Anda di halaman 1dari 16

Tinjauan Pustaka

MANIFESTASI KLINIS NEUROLOGIS COVID-19


PADA ANAK

Oleh :

Iola Salsabila

1930912320034

Pembimbing :

dr. Nurul Hidayah, M.Sc, Sp. A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Juli, 2020
BAB I

PENDAHULUAN

Coronavirus disease 2019 (COVID-19), yang disebabkan oleh severe

acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), pertama kali

terdeteksi di Wuhan, China, pada bulan Desember 2019. Munculnya coronavirus

menjadi pandemi yang menginfeksi lebih dari sembilan juta orang (pada

pertengahan Juni 2020). Pada orang dewasa, gejala COVID-19 ditemukan mulai

dari yang asimtomatik hingga gagal napas berat.1 COVID-19 yang terjadi pada

anak memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah, tetapi tidak menutup

kemungkinan terjadinya infeksi sekunder yang lebih berat.2

Mekanisme SARS-CoV-2 menuju ke sistem neurologis memiliki beberapa

mekanisme. Hal tersebut menyebabkan terjadinya manifestasi klinis neurologis

pada pasien dengan COVID-19.10 Studi laboratorium mengungkap bahwa

reseptor utama host-cell dari SARS-CoV-2 adalah angiotensine-converting

enzyme 2 (ACE2) yang dihasilkan oleh neuron dan sel glia, sehingga mekanisme

yang mungkin terjadi pada manifestasi klinis neurologis pada COVID-19

disebabkan oleh virus yang menginvasi langsung ke sistem saraf pusat (SSP). 1

Jika dibanding orang dewasa, COVID-19 pada anak-anak dan dewasa muda

mungkin tidak memberikan manifestasi klinis yang lebih bahaya. 3 Namun, pada

beberapa kasus, kasus COVID-19 pada anak juga dapat menimbulkan komplikasi

yang serius jika terdapat faktor komorbid sebelumnya.


3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)

di mana virus ini merupakan virus ke-7 coronavirus. 2 Anak menurut World

Health Organization (WHO) mendefinisikan sebagai seseorang yang berusia 0-

<18 tahun.5 Jadi, dapat didefinisikan COVID-19 pada anak adalah seseorang

berusia di bawah 18 tahun yang terkena COVID-19.

2.2 Epidemiologi

Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan COVID-19 sebagai pandemik.

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China

setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020.

Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian

bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China. Tanggal 30 Januari

2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus

lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia,

Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan,

Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman.6

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020

sejumlah dua kasus.6 Terhitung hingga tanggal 17 Juli 2020, Amerika Serikat

menduduki peringkat pertama di dunia kasus terkonfirmasi positif COVIID-19


4

yaitu sebanyak 5.533.905 jiwa.7 Di Indonesia, kasus yang terkonfirmasi positif

COVID-19 telah mencapai 81.665 jiwa.8 Menurut Wu et al, kejadian COVID-19

pada anak usia 10-19 tahun ditemukan sebanyak 594/72.314 atau 1% dari seluruh

kasus; sedangkan kelompok usia <10 tahun sebanyak 416/72.314 (0,9%) kasus.5

2.3 Etiopatofisiologi COVID-19 terhadap Sistem Neurologis

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh virus patogen yang berbahaya yaitu severe acute respiratory

syndrome coronavirus 2 atau SARS-CoV-2.1 Virus ini merupakan single-stranded

RNA coronavirus. Studi laboratorium mengungkap bahwa reseptor sel host utama

dari SARS-CoV-2 ini adalah angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) di mana

ACE2 ini dihasilkan oleh neuron dan sel glia yang berada di sistem saraf pusat

(SSP). Karena itu, hal ini menjadi target potensial bagi COVID-19 menginvasi

SSP.1,9 Terdapat berbagai mekanisme bagaimana infeksi coronavirus dapat

menginvasi sistem saraf, yaitu10,11 :

