OLEH :
NIM : 30901800049
KELAS : A (SEMESTER 5)
SEMARANG
RPS 1
1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang sistem imun
manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag
dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kondisi
immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder,
serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014). HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri atas untai tunggal RNA
virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika
menginfeksi pejamu.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan
kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi
kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis (Corwin, 2009). AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat
turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).
2. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari sekelompok
virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated Virus (LAV) atau
Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell Lympanotropic Virus
(retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribunokleat
(DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif & Hardhi, 2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, berat
badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi
neurologis.
a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung antara 7
bulan sampai 7 tahun lamanya
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun atau
kekebalan
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa diare
kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita akhirnya
meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto,2009).
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi menurut
WHO:
a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata
b. Stadium 2 (ringan)
4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)
6) Tuberculosis paru
9) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa sebab jelas, atau
trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas
d. Stadium 4 (berat)
4) Toksoplasmosis serebral
14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV, kriptokokosis
ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive,
leismaniasis atipik diseminata
15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis (Kapita Selekta,
2014).
4. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan replikasi
virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak
antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi
primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala,
faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan
dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel
limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi
imun (berupa infeksi oportunistik).
Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan
potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014). Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel
imun) adalah sel – sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem
imun seluler makin lemah secara progresif.
Berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto &
Made Ari, 2013). Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah
sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 –
300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala – gejala
infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).
Diagnose :
NIC
NOC
NIC
NOC
- Keparahan infeksi
NIC
- Keparahan infeksi
NOC
- Pengecekan kulit
- Perawatan luka
- Perlindungan infeksi
RPS 2
1. Homoseksual
Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari sesama jenis.
Pria homoseksual disebut dengan gay dan wanita homoseksual disebut dengan lesbian.
Homoseksualitas secara tradisional dipandang sebagai gangguan mental. Pandangan ini
banyak ditentang oleh kalangan psikolog dan psikiater
Faktor Penyebab Terjadinya
Homoseksual Penyebab homoseksualitas bisa bermacam-macam, seperti karena
kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan, karena mendapatkan pengalaman
homoseksual yang menyenangkan pada masa remaja atau 20 sesudahnya, karena
memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang aversif atau menakutkan/ tidak
menyenangkan, karena besar di tengah keluarga di mana ibu dominan sedangkan ayah
lemah atau bahkan tidak ada
Cara-cara yang biasa dilakukan orang untuk menyalurkan dorongan seksual, antara
lain:
1. Bergaul dengan lawan jenis atau sesama jenis
2. Berdandan untuk menarik perhatian
3. Menyalurkannya melalui mimpi basah
4. Mengobrol tentang seksual
5. Menonton film pornografi 6. Masturbasi atau Onani 7. Melakukan hubungan seksual
non penetrasi (berpegangan tangan, berpelukan, cium pipi, cium bibir, cumbuan berat,
petting) 8. Melakukan aktivitas penetrasi (intercourse) 9. Menahan diri dengan berbagai
cara atau menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas misal olahraga
Faktor yang Meningkatkan Penularan HIV dan AIDS pada Gay Pekerja Seks
Menurut Dandona, et al (2006) menyatakan bahwa pekerja seks laki-laki yang menjual
diri ke laki-laki lebih berisiko terkena HIV daripada gay yang tidak menjual diri dan
wanita pekerja seksual.
Prevalensi HIV yang Tinggi pada Klien Tingginya prevalensi HIV pada klien
PSL yaitu para gay, biseksual dan waria berarti menghadapi risiko lebih besar
terkena infeksi dengan setiap aktifitas seksualnya pada gay pekerja seks
“kucing” dengan kliennya.
Anal Seks Tanpa Kondom dan Pelicin Menurut Pisani (2003) „kucing‟ lebih
sering melakukan seks anal dari pada gay dan waria pekerja seks. Hal ini tentu
sangat berisiko tertular HIV. Rendahnya penggunaan kondom dan pelicin pada
“kucing” juga dipengaruhi oleh bayaran yang diberikan oleh pelanggan.
