burnout


Menurut American Thoraric Society (2016 dalam Saleh, 2018:31),
menjelaskakan bahwa faktor resiko burnout dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor individu / internal
Faktor individu biasanya berupa usia / umur, gender (jenis kelamin),
perasaan rendah diri, berpikiran sempit dan terlalu idealis, memiliki
padangan realistis dan juga adanya masalah dalam keuangan.
2. Faktor lingkungan atau eksternal
Biasanya hal ini dipengaruhi oleh beratnya beban kerja, kurangnya sumber
daya manusia, tidak ada dukungan moral dari atasan, minimnya upah,
adanya perubahan aturan, dan tidak ada rotasi dalam pekerjaan.

Adapun faktor resiko menurut Maslach dan Leiter (2016 dalam Saleh,
2018:32) pada buku "Stress: Concepts, Cognition, Emotion, And Behavior -
Burnout", menjelaskan bahwa faktor resiko burnout terdiri dari 6 domain,
yakni:

1. Beban kerja (Workload)


Semakin banyak beban kerja, akan membuat seseorang terus menerus
menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaan. Banyak diantaranya
karena tuntutan pekerjaan yang sangat banyak membuat pekerja
melewatkan waktu istirahatnya, sehingga membuat pekerja merasa
kelelahan yang berkepanjangan.
2. Kontrol (Eurocontrol)
Setiap pekerjaan pasti dapat membuat seseorang atau pekerja merasa
stress, tetapi apabila pekerja memiliki kontrol stress atau mampu
mengelola stres yang dirasakan maka hal ini tidak akan berlanjut pada
keadaan burnout syndrome.
3. Reward
Penghargaan bagi karyawan dan pekerja sangat baik, karena pada saat
mendapat pengakuan dan penghargaan, pekerja merasa puas dengan
pekerjaannya. Sebaliknya, jika tidak ada penghargaan dan pengakuan yang
diberikan kepada karyawan baik berupa materi dan sosial, akan
menyebabkan munculnya perasaan tidak dihargai dan perasaan tidak puas
terhadap apa yang sudah dikerjakan oleh pekerja.
4. Community
Bila dalam suatu perusahaan atau pelayanan, pekerja memiliki lingkungan
yang kurang baik atau bahkan adanya konflik dengan rekan kerja lainnya,
hal ini dapat memicu perasaan lelah dalam melakukan pekerjaan.
5. Fairness
Keadilan pada sesama pekerja sangat penting, apabila ada pekerja yang
merasa tidak diperlakukan secara adil dan sama rata, maka hal tersebut
dapat memunculkan perasaan marah, iri terhadap rekan kerja lain.
6. Value
Nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah cita - cita atau motivasi pada diri
seorang pekerja untuk mencari nafkah dan perkembangan dalam hidupnya
agar lebih maju, sehingga membuat pekerja bekerja dengan baik dan
tekun. Tetapi apabila tidak adanya nilai yang diharapkan, maka hal
tersebut akan memicu kejadian burnout.

