Anda di halaman 1dari 32

MODUL 7

PENGATURAN HUKUM TENTANG KESELAMATAN

PELAYARAN (SAFETY OF NAVIGATION).

Keselamatan Pelayaran sangat penting dalam lalu lintas di perairan dan telah

ada aturan hukum yang jelas yang menjamin mengenai keselamatan pelayaran.

Peserta kuliah sangat diharapkan untuk memahami hal ini, sehingga untuk

mendapatkan capaian belajar yang optimal, maka peserta kuliah diharapkan

mengikuti tahapan berikut dalam mempelajari modul ini:

a. Bacalah bagaian uraian dari setiap Kegiatan Belajar, tahapan diperlukan

agar peserta kuliah mendapatkan informasi atau akhir dari setiap tahapan.

b. Setelah itu, peserta kuliah membaca kembali bagian uraian sambil

mempraktikkan setiap langkah.

c. Kerjakanlah sesuai instruksi yang telah disediakan.

d. Kebijakan tes formatif yang disediakan untuk mengecek seberapa jauh

anda mencapai tujuan pembelajaran setiap kegiatan belajar tanpa melihat

rambu-rambu jawaban yang disediakan.

e. Bila Anda merasa telah menjawab Tes Formatif dengan baik,

bandingkanlah jawaban Anda tersebut dengan rambu-rambu jawaban

yang disediakan. Bila nilai Anda ternyata telah mencapai tingkat

penguasaan sama atau lebih besar dari 80% setelah dihitung, Anda

dipersilakan meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya.


KEGIATAN PEMBELAJARAN 7

PENGATURAN HUKUM MENGENAI KESELAMATAN PELAYARAN

A. Deskripsi Singkat

Di manapun kapal berada atau berlayar, entah di wilayah perairan

nasional dari negara asal kapal itu ataukah di wilayah perairan negara lain

ataukah di perairan internasional, senantiasa harus mentaati peraturan-

peraturan keselamatan pelayaran sebagaimana diatur di dalam berbagai

perjanjian atau konvensi internasional

B. Relevansi

Peraturan mengenai keselamatan pelayaran ini telah jelas merupakan

bagian dari PIP Hukum laut.

C. Capaian Pembelajaran

1. Uraian

Peraturan-peraturan keselamatan pelayaran (safety of navigation) memiliki

berbagai macam aspek, seperti aspek kelayakan kapal untuk berlayar di laut

(seaworthiness of ship), pencegahan tubrukan dan trayek kapal (the prevention of

collision and the ship routeing), standar penempatan awak kapal (crewing

standard) dan penetapan alat bantu navigasi (navigational aids) (R.R. Churchill

and A.V. Lowe, 1983:185).

Berbagai perjanjian internasional yang mengatur soal keselamatan

pelayaran dapat dikemukakan seperti Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut

Bebas, Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di


Laut 1974, Konvensi mengenai Pencegahan Tubrukan di Laut 1976, Konvensi

mengenai Garis Batas Muatan Kapal 1966 dan berbagai konvensi internasional

lainnya yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional yang mengatur

soal kelayakan kapal dan yang paling mutakhir adalah Peraturan Internasional

mengenai Standar Keamanan Kapal maupun Pelabuhan dengan segala fasilitasnya

(The International Ship and Port Facility Security Code atau disingkat dengan

ISPS Code 2004).

Aspek kelayakan kapal untuk dapat berlayar di tengah-tengah laut

adalah salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh

negara bendera (Flag State), yaitu negara yang benderanya dipergunakan oleh

kapal yang bersangkutan. Selanjutnya salah satu faktor yang terkait dengan

masalah kelayakan kapal (seaworthiness of ship) adalah faktor nasionalitas atau

kebangsaan kapal (nationality of ship), sebab hal ini sangat penting untuk

menjaga dan memelihara ketertiban di laut. Nasionalitas kapal bisa

menunjukkan hak-hak apa yang dapat dinikmati oleh sebuah kapal maupun

kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada kapal itu (R.R. Churchill and A.V.

Lowe, 1983:179-180).

Nasionalitas kapal juga menunjukkan negara mana yang menjadi

negara bendera (Flag State), yaitu negara yang dapat menjalankan yurisdiksi

atau kekuasaan hukum atas kapal tersebut. Dengan demikian Nasionalitas kapal

menun- jukkan pula negara mana yang harus bertanggungjawab menurut

hukum internasional atas kapal yang bersangkutan apabila timbul kasus di

mana kapal itu melakukan tindakan atau kelalaian yang dapat dihubungkan
dengan negara tersebut sehingga dengan begitu nasionalitas kapal juga

menunjukkan pengertian negara mana yang mempunyai hak dan kewajiban

untuk menjalankan perlindungan diplomatic atas nama kapal tersebut.

Bagaimana pengaturan hukum mengenai nasionalitas kapal?

Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas dalam Pasal 5

menyatakan bahwa setiap negara dapat menetapkan persyaratan-persyaratan

dalam memberikan nasionalitas kepada kapal, syarat-syarat registrasi kapal

yang dilakukan di dalam wilayahnya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi

oleh kapal itu dalam mendapatkan hak untuk mengibarkan bendera dari negara

yang bersangkutan. Akan tetapi ketentuan pasal itu membatasi hak dan

kewenangan negara tersebut sebab di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa

harus terdapat hubungan asli (genuine link) antara negara dengan kapal,

terutama negara itu harus dapat menjalankan yurisdiksi dan pengawasannya

secara efektif dalam masalah administratif, teknik dan sosial terhadap kapal

yang mengibarkan benderanya.

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan asli (genuine link) atau

ukuran-ukuran apa yang dapat digu- nakan untuk menentukan ada tidaknya

hubungan asli antara suatu negara dengan kapal, samasekali tidak dijelaskan

dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas sehingga dengan demikian

adalah tidak jelas apa akibatnya atau konsekuensinya bilamana antara suatu

kapal dengan negara yang nasionalitasnya dibawa oleh kapal tersebut tidak ada

suatu hubungan asli (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983: 181-183).

Itulah sebabnya mengapa dalam praktik negara-nega- ra persyaratan


mengenai hubungan asli tidak menimbulkan kewajiban hukum dan tidak

mengikat negara-negara sehingga tidak sedikit negara-negara yang tidak

mematuhi ketentuan soal hubungan asli (genuine link) atau dengan kata lain

ketentuan ini menjadi huruf mati dalam praktek negara- negara. Walaupun

sejumlah negara seperti Inggeris, AS, Norwegia dan Perancis mensyaratkan di

dalam hukum nasio- nalnya adanya hubungan asli antara negara dengan kapal

dengan menyatakan bahwa para pemilik kapal dan atau awak kapal baik

keseluruhan maupun sebagian harus memiliki nasionalitas dari negara yang

bersangkutan, namun ternyata negara-negara lain (terutama negara-negara

miskin dari kawasan Afrika dan Karibia) tidak menetapkan persyaratan seperti

itu di dalam hukum nasionalnya karena tidak satupun dari kelompok terakhir ini

yang menjadi peserta pada Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas.

