Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 URAIAN UMUM


Perkerasan jalan raya adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan lapis
konstruksi tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta kestabilan
tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas diatasnya ke tanah dasar secara
aman. Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak di antara lapisan
tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana
transportasi, dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang
berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang diharapkan, maka
pengetahuan tentang sifat, pengadaan dan pengolahan dari bahan penyusun perkerasan
jalan sangat diperlukan.

2.2 PENGERTIAN JALAN RAYA


Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi seluruh bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di atas permukaan
air serta di bawah permukaan tanah dan atau air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan
jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).
Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh
manusia dengan bentuk, ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan
untuk menghubungkan dan menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang
mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat yang
memenuhi syarat teknis dan ekonomis sesuai fungsi, volume, dan sifat-sifat lalu lintas.

5
2.3 BAGIAN-BAGIAN JALAN
Jalan memiliki bagian-bagian yang sangat penting, bagian-bagian tersebut
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu bagian yang berguna untuk lalu lintas, bagian
yang berguna untuk drainase jalan, bagian pelengkap jalan, dan bagian konstruksi
jalan.

Bagian yang beguna untuk lalu lintas terdiri dari:


1. Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan
untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas terdiri dari beberapa lajur (lane)
kendaraan. Jalur lalu lintas untuk satu arah minimal terdiri dari satu lajur lalu lintas.
2. Lajur lalu lintas, merupakan bagian paling menentukan lebar melintang jalan secara
keseluruhan. Brsarnya lebar lajur lalu lintas dapat ditentukan dengan pengamatan
secara langsung
3. Bahu jalan adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas yang
berfungsi sebagai: ruangan untuk berhenti, ruang untuk menghindar dalam keadaan
darurat, memberikan kelenggangan pengemudi, pendukung konstruksi perkerasan
jalan dari arah samping, ruang pembantu pada saat perbaikan dan pemeliharaan
jalan, ruang melintas kendaraan patroli, ambulans, dll
4. Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas yang
dikhususkan untuk pejalan kaki. Untuk keamanan pejalan kaki maka trotoar hatus
di buat terpisah dari jalur lalu lintas oleh struktur fisik berupa kerb. Kebutuhan
trotoar tergantung dari volume lalu lintas pemakai jalan.
5. Median adalah jalur pemisah yang teletak ditengah jalan untuk membagi jalan dalam
masing-masing arah. Fungsi median antara lain sebagai daerah netral dimana
pengemudi masih dapat mengontrol kendaraan pada saat darurat, menyediakan jarak
yang cukup untuk membatasi kesialuan dari kendaraan lain yang belawanan arah,
mengamankan kebebasan samping 10 11 dari masing-masing arah, menyediakan
ruang untuk kanalisasi pertemuan pada jalan, menambah rasa kelegaan,
kenyamanan, dan keindahan bagi pengguna jalan.

6
Bagian yang berguna untuk drainase jalan antara lain:
1. Saluran samping
2. Kemiringan melintang
3. Kemiringan melintang bahu
4. Kemiringan lereng

Bagian Pelengkap Jalan meliputi:


1. Kerb
2. Pengaman Tepi

Bagian konstruksi jalan meliputi:


1. Lapisan perkerasan jalan
2. Lapisan pondasi atas
3. Lapisan pondasi bawah
4. Lapisan tanah dasar

Menurut PP No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, jalan memiliki bagian-bagian


yang diberi nama daerah manfaat jalan (damaja), daerah milik jalan (damija), dan
daerah pengawasan jalan (dawasja).
2.3.1 Damaja (Daerah Manfaat Jalan)
Daerah manfaat jalan (damaja) adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk
konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang
pengamannya. Badan jalan meliputi jalan lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah
dan bahu jalan, termasuk jalan perjalan kaki. Ambang pengamanan jalan terletak di
bagian paling luar, dari ruang manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan
bangunan jalan.
Dalam rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta
pengamanan konstruksi jalan badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas. Ruang bebas
dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu. Lebar ruang bebas sesuai dengan

7
lebar badan jalan. Tinggi dan kedalaman ruang ditetapkan lebih lanjut oleh
penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri. Tinggi ruang bebas bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling rendah
5 (lima) meter. Kedalaman ruang bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling rendah
1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan jala

2.3.2 Damija (Daerah Milik Jalan)


Daerah milik jalan (damija) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan
yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang
milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan
penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa
yang akan datang
Ruang milik jalan paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut:
a. jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter;
b. jalan raya 25 (dua puluh lima) meter;
c. jalan sedang 15 (lima belas) meter;
d. jalan kecil 11 (sebelas) meter.

2.3.3 Dawasja (Daerah Pengawasan Jalan)


Daerah pengawasan jalan (dawasja) adalah ruang tertentu yang terletak di luar
ruang milik jalan yang penggunaannya diawasi oleh penyelenggara jalan agar tidak
mengganggu pandangan pengemudi, konstruksi bangunan jalan apabila ruang milik
jalan tidak cukup luas, dan tidak mengganggu fungsi jalan. Terganggunya fungsi jalan
disebabkan oleh pemanfaatan ruang pengawasan jalan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya.

Dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan jalan

ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut:

8
a. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;
b. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter;
c. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;
d. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter;
e. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;
f. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;
g. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;
h. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan
i. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.

Gambar 2.1 Bagian-bagian Jalan Raya

2.4 KLASIFIKASI JALAN


2.4.1 Klasifikasi Jalan Menurut Peruntukkannya
1. Jalan Umum
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
2. Jalan Khusus
Jalan khusus adalah jalan yang di bangun oleh instasi, badan usaha, perseorangan,
atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri

9
2.4.2 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan
1. Jalan Arteri
Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani angkutan utama dengan ciri ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rerata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien.
2. Jalan Kolektor
Jalan kolektor adalah jalan umum yang melayani angkutan pengumpul / pembagi
dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rerata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rerata rendah dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
4. Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri
perjalanan jarak dekat dan kecepatan rerata

2.4.3 Klasifikasi Jalan Menurut Sistemnya


1. Sistem Jaringan Jalan Primer Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
palayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional dengan menghubungkan semua simpul jasa yang berwujud pusat
pusat kegiatan (UU No. 38 Tahun 2004).
a. Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu
dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan yang
menhubungkan kota jenjang kedua yang berada di bawah pengaruhnya.
b. Jalan kolektor primer adalah ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang
kedua dengan kota jenjang kedua yang lainnya atau ruas jalan yang
menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang berada
di bawah pengaruhnya.

