Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.3 BAGIAN-BAGIAN JALAN
Jalan memiliki bagian-bagian yang sangat penting, bagian-bagian tersebut
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu bagian yang berguna untuk lalu lintas, bagian
yang berguna untuk drainase jalan, bagian pelengkap jalan, dan bagian konstruksi
jalan.
6
Bagian yang berguna untuk drainase jalan antara lain:
1. Saluran samping
2. Kemiringan melintang
3. Kemiringan melintang bahu
4. Kemiringan lereng
7
lebar badan jalan. Tinggi dan kedalaman ruang ditetapkan lebih lanjut oleh
penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri. Tinggi ruang bebas bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling rendah
5 (lima) meter. Kedalaman ruang bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling rendah
1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan jala
Dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan jalan
ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut:
8
a. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;
b. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter;
c. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;
d. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter;
e. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;
f. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;
g. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;
h. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan
i. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.
9
2.4.2 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan
1. Jalan Arteri
Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani angkutan utama dengan ciri ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rerata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien.
2. Jalan Kolektor
Jalan kolektor adalah jalan umum yang melayani angkutan pengumpul / pembagi
dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rerata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rerata rendah dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
4. Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri
perjalanan jarak dekat dan kecepatan rerata
10
c. Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga
dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan persil, kota
jenjang kedua dengan persil, serta ruas jalan yang menghubungkan kota
jenjang ketiga dengan kota yang berada di bawah pengaruhnya sampai persil.
2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di wilayah perkotaan (UU
No. 38 Tahun 2004).
a. Jalan arteri sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer
dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan kawasa sekunder kedua.
b. Jalan kolektor sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan -
kawasan sekunder kedua yang satu dengan yang lainnya atau menghubungkan
kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ketiga.
c. Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan kawasan -
kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua
dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
11
II 10
IIIA 8
Kolektor IIIA 8
IIIB 8
Sumber: TPGJAK No. 038/ T/ BM/ 1997
12
2.5 JENIS KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN
Konstruksi perkerasan terdiri dari beberapa jenis sesuai dengan bahan ikat yang
digunakan serta komposisi dari komponen konstruksi perkerasan itu sendiri antara lain
konstruksi perkerasan lentur, konstruksi perkerasan kaku, konstruksi perkerasan
komposit.
13
Gambar 2.3 Komponen Perkerasan Kaku
14
2.6.1 Retak (Cracks)
Kerusakan retak yang terjadi di permukaan jalan memiliki beberapa tipe yang
dapat dibedakan menjadi :
1. Retak Rambut (Hair Cracks)
Retak rambut dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari
permukaaan jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan terpisah. Lebar celah lebih
kecil dari atau sama dengan 3 mm. Penyebabnya adalah konstuksi perkerasan tidak
kuat mendukung beban lalu lintas yang ada, lapis permukaan terlalu tipis, pemilihan
campuran yang terlalu kaku untuk lapis permukaan yang tipis, kelelahan lapis
permukaan akibat beban lalu lintas dan umur jalan, bahan perkerasan yang kurang
baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil
dan stabilitas atau pemadatan lapis permukaan tidak memadai. Retak rambut ini
dapat meresapkan air ke dalam lapis permukaan. Retak rambut yang tidak segera
ditangani dapat berkembang menjadi retak kulit buaya (alligator crack)
15
dengan 3 mm. Retak kulit buaya terlihat seperti retak yang saling merangkai dan
membentuk kotak-kotak yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh
bahan perkerasan yang kurang kurang baik, pelapukan perkerasan, tanah dasar atau
bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil atau lapis pondasi dalam
keadaan jenuh air (air tanah baik). Retak kulit buaya yang luas dan sudah parah
dapat berkembang menjadi lubang atau amblas
16
Gambar 2.7 Retak Pinggir
17
5. Retak Sambungan Pelebaran Jalan (Widening Cracks)
Retak sambungan pelebaran jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada
sambungan antara perkerasan lama dengan pekerasan berakibat pelebaran jalan,
dapat juga disebabkan oleh ikatan antara sambungan yang tidak baik. Jika tidak
segera diperbaiki, air dapat masuk ke dalam lapisan perkerasan yang akan
mengkibatkan lepasnya butir - butir perkerasan dan retak semakin besar.
