Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULAN

A. Latar Belakang

Bell’s Palsy didefinisikan sebagai parese nervus fasialis tipe perifer

idiopatik, yang meliputi wajah bagian atas dan bawah dengan atau tanpa

hilangnya rasa pada lidah ipsilateral. Hipotesis mengenai keterlibatan infeksi

virus herpes simpleks telah diterima secara luas. Umumnya gejala penyakit ini

ringan dengan pemulihan sempurna dalam 2 sampai 3 minggu (Dona, 2014).

Menurut Fauci et al. (2009) dan Dona (2015) Bell’s Palsy adalah

paralisis fasial idiopatik yang paling sering ditemukan, kelainan ini terjadi

pada 1 orang dalam 60 orang selama masa hidupnya. Kelemahan tersebut

berlangsung sekitar 12 sampai 48 jam. Penyebab dari Bell’s Palsy belum

diketahui secara pasti, namun beberapa sumber menyebutkan bahwa penyebab

Bell’s Palsy adalah kaku pada satu sisi wajah terjadi karena selubung sarafnya

membengkak, bisa juga karena paparan dingin, misalnya ketika tidur dengan

menggunakan AC yang terlalu menyorot ke satu sisi wajah saja. Penyebab lain

dari Bell’s Palsy yaitu karena virus herpes tipe I yang menetap di tubuh dan

teraktivasi kembali karena faktor lingkungan, faktor trauma maupun stress.

Kebanyakan kasus yang terjadi disebabkan karena peradangan pada

saraf kranial ke VII atau saraf fasialis, vasospasme atau terjadi penyempitan

karena edema terutama didaerah mastoideus, keterlibatan virus herpes

1
2

simpleks atau herpes zooster serta dipicu karena adanya paparan angin yang

menyebabkan kelumpuhan (Mayor, 2007).

Gejala Bell’s Palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada

salah satu sisi yang terjadi secara tiba-tiba dalam waktu beberapa jam sampai

beberapa hari (maksimal 7 hari). Kadang-kadang diikuti oleh hiperakusis

(sensitivitas berlebihan terhadap suara), berkurangnya produksi air mata,

hipersalivasi (pengeluaran air liur yang berlebihan) dan gangguan pada indera

pengecap (Munilson et al., 2013).

Telah dilaporkan suatu kasus Bell’s Palsy pada seorang perempuan

berusia 17 tahun. Menurut Holland (2007) di Inggris insiden Bell’s Palsy

terjadi pada 20/100.000 orang per tahun dengan usia terbanyak adalah 15–40

tahun dan tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda

dengan penelitian Tsai et al.,(2009) di Taiwan melaporkan bahwa insiden

Bell’s Palsy juga terdapat pada anak berusia 3 bulan sampai 18 tahun, anak

perempuan lebih banyak dibanding anak laki-laki (rasio 1,4 : 1) dan banyak

terjadi pada musim dingin dibanding pada musim panas (Munilson et al.,

2013).

Prevalensi rata-rata di Inggris berkisar antara 10 sampai 30 pasien per

100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai dengan pertambahan umur.

Insiden terjadinya Bell’s Palsy meningkat pada penderita diabetes mellitus

dan wanita hamil. Sekitar 8% sampai 10% kasus berhubungan dengan

riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit ini (Munilson et al., 2013).
3

Di Indonesia insiden Bell’s Palsy secara pasti sulit ditentukan. Data

yang dikumpulkan dari empat buah rumah sakit di Indonesia didapatkan

frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati

(kelumpuhan saraf) dan terbanyak pada usia 21 sampai 30 tahun. Bell’s Palsy

lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan

insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita

didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin yang berlebihan

(Reskiawan, 2013).

Penatalaksaan kasus Bell’s Palsy dapat dilakukan secara kombinasi

antara penatalaksanaan farmakologis dan nonfarmakologis. Penatalaksaan

secara farmakologis pada kasus Bell’s Palsy bisa menggunakan steroid untuk

mengurangi paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf fasialis VII,

sedangkan penatalaksanaan secara nonfarmakologis dapat dilakukan dengan

cara massage atau pemijatan dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara

halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan massage

melingkar (Lowis & Gaharu, 2012).

Menurut Traditional Chinese Medicine, Bell's Palsy atau idiopatik

facial palsy adalah gangguan paling umum terjadi yang mempengaruhi saraf

wajah dan mengakibatkan kelemahan atau lumpuh pada salah satu sisi wajah.