Kelompok negara-negara yang tidak mensyaratkan adanya

hubungan asli antara negara dengan kapal umumnya dikenal dengan istilah

negara-negara “Flag of Convenience States” atau “Open Registry States”. Hal

ini disebabkan karena negara-negara tersebut mengizinkan pemilik kapal asing

untuk mendaftarkan kapalnya di dalam wilayah negara- negara tersebut dan

mengizinkan pemilik kapal untuk mem pergunakan benderanya walaupun

antara pemilik kapal dengan salah satu dari kelompok negara-negara tersebut

tidak terdapat hubungan asli atau tidak memperlihatkan adanya suatu hubungan

yang bersifat substansial.

Di lain sisi banyak pemilik kapal yang berasal dari negara-negara

maju seperti AS, Yunani, Jepang dan Hong Kong merasa tertarik untuk
meregistrasi kapalnya di negara- negara yang dinamakan Flag of Convenience

atau Open Registry States karena selain alasan tidak disyaratkannya mengenai

hubungan asli atau tidak diperlukan adanya hubungan asli, juga disebabkan

negara-negara itu menetap- kan biaya dan pajak yang sangat rendah bagi

pemilik kapal apabila mendaftarkan kapalnya di negara-negara tersebut,

persyaratan penempatan awak kapal yang cukup meringan- kan bagi pemilik

kapal serta gaji yang sangat rendah sehingga dengan demikian biaya

operasional yang dikeluarkan oleh pemilik kapal dapat ditekan sekecil mungkin

dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan signifikan bagi pemilik kapal.

Negara-negara seperti Liberia, Somalia, Siprus, Panama dan lain-lainnya dapat

dikualifikasi ke dalam kelom- pok negara-negara yang disebut “Flag of

Convenience atau Open Registry States” karena peraturan-peraturan hukumnya

tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara pemilik kapal atau operator

kapal dengan negara yang bersangkutan dan juga peraturan hukum negara-

negara itu dianggap lunak dalam menetapkan syarat-syarat penempatan awak

kapal, di samping keringanan persyaratan registrasinya. Negara-negara tersebut

juga sering dituding selama tenggang waktu yang lama tidak mau dan tidak

sanggup melaksanakan yurisdiksi- nya secara efektif atas kapal-kapal yang

mengibarkan ben- deranya ketika tersangkut dalam masalah pencemaran mau-

pun keselamatan pelayaran.

Meskipun syarat adanya hubungan asli sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 hanya membawa pengaruh sangat kecil untuk

tidak mengatakan ketentuan itu samasekali tidak berpengaruh atas praktek


negara-negara sejak berlakunya Konvensi Geneva1958 mengenai Laut Bebas,

namun syarat itu ternyata ditegaskan kembali melalui Pasal 91 KHL 1982.

Akan tetapi syarat hubungan asli yang terdapat di dalam Pasal 91 KHL 1982

tidak lagi dikaitkan dengan pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara

efektif atas suatu kapal dan di sinilah terletak perbedaan antara pasal 91 KHL

1982 dengan Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 yang menya- tukan atau

mengkaitkan secara langsung persyaratan hubu- ngan asli dengan pelaksanaan

yurisdiksi negara bendera secara efektif.

Pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif tidak diatur

dalam Pasal 91 KHL 1982, tetapi diatur dalam suatu pasal tersendiri, yakni

dalam Pasal 94 sehingga hal ini membawa pengaruh yang cukup besar terhadap

praktek ne- gara-negara yang mengecam negara-negara yang disebut Flag of

Convenience atau Open Registry States. Dalam konteks ini dapat dikemukakan

bahwa pada bulan Juni 1981 Komite Perkapalan dari UNCTAD (UNCTAD

Committee on Shipping) menerima sebuah Resolusi yang merekomendasikan

agar rezim hukum open registry secara bertahap dan progressif diubah menjadi

rezim hukum pendaftaran biasa (normal registry). Perubahan ini dapat

dilakukan dengan cara memperketat syarat-syarat registrasi kapal di mana

negara yang biasanya menganut system pendaftaran terbuka harus dapat

menguasai (retain) kapal yang terdaftar di negara tersebut dan dengan demikian

negara tersebut harus dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi pemilik kapal

maupun operator kapal dan negara tersebut dapat menekan pemilik ataupun

operator kapal agar bertanggungjawab atas semua operasi dan kegiatan


perkapalan, termasuk dalam memelihara standar penempatan awak kapal

maupun standar kesejahteraannya.

Di samping rekomendasi seperti itu, Komite Perkapalan dari

UNCTAD juga merekomendasikan agar disusun atau dirumuskan sekumpulan

prinsip-prinsip dasar mengenai syarat-syarat registrasi kapal di suatu negara dan

selanjutnya diselenggarakan suatu konferensi internasional dengan tu- juan

menciptakan sebuah perjanjian internasional yang mengatur prinsip-prinsip

dasar terkait syarat-syarat registrasi kapal. Prinsip-prinsip dasar tersebut

seharusnya mengatur masalah penempatan personel di atas kapal (the manning

of ships), peranan negara bendera dalam mengelola perusahaan pemilik kapal

(shipowning company) maupun dalam hal pengelolaan kapal, partisipasi yang

sewajarnya dalam hal permodalan serta peranannya dalam mengidentifikasi

para pemilik maupun operator kapal.

Selama ini kita hanya berbicara tentang hak negara untuk

memberikan nasionalitas dan benderanya kepada kapal sehingga kapal dapat

berlayar dengan mempergunakan bendera dari negara yang bersangkutan. Akan

tetapi apakah kapal dapat berlayar dengan bendera dari suatu organisasi

internasional? Dalam mempersiapkan rancangan pasal-pasal Konvensi Geneva

1958 mengenai laut bebas, Komisi Hukum Internasional menolak gagasan

untuk memasukkan suatu ketentuan yang mengakui hak PBB dan kemungkinan

juga organisasi internasional lainnya untuk mengizinkan suatu kapal semata-

mata mempergunakan bendera dari organisasi internasional itu.

Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku di atas suatu kapal
adalah sistem hukum dari negara bendera dan dengan demikian bendera PBB

tidak dapat dipersamakan dengan bendera dari suatu negara. Kendati Komisi

Hukum Internasional melakukan pendekatan negatif, namun Pasal 7 dari

Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas yang merupakan kesepakatan

dari negara-negara peserta konferensi menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan

konvensi tidak mempengaruhi atau mengurangi persoalan kapal yang

dipergunakan untuk melaksanakan tugas resmi dari suatu organisasi

internasional dengan mengibarkan bendera organisasi itu.

Ketentuan Pasal 7 itu sesungguhnya tidak jelas se- hingga dapat

menimbulkan permasalahan. Pasal 93 KHL 1982 sangat mirip dengan Pasal 7

Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, tetapi KHL 1982 terutama

ketentuan pasal 93 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah hanya

pada PBB, badan-badan khusus dari PBB dan Orga- nisasi Tenaga Atom

Internasional. Sulit dipahami mengapa Pasal 93 KHL 1982 membatasi

pengertian organisasi antar- pemerintah atau organisasi internasional hanya

pada PBB, badan-badan khusus PBB serta IAEA (International Atomic Energy

Agency), padahal dewasa ini ternyata sudah bermunculan berbagai organisasi

internasional lain yang sangat maju seperti misalnya Uni Eropa yang sebentar

lagi akan memiliki sebuah konstitusi yang mengikat semua negara anggotanya

sehingga dapat menimbulkan masalah hukum sebab bendera organisasi itu

dapat dikibarkan oleh kapal- kapal, apalagi organisasi tersebut dapat menjadi

peserta pada KHL 1982.

Pada akhirnya harus dicatat bahwa kapal yang mengibarkan dua


bendera atau lebih dianggap tidak memiliki nasionalitas. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas dan Pasal 92 KHL

1982 Perumusan ketentuan baik di dalam Konvensi Geneva 1958 maupun KHL

1982 dengan cara seperti itu agaknya berlebihan sehingga menurut hemat kami

sebaiknya disederhanakan saja dengan menyatakan bahwa setiap kapal yang

memiliki dan mengibarkan lebih dari satu macam bendera harus disamakan

dengan tidak memiliki bendera. Dengan demikian kalau kapal itu dianggap

tidak memiliki bendera, kapal tersebut tidak mempunyai nasionalitas apapun.

Konsekuensinya adalah di samping tidak memiliki hak navigasi atau

hak berlayar di berbagai jalur laut dari negara pantai dan juga di laut bebas atau

perairan internasional, kapal yang bersangkutan juga tidak mempunyai hak

untuk mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara manapun. Tidak ada

satu negarapun yang dapat dituntut pertanggung- jawabannya dalam kaitan

dengan kapal yang memiliki lebih dari satu macam bendera. Hanya kapal yang

memiliki dan mengibarkan satu bendera dan tidak lebih dari satu bendera saja

yang diakui memiliki nasionalitas dari negara bendera sehingga dengan

demikian kapal tersebut dapat menikmati hak-hak berlayar, hak atas

perlindungan diplomatik dari negara bendera yang memiliki yurisdiksi dan

tanggungjawab terkait dengan kapal tersebut.

Kapal asing mempunyai hak navigasi di dalam pelbagai jalur laut

dari negara Republik Indonesia dan juga di perairan internasional, sebagaimana

halnya kapal Indonesia atau yang berbendera Indonesia memiliki hak navigasi

di wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas. Di perairan


pedalaman seperti perairan teluk, sungai dan pelabuhan Indonesia, kapal asing

biasanya tidak menikmati hak navigasi kecuali ada perjanjian seperti misalnya

perjan- jian persahabatan, perjanjian perdagangan dan perjanjian dalam bidang

pelayaran yang memungkinkan adanya hak akses ke perairan pedalaman

terutama hak akses ke pelabuhan Republik Indonesia.

Selanjutnya di perairan kepulauan dan laut teritorial Indonesia, kapal

asing menikmati hak navigasi dalam bentuk hak lintas damai, hak lintas transit

(khusus di Selat Malaka sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional) dan hak lintas alur laut kepulauan. Sebagaimana telah dike-

mukakan di atas, dalam kaitan hak lintas damai di laut teritorial dan perairan

kepulauan, Indonesia dapat melakukan tindakan penangguhan berdasarkan

syarat-syarat tertentu atas kapal asing yang berlayar di wilayah perairannya.

Akan tetapi kapal asing yang berlayar di Selat yang dipergunakan untuk

pelayaran internasional (Straits Used For International Navigation) juga dalam

konteks hak lintas damai (the right of innocent passage) tidak bisa

ditangguhkan, mungkin karena pelaksanaan hak lintas damai di Selat seperti itu

sama saja dengan pelaksanaan hak lintas transit (the right of transit passage)

yang tidak mungkin bisa ditangguhkan oleh negara- negara tepi termasuk

Indonesia. Di luar laut territorial seperti di jalur tambahan (Contiguous Zone)

Indonesia, kapal asing menikmati kebeba- san navigasi dan dengan begitu

negara bendera mempunyai yurisdiksi yang bersifat eksklusif atas kapal itu.

Namun demikian kebebasan navigasi yang dinikmati kapal asing serta

yurisdiksi eksklusif dari negara bendera disertai dengan pembatasan tertentu, di


mana Indonesia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan yang memang

dibutuhkan untuk mencegah dan menghukum terjadinya pelanggaran kapal

asing terhadap peraturan perundang-undangan dalam bidang-bidang bea cukai,

fiskal, keimigrasian dan sanitasi (lihat Pasal 33 KHL 1982/Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985).

Aparat hukum Indonesia berwenang untuk menang- kap dan

menahan kapal yang dicurigai dan diduga kuat terlibat dalam pelanggaran

terhadap satu atau lebih keten- tuan dari peraturan perundangan yang berlaku.

Aparatnya juga berwenang untuk naik ke atas kapal untuk melakukan

pemeriksaan dan apabila terbukti terjadi pelanggaran, maka aparat hukum dapat

menahan kapal dan personel yang terlibat, melakukan penyidikan, penuntutan

dan peradilan terhadap mereka yang tersangkut sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya di perairan ZEE Indonesia atau perairan di atas landas

kontinennya kapal asing memiliki kebebasan berlayar (freedom of navigation)

karena perairan ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia tetap

berstatus sebagai perairan laut bebas atau perairan internasional.

