Anda di halaman 1dari 34

MODUL 12

HUKUM PERIKANAN

Peserta kuliah sangat diharapkan untuk memahami mengenai ketentuan

perikanan baik secara Internasional maupun hukum nasional ini, sehingga untuk

mendapatkan capaian belajar yang optimal, maka peserta kuliah diharapkan

mengikuti tahapan berikut dalam mempelajari modul ini:

a. Bacalah bagaian uraian dari setiap Kegiatan Belajar, tahapan diperlukan

agar peserta kuliah mendapatkan informasu atau akhir dari setiap tahapan.

b. Setelah itu, peserta kuliah membaca kembali bagian uraian sambil

mempraktikkan setiap langkah.

c. Kerjakanlah sesuai instruksi yang telah disediakan.

d. Kebijakan tes formatif yang disediakan untuk mengecek seberapa jauh

anda mencapai tujuan pembelajaran setiap kegiatan belajar tanpa melihat

rambu-rambu jawaban yang disediakan.

e. Bila Anda merasa telah menjawab Tes Formatif dengan baik,

bandingkanlah jawaban Anda tersebut dengan rambu-rambu jawaban

yang disediakan. Bila nilai Anda ternyata telah mencapai tingkat

penguasaan sama atau lebih besar dari 80% setelah dihitung, Anda

dipersilakan meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya.


KEGIATAN PEMBELAJARAN 14

HUKUM PERIKANAN

A. Deskripsi Singkat

Bidang perikanan menjadi hal yang patut untuk diperhatikan sebab laut

selama ini penyedia makanan yang bergizi tinggi seperti ikan, sehingga

diperlukan ketentuan-ketentuan yang mengatur agar keberadaan ikan yang

berada di laut teritorial tidak curi oleh negara asing.

B. Relevansi

Hukum perikanan ini merupakan bagian dari pembelajaran PIP hukum

laut sebab Indonesia merupakan negara kepulauan

C. Capaian Pembelajaran

1. Uraian

Salah satu Reformasi dibidang Hukum dan perundangan yang dilakukan

Negara Republik Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang

Nomor 31 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 45

tahun 2009 tentang perikanan. Untuk Indonesia undang-undang ini amatlah

penting mengingat luas perairan kita yang hampir mendekati 6 juta kilometer

persegi yang mencakup perairan kedaulatan dan yuridiksi nasional memerlukan

perhatian dan kepedulian kita semua, utamanya yang menyangkut upaya

penegakan hukum dan pengamanan laut dari gangguan dan upaya pihak asing.

Keberadaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan

langkah positif dan merupakan landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim
Perikanan dalam memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan Illegal

Fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat

merusak perekonomian bangsa. Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan

Indonesia menyebabkan kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5

milyar (USD/tahun). Setiap tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi

secara illegal di perairan Indonesia.

Illegal fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak

hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui

bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan

berkelanjutan. Data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang, kesalahan

mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu,

menangkap ikan dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK

tidak disijil dan pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja

asing yang tidak memiliki ijin kerja.

Pengertian ”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang

ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal

fishing dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris.

Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal” artinya tidak

sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” artinya ikan atau daging

ikan dan ”fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau

tempat menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat

dikatakan bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau

kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono
sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat

Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen

izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan

jenis dan ukuran yang dilarang .

Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara

berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum

internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum,

bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai

mengganggu kepentingan pihak lain.

Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu

proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan

dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini

bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan

pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah

suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai

akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik

ketentuan hukum internasional maupun nasional.

Delik/ tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar undang-undang

pidana, dank arena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan

dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang

tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,

mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.

Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin

tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan

ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.

Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis

yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan

dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.

Penegakan hukum IUU Fishing dalam Unclos 1982

Dalam hal penegakan hokum, termasuk penegakan hukum bagi pelaku

IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut dua

kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu

negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatan suatu

negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial atau

perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan kawasan laut dimana suatu

negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan

Landas Kontinen.

Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda).

Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan

negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai

mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat.

Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya

kelautan baik sumber daya hayati maupun non-hayati.


Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di

ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non

hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3)

pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan

penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan

kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan

kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable

catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara

pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses

kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya

untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya

perikanan dengan tujuan konservasi.

UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang

illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd

and Unregulated) fishing practices pada saat diselenggarakannya forum

CCAMLR (Commision for Conservation of Artarctic Marine Living Resources)

pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga

kelompok:

1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan

wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;
2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau

ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut;

dan

3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah

atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data

kapal dan hasil tangkapannya.

Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah

kedaulatan maupun di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang

bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak

mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS

1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah

kedaulatan dan ZEE suatu negara.

(1) Penegakan hukum di laut yang tunduk di bawah kedaulatan

Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai

terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu

negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS

1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan

hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut

membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika

unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak

terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya

terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan Negara pantai untuk menegakan


hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum di laut territorial, perairan

pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1),

adalah perwujudan dari yurisdiksi teritorialitas.

(2) Penegakan hukum di ZEE

Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab IX

(Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan Laut) dan Bab.V tentang ZEE. Dalam

hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang

berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan sumber daya

perikanan Negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum.

Bertalian dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE diatur dalam

pasal 73 UNCLOS 1982 yang menentukan:

1) Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk

melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati

di zona ekonomi ekskluisf mengambil tindakan sedemikian, termasuk menaiki

kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana

diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang

ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

2) Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan

setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.

3) Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran

peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh

mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebalik-nya antara negara-

negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.


4) Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai

harus segera memeberitahu kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat,

mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian

dijatuhkan”.

Jadi berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak

mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai di ZEE, negara

pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan

atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan

awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable

bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman

yang dijatuhkan tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara.

Penegakkan Hukum IUU Fishing di Indonesia

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan melalui

proses peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP ( Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ) dimana

setiap bentuk tindak pidana yang terjadi ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi,

Ajudikasi dan Post Ajudikasi.

Pre Ajudikasi : Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum

yang telibat secara langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik

PNS) serta Jaksa (Kejaksaan). Penegak hukum melakukan suatu tindakan

berdasarkan informasi maupun laporan mengenai adanya suatu tindak pidana

Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya tindakan langsung oleh Kepolisian
maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri, seperti sering

dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun

demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan

diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara

optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari berbagai

lembaga penegak hukum atau yang sering kita kenal dengan istilah Integreted

Criminal Justice System(ICSJ).

Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya

pengamanan laut, tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab

tantangan keamanan laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa

perlu melakukan upaya-upaya koordinasi berbagai pihak dalam upaya

pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bawah

pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan

revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk

diatur kembali melalui instrument Peraturan Presiden.

Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan

strategis saat ini perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan

koordinasi antar institusi/instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun

2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003,

dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan

Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan

Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut

(Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut.


Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I

melaksanakan operasi kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang

tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum serta

melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun

daerah.

Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas

pokok TNI Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI

Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu :

1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;

2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut

yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum

internasional yang telah diratifikasi;

3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka

mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;

4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut;

5. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.

Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-

undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31

Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara

cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam

proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang telah

menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan

agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para
Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada

otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam

kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas.

Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal

fishing.

Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian

dari penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan

mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal

ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi

terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus dihormati, seperti

hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan

kabel laut serta perikanan tradisional negara tetangga.

Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung penegakkan hukum

terhadap tindak pidana illegal fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut.

1. Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya

Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,

2. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau – Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan,

3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi

Sumberdaya Ikan,

4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan,


5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di

Bidang Perikanan,

6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,

7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di

Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan

Komersial,

8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat

Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan

Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Penghambat Penegakkan Hukum Terhadap IUU Illegal Fishing

(1) Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum

Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan

Illegal Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama

dalam hal ini adalah oknum Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat

Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak diatur secara

khusus dalam Undang–Undang tentang Perikanan tersebut.Penerapan Pasal 56


ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang

melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan

pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishingyang melibatkan

banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung secara

bersama dalam

terjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa

keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak

sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan maksimum sama dengan si

pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan

pelaku utamanya sulit ditemukan.

(2) Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum

Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan

tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing – masing, sehingga sangat

rawan menimbulkan konflik kepentingan. Penegakan hukum yang tidak

terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan

Illegal Fishing.

Proses peradilan mulai dari penyidikan hingga ke persidangan

membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang sangat panjang dan

sarana / prasarana yang sangat memadai membutuhkan keahlian khusus dalam

penanganan kasus tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak memiliki semua

komponen, data/informasi ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam

rangka penegakan hukum.Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan kerjasama


yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap

Illegal Fishing tersebut.

Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia

sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan

Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan

efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan

Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi

Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10

(sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai

pemberantasanIllegal Fishing yang sangat menentukan proses penegakan hukum

kejahatan perikanan yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian

Republik Indonesia, TNI - Angkatan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian

Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen

Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan,

Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.Koordinasi

antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan

hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan kejahatan

terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penangkapan ikan

secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport ikan secara ilegal.

(3) Rumusan Sanksi Pidana


Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan

perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang

memiliki sanksi pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan

pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan

Illegal Fishing. Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi

pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI

(Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang

melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana

denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).

Rumusan sanksi dalam Undang – Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi

paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan

tidak memberi efek jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang

sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada

tindak pidana pembiaran. Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang

awam terhadap hukum akan selalu mempertanyakan putusan pengadilan dengan

adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh aparat penegak hukum baik

PPNS Perikanan, TNI - Angkatan Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim

namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga

Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan–tudingan yang tidak

berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut terbukti, maka oknum Penegak

Hukum tersebut harus segera ditindak dengan tegas berdasarkan aturan hukum

dan hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum perlu melakukan pembaharuan.

2. Latihan
a. Jelaskan mengenai dua wilayah laut terkait IUU Fishing UNCLOS 1982!

b. Apakah yang dimaksud SIUP?

Jawaban

a. Dalam hal penegakan hokum, termasuk penegakan hukum bagi pelaku

IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut

dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut

dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk

dibawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan

pedalaman dan laut teritorial atau perairan kepulauan dan laut teritorial.

Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki

hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan Landas Kontinen.

b. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin

tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha

perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam

izin tersebut

3. Rangkuman

Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak mengatur pembagian

kewenangan secara tegas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti,

sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang

dalam penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam

pelaksanaannya. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah menguntungkan dan


mencerminkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan dipandang

lemah dan tidak optimal, sehingga berdampak kepada kegiatan penangkapan ikan

secara tidak sah masih menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus

berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta suatu kondisi

yang tertib, aman serta adanya kepastian hukum. Hal tersebut berpengaruh positif

bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada akhirnya mampu

meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat

4. Pustaka

a. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

D. Tugas dan Lembar Kerja

Pada tugas ini, peserta kuliah diharapkan membaca minimal 2 referensi.

E. Tes Formatif

1. Penegakan Hukum negara Pantai di ZEE diatur dalam Pasal berapa

UNCLOS...

a. Pasal 71 UNCLOS 1982

b. Pasal 72 UNCLOS 1982

c. Pasal 73 UNCLOS 1982

d. Pasal 74 UNCLOS 1982

2. Illegal Fishing adalah:


a. kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE

suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut

b. kegiatan penangkapan ikan secara illegal di laut bebas

c. kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE

suatu negara lain

d. kegiatan penangkapan ikan secara legal di perairan wilayah atau ZEE

suatu negara, atau memiliki ijin dari negara tersebut

---------------------j a w a b a n-----------------------

1. C

2. A

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Bila Anda merasa telah menjawab tes formatif dengan baik,

bandingkanlah jawaban Anda tersebut dengan rambu-rambu jawaban yang

disediakan. Jika hasil perhitungan menunjukkan anda telah mencapai tingkat

penguasaan sama atau lebih besar dari 80%, Anda dipersilakan untuk

meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya.

Untuk mengetahui persentase penguasaan materi pada kegaitan belajar

1 ini, anda cukup menghitung menggunakan rumus berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 x 100 = %

𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑆𝑜𝑎𝑙 (𝑎𝑡𝑎𝑢 9)


KEGIATAN PEMBELAJARAN 15

HUKUM PERIKANAN (2)

A. Deskripsi Singkat

Materi ini merupakan lanjutan mengenai hukum perikanan dan melihat

ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur mengenai permasalahan

perikanan tersebut.

B. Relevansi

Materi hukum perikanan sangat berkaitan erat dengan perkembangan

hukum laut di Indonesia

C. Capaian Pembelajaran

1. Uraian

Arti penting perikanan sebagai salah satu sumber pangan dunia tidak

diragukan lagi. FAO dalam laporannya "The State of World Fisheries and

Aqua-culture 2012" mendorong negara-negara untuk berpartisipasi dalam

pengelolaan perikanan dunia secara berkelanjutan agar mampu menopang

pemenuhan kebutuhan pangan jutaan warga dunia. Kegagalan dalam upaya

tersebut dipastikan akan membawa dampak lingkungan dan sosial ekonomi

yang sangat besar. Laporan tersebut juga menambahkan bahwa tahun 2011

produksi perikanan dunia mencapai 128 juta ton dan menjadi sumber income

bagi 55 juta penduduk.1

1
Food and Agriculture Organization, The State of World Fisheries and Aqua-culture
2012.
Tantangan terbesar dalam pengelolaan perikanan dunia adalah

terjadinya penurunan kemampuan sumber daya perikanan secara global.

Kalau melihat sejarahnya, overexploitation sumber daya ikan sebenarnya

bukan hal yang baru. Tercatat sejak tahun 1800 kasus overfishing telah

mengemukan ketika populasi paus mengalami penurunan yang tajam akibat

ekspoi/0tasi jenis ini sebagai sumber utama pembuatan lampu minyak (lamp

oil).2

Tiga dekade setelah perang dunia kedua merupakan periode dimana

terjadi peningkatan upaya penangkapan (fishing effort) yang luar biasa yang

berakibat pada penurunan stok ikan yang cukup tajam, khususnya untuk jenis

Pelagis Kecil. Mulai tahun 1950an perikanan kemudian memasuki masa

industrialisasi. Periode ini ditandai dengan mulai digunakannya teknologi

penangkapan berupa onboard refrigeration, acoustic fish-finders, sonar, dan

GPS sehingga penangkapan ikan dilakukan secara lebih masal. Pada sisi lain,

pada periode tersebut data penangkapan ikan tidak terlaporkan dengan baik,

bukti-bukti ilmiah sering diabaikan, dan pertimbangan aspek kelestarian

sumberdaya belum menjadi perhatian. Akibatnya, pada periode ini stok ikan

dunia mengalami penurunan yang begitu drastis. 3

Kesadaran global mulai disuarakan masyarakat internasional pada

berbagai fora pada akhir 1970an. Konsep regionalisasi wilayah laut,

2
"Overfishing", National Geographic. 7 Maret 2013.
<http://ocean.nationalgeographic.com/ ocean/critical-issues-overfishing>
3
Paully, D., Beyond duplicity and ignorance in global fisheries, Global Fishing Crisis,
2009.
http://www.seaaroundus.org/researcher/dpauly/PDF/2011/Other%20Items/BeyondDuplicityandIgn
oranceinGlobalFisheries.pdf
khususnya laut lepas4, merupakan salah satu konsep yang digulirkan sebagai

upaya untuk penguatan kerangkan pengelolaan perikanan yang

berkelanjutan. 5 Konsep regionalisasi ini kemudian diadopsi dalam UNCLOS

1982 dimana dalam pengelolaan jenis ikan yang beruaya jauh dan jenis ikan

beruaya terbatas dikelola melalui suatu organisasi regional. 6

Perkembangan penting lainnya adalah pada tahun 1990an dimana pada

periode tersebut berbagai instrumen hukum internasional dan lembaga

perikanan regional dibentuk. Instrumen hukum internasional yang lahir pada

periode itu adalah FAO Compliance Agreement 1993, Fish Stock Agreement

1995, CCRF 1995, dan IPOA. Compliance Agreement 1993 secara tegas

menekankan perlunya peningkatan koordinasi di tingkat regional dan

antarregional untuk mendorong pentaatan di laut lepas, sementara Fish Stock

Agreement 1995 mengatur bahwa untuk pengelolaan dan konservasi sumber

daya ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh harus dilakukan melalui

organisasi regional atau subregional. Bahkan apabila dalam hal suatu

organisasi regional belum dapat dibentuk, untuk persesuaian tindakan

4
Meski UNCLOS 1982 mengakui rezim kebebasan di laut lepas (freedom of the high
seas) sebagai perwujudan doktrin “mare liberium”, namum laut lepas juga menjadi objek
pengaturan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan4. UNCLOS 1982 meminta negara-
negara untuk mengatur dan bekerja sama secara global, regional, dan subregional, pengelolaan dan
konservasi sumber daya ikan di laut lepas (Pasal 118 UNCLOS 1982).
5
Menurut Lewis Alexander, kompleksitas pengelolaan laut menyebabkan kerangka
pengelolaan secara regional akan lebih efektif. Penyusunan perencanaan pengelolaan,
pengumpulan dan tukar menukar data akan lebih mudah dilakukan. Di samping itu, pengenalan
terhadap situasi dan permasalahan di kawasan akan lebih mudah dikenali, sehingga memudahkan
dalam perumusan sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Lewis Alexander, “Regionalism at Sea:
Concept and Reality” dalam Douglas M. Jhonson, Regionalization of the Law of The Sea, Law of
the Sea, Institute Eleven Annual Conference, November 14-17, 1977, hal.3.
6
Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982.
konservasi dan pengelolaan, negara-negara di kawasan tersebut berkewajiban

untuk membuat pengaturan-pengaturan tambahan yang bersifat praktis 7.

Meskipun organisasi perikanan regional telah dibentuk sejak tahun

1948, nyatanya pembentukan organisasi perikanan regional ini mengalami

perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1990an, pasca lahirnya

Compliance Agreement 1993, Fish Stock Agreement 1995, CCRF 1995, dan

IPOA. Saat ini, hampir seluruh wilayah laut lepas dan jenis ikan yang ada,

telah dikelola oleh organisasi-organisasi regional.