18
Gambar 2.10 Retak Selip
19
Gambar 2.11 Alur (Ruts)
2. Bergelombang (Coguration)
Bergelombang adalah alur yang terjadi melintang jalan. Timbulnya permukaan jalan yang
bergelombang ini, menyebabkan pengemudi menjadi tidak nyaman dalam berkendara.
Penyebab kerusakan ini adalah rendahya stabilitas campuran yang disebabkan oleh terlalu
tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk bulat
dan berpermukaan penetrasi yang tinggi. 22 Bergelombang dapat juga terjadi jika lalu lintas
dibuka sebelum perkerasan mantap (untuk perkerasan yang mempergunakan aspal cair).
20
3. Sungkur (Shoving)
Sungkur terjadi akibat deformasi plastis setempat, biasanya terjadi di tempat
kendaraan sering berhenti, kelandaian curam dan tikungan tajam. Kerusakan dapat
terjadi dengan/ tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan
bergelombang.
21
5. Jembul (Upheaval)
Jembul biasanya terjadi setempat, dimana kendaraan sering berhenti, dengan atau
tanpa retak. Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan
dibanding9kan dengan permukaan sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya
pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif dan juga dipengaruhi oleh
beban kendaraan yang melebihi standar
22
3. Temperature campuran tidak memenuhi syarat.
b. lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat
pengaruh cuaca,
c. sistem drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul dalam
lapisan perkerasan,
d. retak - retak yang tidak ditangani sehingga air meresap dan mengakibatkan
terjadinya lubang - lubang kecil.
23
Gambar 2.17 Pelepasan Butir (Ravelling)
24
Gambar 2.18 Pengelupasan Lapisan (Stripping)
4. Pengausan (Polished Aggregate)
Pengausan adalah kerusakan partikel agregat pada permukaan perkerasan yang licin
atau halus (smooth). Permukaan jalan menjadi licin sehingga membahayakan
kendaraan. Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan
aus terhadap roda kendaraan atau agregat yang digunakan berbentuk bulat dan licin,
tidak berbentuk cubical
25
Gambar 2.20 Kegemukan (Bleeding/ Flussing)
26
2.7 METODE PERHITUNGAN PERKERASAN JALAN
2.7.1 Perhitungan Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2017
1. Nomogram Berdasarkan Analisa Lalu Lintas
Nomogram yang ada dibuat berdasarkan atas analisa lalu lintas selama 20 tahun
(umur rencana 20 tahun) walupun demikian monogram tersebut bisa dipakai lebih
kurang 20 tahun. Hal ini dimungkinkan karena telah di sediakan suatu factor
penyesuaian sehubungan dengan penyimpangan-penyimpangan tersebut.
Rumus Dasar:
(𝐈+𝐢)𝐔𝐑
FP = , untuk i < 10%
𝟏𝟎𝒊
Rumus Umum :
(𝐈+𝐢)𝐔𝐑−𝟏
FP = 𝟏𝟎.𝒆 𝐥𝐨𝐠(𝑰+𝒊), untuk i < 10%
27
3. Angka Ekuivalen
Angka Ekivalen (E) dari suatu beban sumbu kendaraan adalah angka yang
menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan
beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
satu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb).
Angka ekuivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan)
ditentukan menurut rumus berikut:
Angka ekuivalen sumbu tunggal
𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈)
E= ( )4
𝟖𝟏𝟔𝟎
Penentuan angka ekivalen dapat ditentuan berdasarkan tabel yang telah dikeluarkan
oleh Bina Marga.
28
4. Jalur Rencana
Jalur Rencana adalah salah satu jalur lalu lintas dari suatu sistem jalan raya, yang
menampung lalu lintas terbesar. Umumnya jalur rencana adalah salah satu jalur dari
jalan raya dua jalur tepi luar dari jalan raya berjalur banyak. Jika jalan tidak memiliki
tanda batas jalur.