Kapal asing berkewajiban untuk menghormati zona- zona keselama-tan (safety

zones) di sekeliling pulau buatan atau instalasi yang berdasarkan peraturan

perundang- undangan Indonesia diimplementasikan sebagai zona terbatas

(restricted zones) dan zona terlarang (prohibited zones) pada setiap instalasi

pertambangan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983). Akan tetapi


Republik Indonesia berkewajiban untuk tidak mendirikan pulau buatan dan

instalasi yang dapat mengganggu penggunaan alur-alur laut yang diakui

esensial untuk pelayaran internasional (Pasal 5 ayat (3) dan ayat (6) Konvensi

Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan, juga Pasal 60 ayat

(6) dan ayat (7) serta Pasal 80 KHL 1982. Sebagaimana halnya di perairan

ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia yang tetap mempunyai

kedudukan sebagai perairan internasional, maka kapal asing dan kapal

Indonesia juga mempunyai kebebasan untuk berlayar di perairan laut bebas,

yaitu di perairan yang berada di luar ZEE atau di luar perairan di atas landas

kontinen Indonesia, mi- salnya saja di Samudera Pasifik, Samudera Hindia atau

laut Cina Selatan etc. Namun kapal Indonesia ataupun kapal asing harus

memperhatikan dengan sepatutnya kepentingan negara lain yang telah

menjalankan berbagai kegiatan di perairan laut bebas tersebut (Pasal 2

Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas dan Pasal 87 ayat (2) KHL 1982).

Pada akhirnya di manapun kapal itu berada (kapal asing ataupun

kapal yang berbendera Indonesia), entah berada di wilayah perairan RI, entah di

wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas atau perairan

internasional, mempunyai kewajiban untuk mentaati segala keten- tuan yang

terkait dengan masalah lingkungan laut maupun masalah keselamatan pelayaran

atau keselamatan perkapalan (safety of shipping).

Untuk menjamin kepentingan pemilik kapal, kepen- tingan pelaut

maupun kepentingan masyarakat pada umum- nya, maka kegiatan

pengangkutan atau transportasi penum- pang dan barang harus dilakukan


dengan cara yang sangat aman sehingga dapat dicegah atau setidak-tidaknya

dapat diperkecil timbulnya musibah atau kecelakaan di tengah- tengah laut,

seperti misalnya kapal tenggelam, kapal kandas ataupun kapal bertabrakan.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Konvensi Geneva 1958

mengenai Laut Bebas (Pasal 10) menetapkan bahwa setiap negara berkewajiban

mengambil langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang bertujuan untuk

menjamin keselamatan kapalnya di laut.

Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh negara bendera

meliputi masalah komunikasi, pencegahan tubrukan, persyaratan yang harus

dipenuhi oleh setiap awak kapal, masalah konstruksi kapal, masalah

perlengkapan kapal mau pun masalah kelayakan kapal secara umum untuk

berlayar di laut. Tindakan-tindakan dari negara bendera dalam hubungan

dengan kapal yang menggunakan dan mengibarkan benderanya harus sesuai

dengan standar internasional yang telah diterima secara umum.

KHL 1982 melalui Pasal 94 pada dasarnya memuat ketentuan yang

sama dengan Pasal 10 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas. Akan tetapi

KHL 1982 menetapkan secara terperinci kewajiban dari negara bendera (Flag

State), yaitu negara bendera mempunyai kewajiban untuk selalu memeriksa

secara teratur masalah kelayakan kapal, kewa- jiban untuk menjamin kualifikasi

awak kapal sehingga setiap personel di atas kapal benar-benar memenuhi

persyaratan sebagai awak kapal, juga kewajiban untuk mengadakan

penyelidikan terhadap korban kecelakaan kapal (shipping casualties).

Bahwa Konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 mene- kankan adanya standar
internasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan tindakan-tindakan

bagi keselamatan kapal di laut itu tentu harus dilihat dari kebutuhan praktis

sebab walaupun setiap negara, dalam hal ini setiap negara bendera secara

teoritis memiliki kebebasan untuk membuat dan menerapkan peraturan

hukumnya sendiri misalnya mengenai masalah kelayakan kapal dan masalah

kualifikasi awak kapal terhadap kapal yang mengibarkan benderanya dan juga

(secara terbatas) terhadap kapal asing yang memasuki pelabuhan atau laut

teritorialnya, namun dengan aturan yang begitu beranekaragam dari masing-

masing negara dan malahan mungkin bertentangan satu sama lain, apabila

diterapkan tentu saja dapat menimbulkan semacam anarki atau kekacauan

dalam dunia pelayaran internasional.

Dengan latar belakang seperti itulah, masyarakat in- ternasional

memerlukan dan membutuhkan adanya kesera- gaman standarisasi

internasional dalam rangka menjamin serta meningkatkan keselamatan

perkapalan (the Safety of Shipping). Standarisasi yang seragam ini dapat

ditemukan dalam sejumlah konvensi internasional yang pada umumnya

merupakan hasil karya dari Organisasi Maritim Internasional. Standarisasi

keselamatan perkapalan sebagaimana terdapat di dalam berbagai perjanjian

meliputi empat masalah utama, yakni pertama, masalah kelayakan kapal (the

seaworthiness of ship); kedua, masalah pencegahan tubrukan serta trayek kapal

(the prevention of collision and the ship routeing); ketiga, masalah standar

penempatan awak kapal (the standard for the manning of ship); keempat,

masalah penetapan alat bantu navigasi (the establishment of navigational aids).


Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa bukan hanya keempat hal tersebut

yang dijadikan sebagai pilar bagi keselamatan kapal di laut, melainkan juga

negara-negara seharusnya menerapkan standarisasi keamanan bagi kapal yang

mengibarkan benderanya maupun standarisasi keama- nan bagi pelabuhan

internasional sebagaimana diatur di dalam ISPS Code (International Ship and

Port Facilities Security Code) yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim

Internasional pada tahun 2002 dan kemudian telah berlaku sejak tahun 2004

lalu.

Sebelum dibahas ISPS Code atau system pengamanan kapal dan

pelabuhan atau fasilitas pelabuhan internasional, maka berikut ini dibentangkan

beberapa konvensi inter- nasional penting yang mengatur masalah kelaikan

kapal untuk berlayar di tengah-tengah laut. Pertama, apa yang dinamakan

Konvensi SOLAS tahun 1974 (the International Convention for the Safety of

Life at Sea). Konvensi ini dapat dianggap sebagai konvensi terakhir yang

menggantikan konvensi-konvensi SOLAS sebelumnya, di mana konvensi

SOLAS pertama dibuat dalam kaitan dengan peristiwa tenggelamnya kapal

Titanic di lepas pantai Newfoundland (AS).

