Anda di halaman 1dari 46

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas besar
laporan Kajian Kawasan Studi Kasus (Identifikasi Karakteristik Kawasan Urban) dengan studi kasus Jalan Simpang Ijen dan Jalan Jakarta.
Tersusunnya laporan ini tidak lepas dari bimbingan, diskusi dan juga bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ir. Jenny Ernawati, MSP., Ph.D., selaku Dosen Koordinator Mata Kuliah Azas Desain Urban
2. Ir. Sigmawan Tri Pamungkas, MT., selaku Dosen Penanggung Jawab
3. Subhan Ramdlani, ST., MT., selaku Dosen Penanggung Jawab
Adanya Laporan Tugas Besar ini, kami berharap agar pembaca dapat menambah ilmu dan pengetahuan mengenai Desain Urban. Kami
juga menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, baik dari isi laporan maupun
penyajiannya. Akhir kata, kami mohon maaf dan kami mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun agar laporan ini dapat menjadi
lebih baik lagi.

Malang, 6 April 2021

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Kota merupakan pusat terakumulasinya sumber daya manusia, oleh karena itu harus di lengkapi dengan fasilitas yang memadai. Selain
itu daya dukung lingkungan harus tetap diperhatikan (Dahlan,2004). Berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor 4 Tahun 1980, kota memiliki dua
pengertian, yaitu: (1) suatu daerah yang memiliki batas administratif seperti kotamadya dan kota administratif seperti yang telah dituangkan
dalam perundang-undangan, d (2) sebagai lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris. Dari sudut pandang arsitektur
lanskap, menurut Simonds (1983) kota adalah suatu bentukan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat kegiatan manusia dalam mengelola
kepentingan hidupnya, hingga faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, ilmu politik, pengetahuan, dan teknologi mempengaruhi
perubahan lanskap perkotaan juga akan berkontribusi terhadap lingkungan fisik kota.Salah satu metode untuk menganalisis bentuk kota secara
tekstural, adalah melalui interpretasi terhadap artikulasi bentuk kawasan kota.
Dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan di kawasan perkotaan (urban area) peran dan manfaat dari ‘perencanaan kota’ menjadi
hal penting dan menentukan terutama bagi acuan dan arahan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan. Melihat hal tersebut di atas, kondisi
perkembangan ilmu dan profesi ‘perencanaan kota’ pada saat ini sudah mengalami banyak kemajuan. Sejak tahun 1980-an hingga saat ini kita
diperkenalkan suatu pendekatan dalam kegiatan perencanaan kota yang disebut ‘perencanaan kota komprehensif’ (comprehensive urban
planning).
Perencanaan kota merupakan suatu desain dan pengaturan penggunaan ruang yang berfokus pada bentuk fisik, fungsi ekonomi, dan
dampak sosial dari lingkungan perkotaan serta lokasi kegiatan yang berbeda di dalamnya. Sejak ratusan tahun yang lalu, bukti-bukti perencanaan
kota telah ditemukan di banyak reruntuhan kota-kota kuno di dunia. Hal ini membuktikan bahwa perencanaan kota merupakan suatu tatanan
ilmu yang sudah dipelajari oleh nenek moyang kita, meski dalam taraf yang masih sangat rendah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tata Guna Lahan (Land Use)


2.1.1 Definisi Tata Guna Lahan
Keseluruhan kemampuan muka daratan beserta segala gejala di bawah permukaannya yang bersangkut paut dengan
pemanfaatannya bagi manusia disebut dengan lahan. Modal utama kegiatan adalah lahan yang merupakan suatu bentang alam
menurut pengertian tersebut, sebagai tempat di mana seluruh makhluk hidup berada dan melangsungkan kehidupannya dengan
memanfaatkan lahan itu sendiri. Secara umum,tata guna lahan tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk
aktivitas seperti pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan
pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan
menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Menurut (Suparmoko, 1995) Tata guna lahan juga tergantung pada lokasi,
khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi.
Salah satu alasan yang utama dari pergerakan dan aktivitas ialah tata guna lahan. Aktivitas ini dikenal sebagai trip
Generation, yang akan mempengaruhi fasilitas transportasi, seperti jalan dan sistem bus, yang diperlukan untuk pergerakan lalu-
lintas.Menurut (Khisty and Lall, 1998) Ketika penambahan fasilitas disediakan,sistem dengan sendirinya akan menambah
aksesibilitas.Kota dapat dianggap sebagai lokasi pengaturan dari banyaknya aktivitas atau pengaturan kegunaan lahan.Interaksi
antar kegiatan ditunjukkan dengan pergerakan manusia,barang dan informasi. Perubahan aksesibilitas akan menentukan
perubahan nilai suatu lahan, dan akan mempengaruhi bagaimana lahan itu akan digunakan. Jika suatu perubahan terjadi seperti
contoh : sebuah lokasi pemukiman menjadi daerah perniagaan, angka Trip Generation akan berubah dan siklus perubahan itu
akan berlanjut (contohnya jumlah perjalanan per hektar lahan).
Secara umum ada 4 kategori alat-alat perencanaan tata guna lahan untuk melaksanakan rencana Menurut Catanesse (1988:
281), mengatakan bahwa, yaitu:
1. Himbauan, Kepemimpinan, dan Koordinasi Sekalipun sedikit lebih informal daripada program perbaikan modal atau
peraturanperaturan pembangunan, hal ini dapat menjadi lebih efektif untuk menjamin agar gagasan-gagasan, data-data,
informasi dan risat mengenai pertumbuhan dan perkembangan masyarakat daat masuk dalam pembuatan keputusan kalangan
developer swasta dan juga instansi pemerintah yang melayani kepentingan umum
2. Peraturan-peraturan Pembangunan Ordonansi yang mengatur pendaerahan (zoning), peraturan tentang pengaplingan, dan
ketentuan-ketentuan hukum lain mengenai pembangunan, merupakan jaminan agar kegiatan pembangunan oleh sektor swasta
mematuhi standar dan tidak menyimpang dari rencana tata guna lahan.
3. Rencana Tata Guna Lahan Rencana saja sebenarnya sudah merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan serta
saran-saran yang dikandungnya selama itu semua terbuka dan tidak basi sebagai arahan yang secara terus-menerus untuk
acuhan pengambilan keputusan baik bagi kalangan pemerintah maupun swasta. Suatu cara untuk melaksanakan hal itu adalah
dengan cara meninjau, menyusun dan mensahkan kembali rencana tersebut dari waktu ke waktu. Cara lain adalah dengan
menciptakan rangkaian bekesinambungan antara rencana tersebut dengan perangkat-perangkat pelaksanaan untuk
mewujudkan rencana tersebut.
4. Penyediaan Fasilitas Umum Fasilitas umum diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal dengan cara
melestarikan sejak dini menguasai lahan umum dan daerah milik jalan (damija).
Baik di perkotaan maupun di perdesaan penggunaan lahan di suatu wilayah sangatlah kompleks. Oleh karena itu, untuk
keperluan inventarisasi di antaranya, diperlukan adanya klasifikasi atau pengelompokan. Menurut Abbler (1972), klasifikasi
merupakan suatu proses pengelompokan data yang bersifat induktif sebagai generalisasi secara sistematik dari suatu objek atau
fenomena Pengelompokan biasanya dilakukan atas dasar kesamaan sifat dan atas dasar kriteria-kriteria atribut tertentu, misalnya
kriteria jenis penggunaan di atasnya, kriteria jenis tanaman, dan sebagainya.

