HUKUM PERIKANAN
perikanan baik secara Internasional maupun hukum nasional ini, sehingga untuk
agar peserta kuliah mendapatkan informasu atau akhir dari setiap tahapan.
penguasaan sama atau lebih besar dari 80% setelah dihitung, Anda
HUKUM PERIKANAN
A. Deskripsi Singkat
Bidang perikanan menjadi hal yang patut untuk diperhatikan sebab laut
selama ini penyedia makanan yang bergizi tinggi seperti ikan, sehingga
B. Relevansi
C. Capaian Pembelajaran
1. Uraian
penting mengingat luas perairan kita yang hampir mendekati 6 juta kilometer
penegakan hukum dan pengamanan laut dari gangguan dan upaya pihak asing.
langkah positif dan merupakan landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim
Perikanan dalam memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan Illegal
Fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat
merusak perekonomian bangsa. Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan
milyar (USD/tahun). Setiap tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi
hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui
bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan
mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu,
tidak disijil dan pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja
ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal
fishing dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris.
sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” artinya ikan atau daging
ikan dan ”fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau
dikatakan bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau
kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono
sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat
Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen
izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan
berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum
internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini
pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah
suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai
akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik
tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan
Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis
IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut dua
kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu
negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatan suatu
perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan kawasan laut dimana suatu
negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan
Landas Kontinen.
Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan
negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai
Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non
kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan
kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable
catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara
kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya
pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga
kelompok:
wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;
2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau
ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut;
dan
atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data
Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah
kedaulatan maupun di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang
bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak
mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS
1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah
terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu
negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS
membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika
unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak
pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1),
(Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan Laut) dan Bab.V tentang ZEE. Dalam
setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
harus segera memeberitahu kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat,
mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian
dijatuhkan”.
atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan
awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable
bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman
yang dijatuhkan tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara.
8 Tahun 1981 tentang KUHAP ( Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ) dimana
setiap bentuk tindak pidana yang terjadi ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi,
Pre Ajudikasi : Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum
yang telibat secara langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik
Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya tindakan langsung oleh Kepolisian
maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri, seperti sering
dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun
demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan
diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara
optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari berbagai
lembaga penegak hukum atau yang sering kita kenal dengan istilah Integreted
Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya
tantangan keamanan laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa
revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk
daerah.
cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam
menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan
agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para
Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada
kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas.
fishing.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian
dari penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan
ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi
hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan
terhadap tindak pidana illegal fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut.
Sumberdaya Ikan,
Bidang Perikanan,
Komersial,
Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Menteri Kelautan dan
Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan
Illegal Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama
dalam hal ini adalah oknum Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat
Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak diatur secara
melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan
banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung secara
bersama dalam
keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak
sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan maksimum sama dengan si
pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan
Illegal Fishing.
membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang sangat panjang dan
penanganan kasus tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak memiliki semua
sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan
Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan
efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan
Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10
(sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai
terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penangkapan ikan
secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport ikan secara ilegal.
memiliki sanksi pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan
pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan
Illegal Fishing. Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi
pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI
(Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang
melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana
denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
Rumusan sanksi dalam Undang – Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi
paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan
tidak memberi efek jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang
sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada
tindak pidana pembiaran. Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang
adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh aparat penegak hukum baik
PPNS Perikanan, TNI - Angkatan Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim
namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga
Hukum tersebut harus segera ditindak dengan tegas berdasarkan aturan hukum
dan hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum perlu melakukan pembaharuan.
2. Latihan
a. Jelaskan mengenai dua wilayah laut terkait IUU Fishing UNCLOS 1982!
Jawaban
IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut
dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut
pedalaman dan laut teritorial atau perairan kepulauan dan laut teritorial.
b. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin
izin tersebut
3. Rangkuman
kewenangan secara tegas dan tidak pula mengatur mekanisme kerja yang pasti,
dalam penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem dalam
lemah dan tidak optimal, sehingga berdampak kepada kegiatan penangkapan ikan
secara tidak sah masih menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus
berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta suatu kondisi
yang tertib, aman serta adanya kepastian hukum. Hal tersebut berpengaruh positif
bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada akhirnya mampu
4. Pustaka
E. Tes Formatif
UNCLOS...
