Anda di halaman 1dari 8

BAB IX KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA A. Agama Islam Merupakan Rahmat Bagi Seluruh Alam.

B. Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama

BAB IX KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA alam memberikan batasan pengertian kerukunan antar
umat beragama maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian kerukunan, sehingga mengetahui
tentang apa yang dimaksud dengan kerukunan umat beragama akan tergambar secara umum. Keru-
kunan berasal dari kata rukun yang berawalan "ke" dan berakhiran "an". Kata "rukun" berarti baik,
damai, perihal hidup rukun, keragaman perasaan rukun. Kata terserap dari bahasa Arab yaitu ar-rukn
yang artinya tiang. Oleh sebab itu, kerukunan adalah tiang keberlangsungan suatu masyarakat.
Kerukunan merupakan serangkai- an dari bagian-bagian yang tercermin dalam melaksanakan aktivitas
kehi- dupan, kerukunan itu dapat tercipta di tengah anggota masyarakat bila saling pengertian. Dengan
demikian kerukunan merupakan kesatuan masyarakat dalam melaksanakan ajaran agama dengan tidak
meng- ganggu pemeluk agama lain dalam melaksanakan ajaran agamanya. Sedangkan "umat" adalah
para penganut suatu agama atau pengikut

Nabi", misalnya umat Islam, Kristen, Hindu dan lain-lain, juga bisa berarti orang banyak atau khalayak.
Selanjutnya, agama adalah suatu kepercayaan Oe dianut oleh manusia dalam usahanya mencari hakikat
dari hidupnya dan yang mengajarkan tentang hubungan dengan Tuhan. A. AGAMA ISLAM MERUPAKAN
RAHMAT BAGI SELURUH ALAM Secara bahasa, Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari asal kata
salima yang berarti selamat sentosa, damai dan sejahtera. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang
artinya memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, patuh dan
taat. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang mengandung ajaran
untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kehidupan manusia pada khususnya
dan semua makhluk Allah pada umumnya, serta penyerahan diri, mentaati dan mematuhi ketentuan-
ketentuan Allah. Menurut ajaran Islam, manusia diberikan amanat oleh Allah untuk menjadi khalifah-
Nya di bumi. Di antara misinya adalah menciptakan kemaslahatan bagi sesama makhluk Allah. Artinya,
setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus memberikan kebaikan dan tidak boleh merugikan atau
menyakiti pihak lain dengan cara menegakkan aturan Allah. Itulah wujud rahmat dari agama Islam
sebagaimana dinyatakan ojeh Allah dalam Alquran pada surah al-Anbiya'ayat 107 ketika menjelaskan
misi Rasulullah untuk menyampaikan agama Islam bagi umat manusia: Dan tidaklah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Kahmat adalah kasih sayang, kasih sayang
sesama pribadi, keluarga, masyarakat, dan sesama makhluk. Rambu-rambu kasih sayang itu telah diatur
oleh Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
B. KEBERSAMAAN DALAM PLURALITAS BERAGAMA 1. Manusia sebagai Makhluk Sosial Manusia sebagai
makhluk sosial tidak pernah dapat hidup sendirian, ia membutuhkan hubungan dengan orang lain dalam
kehidupan kemasya- rakatan. Dalam masyarakat pluralisme seperti di Indonesia hubungan- hubungan
antar kelompok masyarakat yang berbeda adat maupun agama tidak bisa dihindarkan. Karena ajaran
Islam sangat penting sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Agama sebagai sesuatu yang
mendasar dalam kehidupan seseorang seringkali menjadi kendala dalam hubungan antar masyarakat
yang berlainan agama, sehingga terjadi konflik antar pengikut suatu agama dengan agama lain. Untuk
itu, agama Islam memberikan tuntunan internal sesama umat Islam dan tuntunan eksternal bersikap
dengan penganut agama lain. 2. Hubungan antar umat beragama a. Hubungan Internal Umat Islam
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam
Islam. Ukhuwah pada mulanya berarti "persamaan dan keserasian dalam banyak hak". Karenanya
persamaan dalam iman mengakibatkan persaudaraan. Alquran menyebutkan kata yang mengandung
arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan,
keluarga, masyarakal, bangsa dan agama. Masyarakat muslim mengenal istilah Ukhuwah Islamiyyah.
Istha ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwe tidak mengalami kerancuan.
Untuk itu lebih dahulu perlu dilakuka tinjauan kebahasan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah.
Sekin

ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna "persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim", atau
dengan kata lain, "persaudaraan antar sesama muslim", sehingga dengan demikian, kata "Islamiah"
dijadikan pelaku ukhuwah itu. Pemahaman ini benar, namun bisa juga bermakna elaboratif uri ana yang
disebutkan itu. Kata Islamiah yang dirangkaikan dengan bita ukhuwah bisa dipahami sebagai adjektifa
(kata sifat), sehingga ukhuwah velamiah berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan
Islam". Ukhuwah yang Islami dapat dibagi kedalam empat macam, yaitu: Pertama, ukhuwah 'ubudiyyah
atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah. Kedua, ukhuwah insaniyyah (basyariyyah)
dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah
dan ibu yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ketiga, ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu
persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Keempat, ukhuwah fi din al-Islam, persaudaraan antar
sesama muslim. Oleh karena itu, faktor penting lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit
adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh persaudaraan. Persamaan rasa dan cita
merupakan faktor dominan mendahului lahirnya persaudaraan hakiki. Nabi saw. menggambarkan
eratnya hubungan muslim dengan muslim sebagaimana anggota tubuh dengan anggota tubuh lainnya,
jika salah satu anggota tubuh terluka, maka anggota tubuh lainnya merasakan sakit. Perumpamaan
tersebut mengisyaratkan hubungan yang erat antar sesama muslim. Karena itu persengketaan antar
muslim berarti mencederai wasiat Rasul yang saw. Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum
dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi enab
perpecahan umat. Hal yang menjadi sebab perpecahan pada umumnya Dukanlah hal yang bersifat
mendasar. Perpecahaan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaaan pandangan di kalangan muslim
terhadap uatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat Islam misalnya eringkali terjadi perbedaan
pendapat dan penafsiran mengenai sesuatu
hukum yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau mazhah Perbedaan pendapat dan
penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi, karena itu menyikapi
perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran. Untuk menghindari perpecahan di
kalangan umat Islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep: 1.
Konseptanawwu'al-ibadah (keragaman cara beribadah), yang mengantar kepada pengakuan akan
adanya keberagaman yang dipraktekkan Nabi saw, dalam bidang furu', sehingga semua diakui
kebenarannya, dengan catatan sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw. 2. Konsep al-mukhti' fi al-ijtihad
lahu ajr (yang salah dalam ber-ijtihad pun mendapat ganjaran satu pahala). Konsep ini mengandung arti
bahwa selama seseorang mengikuti pendapt seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi
ganjaran oleh Allah, walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Wewenang untuk menentukan
yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah swt. yang baru akan diketahui di hari akhir.
Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang
pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritas keilmuan yang disampaikannya setelah
melalui ijtihad. Perbedaan- perbedaan dalam produk ijtihad yang dilakukan ahlinya adalah sesuatu yang
wajar, karena ituperbedaan yang ada hendaknyatidakmengorbankan ukhuwah islamiah yang terbina di
atas landasan keimanan yang sama. 3. Konsepla hukma lillah qabla ijtihadal-mujtahid (Allahbelum
menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahd). Konsep ini dapat kita
pahami bahwa persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam Alquran
maupun Sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat Islam,
khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang
dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-
beda.

Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Is- hum mentolelir adanya perbedaan
dalam pemahaman maupun pengalaman. Zat yang mutlak itu hanyalah Allah dan firman-firman-Nya,
sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif, karena itu sangat dimungkinkan untuk
terjadi perbedaan. b. Hubungan Antar Umat Beragama Agama Islam ditujukan untuk manusia dengan
segala keberagamannya, karena itu ajaran Islam tidak melarang umatnya untuk berhubungan muamalat
dengan agama yang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan
keadilan termasuk terhadap orang-orang non Muslim. Dalam masyarakat sekarang ini hubungan antar
pemeluk agama yang berbeda-beda tidak bisa dihindarkan dalam bidang sosial, ekonomi, politik
maupun budaya. Bagi umat Islam hubungan ini tidak menjadi halangan. Sepanjang dalam kaitan sosial
kemanusiaan atau muamalah. Bahkan, dalam berhubungan dengan mereka umat Islam dituntut untuk
menampilkan prilaku yang baik, sehingga dapat menarik mereka untuk mengetahui lebih banyak
tentang ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin itu. Dalam sejarah Rasul kita dapat menemukan bahwa
banyak orang- orang yang kafir masuk ke dalam agama Islam disebabkan kesantunan prilaku
pemeluknya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari misi Islam yang disebut da'wah bi al-hal
(mengajak dengan tingkah laku). Dalam hubungan dengan umat beragama lain yang harus diperhatikan
alah hendaknya seorang muslim tetap menjaga keyakinan ('aqidah), attu meyakini bahwa hanya agama
Islamlah yang diridai oleh Allah dan agama yang bertauhid secara murni. Ini berarti bahwa hubungannya
gan pihak lain tidak sampai membenarkan keyakinan mereka, atau ng tukar keyakinan. Tetapi tetap
menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing sebagaimana yang disebutkan di dalm Alquran:

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku." merupakan wujud dari kasih sayang seorang muslim yang
universal dan proporsional. Kasih sayang pada dasarnya merupakan prinsip dasar Penghormatan
terhadap orang lain yang berbeda pada dasarnya dari ajaran agama Islam yang mendorong umatnya
agar terus menerus mengembangkan dan menebarkan rahmat ke seluruh manusia bahkan kepada alam
secara keseluruhan. 3. Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama Pluralitas berasal dari bahasa Inggris,
plural, antonim dari kata sungular. Secara generik ia berarti kejamakan atau kemajemukan. Dengan kata
lain, ia adalah kondisi objektif dalam suatu masyarakat yang terdapat di dalamya sejumlah kelompok
saling berbeda, baik strata ekonomi, idiologi, keimanan, maupun latar belakang etnis. Terma ini pada
awalnya hanya dipahami secara etimologis dan tidak memiliki konotasi terminologis dan idiom khusus
secara filosofis dan sosiologis. Namun belakangan, pluralitas menjadi diskursus intelektual dari kedua
perspektif tersebut. Muhammad Imarah menjelaskan bahwa pluralitas adalah kemajemukan yang
didasari oleh keutamaan, keunikan dan kekhasan. Pluralitas merupakan keragaman yang terdiri dari
parsial-parsial yang berbeda antara satu dengan lainnya. Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud atau
terbayangkan eksis-tensinya kecuali sebagai anti tesa atau komparasi dari keseragama dan kesatuan
yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak pula dapat dipahami sebagai sesuatu yang "cerai-
berai" dan "permusulian
tanpa mempunyai tali persatuan yang mengikat dan merangkum semua bagian atau pihak." Pluralitas
adalah keragaman dalam sebuah wujud persatuan. Ke- ragaman, keunikan, dan parsial itu merupakan
realitas yang tak ter- bantahkan. Secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang
saling berbeda dan mengikatkan dirinya antara satu dengan lainnya. Suatu bangsa terdiri dari suku-suku
yang beraneka ragam, masyarakat terdiri dari kelurga-keluarga yang berlainan, keluarga itu sendiri
terdiri dari individu-individu yang tidak sama, semuanya menunjukkan adanya perbedaan, keragaman
dan keunikan, namun tetap dalam satu persatuan. Perbedaan-perbedaan individu melebur menjadi satu
kesatuan keluarga, keragaman keluarga melebur ke dalam satu ikatan sosial, keanekaan suku-suku
terangkum dalam satu bangsa dan masyarakat dunia. Keseluruhan parsialitas itu adalah bagian dari
bangunan pularalitas. Ia adalah wujud terbesar dari bagian-bagian parsialitas tersebut. Jika keragaman
dari sistem kehidupan manusia terpulang kepada oatu naungan kesatuan, maka manusia sebagai salah
satu makhluk dari Derbagai makhluk yang ada kembali kepada satu rangkuman, yaitu Dukti keesaan
Tuhan. Manusia, malaikat, jin, Arasy, binatang dan kosmos, adalah makhluk-makhluk berbeda yang
menyatu sebagai ciptaan Tuhan Tang Maha Esa. Beranjak dari deskripsi ini, maka secara teologis
pluralitas Muhammad Imarah al-Islam wa Ta'addudiyah; al-Ikhtilaf wa Tanawwu'fi Itari al-Wihdah, terj.
Abdul Hayyie Al-Kattani, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,
Gema Insani Press, 1997, h. 9.