2.1.2 Paradigma Penggunaan Lahan


Karena dalam hakikatnya pada suatu lahan di dalamnya terjadi interaksi langsung dengan aktivitas manusia (biologis,
sosial, budaya) dengan lingkungannya,dalam perencanaan penataan ruang suatu kawasan sangat perlu memperhatikan
perencanaan penggunaan lahannya. Faktor yang menjadi paradigma dalam penggunaan lahan bergeser dari waktu ke waktu
karena adanya beberapa hal, antara lain:
1. Perkembangan kapasitas teknologi
2. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman
3. Pertumbuhan kesadaran sosial
Terdapat paradigma yang terjadi dalam perencanaan tata guna lahan pada konteks perencanaan ruang suatu kawasan , yaitu :
1. Apresiasi
Suatu penghargaan atau penilaian terhadap suatu lahan yang ada dengan cara mengenali, menilai dan membandingkan suatu
lahan tersebut akan nilai guna lahan tersebut.
2. Pemujaan
Suatu penghormatan terhadap fitur-fitur alam (gunung, bukit, hutan, laut) di mana menganggap hal tersebut sesuatu yang
sakral dan dipercaya mempunyai suatu nilai adat yang dianggap baik dalam kalangan masyarakatnya. Ketika lahan tersebut
dianggap suci/sakral maka akan memunculkan polemik bahwa lahan tersebut tidak dapat diganggu gugat pemanfaatannya.
3. Eksploitasi
Tingginya permintaan masyarakat akan kebutuhan lahan yang terus meningkat sedangkan ketersediaan akan lahan yang
terbatas sehingga memaksa akan adanya perubahan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah yang
ada.

4. Konservasi
Upaya untuk mempertahankan, memelihara, memperbaiki atau merehabilitasi, dan meningkatkan jumlah daya tanah, agar
berdaya guna optimum sesuai dengan pemanfaatan atau fungsinya. Masalah-masalah yang terdapat pada konservasi,ialah :
• Benefisiasi, yaitu mempertahankan serta mempertinggi fungsi, manfaat, atau faedah sumberdaya tertentu.
• Preservasi, yaitu pemeliharaan untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas sumberdaya tertentu sepanjang waktu.
• Restorasi, yaitu pemeliharaan dan perbaikan untuk meningkatkan manfaat serta perkembangan sumber-sumber biotik.
• Reklamasi, yaitu mengubah sumber-sumber yang tidak produktif atau tidak berguna menjadi produktif dan bermanfaat
kembali.
• Efisiensi, yaitu pemanfaatan atau pengeluaran sesuatu sumber yang tidak berlebihan tetapi sesuai dengan keperluan atau
kebutuhan.
2.1.3 Urgensi Tata Guna Lahan
Tanah merupakan bagian penting untuk kelangsungan hidup manusia karena adanya beberapa nilai yang terkandung di
dalamnya, maka dari itu penting untuk dilakukan penataan atas segala jenis aktivitas yang berada di dalamnya. Seperti contoh ,
pengembangan sebuah kawasan yang awal mulanya merupakan kawasan pertanian kemudian menjadi kawasan industri tentu
saja akan membawa dampak yang tidak ringan. Selain dari segi lingkungan, dampak yang kemudian muncul adalah adanya
perubahan jumlah bangkitan di kawasan tersebut, perubahan sosial masyarakatnya, hingga kesenjangan fungsi antara kawasan
industri baru dengan kawasan permukiman penduduk di sekitarnya. Perencanaan tata guna lahan juga diharapkan mampu
meminimalkan besarnya bangkitan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain karena adanya aktivitas-aktivitas yang tidak bisa
dipenuhi dalam satu tempat. Karena itulah dibutuhkan perencanaan tata guna lahan serta tida dapat dipisahkan dengan sistem
transportasi sebab dari adanya suatu guna lahan tertentu sering diikuti oleh adanya bangkitan transportasi di sekitarnya.