10
c. Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga
dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan persil, kota
jenjang kedua dengan persil, serta ruas jalan yang menghubungkan kota
jenjang ketiga dengan kota yang berada di bawah pengaruhnya sampai persil.

2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di wilayah perkotaan (UU
No. 38 Tahun 2004).
a. Jalan arteri sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer
dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan kawasa sekunder kedua.
b. Jalan kolektor sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan -
kawasan sekunder kedua yang satu dengan yang lainnya atau menghubungkan
kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ketiga.
c. Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan -
kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua
dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

2.4.4 Klasifikasi Jalan Menurut Kelasnya


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas dan dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam
satuan ton. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan
klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan


Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (MST) Ton
Arteri I >10

11
II 10
IIIA 8
Kolektor IIIA 8
IIIB 8
Sumber: TPGJAK No. 038/ T/ BM/ 1997

2.4.5 Klasifikasi Jalan Menurut Statusnya


1. Jalan Nasional
Jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol
2. Jalan Provinsi
Jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota
provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan
jalan strategis provinsi
3. Jalan Kabupaten
Jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk Jalan Nasional
maupun Jalan Provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dala sistem jaringan jalan
sekunder dala wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten
4. Jalan Kota
Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan
antarpusat permukiman yang berada di dalam kota
5. Jalan Desa
Jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam
desa, serta jalan lingkungan

12
2.5 JENIS KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN
Konstruksi perkerasan terdiri dari beberapa jenis sesuai dengan bahan ikat yang
digunakan serta komposisi dari komponen konstruksi perkerasan itu sendiri antara lain
konstruksi perkerasan lentur, konstruksi perkerasan kaku, konstruksi perkerasan
komposit.

2.5.1 Konstruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)


a. Memakai bahan pengikat aspal.
b. Sifat dari perkerasan ini adalah memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah
dasar.
c. Pengaruhnya terhadap repetisi beban adalah timbulnya rutting (lendutan pada jalur
roda).
d. Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, jalan bergelombang (mengikuti
tanah dasar).

Gambar 2.2 Komponen Perkerasan Lentur

2.5.2. Konstruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


a. Memakai bahan pengikat semen portland (PC).
b. Sifat lapisan utama (plat beton) yaitu memikul sebagian besar beban lalu lintas.
c. Pengaruhnya terhadap repetisi beban adalah timbulnya retak-retak pada permukaan
jalan.
d. Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, bersifat sebagai balok di atas
permukaan.

13
Gambar 2.3 Komponen Perkerasan Kaku

2.5.3. Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement)


a. Kombinasi antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur.
b. Perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau sebaliknya.

Gambar 2.4 Komponen Perkerasan Komposit

2.6 KERUSAKAN-KERUSAKAN YANG TERDAPAT PADA JALAN


Menurut Manual Pemeliharaan Jalan No. 03/ MN/ B/ 1983 yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan menjadi:
1. Retak (cracks)
2. Distorsi (distortion)
3. Cacat permukaan (disintegration)
4. Pengausan (polished aggregat)
5. Kegemukan (bleeding of flushing)
6. Penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depression)

14
2.6.1 Retak (Cracks)
Kerusakan retak yang terjadi di permukaan jalan memiliki beberapa tipe yang
dapat dibedakan menjadi :
1. Retak Rambut (Hair Cracks)
Retak rambut dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari
permukaaan jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan terpisah. Lebar celah lebih
kecil dari atau sama dengan 3 mm. Penyebabnya adalah konstuksi perkerasan tidak
kuat mendukung beban lalu lintas yang ada, lapis permukaan terlalu tipis, pemilihan
campuran yang terlalu kaku untuk lapis permukaan yang tipis, kelelahan lapis
permukaan akibat beban lalu lintas dan umur jalan, bahan perkerasan yang kurang
baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil
dan stabilitas atau pemadatan lapis permukaan tidak memadai. Retak rambut ini
dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan. Retak rambut yang tidak segera
ditangani dapat berkembang menjadi retak kulit buaya (alligator crack)

Gambar 2.5 Retak Rambut

2. Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks)


Retak kulit buaya berkembang dari retak rambut yang telah mengalami kerusakan
parah akibat tidak segera dilakukannya perbaikan. Retak kulit buaya dapat terjadi
pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak retakan
tidak beraturan dan saling berpotongan. Lebar celah lebih besar dari atau sama

15
dengan 3 mm. Retak kulit buaya terlihat seperti retak yang saling merangkai dan
membentuk kotak-kotak yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh
bahan perkerasan yang kurang kurang baik, pelapukan perkerasan, tanah dasar atau
bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil atau lapis pondasi dalam
keadaan jenuh air (air tanah baik). Retak kulit buaya yang luas dan sudah parah
dapat berkembang menjadi lubang atau amblas

Gambar 2.6 Retak Kulit Buaya

3. Retak Pinggir (Edge Cracks)


Retak pinggir adalah retak memanjang jalan dengan atau tanpa cabang yang
mengarah pada bahu jalan dan terletak di dekat bahu. Retak pinggir disebabkan oleh
tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase yang kurang baik, terjadinya
penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar
tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi penyebab terjadinya
retak pinggir ini. Di lokasi retak air dapat meresap dan dapat merusak lapis
perkerasan. Retak pinggir jika dibiarkan akan berkembang menjadi lubang lubang.

16
Gambar 2.7 Retak Pinggir

4. Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks)


Retak sambungan jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan dua
jalur/ lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan oleh tidak baiknya ikatan sambungan
kedua jalur/ lajur tersebut. Penyebab kerusakan ini adalah pemisahan sambungan
(joint) antara perkerasan dengan bahu jalan akibat kembang susut dari lapisan di
bawah permukaan, penurunan bahu jalan, penyusutan campuran bahan jalan atau
sehubungan dengan sambungan yang dilewati truk, serta permukaan bahu lebih
tinggi dari permukaan perkerasan.