Kelumpuhan ini menyebabkan distorsi wajah dan mengganggu fungsi

normalnya, seperti menutup mata dan makan. Bell’s Palsy diduga disebabkan

oleh peradangan dari nervus facialis (Ning Chen et al.,2010).


4

Berdasarkan deferensiasi sindrom dalam Traditional Chinese

Medicine kelumpuhan wajah atau yang sering disebut Bell’s Palsy disebabkan

oleh defisiensi Qi antipatogen yang menyebabkan patogen eksternal terutama

patogen angin dingin menginvasi meridian sehingga mengakibatkan stagnasi

atau sumbatan Qi dan darah pada meridian yang menyebabkan otot wajah

menjadi kurang ternutrisi dan menjadi lumpuh (Xinghua, 1996).

Akupunktur dapat digunakan sebagai metode pengobatan utama Bell’s

Palsy, selain itu akupunktur dapat dikombinasikan dengan obat-obatan dan

herbal (Jie, 2008). Menurut riset dari para ahli, pengobatan Bell’s Palsy

dengan menggunakan akupunktur menghasilkan efek yang baik, proses

penyembuhannya lebih cepat dan lebih sempurna (Jie, 2008).

Menurut Wu (2015) akupunktur banyak digunakan untuk kasus Bell's

Palsy di seluruh dunia dengan tingkat keefektifan lebih dari 90% dan tidak

memiliki efek samping. Selain itu, penatalaksanaan terapi akupunktur maupun

terapi akupunktur yang dikombinasikan dengan pengobatan medis dapat

meningkatkan kesembuhan kelumpuhan wajah, mempersingkat waktu

pemulihan dan mengurangi komplikasi lainnya.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan

studi kasus pada pasien Ny. S dengan kasus Bell’s Palsy, dengan harapan

dapat memberikan penatalaksanaan terapi akupunktur pada pasien sehingga

dapat membantu pasien dalam mengurangi keluhan yang dihadapi dan dapat

dijadikan sebagai pedoman langkah selanjutnya dalam melaksanakan asuhan

akupunktur pada pasien.


5

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Melakukan penatalaksanaan terapi akupunktur pada Ny. S dengan kasus

Bell’s Palsy sindrom Invasi Angin Dingin di RSU PKU Muhammadiyah

Delanggu.

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian pada pasien Ny. S dengan kasus Bell’s Palsy

di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.

b. Menentukan diagnosis akupunktur pada pasien Ny. S dengan kasus

Bell’s Palsy di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.

c. Menentukan rencana terapi akupunktur pada pasien Ny. S dengan

kasus Bell’s Palsy di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.

d. Melakukan tindakan terapi akupunktur pada pasien Ny. S dengan

kasus Bell’s Palsy di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.

e. Melakukan evaluasi terapi akupunktur yang telah dilakukan pada

pasien Ny.S dengan kasus Bell’s Palsy di RSU PKU Muhammadiyah

Delanggu.

f. Memberikan saran dan anjuran pada pasien Ny. S dengan kasus Bell’s

Palsy di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.


6

C. Manfaat

1. Bagi Penulis

Bermanfaat untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang

penatalaksanaan akupunktur pada kasus Bell’s Palsy sindrom Invasi

Angin Dingin di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu.

2. Bagi Pelayanan Kesehatan / Rumah Sakit

Dapat menjadi masukan bagi tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit

khususnya pelayanan akupunktur dalam mengambil langkah-langkah dan

kebijakan dalam meningkatkan mutu pelayanan akupunktur khususnya

pada pemberian asuhan akupunktur pada pasien Bell’s Palsy.

3. Bagi Pasien

Pasien memperoleh manfaat terapi akupunktur pada kasus Bell’s Palsy

khususnya sindrom Invasi Angin Dingin di RSU PKU Muhammadiyah

Delanggu.

4. Bagi Pendidikan

Memberikan informasi, referensi dan perkembangan dalam kegiatan

pembelajaran secara praktik serta memberikan informasi yang obyektif

terutama tentang penatalaksanaan akupunktur pada pasien dengan kasus

Bell’s Palsy sindrom Invasi Angin Dingin di RSU PKU Muhammadiyah

Delanggu.

Anda mungkin juga menyukai