Induk dari kebijakan Indonesia dibahas pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33
ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari Pasal tersebut menjelaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat.Keterkaitannya dengan pembangunan yaitu kata
bumi, dapat diartikan sebagai lahan atau tanah yang harus dimanfaatkan secara bijak terutama dalam pembangunan agar dapat
menciptakan kemakmuran rakyat. Dengan direalisasikannya Pasal tersebut dengan dibuatnya Undang-Undang organik yaitu
UUPA serta UU mengenai kebijakan pembangunan yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Negara diberikan kewenangan untuk
mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. perencanaan, penguasaan, dan
penggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia dengan tujuan agar dapat
dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan tersebut di laksanakan negara dalam kedudukannya
sebagai organisasi kekuasaan seluruh Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa.
Urgensi perencanaan tata guna lahan dapat dilihat pada pokok-pokok sebagai berikut:
1. Jumlah lahan terbatas dan merupakan sumber daya yang hampir tak terbaharui, sedangkan manusia yang memerlukan tanah
jumlahnya terus bertambah. Pertumbuhan penduduk mencapai 2,5% per tahun. Semakin banyak penduduk, semakin nggi pula
angka kebutuhan terhadap perumahan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah harus dapat menyiasati langkah apa yang harus
diambil agar kebutuhan perumahan masyarakat terpenuhi. Sebagai contoh,Pemerintah dapat membangun rumah susun.
2. Meningkatnya pembangunan dan taraf hidup masyarakat dapat meningkatkan persaingan penggunaan lahan sehingga sering
terjadi konflik penggunaan lahan.
3. Penggunaan lahan yang dak sesuai dengan kemampuan nya dapat menyebabkan kerusakan lahan. Pemerintah hendaknya harus
lebih ketat dalam melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan tanah. Pemerintah harus berpikir jauh mengenai dampak positif
dan negatif sebelum lahan tersebut digunakan untuk kegiatan atau pembangunan tertentu.
4. Konversi lahan pertanian dengan tanah subur termasuk sawah irigasi menjadi lahan non-pertanian seper wilayah industri,
perumahan, dan lain-lain perlu ditata karena sulitnya mencari lahan pengganti yang lebih subur atau minimal sama di luar lahan
pertanian yang telah ada.
5. Banyak lahan hutan yang seharusnya digunakan untuk melindungi kelestarian sumber daya air kemudian digarap menjadi lahan
pertanian tanpa memperhatikan asas kesesuaian lahan, sehingga dapat merusak tanahnya sendiri maupun lingkungan pada
umumnya.
6. Pandangan bahwa tanah semata-mata merupakan faktor produksi cenderung mengabaikan pemeliharaan kelestarian tanah.
Padahal, tanah juga mempunyai kemampuan terbatas dalam memberi daya dukung bagi kehidupan manusia.

2.1.4 Proses Perencanaan Tata Guna Lahan


Untuk memperoleh data dasar ,dilakukan survey pendahuluan yang meliputi (studi pustaka, survey primer di lapangan,
dan mengkompilasi data dasar menggunakan paduan peta tematik) . Untuk mengetahui tujuan, prinsip, dan standar minimal
terkait penggunaan suatu guna lahan menggunakan studi pustaka .Sebagai contoh tata guna lahan perumahan, perdagangan,
industri, perkantoran, dan sebagainya yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Menganalisis kesesuaian lahan dengan aktivitas dan menganalisis kesesuaian lahan dengan aktivitas. Hal ini dilakukan
melalui analisis SKL (Satuan Kemampuan Lahan) yang melihat kondisi fisik dasar suatu wilayah, persebaran sarana, dan tata
guna lahan eksisting untuk mengetahui pola aktivitas eksisting. Identifikasi sifat dan pola perkembangan kota. Apakah terpusat
atau bisa jadi meloncar (leap-frog). Selain itu juga mengidentifikasi kawasan yang belum berkembang dan pusat-pusat aktivitas
untuk membaca pola pertumbuhan kota dan memprediksi perkembangan di masa mendatang. Menyiapkan rencana lokasi dan
tujuan untuk peruntukkan guna lahan.

2.1.5 Teori Perencanaan


1. Teori Konsentris
E.W. Burgess mengemukakan teori konsentris dalam analisisnya di Kota Chicago pada tahun 1925 dengan analogi
dari dunia hewan di mana suatu daerah akan didominasi oleh suatu spesies tertentu. Seperti halnya pada wilayah perkotaan
akan terjadi pengelompokan tipe penggunaan lahan tertentu. Berikut merupakan gambaran model zona konsentris oleh
Burgess:

Gambar 2.2.1 Model Teori Konsentris Burgess

Model Burgess merupakan suatu model yang diperuntukkan bagi kota yang mengalami migrasi besar-besaran dan
pasar perumahan didominasi oleh sektor privat. Dengan demikian bagi kota yang tingkat migrasinya rendah dan peranan sektor
public sangat besar, maka teori ini menjadi kurang relevan. Teori Konsentris Burgess memiliki beberapa kelemahan antara
lain:
a. Pada kenyataannya gradasi antar zoona tidak terlihat dengan jelas
b. Bentuk CBD kebanyakan memiliki bentuk yang tidak teratur
c. Perkembangan kota cenderung mengikuti rute strategis
d. Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan
e. Slum area tidak selalu berada di area pusat kota

2. Teori Ketinggian Bangunan


Teori Ketinggian Bangunan dikemukakan oleh Bergel pada tahun 1955 yang menyebutkan bahwa penggunaan lahan
tidak hanya dipertimbangkan dari jaraknya dari pusat kota saja (distance decay principle from the center) melainkan juga
jaraknya dari tanah (height decay principle from the ground). Berikut merupakan kurva hubungan antara penggunaan lahan
dengan ketinggian bangunan menurut Bergel:

