TINJAUAN PUSTAKA
Agar bekerja shift tidak membahayakan bagi fisik dan kesehatan pekerja,
maka pemerintah membuat peraturan terkait pembagian shift kerja.
Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.
102/MEN/VI/2004 ketentuan jam kerja telah diatur menjadi 2 sistem, yaitu:
1) 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari
kerja dalam 1 minggu; atau 2) 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja
dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. Menurut Undang – Undang no 13 tahun
2003, menambahkan peraturan pembagian shift kerja bagi para pekerja, yaitu
bahwa shift kerja dibagi menjadi 3 periode, periode pagi sampai sore, periode
sore sampai malam, dan periode malam sampai pagi (Sugiono et al.,
2018:135).
Adapun faktor resiko menurut Maslach dan Leiter (2016 dalam Saleh,
2018:32) pada buku "Stress: Concepts, Cognition, Emotion, And Behavior -
Burnout", menjelaskan bahwa faktor resiko burnout terdiri dari 6 domain,
yakni:
D. Dimensi Burnout
Dimensi burnout sejak lama sudah diungkapkan oleh Maslach dan Laiter
(1997 dalam Gunarsa, 2004:368) yang terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu
dimensi exhaustion, cynicism dan ineffectiveness. Untuk memahami dari
masing – masing dimensi tersebut, maka dapat dijabarkan:
1. Exhaustion
Dimensi burnout satu ini biasanya dapat terlihat dari orang yang
merasakan rasa lelah yang berkepanjangan, baik secara fisik, mental dan
emosional. Menurut Bakker & Schaufeli et al. (2001 dalam Gunarsa,
2004) mengatakan bahwa gejala – gejala yang telah disebutkan adalah
tanda asli dari burnout.
2. Cynicism
Biasanya dimensi cynicism dapat diketahui adanya perasaan sinis
terhadap orang – orang di tempat kerjanya, bahkan biasanya orang yang
menderita burnout pada dimensi ini mulai menarik diri dan membatasi
dirinya untuk berinteraksi atau bersosialisasi dengan sesama rekan
kerjanya.
3. Ineffectiveness
Pada dimensi ini biasanya disebabkan oleh beban kerja yang terlalu
banyak, sehingga pekerja merasa dirinya tidak mampu lagi untuk
melalukan pekerjaan dan merasa bahwa pekerjaan yang diberikan
kepadanya terlalu sulit untuk diselesaikan.
Dimensi burnout juga dijelaskan oleh beberapa penelitian yang sudah
dilakukan, salah satunya adalah menurut Morgan (2016) mengeluarkan
gagasan terkait dimensi burnout yang dijabarkan menjadi kelelahan
emosional, depersonalisasi dan prestasi diri menurun. Adapun menurut
Jacobs (2003) menjelaskan dimensi burnout dibagi menjadi exhaustion
(kelelahan emosional), depersonalization (depersoalisasi), dan reduced
personal accomplishment. Sedangkan Zhang (2007) mengatakan bahwa
dimensi burnout terdiri dari exhaustion, cynicism dan ineffectiveness.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka burnout syndrome dapat dibagi
berdasarkan 3 dimensi (Mulawarman & Antika, 2020), yaitu:
1. Exhaustion (Kelelahan)
Dimensi ini biasanya diawali dengan melakukan pekerjaan secara
berlebihan atau menghabiskan waktu yang cukup banyak pada suatu
pekerjaan yang akhirnya membuat tubuh terus menerus merasa lelah.
Menurut Aro (2009 dalam Mulawarman & Antika, 2020:43) exhaustion
biasanya mengarah pada perasaan tegang, perasaan lelah yang
berkepanjangan, merasa tertekan, mengalami gangguan tidur, adanya
rasa khawatir yang berlebihan. Exhaustion menyebabkan seseorang
merasakan adanya gangguan emosional dan fisik secara berlebihan, hal
yang dikhawatirkan ketika seseorang mengalami burnout akibat stress
adalah menjadi orang yang penutup dan bahkan menjauhi interaksi sosial
nya. Nurwangid, Purwanti, dan Fathiyah (2010 dalam Mulawarman &
Antika, 2020:44) menjelaskan bahwa salah satu gejala yang dapat dilihat
bahwa seseorang mengalami kelelah secara fisik adalah sakit kepala,
mual dan muntah, insomnia, bahkan sampai kehilangan nafsu makan.
