Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Sistem Muskuloskeletal
1. Pengertian Sistem Muskuloskeletal
Sistem muskuloskeletal adalah suatu sistem yang terdiri dari tulang,
otot, kartilago, ligamen, tendon, fascia, dan persendian (Depkes, 1995; 3).
Muskuloskeletal adalah sistem kompleks yang merupakan penunjang bentuk
tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan melibatkan otot-otot dan
kerangka tubuh, dan termasuk sendi, ligamen, tendon, dan saraf.

2. Anatomi Sistem Muskuloskeletal


Kerangka pada bagian tubuh manusia terdapat dua bagian yakni
kerangka aksial yang berguna untuk membentuk sumbu tubuh dan kerangka
apendikular yang berguna sebagai pendukung anggota badan. Kerangka
apendikular terdiri dari tulang pada lengan, kaki, bahu, dan juga panggul.
Sedangkan, otot dan ligamen berfungsi sebagai pengikat atau penghubung
tulang-tulang pada tubuh manusia. Jaringan fibrosa ikat fibrosa yang ada pada
ototlah yang sangat berperan dalam penyatuan tulang.

3. Ruas Tulang Belakang


Terdapat 33 tulang dengan bentuk tidak beraturan pada tulang
belakang. Ruas-ruas tulang belakang dihubungkan satu sama lain oleh sendi
yang sangat kecil. Sendi tersebut memungkinkan gerakan dan memberikan
stabilitas pada tulang belakang. Di antara ruas-ruas tulang belakang terdapat
bantalan tulang rawan yang bekerja sebagai peredam kejut.
Ruas-ruas tulang belakang memiliki sedikit perbedaan bentuk,
tergantung letaknya. Tujuh ruas pada leher (tulang leher) lebih kecil
dibandingkan ruas tulang belakang lainnya. Kondisi tersebut memungkinkan
lebih banyak gerakan. Tulang punggung atas terdiri dari 12 ruas tulang
belakang yang memiliki sendi tambahan tempat melekatnya tulang rusuk.
Lima ruas tulang pinggang besar dan kokoh, karena area ini menanggung
sebagian besar berat dari tubuh kita. Sakrum terdiri dari lima ruas tulang
belakang yang menyatu. Sementara, tulang ekor terdiri dari tulang leher
belakangm tulang punggung atas, tulang pinggang (bagian belakang perut),
sacrum (tulang kelangkang) dan tulang tungging atau tulang ekor.

4. Otot
Otot adalah alat gerak aktif. Otot tersusun atas dua macam elemen
dasar, yaitu filament aktin dan filament myosin tebal. Kedua filament ini
membentuk myofibril. Otot memiliki kemampuan untuk berkontraksi. Apabila
sedang berkontraksi maka akan terjadi pemendekan otot namun apabila otot
sedang berelaksasi maka akan terjadi penunjangan otot.

B. Fraktur
1. Pengertian Fraktur
Menurut Mansjoer (2009) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Fraktur dapat dibagi menjadi: fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Fraktur fibula adalah
terputusnya hubungan tulang fibula (Helmi, 2012). Fraktur adalah gangguan
pada gangguan kontinuitas tulang (Pendit, 2006).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh,
kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang (Reeves, Charlene, 2001: 248). Tulang femur
merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar di dalam tulang kerangka pada
bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk kepala
sendi yang disebut kaput femoris (Syaifudin, 1992: 32).

2. Klasifikasi Fraktur
Menurut Doenges (2000: 761) fraktur dapat dibagi menjadi 150, tetapi lima
yang utama adalah:
a. Incomplete
Fraktur hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang. Salah
satu sisi patah; yang lain biasanya hanya bengkok (greenstik).
b. Complete
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat.
c. Tertutup (Simple)
Fraktur tidak meluas melewati kulit.
d. Terbuka (Complete)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk
terjadi infeksi.
e. Patologis
Fraktur terjadi pada penyakit tulang dengan tak ada trauma atau hanya
minimal.