Gambar 2.2.2 Kurva Teori Ketinggian Bangunan Bergel

3. Teori Sector Homer Hoyt


Pada tahun 1939 menyebutkan bahwa pola sektoral yang terjadi pada suatu wilayah bukanlah suatu hal yang kebetulan
tetapi merupakan asosiasi keruangan dari beberapa variabel yang ditentukan oleh masyarakat. Variabel yang dimaksud
merupakan kecenderungan masyarakat dalam menempati daerah yang mereka anggap nyaman dalam menjalani kehidupannya
sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kota secara sektoral tidak terjadi secara acak melainkan
mengikuti pola atau perkembangan tertentu. Berikut merupakan gambaran model teori sector oleh Hoyt:
Gambar 2.2.3 Model Teori Sektor Hoyt

4. Teori Poros
Teori Poros dicetuskan oleh Babcock pada tahun 1932 sebagai respon akan Teori Konsentris Burgess. Teori ini
mendasarkan penggunaan lahan pada peranan sektor transportasi. Keberadaan jalur transportasi akan menyebabkan distorsi
pada pola konsentris, sehingga daerah yang dilalui oleh jalur transportasi akan memiliki perkembangan fisik yang berbeda
dengan daerah yang tidak dilalui oleh jalur transportasi. Berikut merupakan gambaran model Teori Poros oleh Babcock:

Gambar 2.2.4 Model Teori Poros Babcock


5. Teori Pusat Kegiatan
Banyak Teori Pusat Kegiatan Banyak (Multi Nuclei) dikemukakan oleh Harris and Ulmann pada tahun 1945 yang
menyebutkan bahwa pusat kegiatan tidak selalu berada pada posisi di tengah-tengah suatu wilayah (center). Lokasi-lokasi
keruangan yang terbentuk tidak ditentukan dan dipengaruhi oleh factor jarak dari CBD sehingga membentuk persebaran zona-
zona yang teratur namun berasosiasi dengan sejumlah faktor yang akan menghasilkan pola-pola keruangan yang khas. Berikut
merupakan gambaran model Teori Multi Nuclei oleh Harris and Ulmann:

Gambar 2.2.5 Model Teori Multiple Nuclet


6. Teori Ukuran Lahan
Teori Ukuran Kota menyebutkan bahwa kota memiliki 5 tingkatan pertumbuhan sebagai berikut:
a. Infantile Towns, ditandai dengan distribusi pertokoan dan perumahan yang belum tertata rapi dan belum ada pabrik-
pabrik maufaktur
b. Juvenile Towns, ditandai dengan adanya gejala difirensiasi zona dan toko-toko serta perumahan sudah mulai terpisah
c. Adolescent Towns, ditandai dengan kemunculan pabrik-pabrik manufaktur tetapi belum ada perumahan kelas tinggi
d. Early Mature Towns, ditandai dengan sudah adanya segregasi yang jelas antara perumahan kelas tinggi dengan zona
lainnya
e. Mature Towns, ditandai dengan adanya pemisahan daerah perdagangan, industri, serta daerah perumahan dengan
kelas yang bervariasi.
7. Teori Historis
Dalam Teori Historis, perkembangan suatu kota dikaitkan dengan ageing structures, sequent occupancy, population
growth, serta available land. Perkembangan kota terjadi dalam 3 fase, yaitu:
a. Fase 1, perkembangan transportasi dan komunikasi namun perkembangan kota terjadi kea rah periphery atau pinggiran
b. Fase 2, mulai merasakan dampak negative dari desentralisasi seperti pemborosan infrastruktur, spekulan tanah, dsb
c. Fase 3, terjadi urban renewal yaitu perpindahan penduduk kembali ke pusat kota.

8. Teori Lokasi Von Thunen


Von Thunen mencetuskan teori mengenai lahan kota dalam perspektif ekonomi yaitu dengan pemodelan lokasi pertanian.
Dasar dari Teori Von Thunen adalah konsep sewa ekonomi (economic rent), yang menyebutkan bahwa:
a. Sewa ekonomi berbanding lurus dengan jarak, sehingga sewa ekonomi juga bisa disebut sebagai sewa lokasi (location
rent).
b. Tipe lahan yang berlainan akan menghasilkan hasil bersih (sewa) yang berlainan pula.
c. Semua petani akan memproduksi jenis tanaman yang memungkinkannya menghasilkan sewa tertinggi dan memberikan
keuntungan maksimal.
Dengan demikian Von Thunen juga menyebutkan bahwa adanya perbedaan dalam zona lahan dan struktur ruang kota
mengindikasikan:
a. Kegiatan tertentu hanya mampu membayar pada tingkat tertentu
b. Harga pada tingkat tertentu dipengaruhi oleh lokasinya dari titik referensi yang biasanya adalah pusat kota atau CBD.

9. Teori Nilai Lahan


Teori nilai lahan menyebutkan klasifikasi tinggi rendahnya suatu jenis penggunaan lahan berdasarkan beberapa faktor,
sebagai contoh:
1. Lahan Pertanian, tinggi rendahnya nilai lahan bergantung pada:
• Faktor kesuburan;
• Faktor drainase;
• Faktor aksesibilitas, dsb.

2. Lahan Perkotaan, tinggi rendahnya nilai lahan bergantung pada:


• Faktor aksesibilitas lokasi (kemudahan pergerakan);
• Faktor potential shopper;
• Faktor kelengkapan infrastruktur, dsb.

2.1.6 Model Tata Guna Lahan


Model Tata Guna Lahan Menurut PP No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah:
a. Model Zoning. Menurut model ini, tanah di suatu wilayah atau daerah tertentu yang dibagi dalam beberapa zona untuk
penggunaan atau kepentingan-kepentingan, kegiatan-kegiatan, atau usaha-usaha yang dilakukan. Sebagai contoh, model
zoning yang dikembangkan dan diterapkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago antara lain:
• “The loop” yang adalah wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
• “The zone in transitions” adalah wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
• “The zone of working men’s homes” adalah wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.
• “The residential zone” adalah wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya
• “The commuters zone” adalah wilayah diluar batas kota.

b. Model Terbuka ialah Istilah terbuka yang merupakan suatu ruang atas lahan dalam satu wilayah tertentu tidak terpecah dalam
zona-zona penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka terfokus pada usaha-usaha untuk mencari tempat
yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta.

c. Konsolidasi lahan,Teknik pembenahan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan,
sungai, saluran pembagian/pembuangan air)sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang
dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air. Penatagunaan tanah juga mencakup arti
pemeliharaan. Tanah itu harus dikelola baik-baik menurut cara yang patut dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai
dengan petunjuk dari 33 jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya. Tujuan
Konsolidasi tanah yaitu untuk mencapai pemanfaatan tanah secaraoptimal melalui penambahan efisiensi dan produktifitas
penggunaan tanah.Sedangkan sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah
yang tertib dan teratur. Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN) Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatkan untuk kemakmuran
rakyat. Elemen-elemen terpenting yang harus diperhatikan dalam kosolidasi lahan antara lain:
• Kebijakan pertanahan
• Penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah yang bertujuan untuk kepentingan pembangunan,
meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan SDA
• Melibatkan pastisipasi aktif masyarakat

2.1.7 Peran Perencana dalam Perencanaan Tata Guna Lahan


1. Perencana sebagai Teknokrat atau Engineer
Peran ini dimainkan dengan mengambil posisi sebagai advisor bagi para pengambil kebijakan dengan berporos kepada
rasionalitas dan pertimbangan ilmiah. Sebuah landasan dalam membangun kekuasaan dan kepentingan adalah informasi.
Sedangkan untuk fungsinya, antara lain:
• Rasionalitas yang hendak dibuat sebagai pemenuhan kepentingan public
• Mengartikulasikan kepentingan masyarakat umum kepada sebuah rasionalitas yang acceptable ( dapat diterima )
• Mengkomunikasikan rasionalitas dan kepentingan yang dibuat kepada aktor lain.

2. Perencana sebagai Birokrat


Perencana sebagai seorang birokrat memiliki peran untuk menjaga stabilisasiorganisasi dan jalannya roda
pemerintahan. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah media dalam menjaga kepentingan dan keberlangsungan organisasi.
Peran ini biasanya disertai oleh dominasi yang datang secara formal dan legal kepada perencana. Sedangkan fungsi dari peran
ini antara lain:
• Menggunakan rasionalitas sebagai landasan dalam membuat kebijakan
• Memperlakukan masyarakat sebagai konstituen dan pihak yang terkena kebijakan.
• Mengartikulasikan kepentingan publik dalam kebijakan yang dibuat
• Memberi informasi kepada masyarakat tentang kebijakan yang akan dibuat.
• Melakukan komunikasi dengan legislatif.

3. Perencana sebagai Aktivis dan Advokat


Peran ini adalah sebuah manifestasi dari usaha menghubungkan masyarakat dengan hal-hal yang bersifat teknis dari
sebuah produk rencana. Peran dalam melakukan mobilisasi kekuatan dan potensi masyarakat untuk melakukan perlawanan
terhadap dominasi Pemerintah. Informasi dan proses komunikasi diperlakukansebagai usaha menumbuhkan pemahaman
masyarakat dan counter-opinion terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat. Peran ini tercipta dari sebuah paradigma
bahwasanya kelompok tertindas harus membebaskan dirinya sendiri dari dominasi kelompok penguasa (Freire, 1972).
Kekuasaan didapatkan melalui mobilisasikekuatan massa atau klaim dukungan masyarakat. Sedangkan untuk fungsi advokat
adalah:
• Mengajukan rasionalitas sebagai argumen dalam memobilisasi dan menarikkeberpihakan masyarakat.
• Menjembatani pemahaman rasionalitas masyarakat.
• Menggunakan infrastruktur kelembagaan yang ada sebagai media dalammelakukan advokasi.
• Menggunakan tindakan-tindakan politik sebagai upaya memberi tekanan publikdan menarik dukungan dari kelompok
lain
• Melakukan komunikasi dengan pihak lain.

4. Perencana sebagai Politikus


Politikus dianalogikan dengan tujuan pragmatis dan komunalis, sehingga perencanatidak diharapkan untuk bergabung
dengan dunia politik. Perencana tidak bisa lepasdari kepentingan dan dalam mengusahakan kepentingannya, Perencana
dituntut memiliki perspektif seorang politisi. Politikus memiliki insting dalam berkomunikasi dengan kelompok yang
memiliki kepentingan yang berbeda lebih baik. Untuk fungsi dari politikus antara lain:
• Menjadikan rasionalitas lebih dari sekedar legitimator kepentingan politik
• Melaksanakan fungsi perwakilan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat
• Menjembatani masyarakat dengan para pengambil kebijakan
2.2. Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)
2.2.1 Definisi
Bentuk dan tatanan massa bangunan menyangkut aspek‐aspek bentuk fisik bangunan-bangunan. Tujuannya adalah agar
tercapai bentuk massa yang seimbang, proporsional, harmonis, berskala manusiawi dengan menghasilkan tatanan massa yang
membentuk ruang luar untuk aktivitas luar (open space, pedestrian), dengan memperhatikan bangunan sekitarnya.
Bentuk dan massa bangunan membahas mengenai bagaimana bentuk dan massa-massa bangunan yang ada dapat
membentuk suatu kota serta bagaimana hubungan antar-massa (banyak bangunan) yang ada (Shirvani,1985). Bentuk fisik yang
terjadi diakibatkan oleh setting (rona) spesifik yang meliputi ketinggian, pemunduran (setback), penutupan (coverage), selanjutnya
lebih luas menyangkut juga penampilan dan konfigurasi bangunan, yaitu disamping ketinggian, kepejalan, juga meliputi warna,
material, tekstur, fasad, skala dan gaya (Shirvani, 1985:14).