2.3.1 Mekanisme langsung

 Jalur sirkulasi hematogen

Pada aliran vaskular, virus akan memperbanyak dirinya dan

memasuki blood-brain barrier (BBB). Mekanisme ini membuat

peningkatan dari produksi mononuklear makrofag yang akan

meningkatkan permeabilitas dari BBB sehingga terjadinya badai

sitokin. Ketika mekanisme ini terus terjadi, karenanya virus dapat

memasuki otak dan menyebabkan viral encephalitis. Walaupun

jarang ditemukan adanya coronavirus menginvasi sistem saraf


5

melalui jalur hematogen, tetapi beberapa studi telah membuktikan

adanya mekanisme tersebut.11

 Jalur persarafan

Jalur persarafan merupakan “kendaraan” penting bagi virus

neurotropik untuk memasuki sistem saraf pusat (SSP). Virus dapat

bermigrasi dengan menginfeksi ujung saraf sensorik maupun

motorik mencapai retrograde atau anterograde neuronal transport

melalui protein motorik yaotu dinein, dan kinesin. Contoh pada

mekanisme ini adalah pada transpor persarafan olfaktorius. Bentuk

anatomis yang khas pada persarafan olfaktorius dan olfaktorius bulb

di cavitas nasal dan forebrain membuat kanal di antara epitel yang

ada di nasal dan SSP. Struktur seperti ini yang membuat mudahnya

virus masuk melalui jalu neuronal. Virus yang masuk melalui nasal

membutuhkan waktu sekitar tujuh hari dan menyebabkan inflamasi

dan reaksi demialinasi.11

2.3.2 Hypoxia Injury

Saat virus berproliferasi pada jaringan di paru, hal ini dapat

menyebabkan difusi alveolar dan eksudasi pada jaringan interstisial

(edema). Mekanisme ini membuat terganggunya pertukaran gas alveolar

sehingga terjadinya hipoksia pada SSP yang meningkatkan metabolisme

anaerob di mitokondria yang ada di sel otak. Akumulasi dari produk akhir

dari metabolisme anaerob mengakibatkan vasodilatasi serebal,

membengkaknya sel otak, edema interstisial, obstruksi aliran darah ke otak,


6

dan nyeri kepala yang disebabkan karena iskemik dan kongesti. Jika

hipoksia ini terus berlanjut, edema serebral dan gangguan sirkulasi pada

otak akan semakin memburuk seperti terjadinya hipertensi intrakranial.

Maka dari itu, banyak pasien COVID-19 yang mengalami hipoksia yang

menyebabkan kerusakan sistem saraf.11

2.3.3 Immune Injury

Kerusakan sistem saraf yang disebabkan infeksi virus dapat dimediasi

oleh sistem imun. Patologi dari infeksi virus yang erat kaitannya dengan

systemic inflammatory response (SIRS). SIRS dapat menginisiasi terjadinya

pneumonia berat yang disebabkan oleh infeksi coronavirus. Infeksi CoV

yang persisten dan kemampuannya yang dapat mengaktivasi sel glia dan

menginduksi interleukin-6 (IL-6) yang merupakan penyebab terjadinya

badai sitokin. Mekanisme ini telah terbukti berhubungan dengan beratnya

manifestasi COVID-19. Sebagai tambahan, berbagai eksperimen telah

terkonfirmasi bahwa sel glia yang dikultur secara in vitro mensekresikan

faktor-faktor inflamatori dalam jumlah besar seperti IL-6, IL-12, IL-15, dan

TNF-α setelah terinfeksi CoV. Maka dari itu, aktivasi dari sel imun pada

otak dapat menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan otak.11

2.3.4 Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2)

ACE2 adalah faktor proteksi vaskular dari jantung ke otak yang

terdapat di bebagai macam organ di tubuh, termasuk pada sistem persarafan

dan otot-otot skelet yang berfungsi dalam meregulasi tekanan darah dan

memiliki mekanisme anti-aterosklerosis. Selain itu, ACE2 juga merupakan


7

target utama dari berbagai jenis CoV dan virus influenza. Berikatan dengan

reseptor ACE2, CoV maupun virus influenza menyebabkan terganggunya

tekanan darah dan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan serebral.

Sebagai tambahan, spike protein pada SARS-CoV-2 dapat berinteraksi

dengan ACE2 yang dihasilkan pada endotelium. Virus tersbeut juga dapat

membahayakan blood-brain barrier dan memasuki SSP dengan menginvasi

sistem vaskular.11

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi pada COVID 19 jika berdasarkan derajatnya, terbagi menjadi

beberapa kelompok, yaitu12 :

2.4.1 Asimtomatik

Pada derajat asimtomatik, pada manifestasi klinisnya tidak ditemukan

tanda-tanda apapun. Pada CT scan dan X-ray tidak ditemukan adanya

gambaran patologis. Namun, pada pemeriksaan SARS-CoV-2 ditemukan

hasil tes positif.12

2.4.2 Mild

Pada derajat mild, ditemukan manifestasi klinis atipikal dan tipikal.