Konvensi SOLAS memuat sejumlah aturan yang sifat- nya

kompleks dengan menetapkan standar-standar yang berkaitan dengan

konstruksi kapal, tindakan pengamanan kapal dan segala isinya dari bahaya

kebakaran (fire-safety measures), permohonan bantuan bagi orang dan atau

kapal yang akan tenggelam (life-saving appliances), alat perleng- kapan

navigasi yang harus dibawa di atas kapal dan aspek- aspek lain dari
keselamatan navigasi, barang berbahaya yang dapat dibawa serta aturan khusus

mengenai kapal nuklir atau kapal yang bertenaga nuklir Standar-standar

menyangkut berbagai aspek kesela- matan navigasi yang berlaku di atas kapal

itu sendiri (aspek internal dari keselamatan navigasi) harus ditentukan oleh

setiap negara peserta Konvensi SOLAS dan berhubung karena RI telah

meratifikasi Konvensi SOLAS tahun 1960 (kini Kon- vensi SOLAS tahun

1974) berdasarkan Keputusan Presiden No. 203 Tahun 1966 maka Indonesia

berkewajiban untuk menetapkan berbagai standar keselamatan navigasi yang

berlaku di atas kapal yang berbendera Indonesia.

Pelaksanaan standar keselamatan navigasi sebagaimana diatur di

dalam SOLAS Convention pada prinsipnya terletak di tangan Indonesia sebagai

negara bendera (flag state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau

negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhannya didatangi atau

disinggahi oleh kapal Indonesia dapat juga melaksanakan standar keselamatan

navigasi dalam pengertian negara pelabuhan dapat melakukan pengawasan

sejauh mana kapal berbendera Indonesia telah mematuhi standar keselamatan

navigasi yang ditentukan dalam Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut.

Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang memasuki pelabuhan RI,

maka Indonesia sebagai negara pela- buhan melalui aparat hukumnya dapat

melakukan pengawa- san mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah

men- taati standar keselamatan navigasi sebagaimana ditetapkan di dalam

SOLAS Convention. Sebagai Negara pelabuhan, Indo nesia mempunyai hak

untuk memeriksa apakah kapal asing yang berada di salah satu pelabuhan
Indonesia membawa sertifikat atau dokumen sah mengenai hal-hal yang

disyarat- kan atau diwajibkan oleh Konvensi.

Apabila ada alasan yang sangat meyakinkan di mana kondisi kapal

maupun alat perlengkapannya sesungguhnya tidak sesuai dengan hal-hal yang

ditentukan dalam setiap sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah

sertifikat atau dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat

perlengkapannya tidak memenuhi ketentuan Regulation 11 (Bab I) dari

Konvensi SOLAS tahun 1974 (kondisi kapal maupun alat perlengkapannya

harus dalam kondisi terawat dan terpelihara setelah survei dilakukan) dan

dengan demikian apabila kondisi kapal serta alat perlengkapannya ternyata

tidak terpelihara sebagaimana mestinya, padahal sebenarnya telah disurvei

sebelumnya, maka pihak berwenang dari Indo- nesia selaku negara pelabuhan

dapat mengambil langkah- langkah atau tindakan-tindakan dengan melarang

kapal tersebut berlayar, melarang kapal tersebut meninggalkan pelabuhan serta

memerintahkan kapal itu untuk masuk ke dalam galangan kapal untuk

mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Selanjutnya pada tahun 1978

Organisasi Maritim In- ternasional mengesahkan sebuah Protokol Konvensi

SOLAS yang menyangkut keselamatan kapal tangker serta pencega han polusi.

Protokol yang mulai berlaku sejak tahun 1981 mewajibkan semua kapal

yang melampaui ukuran tertentu untuk mempergunakan apa yang disebut inert

gas sistem atau sistem gas yang sifatnya lembam, juga adanya kewajiban kapal

untuk mempergunakan radar tambahan maupun alat kemudi darurat.

Melalui protokol tersebut dilakukan perbaikan prosedur


pemeriksaan kapal serta sertifikasi kapal. Selain daripada Konvensi SOLAS,

maka terdapat lagi beberapa konvensi IMO lainnya yang berkaitan dengan

masalah kelayakan kapal. Misalnya saja ada Konvensi Internasional mengenai

Garis Batas Muatan (the International Convention on the Load Lines) tahun

1966 yang mengatur mengenai larangan untuk memba- wa muatan secara

berlebihan. Kapal tidak boleh membawa muatan berlebihan melampaui

kapasitas dan daya muat maksimalnya sebab hal ini sering menyebabkan

timbulnya kecelakaan kapal. Kapal hanya diperkenankan membawa muatan

sesuai dengan kapasitas dan daya muat maksimal kapal itu.

Pelaksanaan Konvensi tersebut (Convention on the Load Lines tahun

1966) sebagaimana Konvensi SOLAS tetap berada di tangan Negara Bendera,

akan tetapi negara pelabu- han juga kadang-kadang dapat melaksanakannya

dengan mengawasi sejauh mana kapal asing yang memasuki pelabu- hannya

telah mematuhi kewajiban untuk membawa muatan tanpa melebihi kapasitas

maksimal kapal tersebut. Sebagai negara pelabuhan Indonesia dapat melakukan

pengawasan atas kapal asing yang masuk dan singgah di salah satu pelabuhan

dalam wilayah perairan Indonesia untuk memeriksa apakah kapal asing tersebut

tidak membawa muatan yang berlebih-lebihan.

Sebuah kapal membawa muatan berlebihan dapat diketahui dari

bagian luar kapal itu di mana tanda garis yang terdapat di sekeliling lambung

dan badan kapal sudah tidak kelihatan dan sudah berada di bawah permukaan

air, setidak- tidaknya garis dengan warna tertentu yang mengelilingi bagian luar

dari badan kapal telah sejajar dengan permukaan laut. Kalau hal seperti ini
terjadi, maka otoritas terkait dapat menahan dan memeriksa kapal yang

bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ada juga

perjanjian tentang kapal penumpang khusus pada tahun 1971 (The 1971

Agreement on Special Trade Passanger Ships) bersama-sama dengan

Protokolnya tahun 1973, mengatur tentang keselama- tan kapal yang

mengangkut penumpang serta tempat tidur dalam jumlah besar, seperti bisnis

pariwisata, sementara ada juga perjanjian internasional mengenai keselamatan

kapal ikan pada tahun 1977 (The 1977 International Convention for the Safety

of Fishing Vessels) yang menetapkan peraturan- peraturan mengenai konstruksi

dan perlengkapan kapal ikan.

