Modul 7 Pip
Modul 7 Pip
Keselamatan Pelayaran sangat penting dalam lalu lintas di perairan dan telah
ada aturan hukum yang jelas yang menjamin mengenai keselamatan pelayaran.
Peserta kuliah sangat diharapkan untuk memahami hal ini, sehingga untuk
agar peserta kuliah mendapatkan informasi atau akhir dari setiap tahapan.
penguasaan sama atau lebih besar dari 80% setelah dihitung, Anda
A. Deskripsi Singkat
nasional dari negara asal kapal itu ataukah di wilayah perairan negara lain
B. Relevansi
C. Capaian Pembelajaran
1. Uraian
berbagai macam aspek, seperti aspek kelayakan kapal untuk berlayar di laut
collision and the ship routeing), standar penempatan awak kapal (crewing
standard) dan penetapan alat bantu navigasi (navigational aids) (R.R. Churchill
mengenai Garis Batas Muatan Kapal 1966 dan berbagai konvensi internasional
lainnya yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional yang mengatur
soal kelayakan kapal dan yang paling mutakhir adalah Peraturan Internasional
(The International Ship and Port Facility Security Code atau disingkat dengan
adalah salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh
negara bendera (Flag State), yaitu negara yang benderanya dipergunakan oleh
kapal yang bersangkutan. Selanjutnya salah satu faktor yang terkait dengan
kebangsaan kapal (nationality of ship), sebab hal ini sangat penting untuk
menunjukkan hak-hak apa yang dapat dinikmati oleh sebuah kapal maupun
kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada kapal itu (R.R. Churchill and A.V.
Lowe, 1983:179-180).
negara bendera (Flag State), yaitu negara yang dapat menjalankan yurisdiksi
atau kekuasaan hukum atas kapal tersebut. Dengan demikian Nasionalitas kapal
mana kapal itu melakukan tindakan atau kelalaian yang dapat dihubungkan
dengan negara tersebut sehingga dengan begitu nasionalitas kapal juga
oleh kapal itu dalam mendapatkan hak untuk mengibarkan bendera dari negara
yang bersangkutan. Akan tetapi ketentuan pasal itu membatasi hak dan
harus terdapat hubungan asli (genuine link) antara negara dengan kapal,
secara efektif dalam masalah administratif, teknik dan sosial terhadap kapal
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan asli (genuine link) atau
ukuran-ukuran apa yang dapat digu- nakan untuk menentukan ada tidaknya
hubungan asli antara suatu negara dengan kapal, samasekali tidak dijelaskan
dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas sehingga dengan demikian
adalah tidak jelas apa akibatnya atau konsekuensinya bilamana antara suatu
kapal dengan negara yang nasionalitasnya dibawa oleh kapal tersebut tidak ada
suatu hubungan asli (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983: 181-183).
mematuhi ketentuan soal hubungan asli (genuine link) atau dengan kata lain
ketentuan ini menjadi huruf mati dalam praktek negara- negara. Walaupun
dalam hukum nasio- nalnya adanya hubungan asli antara negara dengan kapal
dengan menyatakan bahwa para pemilik kapal dan atau awak kapal baik
miskin dari kawasan Afrika dan Karibia) tidak menetapkan persyaratan seperti
itu di dalam hukum nasionalnya karena tidak satupun dari kelompok terakhir ini
yang menjadi peserta pada Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas.
hubungan asli antara negara dengan kapal umumnya dikenal dengan istilah
antara pemilik kapal dengan salah satu dari kelompok negara-negara tersebut
tidak terdapat hubungan asli atau tidak memperlihatkan adanya suatu hubungan
maju seperti AS, Yunani, Jepang dan Hong Kong merasa tertarik untuk
meregistrasi kapalnya di negara- negara yang dinamakan Flag of Convenience
atau Open Registry States karena selain alasan tidak disyaratkannya mengenai
hubungan asli atau tidak diperlukan adanya hubungan asli, juga disebabkan
negara-negara itu menetap- kan biaya dan pajak yang sangat rendah bagi
persyaratan penempatan awak kapal yang cukup meringan- kan bagi pemilik
kapal serta gaji yang sangat rendah sehingga dengan demikian biaya
operasional yang dikeluarkan oleh pemilik kapal dapat ditekan sekecil mungkin
dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan signifikan bagi pemilik kapal.
tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara pemilik kapal atau operator
kapal dengan negara yang bersangkutan dan juga peraturan hukum negara-
juga sering dituding selama tenggang waktu yang lama tidak mau dan tidak
Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 hanya membawa pengaruh sangat kecil untuk
namun syarat itu ternyata ditegaskan kembali melalui Pasal 91 KHL 1982.