Manifestasi klinis atipikal berupa demam, batuk kering, sakit tenggorokan,

pilek, bersin-bersin, lelah, mialgia, nyeri otot, nyeri kepala, menurunnya

indera penciuman. Manifestasi klinis tipikal berupa mual, muntah, diare, dan

nyeri abdomen. Pada CT scan maupun X-ray biasanya tidak ditemukan

perubahan patologis dan tidak ditemukan adanya pneumonia.12


8

2.4.3 Moderate

Pada derajat moderate, ditemukan adanya gejala pneumonia,

demam (biasanya persisten dan di atas 37,8 oC), dan batuk kering. Pada

pemeriksaan radiologis, ditemukan gambaran ground-glass opacities

dan konsolidasi paru. Selain itu, juga ditemukan bunyi crackles atau

wheezing pada saat dilakukan auskultasi.12

2.4.4 Severe

Pada derajat severe, ditemukan adanya dispneu, hipoksia, adanya

kerusakan paru sebanyak lebih dari 50%, diare, mual, dan muntah.

Pada gambaran radiologinya, ditemukan gambaran ground glass

opacities, konsolidasi paru, efusi pleura, dan limfadenopati. Hal

lainnya yaitu ditemukan keadaan klinis yang semakin memburuk.12

2.4.5 Critical

Pada derajat critical, ditemukan kesulitan bernafas yang parah,

nafas yang pendek, nyeri dada, kesulitan bergerak, dan kesulitan

berbicara. Pada gambaran radiologisnya ditemukan gambaran

bilateral ground glass opcaities, konsolidasi paru, dan nodul pada

paru. Tanda-tanda klinis juga semakin memburuk hingga ditemukan

berbagai macam komplikasi seperti acute respiratory distress

syndrome (ARDS) atau kegagalan respiratori, kerusakan miokardial,

aritmia, gagal jantung, gagal ginjal akut, kegagalan hati, encefalopati,


9

disseminated intravascular coagulation, rabdomiolisis, syok septik,

hingga multiple organ dysfunctions.12

2.5 Manifestasi Klinis Neurologis COVID-19

Manifestasi neurologis pada penderita COVID-19 dapat muncul baik itu

simtomatis dan asimtomatis. Manifestasi neurologis dapat terjadi pada sistem

saraf pusat (SSP), sistem saraf perifer, dan otot skelet. Pada pasien COVID-19

yang severe memiliki kemungkinan yang lebih besar mengalami disfungsi

neurologis, di antaranya acute cerebrovascular disease, gangguan kesadaran,

dan gangguan pada otot skelet merupakan hal yang lebih sering terjadi.