dapat diyakini sebagai sunatullah. Artinya, adanya suatu keniscayaan bersifat natural yang telah
ditetapkan (ditakdirkan) dan digariskan oleh Allah swt. untuk senantiasa berlaku dalam perputaran
kosmos (dunia). Ketika pliralitas dipahami sebagai sunatullah maka pengingkaran terhadap pluralitas
adalah kejahilan terhadap sunatullah itu sendiri. Dalam istilah disiplin ilmu tauhid, keragaman ini adalah
iradah kauniyah Allah swt. kendatipin iradah syar'iyah-Nya menghendaki adanya persatuan di dalam tali
Allah. Dengan demikian, upaya menyeragamkan manusia ke dalam satu pandangan, sistem, cara, prilaku
keyakinan, dan kehidupan secara mutlak tnapa memahmi iradah kauniyah adalah usaha yang sia-sia dan
bertentangan dengan ketetapan-Nya. Hal itu hanyalah membawa kepada kesia-siaan dan kegagalan
serta keputusasaan. Namun, dakwah ke arah persatuan dalam tauhid tersebut harus dilakukan dalam
kesadaran bahwa itu hanya sebagai tanggungjawab syariyah manusia yang dilakukan semampunya
dengan tidak memaksakan keyakinan dan kehendak. Termasuk di dalam hal ini untuk memaksakan
keyakinan agama kepada orang lain. Sunnguh, Maha Benar Allah yang memfirmankan surah al- Kafirun
sebagaimana yang telah kita kemukakan sebelumnya. diri-Nya adalah nisbi dan relatif. Dia adalah
sumber kejamakan, keragaman dan parsialitas. Meyakini adanya hakikat ketunggalan pada zat selain
Zat-Nya merupakan kemusyrikan. Dengan demikian, keyakinan adanya pluralitas bagi makhluk adalah
bagian dari iman kaum Muslim. Berdasarkan hal ini, maka dapat dipastikan bahwa meyakini adanya
pluralitas memiliki dasar teologis dalam Islam. Dalam Islam, ketunggalan diyakini hanya ada pada zat
Allah, selain Kerangka, pluralitas dalam pandangan Islam, dipahami sebagai satu ayat (tanda kekuasaan)
dari ayat Allah yang tidak tergantikan. Ayat-ayat tersebut berdiri di atas kekuasaan Allah untuk
kemaslahatan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, eksistensi manusiaan yang terkandung dalam ayat-
ayat tersebut merupakan faktor penyatu; dan perbedae adalah kemajemukan dalam kerangka kestuan
ini (avat Tuhan). Tidak ada satu dimensi pun dipandang maslahat kecuali dengan adanya dimensi yang
lainnya. Tidak ada artinya dakwah kalau umat ini satu dalam keyakinan dan satu dalam semua keadaan.
Dengan keragaman k