Akan tetapi syarat hubungan asli yang terdapat di dalam Pasal 91 KHL 1982
efektif atas suatu kapal dan di sinilah terletak perbedaan antara pasal 91 KHL
1982 dengan Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 yang menya- tukan atau
dalam Pasal 91 KHL 1982, tetapi diatur dalam suatu pasal tersendiri, yakni
dalam Pasal 94 sehingga hal ini membawa pengaruh yang cukup besar terhadap
Convenience atau Open Registry States. Dalam konteks ini dapat dikemukakan
bahwa pada bulan Juni 1981 Komite Perkapalan dari UNCTAD (UNCTAD
agar rezim hukum open registry secara bertahap dan progressif diubah menjadi
menguasai (retain) kapal yang terdaftar di negara tersebut dan dengan demikian
negara tersebut harus dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi pemilik kapal
maupun operator kapal dan negara tersebut dapat menekan pemilik ataupun
tetapi apakah kapal dapat berlayar dengan bendera dari suatu organisasi
untuk memasukkan suatu ketentuan yang mengakui hak PBB dan kemungkinan
Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku di atas suatu kapal
adalah sistem hukum dari negara bendera dan dengan demikian bendera PBB
tidak dapat dipersamakan dengan bendera dari suatu negara. Kendati Komisi
Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, tetapi KHL 1982 terutama
pada PBB, badan-badan khusus dari PBB dan Orga- nisasi Tenaga Atom
pada PBB, badan-badan khusus PBB serta IAEA (International Atomic Energy
internasional lain yang sangat maju seperti misalnya Uni Eropa yang sebentar
lagi akan memiliki sebuah konstitusi yang mengikat semua negara anggotanya
dapat dikibarkan oleh kapal- kapal, apalagi organisasi tersebut dapat menjadi
dalam Pasal 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas dan Pasal 92 KHL
1982 Perumusan ketentuan baik di dalam Konvensi Geneva 1958 maupun KHL
1982 dengan cara seperti itu agaknya berlebihan sehingga menurut hemat kami
memiliki dan mengibarkan lebih dari satu macam bendera harus disamakan
dengan tidak memiliki bendera. Dengan demikian kalau kapal itu dianggap
hak berlayar di berbagai jalur laut dari negara pantai dan juga di laut bebas atau
dengan kapal yang memiliki lebih dari satu macam bendera. Hanya kapal yang
memiliki dan mengibarkan satu bendera dan tidak lebih dari satu bendera saja
halnya kapal Indonesia atau yang berbendera Indonesia memiliki hak navigasi
biasanya tidak menikmati hak navigasi kecuali ada perjanjian seperti misalnya
asing menikmati hak navigasi dalam bentuk hak lintas damai, hak lintas transit
internasional) dan hak lintas alur laut kepulauan. Sebagaimana telah dike-
mukakan di atas, dalam kaitan hak lintas damai di laut teritorial dan perairan
Akan tetapi kapal asing yang berlayar di Selat yang dipergunakan untuk
konteks hak lintas damai (the right of innocent passage) tidak bisa
ditangguhkan, mungkin karena pelaksanaan hak lintas damai di Selat seperti itu
sama saja dengan pelaksanaan hak lintas transit (the right of transit passage)
yang tidak mungkin bisa ditangguhkan oleh negara- negara tepi termasuk
Indonesia, kapal asing menikmati kebeba- san navigasi dan dengan begitu
negara bendera mempunyai yurisdiksi yang bersifat eksklusif atas kapal itu.
menahan kapal yang dicurigai dan diduga kuat terlibat dalam pelanggaran
terhadap satu atau lebih keten- tuan dari peraturan perundangan yang berlaku.
pemeriksaan dan apabila terbukti terjadi pelanggaran, maka aparat hukum dapat
karena perairan ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia tetap
(restricted zones) dan zona terlarang (prohibited zones) pada setiap instalasi
esensial untuk pelayaran internasional (Pasal 5 ayat (3) dan ayat (6) Konvensi
Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan, juga Pasal 60 ayat
(6) dan ayat (7) serta Pasal 80 KHL 1982. Sebagaimana halnya di perairan
ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia yang tetap mempunyai
yaitu di perairan yang berada di luar ZEE atau di luar perairan di atas landas
kontinen Indonesia, mi- salnya saja di Samudera Pasifik, Samudera Hindia atau
laut Cina Selatan etc. Namun kapal Indonesia ataupun kapal asing harus
Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas dan Pasal 87 ayat (2) KHL 1982).
kapal yang berbendera Indonesia), entah berada di wilayah perairan RI, entah di
wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas atau perairan
mengenai Laut Bebas (Pasal 10) menetapkan bahwa setiap negara berkewajiban
perlengkapan kapal mau pun masalah kelayakan kapal secara umum untuk
sama dengan Pasal 10 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas. Akan tetapi
KHL 1982 menetapkan secara terperinci kewajiban dari negara bendera (Flag
secara teratur masalah kelayakan kapal, kewa- jiban untuk menjamin kualifikasi
Bahwa Konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 mene- kankan adanya standar
internasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan tindakan-tindakan
bagi keselamatan kapal di laut itu tentu harus dilihat dari kebutuhan praktis
sebab walaupun setiap negara, dalam hal ini setiap negara bendera secara
kualifikasi awak kapal terhadap kapal yang mengibarkan benderanya dan juga
(secara terbatas) terhadap kapal asing yang memasuki pelabuhan atau laut
masing negara dan malahan mungkin bertentangan satu sama lain, apabila
meliputi empat masalah utama, yakni pertama, masalah kelayakan kapal (the
(the prevention of collision and the ship routeing); ketiga, masalah standar
penempatan awak kapal (the standard for the manning of ship); keempat,
yang dijadikan sebagai pilar bagi keselamatan kapal di laut, melainkan juga
Port Facilities Security Code) yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim
Internasional pada tahun 2002 dan kemudian telah berlaku sejak tahun 2004
lalu.
Konvensi SOLAS tahun 1974 (the International Convention for the Safety of
Life at Sea). Konvensi ini dapat dianggap sebagai konvensi terakhir yang
konstruksi kapal, tindakan pengamanan kapal dan segala isinya dari bahaya
navigasi yang harus dibawa di atas kapal dan aspek- aspek lain dari
keselamatan navigasi, barang berbahaya yang dapat dibawa serta aturan khusus
menyangkut berbagai aspek kesela- matan navigasi yang berlaku di atas kapal
itu sendiri (aspek internal dari keselamatan navigasi) harus ditentukan oleh
meratifikasi Konvensi SOLAS tahun 1960 (kini Kon- vensi SOLAS tahun
1974) berdasarkan Keputusan Presiden No. 203 Tahun 1966 maka Indonesia
negara bendera (flag state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau
negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhannya didatangi atau
Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang memasuki pelabuhan RI,
maka Indonesia sebagai negara pela- buhan melalui aparat hukumnya dapat
melakukan pengawa- san mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah
untuk memeriksa apakah kapal asing yang berada di salah satu pelabuhan
Indonesia membawa sertifikat atau dokumen sah mengenai hal-hal yang
ditentukan dalam setiap sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah
sertifikat atau dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat
harus dalam kondisi terawat dan terpelihara setelah survei dilakukan) dan
sebelumnya, maka pihak berwenang dari Indo- nesia selaku negara pelabuhan
SOLAS yang menyangkut keselamatan kapal tangker serta pencega han polusi.