Gambar 2.8 Retak Sambungan Jalan

17
5. Retak Sambungan Pelebaran Jalan (Widening Cracks)
Retak sambungan pelebaran jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada
sambungan antara perkerasan lama dengan pekerasan berakibat pelebaran jalan,
dapat juga disebabkan oleh ikatan antara sambungan yang tidak baik. Jika tidak
segera diperbaiki, air dapat masuk ke dalam lapisan perkerasan yang akan
mengkibatkan lepasnya butir - butir perkerasan dan retak semakin besar.

Gambar 2.9 Retak Sambungan Pelebaran Jalan

6. Retak Selip (Slippage Cracks)


Retak Selip adalah retak yang bentuknya seperti bulan sabit. Hal ini disebabkan oleh
kurang baiknya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya. Kurang
baiknya ikatan dapat disebabkan oleh adanya debu, minyak, air, atau benda - benda
non - adhesif lainnya atau akibat tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat
diantara kedua lapisan. Retak selip dapat terjadi akibat 20 terlalu banyaknya pasir
dalam campuran lapis permukaan atau kurang baiknya pemadatan lapis perkerasan.

18
Gambar 2.10 Retak Selip

2.6.2 Distorsi (Distorsion)


Distorsi atau perubahan bentuk dapat terjadi karena lemahnya tanah dasar,
pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi pemadatan tambahan
akibat beban lalu lintas. Sebelum dilakukan perbaikan terlebih dahulu perlu ditentukan
jenis dan penyebab distorsi dengan demikian dapat dilakukan penanganan yang tepat.
Distorsi dibedakan menjadi beberapa tipe, antara lain sebagai berikut:
1. Alur (Ruts) Ruts terjadi pada lintasan roda sejajar pada as jalan. Alur dapat
merupakan penggenangan air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi
tingkat kenyamanan dan akhirnya dapat timbul retak - retak. Terjadinya alur
disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian terjadi
tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Campuran
aspal dengan stabilitas rendah juga dapat menimbulkan deformasi plastis.
Alur juga dapat disebabkan oleh:
a. Pengaruh lalu lintas (jumlah kendaraan, beban gandar dan kecepatan kendaraan).
b. Pengaruh cuaca. Material terlepas pada musim kering dan tercampur lumpur dan
lembek pada musim hujan.
c. Gradasi bahan tidak memenuhi persyaratan (terlalu banyak pasir atau terlalu
banyak lempung).

19
Gambar 2.11 Alur (Ruts)

2. Bergelombang (Coguration)
Bergelombang adalah alur yang terjadi melintang jalan. Timbulnya permukaan jalan yang
bergelombang ini, menyebabkan pengemudi menjadi tidak nyaman dalam berkendara.
Penyebab kerusakan ini adalah rendahya stabilitas campuran yang disebabkan oleh terlalu
tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk bulat
dan berpermukaan penetrasi yang tinggi. 22 Bergelombang dapat juga terjadi jika lalu lintas
dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang mempergunakan aspal cair).

Gambar 2.12 Bergelombang (Coguration)

20
3. Sungkur (Shoving)
Sungkur terjadi akibat deformasi plastis setempat, biasanya terjadi di tempat
kendaraan sering berhenti, kelandaian curam dan tikungan tajam. Kerusakan dapat
terjadi dengan/ tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan
bergelombang.

Gambar 2.13 Sungkur (Shoving)

4. Amblas (Grade Depressions)


Amblas biasanya terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat diketahui
dari adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan
perkerasan dan menyebabkan lubang. Penyebab amblas adalah adanya beban
kendaraan yang melebihi dari yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik,
atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.

Gambar 2.14 Amblas (Grade Depressions)

21
5. Jembul (Upheaval)
Jembul biasanya terjadi setempat, dimana kendaraan sering berhenti, dengan atau
tanpa retak. Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan
dibanding9kan dengan permukaan sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya
pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif dan juga dipengaruhi oleh
beban kendaraan yang melebihi standar

Gambar 2.15 Jembul (Upheaval)

2.6.3 Catatan Permukaan (Disintegration)


Cacat permukaan mengarah pada kerusakan secara kimiawi dan mekanis dari
lapisan perkerasan.
Beberapa yang termasuk dalam cacat permukaan antara lain sebagai berikut :
1. Lubang (Pothole)
Lubang pada permukaan dapat berupa mangkuk dengan ukuran yang bervariasi, dari
kecil hingga besar. Lubang - lubang ini menampung air dan meresapkannya ke
dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.
Lubang dapat diakibatkan oleh beberapa sebab, yaitu :
a. campuran material aspal yang jelek, seperti:
1. Kadar aspal rendah sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
2. Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.

22
3. Temperature campuran tidak memenuhi syarat.
b. lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat
pengaruh cuaca,
c. sistem drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul dalam
lapisan perkerasan,
d. retak - retak yang tidak ditangani sehingga air meresap dan mengakibatkan
terjadinya lubang - lubang kecil.

Gambar 2.16 Lubang (Pothole)

2. Pelepasan Butir (Ravelling)


Pelepasan butir adalah pelepasan partikel agregat dan permukaan perkerasan yang
apabila tidak diperbaiki dalam waktu yang lama, akan makin dalam. Pelepasan butir
dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek yang buruk serta ditimbulkan oleh
hal yang sama dengan lubang. Biasanya agregat halus (fine aggregate) terlepas
terlebih dahulu dan akibat erosi yang terus menerus, maka partikel - partikel yang
lebih besar akan ikut terlepas dan menyebabkan permukaan menjadi kasar (rough).

23
Gambar 2.17 Pelepasan Butir (Ravelling)

3. Pengelupasan Lapisan (Stripping)


Pengelupasan merupakan kerusakan perkerasan jalan yang terjadi pada daerah yang
luas menyebabkan permukaan jalan menjadi kasar. Pengelupasan dapat diakibatkan
oleh kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya atau terlalu
tipisnya lapis permukaan. Lepasnya material halus tisak diikuti dengan pemadatan
kembali ssehingga interlock antar agregat menjadi berkurang yang menyebabkan
lepasnya agregat.