Tindakan Penyalahgunaan Sebagian gay menggunakan alkohol dan obat-obatan
terlarang, berkontribusi terhadap peningkatan risiko infeksi HIV dan PMS
2. Narkotika adalah zat atau obat baik yang bersifat alamiah, sintetis, maupun semi sintetis
yang menimbulkan efek penurunan kesadaran, halusinasi, serta daya rangsang.
Meningkat tajamnya prevalensi HIV pada pengguna NAPZA suntik disebabkan oleh
penggunaan jarum dan alat suntik yang tidak steril ditambah dengan praktek penyuntikan
berkelompok. Penelitian di beberapa negara mendapatkan perilaku kelompok ini sangat
rentan tertular HIV dan penyakit lain melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian
tanpa melakukan sterilisasi yang memadai .
3. Zina (ejaan tidak baku: zinah; bahasa Arab: الزنا, bahasa Ibrani: ניאוף -zanah) adalah
perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak
terikat pernikahan atau perkawinan.[1] Secara umum, zina bukan hanya di saat manusia
telah melakukan hubungan seksual, tetapi segala aktivitas-aktivitas seksual yang dapat
merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina.
Dewasa ini hubungan seksual pranikah cukup banyak dijumpai dikalangan kaum muda.
Didorong oleh rasa ingin tahu dan ingin mencoba, kaum muda sering terperangkap dalam
hubungan seksual pranikah yang sering dilaksanakan dengan pasangan yang berganti-
ganti. Keadaan berganti pasangan seperti ini sangat rawan terhadap penularan HIV. Maka
banyaknya kehamilan pada remaja dan meningkatnya prevalensi penyakit menular
seksual terutama dilingkungan kelompok umur 16-24 tahun.
Referensi :
https://www.ui.ac.id/kecanduan-dan-penularan-hivaids-intai-remaja-pengguna-narkoba/
https://lib.unnes.ac.id/28144/1/6411412158.pdf
https://www.researchgate.net/publication/343187452_Risiko_Penularan_HIVAIDS_pada
_Pekerja_Seks_Komersial_PSK_di_Provinsi_Gorontalo
RPS 3
Pengertian :
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus jenis retrovirus yang menyebabkan
seseorang terinfeksi HIV dan akan berkembang menjadi Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS). HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ vital sistem
kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang
menunjukan adanya kelemahan/ kerusakan/ penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan oleh
masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari
infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata
hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa
kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi.
Kerusakan progresif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA (orang dengan
HIV/AIDS) amat rentan dan mudah terjangkit bermacammacam penyakit. Serangan penyakit
yang biasanya tidak berbahaya pada orang yang tidak terinfeksi pun lamakelamaan akan
menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal.
Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit.
Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya
1–2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu.
Fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat
dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit,
limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.
Fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-
5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi
opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia
interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis,
kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan.
Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intra cellulare
dan sitomegalovirus .
Citomegalovirus dapat menyebabkan kolitis dan retinitis sitomegalovirusdapat
menyebabkan kebutaan.
Penisiliosis yang disebabkan oleh Penicillium marneffeikini adalah infeksi
oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada
orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
Klasifikasi :
Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas
yang berulang
Stadium III : termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi
bakteri parah,dan tuberkulosis.
Stadium IV : termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-
paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
Transmisi :
Diagnosis :
Pemeriksaan untuk diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV, berdasarkan prinsip : Konfidensialitas ,
Persetujuan , Konseling, Pencatatan, Pelaporan dan Rujukan
Pemeriksaan penunjang :
Sinar X dada, Tes fungsi pulmonal, Biopsi, EEG, MRI, CT scan otak, EMG dll
Komplikasi :
Diagnose :
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan
6. risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan faktor :Penurunan respon imun , kerusakan
kulit. ( Buku Nanda,NIC,NOC)
Intervensi :
Tujuan:
Nutritional Status :
Kriteria hasil:
Tujuan:
Pain Level
Pain control
Comfort level
Kriteria hasil:
Mobility level
Transfer performance
Kriteria hasil:
Tujuan :
Bowel elimination
Fluid Balance
Hydration
KriteriaHasil :
Dapertemen kesehatan RI. 2007 . Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang dewasa
dan Remaja Edisi Kedua, Jakarta
Dinas kesehatan kota Bukittinggi 2016.Gambaran kasus HIV dan AIDS di Sumatra Barat
Sampai dengan 2016.