Protokol yang mulai berlaku sejak tahun 1981 mewajibkan semua kapal
yang melampaui ukuran tertentu untuk mempergunakan apa yang disebut inert
gas sistem atau sistem gas yang sifatnya lembam, juga adanya kewajiban kapal
maka terdapat lagi beberapa konvensi IMO lainnya yang berkaitan dengan
Garis Batas Muatan (the International Convention on the Load Lines) tahun
kapasitas dan daya muat maksimalnya sebab hal ini sering menyebabkan
dengan mengawasi sejauh mana kapal asing yang memasuki pelabu- hannya
pengawasan atas kapal asing yang masuk dan singgah di salah satu pelabuhan
dalam wilayah perairan Indonesia untuk memeriksa apakah kapal asing tersebut
bagian luar kapal itu di mana tanda garis yang terdapat di sekeliling lambung
dan badan kapal sudah tidak kelihatan dan sudah berada di bawah permukaan
air, setidak- tidaknya garis dengan warna tertentu yang mengelilingi bagian luar
dari badan kapal telah sejajar dengan permukaan laut. Kalau hal seperti ini
terjadi, maka otoritas terkait dapat menahan dan memeriksa kapal yang
perjanjian tentang kapal penumpang khusus pada tahun 1971 (The 1971
mengangkut penumpang serta tempat tidur dalam jumlah besar, seperti bisnis
kapal ikan pada tahun 1977 (The 1977 International Convention for the Safety
saja apa yang disebut Codes for the Construction and Equipment of Ships
perlengkapan kapal pengangkut ba- han kimia dalam jumlah besar tahun 1971)
maupun Codes for the Construction and Equipment of Ships carrying Liquefied
hukum yang mengikat. Namun demikian aturan-aturan ini telah diterima secara
luas dan beberapa negara telah menuangkan dan memasukkan atu- ran-aturan
itu ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya, misalnya sudah cukup
banyak negara yang telah menerapkan apa yang disebut the Bulk Chemicals
tubrukan dan penetapan rute atau trayek kapal (Collision avoidance and ships’
tahun 1972 pada prinsipnya bersangkut paut dengan perilaku atau tindakan serta
pergerakan suatu kapal dalam hubungan dengan kapal- kapal lainnya, terutama
yang bisa didengar maupun dilihat (sound and light signals). Walaupun
menurut hukum pidana dari negara bendera yang menjadi negara peserta
Konvensi.
karena dalam banyak kasus kebijakan untuk menuntut ataupun tidak menuntut
berada di tangan nakhoda kapal. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan
Pasal 39 ayat (2) KHL 1982 kapal yang menjalankan hak lintas damai melalui
laut territorial atau hak lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk
apakah negara bendera atau negara pantai adalah merupakan negara peserta
bagian laut yang padat (shipping in congested areas) menjadi jalur satu arah
semata-mata (into one-way only lanes). Contoh awal mengenai jalur pemisah
lalu lintas dapat ditemukan dalam perjanjian soal penentuan rute yang
dilakukan secara suka rela oleh para pemilik kapal yang menjalankan kegiatan
perdagangan pada rute-rute tertentu misalnya saja di Laut Cina pada abad ke-
19. Kini IMO telah menetapkannya sebagai jalur pemisah lalu lintas yang sudah
bersifat suka rela; negara bendera tidak diha- ruskan untuk memerintahkan
lintas (the Traffic Separation Scheme) adalah sesuatu yang dianggap dapat
umumnya, misalnya saja di perairan Barat Daya Eropa di mana ada banyak
jalur pemisah lalu lintas, sehingga jumlah tubrukan mengalami penurunan dari
156 tubrukan dalam masa atau periode tahun 1956-1961 menjadi hanya 45
tubrukan antara tahun 1976-1981 (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:185-
189).
yang berwenang untuk menentukan jalur pemisah lalu lintas (Traffic Separation
Scheme atau disingkat TSS), negara pantai juga memiliki beberapa kewenangan
dalam bidang ini. Pasal 21 KHL 1982 pada dasarnya mempunyai pendekatan
yang sama seperti Pasal 17 Konvensi Geneva 1958 tentang laut territorial yang
asing yang melaksanakan hak lintas damai, tetapi dalam KHL 1982
ditambahkan bahwa negara pantai yang menentukan TSS di laut teritorial harus
faktor lainnya, seperti karakter khusus dari kapal- kapal tertentu maupun
kepadatan lalu lintas di laut (Pasal 22 KHL 1982).
menetapkan atau mendesain sistem trayek tersebut sesuai dengan criteria IMO
(enforcement jurisdiction) terha- dap kapal asing yang melanggar TSS yang
pada tindakan aparat yang meminta agar kapal tersebut kembali mematuhi TSS.
Namun kalau pelanggaran TSS oleh kapal asing itu cukup serius, maka aparat
pelabuhan negara pantai, kapal terse- but dapat dituntut. Di Selat yang tunduk
pada rezim hukum lintas transit atau dinamakan Selat yang digunakan untuk
walaupun negara pantai masih dapat menen- tukan TSS, namun TSS yang
diusulkan kepada IMO harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah
memperoleh pengesahan sebelum TSS terse- but ditetapkan oleh negara pantai
Sejauh mana negara pantai dapat melakukan tinda- kan penegakan hukum
terkait dengan pelanggaran TSS oleh kapal asing di Selat yang dikategorikan
laut tidak mungkin menca- pai tingkat presisi atau kecanggihan (precision or
sophisti- cation) management seperti yang dimiliki oleh air traffic control.
Dalam kaitan ini IMO telah melakukan berbagai tindakan: misalnya saja baik di
hubu- ngan dengan management lalu lintas laut seperti membatasi kecepatan
posisinya serta diwajibkan untuk menggunakan kapal pandu (the use of pilots).
IMO juga mewajibkan kapal asing untuk melaporkan posisinya kepada otoritas
terkait dari negara pantai yang ber- sangkutan apabila kapal mengalami
accidents) terletak pada awak kapal yang tidak terlatih atau tidak memenuhi
(sufficiently and efficiently, sedangkan menurut ILO Convention No. 147 tahun
harus menjamin bahwa para pelaut yang bekerja di kapal yang terdaftar di
Pasal 94 ayat (4) KHL 1982 menentukan bah- wa negara bendera harus
oleh seorang nakoda (master) serta para petugas dengan kualifikasi yang tepat,
dan agar awak kapalnya sudah tepat atau layak dalam hal kualifikasi serta
jumlahnya sesuai dengan tipe kapal, ukuran, mesin serta perlengkapan kapal
tersebut.
diadopsi oleh IMO tahun 1978 memberi ketentuan yang lebih tegas
dibandingkan dengan Konvensi SOLAS dan Konvensi ILO karena The STCW
bendera (the Flag State), meskipun negara pelabuhan (the Port State)
memeriksa kalau para pelaut yang berdasar- kan konvensi itu harus disertifikasi
benar-benar sudah disertifikasi (Pasal X) dan bahwa standar awak kapal harus
Ship and Manning (No. 109 (1958) yang merupakan revisi atas konvensi-
(No.145 (1976).
syarat-syarat kerja bagi pelaut, yakni the Social Conditions and Safety
aids) seperti mercu suar (lighthouses), kapal suar (lights- hips), alat pelampung
(buoys) dan radar beacons, semuanya ini sangat penting bagi keselamatan
pelayaran (the safety of shipping). Konvensi SOLAS mengharuskan negara-
negara peserta untuk mengatur penetapan atau pengadaan (esta- blishment) dan
dari segi volume lalu lintas kapal serta diharuskan dari segi tingkatan risiko,
berkaitan dengan alat Bantu navigasi yang diperlukan. Perlu juga diketahui
bahwa berdasarkan Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur
dengan sepatutnya setiap bahaya navigasi yang diketahui berada di dalam laut
(navigational aids) biasanya hanya ditanggung oleh negara pantai dan negara
ini tidak berhak meminta sumbangan atau kontribusi dari kapal-kapal yang
berlayar melalui laut teritorialnya. Akan tetapi ada satu atau dua contoh di mana
navigational aids, perjan- jian internasional pada tahun 1962 mengenai the
berada di tepian selat yang tunduk pada lintas transit (transit passage) dan
navigasi serta alat bantu keselamatan lainnya yang diperlukan di selat tersebut,
2. Latihan
kapal!
Jawaban
1966 dan berbagai konvensi internasional lainnya yang telah diadopsi oleh
International Ship and Port Facility Security Code atau disingkat dengan
3. Rangkuman
negara bendera (flag state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau
negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhannya didatangi atau
Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang memasuki pelabuhan RI,
maka Indonesia sebagai negara pela- buhan melalui aparat hukumnya dapat
melakukan pengawa- san mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah
untuk memeriksa apakah kapal asing yang berada di salah satu pelabuhan
Apabila ada alasan yang sangat meyakinkan di mana kondisi kapal maupun alat
dalam setiap sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah sertifikat atau
dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat perlengkapannya tidak
(kondisi kapal maupun alat perlengkapannya harus dalam kondisi terawat dan
terpelihara setelah survei dilakukan) dan dengan demikian apabila kondisi kapal
Indo- nesia selaku negara pelabuhan dapat mengambil langkah- langkah atau
4. Pustaka
penguasaan sama atau lebih besar dari 80%, Anda dipersilakan untuk