6. Indeks Permukaan
Indeks permukaan adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan
kerataan atau kehalusan serta kekokohan permukaan jalan bertalian dengan tingkat
pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya
adalah seperti yang tersebut di bawah ini :
a. IP = 1,0 menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga dapat
mengganggu lalu lintas kendaraan
b. IP = 1,5 adalah tingkat pelayanan yang masih mungkin ( jalan tidak terputus )
c. IP = 2,0 adalah tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap
d. IP = 2,5 menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik. Dalam
menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana ( IPt ) perlu
dipertimbangkan factor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lalu lintas
Ekivalen rencana ( LER ).
29
Nilai indeks permukaan awal (IPo) ditentukan dari jenis lapis permukaan dan nilai
indeks permukaan akhir (IPt) ditentukan dari nilai LER. Adapun nilai IPo dari
masing-masing jenis lapis permukaan.
≥4 ≤ 1.000
LASTON
3,9 - 3,5 > 1.000
3,9 - 3,5 ≤ 2.000
LASBUTAG
3,4 - 3,0 > 2.000
3,9 - 3,5 ≤ 2.000
HRA
3,4 - 3,0 > 2.000
BURDA 3,9 - 3,5 < 2.000
BURTU 3,4 - 3,0 < 2.000
3,4 - 3,0 ≤ 3.000
LAPEN
2,9 - 2,5 > 3.000
LATASBUM 2,9 - 2,5
BURAS 2,9 - 2,5
30
7. Lalu Lintas
a. Lalu Lintas Harian Rata-Rata ( LHR )
Lalu lintas harian rata-rata adalah jumlah rata-rata dari lalu lintas berjenis-jenis
kendaraan bermotor dari beroda empat atau lebih yang dicatat selama 24 jam
untuk kedua jurusan.
LEP = Σ LHRj x Cj x Ej
Dimana :
Cj = koefisien distribusi arah
j = masing-masing jenis kendaraan
31
d. Lintasan Ekivalen Tengah ( LET )
Lintasan ekivalen tengah adalah jumlah lintasan ekivalen harian rata-rata dari sumbu
tunggal seberat 8,2 ton (18.000 lbs) pada jalur rencana diduga terjadi pada pertengahan
dari umur rencana
𝐋𝐄𝐏+𝐋𝐄𝐀
LET =
𝟐
LER = LET X FP
Dimana :
FP = faktor Penyesuaian
UR
FP = 10
f. Faktor Regional
Faktor Regional adalah factor setempat sehubungan dengan iklim, curah hujan
dan kondisi lapangan secara umum akan berpengaruh terhadap daya dukung
tanah dasar dan perkerasan. Faktor regional adalah keadaan lapangan yang
mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase, bentuk alinyemen,
prosentase kendaraan berat dengan MST ≥ 13 ton dan kendaraan yang berhenti,
serta iklim. Peraturan Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya menentukan bahwa
faktor yang menyangkut permeabilitas tanah hanya dipengaruhi oleh alinyemen,
prosentase kendaraan berat dan kendaraan yang berhenti, serta alinyemen. Untuk
kondisi tanah pada daerah rawa-rawa ataupun daerah terendam, nilai FR yang
diperoleh dari table.
32
Tabel 2.6 Faktor Regional
Kelandaian I ( <6 Kelandaian II ( 6 – Kelandaian III (>
Curah %) 10 %) 10%)
hujuan % kendaraan berat
≤ 30 % >30 % ≤ 30 % >30 % ≤ 30 % >30 %
Iklim I <
0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
900 mm/th
Iklim I ≥900
1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
mm/th
g. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan California Bearing Ratio (CBR)
Daya dukung tanah dapat diperoleh dari korelasi antara nilai CBR tanah dasar
dengan nilai DDT itu sendiri. Nilai CBR dapat diperoleh dengan uji CBR tanah.
Harga CBR disini adalah harga CBR lapangan.
CBR merupakan perbandingan beban penetrasi pada suatu bahan dengan beban
standar pada penetrasi dan kecepatan pembebanan yang sama. Berdasarkan cara
mendapatkan contoh tanahnya,CBR dapat dibagi atas:
CBR lapangan, disebut juga CBR atau field CBR.
inplace
Gunanya untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi tanah
saat itu dimana tanah dasarnya sudah tidak akan dipadatkan lagi. Pemeriksaan
dilakukan saat kadar air tanah tinggi atau dalam kondisi terburuk yang mungkin
terjadi.