Menurut Helms et al, pasien dengan ARDS yang terinfeksi SARS-CoV-2 juga

menunjukkan tanda-tanda ensefalopati, agitasi, kebingungan, stroke iskemik

akut, dan tanda kerusakan corticospinal tract. Beberapa pasien hanya

mendapatkan gejala neurologis saja termasuk nyeri kepala, lesu, malaise, dan

perdarahan serebral. Sama seperti pada orang dewasa, manifestasi neurologis

juga bisa didapatkan pada bayi seperti distonik ekstensi tungkai dan gangguan

respons.12

Saat ini, ditemukan bahwa beberapa pasien COVID-19 memiliki

manifestasi yang mirip dengan infeksi intrakranial seperti nyeri kepala,

epilepsi, dan gangguan kesadaran. Meningkatnya jumlah pasien COVID-19

juga menimbulkan gejala seperti anosmia (hilangnya indra penciuman) dan

dysgeusia (distorsi rasa). Berikut adalah beberapa penyakit yang manifestasi

neurologisnya berhubungan dengan infeksi dari coronavirus: 11


10

2.5.1 Viral Encephalitis

Ensefalitis berhubungan dengan adanya lesi inflamatori pada

parenkim otak yang disebabkan oleh patogen. Kerusakan yang dapat

terjadi termasuk kerusakan neuronal dan lesi pada jaringan saraf. Pada

onsetnya bersifat akut dan gejala yang sering ditemui adalah nyeri

kepala, demam (umumnya demam dengan suhu yang tinggi), muntah,

kejang, dan gangguan kesadaran. Dalam tatalaksananya, rumah sakit di

Beijing mengkonfirmasi bahwa pada cairan serebrospinal pada pasien

COVID-19 yang mengidap viral encephalitis di saat terjadinya pandemi

ini terdapat adanya SARS-CoV-2. Adanya solid basis pada CoV inilah

yang menyebabkan terjadinya ensefalitis. 11

2.5.2 Infectious Toxic Encephalopathy

Infectious Toxic Encephalopathy adalah salah satu jenis dari

reversible brain dysfunction syndrome yang disebabkan oleh toksemia

sistemik, penyakit metabolik, dan hipoksia selama terjadinya infeksi akut

pada penyakit ini. Perubahan patologis yang mendasari pada penyakit ini

termasuk edema serebral, tanpa adanya bukti inflamasi pada analisis

cairan serebrospinal. Pasien dengan kasus mild memiliki manifestasi

klinis seperti nyeri kepala, disforia, gangguan mental, dan delirium. Pada

kasus yang serius akan menyebabkan disorientasi, hilangnya kesadaran,

koma, dan paralisis. Pasien dengan COVID-19 sering mengalami

hipoksia berat dan viremia yang kemungkinan besar disebabkan oleh

toxic encephalopathy, bahkan hampir 40% pasien COVID-19 mengalami


11

nyeri kepala, gangguan kesadaran, dan gangguan fungsi otak lainnya.

Secara kolektif, temuan ini dapat menjadi bukti bahwa COVID-19 dapat

menyebabkan infectious toxic encephalopathy, walaupun studi yang lebih

lanjut tetap dibutuhkan. 11

2.5.3 Acute cerebrovascular disease

Banyak bukti yang mengindikasikan bahwa penyakit respiratori

yang disebabkan oleh virus adalah fakor risiko independen untuk acute

cerebrovascular disease. Adanya infeksi CoV, khususnya SARS-CoV-2,

menyebabkan terjadinya badai sitokin yang merupakan salah satu faktor

penyebab terjadinya penyakit ini. Sebagai tambahan, pasien terinfeksi

SARS-CoV-2 yang memiliki klinis yang berat sering ditemukan

peningkatan nilai D-dimer dan penurunan jumlah platelet yang parah, hal

ini dapat menyebabkan terjadinya acute cerebrovascular disease.11

Manifestasi neurologis juga dapat ditemukan pada anak yang terinfeksi

COVID-19. Pada penelitian Mannan et al, dari 50 pasien anak yang terinfeksi

COVID-19, 27 di antaranya mengalami multisystem inflammatory syndrome

dan 4 pasien memiliki tanda-tanda kelainan neurologis. Manifestasi neurologis

pada SSP yang ditemukan adalah ensefalopati, nyeri kepala, disartria, disfagia,

meningism, dan ataxia. Sedangkan pada manifestasi neurologis pada sistem

saraf perifer ditemukan adanya kelemahan pada ekstremitas dan penurunan

refleks. Pada pemeriksaan electroencephalography, ditemukan hasil mild

difuse slowing dan pada pemeriksaan electromyography ditemukan adanya

miopati. 1
12

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Manifestasi klinis COVID-19 pada anak bervariasi, mulai dari

asimtomatik hingga menunjukkan gejala sesak nafas yang berat. Pada

anamnesis dapat digali apakah adanya gejala sistemtik (demam, malaise,

fatigue, nyeri kepala, mialgia), gejala saluran pernapasan (batuk, pilek,

nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, sesak napas), maupun gejala lainnya

(diare, mual, muntah). Faktor risiko juga penting dalam anamnesis (kontak

erat dengan kasus probabel maupun kasus terkonfirmasi COVID-19 dan

adanya riwayat tinggal atau bepergian ke daerah yang terjangkit).5

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, bisa didapatkan kesadaran kompos mentis

hingga penurunan kesadaran, desaturasi (SaO2 <92%), ditemukan demam

dan peningkatan laju napas, napas cuping hidung, sianosis, retraksi

subkostal dan/atau interkostal, suara paru ronki maupun wheezing, dan

dapat juga ditemukan pembesaran tonsil.5

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 dengan metode RT-

PCR dan sequencing; spesimen yang dikirim untuk pemeriksaan

ini adalah swab nasofaring, sputum, dan serum dan perlu

koordinasi dengan dinas kesehatan setempat untuk penyediaan

viral transport media (VTM) dan cara pengirimannya.5

 Pemeriksaan rapid test


13

Pemeriksaan ini harus berhati-hati dalam menginterpretasikan

hasilnya dengan memperhatikan waktu kontak dan timbulnya

gejala mengingat false negative yang tinggi. Perlu dilakukan

pemeriksaan lanjutan untuk mengkonfirmasi diagnosis.5

 Pemeriksaan lainnya yang terindikasi sesuai kondisi pasien seperti

pemeriksaan darah maupun pencitraan.5

2.7 Penatalaksanaan

Masih belum ada pengobatan antiviral khusus untuk COVID-19. Namun,

beberapa hal yang bisa dilakukan adalah isolasi dan perawatan suportif termasuk

terapi oksigen, manajemen cairan, dan antibiotik untuk infeksi bakteri sekunder.