2. Depersonalization (Depersonalisasi)
Dimensi ini ditandai dengan perasaan yang menganggap bahwa orang –
orang atau benda disekitarnya hanya bayangan dan tidak nyata. Biasanya
orang dengan depersonalisasi menganggap orang disekitarnya dengan
meremehkan atau dengan tatapan sinis dan juga tidak ada rasa empati
terhadap rekan kerjanya.
Menurut Maslach dan Laiter (Mulawarman & Antika, 2020:44), salah
satu yang dapat dilihat dari dimensi depersonalisasi adalah perasaan sinis
yang ditemui adanya sikap dingin dan membatasi diri dari pekerjaan dan
sesama rekan kerjanya. Nurwangid, Purwanti, dan Fathiyah (2010 dalam
(Mulawarman & Antika, 2020:45) juga menuturkan bahwa
depersonalisasi adalah perasaan lelah secara emosional, biasanya hal-hal
yang dapat terlihat yaitu bahwa adanya emosi yang labil, perasaan terlalu
sensitif terhadap keadaan, mudah emosi, dan mudah tersinggung.
3. Inefficacy
Maslach dan Laiter menuturkan hal yang dapat terlihat dari dimensi
inefficacy adalah bahwa pekerja merasakan bahwa dirinya tidak mampu
(Mulawarman & Antika, 2020). Jika seseorang merasa bahwa dirinya
tidak memiliki rasa percaya diri, maka dapat menyebabkan rasa percaya
pada orang lain pun tidak ada.
Gejala – gejala lain yang dapat dilihat dari dimensi burnout ini adalah
tidak ada rasa percaya terhadap diri sendiri, merasa tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan baik, segan untuk berkomunikasi
dengan rekan kerja, tidak pernah merasa puas terhadap apa yang sudah
dikerjakan.
I.2 Perawat
A. Definisi Perawat
Perawat berasal dari kata latin, yaitu “nutrix” yang artinya merawat atau
memelihara. Menurut Harlley Cit ANA (2000 dalam Iskandar, 2018:26)
perawat adalah orang yang bekerja untuk merawat, melindungi, menjaga
seseorang yang memiliki penyakit ataupun orang yang terkena penyakit.
Pendapat lain mengatakan bahwa perawat adalah seseorang yang telah
dinyatakan lulus dari perguruan tinggi yang diakui oleh pemerintah dan
sesuai peraturan perundang-undangan (UU No 38 tahun 2014 tentang
keperawatan dalam Iskandar, 2018:26). Dikutip dari Depkes RI (2002 dalam
Iskandar, 2018:26) seorang perawat yang professional yaitu perawat yang
dapat bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan mampu
berkolaborasi dengan para pemberi asuhan kesehatan yang lain.
Sedangkan definisi lain dari perawat adalah seseorang yang telah
menyelesaikan pendidikan keperawatan dan mempunyai izin untuk bekerja
sebagai perawat serta memiliki kompetensi untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada individu baik sehat ataupun sakit dan membantu
kebutuhan klien mulai dari bio – psiko – sosio dan spiritual tanpa membeda –
bedakan jenis kelamin, ras ataupun suku (Khairani & Suharto, 2018:71)
B. Peran Perawat
Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai dengan kode etik keperawatan.
1. Care giver (pemberi asuhan keperawatan)
Peran perawat disini adalah memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien, keluarga atau kelompok, mulai dari kebutuhan dasar sampai
tindakan keperawatan yang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan dan
diagnosa penyakit ataupun diagnosa keperawatan yang telah diambil
melihat dari masalah fisik atau psikis pasien, contohnya seperti memberi
makan, memandikan pasien, memberi obat, menyuntik atau mengganti
infus.