Kerangka pengaturan sebagaimana diuraikan di atas, telah mendorong

-kalau tidak dikatan memaksa- setiap negara untuk terlibat dalam kerjasama

pengelolaan dan konservasi regional, atau paling tidak untuk tunduk pada

pengaturan-pengaturan yang keluarkan organisasi-organisasi tersebut.

Pengaturan tersebut tidak saja menyangkut pengelolaan dan konservasi

wilayah laut lepas, tapi juga wilayah yang berada dalam yurisdiksi nasional

yang berbatasan dengan laut lepas. Dengan demikian, negara-negara selain

didorong untuk menaati pengaturan regional, pada saat yang sama juga

dituntut untuk menyelaraskan pengaturan nasionalnya sesuai dengan

pengaturan regional tersebut.

Yang menarik dari kerangka pengaturan dan kerja sama tersebut

adalah adanya kewajiban yang “sama” bagi negara bukan anggota organisasi

atau pengaturan regional. Dalam Pasal 17 ayat (1) Fish Stock Agreement

1995 secara tegas dinyatakan: “Suatu negara yang bukan merupakan anggota

7
Pasal 7 ayat (5) Fish Stock Agreement 1995.
pada suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional atau

tidak menjadi peserta pada suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub

regional dan regional, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan

konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan

tersebut, tidak dibebaskan dari kewajiban untuk bekerja sama,…”.

Kerangka pengaturan demikian tampaknya merupakan perkembangan

baru dalam hukum internasional karena menurut doktrim hukum

internasional berlaku asas pacta sunt servanda dimana suatu perjanjian hanya

mengikat negara yang menyepakatinya. Hal ini membawa konsekwensi

tersendiri bagi negara-negara, baik yang menjadi anggota ataupun yang

bukan anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, dalam penyusunan

peraturan perundang-undangan nasional mereka.

Tulisan ini akan mencoba mengangkat permasalahan terkait dengan

konsekwensi dari pengaturan perikanan global terhadap peraturan nasional

Indonesia, khususnya pengaturan perikanan yang dibuat oleh organisasi

pengelolaan perikanan regional dimana Indonesia menjadi pihak di dalamnya.

(1) Tata Kelola Perikanan Global

Kesadaran perlunya pengaturan mengenai pengelolaan dan

konservasi perikanan diatur dalam UNCLOS 1982. Salah satu keberhasilan

utama dari UNCLOS adalah penambahan lebar Zona Ekonomi Eksklusif

sejauh 200 mil laut dari garis pantai, dimana negara pantai hak eksklusif dan

penegakan hukum lingkungan. Namun demikian UNCLOS tidak


memberikan pengaturan yang cukup berkaitan dengan pengelolaan dan

proteksi sumberdaya hayati di laut lepas, dimana 10 persen jenis ikan

komersial ditemukan.8

Pembahasan tentang kerjasama pengelolaan dan konservasi sumber

daya perikanan dalam UNCLOS 1982 diatur dalam Bab V tentang Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE) khususnya Pasal 61 sampai dengan Pasal 67. Pasal

61 ayat 2 UNCLOS secara jelas mengamanatkan adanya kerjasama diantara

negara pantai dan organisasi internasional untuk melakukan tindakan

pengelolaan dan konservasi perikanan berdasarkan bukti ilmiah yang terbaik

(best scientific evidence).9

Lebih lanjut Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS memberikan pengaturan

tentang sediaan jenis ikan yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dua

negara pantai atau lebih atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun

di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya, dan jenis ikan yang

bermigrasi jauh (highly migratory species). 10 Kedua pasal tersebut

menekankan adanya organisasi baik sub-regional, regional, dan global untuk

8
Patricia Lee Devaney, Regional Fisheries Management Organization: Bringing Order
to Disorder, http://www.pon.org/downloads/ien14_4Devaney.pdf, diunduh tanggal 1 Maret 2010.
Hlm. 4
9
Pasal 61 ayat 2 UNCLOS menyatakan bahwa: “Coastal state, taking into account the
best scientific evidence available to it, shal ensur trough proper conservation and management
measures that the maintenance of the living resources in the exclusive economic zone is
endangered by over exploitation. As appropriate , the coastal state and competent international
organizations, whether subregional, regional, and global, shall cooperate to this end.” Pasal ini
juga memberikan gambaran tentang keberadaan suatu organisasi baik sub-regional , regional, dan
global dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan perikanan
10
Istilah sediaan jenis ikan yang terdapat terdapat di ZEE dua negara pantai atau lebih
atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan
dengannya, dan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) dalam UNIA 1995
diubah menjadi lebih spesifik menjadi Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas (Straddling Fish
Stocks) dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks). Penggunaan kata
beruaya secara resmi digunakan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan
Fish Stock Agreement 1995.
menjamin tindakan yang perlu bagi kegiatan konservasi dan pengelolaan