C. Cara Mencegah Burnout


Untuk mencegah atau mengurangi kejadian burnout di lingkungan kerja,
maka McCormack and Cotter (2013 dalam Saleh, 2018:36) mengusulkan 6
domain cara mencegah burnout yang dimana domain ini memiliki keterkaitan
dengan 6 domain faktor resiko yang diungkapkan oleh Maslach dan Leiter,
berikut adalah domain cara mencegah burnout:
1. Beban kerja
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan membagi waktu kerja,
maksudnya disini adalah pekerja bekerja sesuai porsi dan tugas saja,
dimana pekerja mampu membedakan pekerjaan yang harus diselesaikan
atau dikerjakan pada saat di tempat kerja. Yang kedua adalah mampu
berkata "tidak", maksudnya adalah jika pekerjaan yang menjadi tugas
utama belum terselesaikan maka jika ada yang meminta bantuan untuk
mengerjakan tugas lain sebaiknya tidak diambil dan jelaskan dengan
komunikasi yang baik, karena pekerjaan yang terlalu banyak dapat
memicu munculnya kelelahan.
Selanjutnya adalah delegasi. Jika dirasa pekerjaan yang harus dilakukan
terlalu banyak dan berat, maka delegasikan tugas pada pekerja lain yang
dapat membantu. Lalu hal yang bisa dilakukan selanjutnya adalah pergi
berlibur, karena biasanya jika seseorang melakukan liburan dan pergi ke
tempat yang menyenangkan bisa membuat stress yang dirasakan ditempat
kerja berkurang.
Beberapa hal seperti berolahraga dan juga memakan makanan yang sehat
dapat membuat tubuh menjadi lebih rileks, tenang dan juga sehat. Selain
itu juga dapat melakukan hobi yang disenangi untuk mengurangi rasa
lelah.
2. Control (Eurocontrol)
Dalam hal ini yang diperlukan untuk mengurangi burnout adalah adanya
kebebasan untuk pekerja berkreativitas atas pekerjaannya, tetapi juga hal
ini harus berdasar pada pengetahuan atasan. Dimana atasan juga ikut
berperan dalam kreativitas dan inovasi bersama pekerja lain, sehingga
atasan mampu melihat kinerja dan keterampilan pekerja agar terciptanya
rasa percaya diri dan kemampuan pekerja di tempat kerja.
3. Penghargaan (Reward)
Terkadang materi bukan hal penting dalam pekerjaan, tetapi motivasi dan
dukungan dari atasan biasanya jauh lebih penting, adanya pengakuan atas
hasil yang sudah dikerjakan oleh para pekerja. Memberikan saran kepada
para pekerja agar pekerjaan dapat dilakukan lebih baik baik lagi, juga
dapat melakukan pembaharuan pada sistem kerja yang monoton agar
pekerja tidak merasa bosan, dan memperoleh kepuasaan atas
pekerjaannya.
4. Komunitas
Lingkungan yang baik dapat menciptakan keharmonisan dalam
lingkungan pekerjaan yang dapat mengurangi stres dalam pekerjaan,
apabila dalam suatu kelompok atau team terdapat masalah ataupun
konflik, sebaiknya selesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah,
libatkan pemimpin dan pekerja agar dapat mencapai hasil bersama.
5. Keadilan
Keadilan berarti berlaku adil kepada semua pekerja dengan sama rata
tanpa membeda - bedakan, apabila pekerja merasa adanya ketidakadilan
dalam sebuah bidang pekerjaan, maka pekerja bisa menyelesaikannya
dengan para atasan atau pemimpin. Jika dirasa hal tersebut tidak
menemukan titik tengah, maka jalan terakhir yang harus diambil adalah
keluar dari pekerjaan tersebut. Karena jika pekerja memaksakan terus
bekerja dan merasa diperlakukan tidak adil, maka hal tersebut akan
membuat diri menjadi stress yang akhirnya akan memicu kejadian burnout
pada pekerja.
6. Nilai
Untuk mencapai pekerjaan yang menyenangkan sebaiknya pekerja dan
perusahaan memiliki nilai atau tujuan yang sama. Karena jika tidak adanya
keselarasan antara pekerja dan perusahaan maka hal tersebut akan
membuat konflik, dan terjadinya perasaan stress dalam pekerjaan.