2. Clien advocate (pembela klien)
Peran perawat sebagai pembela klien belum banyak dijumpai di
pelayanan kesehatan, peran utama perawat sebagai advocate adalah
memberikan informasi kepada klien ataupun keluarga agar tidak ada
kesalahpahaman dalam pemberian informasi, melindungi hak – hak klien
selama menjalani pelayanan kesehatan dirumah sakit, mengambil
tindakan keperawatan yang tepat agar tidak terjadi kesalahan atau
kecelakaan dalam memberikan asuhan keperawatan.
3. Concelor (pembimbing)
Konselor berfungsi memberikan konseling ataupun penyuluhan kepada
individu dan keluarga terkait pengalaman masa lalu dalam melewati
masalah kesehatan, berdiskusi dengan klien dan memberikan saran
sebagai salah satu cara mengurangi masalah kesehatan saat ini.
4. Educator (pendidik)
Perawat juga berperan sebagai pendidik, hal yang dapat dilakukan oleh
perawat adalah memberikan edukasi atau pendidikan terkait masalah
kesehatan klien, mulai dari pengobatan sampai cara pencegahan. Perawat
juga dapat memberikan edukasi kepada keluarga atau komunitas yang
bersangkutan dengan klien yang memiliki resiko terjadinya masalah
kesehatam.
5. Collabolator (kerjasama)
Perawat juga harus mampu berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang
lain, seperti dokter, ahli gizi, farmasi, fisioterapis dan lain – lain.
Kolaborasi diperlukan untuk memberikan pelayanan yang maksimal guna
kesembuhan klien.
6. Coordinator
Perawat mampu memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada di rumah
sakit, mulai dari sumber daya manusia sampai materi, guna meningkat
pelayanan kesehatan kepada klien, hal ini juga harus diinformasikan
kepada klien mengenai sarana kesehatan yang ada di pelayanan
keperawatan.
7. Change agent
Perawat diharapkan dapat melakukan pembaharuan atau berinovasi
dengan melibatkan klien dan keluarga dalam perencaan dan tidakan
keperawatan agar klien dan keluarga mampu meningkatkan derajat
kesehatannya.
8. Consultant
Perawat mampu memberikan informasi dengan jelas kepada klien
mengenai tindakan keperawatan yang akan diberikan.
C. Fungsi Perawat
Fungsi perawat dilakukan sejalan dengan peran perawat, yang dimana fungsi
dan peran perawat dapat berubah melihat dari kondisinya. Perawat memiliki
tiga fungsi, yaitu fungsi independent, fungsi dependen dan fungsi
interdependen.
1. Fungsi independent
Perawat melakukan tindakan keperawatan atas dasar inisiatif diri sendiri,
tindakan keperawatan mandiri bisa dilakukan mulai dari kebutuhan dasar
pasien, seperti kebutuhan fisik (memberi makan, memandikan pasien),
pemenuhan rasa aman dan nyaman, pemenuhan rasa dicintai dan
mencintai, peningkat harga diri klien selama mengalami masalah
kesehatan, dan aktualisasi diri.
2. Fungsi dependent
Yaitu tindakan yang dilakukan atas intruksi atau order dari dokter, atau
pun dari perawat ke perawat lain, misalnya seperti tindakan pemberian
injeksi antibiotik menurut order dokter.
3. Fungsi interdependent
Interdependent yaitu melakukan tindakan bersama antar profesi
kesehatan, adanya tumpang tindih pertanggung jawaban. Fungsi
interdependent biasanya dilakukan kepada klien yang mengalami
masalah kesehatan yang kompleks, dan membutuhkan tindakan yang
lebih spesifik.
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Masa kerja
d. Status Perkawinan
e. Tingkat Pendidikan
Burnout:
Dimensi Shift Kerja:
1. Pengertian
Dimensi burnout burnout 1. Aktivitas kerja
pada perawat: 2. Faktor yang 2. Pola pergeseran
1. Exhaustion mempengaruhi 3. Waktu shift
2. Cynicism burnout 4. Durasi kerja
3. Ineffectiveness 3. Cara mencegah 5. Istirahat dalam
Sumber: Gunarsa burnout shift
(2004), (Mulawarman
& Antika, 2020) Sumber: Saleh Sumber: (Wagner,
(2018), 1988)
Mulawarman &
Antika (2020),
Kelelahan pada
Perawat
FEED BACK
Burnout Perawat