kedua jenis ikan tersebut.11

Pada Bab VII UNCLOS 198212 terutama pada Bagian 2 tentang

Konservasi dan Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas, diatur

bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk

melakukan ikan di laut lepas dengan tunduk pada antara lain hak dan

kewajiban yang ditentukan sebagaimana diatur dalam Bab mengenai ZEE. 13

Bagian ini juga mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam konservasi

dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di laut lepas sebagaimana yang

tertuang pada Pasal 117 dan Pasal 118. 14

UNCLOS 1982 juga mengatur pengelolaan dan konservasi sumber

daya perikanan pada Bab IX yang mengatur tentang Laut Tertutup atau

Setengah Tertutup. Pasal ini juga mengamanatkan adanya suatu kerjasama

regional dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan.

11
Pasal 64 bahkan secara jelas menyatakan bahwa bahwa dalam hal tidak terdapat
organisasi internasional yang bersangkutan negara pantai dan negara lain yang warga negaranya
memanfaatkan jenis ikan demikian di kawasan tersebut harus bekerjasama untuk membentuk
organisasi demikian dan berperan serta dalam kegiatannya.
12
Pemanfaatan di perairan laut lepas oleh suatu negara pantai atau tidak berpantai
didasarkan pada asas kekebasan di laut lepas sebagaimana yang diakui dalam UNCLOS 1982.
Prinsip kekebasan di laut lepas menurut Pasal 87 UNCLOS, utamanya kebebasan menangkap ikan
(freedom of fishing).
13
Pasal 116 UNCLOS menyatakan bahwa “All states have the right for they nationals to
engage in fishing on the high seas subject to:
(a). Their treaty obligations;
(b). The rights and duties as well as te interest of coastal states provided for, inter alia, in article
63, paragraph 2 and articles 64 to 67; and
(c). The provinsion on this section.”
14
Pasal 117 mengamanatkan tindakan dan kerjasama untuk kegiatan konservasi sumber
kekayaan di laut lepas. Lebih jauh secara tegas Pasal 118 secara tegas mengamanatkan
pembentuka organisasi perikanan sub-regional atau regional tersebut dengan menyebutkan bahwa,
“States shall co-operate with each other in the conservation and management of living resources
in the areas of the high seas. States whose nationals exploit identical living resources, or different
living resources in the same area, shal enter into negotiations with a view to taking the measures
necessary for the conservation of living resources concerned. They shall as appropriate, ccoperate
to establish sub regional or regional fisheries organizations to this end”.
Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan yang

diatur dalam UNCLOS 1982 kemudian diikuti dengan diadopsinya beberapa

ketentuan hukum internasional antara lain:15

 Agreement to Promote Compliance with International Conservation and

Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO

Compliance Agreement 1993);

 Agreement for the Implementation of the provision of the UNCLOS of 19

December 1982 relating to Conservation and Management of Straddling

Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stock 1995 (Fish Stock Agreement

1995);

 The Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995); dan

 International Plan of Action (IPOA) dari FAO yang meliputi IPOA for

Management of Fishing Capacity, IPOA for Conservation and

Management of Shark, IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird in

Long-Line Fisheries, dan IPOA for Illegal, Unreported and Unregulated

Fishing.

Compliance Agreement 1993 menekankan pada perlunya peningkatan

koordinasi di tingkat regional dan antarregional untuk mendorong pentaatan di

laut lepas. Para pihak diwajibkan untuk bekerja sama, pada tingkat

subregional, regional, dan global, dalam penerapan Persetujuan ini secara

15
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut
Bebas”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2
Nomor 3 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, April 2005), hal. 505.
efektif.16 Sementara itu, Fish Stock Agreement 1995 menguatkan kembali

mandat dalam UNCLOS 1982 dengan menegaskaan bahwa sumber daya ikan

yang beruaya terbatas dan beruaya jauh harus dikelola melalui organisasi

regional atau subregional. Dalam hal ini, organisasi regional memegang peran

sangat sentral dalam implementasi Fish Stock Agreement, dan menjadi

mekanisme utama dimana negara-negara berkerja sama dan secara proaktif

mengelola dan mengkonservasi sumber daya ikan yang beruaya jauh dan

beruaya terbatas.17

Sebagai pelaksanaan dari instrumen hukum di atas, saat ini telah

terbentuk 44 Lembaga Perikanan Regional diseluruh dunia, dimana 20

diantaranya berupa Regional Fisheries Management Organization (RFMO),18

yaitu CACFish19, CCBSP20, GFCM21, IATTC22, IPHC23, RECOFI24,

16
Pasal 6 ayat (3) Compliance Agreement 1993
17
A net with holes: the regional fisheries management system Deep Sea Conservation
Coalition, dapat diakses di http://www.savethehighseas.org/publicdocs/RFMO.pdf, hal. 1-2.
18
RFMO merupakan salah satu jenis Lembaga Perikanan Regional yang mempunyai
fungsi pengelolaan (management body). RFMO yang ada saat ini adalah CCAMLR, CACFish,
CCBSP, CCSBT, GFCM, IATTC, ICCAT, IOTC, IPHC, IWC, LVFO, NAFO, NASCO, NEAFC,
NPAFC, RECOFI, SEAFO, SIOFA, SPRFMO, dan WCPFC.
19
Central Asian and Caucasus Regional Fisheries and Aquaculture Commission
20
Convention on the Conservation and Management of Pollock Resources in the Central
Bering Sea
21
General Fisheries Commission for the Mediterranean
22
Inter-American Tropical Tuna Commission
23
International Pacific Halibut Commission
24
Regional Commission for Fisheries
LVFO25, NAFO26, NASCO27, SIOFA28, SPRFMO29, CCAMLR30, WCPFC31,

SEAFO32, NEAFC,33 IOTC34, NPAFC35, CCSBT36, IWC37, dan ICCAT 38.

Mandat yang dimiliki oleh organisasi perikanan regional sendiri

bermacam-macam. Ada yang hanya memiliki mandat memberikan masukan

(advisory) yang sifatnya tidak mengikat bagi anggotanya, ada pula yang

mempunyai mandat untuk melakukan pengelolaan. RFB yang terkhir ini biasa

disebut Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs) yang

mengadopsi pengaturan pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan yang

bersifat mengikat pada anggotanya.

Apabila dilihat dari fungsinya, organisasi perikanan regional memiliki

fungsi yang berbeda-beda, seperti fungsi pengumpulan, analisis dan

diseminasi data dan informasi, fungsi koordinasi pengelolaan perikanan

melalui mekanisme dan skema bersama, fungsi sebagai forum kebijakan dan

teknis, serta fungsi pengambilan keputusan yang terkait dengan konservasi,

pengelolaan, dan pengembangan pengelolaan sumberdaya secara

berkelanjutan.

25
Lake Victoria Fisheries Organization
26
Northwest Atlantic Fisheries Organization
27
North Atlantic Salmon Conservation Organization
28
South Indian Ocean Fisheries Agreement
29
South Pacific Regional Fisheries Management Organization
30
Commission on the Conservation of Antartic Marine Living Resources
31
Western and Central Pacific Fisheries Commission
32
Southeast Atlantic Fisheries Organization
33
North East Atlantic Fisheries Commission
34
Indian Ocean Tuna Commission
35
North Pacific Anadromous Fish Commission
36
Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna
37
International Whaling Commission
38
International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas
Sementara itu, dilihat dari aspek geografisnya, organisasi perikanan

regional dikelompokan sebagai berikut:

a. Organisasi perikanan regional yang bersifat Global dan Lintas Samudera,

seperti CCSBT, CCAMLR, dan IWC;

b. Organisasi perikanan regional di Kawasan Samudera Pasifik, seperti

APFIC,SEAFDEC, dan IPHC;

c. Organisasi perikanan regional di Laut Mediterian, Laut Hitam, dan

Perairan yang menghubungkannya, yaitu GFCM;

d. RFBs di Samudera Hindia, seperti BOBP-IGO , IOTC, dan SWIOFC;

e. RFBs di Samudera Atlantik, seperti NEAFC, WECAFC, ICCAT, , dan

SEAFO;

f. RFBs yang di Bidang Perikanan Darat, seperti APFIC, EIFAC, CIFAA,

dan MRC.

Lembaga Perikanan Regional, khususnya RFMO memegang peranan

penting dalam mengambil langkah-langkah memperkuat pengelolaan melalui

implementasi pendekatan ekosistem dan mengadopsi pendekatan kehati-hatian

(precautionary approach). Mereka juga berusaha untuk memperkuat

kerjasama internasional, menerapkan prinsip-prinsip transparansi, mendorong

negara-negara bukan anggota, dan meningkatkan pengaturan Monitoring

Controlling and Survaillance (MCS), termasuk implementasi kewajiban


Vessel Monitoring Systems (VMS), mengadopsi skema regional untuk Port

State Measures dan pengembangan daftar kapal (vessel lists). 39

2. Latihan

a. Jelaskan tata kelola perikanan global!

b. Jelaskan mengenai complieance agreement 1993!