---------------------j a w a b a n-----------------------
1. C
2. A
penguasaan sama atau lebih besar dari 80%, Anda dipersilakan untuk
A. Deskripsi Singkat
perikanan tersebut.
B. Relevansi
C. Capaian Pembelajaran
1. Uraian
Arti penting perikanan sebagai salah satu sumber pangan dunia tidak
diragukan lagi. FAO dalam laporannya "The State of World Fisheries and
yang sangat besar. Laporan tersebut juga menambahkan bahwa tahun 2011
produksi perikanan dunia mencapai 128 juta ton dan menjadi sumber income
1
Food and Agriculture Organization, The State of World Fisheries and Aqua-culture
2012.
Tantangan terbesar dalam pengelolaan perikanan dunia adalah
bukan hal yang baru. Tercatat sejak tahun 1800 kasus overfishing telah
ekspoi/0tasi jenis ini sebagai sumber utama pembuatan lampu minyak (lamp
oil).2
terjadi peningkatan upaya penangkapan (fishing effort) yang luar biasa yang
berakibat pada penurunan stok ikan yang cukup tajam, khususnya untuk jenis
GPS sehingga penangkapan ikan dilakukan secara lebih masal. Pada sisi lain,
pada periode tersebut data penangkapan ikan tidak terlaporkan dengan baik,
sumberdaya belum menjadi perhatian. Akibatnya, pada periode ini stok ikan
2
"Overfishing", National Geographic. 7 Maret 2013.
<http://ocean.nationalgeographic.com/ ocean/critical-issues-overfishing>
3
Paully, D., Beyond duplicity and ignorance in global fisheries, Global Fishing Crisis,
2009.
http://www.seaaroundus.org/researcher/dpauly/PDF/2011/Other%20Items/BeyondDuplicityandIgn
oranceinGlobalFisheries.pdf
khususnya laut lepas4, merupakan salah satu konsep yang digulirkan sebagai
1982 dimana dalam pengelolaan jenis ikan yang beruaya jauh dan jenis ikan
periode itu adalah FAO Compliance Agreement 1993, Fish Stock Agreement
1995, CCRF 1995, dan IPOA. Compliance Agreement 1993 secara tegas
daya ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh harus dilakukan melalui
4
Meski UNCLOS 1982 mengakui rezim kebebasan di laut lepas (freedom of the high
seas) sebagai perwujudan doktrin “mare liberium”, namum laut lepas juga menjadi objek
pengaturan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan4. UNCLOS 1982 meminta negara-
negara untuk mengatur dan bekerja sama secara global, regional, dan subregional, pengelolaan dan
konservasi sumber daya ikan di laut lepas (Pasal 118 UNCLOS 1982).
5
Menurut Lewis Alexander, kompleksitas pengelolaan laut menyebabkan kerangka
pengelolaan secara regional akan lebih efektif. Penyusunan perencanaan pengelolaan,
pengumpulan dan tukar menukar data akan lebih mudah dilakukan. Di samping itu, pengenalan
terhadap situasi dan permasalahan di kawasan akan lebih mudah dikenali, sehingga memudahkan
dalam perumusan sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Lewis Alexander, “Regionalism at Sea:
Concept and Reality” dalam Douglas M. Jhonson, Regionalization of the Law of The Sea, Law of
the Sea, Institute Eleven Annual Conference, November 14-17, 1977, hal.3.
