Anda di halaman 1dari 2

Nama : Daradinanti

Kelas : XI MIA 8

Kasus permasalahan warisan yang tidak sesuai dengan hukum islam

1. Seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka untuk siapakah
harta warisnya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t ketika menafsirkan surat Al-Anfal ayat 75
mengatakan: “Tidaklah mewarisi harta si mayit kecuali karib kerabatnya dari para ‘ashabah
maupun ashhabul furudh (ahli waris, pen.). Jika tidak didapati para ahli waris tersebut maka yang
mewarisinya adalah yang terdekat hubungannya dengan si mayit dari kalangan dzawil arham
(para kerabat dekat yang tidak termasuk ashhabul furudh dan tidak pula ‘ashabah).” (Taisirul
Karimirrahman, hal. 289)
Siapa sajakah yang termasuk dzawil arham itu?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Mereka ada sebelas jenis:
1) Para cucu dari anak-anak perempuan dan anak-anak para cucu perempuan dari anak lelaki
(cicit) dan ke bawahnya.
2) Anak saudara perempuan secara mutlak; sekandung, sebapak saja dan seibu saja
(keponakan).
3) Anak perempuan dari saudara lelaki; sekandung dan sebapak saja, tidak termasuk yang
seibu (keponakan) dan para cucu perempuan dari jalur anak lelaki saudara tersebut.
4) Anak saudara seibu (keponakan).
5) Paman (seibu); baik paman (saudara bapak yang seibu) dari si mayit, paman bapak (saudara
kakek seibu) dari si mayit atau paman kakek (saudara buyut lelaki seibu) dari si mayit.
6) Bibi dari jalur bapak secara umum; baik bibi dari jalur bapak si mayit, bibi kedua orangtua
si mayit dari jalur bapaknya masing-masing, bibi dari kakek si mayit dari jalur bapaknya
(saudara perempuan buyut lelaki dari kakek) ataupun bibi dari nenek si mayit dari jalur
bapaknya (saudara perempuan buyut lelaki dari nenek).
7) Anak perempuan paman dari jalur bapak; baik yang sekandung, sebapak saja ataupun seibu
saja (saudara sepupu).
8) Paman dan bibi (saudara-saudara ibu; baik yang sekandung, sebapak saja ataupun seibu
saja).
9) Para kakek yang bukan termasuk ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur bapak. Seperti
bapaknya ibu (kakek) dan juga bapaknya nenek (buyut lelaki) dari jalur bapak, dsb.
10) Para nenek yang bukan dari ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur bapak. Seperti;
Ibunya kakek (buyut perempuan) dari jalur ibu dan ibunya buyut lelaki menurut pendapat
yang memasukkan keduanya ke dalam dzawil arham, dsb.
11) Semua kerabat yang mempunyai keterkaitan dengan si mayit melalui (perantara) sepuluh
jenis yang telah disebutkan sebelumnya.” (Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-
Faradhiyyah, hal. 102, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II)

2. Di antara hikmah dilebihkannya jatah waris anak lelaki dua kali lipat dari jatah waris anak
perempuan
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi t berkata: Firman Allah l:
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak kalian.
Yaitu: bagian (jatah) seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-
Nisa’: 11)
di dalamnya memang tidak disebutkan hikmah dilebihkannya jatah waris anak lelaki atas jatah
waris anak perempuan, sementara status keduanya sama dalam hal kekerabatannya dengan si
mayit. Akan tetapi pada bagian lain dari Al-Qur’an Allah l telah mengisyaratkannya,
sebagaimana dalam firman-Nya:
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (lelaki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa’: 34)
Hal itu disebabkan bahwa seorang (lelaki) yang bertanggung jawab terhadap perempuan (istri)
yang dipimpinnya dan dituntut untuk selalu menafkahinya, maka (harta)nya dimungkinkan selalu
berkurang. Sedangkan si perempuan (istri) yang selalu dipimpin dan dinafkahi tersebut, hartanya
ada harapan terus bertambah. (Atas dasar itu) amat jelas sekali hikmah dilebihkannya jatah waris
anak lelaki atas jatah waris anak perempuan, yaitu untuk menutup segala kekurangan pada harta
anak lelaki yang dimungkinkan selalu terancam berkurang tersebut. (Adhwa’ul Bayan, 1/308)

Anda mungkin juga menyukai