Anda di halaman 1dari 22

Sriwijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


 Artikel ini memuat aksara Jawa. Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin akan
melihat tanda tanya, tanda kotak, atau karakter lain selain dari aksara Jawa.

Untuk kegunaan lain dari Sriwijaya, lihat Sriwijaya (disambiguasi).

Sriwijaya
Kadatuan Sriwijaya

←    →
 
600-an–1100-an  

←    →

Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8


Masehi.

Ibu kota Sriwijaya, Jawa,


Kadaram, Dharmasraya

Bahasa Melayu Kuna,Sanskerta

Agama Buddha
Vajrayana,Buddha
Mahayana,Buddha
Hinayana,Hindu

Pemerintahan Monarki
Maharaja

 -  683 Sri Jayanasa

 -  702 Sri Indrawarman

 -  775 Dharanindra

 -  792 Samaratungga

 -  835 Balaputradewa

 -  988 Sri Cudamani


Warmadewa

 -  1008 Sri Mara-


Vijayottunggawarman

 -  1025 Sangrama-


Vijayottunggawarman

Sejarah

 -  Didirikan 600-an

 -  Invasi Dharmasray
a 1100-an

Mata uang Koin emas dan perak

Warning: Value specified
for "continent" does not
comply

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa: ꦯꦿꦶꦮꦶꦗꦪ; Thai: ศรี วิชยั atau "Ṣ̄rī wichạy")


adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak
memberi pengaruh di Nusantaradengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang
dari Kamboja,Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan
kemungkinan Jawa Tengah.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau
"gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya
bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan
ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia
mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. [3][4] Selanjutnya prasasti yang
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaituprasasti Kedukan
Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah
bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan [2] di antaranya tahun 1025
seranganRajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di
bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat
publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdèsdari École française
d'Extrême-Orient.[7]

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1 Catatan sejarah
 2 Pembentukan dan pertumbuhan
 3 Agama
 4 Budaya
 5 Perdagangan
 6 Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari
 7 Hubungan dengan wangsa Sailendra
 8 Hubungan dengan kekuatan regional
 9 Masa keemasan
 10 Masa penurunan
 11 Struktur pemerintahan
 12 Raja yang memerintah
 13 Warisan sejarah
 14 Catatan bawah
 15 Rujukan
o 15.1 Bacaan Lanjutan
 16 Pranala luar

Catatan sejarah[sunting | sunting sumber]


Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa
lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia
modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana
Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar
berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok
terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalamMelayu
Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah
perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa
Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
[10]
 Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan
justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas,
14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan
kemudi.[10] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan
tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai
perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan
perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[10]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan
besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut
menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesiamerupakan
satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-
shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan
Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[11] dan Khmer
menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat
sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3
pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa
pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di
provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini
dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Pendapat ini didasarkan dari foto udara
tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air,
yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs
ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk
bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20
hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa
kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. [12] Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di
provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu
pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, [13] yang sebelumnya juga
telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasanCandi
Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam
catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan
candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri
Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan
shou(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). [15] Namun
yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore,
Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan[sunting | sunting sumber]

Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya, bermula di Palembang pada abad VII, menyebar ke


sebagian besar Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Kamboja, hingga surut sebagai Kerajaan
Malayu Dharmasraya pada abad XIII.

Candi Gumpung, candi Buddha diMuaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.


Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. [8] Kerajaan ini menjadi
pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas
kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi
untuk populasiMadagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan
kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, [16] selain itu kemungkinan kerajaan ini
biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap
diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah
oleh datusetempat.[17][18]
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti
Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta
Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa
Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk
menulis prasasti ini.[19] Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
[2]
 Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka,
kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung,
hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan
ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya,
peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagaradi Jawa Barat dan Holing
(Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20] Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. [2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan
di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan
berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian
kerajaan.[2] Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode
792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak
melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di
Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah
yang selesai pada tahun 825. [2]
Agama[sunting | sunting sumber]

Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang,
Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.

Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan


sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda,India,
pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana
Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat
berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang
belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. [21]

Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
“ mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah
berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok
akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-
naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2
tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat. ”
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di
pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha
Mahayanajuga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang
sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana
di Tibet dalam kertas kerjanyaDurbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa
pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa penguasa Sriwijayanagara diMalayagiri di Suvarnadvipa.[22]
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan
sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budayaHindu kemudian


diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan
membangun tempat pemujaan agama Budha diLigor, Thailand.[23] Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-
7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa
Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan
mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota
Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan
mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk
belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami
ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan
di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur
Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya,
kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Budaya[sunting | sunting sumber]
Arca Maitreya dariKomering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan


kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi
di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang
Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu
peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga
Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementaraPrasasti
Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini
menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern.
Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di
tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan
berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena
bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu
menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan
Nusantara.[24]
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya
meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda
dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendrayang
banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.
Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro
Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa
Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit
Seguntang, Palembang[25], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[26],
Bidor, Perak[27] dan Chaiya,[28] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua
arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni
Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin
diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8
sampai ke-9).[29]

Perdagangan[sunting | sunting sumber]
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha

Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1006)

Kerajaan Kahuripan (1006–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Penyebaran Islam (1200-1600)

Kesultanan Samudera Pasai (1267-


1521)

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)

Kesultanan Mataram (1588—1681)

Kesultanan Palembang (1659-1823)

Kesultanan Siak (1723-1945)

Kesultanan Pelalawan (1725-1946)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1965)

Masa Transisi (1965–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

 L
 
 B
 
 S

Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candiBorobudur.

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan
sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu,
persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok,
Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi
pelayaran antara Tiongkok dan India.[30]
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan
selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya.
Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya
menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan
sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandalaSriwijaya. Bandar Malayu di Jambi,
Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga
di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa
bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang
berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin
angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa
Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya
untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar
pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari
tahun 670hingga 1025 M.[31]
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal
Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara
sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan
perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan
perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia
Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief
Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya
dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarmanyang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyahtahun 718,
kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanyaShih-li-t-'o-pa-
mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina,
berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[32]
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Mindan kerajaan
Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka(Citrullus
lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[33][34]

Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari[sunting | sunting


sumber]
Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan
seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi.
Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya,
Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di
kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di
wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir
pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di
wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang
berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang
terletak 3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia.[35]
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa
sebagian nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti
meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya. [36]Migrasi ke Madagaskar
diperkirakan terjadi sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan data DNA mitokondria, suku
pribumiMalagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 nenek moyang perempuan
perintis tiba dari Indonesia 1200 tahun yang lalu. [37] Bahasa Malagasy mengandung kata
serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melaluibahasa
Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar
dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya. [38] Periode kolonisasi Madagaskar
bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di
seantero Nusantara dan Samudra Hindia. [39]
Hubungan dengan wangsa Sailendra[sunting | sunting sumber]

Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Wangsa Sailendra


Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya
nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau
Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara
pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto
ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti
di Sumatera maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul
bahasa melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang. [14]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa)
dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[40] Kemudian Moens
menambahkan kedatanganDapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu
keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[41] SementaraPoerbatjaraka berpendapat bahwa
dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[42] kemudian
dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di
antaranya prasasti Sojomerto.[43][44]

Hubungan dengan kekuatan regional[sunting | sunting sumber]

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan
beserta upeti.[45]
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang
maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan
kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam
kepadanya.[46] Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih
(sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-
Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).[46]
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun
adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah
kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala,
dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak
menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang
tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk
menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. [32]

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan
dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja
Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja
untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai
rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan
Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota
kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunanpagoda Borom That yang
bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni
(Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan
perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra
sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa
Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan
Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa
antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara
Sriwijaya dan Medang memburuk.[47] Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya
berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya.
Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai
keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata
lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi
raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[48] Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang
di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada
tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun
1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya. [49]
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti
Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara
kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik.
Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-
Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara
Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang
melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada
masaKulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang
meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian
dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada
masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti
Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]
Masa keemasan[sunting | sunting sumber]

Arca emas Avalokiteçvarabergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo,