Dirjen. PP & PL. Kemenkes. RI. (2012). Laporan Kasus Hiv-Aids Di Indonesia Triwulan IV,
bulan Januari sampai bulan Desember tahun 2011
Drew , W. Lawrence . 2001. HIV & AIDS Retrovirus. USA: The McGraw-Hill Companies.
Jakarta, Gramedia
Muma, Richard D. (1997). HIV : Manual untuk tenaga kesehatan. Jakarta : EGC Nasronudin .
2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Mollekuler, Klinis dan Sosial. Surabaya
Profil Kesehatan Sumatra Barat 2017, Diakses dari http://id.kesehatan+sumbar pada 11 juni 2008
Kementerian Kesehatan RI. 2011.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terap Antiretroviral. Jakarta
KPA. (2010). Pedoman Program Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual. Jakarta
RPS 4
Pengkajian
1. Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit
CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV
menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV).
Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti
p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul
tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel
membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari
DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim
DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease
memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua
dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA
pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang
menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang
telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel,
terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-
sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit.
Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel
usus adalah diare yang kronis (Stewart, 1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan
akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang
terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami
penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul
setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).
2. Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
a. Shock (kaget, goncangan batin) Merasa bersalah, marah, tidak berdaya Rasa takut,
hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out
b. Mengucilkan diri, Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi orang lain, murung
c. Membuka status secara terbatas, Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin
dicintai Penolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan,
penguatan, dukungan sosial Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada
pemegang rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi
hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya Ketergantungan, dikotomi kita dan
mereka (sema orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over
identification
f. Perilaku mementingkan orang lain Komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan
memberi dan berbagi, perasaan sebagi kelompok Pemadaman, reaksi dan kompensasi
yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan antara
kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi seseorang
Apatis, sulit berubah.
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross (1974)
menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu.
a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak
emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan
pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran
dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima
sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin
perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan
segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik
dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan
pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada
dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan
adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama,
sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan
untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir
dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang
jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang
menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam,
kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga
intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999). e)
Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi,
kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju
identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai
seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka
panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan
adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki
hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori
adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
3. Sosial
Interaksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan karabat/orang
terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut
akan penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan
yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.
4. Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh
diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan,
misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh
suatu ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan
hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada
PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan
atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286).
Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung
hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.
5. Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana
banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang
sering melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh
budaya permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai
bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar
perempuan tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV
/AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS,
pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu.
Selain itu adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar
kematian dapat dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS
dapat berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya.
Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Hal ini terjadi
lebih sering pada orang yang memiliki CD4 jumlah kurang dari 100 sel per mikroliter
(MCL). Termasuk gejala floaters, penglihatan kabur, atau kehilangan penglihatan.
Jika terdapat gejala retinitis CMV, diharuskan memeriksakan diri ke dokter mata
sesegera mungkin. Beberapa dokter menyarankan kunjungan dokter mata setiap 3
sampai 6 bulan jika jumlah CD4 anda kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL).
d. Mulut
Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang yang terinfeksi
HIV. Dokter akan akan melakukan pemeriksaan mulut pada setiap kunjungan.
pemeriksakan gigi setidaknya dua kali setahun. Jika Anda beresiko terkena penyakit
gusi (penyakit periodontal), Anda perlu ke dokter gigi Anda lebih sering.
f. Perut.
g. Kulit.
Kulit merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV. pemeriksaan yang
teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat diobati mulai tingkat keparahan dari
dermatitis seboroik dapat sarkoma Kaposi . Dokter akan melakukan pemeriksaan
kulit setiap 6 bulan atau kapan gejala berkembang.
h. Ginekologi terinfeksi.