24
Gambar 2.18 Pengelupasan Lapisan (Stripping)
4. Pengausan (Polished Aggregate)
Pengausan adalah kerusakan partikel agregat pada permukaan perkerasan yang licin
atau halus (smooth). Permukaan jalan menjadi licin sehingga membahayakan
kendaraan. Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan
aus terhadap roda kendaraan atau agregat yang digunakan berbentuk bulat dan licin,
tidak berbentuk cubical

Gambar 2.19 Pengausan (Polished Aggregate)

2.6.3 Kegemukan (Bleeding/ Flussing)


Kegemukan adalah perpindahan ke atas dari aspal pada permukaan lapisan aspal
sehingga membentuk lapisan aspal di atas permukaan. Biasanya terjadinya luas dan
permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi
jejak roda, hal ini membahakan kendaraan. Kegemukan dapat disebabkan pemakaian
kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada
pakerjaan prime coat atau tack coat.

25
Gambar 2.20 Kegemukan (Bleeding/ Flussing)

2.6.4Penurunan pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression)


Penurunan yang terjadi di bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena
pemadatan yang tidak memenuhi syarat, sehingga aspal mengalami depression

Gambar 2.21 Penurunan pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression)

26
2.7 METODE PERHITUNGAN PERKERASAN JALAN
2.7.1 Perhitungan Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2017
1. Nomogram Berdasarkan Analisa Lalu Lintas
Nomogram yang ada dibuat berdasarkan atas analisa lalu lintas selama 20 tahun
(umur rencana 20 tahun) walupun demikian monogram tersebut bisa dipakai lebih
kurang 20 tahun. Hal ini dimungkinkan karena telah di sediakan suatu factor
penyesuaian sehubungan dengan penyimpangan-penyimpangan tersebut.
Rumus Dasar:
(𝐈+𝐢)𝐔𝐑
FP = , untuk i < 10%
𝟏𝟎𝒊

Rumus Umum :
(𝐈+𝐢)𝐔𝐑−𝟏
FP = 𝟏𝟎.𝒆 𝐥𝐨𝐠(𝑰+𝒊), untuk i < 10%

2. Persentase Kendaraan Pada Jalur Rencana


Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya, yang
menampung lalu lintas terbesar. Jumlah kendaraan yang melewati lajur rencana
masing-masing beratnya diperhitungkan dengan nilai koefisien distribusi arah
kendaraan (c).

Tabel 2.2 Koefisien Distribusi Arah Kendaraan

Kendaaan Ringan Kendaraan Berat


Jumlah Lajur
1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
1 lajur 1 1 1 1
2 lajur 0.6 0.5 0.7 0.5
3 lajur 0.4 0.4 0.5 0.475
4 lajur - 0.3 - 0.45
5 lajur - 0.25 - 0.425
6 lajur - 0.2 - 0.4
Sumber SKBI – 2.3.26/SNI 03-1732-1989

27
3. Angka Ekuivalen
Angka Ekivalen (E) dari suatu beban sumbu kendaraan adalah angka yang
menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan
beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
satu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb).
Angka ekuivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan)
ditentukan menurut rumus berikut:
 Angka ekuivalen sumbu tunggal
𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈)
E= ( )4
𝟖𝟏𝟔𝟎

 Angka ekuivalen sumbu ganda


𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈 ) 4
E = (𝟎, 𝟎𝟖𝟔 𝟖𝟏𝟔𝟎
)
 Angka ekuivalen sumbu triple
𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈) 4
E = (𝟎, 𝟎𝟓𝟑 )
𝟖𝟏𝟔𝟎

Penentuan angka ekivalen dapat ditentuan berdasarkan tabel yang telah dikeluarkan
oleh Bina Marga.

Tabel 2.3 Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraaan

28
4. Jalur Rencana
Jalur Rencana adalah salah satu jalur lalu lintas dari suatu sistem jalan raya, yang
menampung lalu lintas terbesar. Umumnya jalur rencana adalah salah satu jalur dari
jalan raya dua jalur tepi luar dari jalan raya berjalur banyak. Jika jalan tidak memiliki
tanda batas jalur.

5. Umur Rencana (UR)


Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung mulai dari dibukanya
jalan raya tersebut sampai saat diperlukan perbaikan berat atau telah di anggap perlu
untuk memberikan lapisan permukaan baru agar jalan tersebut tetap berfungsi baik
sebagaimana rencana. Umur rencana terbagi atas dua bagian yaitu ;
a. Awal Umur Rencana (LHR0)

LHR0 = LHRS (1+i%)n

b. Akhir Umur Rencana (LHRA)

LHRA = LHR0 (1+i%)n

6. Indeks Permukaan
Indeks permukaan adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan
kerataan atau kehalusan serta kekokohan permukaan jalan bertalian dengan tingkat
pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya
adalah seperti yang tersebut di bawah ini :
a. IP = 1,0 menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga dapat
mengganggu lalu lintas kendaraan
b. IP = 1,5 adalah tingkat pelayanan yang masih mungkin ( jalan tidak terputus )
c. IP = 2,0 adalah tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap
d. IP = 2,5 menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik. Dalam
menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana ( IPt ) perlu
dipertimbangkan factor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lalu lintas
Ekivalen rencana ( LER ).

29
Nilai indeks permukaan awal (IPo) ditentukan dari jenis lapis permukaan dan nilai
indeks permukaan akhir (IPt) ditentukan dari nilai LER. Adapun nilai IPo dari
masing-masing jenis lapis permukaan.

Tabel 2.4 IPo terhadap Jenis Lapis Permukaan

Jenis Lapisan Ipo Roughness* (mm / km)

≥4 ≤ 1.000
LASTON
3,9 - 3,5 > 1.000
3,9 - 3,5 ≤ 2.000
LASBUTAG
3,4 - 3,0 > 2.000
3,9 - 3,5 ≤ 2.000
HRA
3,4 - 3,0 > 2.000
BURDA 3,9 - 3,5 < 2.000
BURTU 3,4 - 3,0 < 2.000
3,4 - 3,0 ≤ 3.000
LAPEN
2,9 - 2,5 > 3.000
LATASBUM 2,9 - 2,5
BURAS 2,9 - 2,5

Tabel 2.5 Indek Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)


Klasifikasi Jalan
LER
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 - 1,5 1,5 1,5 - 2,0 -
10 - 100 1,5 1,5 - 2,0 2,0 -
100 - 1000 1,5 - 2,0 2,0 2,0 - 2,5 -
> 1000 - 2,0 - 2,5 2,5 2,5

30
7. Lalu Lintas
a. Lalu Lintas Harian Rata-Rata ( LHR )
Lalu lintas harian rata-rata adalah jumlah rata-rata dari lalu lintas berjenis-jenis
kendaraan bermotor dari beroda empat atau lebih yang dicatat selama 24 jam
untuk kedua jurusan.

b. Lintas Ekivalen Permukaan ( LEP )


Lintas ekivalen permukaan adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari
sumbu tunggal seberat 8,2 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi
pada permulaan umur rencana.