Muarabulian, Jambi,Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada


kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai
dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam
mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah
kedaulatan dan kekuasaanya. [50]
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara
lain: Sumatera, Jawa,Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.
[51]
 Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali
rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas
setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza.
Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik
menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
kayucendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. [52]
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persiayang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan
dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj
(Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur
dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[11]
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10,
akan tetapi pada akhir abad iniKerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan
bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti
Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi,
sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-
tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling
mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di
pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa.
Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan
992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[53]
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali
tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok
memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia
dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut
adalahDharmawangsa Teguh.[53]
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu,
namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa
terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa
tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak
cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di
beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani
Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan
bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa.
Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya
memukul mundur angkatan laut Jawa.[53]
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi
dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan
utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah
candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia.
Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien
wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[54] (Candi Bungsu,
salah satu bagian dari candi yang terletak diMuara Takus).[15]
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa,
maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan
Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang
merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan
menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6][49]

Masa penurunan[sunting | sunting sumber]

Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel,India selatan,


mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkanprasasti
Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya,
seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu
itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium
Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I
tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa
selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita
utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur
di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba
di Palembang semakin berkurang.[57] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh
dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin
berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[11]
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman
dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian
orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserangKerajaan Chola mereka
bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[58]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti
Tanjore

Nama kawasan Keterangan

Pannai Pannai

Malaiyur Malayu

Mayirudingam

Ilangasogam Langkasuka

Mappappalam

Mevilimbangam

Valaippanduru

Takkolam

Madamalingam Tambralingga

Ilamuri-Desam Lamuri

Nakkavaram Nikobar

Kadaram Kedah

Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang
berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih
mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar
tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat
dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya
pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas
raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai
muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai
kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera,
sampai Jawa bagian barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut
mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari
satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. [59] Ekspedisi Chola mengubah jalur
perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil
kepemimpinan Sriwijaya padaabad ke-11.[60]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan
yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan
bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk
Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-
ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand),Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong(Pahang), Tong-ya-
nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-
t'ing(Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur
semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-
li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o(Sunda).[6][13]
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya,
melainkan telah identik denganDharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi
tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan
bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu,
dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat
pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah
jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang
sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu


Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. [11]Pembentukan
satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari
beberapa prasasti yang mengandung informasi penting
tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[62]
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat
disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini
dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di
dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu
sendiri. Menurut Casparis, samaryyādamerupakan kawasan yang berbatasan
dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat
bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom
dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran
raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota
kedua) dan rājakumāra(pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan
berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut
Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang
menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada
zaman Sriwijaya.[20]Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja
putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati),senopati (komandan pasukan),
dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas
kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat
senjata pisau), kayastha (juru
tulis),sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimp
in kelompok kerja), marsi haji(tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).[20]
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti
yang diterangkan diatas,Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra
mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja(putra mahkota kedua).[20][63] Maka
dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa
untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan
Sriwijaya dibagi menjadi dua.[44]

Raja yang memerintah[sunting | sunting sumber]


Para Maharaja Sriwijaya[2][6]

Prasasti, catatan
Tahu
Nama Raja Ibukota pengiriman utusan ke
n
Tiongkok serta peristiwa

Catatan perjalanan I Tsing pada


tahun 671-685, Penaklukan
Malayu, penaklukan Jawa
Dapunta Hyang atau Srivijaya Prasasti Kedukan
671
Sri Jayanasa Bukit (683), Talang
Shih-li-fo-shih Tuo(684), Kota
Kapur (686), Karang
Brahi danPalas Pasemah

Sri Indrawarman Sriwijaya


Utusan ke Tiongkok 702-716,
702
Shih-li-t-'o-pa-mo Shih-li-fo-shih 724
Prasasti, catatan
Tahu
Nama Raja Ibukota pengiriman utusan ke
n
Tiongkok serta peristiwa

Rudra Vikraman Sriwijaya


728 Utusan ke Tiongkok 728-742
Lieou-t'eng-wei-kong Shih-li-fo-shih

Belum ada berita pada periode


743-774
ini
Prasasti Ligor B tahun 775 di
Nakhon Si Thammarat,
775 Sri Maharaja Sriwijaya
selatan Thailand dan
menaklukkan Kamboja
Pindah ke Jawa (Jawa Wangsa
Tengah atauYogyakarta Sailendra mengantikan Wangsa
) Sanjaya
Prasasti Kelurak 782 di sebelah
utara kompleks Candi
Dharanindra atau Prambanan
778 Jawa
Rakai Panangkaran
Prasasti Kalasan tahun 778
di Candi Kalasan

