Sriwijaya
Kadatuan Sriwijaya
← →
600-an–1100-an
← →
Agama Buddha
Vajrayana,Buddha
Mahayana,Buddha
Hinayana,Hindu
Pemerintahan Monarki
Maharaja
Sejarah
- Invasi Dharmasray
a 1100-an
Warning: Value specified
for "continent" does not
comply
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Catatan sejarah
2 Pembentukan dan pertumbuhan
3 Agama
4 Budaya
5 Perdagangan
6 Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari
7 Hubungan dengan wangsa Sailendra
8 Hubungan dengan kekuatan regional
9 Masa keemasan
10 Masa penurunan
11 Struktur pemerintahan
12 Raja yang memerintah
13 Warisan sejarah
14 Catatan bawah
15 Rujukan
o 15.1 Bacaan Lanjutan
16 Pranala luar
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. [8] Kerajaan ini menjadi
pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas
kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi
untuk populasiMadagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan
kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, [16] selain itu kemungkinan kerajaan ini
biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap
diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah
oleh datusetempat.[17][18]
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti
Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta
Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa
Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk
menulis prasasti ini.[19] Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
[2]
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka,
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung,
hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan
ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya,
peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagaradi Jawa Barat dan Holing
(Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20] Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. [2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan
di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan
berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan.[2] Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode
792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak
melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di
Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah
yang selesai pada tahun 825. [2]
Agama[sunting | sunting sumber]
Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang,
Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.
Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
“ mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah
berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok
akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-
naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2
tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat. ”
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di
pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha
Mahayanajuga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang
sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana
di Tibet dalam kertas kerjanyaDurbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa
pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa penguasa Sriwijayanagara diMalayagiri di Suvarnadvipa.[22]
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan
sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan
di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur
Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya,
kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Budaya[sunting | sunting sumber]
Arca Maitreya dariKomering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Perdagangan[sunting | sunting sumber]
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Lihat pula:
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Palembang (1659-1823)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)
L
B
S
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan
sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu,
persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok,
Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi
pelayaran antara Tiongkok dan India.[30]
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan
selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya.
Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya
menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan
sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandalaSriwijaya. Bandar Malayu di Jambi,
Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga
di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa
bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang
berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin
angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa
Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya
untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar
pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari
tahun 670hingga 1025 M.[31]
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara
sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan
perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan
perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia
Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief
Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya
dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarmanyang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyahtahun 718,
kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanyaShih-li-t-'o-pa-
mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina,
berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[32]
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Mindan kerajaan
Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka(Citrullus
lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[33][34]
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan
beserta upeti.[45]
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang
maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan
kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam
kepadanya.[46] Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih
(sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-
Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).[46]
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun
adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah
kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala,
dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak
menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang
tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk
menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. [32]
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan
dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja
Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja
untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai
rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan
Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota
kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunanpagoda Borom That yang
bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan
perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra
sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa
Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan
Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa
antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara
Sriwijaya dan Medang memburuk.[47] Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya
berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya.
Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai
keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata
lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi
raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[48] Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang
di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada
tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun
1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya. [49]
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti
Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara
kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik.
Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-
Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara
Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang
melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada
masaKulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang
meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian
dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada
masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti
Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]
Masa keemasan[sunting | sunting sumber]
Pannai Pannai
Malaiyur Malayu
Mayirudingam
Ilangasogam Langkasuka
Mappappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Takkolam
Madamalingam Tambralingga
Ilamuri-Desam Lamuri
Nakkavaram Nikobar
Kadaram Kedah
Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang
berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih
mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar
tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat
dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya
pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas
raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai
muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai
kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera,
sampai Jawa bagian barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut
mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari
satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. [59] Ekspedisi Chola mengubah jalur
perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil
kepemimpinan Sriwijaya padaabad ke-11.[60]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan
yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan
bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk
Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-
ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand),Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong(Pahang), Tong-ya-
nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-
t'ing(Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur
semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-
li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o(Sunda).[6][13]
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya,
melainkan telah identik denganDharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi
tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan
bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu,
dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat
pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah
jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang
sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
Prasasti, catatan
Tahu
Nama Raja Ibukota pengiriman utusan ke
n
Tiongkok serta peristiwa
Kebangkitan Wangsa
840
Sanjaya, Rakai Pikatan
Kehilangan kekuasaan di Jawa,
dan kembali ke Suwarnadwipa
856 Balaputradewa Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun
860, India
1003,
pembangunan candi
untuk kaisar Cina yang diberi
nama
cheng tien wan shou
Sri Mara-
Vijayottunggawarma San-fo-ts'i
Prasasti Leiden & utusan ke
1008 n
Kataha Tiongkok 1008
Se-li-ma-la-pi
Dibawah Dinasti
1030
Chola dari Koromandel
Utusan San-fo-ts'i dengan
raja Kulothunga Chola I (Ti-
hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079
1079
membantu memperbaiki candi
Tien Ching di Kuang Cho
(dekat Kanton)
Utusan San-fo-ts'i dari Kien-
1082 pi (Jambi) ke Tiongkok 1082
dan 1088
1089-
Belum ada berita
1177
Laporan Chou-Ju-Kua dalam
1178 buku Chu-fan-chi berisi daftar
koloni San-fo-ts'i
Dibawah Dinasti
Srimat Trailokyaraja
Mauli, Kerajaan
1183 Maulibhusana Dharmasraya
Melayu,Prasasti Grahi tahun
Warmadewa
1183 di selatan Thailand