LEP = Σ LHRj x Cj x Ej
Dimana :
Cj = koefisien distribusi arah
j = masing-masing jenis kendaraan

c. Lintas Ekivalen Akhir ( LEA )


Merupakan jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat
8,2 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir dari umur
rencana.
LEA = Σ LHRj (1+i)UR x Cj x Ej
Dimana :
i = tingkat pertumbuhan lalu lintas
j = masing-masing jenis kendaraan
UR = umur rencana

31
d. Lintasan Ekivalen Tengah ( LET )
Lintasan ekivalen tengah adalah jumlah lintasan ekivalen harian rata-rata dari sumbu
tunggal seberat 8,2 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana diduga terjadi pada pertengahan
dari umur rencana

𝐋𝐄𝐏+𝐋𝐄𝐀
LET =
𝟐

e. Lintasan Ekivalen rencana


Lintasan ekivalen rencana adalah jumlah suatu besaran yang dipakai dalam
nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan jumlah lintas ekivalen
sumbu tunggal seberat 8,2 ton ( 18.000 lbs) pada jalur rencana.

LER = LET X FP

Dimana :
FP = faktor Penyesuaian
UR
FP = 10

f. Faktor Regional
Faktor Regional adalah factor setempat sehubungan dengan iklim, curah hujan
dan kondisi lapangan secara umum akan berpengaruh terhadap daya dukung
tanah dasar dan perkerasan. Faktor regional adalah keadaan lapangan yang
mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase, bentuk alinyemen,
prosentase kendaraan berat dengan MST ≥ 13 ton dan kendaraan yang berhenti,
serta iklim. Peraturan Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya menentukan bahwa
faktor yang menyangkut permeabilitas tanah hanya dipengaruhi oleh alinyemen,
prosentase kendaraan berat dan kendaraan yang berhenti, serta alinyemen. Untuk
kondisi tanah pada daerah rawa-rawa ataupun daerah terendam, nilai FR yang
diperoleh dari table.

32
Tabel 2.6 Faktor Regional
Kelandaian I ( <6 Kelandaian II ( 6 – Kelandaian III (>
Curah %) 10 %) 10%)
hujuan % kendaraan berat
≤ 30 % >30 % ≤ 30 % >30 % ≤ 30 % >30 %
Iklim I <
0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
900 mm/th
Iklim I ≥900
1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
mm/th

g. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan California Bearing Ratio (CBR)
Daya dukung tanah dapat diperoleh dari korelasi antara nilai CBR tanah dasar
dengan nilai DDT itu sendiri. Nilai CBR dapat diperoleh dengan uji CBR tanah.
Harga CBR disini adalah harga CBR lapangan.
CBR merupakan perbandingan beban penetrasi pada suatu bahan dengan beban
standar pada penetrasi dan kecepatan pembebanan yang sama. Berdasarkan cara
mendapatkan contoh tanahnya,CBR dapat dibagi atas:
 CBR lapangan, disebut juga CBR atau field CBR.
inplace

Gunanya untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi tanah
saat itu dimana tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi. Pemeriksaan
dilakukan saat kadar air tanah tinggi atau dalam kondisi terburuk yang mungkin
terjadi.
 CBR lapangan rendaman / Undisturb saoked CBR
Gunanya untuk mendapatkan besarnya nilai CBR asli di lapngan pada keadaan jenuh
air, dan tanah mengalami pengembangan mak-simum. Pemeriksanaan dilaksanakan
pada kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air. Hal ini sering digunakan
untuk menentukan daya dukung tanah di daerah yang lapisan tanah dasarnya sudah
tidak akan dipadatkan lagi, terletak di daerah yang badan jalanya sering terendam air

33
pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. se-dangkan pemeriksaan
dilakukan di musim kemarau.
 CBR rencana titik / CBR laboratorium / design CBR
Tanah dasar (subgrade) pada konstruksi jalan baru merupakan tanah asli, tanah
timbunan, atau tanah galian yang sudah dipadatakan sampai kepadatan 95%
kepadatan maksimum. Dengan demikian daya dukung tanah dasar tersebut
merupakan nilai kemampuan lapisan tanah memikul beban setelah tanah tersebut di
padatkan. CBR laboratorium dibedakan atas 2 macam yaitu soaked design CBR dan
unsoaked design CBR.

Gambar 2.22 Korelasi DDT dan CBR

8. Indeks Tebal Perkerasan (ITP)


Digunakan dalam perencanaan tebal lapis perkerasan lentur metoda AASHTO 1993
dengan menyertakan faktor regional (FR) yang terkait dengan kondisi lingkungan,
dan faktor daya dukung tanah dasar (DDT) yang terkait dengan dengan perbedaan
kondisi tanah dasar.

34
Nilai ITP ditentukan dengan nomogram ITP yang dikorelasikan dengan nilai daya
dukung tanah, lintas ekivalen rencana, faktor regional dan indek permukaan.
Persamaan nilai ITP adalah sebagai berikut :

ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3

Dimana :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan.
D1, D2, D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)

Angka 1,2,3, masing-masing lapis permukaan, lapisan pondasi dan lapisan pondasi
bawah. Perkiraan tebal masing-masing lapis perkerasan tergantung dari ketebalan
minimum yang ditentukan oleh Bina Marga dan disajikan pada Tabel berikut ini.