Samaragrawira atau Prasasti Nalanda dan prasasti


782 Jawa
Rakai Warak Mantyasihtahun 907
Prasasti Karang Tengah tahun
824,
Samaratungga atau
792 Jawa
Rakai Garung 825 menyelesaikan
pembangunan candiBorobudur

Kebangkitan Wangsa
840
Sanjaya, Rakai Pikatan
Kehilangan kekuasaan di Jawa,
dan kembali ke Suwarnadwipa
856 Balaputradewa Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun
860, India

Belum ada berita pada periode


861-959
ini
Sri Udayaditya
Warmadewa Sriwijaya
960 Utusan ke Tiongkok 960, & 962
Se-li-hou-ta-hia-li- San-fo-ts'i
tan

Utusan ke Tiongkok 980 & 983:


980
dengan raja,Hie-tche (Haji)
988 Sri Cudamani Sriwijaya 990 Jawa menyerang Sriwijaya,
Warmadewa Catatan Atiśa,
Malayagiri
Se-li-chu-la-wu-ni- (Suwarnadwipa) San-
fu-ma-tian-hwa fo-ts'i Utusan ke Tiongkok 988-992-
Prasasti, catatan
Tahu
Nama Raja Ibukota pengiriman utusan ke
n
Tiongkok serta peristiwa

1003,
pembangunan candi
untuk kaisar Cina yang diberi
nama
cheng tien wan shou

Sri Mara-
Vijayottunggawarma San-fo-ts'i
Prasasti Leiden & utusan ke
1008 n
Kataha Tiongkok 1008
Se-li-ma-la-pi

Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok


1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-
wa-ch'a-p'u
1017
(Haji Sumatrabhumi (?));
gelar haji biasanya untuk raja
bawahan
Diserang oleh Rajendra Chola
I dan menjadi tawanan
Sangrama- Sriwijaya
1025 Vijayottunggawarma Prasasti Tanjore bertarikh 1030
Kadaram
n pada candi Rajaraja, Tanjore,
India

Dibawah Dinasti
1030
Chola dari Koromandel
Utusan San-fo-ts'i dengan
raja Kulothunga Chola I (Ti-
hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079
1079
membantu memperbaiki candi
Tien Ching di Kuang Cho
(dekat Kanton)
Utusan San-fo-ts'i dari Kien-
1082 pi (Jambi) ke Tiongkok 1082
dan 1088
1089-
Belum ada berita
1177
Laporan Chou-Ju-Kua dalam
1178 buku Chu-fan-chi berisi daftar
koloni San-fo-ts'i
Dibawah Dinasti
Srimat Trailokyaraja
Mauli, Kerajaan
1183 Maulibhusana Dharmasraya
Melayu,Prasasti Grahi tahun
Warmadewa
1183 di selatan Thailand

Warisan sejarah[sunting | sunting sumber]


Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan
kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya


sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali
kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran
bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas
persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya
masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai
keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang
terdiri dari Orang Laut, telah mendirikanKerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah
Melayu dan catatan sejarah China yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan
Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340.
Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur. Akan tetapi serangan Majapahit pada
penghujung abad ke-14 telah meruntuhkan kerajaan ini. Akibatnya rajanya yang terakhir,
Parameswara, terpaksa melarikan diri ke Semenanjung Melayu. Parameswara kemudiannya
mendirikan Kesultanan Melaka pada tahun 1402.[59] Kesultanan Melayu Melaka akhirnya
menggantikan kedudukan Sriwijaya sebagai kuasa politik Melayu utama di kawasan. [60][61]
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan
ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya
penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini
menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang
digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. [65] Tersebar luasnya Bahasa
Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai
pada abad ke-14 M.[66]
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai
sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. [67] Kegemilangan Sriwijaya
telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk
kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni
budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku
bagi masyarakat selatanThailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang
berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di
berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun
1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk
Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di
Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya,
dan Sriwijaya Football Club(Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian
untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.
Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion
Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang
bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan
juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan
kemaharajaan bahari ini.[68][69]

Anda mungkin juga menyukai