Jawaban

a. Pembahasan tentang kerjasama pengelolaan dan konservasi sumber daya

perikanan dalam UNCLOS 1982 diatur dalam Bab V tentang Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE) khususnya Pasal 61 sampai dengan Pasal 67.

Pasal 61 ayat 2 UNCLOS secara jelas mengamanatkan adanya kerjasama

diantara negara pantai dan organisasi internasional untuk melakukan

tindakan pengelolaan dan konservasi perikanan berdasarkan bukti ilmiah

yang terbaik (best scientific evidence). Lebih lanjut Pasal 63 dan Pasal 64

UNCLOS memberikan pengaturan tentang sediaan jenis ikan yang

terdapat di zona ekonomi eksklusif dua negara pantai atau lebih atau baik

di dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar

serta berdekatan dengannya, dan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly

migratory species).

b. Compliance Agreement 1993 menekankan pada perlunya peningkatan koordinasi

di tingkat regional dan antarregional untuk mendorong pentaatan di laut lepas.

39
Food and Agriculture Organisation, Search Fishery Governance Fact Sheets, dapat
diunduh di http://www.fao.org/fishery/rfb/search/en
Para pihak diwajibkan untuk bekerja sama, pada tingkat subregional, regional,

dan global, dalam penerapan Persetujuan ini secara efektif.

3. Rangkuman

Konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan sudah tidak lagi hanya

dibatasi sebagai isu nasional masing-masing negara. Kesadaran masyarakat

internasional akan perlunya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan telah

mendorong lahirnya instrumen-instrumen hukum internasional yang menghendaki

adanya mekanisme kerja sama antara negara-negara, baik pada level bilateral,

regional, maupun global.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tidak bisa terlepas

dari kerja sama dengan negara lain, termasuk kerja sama dengan dan melalui

organisasi regional. Dalam hal ini Indonesia perlu terus mengikuti dinamika

pengaturan hukum regional maupun internasional. Indonesia juga perlu berperan

serta secara lebih aktif pada perundingan-perundingan regional maupun

internasional, termasuk dalam negosiasi penyusunan pengaturan hukum regional

dan internasional.

Keikutsertaan Indonesia pada organisasi dan pengaturan regional maupun

internasional harus didasarkan pada kepentingan besar bangsa Indonesia, yaitu

kepentingan untuk turut mengelola dan menanfaatkan sumber daya ikan bagi

kesejahteraan bangsa Indonesia, di samping kepentingan untuk turut membangun

komitmen internasional dalam mempromosikan pengelolaan dan konservasi

sumber daya ikan secara lestari dan berkelanjutan.

4. Pustaka
a. Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi

Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi. Ghalia Indonesia,

Jakarta, 2003

(2) Tugas dan Lembar Kerja

Pada tugas ini, peserta kuliah diharapkan membaca minimal 2 referensi.

(3) Tes Formatif

1. Penegasan bahwa sumber daya ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh

harus dikelola melalui organisasi regional atau subregional, merupakan:

a. Fish Stock Agreement 1995

b. Compliance Agreement 1993

c. Fisheries Management Organization

d. precautionary approach

2. Suatu negara yang bukan merupakan anggota pada suatu organisasi

pengelolaan perikanan sub regional dan regional atau tidak menjadi

peserta pada suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan

regional, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan

konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau

pengaturan tersebut, tidak dibebaskan dari kewajiban untuk bekerja sama,

merupakan substansi :

a. Pasal 18 UNCLOS 1982

b. Pasal 17 Fish Stock Agreement 1995

c. The Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995)


d. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and

Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO

Compliance Agreement 1993

-------------------------jawaban------------------------

1. A

(4) Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Bila Anda merasa telah menjawab tes formatif dengan baik,

bandingkanlah jawaban Anda tersebut dengan rambu-rambu jawaban yang

disediakan. Jika hasil perhitungan menunjukkan anda telah mencapai tingkat

penguasaan sama atau lebih besar dari 80%, Anda dipersilakan untuk

meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya.

Untuk mengetahui persentase penguasaan materi pada kegaitan belajar

1 ini, anda cukup menghitung menggunakan rumus berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 x 100 = %

𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑆𝑜𝑎𝑙 (𝑎𝑡𝑎𝑢 9)

Anda mungkin juga menyukai