Tabel 2.7 Batas-batas minimum tebal lapis perkerasan


Tebal Minimum
ITP Bahan
(cm)
< 3.00 5 Lapis Pelindung : (buras/burtu/burda)
Lapen / Aspal Makadam. HRA, Lasbutag,
3.00 - 6.70 5
Laston
Lapen / Aspal Makadam. HRA, Lasbutag,
6.71 - 7.49 7.5
Laston
7.50 - 9.99 7.5 Lasbutag, Laston
≥ 10 10 Laston
Sumber : SKBI-2.3.26.1987 – SNI. NO : 1732-1989

35
Tabel 4.8 Batas Minimum Tebal Lapisan Pondasi Atas
Tebal
ITP Bahan
Minimum (cm)

batu pecah, stap tanah dengan semen,


< 3.00 15
stabilisasi tanah dengan kapur
batu pecah, stap tanah dengan semen,
20
3.00 - 7.49 stabilisasi tanah dengan kapur
10 LASTON ATAS
batu pecah. Satbilisasi tanah dengan
20 semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
7.50 - 9.99 pondasi makadam
15 LASTON ATAS
batu pecah. Satbilisasi tanah dengan
semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
10.00 - 12.14 20
pondasi makadam, LAPEN, LASTON
ATAS
batu pecah. Satbilisasi tanah dengan
semen, stabilisasi tanah dengan kapur,
≥ 12.25 25
pondasi makadam, LAPEN, LASTON
ATAS
Sumber : SKBI-2.3.26.1987 – SNI. NO : 1732-1989
*) batas 20cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15cm bila untuk pondasi bawah digunakan
material berbutir kasar.

36
Nilai indeks tebal perkerasan diperoleh dari nomogram dengan mem-pergunakan
nilai-nilai yang telah diketahui sebelumnya, yaitu : LER selama umur rencana,
nilai DDT, dan FR yang diperoleh. Berikut ini adalah gambar grafik nomogram
untuk masing-masing nilai IPt dan IPo.

Gambar 2.23 Nomogram 1 untuk IPt = 2,5 dan Ipo =  4.

37
Gambar 2.24 Nomogram 2 untuk IPt = 2,5 dan Ipo = 3,9 – 3,5

Gambar 2.25 Nomogram 3 untuk IPt = 2 dan Ipo  4

38
Gambar 2.26 Nomogram 4 untuk IPt = 2 dan Ipo = 3,9 – 3,5

Gambar 2.27 Nomogram 5 untuk IPt = 1,5 dan Ipo = 3,9 – 3,5

39
Gambar 2.28 Nomogram 6 untuk ITp = 1,5 dan Ipo = 3,4 – 3,0

Gambar 2.29 Nomogram 7 untuk IPt = 1,5 dan Ipo = 2,9 – 2,5

40
Gambar 2.30 Nomogram 8 untuk IPt = 1 dan Ipo = 2,9 – 2,5

Gambar 2.31 Nomogram 9 untuk ITp = 1 dan Ipo  2,4

41
2.7.2. Perhitungan Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen 1987
Adapun ketentuan dan perhitungan tebal perkerasan lentur menggunakan metode Bina
Marga 2017 yaitu sebagai berikut :
1. Umur Rencana (UR)
Umur rencana jalan adalah jumlah waktu dalam tahun yang dihitung dari dibukanya sebuah
jalan (digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan (overlay) atau telah dianggap
perlu untuk memberikan lapis permukaan yang baru agar jalan tersebut tetap berfungsi
dengan baik sebagai yang direncanakan. Berikut adalah tabel umur rencana perkerasan jalan
berdasarkan metode Bina marga 2017 :

Tabel 2.9 Umur Rencana Perkerasan Jalan Baru (UR)


Jenis Perkerasan Elemen Perkerasan Umur Rencana
(Tahun)
Lapisan aspal dan lapisan 20
berbutir
Pondasi jalan
Semua perkerasan untuk
daerah yang tidak
Perkeran Lentur dimungkinkan pelapisan
ulang (overlay), seperti: 40
jalan perkotaan, underpass,
jembatan, terowongan.
Cement Treated Based
(CTB)
Lapis fondasi atas, lapis
Perkerasa Kaku fondasi bawah, lapis beton
semen dan fodasi
jalan.

42
Jalan Tanpa Penutup Semua elemen (termasuk Minimal
fondasi jalan) 10
Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal
Bina Marga 2017.

2. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas


Faktor pertumbuhan lalu lintas berdasarkan data–data pertumbuhan series (historical
growth data) atau formulasi korelasi dengan faktor pertumbuhan lain yang berlaku.

Tabel 2.10 Faktor Laju Pertumbuhan Lalu Lintas (i) (%)


Jawa Sumatera Kalimantan Rata-rata
Indonesia
Arteri dan Perkotaan 4,80 4,83 5,14 4,75
Kolektor Rural 3,50 3,50 3,50 3,50
Jalan Desa 1,00 1,00 1,00 1,00
Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina
Marga 2017

Pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung dengan faktor pertumbuhan
kumulatif (Cumulative Growth Factor)

(0 + 0,01 𝑖)𝑈𝑅 − 1
𝑅=
0,01 𝑖

Dimana :
R = Faktor pengali lalu lintas kumulatif
I = Laju pertumbuhan lalu luntas tahunan (%)
UR = Umur rencana (Tahun)

43
Apabila diperkirakan akan terjadi perbedaan laju pertumbuhan tahunan sepanjang total
umur rencana (UR), dengan i1 % selama periode awal (UR1 tahun) dan i2 % selama sisa
periode berikutnya (UR – UR1), faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif dapat
dihitung dari formula berikut:

(0 + 0,01 𝑖)𝑈𝑅 − 1 (1 + 0,01 𝑖2 )𝑈𝑅−𝑈𝑅1


𝑅= + (0,01 𝑖)(𝑈𝑅−1) (1 + 0,01 𝑖2 ) { }
0,01 𝑖 0,01 𝑖2

Dimana :
R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif
𝑖1 = Laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode1 %
𝑖2 = Laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode 2
UR = Total umur rencana (tahun)
UR1 = Umur rencana periode 1 (tahun)
Catatan : Formula di atas digunakan untuk periode rasio volume kapasitas (RVK) yang
belum mencapai tingkat kejenuhan (RVK ≤ 0.85)

Apabila kapasitas lalu lintas diperkirakan tercapai pada tahun ke (Q) dari umur rencana
(UR), faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif dihitung sebagai berikut:

(0 + 0,01 𝑖)𝑄−1 − 1
𝑅= + (𝑈𝑅 − 𝑄)(1 + 0,01 𝑖)(𝑄−1)
0,01 𝑖

3. Analisa volume lalu lintas


Parameter yang penting dalam analisis struktur perkerasan adalah data lalu lintas yang
diperlukan untuk menghitung beban lalu lintas rencana yang dipikul oleh perkerasan selama
umur rencana. Beban dihitung dari volume lalu lintas pada tahun survei yang selanjutnya
diproyeksikan ke depan sepanjang umur rencana. Volume tahun pertama adalah volume
lalu lintas sepanjang tahun pertama setelah perkerasan diperkirakan selesai dibangun atau
direhabilitasi.