Perempuan yang HIV-memiliki lebih serviks kelainan sel daripada wanita yang tidak
memiliki HIV. Perubahan ini sel dapat dideteksi dengan tes Pap. Anda harus memiliki
dua tes Pap selama tahun pertama setelah anda telah didiagnosa dengan HIV. Jika
kedua pemeriksaan Pap Smear hasilnya normal, Anda harus melakukan tes Pap sekali
setahun. Anda mungkin harus memiliki tes Pap lebih sering jika Anda pernah
memiliki hasil tes abnormal.
RPS 5
PRINSIP HIDUP DENGAN ODHA, FAMILY CENTERED PADA ODHA DAN STIGMA
PADA ODHA
Stigma adalah prasangka memberikan label sosial yang bertujuan untuk memisahkan atau
mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk. Dalam
prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui atau
tidak mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar individu atau kelompok sebagaimana selayaknya
sebagai manusia yang bermartabat. Stigma dan diskriminasi masih sering terjadi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes RI, 2012).
stigma terhadap ODHA yang muncul dari pikiran individu atau masyarakat yang percaya bahwa
AIDS adalah akibat dari perilaku tidak bermoral yang tidak bisa diterima masyarakat,
direfleksikan dalam sikap sinis, perasaan takut yang berlebihan, dan pengalaman negatif pada
ODHA. Stigma dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat luas, tetapi juga bisa
dilakukan oleh petugas kesehatan. Stigma akan memengaruhi cara pandang orang lain,
penolakan sosial, penurunan penerimaan interaksi sosial, peningkatan diskriminasi, dan
menambah beban keluarga.
Masih banyak informasi yang salah tentang HIV/AIDS di masyarakat. Hal ini menimbulkan
stigma yang berdampak pada meningkatnya diskriminasi pada ODHA, seperti mengusir dan
mengasingkan ODHA di masyarakat, memecat ODHA yang bekerja, menceraikan pasangan
yang berstatus HIV positif, dan perilaku diskriminatif lainnya. Cari tahu penyebab munculnya
stigma pada ODHA berikut ini, yuk.
HIV/AIDS bisa terjadi pada siapa saja. Namun, penyakit ini lebih rentan terjadi pada orang yang
melakukan seks tanpa kondom, menggunakan jarum suntik yang tidak steril, dan anak yang
memiliki ibu dengan status HIV positif (penularan selama masa kehamilan, persalinan, dan
menyusui). Jadi, kamu tidak perlu takut saat berdekatan dengan ODHA karena HIV/AIDS tidak
bisa menular udara, termasuk melalui batuk, bersin, alat makan, toilet, jabatan tangan, dan duduk
sebelahan.
Stigma pada ODHA bukan sekadar pemberian label negatif, tapi berdampak negatif pada
kehidupan ODHA, keluarga, dan upaya pemerintah dalam mengatasi HIV/AIDS. Berikut ini
dampak negatif stigma dan perilaku diskriminatif pada ODHA yang perlu diketahui:
Melanggar hak asasi manusia. Di antaranya hak untuk bekerja, membangun rumah
tangga, mendapat akses pelayanan kesehatan dan kehidupan yang layak.
Menutup kesempatan bagi ODHA untuk mengembangkan diri, termasuk untuk mendapat
pendidikan dan pekerjaan yang layak.
Menurut Kemenkes RI banyak faktor yang memengaruhi terjadinya stigma pada ODHA di
masyarakat.
Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai HIV/AIDS dalam
banyak penelitian
dibuktikan sebagai salah satu faktor yang paling mempengaruhi terjadinya pengurangan
stigma. Orang yang
memiliki pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi, pencegahan, dan pengobatan
HIV/AIDS
cenderung tidak takut dan tidak memberikan stigma terhadap ODHA. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitiannya yang ditemukan bahwa hampir 75% responden memiliki pengetahuan
yang kurang tentang IMS danHIV/AIDS dengan adanya beberapa pemahaman yang masih
salah, seperti HIV dapat ditularkan melalui pakaian atau benda-benda yang dipakai oleh
ODHA dan orang yang menderita HIV dapat menunjukkan gejala
penyakitnya memiliki stigma yang buruk terhadap ODHA. Meskipun demikian, responden
juga memahami dengan baik bahwa HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan
transfusi darah.