D. Dimensi Burnout
Dimensi burnout sejak lama sudah diungkapkan oleh Maslach dan Laiter
(1997 dalam Gunarsa, 2004:368) yang terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu
dimensi exhaustion, cynicism dan ineffectiveness. Untuk memahami dari
masing – masing dimensi tersebut, maka dapat dijabarkan:
1. Exhaustion
Dimensi burnout satu ini biasanya dapat terlihat dari orang yang
merasakan rasa lelah yang berkepanjangan, baik secara fisik, mental dan
emosional. Menurut Bakker & Schaufeli et al. (2001 dalam Gunarsa,
2004) mengatakan bahwa gejala – gejala yang telah disebutkan adalah
tanda asli dari burnout.
2. Cynicism
Biasanya dimensi cynicism dapat diketahui adanya perasaan sinis
terhadap orang – orang di tempat kerjanya, bahkan biasanya orang yang
menderita burnout pada dimensi ini mulai menarik diri dan membatasi
dirinya untuk berinteraksi atau bersosialisasi dengan sesama rekan
kerjanya.
3. Ineffectiveness
Pada dimensi ini biasanya disebabkan oleh beban kerja yang terlalu
banyak, sehingga pekerja merasa dirinya tidak mampu lagi untuk
melalukan pekerjaan dan merasa bahwa pekerjaan yang diberikan
kepadanya terlalu sulit untuk diselesaikan.
Dimensi burnout juga dijelaskan oleh beberapa penelitian yang sudah
dilakukan, salah satunya adalah menurut Morgan (2016) mengeluarkan
gagasan terkait dimensi burnout yang dijabarkan menjadi kelelahan
emosional, depersonalisasi dan prestasi diri menurun. Adapun menurut
Jacobs (2003) menjelaskan dimensi burnout dibagi menjadi exhaustion
(kelelahan emosional), depersonalization (depersoalisasi), dan reduced
personal accomplishment. Sedangkan Zhang (2007) mengatakan bahwa
dimensi burnout terdiri dari exhaustion, cynicism dan ineffectiveness.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka burnout syndrome dapat dibagi
berdasarkan 3 dimensi (Mulawarman & Antika, 2020), yaitu:
1. Exhaustion (Kelelahan)
Dimensi ini biasanya diawali dengan melakukan pekerjaan secara
berlebihan atau menghabiskan waktu yang cukup banyak pada suatu
pekerjaan yang akhirnya membuat tubuh terus menerus merasa lelah.
Menurut Aro (2009 dalam Mulawarman & Antika, 2020:43) exhaustion
biasanya mengarah pada perasaan tegang, perasaan lelah yang
berkepanjangan, merasa tertekan, mengalami gangguan tidur, adanya
rasa khawatir yang berlebihan. Exhaustion menyebabkan seseorang
merasakan adanya gangguan emosional dan fisik secara berlebihan, hal
yang dikhawatirkan ketika seseorang mengalami burnout akibat stress
adalah menjadi orang yang penutup dan bahkan menjauhi interaksi sosial
nya. Nurwangid, Purwanti, dan Fathiyah (2010 dalam Mulawarman &
Antika, 2020:44) menjelaskan bahwa salah satu gejala yang dapat dilihat
bahwa seseorang mengalami kelelah secara fisik adalah sakit kepala,
mual dan muntah, insomnia, bahkan sampai kehilangan nafsu makan.
2. Depersonalization (Depersonalisasi)
Dimensi ini ditandai dengan perasaan yang menganggap bahwa orang –
orang atau benda disekitarnya hanya bayangan dan tidak nyata. Biasanya
orang dengan depersonalisasi menganggap orang disekitarnya dengan
meremehkan atau dengan tatapan sinis dan juga tidak ada rasa empati
terhadap rekan kerjanya.
Menurut Maslach dan Laiter (Mulawarman & Antika, 2020:44), salah
satu yang dapat dilihat dari dimensi depersonalisasi adalah perasaan sinis
yang ditemui adanya sikap dingin dan membatasi diri dari pekerjaan dan
sesama rekan kerjanya. Nurwangid, Purwanti, dan Fathiyah (2010 dalam
(Mulawarman & Antika, 2020:45) juga menuturkan bahwa
depersonalisasi adalah perasaan lelah secara emosional, biasanya hal-hal
yang dapat terlihat yaitu bahwa adanya emosi yang labil, perasaan terlalu
sensitif terhadap keadaan, mudah emosi, dan mudah tersinggung.
3. Inefficacy
Maslach dan Laiter menuturkan hal yang dapat terlihat dari dimensi
inefficacy adalah bahwa pekerja merasakan bahwa dirinya tidak mampu
(Mulawarman & Antika, 2020). Jika seseorang merasa bahwa dirinya
tidak memiliki rasa percaya diri, maka dapat menyebabkan rasa percaya
pada orang lain pun tidak ada.
Gejala – gejala lain yang dapat dilihat dari dimensi burnout ini adalah
tidak ada rasa percaya terhadap diri sendiri, merasa tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan baik, segan untuk berkomunikasi
dengan rekan kerja, tidak pernah merasa puas terhadap apa yang sudah
dikerjakan.