44
Elemen utama beban lalu lintas dalam desain adalah:
a. Beban gandar kendaraan komersial.
b. Volume lalu lintas yang dinyatakan dalam beban sumbu standar.

Analisa volume lalu lintas didasarkan pada survei yang diperoleh dari :
a. Survei lalu lintas, dengan durasi minimal 7 x 24 jam. Durasi survei dapat dilakukan
secara manual mengacu pada pedoman survei pencacahan lalu lintas (Pd T-19-2004-B)
atau menggunakan peralatan dengan pendekatan yang sama.
b. Hasil – hasil survei lalu lintas sebelumnya.

Dalam analisa lalu lintas, penentuan volume lalu lintas pada jam sibuk dan lalu lintas harian
rata – rata tahunan (LHRT) mengacu pada manual kapasitas jalan indonesia (MKJI).

Penentuan nilai LHRT didasarkan pada data survei volume lalu lintas dengan
mempertimbangkan faktor kendaraan. Perkiraan volume lalu lintas harus dilaksanakan
secara realistis.

Rekayasa data lalu lintas untuk meningkatkan justifikasi ekonomi tidak boleh dilakukan
untuk kepentingan apapun. Jika terdapat keraguan terhadap data lalu lintas maka perencana
harus membuat survai cepat secara independen untuk memverifikasi data tersebut.

4. Lalu Lintas pada Lajur Rencana


Faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban kumulatif (ESA) pada
jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah.
Beban desain pada setiap lajur tidak boleh melampaui kapasitas lajur selama umur rencana.
Kapasitas lajur mengacu Permen PU No.19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan
dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan berkaitan rasio antara volume dan kapasitas jalan
yang harus dipenuhi.

45
Faktor distribusi lajur (DL) untuk kendaraan niaga ditetapkan dalam tabel dibawah
ini :

Tabel 2.11 Faktor distribusi lajur (DL)

Jumlah Lajur Kendaraan niaga pada lajur desain


Setiap Arah (% terhadap populasi kendaraan niaga)
1 100
2 80
3 60
50

Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga
2017

5. Faktor ekivalen beban Vehicle Damage Factor (VDF)


Dalam desain perkerasan, beban lalu lintas dikonversikan ke beban standar dengan
menggunakan faktor ekivalen beban (Vehicle Damage Factor). Perkiraan faktor
ekivalen beban (Vehicle Damage Factor) dapat diperoleh dari :
a. Studi jembatan timbang/timbangan statis lainnya khusus untuk ruas jalan yang didesain.
b. Studi jembatan timbang yang pernah dilakukan sebelumnya dan dianggap cukup
representatif untuk ruas jalan yang didesain.
c. Data WIM regional yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Teknik.

6. Beban Sumbu Standar Kumulatif (CESAL)


Beban sumbu standard kumulatif atau Cumulative Equivalent Single Axle Load
(CESAL) merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur
desain selama umur rencana. Menggunakan VDF masing– masing kendaraan niaga.

46
ESA = ∑ 𝐿𝐻𝑅jenis kendaraan 𝑥 𝑉𝐷𝐹 𝑥 365 𝑥 𝐷𝐷 𝑥 𝐷𝐿 𝑥 𝑙

Dimana :
ESA = Kumulatif lintasan sumbu standar ekivalen (equivalent standard axle)
pada tahun pertama.
LHR = Lintas harian rata – rata tiap jenis kendaraan niaga (satuan kendaraan
per hari).
VDF = Faktor Ekivalen Beban (Vehicle Damage Factor) tiap jenis kendaraan
niaga.
DD = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi lajur.
R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif.

7. Menentukan Lapis Perkerasan


Menurut SNI 2017, solusi perkerasan yang banyak dipilih didasarkan pada
pembebanan dan pertimbangan biaya terkecil. Desain harus melihat batasan-batasan
termasuk ketebalan lapisan di dalam tabel . Jika dalam bagan desain ditentukan
bahwa suatu bahan dihamparkan dalam tebal yang lebih besar dari yang diijinkan
dalam tabel, maka bahan tersebut harus dihamparkan dan di padatkan dalam
beberapa lapisan. Untuk menentukan tebal lapisan perkerasan dapat dilihat pada
tabel bagan desain 3B berikut :

47
Tabel 2.12 Bagan Desain-3B Tebal Lapisan Perkerasan Lentur
STRUKTUR PERKERASAN
FFF1 FFF2 FFF3 FFF4 FFF5 FFF6 FFF7 FFF8 FFF9
Solusi yang dipilih Lihat Catatan 2
Kumulatif beban
sumbu 20 tahun <2 ≥2-4 >4-7 >7-10 >10-20 >20-30 >30-50 >50- >100-
pada lajur rencana 100 200
(106 ESA5)
KETEBALAN LAPIS PERKERASAN (mm)
AC WC 40 40 40 40 40 40 40 40 40
AC BC 60 60 60 60 60 60 60 60 60
AC Base 0 70 80 105 145 160 180 210 245
LPA Kelas A 400 300 300 300 300 300 300 300 300
Catatan 1 2 3
Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga 2017

AC-WC
AC-BC
AC-BASE
Lapisan pondasi atas

Lapisan pondasi bawah

Lapisan tanah dasar


Gambar 2.32 Detail Lapisan Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2017

48
2.7.3 Perhitungan Perkerasan Kaku Metode AASTHO 1993
Terdapat beberapa ketentuan dan peraturan yang digunakan oleh Metode
AASTHO 1993, diantaranya yaitu :
1. Angka Ekivalen (E)
Angka ekivalen (E) menunjukkan jumlah lintasan sumbu standar sumbu tunggal
roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan kerusakan yang sama
pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh jenis dan beban sumbu tertentu atau
jenis dan beban kendaraan tertentu.
Sebagai contoh Angka ekivalen E, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti :
a. Kofigurasi dan beban sumbu
b. Nilai struktural perkerasan jalan yang dinyatakan dengan strukctural number
(SN).
c. Terminal Serviceability Index (Pt)