Sebagai tambahan atau di samping konvensi-konvensi tersebut di

atas, Organisasi Maritim Internasional mengadopsi pula sejumlah rekomendasi

berupa aturan-aturan praktis yang berkaitan dengan kelayakan kapal, misalnya

saja apa yang disebut Codes for the Construction and Equipment of Ships

Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan

perlengkapan kapal pengangkut ba- han kimia dalam jumlah besar tahun 1971)

maupun Codes for the Construction and Equipment of Ships carrying Liquefied

Gases in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan perleng- kapan kapal

pengangkut gas cair dalam jumlah besar) tahun 1975.

Aturan-aturan ini umumnya disahkan dalam bentuk resolusi yang

berisi rekomendasi dari Majelis IMO sehingga tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Namun demikian aturan-aturan ini telah diterima secara

luas dan beberapa negara telah menuangkan dan memasukkan atu- ran-aturan
itu ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya, misalnya sudah cukup

banyak negara yang telah menerapkan apa yang disebut the Bulk Chemicals

Code di dalam peraturan perundangan nasionalnya.

Selain masalah kelayakan kapal untuk berlayar di laut, maka

jaminan keselamatan pelayaran juga ditentukan oleh masalah pencegahan

tubrukan dan penetapan rute atau trayek kapal (Collision avoidance and ships’

routeing). Sebagaimana halnya dengan konvensi-konvensi SOLAS, maka ada

berbagai regulasi untuk mencegah tubrukan di laut. Peraturan-peraturan yang

dilampirkan pada the International Regulations for Preventing Collisions at Sea

tahun 1972 pada prinsipnya bersangkut paut dengan perilaku atau tindakan serta

pergerakan suatu kapal dalam hubungan dengan kapal- kapal lainnya, terutama

ketika kemampuan kapal untuk me- mandang atau melihat mengalami

penurunan dalam rangka menghindari terjadinya tubrukan dengan kapal lain.

Selain soal tindakan dan gerakan kapal dalam usaha mencegah

tubrukan, Regulasi Internasional tahun 1972 juga menetapkan standar yang

bersifat umum dalam hubungan dengan tanda-tanda atau signal-signal baik

yang bisa didengar maupun dilihat (sound and light signals). Walaupun

Konvensi tahun 1972 tidak menegaskan mengenai akibat- akibat hukumnya

menyangkut hubungan antara pelanggaran regulasi tersebut serta

tanggungjawab perdata (civil liability) akibat timbulnya tubrukan (pelanggaran

terhadap peraturan Konvensi 1972 tidak harus menimbulkan masalah tanggung-

jawab perdata, pelanggaran itu biasanya dianggap sebagai suatu pelanggaran

menurut hukum pidana dari negara bendera yang menjadi negara peserta
Konvensi.

Namun penuntutan atas pelanggaran tersebut jarang dilakukan

karena dalam banyak kasus kebijakan untuk menuntut ataupun tidak menuntut

berada di tangan nakhoda kapal. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan

Pasal 39 ayat (2) KHL 1982 kapal yang menjalankan hak lintas damai melalui

laut territorial atau hak lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk

pelayaran internasional harus mematuhi regulasi tersebut tanpa memperhatikan

apakah negara bendera atau negara pantai adalah merupakan negara peserta

Konvensi tahun 1972.

Salah satu sarana penting untuk mengurangi risiko terjadinya

tubrukan antarkapal adalah dengan memanfaatkan jalur pemisah lalu lintas

(traffic separation scheme) untuk memisahkan pelayaran kapal di bagian-

bagian laut yang padat (shipping in congested areas) menjadi jalur satu arah

semata-mata (into one-way only lanes). Contoh awal mengenai jalur pemisah

lalu lintas dapat ditemukan dalam perjanjian soal penentuan rute yang

dilakukan secara suka rela oleh para pemilik kapal yang menjalankan kegiatan

perdagangan pada rute-rute tertentu misalnya saja di Laut Cina pada abad ke-

19. Kini IMO telah menetapkannya sebagai jalur pemisah lalu lintas yang sudah

direkomendasi sejak tahun 1967.

Pada awalnya kepatuhan atas jalur-jalur yang direko- mendasi IMO

bersifat suka rela; negara bendera tidak diha- ruskan untuk memerintahkan

kapal yang mengibarkan ben- deranya agar mengikuti jalur-jalur tersebut.

Namun sejak berlakunya the Collision Regulation Convention tahun 1977


kepatuhan negara bendera tidak lagi bersifat suka rela, tetapi sudah merupakan

keharusan sehingga semua negara peserta Konvensi tadi mempunyai kewajiban

untuk memerintahkan kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur

pemisah lalu lintas yang telah ditentukan IMO.

Dengan diintrodusirnya apa yang dinamakan jalur pemisah lalu

lintas (the Traffic Separation Scheme) adalah sesuatu yang dianggap dapat

dipertanggungjawabkan demi untuk mengurangi jumlah tubrukan di laut pada

umumnya, misalnya saja di perairan Barat Daya Eropa di mana ada banyak

jalur pemisah lalu lintas, sehingga jumlah tubrukan mengalami penurunan dari

156 tubrukan dalam masa atau periode tahun 1956-1961 menjadi hanya 45

tubrukan antara tahun 1976-1981 (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:185-

189).

Walaupun IMO diakui sebagai satu-satunya badan internasional

yang berwenang untuk menentukan jalur pemisah lalu lintas (Traffic Separation

Scheme atau disingkat TSS), negara pantai juga memiliki beberapa kewenangan

dalam bidang ini. Pasal 21 KHL 1982 pada dasarnya mempunyai pendekatan

yang sama seperti Pasal 17 Konvensi Geneva 1958 tentang laut territorial yang

menyatakan bahwa di laut teritorialnya negara pantai dapat memberlakukan dan

menerapkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan navigasi kapal

asing yang melaksanakan hak lintas damai, tetapi dalam KHL 1982

ditambahkan bahwa negara pantai yang menentukan TSS di laut teritorial harus

memperhitung- kan atau memperhatikan setiap rekomendasi IMO serta faktor-

faktor lainnya, seperti karakter khusus dari kapal- kapal tertentu maupun
kepadatan lalu lintas di laut (Pasal 22 KHL 1982).

IMO sendiri menyarankan negara pantai yang mau menetapkan system

penentuan rute atau trayek (routeingsystems) di laut teritorial agar supaya

menetapkan atau mendesain sistem trayek tersebut sesuai dengan criteria IMO

menyangkut TSS serta menyerahkannya kepada IMO untuk mendapat

pengesahan. Negara pantai dapat menjalankan tindakan penegakan hukum

(enforcement jurisdiction) terha- dap kapal asing yang melanggar TSS yang

telah ditentukan (Pasal 27 KHL 1982).