CBR lapangan rendaman / Undisturb saoked CBR
Gunanya untuk mendapatkan besarnya nilai CBR asli di lapngan pada keadaan jenuh
air, dan tanah mengalami pengembangan mak-simum. Pemeriksanaan dilaksanakan
pada kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air. Hal ini sering digunakan
untuk menentukan daya dukung tanah di daerah yang lapisan tanah dasarnya sudah
tidak akan dipadatkan lagi, terletak di daerah yang badan jalanya sering terendam air
33
pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. se-dangkan pemeriksaan
dilakukan di musim kemarau.
CBR rencana titik / CBR laboratorium / design CBR
Tanah dasar (subgrade) pada konstruksi jalan baru merupakan tanah asli, tanah
timbunan, atau tanah galian yang sudah dipadatakan sampai kepadatan 95%
kepadatan maksimum. Dengan demikian daya dukung tanah dasar tersebut
merupakan nilai kemampuan lapisan tanah memikul beban setelah tanah tersebut di
padatkan. CBR laboratorium dibedakan atas 2 macam yaitu soaked design CBR dan
unsoaked design CBR.
34
Nilai ITP ditentukan dengan nomogram ITP yang dikorelasikan dengan nilai daya
dukung tanah, lintas ekivalen rencana, faktor regional dan indek permukaan.
Persamaan nilai ITP adalah sebagai berikut :
Dimana :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan.
D1, D2, D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)
Angka 1,2,3, masing-masing lapis permukaan, lapisan pondasi dan lapisan pondasi
bawah. Perkiraan tebal masing-masing lapis perkerasan tergantung dari ketebalan
minimum yang ditentukan oleh Bina Marga dan disajikan pada Tabel berikut ini.
35
Tabel 4.8 Batas Minimum Tebal Lapisan Pondasi Atas
Tebal
ITP Bahan
Minimum (cm)
36
Nilai indeks tebal perkerasan diperoleh dari nomogram dengan mem-pergunakan
nilai-nilai yang telah diketahui sebelumnya, yaitu : LER selama umur rencana,
nilai DDT, dan FR yang diperoleh. Berikut ini adalah gambar grafik nomogram
untuk masing-masing nilai IPt dan IPo.
37
Gambar 2.24 Nomogram 2 untuk IPt = 2,5 dan Ipo = 3,9 – 3,5
38
Gambar 2.26 Nomogram 4 untuk IPt = 2 dan Ipo = 3,9 – 3,5
Gambar 2.27 Nomogram 5 untuk IPt = 1,5 dan Ipo = 3,9 – 3,5
39
Gambar 2.28 Nomogram 6 untuk ITp = 1,5 dan Ipo = 3,4 – 3,0
Gambar 2.29 Nomogram 7 untuk IPt = 1,5 dan Ipo = 2,9 – 2,5
40
Gambar 2.30 Nomogram 8 untuk IPt = 1 dan Ipo = 2,9 – 2,5
41
2.7.2. Perhitungan Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen 1987
Adapun ketentuan dan perhitungan tebal perkerasan lentur menggunakan metode Bina
Marga 2017 yaitu sebagai berikut :
1. Umur Rencana (UR)
Umur rencana jalan adalah jumlah waktu dalam tahun yang dihitung dari dibukanya sebuah
jalan (digunakan) sampai jalan perlu dilakukan perbaikan (overlay) atau telah dianggap
perlu untuk memberikan lapis permukaan yang baru agar jalan tersebut tetap berfungsi
dengan baik sebagai yang direncanakan. Berikut adalah tabel umur rencana perkerasan jalan
berdasarkan metode Bina marga 2017 :
42
Jalan Tanpa Penutup Semua elemen (termasuk Minimal
fondasi jalan) 10
Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal
Bina Marga 2017.
Pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung dengan faktor pertumbuhan
kumulatif (Cumulative Growth Factor)
(0 + 0,01 𝑖)𝑈𝑅 − 1
𝑅=
0,01 𝑖
Dimana :
R = Faktor pengali lalu lintas kumulatif
I = Laju pertumbuhan lalu luntas tahunan (%)
UR = Umur rencana (Tahun)
43
Apabila diperkirakan akan terjadi perbedaan laju pertumbuhan tahunan sepanjang total
umur rencana (UR), dengan i1 % selama periode awal (UR1 tahun) dan i2 % selama sisa
periode berikutnya (UR – UR1), faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif dapat
dihitung dari formula berikut:
Dimana :
R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif
𝑖1 = Laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode1 %
𝑖2 = Laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode 2
UR = Total umur rencana (tahun)
UR1 = Umur rencana periode 1 (tahun)
Catatan : Formula di atas digunakan untuk periode rasio volume kapasitas (RVK) yang
belum mencapai tingkat kejenuhan (RVK ≤ 0.85)
Apabila kapasitas lalu lintas diperkirakan tercapai pada tahun ke (Q) dari umur rencana
(UR), faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif dihitung sebagai berikut:
(0 + 0,01 𝑖)𝑄−1 − 1
𝑅= + (𝑈𝑅 − 𝑄)(1 + 0,01 𝑖)(𝑄−1)
0,01 𝑖
44
Elemen utama beban lalu lintas dalam desain adalah:
a. Beban gandar kendaraan komersial.
b. Volume lalu lintas yang dinyatakan dalam beban sumbu standar.
Analisa volume lalu lintas didasarkan pada survei yang diperoleh dari :
a. Survei lalu lintas, dengan durasi minimal 7 x 24 jam. Durasi survei dapat dilakukan
secara manual mengacu pada pedoman survei pencacahan lalu lintas (Pd T-19-2004-B)
atau menggunakan peralatan dengan pendekatan yang sama.
b. Hasil – hasil survei lalu lintas sebelumnya.
Dalam analisa lalu lintas, penentuan volume lalu lintas pada jam sibuk dan lalu lintas harian
rata – rata tahunan (LHRT) mengacu pada manual kapasitas jalan indonesia (MKJI).
Penentuan nilai LHRT didasarkan pada data survei volume lalu lintas dengan
mempertimbangkan faktor kendaraan. Perkiraan volume lalu lintas harus dilaksanakan
secara realistis.
Rekayasa data lalu lintas untuk meningkatkan justifikasi ekonomi tidak boleh dilakukan
untuk kepentingan apapun. Jika terdapat keraguan terhadap data lalu lintas maka perencana
harus membuat survai cepat secara independen untuk memverifikasi data tersebut.
45
Faktor distribusi lajur (DL) untuk kendaraan niaga ditetapkan dalam tabel dibawah
ini :
Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga
2017
46
ESA = ∑ 𝐿𝐻𝑅jenis kendaraan 𝑥 𝑉𝐷𝐹 𝑥 365 𝑥 𝐷𝐷 𝑥 𝐷𝐿 𝑥 𝑙
Dimana :
ESA = Kumulatif lintasan sumbu standar ekivalen (equivalent standard axle)
pada tahun pertama.
LHR = Lintas harian rata – rata tiap jenis kendaraan niaga (satuan kendaraan
per hari).
VDF = Faktor Ekivalen Beban (Vehicle Damage Factor) tiap jenis kendaraan
niaga.
DD = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi lajur.
R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif.
47
Tabel 2.12 Bagan Desain-3B Tebal Lapisan Perkerasan Lentur
STRUKTUR PERKERASAN
FFF1 FFF2 FFF3 FFF4 FFF5 FFF6 FFF7 FFF8 FFF9
Solusi yang dipilih Lihat Catatan 2
Kumulatif beban
sumbu 20 tahun <2 ≥2-4 >4-7 >7-10 >10-20 >20-30 >30-50 >50- >100-
pada lajur rencana 100 200
(106 ESA5)
KETEBALAN LAPIS PERKERASAN (mm)
AC WC 40 40 40 40 40 40 40 40 40
AC BC 60 60 60 60 60 60 60 60 60
AC Base 0 70 80 105 145 160 180 210 245
LPA Kelas A 400 300 300 300 300 300 300 300 300
Catatan 1 2 3
Sumber : Kementrian Pekerjan Umum Dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga 2017
AC-WC
AC-BC
AC-BASE
Lapisan pondasi atas
48
2.7.3 Perhitungan Perkerasan Kaku Metode AASTHO 1993
Terdapat beberapa ketentuan dan peraturan yang digunakan oleh Metode
AASTHO 1993, diantaranya yaitu :
1. Angka Ekivalen (E)
Angka ekivalen (E) menunjukkan jumlah lintasan sumbu standar sumbu tunggal
roda ganda dengan beban 18.000 pon yang mengakibatkan kerusakan yang sama
pada struktur perkerasan jalan jika dilintasi oleh jenis dan beban sumbu tertentu atau
jenis dan beban kendaraan tertentu.