𝑃 (𝐾𝑔)
Sumbu Tunggal ∶𝐸=( )
1860 (𝑘𝑔)

𝑃 (𝐾𝑔)
Sumbu Tunggal ∶ 𝐸 = 0,086 ( )
1860 (𝑘𝑔)

Dimana :
W18 = Perkiraan penggunaan jumlah lalu lintas yang akan digunakan pada
lajur rencana
ZR = Standar normal deviasi
S0 = Standar deviasi
keseluruhan
SN = Struktural number
∆PSI = Serviceabiliti
MR = Modulus resilent

49
2. Menghitung Lintas Ekivalen Kumulatif
Prosedur perencanaan untuk jalan volume rendah dan nilai kumulatif dua arah
yang diperkirakan selama periode analisa.
(1 + 𝑖)𝑛−1
̅̅̅̅ = 365 𝑥 𝐸 𝑥
𝑊
𝑖

Dimana :
18 = Lintas ekivalen kumulatif pada lajur rencana
LHR = Jumlah harian rata-rata kendaraan
E = Angka ekivalen beban sumbu untuk jenis kendaraan.
I = Faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan dari perhitungan volume lalu
lintas.
n = Jumlah tahun dari saat diadakan perhitungan volume lalu lintas
sampai jalan tersebut dibuka.

3. Menghitung Lalu Lintas Pada Laju Rencana (W18)


Untuk menghitung jumlah lalu lintas pada lajur rencana maka harus diketahui
terlebih dahulu nilai faktor distribusi lajur (DL) yang di dapat dari tabel 2.10 di
bawah ini.

Tabel 2.33 Faktor distribusi lajur (DL)


Jumlah Lajur Setiap Arah DL (%)
1 100
2 80 - 100
3 60 - 80
4 50 - 75
Sumber : AASTHO 1993

50
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung lalu lintas pada lajur rencana.

̅̅̅̅ = 𝐷𝐿 x 𝐷𝐷 x (∑ ̅̅̅̅̅
𝑊 𝑤18 ) x

Dimana :
DL = faktor distribusi lajur
DD = faktor distribusi arah

4. Menentukan Koefisien Kekuatan Relatif (a)


Koefisien kekuatan relatif (a) dari setiap jenis lapisan perkerasan yang dipilih.
Besarnya koefisien kekuatan relatif dapat dilihat pada tabel koefisien kekuatan
relatif sebagai berikut :

Tabel 2.34 koefisien kekuatan relatif (a)


Koefisien
Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan
KT CBR
A1 A2 A3 Ms (Kg) Jenis Bahan
(Kg/cm) (%)
0.40 744
LASTON
0.35 590
0.32 454
0.30 340
0.35 744
0.31 590
ASBOTON
0.28 454
0.26 340
HOT ROLLED
0.30
ASPHAL
0.26 ASPAL MAKADAM

51
0.25 LAPEN (mekanis)
0.20 LAPEN (manual)
0.28 590
LASTON ATAS
0.26 454

5. Reliability (R)
Reliability adalah probabilitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan tetap
memuaskan selama masa layanannya. Penetapan angka Reliability dari 50% sampai
99,99% menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi,
mengakomodasi kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai.
Semakin tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi
kemungkinan terjadinya selisih (deviasi) desain.
Kinerja struktur perkerasan jalan sangat ditentukan oleh 4 faktor utama yaitu:
a. Struktur perkerasan seperti tebal dan mutu setiap lapis perkerasan
b. Kondisi lingkungan seperti temperatur, curah hujan, kondisi tanah dasar
c. Perkiraan repetisi beban lalu lintas dan proyeksi selama umur rencana
d. Perkiraan daya dukung tanah dasar.

Tabel 2.35 Nilai Reliability Sesuai Fungsi Jalan

Rekomendasi tingkat reliabilitas


Fungsi Jalan Urban Rural
Bebas Hambatan 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 - 80 50 - 80
Sumber : AASHTO 1993

52
6. Simpangan Baku (S0)
Simpangan Baku (S0) akibat dari perkiraan beban lalu lintas dan kondisi perkerasan
yang di anjurkan oleh AASTHO 1993 adalah untuk flexible Pavement : S0 = 0,40 –
0,50, sehingga diambil 0,45.

7. Nilai Modulus Material Lapisan Perkerasan


Menentukan sifat material perkerasan yang digunakan untuk tanah dasar pada
perencanaan perkerasan dalam cara ini adalah dengan modulus resilient (MR). Nilai
MR ini dapat diperkirakan dari harga CBR.

MR(PSI) = 1500 X CBR

Dimana :
MR = Kekuatan Tanah Dasar
CBR = California Bearing Ratio

8. Serviceability
Terminal serviceability index (Pt) mengacu pada tabel 2.13, Initial serviceability
untuk perkerasan lentur berdasarkan metode AASHTO 1993 sebesar Po = 4,2.

Tabel 2.36 Terminal Serviceability Index (Pt)


Presentasi Publik Tidak Menerima Pt
12 3,0
55 2,5
85 2,0
Sumber : AASTHO 1993

Penetapan parameter serviceability = P0 = 4,2


Terminal serviceability index jalur utama (major highways) = Pt = 2,5
Terminal serviceability index jalan lalu-lintas Rendah utama = Pt = 2,0

53
9. Standar Deviasi (ZR)

Tabel 2.37 Standar Normal Deviasi (ZR)


R ZR
50 0
60 -0.253
70 -0.524
75 -0.674
80 -0.841
85 -1.037
90 -1.282
91 -1.34
92 -1.405
93 -1.476
94 -1.555
95 -1.645
96 -1.751
97 -1.881
98 -2.054
99 -2.327
99.9 -3.09
99.99 -3.75
Sumber : AASTHO 1993

54
Catatan :
Untuk menggunakan besaran-besaran dalam standar AASHTO ini sebenarnya
dibutuhkan suatu rekaman data, evaluasi desain / kenyataan beserta biaya konstruksi
dan pemeliharaan dalam kurun waktu yang cukup. Dengan demikian besaran parameter
yang dipakai tidak selalu menggunakan “angka tengah” sebagai kompromi besaran
yang diterapkan.

55

Anda mungkin juga menyukai