I.2 Perawat
A. Definisi Perawat
Perawat berasal dari kata latin, yaitu “nutrix” yang artinya merawat atau
memelihara. Menurut Harlley Cit ANA (2000 dalam Iskandar, 2018:26)
perawat adalah orang yang bekerja untuk merawat, melindungi, menjaga
seseorang yang memiliki penyakit ataupun orang yang terkena penyakit.
Pendapat lain mengatakan bahwa perawat adalah seseorang yang telah
dinyatakan lulus dari perguruan tinggi yang diakui oleh pemerintah dan
sesuai peraturan perundang-undangan (UU No 38 tahun 2014 tentang
keperawatan dalam Iskandar, 2018:26). Dikutip dari Depkes RI (2002 dalam
Iskandar, 2018:26) seorang perawat yang professional yaitu perawat yang
dapat bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan mampu
berkolaborasi dengan para pemberi asuhan kesehatan yang lain.
Sedangkan definisi lain dari perawat adalah seseorang yang telah
menyelesaikan pendidikan keperawatan dan mempunyai izin untuk bekerja
sebagai perawat serta memiliki kompetensi untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada individu baik sehat ataupun sakit dan membantu
kebutuhan klien mulai dari bio – psiko – sosio dan spiritual tanpa membeda –
bedakan jenis kelamin, ras ataupun suku (Khairani & Suharto, 2018:71)
B. Peran Perawat
Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai dengan kode etik keperawatan.
1. Care giver (pemberi asuhan keperawatan)
Peran perawat disini adalah memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien, keluarga atau kelompok, mulai dari kebutuhan dasar sampai
tindakan keperawatan yang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan dan
diagnosa penyakit ataupun diagnosa keperawatan yang telah diambil
melihat dari masalah fisik atau psikis pasien, contohnya seperti memberi
makan, memandikan pasien, memberi obat, menyuntik atau mengganti
infus.
2. Clien advocate (pembela klien)
Peran perawat sebagai pembela klien belum banyak dijumpai di
pelayanan kesehatan, peran utama perawat sebagai advocate adalah
memberikan informasi kepada klien ataupun keluarga agar tidak ada
kesalahpahaman dalam pemberian informasi, melindungi hak – hak klien
selama menjalani pelayanan kesehatan dirumah sakit, mengambil
tindakan keperawatan yang tepat agar tidak terjadi kesalahan atau
kecelakaan dalam memberikan asuhan keperawatan.
3. Concelor (pembimbing)
Konselor berfungsi memberikan konseling ataupun penyuluhan kepada
individu dan keluarga terkait pengalaman masa lalu dalam melewati
masalah kesehatan, berdiskusi dengan klien dan memberikan saran
sebagai salah satu cara mengurangi masalah kesehatan saat ini.
4. Educator (pendidik)
Perawat juga berperan sebagai pendidik, hal yang dapat dilakukan oleh
perawat adalah memberikan edukasi atau pendidikan terkait masalah
kesehatan klien, mulai dari pengobatan sampai cara pencegahan. Perawat
juga dapat memberikan edukasi kepada keluarga atau komunitas yang
bersangkutan dengan klien yang memiliki resiko terjadinya masalah
kesehatam.
5. Collabolator (kerjasama)
Perawat juga harus mampu berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang
lain, seperti dokter, ahli gizi, farmasi, fisioterapis dan lain – lain.
Kolaborasi diperlukan untuk memberikan pelayanan yang maksimal guna
kesembuhan klien.
6. Coordinator
Perawat mampu memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada di rumah
sakit, mulai dari sumber daya manusia sampai materi, guna meningkat
pelayanan kesehatan kepada klien, hal ini juga harus diinformasikan
kepada klien mengenai sarana kesehatan yang ada di pelayanan
keperawatan.
7. Change agent
Perawat diharapkan dapat melakukan pembaharuan atau berinovasi
dengan melibatkan klien dan keluarga dalam perencaan dan tidakan
keperawatan agar klien dan keluarga mampu meningkatkan derajat
kesehatannya.
8. Consultant
Perawat mampu memberikan informasi dengan jelas kepada klien
mengenai tindakan keperawatan yang akan diberikan.