6
Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982.
konservasi dan pengelolaan, negara-negara di kawasan tersebut berkewajiban
Compliance Agreement 1993, Fish Stock Agreement 1995, CCRF 1995, dan
IPOA. Saat ini, hampir seluruh wilayah laut lepas dan jenis ikan yang ada,
-kalau tidak dikatan memaksa- setiap negara untuk terlibat dalam kerjasama
pengelolaan dan konservasi regional, atau paling tidak untuk tunduk pada
wilayah laut lepas, tapi juga wilayah yang berada dalam yurisdiksi nasional
didorong untuk menaati pengaturan regional, pada saat yang sama juga
adalah adanya kewajiban yang “sama” bagi negara bukan anggota organisasi
atau pengaturan regional. Dalam Pasal 17 ayat (1) Fish Stock Agreement
1995 secara tegas dinyatakan: “Suatu negara yang bukan merupakan anggota
7
Pasal 7 ayat (5) Fish Stock Agreement 1995.
pada suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional atau
regional dan regional, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan
internasional berlaku asas pacta sunt servanda dimana suatu perjanjian hanya
sejauh 200 mil laut dari garis pantai, dimana negara pantai hak eksklusif dan
komersial ditemukan.8
daya perikanan dalam UNCLOS 1982 diatur dalam Bab V tentang Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) khususnya Pasal 61 sampai dengan Pasal 67. Pasal
tentang sediaan jenis ikan yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dua
negara pantai atau lebih atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun
di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya, dan jenis ikan yang
8
Patricia Lee Devaney, Regional Fisheries Management Organization: Bringing Order
to Disorder, http://www.pon.org/downloads/ien14_4Devaney.pdf, diunduh tanggal 1 Maret 2010.
Hlm. 4
9
Pasal 61 ayat 2 UNCLOS menyatakan bahwa: “Coastal state, taking into account the
best scientific evidence available to it, shal ensur trough proper conservation and management
measures that the maintenance of the living resources in the exclusive economic zone is
endangered by over exploitation. As appropriate , the coastal state and competent international
organizations, whether subregional, regional, and global, shall cooperate to this end.” Pasal ini
juga memberikan gambaran tentang keberadaan suatu organisasi baik sub-regional , regional, dan
global dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan perikanan
10
Istilah sediaan jenis ikan yang terdapat terdapat di ZEE dua negara pantai atau lebih
atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan
dengannya, dan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) dalam UNIA 1995
diubah menjadi lebih spesifik menjadi Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas (Straddling Fish
Stocks) dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks). Penggunaan kata
beruaya secara resmi digunakan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan
Fish Stock Agreement 1995.
menjamin tindakan yang perlu bagi kegiatan konservasi dan pengelolaan
melakukan ikan di laut lepas dengan tunduk pada antara lain hak dan
daya perikanan pada Bab IX yang mengatur tentang Laut Tertutup atau
11
Pasal 64 bahkan secara jelas menyatakan bahwa bahwa dalam hal tidak terdapat
organisasi internasional yang bersangkutan negara pantai dan negara lain yang warga negaranya
memanfaatkan jenis ikan demikian di kawasan tersebut harus bekerjasama untuk membentuk
organisasi demikian dan berperan serta dalam kegiatannya.
12
Pemanfaatan di perairan laut lepas oleh suatu negara pantai atau tidak berpantai
didasarkan pada asas kekebasan di laut lepas sebagaimana yang diakui dalam UNCLOS 1982.
Prinsip kekebasan di laut lepas menurut Pasal 87 UNCLOS, utamanya kebebasan menangkap ikan
(freedom of fishing).
13
Pasal 116 UNCLOS menyatakan bahwa “All states have the right for they nationals to
engage in fishing on the high seas subject to:
(a). Their treaty obligations;
(b). The rights and duties as well as te interest of coastal states provided for, inter alia, in article
63, paragraph 2 and articles 64 to 67; and
(c). The provinsion on this section.”
14
Pasal 117 mengamanatkan tindakan dan kerjasama untuk kegiatan konservasi sumber
kekayaan di laut lepas. Lebih jauh secara tegas Pasal 118 secara tegas mengamanatkan
pembentuka organisasi perikanan sub-regional atau regional tersebut dengan menyebutkan bahwa,
“States shall co-operate with each other in the conservation and management of living resources
in the areas of the high seas. States whose nationals exploit identical living resources, or different
living resources in the same area, shal enter into negotiations with a view to taking the measures
necessary for the conservation of living resources concerned. They shall as appropriate, ccoperate
to establish sub regional or regional fisheries organizations to this end”.
Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan yang
Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stock 1995 (Fish Stock Agreement
1995);
International Plan of Action (IPOA) dari FAO yang meliputi IPOA for
Fishing.
laut lepas. Para pihak diwajibkan untuk bekerja sama, pada tingkat
15
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut
Bebas”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2
Nomor 3 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, April 2005), hal. 505.
efektif.16 Sementara itu, Fish Stock Agreement 1995 menguatkan kembali
mandat dalam UNCLOS 1982 dengan menegaskaan bahwa sumber daya ikan
yang beruaya terbatas dan beruaya jauh harus dikelola melalui organisasi
regional atau subregional. Dalam hal ini, organisasi regional memegang peran
mengelola dan mengkonservasi sumber daya ikan yang beruaya jauh dan
beruaya terbatas.17
16
Pasal 6 ayat (3) Compliance Agreement 1993
17
A net with holes: the regional fisheries management system Deep Sea Conservation
Coalition, dapat diakses di http://www.savethehighseas.org/publicdocs/RFMO.pdf, hal. 1-2.
18
RFMO merupakan salah satu jenis Lembaga Perikanan Regional yang mempunyai
fungsi pengelolaan (management body). RFMO yang ada saat ini adalah CCAMLR, CACFish,
CCBSP, CCSBT, GFCM, IATTC, ICCAT, IOTC, IPHC, IWC, LVFO, NAFO, NASCO, NEAFC,
NPAFC, RECOFI, SEAFO, SIOFA, SPRFMO, dan WCPFC.
19
Central Asian and Caucasus Regional Fisheries and Aquaculture Commission
20
Convention on the Conservation and Management of Pollock Resources in the Central
Bering Sea
21
General Fisheries Commission for the Mediterranean
22
Inter-American Tropical Tuna Commission
23
International Pacific Halibut Commission
24
Regional Commission for Fisheries
LVFO25, NAFO26, NASCO27, SIOFA28, SPRFMO29, CCAMLR30, WCPFC31,
(advisory) yang sifatnya tidak mengikat bagi anggotanya, ada pula yang
mempunyai mandat untuk melakukan pengelolaan. RFB yang terkhir ini biasa
melalui mekanisme dan skema bersama, fungsi sebagai forum kebijakan dan
berkelanjutan.
25
Lake Victoria Fisheries Organization
26
Northwest Atlantic Fisheries Organization
27
North Atlantic Salmon Conservation Organization
28
South Indian Ocean Fisheries Agreement
29
South Pacific Regional Fisheries Management Organization
30
Commission on the Conservation of Antartic Marine Living Resources
31
Western and Central Pacific Fisheries Commission
32
Southeast Atlantic Fisheries Organization
33
North East Atlantic Fisheries Commission
34
Indian Ocean Tuna Commission
35
North Pacific Anadromous Fish Commission
36
Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna
37
International Whaling Commission
38
International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas
Sementara itu, dilihat dari aspek geografisnya, organisasi perikanan
SEAFO;
dan MRC.
2. Latihan
Jawaban
yang terbaik (best scientific evidence). Lebih lanjut Pasal 63 dan Pasal 64
terdapat di zona ekonomi eksklusif dua negara pantai atau lebih atau baik
serta berdekatan dengannya, dan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly
migratory species).
39
Food and Agriculture Organisation, Search Fishery Governance Fact Sheets, dapat
diunduh di http://www.fao.org/fishery/rfb/search/en
Para pihak diwajibkan untuk bekerja sama, pada tingkat subregional, regional,
3. Rangkuman
Konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan sudah tidak lagi hanya
adanya mekanisme kerja sama antara negara-negara, baik pada level bilateral,
dari kerja sama dengan negara lain, termasuk kerja sama dengan dan melalui
organisasi regional. Dalam hal ini Indonesia perlu terus mengikuti dinamika
dan internasional.
kepentingan untuk turut mengelola dan menanfaatkan sumber daya ikan bagi
4. Pustaka
a. Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi
Jakarta, 2003
1. Penegasan bahwa sumber daya ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh
d. precautionary approach
merupakan substansi :
-------------------------jawaban------------------------
1. A
penguasaan sama atau lebih besar dari 80%, Anda dipersilakan untuk