2.2.2 Elemen-elemen Bentuk Massa Bangunan


1. Ketinggian Bangunan
Berdasarkan Permen PU No. 6 Tahun 2007, ketinggian bangunan merupakan salah satu elemen dari tata bangunan.
Tujuan dari tinggi bangunan ini untuk mengaitkan secara visual ketinggian bangunan dengan ruang terbuka di sekitarnya,
agar terbentuk garis langit (skyline) yang positif. Kemudian secara spasial penataan ketinggian bangunan dapat
menunjukkan kesesuaian dengan luas lantai yang diperbolehkan, ruang‐ruang pergerakan, kepadatan bangunan dan
intensitas pembangunan. Untuk ketinggian bangunan sendiri dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
• Bangunan Rendah (1-4 Lantai)
• Bangunan Sedang (5 -8 Lantai)
• Bangunan Tinggi (>8 Lantai).
2. Kepejalan Bangunan
Maksud dari kepejalan bangunan ini adalah persepsinya bangunan bergantung pada skala bangunan di sekitarnya.
Dibutuhkan pengurangan kepejalan yang berlebihan untuk mencapai kesan berhubungan yang disepakati dengan
membelah menjadi beberapa bagian sehingga memberi kesan yang baik.

3. Amplop Bangunan
Amplop bangunan merupakan batas maksimum ruang yang diijinkan untuk dibangun.
Batas maks. Ruang = Luas lantai x Tinggi maks. Bangunan

Gambar 2.3.1 Building Envelope

Dapat disimpulkan bahwa amplop bangunan memberikan gambaran volume ruang bangunan yang dapat
diletakkan pada suatu tapak. Amplop bangunan dibuat berdasarkan kriteria terukur yang terdiri dari:
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan
gedung dengan luas lahan perpetakan atau lahan perencanaan yang dikuasai. Standar KDB di suatu kawasan berbeda
pada masing-masing wilayah. Berikut rumus KDB:
b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
KLB ini merupakan persentase hasil perbandingan antara jumlah seluruh lantai (dari lantai basement, lantai dasar dan
lantai tingkat) dibagi dengan luas lahan yang tersedia. Dengan adanya KLB ini akan membatasi luas lantai yang bisa
dibangun dalam sebuah wilayah. Hal ini nantinya akan menjadi penentu berapa jumlah lantai yang bisa dibangun.
Standar KLB di suatu kawasan berbeda pada masing-masing wilayah. Sedangkan KLB di Kota Malang memiliki
ketentuan sebagai berikut :
• Perumahan Kepadatan Tinggi: 0,60 -1,20
• Perumahan Kepadatan Sedang: 0,50 - 1,20
• Perumahan Kepadatan Rendah: 0,30 - 1,20
• Perdagangan, Komersil, dan Jasa: 1,0 - 3,0
• Perkantoran: 0,40 – 1,20

c. Jarak Antar Bangunan (JAB)


Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 tahun 2012 tentang bangunan gedung, dapat disimpulkan
bahwa:
• Bangunan gedung rendah (maksimal 4 lantai): ditetapkan sekurang kurangnya 7 meter
• Bangunan gedung sedang (5-8 lantai): sekurang kurangnya 9-11 meter
• Bangunan gedung tinggi (lebih dari 8 lantai): menggunakan rumus: (ketinggian bangunan/2) -1 meter

4. Garis Sempadan Bangunan


Aturan Garis Sempadan Bangunan (GSB) berada pada Pasal 13 Undang-Undang No.28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung. GSB adalah garis yang membatasi jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan
terhadap batas lahan yang dikuasai. Fungsi GSB adalah untuk menjamin kemanan dan kenyamanan di sekitar. Adanya
jarak suatu bangunan akan meminimalisir sebuah risiko. GSB terbagi menjadi 3, yaitu:
• Garis sempadan muka bangunan
• Garis sempadan samping bangunan
• Garis sempadan belakang bangunan

5. Visual Bangunan
Visual bangunan tergantung pada gaya, skala, bentuk, ukuran dan pola pembangunan, serta beberapa faktor lainnya
berupa pencahayaan dan penghawaan, material, warna dan tekstur.
a. Gaya Arsitektur
Gaya arsitektur adalah ciri khusus yang ada pada suatu kelompok bangunan berdasarkan massa atau letak geografis
tertentu. Gaya ini merupakan sub-kelas dari gaya dalam seni visual dan sebagian besar terkait dengan gaya artistik
kontemporer yang lebih luas. Gaya arsitektur sendiri mencakup berbagai elemen, seperti bentuk, metode konstruksi,
bahan bangunan, dan karakter daerah. Kebanyakan gaya arsitektur mencerminkan adanya perubahan mode,
kepercayaan dan agama, atau munculnya ide, teknologi, dan bahan baku baru yang memungkinkan lahirnya gaya baru.

b. Skala
Skala merupakan perbandingan antara satu bentuk ukuran tak asli dengan dengan bentuk ukuran sebenarnya
berdasarkan tinggi, lebar, maupun panjang. Skala merupakan hal yang penting dalam merancang bentuk dan massa
bangunan. Skala memiliki keterkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi, dan bangunan sekitarnya.

c. Pencahayaan dan Penghawaan


Dua elemen pada desain bangunan yang harus mendapat perhatian adalah tata pencahayaan dan penghawaan. Dua
elemen ini sangat penting dilakukan secara benar, dengan tujuan agar ruang-ruang di dalam bangunan mendapat
pencahayaan dan penghawaan yang cukup, agar memberi kenyamanan pemakai dalam melakukan aktivitasnya.
Terdapat 2 kategori untuk kedua elemen tersebut, yaitu alami dan buatan.
d. Material
Material merupakan bahan dasar yang digunakan untuk membangun sebuah bangunan dalam ilmu Arsitektur.
Bahan ini mempengaruhi bentuk dan massa bangunan yang secara kolektif membentuk tampilan sebuah Kawasan.
Bahan bangunan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bahan bangunan alami dan buatan.