C. Fungsi Perawat
Fungsi perawat dilakukan sejalan dengan peran perawat, yang dimana fungsi
dan peran perawat dapat berubah melihat dari kondisinya. Perawat memiliki
tiga fungsi, yaitu fungsi independent, fungsi dependen dan fungsi
interdependen.
1. Fungsi independent
Perawat melakukan tindakan keperawatan atas dasar inisiatif diri sendiri,
tindakan keperawatan mandiri bisa dilakukan mulai dari kebutuhan dasar
pasien, seperti kebutuhan fisik (memberi makan, memandikan pasien),
pemenuhan rasa aman dan nyaman, pemenuhan rasa dicintai dan
mencintai, peningkat harga diri klien selama mengalami masalah
kesehatan, dan aktualisasi diri.
2. Fungsi dependent
Yaitu tindakan yang dilakukan atas intruksi atau order dari dokter, atau
pun dari perawat ke perawat lain, misalnya seperti tindakan pemberian
injeksi antibiotik menurut order dokter.
3. Fungsi interdependent
Interdependent yaitu melakukan tindakan bersama antar profesi
kesehatan, adanya tumpang tindih pertanggung jawaban. Fungsi
interdependent biasanya dilakukan kepada klien yang mengalami
masalah kesehatan yang kompleks, dan membutuhkan tindakan yang
lebih spesifik.

D. Karakteristik Individu Perawat

Karakteristik individu perawat adalah faktor yang mempengaruhi


varibael yang akan diteliti Menurut Kurniadi (2013) ada beberapa
karakteristik individi seorang perawat sebagai berikut :

a. Usia

Umur seseorang biasanya menjadi dasar bahwa seseorang sudah


mampu memutuskan hal yang baik atau buruk bagi dirinya. Jika
seseorang sudah mampu membedakan hal – hal bagi dirinya,
maka hal tersebut bisa membuktikan bahwa dirinya sudah
menjadi lebih dewasa. Kedewasaan seseorang biasanya menjadi
tolak ukur bahwa pekerja itu mampu bekerja sama dalam tim
atau kelompok.

b. Jenis Kelamin

Perawat didominasi oleh perempuan, dikarenakan tugas dari


perawat sendiri yaitu memberikan asuhan keperawatan yang
berkaitan dengan sifat keibuan. Tetapi banyak juga perawat pria
yang dibutuhkan dalam asuhan keperawatan.

c. Masa kerja

Perawat akan merasa memiliki kepuasan setelah 5 – 8 tahun.


Kepuasan kerja tertinggi yaitu setelah bekerja selama 20 tahun.

d. Status Perkawinan

Status perkawinan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan


karena ada beberapa perawat yang mengambil cuti kerja setelah
menikah. Seseorang memiliki tanggung jawab yang lebih ketika
setelah menikah.

e. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dapat menjadi acuan untuk membuktikan


bahwa individu telah menempuh pendidikan secara formal di
institusi pendidikan dan mendapatkan gelar sesuai dengan
keahlian.
Karakteristik Perawat: Peran Perawat: Shift Kerja:
1. umur 1. Sebagai care giver 1. Pengertian shift
2. jenis kelamin 2. Sebagai clien advocate kerja
3. tingkat pendidikan 3. sebagai concelor 2. Jenis – jenis shift
4. masa kerja 4. sebagai educator kerja
5. status perkawinan. 3. Pembagian shift
5. Sebagai collabolator
Sumber: Kurniadi kerja
6. Sebagai coordinator
4. Faktor yang
(2013) 7. Sebagai consultant mempengaruhi
8. perawat sebagai shift kerja
change agent Sumber: Sugiono et al.
Fungsi Perawat:
(2018), Winarsunu
1. fungsi independent
2. fungsi dependent (2008)
3. fungsi interdependent
Sumber: Iskandar (2018) ,
Khairani & Suharto (2018)

Burnout:
Dimensi Shift Kerja:
1. Pengertian
Dimensi burnout burnout 1. Aktivitas kerja
pada perawat: 2. Faktor yang 2. Pola pergeseran
1. Exhaustion mempengaruhi 3. Waktu shift
2. Cynicism burnout 4. Durasi kerja
3. Ineffectiveness 3. Cara mencegah 5. Istirahat dalam
Sumber: Gunarsa burnout shift
(2004), (Mulawarman
& Antika, 2020) Sumber: Saleh Sumber: (Wagner,
(2018), 1988)
Mulawarman &
Antika (2020),

Kelelahan pada
Perawat

FEED BACK
Burnout Perawat

SKEMA 1 KERANGKA TEORI

Anda mungkin juga menyukai