Pengetahuan tentang
HIV/AIDS sangat memengaruhi sikap seseorang terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma
terhadap ODHA muncul berkaitan dengan tidak tahunya seseorang tentang mekanisme
penularan HIV dan sikap negatif yang dipengaruhi oleh adanya epidemi HIV/AIDS di
masyarakat. Kesalahpahaman atau kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS
sering kali berdampak pada ketakutan masyarakat terhadap ODHA, sehingga memunculkan
penolakan terhadap ODHA. Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling
maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting untuk mengurangi
stigma terhadap ODHA.
Menurut Latifa, stigma ODHA dapat diatasi dengan peran dari tokoh masyarakat maupun
agama, sebagai kelompok masyarakat madani yang disegani, ditengarai dapat memengaruhi
perilaku masyarakat. Salah satu caranya adalah melalui forum dialog yang difasilitasi untuk
mendukung upaya pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA termasuk
memobilisasi massa dalam memberikan dukungan dan pelayanan kepada mereka yang
terinfeksi virus HIV. Keberadaan tokoh-tokoh tersebut sangat penting dalam membantu
mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap ODHA. Tokoh agama di ·Malaysia dan
Thailand memiliki peran penting dalam membantu menurunkan jumlah kasus HIV & AIDS di
negaranya. Peran tokoh masyarakat bukan saja memberikan perubahan pada perilaku dan
pemahaman masyarakat tetapi juga meningkatkan solidaritas sosial masyarakat di lingkungan
terhadap orang dengan ODHA. Hal ini dikarenakan karena tokoh masyarakat memberikan
contoh dalam meningkatkan keyakinan masyarakat dan perubahan karakter mereka tentang
stigma pada ODHA.
KESIMPULAN
Bagi individu yang positif terinfeksi HIV, menjalani kehidupannya akan terasa sulit karena dari
segi fisik
individu tersebut akan mengalami perubahan yang berkaitan dengan perkembangan penyakitnya
dan dari segi
psikis pasien akan megalami stress terkait pandangan orang lain, lingkungan sosial dan stigma
masyarakaat
terhdap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) . Stigma merupakan atribut, perilaku, atau
reputasi sosial yang
mendiskreditkan dengan cara tertentu. Penatalaksanaan stigma masyarakat terhadap ODHA
dapat dilakukan
dengan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS, meningkatkan peran
serta dukungan
teman sebaya, keluarga dan masyrakat. Peran dari tokoh masyarakat maupun tokoh agama
sebagai kelompok
masyarakat yang disegani, ditengarai dapat memengaruhi perilaku masyarakat. Salah satu
caranya adalah
melalui forum dialog yang difasilitasi untuk mendukung upaya pengurangan stigma dan
diskriminasi terhadap
ODHA. Rekomendasi review ini adalah melalui Pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS karena dalam banyak penelitian dibuktikan
sebagai salah satu
faktor yang paling mempengaruhi terjadinya pengurangan stigma ODHA di masyarakat
RPS 6
1. Komunikasi Kesehatan
2. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang
atau lebih secara tatap muka (Cangara, 2006 : 31). Interaksi antarpribadi berlangsung dalam
suasana yang bersahabat dan rahasia agar klien dapat terbuka mengungkapkan permasalahan
dengan nyaman tanpa takut rahasianya diketahui orang lain. Fungsi dari kegiatan tersebut,
klien diarahkan untuk merubah perilakunya. Selama konselor dan klien berinteraksi,
dibutuhkan adanya saling keterbukaan diri (self disclosure) untuk saling menyampaikan
ideide, gagasan, dan perasaaan yang ada dalam diri masing-masing. Metode dalam
komunikasi antarpribadi yang paling baik yaitu konseling.
3. Self-Disclosure
Self disclosure adalah pengungkapan informasi personal mengenai diri sendiri, dimana orang
lain tidak menemukan dalam cara lain (Enjang, 2009 : 116). Keterbukaan diri ODHA saat
berhubungan antarpribadi dengan konselor bertujuan untuk menggali informasi mengenai latar
belakang penyakitnya dan hal tersebut sangat membantu konselor dalam memberikan feedback
berkaitan dengan informasi-informasi penting seputar HIV/AIDS, memotivasi yang bisa
mendukung perkembangan sosial dan emosional ODHA sehingga mampu merubah sikap dan
perilakunya.