Dalam praktiknya tindakan penegakan hukum biasa- nya terbatas

pada tindakan aparat yang meminta agar kapal tersebut kembali mematuhi TSS.

Namun kalau pelanggaran TSS oleh kapal asing itu cukup serius, maka aparat

hukum negara pantai dapat melaporkannya kepada otoritas negara bendera.

Bilamana kapal yang melakukan pelanggaran itu memasuki salah satu

pelabuhan negara pantai, kapal terse- but dapat dituntut. Di Selat yang tunduk

pada rezim hukum lintas transit atau dinamakan Selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional, kewenangan negara pantai lebih terbatas karena

walaupun negara pantai masih dapat menen- tukan TSS, namun TSS yang

diusulkan kepada IMO harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah

diterima secara luas (must conform to generally accepted international

regulations) serta harus diserahkan kepada IMO dengan maksud untuk

memperoleh pengesahan sebelum TSS terse- but ditetapkan oleh negara pantai

(Pasal 41 KHL 1982).

Sejauh mana negara pantai dapat melakukan tinda- kan penegakan hukum
terkait dengan pelanggaran TSS oleh kapal asing di Selat yang dikategorikan

sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah suatu

masalah yang bersifat kontroversial.

Tampaknya management lalu lintas laut (marine traffic

management) pada masa mendatang akan melampaui pengelolaan TSS itu

sendiri sehingga lebih bersifat komprehensif, meskipun pengelolaan lalu lintas

laut tidak mungkin menca- pai tingkat presisi atau kecanggihan (precision or

sophisti- cation) management seperti yang dimiliki oleh air traffic control.

Dalam kaitan ini IMO telah melakukan berbagai tindakan: misalnya saja baik di

Selat Baltik maupun Selat Malaka IMO merekomendasi langkah-langkah dalam

hubu- ngan dengan management lalu lintas laut seperti membatasi kecepatan

kapal atau kapal diharuskan untuk membatasi kecepatannya ketika memasuki

wilayah perairan suatu negara pantai, kapal diwajibkan untuk melaporkan

posisinya serta diwajibkan untuk menggunakan kapal pandu (the use of pilots).

IMO juga mewajibkan kapal asing untuk melaporkan posisinya kepada otoritas

terkait dari negara pantai yang ber- sangkutan apabila kapal mengalami

kesulitan yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Mengenai

stan- dar penempatan awak kapal (Crewing standards) dapat dikemukakan

bahwa salah satu penyebab utama timbulnya musibah perkapalan (shipping

accidents) terletak pada awak kapal yang tidak terlatih atau tidak memenuhi

kualifikasi yang baik sehingga untuk mengurangi timbulnya kecelakaan di laut

kualitas dari awak kapal harus dibenahi.

Konvensi SOLAS tahun 1974 menegaskan bahwa semua kapal


harus memiliki awak kapal yang dapat bekerja secara memadai dan efisien

(sufficiently and efficiently, sedangkan menurut ILO Convention No. 147 tahun

1976 menyangkut Standar Minimum di Kapal Dagang, setiap negara peserta

harus menjamin bahwa para pelaut yang bekerja di kapal yang terdaftar di

wilayahnya seharusnya memenuhi kualifikasi dan seharusnya terlatih untuk

melaksanakan kewajiban-kewajibannya (Pasal 2 e). Demikian pula ketentuan

Pasal 94 ayat (4) KHL 1982 menentukan bah- wa negara bendera harus

menjamin agar setiap kapal yang mengibarkan benderanya harus dijalankan

oleh seorang nakoda (master) serta para petugas dengan kualifikasi yang tepat,

dan agar awak kapalnya sudah tepat atau layak dalam hal kualifikasi serta

jumlahnya sesuai dengan tipe kapal, ukuran, mesin serta perlengkapan kapal

tersebut.

The International Convention on Standards of Training,

Certification and Watchkeeping for Seafarers (The STCW Convention yang

diadopsi oleh IMO tahun 1978 memberi ketentuan yang lebih tegas

dibandingkan dengan Konvensi SOLAS dan Konvensi ILO karena The STCW

Convention mewajibkan adanya persyaratan minimum bagi sertifikasi nahkoda

kapal dan petugas-petugas lainnya serta menentu- kan prinsip-prinsip dasar

keeping navigational and enginee ring watches. Penerapan atau pelaksanaan

ketentuan-keten- tuan Konvensi STCW terutama berada di tangan negara

bendera (the Flag State), meskipun negara pelabuhan (the Port State)

mempunyai wewenang pengawasan dalam bidang-bida- ng tertentu guna

memeriksa kalau para pelaut yang berdasar- kan konvensi itu harus disertifikasi
benar-benar sudah disertifikasi (Pasal X) dan bahwa standar awak kapal harus

dibenahi secara signifikan sehingga dapat mengurangi jumlah musibah

perkapalan (shipping accidents).

Persyaratan-persyaratan kerja bagi awak kapal diatur di dalam

sejumlah besar konvensi-konvensi ILO yang me- nyempurnakan the

International Seafarers Code. Di antara konvensi-konvensi ini maka yang

paling penting adalah Convention concerning Wages, Hours of Work on Board

Ship and Manning (No. 109 (1958) yang merupakan revisi atas konvensi-

konvensi yang lebih awal), Convention concerning Crew Accomodation on

Board Ship (No. 92 (1949), yang diperlengkapi dengan konvensi No.133

(1970), dan Convention concerning Continuity of Employment of Seafarers

(No.145 (1976).

ILO juga mengadopsi sejumlah rekomendasi tidak mengikat tentang

syarat-syarat kerja bagi pelaut, yakni the Social Conditions and Safety

(Seafarers) recommendation, 1958 (No.108). Di samping itu Konvensi ILO

No.147 yang disebut di atas mensyaratkan negara-negara pesertanya

menetapkan bagi kapal-kapalnya dan memaksakan (enforce) standar

Keselamatan secara efektif, aturan jaminan social (social security measures)

serta persyaratan-persyaratan kerja di atas kapal yang sama (equivalent)

dengan ketentuan-ketentuan berbagai konvensi ILO yang disebut dalam

lampiran konvensi. Menyangkut penetapan alat bantu navigasi (navigate- onal

aids) seperti mercu suar (lighthouses), kapal suar (lights- hips), alat pelampung