3. Etiologi Fraktur
Fraktur atau patah tulang dapat terjadi karena beberapa penyebab. Para
ahli juga telah merumuskan beberapa hal sebagai penyebab fraktur tersebut,
diantaranya adalah dikemukakan oleh Helmi (2012) adalah:
a. Fraktur akibat peristiwa traumatik
Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan
kekuatan yang besar.
b. Fraktur patologis
Disebabkan oleh kelainan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis
di dalam tulang.
c. Fraktur stress
Fraktur terjadi bila interupsi dari kontinuitas tulang, biasanya fraktur
disertai cedera jaringan di sekitar ligament, otot, tendon, pembuluh
darah dan persyarafan. Tulang yang rusak mengakibatkan periosteum
pembuluh darah pada korteks dan sumsum tulang serta jaringan lemak
sekitarnya rusak. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai
melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera. Tahap ini
merupakan tahap awal pembentukan tulang. Berbeda dengan jaringan
lain, tulang dapat mengalami regenerasi tanpa menimbulkan bekas
luka.
Menurut Apley & Solomon (1995: 239), etiologi yang menyebabkan fraktur
adalah sebagai berikut:
a. Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba
dan berlebihan, yang dapat berupa pukulan, penghancuranm
penekukanm penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang patah
pada tempat yang terkena dan jaringan lunak pun ikut rusak.
b. Kelelahan atau tekanan berulag-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan
benda lain, akibat tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling
banyak ditemukan pada tibia fibula, terutama pada atlit dan penari.
c. Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Faktor dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu
lemah atau tulang itu sangat rapuh.

4. Patofisiologi Fraktur
Fraktur terjadi bila interupsi dari kontinuitas tulang, biasanya fraktur
disertai cedera jaringan disekitar ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan
persyarafan. Tulang yang rusak mengakibatkan periosteum pembuluh darah
pada korteks dan sumsum tulang serta jaringan lemak sekitarnya rusak. Ketika
terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera. Tahap ini merupakan tahap awal pembentukan tulang.
Berbeda dengan jaringan lain, tulag dapat mengalami regenerasi tanpa
menimbulkan bekas luka.

5. Manifestasi Klinis Fraktur


Menurut Apley & Solomon (1995: 244), manifestasi klinis yang
muncul pada fraktur:
a. Kelemahan pada daerah fraktur,
b. Nyeri bila ditekan atau bergerak,
c. Krepitasi,
d. Deformitas,
e. Perdarahan (eksternal atau internal), dan
f. Syok

6. Proses Penyembuhan Fraktur


Proses penyembuhan fraktur menurut Apley & Solomin (1995: 240),
adalah sebagai berikut:
a. Tahap Pembentukan Hematom
Dimulai setelah fraktur hari ke 5 (lima) terjadi perdarahan,
dalam 24 jam pertama terbentuk darah dan fibrin yang masuk ke daerah
fraktur, setelah 24 jam pertama, suplai darah meningkat ke daerah
fraktur dan terbentuk hematom. Hematom bekembang menjadi jaringan
granulasi.
b. Tahap Proliferasi Seluler
Proses ini terjadi sampai hari ke 12 (dua belas). Pada area
fraktur, periosteum endosteum dan sum-sum tulang yang mensuplai sel,
berubah menjadi fibro kartilago, kartilago hialan dan jaringan
penunjang, fibrosa terjadinya osteogenesis dengan cepat.
c. Tahap Pembentukan Kalus
Enam sampai sepuluh hari setelah cedera, jaringan granulasi
berubah menjadi bentuk prakalus, prakalus menjadi puncak ukuran
maksimal pada 14 (empat belas) – 21 (dua puluh satu) hari setelah
cedera.
d. Tahap Osifikasi Kalus
Ini terjadi sampai minggu ke 12 (dua belas). Membentuk
osifikasi dan kalus intermediate pada minggu ke 3 (tiga) sampai 10
(sepuluh) kalus menuutupi tulang.
e. Tahap Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoblas dan osteoklast, kalus mengalami
pembentukan tulang dengan bentuk aslinya.

7. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Henderson (1997), Bruner dan Suddarth’s
(1995) adalah:
a. Syok,
b. Infeksi,
c. Nekroses vaskuler,
d. Malonian,
e. Non union,
f. Delayed union,
g. Kerusakan arteri,
h. Sindroma kompartemen,
i. Sindroma emboli lemak.

8. Penatalaksanaan Fraktur
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu:
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha/tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti
letak asalnya.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan.
Pemeriksaan penunjang dari fraktur menurut Buku At a Glance Ilmu Bedah
Ed. 3, yaitu:
a. Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada
korteks tulang),
b. Tomografi, CT Scan, dan MRI
c. Ultrasonografi (USG) dan scan tulang dengan radiostop. (Scan tulang
terutama berguna ketika radiografi/CT Scan memberikan hasil negatif
pada kecurigaan fraktur secara klinis).

DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/21047/14/02Naskah_Publikasi.pdf

http://eprints.ums.ac.id/16698/2/BAB_I.pdf

https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/ce14eb22899d90a83d801e5d74ff6e3f.pdf

Grace, Poerce A dan Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Ed. 3. Jakarta Timur:
Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai