Anda di halaman 1dari 5

Seperti halnya hutan pada umumnya, hutan yang terbentuk pada ekosistem

rawa gambut mempunyai peranan yang sangat penting, baik secara ekonomi
maupun secara ekologi. Lahan gambut mempunyai fungsi hidrologi dan
lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup
lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan (BBP2SLP, 2008). Secara
ekonomi ekosistem rawa gambut merupakan tempat konservasi sumber plasma
nutfah yang spesifik secara lokal, merupakan habitat ikan dan biota air lainnya,
penghasil kayu, dan sumber daya lainnya.
Berdasarkan fungsinya, lahan rawa gambut dibedakan ke dalam kawasan
lindung, kawasan pengawetan, dan kawasan reklamasi (pemanfaatan lestari).
Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan preservasi atau non-budi
daya, sedangkan kawasan reklamasi sebagai kawasan budidaya. Lahan gambut
dengan ketebalan lebih dari 3 m termasuk dalam kawasan non-budi daya, dan
sebaiknya tidak dibuka untuk pengembangan pertanian (BBP2SLP,2008).
Keberadaan gambut yang tidak terganggu dapat menjamin air tetap
mengalir secara konsisten dan dapat mencegah banjir dan kekeringan (Anonimus,
2008a). Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut, terutama gambut sangat
dalam (lebih dari 4 m), sangat penting untuk dipertahankan sebagai daerah
konservasi air, terlebih bila pada bagian hilirnya terdapat kotakota pantai seperti
Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda (BBP2SLP, 2008).
Penurunan permukaan gambut akibat subsiden, baik yang disebabkan oleh
drainase maupun dekomposisi, akan menyebabkan menurunnya kemampuan
gambut menahan air (Agus dan Subiksa, 2008). Apabila kubah gambut sudah
mengalami penciutan setebal satu meter, maka lahan gambut tersebut akan
kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen
dengan 9.000 m3 /ha (Agus dan Subiksa, 2008). Dengan kata lain lahan
disekitarnya akan menerima 9.000 m3 air lebih banyak bila terjadi hujan deras
atau akan meningkatkan terjadinya bencana banjir. Sebaliknya karena sedikitnya
cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat
diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya
akan rentan kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Kejadian
meningkatnya bencana banjir dan kebakaran akhir-akhir ini meningkat tajam.
Melalui berita di media massa diketahui bahwa Kalimantan Tengah dan Riau
mengalami bencana banjir besar pada tahun akhir 2009 dan awal 2010. Dapat
diprediksi pada musim kemarau kedua daerah tersebut rawan bencana kebakaran.
Hal ini karena telah terjadi kerusakan gambut yang sudah mengkhawatirkan pada
kedua daerah tersebut.
Lahan gambut, terutama gambut sangat dalam di sekitar suatu hutan suaka
alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi. Demi pengamanan
kawasan preservasi ditetapkan antara dua sungai dengan batas-batas alami yang
jelas, walau di dalamnya terdapat juga lahan non-gambut dan ketebalan gambut
kurang dari 3 m. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1991 bertujuan mengatur
ekosistem lahan rawa gambut sebagai kawasan tampung hujan dan sumber air.
Sebagai sumber air, rawa (gambut) pedalaman sangat menentukan keadaan air
daerah pinggiran atau hilirnya. Oleh karena itu, rawa di hulu sungai rawa atau
rawa pedalaman perlu dipertahankan sebagai kawasan non-budidaya, yang
berfungsi sebagai kawasan penampung hujan dan merupakan “danau” sumber air
bagi daerah pertanian di sekitarnya. Kawasan lahan gambut sebaiknya ditetapkan
sebagai kawasan penampung hujan (BBP2 SLP,2008).
Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2019 tentang pengelolaan gambut
yang baru-baru ini diterbitkan oleh KLHK menjelaskan langkah dan metode untuk
mengidentifikasi dan mengelola puncak kubah gambut. Salah satu pasal
menyebutkan bahwa puncak kubah gambut yang telah dimanfaatkan, misalnya
untuk perkebunan, dapat terus dimanfaatkan. Peraturan tersebut dibuat
berdasarkan ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah No.71/2014 yang
membahas tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Peraturan ini
menyebutkan wilayah yang sebelumnya telah mengantongi izin untuk digarap,
dapat tetap dimanfaatkan hingga izin tersebut berakhir. Namun, apabila kegiatan
yang telah diizinkan di wilayah itu belum juga terlaksana ketika peraturan
diberlakukan, maka pemegang izin wajib menjaga fungsi hidrologis gambut.
Penerbitan Permen LHK No.10/2019 dapat menjadi kemunduran bagi
perlindungan dan pelestarian ekosistem gambut terkait dengan risiko pembukaan
dan pengelolaan yang tidak tepat pada kubah gambut lindung. Peraturan Menteri
LHK No. 10 Tahun 2019 tentang pengelolaan gambut yang baru-baru ini
diterbitkan oleh KLHK menjelaskan langkah dan metode untuk mengidentifikasi
dan mengelola puncak kubah gambut. Salah satu pasal menyebutkan bahwa
puncak kubah gambut yang telah dimanfaatkan, misalnya untuk perkebunan,
dapat terus dimanfaatkan. Peraturan tersebut dibuat berdasarkan ketentuan
Peralihan Peraturan Pemerintah No.71/2014 yang membahas tentang
perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Peraturan ini menyebutkan
wilayah yang sebelumnya telah mengantongi izin untuk digarap, dapat tetap
dimanfaatkan hingga izin tersebut berakhir. Namun, apabila kegiatan yang telah
diizinkan di wilayah itu belum juga terlaksana ketika peraturan diberlakukan,
maka pemegang izin wajib menjaga fungsi hidrologis gambut. Penerbitan Permen
LHK No.10/2019 dapat menjadi kemunduran bagi perlindungan dan pelestarian
ekosistem gambut terkait dengan risiko pembukaan dan pengelolaan yang tidak
tepat pada kubah gambut lindung.
Berdasarkan analisis WRI, dari 9.043.812 hektar kubah gambut terdapat
sekitar 5.869.205 hektar kubah gambut di luar konsesi yang belum dimanfaatkan,
area ini perlu dilindungi. Lebih lanjut, ada 2.039.565 hektar area kubah gambut di
dalam konsesi izin HTI dan perkebunan yang belum ditanami komoditas. Hal ini
berarti terdapat lebih dari dua juta hektar area kubah gambut lindung termasuk
puncak kubah gambut yang akan dilimpahkan kewenangan, perlindungan, dan
pengelolaannya kepada pemegang konsesi. Hal ini sangat berisiko lantaran publik
belum dapat mengetahui komitmen pemegang konsesi dan rencana tata kelola
yang baik di area lindung yang akan dilimpahkan. Proses revisi Rencana Kerja
Usaha (RKU) sebagai arahan pemanfaatan konsesi, selama ini juga belum
transparan. Apalagi beberapa ketentuan dalam Permen LHK No.10/2019 dinilai
melonggarkan pemegang izin usaha. Misalnya, areal di luar puncak kubah gambut
dapat dimanfaatkan hingga jangka waktu izin berakhir. Selain itu, definisi areal
diluar puncak gambut sangat luas dan bisa termasuk areal di dalam kubah gambut.
Padahal, Permen LHK P.16 Tahun 2017 yang mengatur tentang pedoman
pemulihan gambut menyebutkan bahwa kubah gambut merupakan area yang
harus dilindungi. Lebih lanjut, areal harus dipulihkan apabila sudah dimanfaatkan
dalam satu kali siklus tanam namun tidak dapat ditanami kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan
aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF), Bogor, Indonesia
Anonimus. 2008a. Membuka lahan gambut sama artinya dengan membuat polusi
asap. Burning Issues. www.asiaforests.org Mei 2003 [dikunjungi 19
Februari 2008]
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008.
Pemanfaatan dan konservasi ekosistem lahan rawa gambut di Kalimantan.
Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 149-156
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1991 bertujuan mengatur ekosistem lahan
rawa gambut sebagai kawasan tampung hujan dan sumber air. PP
Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2019 tentang pengelolaan
gambut.diterbitkan oleh KLHK
Peraturan Pemerintah No.71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan
ekosistem gambut.PP
Permen LHK P.16 Tahun 2017 tentang pedoman pemulihan gambut.diterbitkan
oleh KLHK.

Anda mungkin juga menyukai