Beberapa pasien COVID-19 berkembang dengan cepat menjadi ARDS dan syok

septik, yang akhirnya diikuti oleh kegagalan organ multipel. Saat ini, tidak ada

vaksinasi yang tersedia, tetapi bahkan jika ada, penggunaannya mungkin kurang

optimal.2 Terapi imun juga dapat diberikan pada pasien anak dengan COVID-19

yang memiliki manifestasi neurologis. Pemberian terapi imun tersebut meliputi

injeksi intravena imunoglobulin 1 g/kg sebanyak satu dosis, deksametason 10

mg/m2, injeksi intravena metilprednisolon 2 mg/kg , anakinra 2 mg/kg, rituximab

375 mg/m2.1
BAB III
PENUTUP

Saat ini, COVID-19 merupakan pandemi yang dapat menyerang siapa saja

termasuk pada anak-anak. Walaupun kejadiannya tidak sebanyak usia lanjut,

tetapi jika ditemui kasus COVID-19 pada anak dengan adanya kondisi penyakit

yang mendahului akan memberikan manifestasi klinis yang serius termasuk pada

manifestasi neurologisnya. Sampai saat ini, masih dilakukan banyak penelitian

seberapa berpengaruhnya SARS-CoV-2 menginfeksi sistem neurologis pada anak.

Ensefalopati, nyeri kepala, disartria atau disfagia, melemahnya otot ekstremitas,

menurunnya refleks merupakan beberapa manifestasi neurologis yang dapat

berhubungan dengan infeksi SARS-CoV-2. Dalam penanganan COVID-19, belum

ada temuan antiviral yang efektif untuk mengobati penyakit ini sehingga hanya

terapi suportif dan simtomatis saja yang dapat diberikan untuk mencegah adanya

komplikasi yang lebih lanjut.


DAFTAR PUSTAKA

1. Abdel-Mannan O, Eyre M, Lobel U, Bamford A, Eltze C, Hameed B, et al.


Neurologic and Radiographic Findings Associated With COVID-19
Infection in Children. JAMA Neurol. 2020;1–6.
2. Harapan H, Itoh N, Yufika A, Winardi W, Keam S, Te H, et al.
Coronavirus disease 2019 (COVID-19): A literature review. J Infect Public
Health. 2020;13(5):667–73.
3. Ludvigsson JF. Systematic review of COVID-19 in children shows milder
cases and a better prognosis than adults. Acta Paediatr Int J Paediatr.
2020;109(6):1088–95.
4. Shekerdemian LS, Mahmood NR, Wolfe KK, Riggs BJ, Ross CE,
McKiernan CA, et al. Characteristics and Outcomes of Children With
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Infection Admitted to US and
Canadian Pediatric Intensive Care Units. JAMA Pediatr . 2020 May
11;35(4):281–7.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan Klinis Tata Laksana COVID-19
pada Anak Edisi 2. 2020.
6. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M,
Herikurniawan H, et al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur
Terkini. J Penyakit Dalam Indones. 2020;7(1):45.
7. Kasus Virus Corona (COVID-19) di Seluruh Dunia. Available from:
https://news.google.com/covid19/map?
hl=id&mid=/m/02j71&gl=ID&ceid=ID:id [diakses pada 17 Juli 2020]

8. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia.


Available from: https://bnpb-inacovid19.hub.arcgis.com. [diakses pada 17
Juli 2020]

9. Baig AM, Khaleeq A, Ali U, Syeda H. Evidence of the COVID-19 Virus


Targeting the CNS: Tissue Distribution, Host-Virus Interaction, and
Proposed Neurotropic Mechanisms. ACS Chem Neurosci. 2020;11(7):995–
8.
10. Abboud H, Abboud FZ, Kharbouch H, Arkha Y, El Abbadi N, El Ouahabi
A. COVID-19 and SARS-Cov-2 Infection: Pathophysiology and Clinical
Effects on the Nervous System. World Neurosurg. 2020;140:49–53
11. Wu Y, Xu X, Chen Z, Duan J, Hashimoto K, Yang L, et al. Nervous system
involvement after infection with COVID-19 and other coronaviruses. Brain
Behav Immun. 2020;87(January):18–22.
12. Baj J, Karakuła-Juchnowicz H, Teresiński G, Buszewicz G, Ciesielka M,
Sitarz E, et al. COVID-19: Specific and Non-Specific Clinical
Manifestations and Symptoms: The Current State of Knowledge. J Clin
Med. 2020;9(6):1753.

Anda mungkin juga menyukai