4. Konseling HIV/AIDS
1. Mendengarkan
a. Mendengarkan secara pasif yaitu dalam hal ini konselor memakai istilah “dancing by client”
atau mengikuti irama/suasana hati klien untuk menceritakan masalahnya, namun bukan dalam
artian mengikuti dan kemudian melupakan tujuan konseling. Konselor berusaha menciptakan
suasana yang mendukung bagi klien untuk bercerita dan mengeluarkan uneg-unegnya secara
leluasa tanpa mendapatkan judgement.
b. Mendengarkan secara aktif terjadi saat adanya diskusi diantara keduanya. Klien menceritakan
pengakuan-pengakuan terkait perilaku-perilaku beresiko yang pernah dilakukan. Dan tugas
konselor sebatas mendengarkan sambil sesekali memancing klien, agar klien berpikir mencari
jawaban atas perilaku apa yang menyebabkan dirinya tertular HIV. Ketika klien sudah
menemukan jawabannya sendiri, di sinilah konselor berperan untuk memberikan masukan guna
mendorong klien bangkit kesadaran dan bersedia mengubah perilaku beresikonya. Tujuan dari
teknik mendengarkan yang dilakukan konselor yaitu :
a. Mencari tahu permasalahan yang dihadapi klien. Ketika kepercayaan pada konselor tumbuh,
klien sudah merasakan nyaman dan mau membuka dirinya. Adanya trust yang terbangun
memudahkan konselor dalam mencari dan menggali informasi-informasi mengenai
permasalahan yang dihadapi klien. Dalam tahap tersebut konselor mencoba membangun
hubungan antarpribadi dengan klien. Konselor menggali informasi dari klien dengan melihat dan
mendengarkan penjelasan klien untuk mengetahui mengenai riwayat kenapa mereka bisa
menjadi ODHA. Apabila klien belum mau terbuka dan jujur terkait riwayat perilaku beresikonya,
konselor berusaha menyimpulkan dari cerita-cerita yang disampaikan klien. Pertanyaan dan
pernyataan yang konselor lontarkan dalam menggali informasi sifatnya netral dan tidak
memvonis.
b. Sebagai bantuan ke klien. Tujuan konseling yaitu membangkitkan kesadaran klien untuk
pemeriksaan HIV dan merubah perilaku yang bebas dari HIV. Dalam membantu klien
memecahkan masalahnya, konselor tidak boleh memberikan saran kepada klien, konselor harus
bersikap pasif dan klien dibuat untuk menemukan solusinya sendiri namun dengan pengarahan
konselor. Kesadaran untuk merubah perilaku beresiko harus tumbuh dari diri klien sendiri bukan
hasil intervensi orang lain. Perubahan perilaku yang dimaksud yaitu ketika klien tidak bisa
berhenti dari perilaku beresikonya, setidaknya diminimalisir dengan cara yang aman agar tidak
menularkan HIV kepada orang lain.
3. Self Disclosure
Proses pengungkapan informasi diri dalam konseling terjadi berkaitan dengan hidden area
klien. Klien yang datang pertama kali ke proses konseling berusaha menutupi hal-hal berkaitan
dengan riwayat perilaku beresikonya. Dengan pertemuan yang berulang kali dan seiring dengan
kepercayaan dan rasa nyaman yang tumbuh, klien perlahan mau terbuka kepada konselor terkait
latar belakangnya. Berhadapan dengan klien yang memiliki latar belakang berbeda, tentu tingkat
keterbukaan diri seorang klien terhadap masalahnya akan berbeda pula. Klien yang sulit
membagikan hidden area-nya kepada konselor akan membuat proses konseling menjadi lambat.
Untuk menggali hidden area klien terkait latar belakang kenapa bisa terkena HIV, setiap konselor
memiliki caranya sendiri seperti menempatkan diri konselor sebagai teman dan orang yang
ramah, mengajak ngobrol yang bermanfaat nantinya klien akan terbuka dengan sendirinya,
mengarahkan klien ke orang terdekatnya, atau membiarkan klien mengeluarkan semua uneg-
unegnya dan setelah klien merasa tenang, konselor akan memberikan bantuannya.