maka terjadi interaksi dan saling kenal, dialog, dan dakwah yang terus laku di antara kelompok umat
yang berbeda dalam kehadiran yang melingkupinya. Dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surah ar-
Rum ayat 22-23: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
mendengarkan." Salah satu penafsiran terhadap lafal "alsinatikum" (lida-lidah kamu) adalah perbedaan
anggota pengucap dari suatu individu, yaitu adanya perbedaan bahasa, dialek, getaran suara, bentuk
tubuh manusia, sidik jari tidak ada yang sama persis. Keseluruhan ini merupakan ayat Tuhan yang pasti.
Dalam hal ini Zamakhsyari mengatakan bahwa pluralitas tersebut merupakan satu ayat dari ayat Allah
yang mencakup jenis peng- licapan, sehingga tidak ada dua pengucapan dari dua orang manusia yang
sama desahnya, kerasnya, ketajaman suaranya, kelembutannya, kefasihannya, dialeknya, susunan
katanya, gaya bicaranya, dan hal- fnal lain yang menyebabkan antara satu manusia dengan manusia lain
memiliki keunikan tersendiri. Dalam perspektif sosiologis, pluralitas masyarakat yang ditandai auanya
perbedaan ras, klasifikasi sosial seperti budaya dan agama, stratifikasi

seperti kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah adalah bagian dari satu keniscayaan sistem
masyarakat. Hal ini di- pandang sebagai bagian yang utuh yang memberi warna dan nuansa dinamis
dalam masya- rakat itu sendiri, baik masyarakat dalam lingkup sederhana maupun lingkup yang
kompleks. Manusia tanpa pluralitas kelas, kerja, pendapatan, tentunya menjadikan dunia ini sebagai
buana yang fakum tanpa dinamisasi. Dinamisasi adalah suatu kemestian yang dibutuhkan makhluk bumi
untuk mencapai tarap kehidupan yang diidealisasikan. Yaitu, peradaban yang dapat memakmurkan dan
mensejahterakannya lahir dan batin. Di sinilah umat Islam harus menunjukkan keunggulannya dari
umat- umat lain, yaitu menjadikan pribadi dan masyarakatnya menjadi umat terbaik dalam dinamisasi
tersebut. Pluralitas itu juga tercipta agar setiap individu, suku, bangsa, lebi mudah melakukan ikatan
sosial dan pengenalan antara satu dengan yang lain. Dalam relevansi ini Alquran menyatakan dalam
surah at- Hujurat ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
SLAM KATPAH: Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tingi 173 Jaki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha Mengenal." Ayat ini menegaskan bahwa
perbedaan, keragaman, atau pluralitas sosiologis antropologis, -yang digambarkan dengan penciptaan
manusia dari jenis laki-laki dan wanita, suku dan bangsa-, dijadikan untuk saling kenal-mengenal di
antara sesama manusia. Alquran menjadikan "kenal- mengenal" sebagai logika awal pluralitas manusia
di bumi ini.* Dari sini terbangunlah filsafat kemanusiaan yang universal, yaitu interaksi yang baik, yang
wujudnya untuk saling kenal mengenal sesama mereka. Secara filosofis, kenal-mengenal tersebut
tidaklah dipahami hanya sebatas literalitas, namun lebih dari itu, untuk saling mememahami karakter,
budaya, sikap, tingkah laku, antar sesama manusia. Pemahaman yang demikian menjadikan hubungan
antar manusia, budaya, peradaban, pemeluk agama saling pengertian. Pluralitas dan keragaman antara
suku, bangsa, budaya, dan dalam pemahaman kerangka kesatuan manusia menciptakan sikap- sikap
moderat bagi setiap individu dan masyarakat. Dalam kerangka ini maka terwujudlah keselarasan antar
kekhasan individual dan sosial yang dimiliki masing-masing dengan keutamaan, kelebihan, maupun
kekurangan dan kelemahannya. Berangkat dari hal ini, setiap pemilik kekhasan tersebut tidak perlu
menghilangkan identitas pribadi dan kelompoknya. miah yang diperankan dan dibangun oleh Nabi
Muhammad saw. di wadinah yang dikenal dengan Piagam Madinah. Kegagalan pluralitas belakangan di
Madinah bukan karena kegagalan Piagam Madinah tetapi Kegagalan Ahli Kitab waktu itu untuk mentaati
kesepakatan-kesepakatan ang ada di dalam piagam itu. Mereka melakukan pengkiyanatan atas
sepakatan ini. Hal ini menujukkan bahwa keseimbangan dan keharmonisan u harus dilakukan dan
disadari semua pihak, bukan hanya pemeluk Islam tetapi juga penganut-penganut agama lain. agama
amnd Imarah, op. cit., hlm 141.

Sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan manusia adalah terjadinya pergeseran-pergeseran
pada permukaan karakteristik pribadi maupun kelembagaan sosial akibat transformasi dan adaptasi.
Pergeseran-pergeseran akibat adaptasi, interaksi, akulturasi budaya, tidaklah menghilangkan substansi
pribadi individu dan sosial tersebut, tetapi seyogyanya berwujud sebagai pengayaan karakteristik ma
masing pihak untuk menuju kesempurnaan pribadi dan kelompokn Salah satu yang paling penting dalam
ranah pluralitas sosial a atas adalah sesuatu yang terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut
masyarakat. Pluralitas agama sangat berperan mewarnai sejarah kehidupan sosial, tidak terkecuali
masyarakat kontemporer, baik dalam skala kecil maupun skala besar, terutama di negara-negara yang
sangat mengedepan relegiusitas seperti Indonesia. Dalam masyarakat Indo. nesia ditemukan perbedaan
kepercayaan dan agama yang dianut penduduknya. seperti Islam, Kristen, Budha dan Hindu yang
masing-masing pemeluknya mengakui kebenaran agamanya. Perbedaan ini adalah bagian dari
konsekwens pluralitas agama yang terkait dengan sejarah masyarakat Indonesia dalam relevansinya
dengan masyarakat dunia. Keragaman agama, sebagaiman keragaman etnisitas suku dan bangsa, juga
dipahami dalam satu perspektif kemanusiaan yang hidup berdampingan dengan kekhasannya
membangun kehidupan bersama. Indonesia menjadi lebih unik dengan keunikan-keunikan agama yang
dianut oleh penduduknya tersebut. Keunikan-keunikan ini, bukanlah ancaman terhadap pemeluk agama
yang satu bagi eksistensi agama yang lainnya, tetapi akan lebih memperjelas keunikan tersendiri bagi
masing-masing pemeluknya. Dengan demikian, agama yang dianut oleh seorang pemeluknya menjadi
identitas pribadinya sekaligus cerminan kesucian agamanya. Dalam hal ini, maka diperlukan dinamisasi
dalam perlombaan menjadikan masing-masing pribadi dan kelompok menjadi yang terbaik tanpa
mereduksi ajaran agamanya. Catatan bagi kaum muslim bahwa lovalitas internal (al-wald) harus
dibangun dari persaudaraan seiman yang mentauhidkan Allah swt. Inilah persaudaraan hakiki di dunia
dan di akhirat yang dilegiu Alquran. Sementara persaudaraan sesama manusia adalah persaudaraan
yang nisbi untuk dunia semata yang juga harus diwujudkan nuntuk

tujuan perdamaian. Al-Bara' (pelepasan loyalitas keimanan) harus dipahami bagian dari wujud keimanan
terhadap Allah yang menurunkan Alquran dan mengutus Muhammad saw. untuk mejelaskan syariat
Allah. Oleh sebab itu, cinta kasih keislaman harus dipupuk sesama kaum muslim dan hanya untuk kaum
muslim. Cinta kasih sesama manusia harus di- wujudkan dalam batasan-Obatasan yang dibenarkan
syariat Allah swt.

Anda mungkin juga menyukai