e. Warna
Warna dalam arsitektur digunakan untuk menekankan atau memperjelas karakter suatu objek, memberikan aksen
pada bentuk dan bahannya. Warna adalah atribut yang paling mencolok yang membedakan suatu bentuk terhadap
lingkungannya dan mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.

f. Tekstur
Tekstur adalah keadaan permukaan suatu benda (kasar, halus) , ukuran dan susunan jaringan bagian suatu benda ,
jalinan atau penyatuan bagian bagian sesuatu hingga membentuk suatu material

2.3 Ruang Terbuka Publik Kota


2.3.1 Ruang Terbuka Non Hijau
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 12/ PRT/ M/ 2009 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka non Hijau di Wilayah Kota/ Kawasan Perkotaan, pemanfaatan ruang terbuka non hijau dibagi 2, secara langsung dan
secara tidak langsung.
Guna RTNH secara langsung ialah guna dalam jangka pendek, berikut ialah guna dari RTNH secara langsung:
1. Berlangsungnya kegiatan warga, seperti aktivitas berolahraga, aktivitas tamasya, aktivitas parkir, dan lain- lain
2. Keelokan serta kenyamanan, seperti penyediaan plasa, monumen, landmark, dan lain sebagainya
3. Keuntungan ekonomis, seperti retribusi parkir, sewa lapangan olahraga, dan lain sebagainya.

Guna RTNH secara tidak langsung adalah guna yang baru bisa dialami dalam jangka waktu yang panjang, berikut ialah
guna RTNH secara tidak langsung:
1. Mereduksi kasus serta konflik sosial
2. Menambah produktivitas masyarakat
3. Pelestarian lingkungan
4. Menambah nilai ekonomis lahan di sekitarnya, dan lain sebagainya.

2.4 Aktivitas Publik (Public Life)


2.4.1 Aspek Manusia
Manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan desain sebagai fasilitas penunjang aktivitasnya. Manusia
menginginkan desain produk yang sesuai dengan trend dan mewadahi kebutuhannya yang semakin meningkat. Melihat kondisi
saat ini, kecenderungan desain produk yang berubah akibat peningkatan kebutuhan manusia tersebut menimbulkan kesadaran
manusia tentang pentingnya desain yang eksklusif dan representatif.
Ciri masyarakat urban/kota menurut Soerjono Soekanto dalam Gonibala, 2018 namun yang terkait dengan fokus perilaku
masyarakat urban diantaranya adalah orang kota memiliki gaya hidup yang mewah, biasa melakukan sesuatu sendiri atau mandiri,
memiliki keterampilan khusus, memiliki peluang pekerjaan yang besar, memiliki pola pikir rasional, mengutamakan faktor
waktu, dan mudah menerima pengaruh dari luar. Dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang membahas ruang
publik dan kualitas ruang kota menyampaikan bahwa pada perancangan desain perkotaan (urban design plan) menitikberatkan
pada aspek bentuk fisik spasial yaitu visual dan fungsional. (Darmawan, 2005).
Pada desain urban perlu dilakukan pendekatan Humanis diantaranya :
1. Pendekatan humanis lebih menekankan pada elemen-elemen skala kecil yang menjadi bagian penting dari kehidupan
keseharian masyarakat ( ruang public,jalan dan lainnya ).
2. Keputusan-keputusan desain harus lebih banyak ditentukan oleh masyarakat sendiri,daripada oleh intervensi konsep-konsep
baru yang berasal dari luar.
3. Para humanis melihat bahwa perubahan-perubahan dimasa dating hendaknya tidak berbeda jauh dengan keadaan yang ada
pada saat ini.
4. Perubahan-perubahan boleh terjadi pada elemen-elemen non primer secara incremental ( bekembang secara perlahan )
5. Perubahan perubahan terjadi secara incremental dan bukan menyeluruh yang dituntun oleh suatu master plan.
Perencanaan untuk konservasi lingkungan perkotaan (urban conservation) akan berhasil bila memperhatikan 3 (tiga) aspek
yang saling berhubungan yaitu aspek fisik, spasial dan sosial (Orbasli, 2000). Dibandingkan dengan dimensi fisik dan spasial,
Orbasli menjelaskan bahwa dimensi sosial dalam konservasi kawasan perkotaan merupakan hal yang sulit untuk didefinisikan
namun sebenarnya sangat penting, karena kontinuitas dalam konservasi hanya dapat dicapai melalui kelanjutan kehidupan
perkotaan. Dimensi sosial ini juga disebutkan sebagai bagian dari konsep keberlanjutan (sustainability), yang terintegrasi dengan
dimensi sosial, lingkungan, dan ekonomi (Rodwell, 2003). Orbasli (2000) menyatakan bahwa aspek sosial terkait dengan dimensi
manusia yaitu para pengguna kawasan yang merupakan masyarakat lokal dan penduduk perkotaan. Manusia, sebagai aktor, harus
diperhitungkan dalam pelestarian kawasan perkotaan karena berperan penting dalam mendukung keberhasilan atau gagalnya
upaya pelestarian tersebut. Dimensi manusia Konsep keberlanjutan (sustainability) itu sendiri mulai disandingkan bersama dengan
konsep pusaka (heritage) oleh Inggris Heritage pada tahun 1997, di mana pemahamannya justru mengacu pada “people” yaitu
sebagai penghubung masa lalu dan masa depan (Stubbs, 2004).
Beberapa ahli berargumen bahwa sense of place timbul akibat adanya sense of belonging (Hawke, 2011) atau social
insideness karena adanya familiarity dengan lansekap dan masyarakat di tempat tersebut (Relph, 1976). Karena itu, mereka
meyakini bahwa pihak-pihak yang mampu memiliki sense of place di sebuah tempat adalah mereka yang telah menetap lama di
tempat tersebut karena sense of place terkait dengan durasi menetap di sebuah tempat. Dalam tulisan Ching et.al. (2013) yang
memaparkan sebuah pilot program tentang partisipasi masyarakat (pemilik dan penyewa bangunan)