Sebagai contoh Angka ekivalen E, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti :
a. Kofigurasi dan beban sumbu
b. Nilai struktural perkerasan jalan yang dinyatakan dengan strukctural number
(SN).
c. Terminal Serviceability Index (Pt)
𝑃 (𝐾𝑔)
Sumbu Tunggal ∶𝐸=( )
1860 (𝑘𝑔)
𝑃 (𝐾𝑔)
Sumbu Tunggal ∶ 𝐸 = 0,086 ( )
1860 (𝑘𝑔)
Dimana :
W18 = Perkiraan penggunaan jumlah lalu lintas yang akan digunakan pada
lajur rencana
ZR = Standar normal deviasi
S0 = Standar deviasi
keseluruhan
SN = Struktural number
∆PSI = Serviceabiliti
MR = Modulus resilent
49
2. Menghitung Lintas Ekivalen Kumulatif
Prosedur perencanaan untuk jalan volume rendah dan nilai kumulatif dua arah
yang diperkirakan selama periode analisa.
(1 + 𝑖)𝑛−1
̅̅̅̅ = 365 𝑥 𝐸 𝑥
𝑊
𝑖
Dimana :
18 = Lintas ekivalen kumulatif pada lajur rencana
LHR = Jumlah harian rata-rata kendaraan
E = Angka ekivalen beban sumbu untuk jenis kendaraan.
I = Faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan dari perhitungan volume lalu
lintas.
n = Jumlah tahun dari saat diadakan perhitungan volume lalu lintas
sampai jalan tersebut dibuka.
50
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung lalu lintas pada lajur rencana.
̅̅̅̅ = 𝐷𝐿 x 𝐷𝐷 x (∑ ̅̅̅̅̅
𝑊 𝑤18 ) x
Dimana :
DL = faktor distribusi lajur
DD = faktor distribusi arah
51
0.25 LAPEN (mekanis)
0.20 LAPEN (manual)
0.28 590
LASTON ATAS
0.26 454
5. Reliability (R)
Reliability adalah probabilitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan tetap
memuaskan selama masa layanannya. Penetapan angka Reliability dari 50% sampai
99,99% menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi,
mengakomodasi kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai.
Semakin tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi
kemungkinan terjadinya selisih (deviasi) desain.
Kinerja struktur perkerasan jalan sangat ditentukan oleh 4 faktor utama yaitu:
a. Struktur perkerasan seperti tebal dan mutu setiap lapis perkerasan
b. Kondisi lingkungan seperti temperatur, curah hujan, kondisi tanah dasar
c. Perkiraan repetisi beban lalu lintas dan proyeksi selama umur rencana
d. Perkiraan daya dukung tanah dasar.
52
6. Simpangan Baku (S0)
Simpangan Baku (S0) akibat dari perkiraan beban lalu lintas dan kondisi perkerasan
yang di anjurkan oleh AASTHO 1993 adalah untuk flexible Pavement : S0 = 0,40 –
0,50, sehingga diambil 0,45.
Dimana :
MR = Kekuatan Tanah Dasar
CBR = California Bearing Ratio
8. Serviceability
Terminal serviceability index (Pt) mengacu pada tabel 2.13, Initial serviceability
untuk perkerasan lentur berdasarkan metode AASHTO 1993 sebesar Po = 4,2.
53
9. Standar Deviasi (ZR)
54
Catatan :
Untuk menggunakan besaran-besaran dalam standar AASHTO ini sebenarnya
dibutuhkan suatu rekaman data, evaluasi desain / kenyataan beserta biaya konstruksi
dan pemeliharaan dalam kurun waktu yang cukup. Dengan demikian besaran parameter
yang dipakai tidak selalu menggunakan “angka tengah” sebagai kompromi besaran
yang diterapkan.
55