(buoys) dan radar beacons, semuanya ini sangat penting bagi keselamatan
pelayaran (the safety of shipping). Konvensi SOLAS mengharuskan negara-

negara peserta untuk mengatur penetapan atau pengadaan (esta- blishment) dan

pemeliharaan (maintenance) sarana bantu navigasi, yang mencakup radio

beacons dan alat Bantu elektronik apabila menurut pendapatnya dibenarkan

dari segi volume lalu lintas kapal serta diharuskan dari segi tingkatan risiko,

dan mengharuskan negara-negara peserta untuk me- ngatur informasi yang

berkaitan dengan alat Bantu navigasi yang diperlukan. Perlu juga diketahui

bahwa berdasarkan Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur

Tambahan maupun KHL 1982, setiap negara pantai wajib mengumumkan

dengan sepatutnya setiap bahaya navigasi yang diketahui berada di dalam laut

teritorialnya. Biaya pemasangan serta pemeliharaan alat bantu navigasi

(navigational aids) biasanya hanya ditanggung oleh negara pantai dan negara

ini tidak berhak meminta sumbangan atau kontribusi dari kapal-kapal yang

berlayar melalui laut teritorialnya. Akan tetapi ada satu atau dua contoh di mana

negara-negara mengadakan kesepa- katan untuk membagi biaya-biaya

navigational aids, perjan- jian internasional pada tahun 1962 mengenai the

maintenance of certain lights di Laut Merah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 KHL 1982 negara- negara yang

berada di tepian selat yang tunduk pada lintas transit (transit passage) dan

negara-negara pengguna selat harus bekerjasama dalam pengadaan sarana bantu

navigasi serta alat bantu keselamatan lainnya yang diperlukan di selat tersebut,

meskipun samasekali tidak dinyatakan mengenai bagaimana biaya-biaya

tersebut harus ditanggung. Mengenai pembagian biaya pengadaan dan


pemeliharaan alat bantu navigasi umumnya dialokasikan berdasarkan

pengaturan- pengaturan setempat

2. Latihan

a. Jelaskan mengenai berbagai perjanjian mengenai keselamatan pelayaranan

kapal!

b. Jelaksn rekomendasi dari Komite Perkapalan UNCTAD!

Jawaban

a. Berbagai perjanjian internasional yang mengatur soal keselamatan

pelayaran dapat dikemukakan seperti Konvensi Geneva 1958 mengenai

Laut Bebas, Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai

Keselamatan Jiwa di Laut 1974, Konvensi mengenai Pencegahan

Tubrukan di Laut 1976, Konvensi mengenai Garis Batas Muatan Kapal

1966 dan berbagai konvensi internasional lainnya yang telah diadopsi oleh

Organisasi Maritim Internasional yang mengatur soal kelayakan kapal dan

yang paling mutakhir adalah Peraturan Internasional mengenai Standar

Keamanan Kapal maupun Pelabuhan dengan segala fasilitasnya (The

International Ship and Port Facility Security Code atau disingkat dengan

ISPS Code 2004)

b. Komite Perkapalan dari UNCTAD juga merekomendasikan agar disusun

atau dirumuskan sekumpulan prinsip-prinsip dasar mengenai syarat-syarat


registrasi kapal di suatu negara dan selanjutnya diselenggarakan suatu

konferensi internasional dengan tu- juan menciptakan sebuah perjanjian

internasional yang mengatur prinsip-prinsip dasar terkait syarat-syarat

registrasi kapal. Prinsip-prinsip dasar tersebut seharusnya mengatur

masalah penempatan personel di atas kapal (the manning of ships),

peranan negara bendera dalam mengelola perusahaan pemilik kapal

(shipowning company) maupun dalam hal pengelolaan kapal, partisipasi

yang sewajarnya dalam hal permodalan serta peranannya dalam

mengidentifikasi para pemilik maupun operator kapal

3. Rangkuman

Pelaksanaan standar keselamatan navigasi sebagaimana diatur di

dalam SOLAS Convention pada prinsipnya terletak di tangan Indonesia sebagai

negara bendera (flag state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau

negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhannya didatangi atau

disinggahi oleh kapal Indonesia dapat juga melaksanakan standar keselamatan

navigasi dalam pengertian negara pelabuhan dapat melakukan pengawasan

sejauh mana kapal berbendera Indonesia telah mematuhi standar keselamatan

navigasi yang ditentukan dalam Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut.

Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang memasuki pelabuhan RI,

maka Indonesia sebagai negara pela- buhan melalui aparat hukumnya dapat

melakukan pengawa- san mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah

mentaati standar keselamatan navigasi sebagaimana ditetapkan di dalam


SOLAS Convention. Sebagai Negara pelabuhan, Indo nesia mempunyai hak

untuk memeriksa apakah kapal asing yang berada di salah satu pelabuhan

Indonesia membawa sertifikat atau dokumen sah mengenai hal-hal yang

disyarat- kan atau diwajibkan oleh Konvensi.

Apabila ada alasan yang sangat meyakinkan di mana kondisi kapal maupun alat

perlengkapannya sesungguhnya tidak sesuai dengan hal-hal yang ditentukan

dalam setiap sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah sertifikat atau

dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat perlengkapannya tidak

memenuhi ketentuan Regulation 11 (Bab I) dari Konvensi SOLAS tahun 1974

(kondisi kapal maupun alat perlengkapannya harus dalam kondisi terawat dan

terpelihara setelah survei dilakukan) dan dengan demikian apabila kondisi kapal

serta alat perlengkapannya ternyata tidak terpelihara sebagaimana mestinya,

padahal sebenarnya telah disurvei sebelumnya, maka pihak berwenang dari

Indo- nesia selaku negara pelabuhan dapat mengambil langkah- langkah atau

tindakan-tindakan dengan melarang kapal tersebut berlayar, melarang kapal

tersebut meninggalkan pelabuhan serta memerintahkan kapal itu untuk masuk

ke dalam galangan kapal untuk mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya

4. Pustaka

a. Dhiana Puspitawati. (2017). Hukum Laut Internasional. Depok: Kencana

b. I Wayan Parthiana. (2014). Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut

Indonesia. Bandung: Yrama Widya

D. Tugas dan Lembar Kerja

Pada tugas ini, peserta kuliah diharapkan membaca minimal 2 referensi.


E. Tes Formatif

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Bila Anda merasa telah menjawab tes formatif dengan baik,

bandingkanlah jawaban Anda tersebut dengan rambu-rambu jawaban yang

disediakan. Jika hasil perhitungan menunjukkan anda telah mencapai tingkat

penguasaan sama atau lebih besar dari 80%, Anda dipersilakan untuk

meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya.

Untuk mengetahui persentase penguasaan materi pada kegaitan belajar

1 ini, anda cukup menghitung menggunakan rumus berikut:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 x 100 = %

𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑆𝑜𝑎𝑙 (𝑎𝑡𝑎𝑢 9)

Anda mungkin juga menyukai