2.4.2 Aspek Sosial


Aspek sosial dapat diartikan sebagai penginterpretasian terhadap situasi atau pertimbangan berdasarkan sudut pandang
masyarakat. Aspek sosial adalah suatu tindakan sosial yang digunakan untuk menghadapi masalah sosial. Masalah sosial ini
timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya.
1. Manusia Sebagai Pelaku Sosial
Dalam buku Pengelolaan Lingkungan Sosial (2005), sebagai makhluk sosial, manusia tidak pernah bisa hidup seorang
diri. Di mana pun dan bila mana pun, manusia senantiasa memerlukan kerja sama dengan orang lain. Manusia membentuk
pengelompokan sosial di antara sesama dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan.
Dalam kehidupan bersamanya, manusia memerlukan pula adanya organisasi, yaitu jaringan interaksi sosial antar
sesama untuk menjamin ketertiban sosial. Interaksi-interaksi itulah yang kemudian melahirkan sesuatu yang dinamakan
lingkungan hidup, seperti keluarga inti, keluarga luas, atau kelompok masyarakat. Lingkungan hidup itu sebagai tempat
berlangsungnya bermacam-macam interaksi sosial antara anggota atau kelompok masyarakat beserta pranatanya dengan
simbol dan nilai serta norma yang sudah mapan.Manusia memerlukan lingkungan sosial yang serasi untuk kelangsungan
hidup.

2. Ciri-Ciri Manusia Sebagai Makhluk sosial


Ciri-ciri manusia sebagai makhluk sosial adalah adanya suatu bentuk interaksi sosial dalam hubungannya dengan
makhluk sosial lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga hal yakni :
a. Tekanan emosional. Ini sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain.
b. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi manusia yang direndahkan maka akan memiliki
hasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain.
c. Isolasi sosial. Orang yang terisolasi harus melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar
terbentuk sebuah interaksi yang harmonis

2.4.3 Krisis Desain Kota Ruang Publik


Krisis perkotaan dapat berupa menurunnya kualitas solidaritas-integrasi sosial dan desain kota. Kerusuhan dan kejahatan
massa (mass crime) atau perilaku kolektif yang destruktif (destructive collective action) adalah salah satu bentuk krisis karena
lemahnya kualitas kontrol sosial dan rendahnya solidaritas-integrasi sosial. Sedangkan krisis dalam desain kota, dalam Urban
Life Manifesto (1987) dalam Purwanto (2004), berupa :
1. Buruknya kondisi kehidupan
2. Hilangnya kontrol warga kota terhadap perkembangan kota
3. Privatisasi yang tinggi sehingga menghilangkan kehidupan publik
4. Fragmentasi sentrifugal
5. Hilangnya makna ruang-ruang kota
6. Ketidakadilan
7. Profesionalisme yang tidak berakar pada kehidupan dan kebutuhan kota.
Privatisasi ruang publik yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia kerap kali menimbulkan permasalahan sosial yang
sangat kompleks. Meskipun privatisasi ruang publik berbasis pada faktor ekonomi, namun permasalahan yang ditimbulkannya
lebih banyak berdimensi sosial seperti misalnya konflik pemanfaatan ruang. Pengertian sederhana dari Ruang publik atau yang
sering dikenal dengan public space, merupakan sebuah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat luas dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Ruang publik atau ruang terbuka yang dapat diakses oleh masyarakat tanpa mengeluarkan biaya
(Radjawali,2004).

2.4.4 Kota Sebagai Tempat Aktivitas


Sebagai sebuah konsep, “kehidupan antar bangunan” mencakup semua hal yang sangat berbeda bagi aktivitas yang
dilakukan orang ketika mereka menggunakan ruang kota bersama: tujuan-jalan penuh dari satu tempat ke tempat.
Aktivitas adalah setiap gerakan tubuh yang berasal dari hasil kerja otot rangka dan meningkatkan pengeluaran tenaga
serta energi. Aktivitas ini mencakup segala hal yang dilakukan untuk mengisi waktu sehari-hari. Berdasarkan WHO aktivitas
fisik terbagi menjadi 3, yaitu ringan, sedang, dan berat
1. Aktivitas ringan merupakan hal yang dilakukan mempunyai hubungan dengan menggerakkan tubuh.
2. Aktivitas sedang merupakan suatu pergerakan tubuh yang mengeluarkan tenaga cukup besar.
3. Aktvitas ini merupakan pergerakan tubuh yang memerlukan pengeluaran energi banyak yang membuat nafas lebih cepat.

Di suatu kota ruang jelas muncul keragaman dalam beraktivitas berdasarkan kebutuhan dan lingkungannya. Keragaman
aktivitas yang ada di ruang publik tersebut terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Necessary Activity
Kegiatan ini merupakan hal yang diperlukan dengan tujuan yaitu, kegiatan tersebut umumnya harus dilakukan atau memiliki
kewajiban: pergi kerja atau sekolah. Kegiatan ini berlangsung di bawah semua kondisi dan bersifat kebutuhan.
2. Optional Activity
Sebagian besar aktivitas di ruang kota yang paling menarik dan populer termasuk dalam kelompok kegiatan opsional ini.
Kegiatan ini bersifat pilihan. Kegiatan ini dapat dilakukan apabila kondisi lingkungan sekitar saling mendukung, baik secara
fisik maupun alami. Contoh dari aktivitas ini adalah berjalan-jalan menghirup udara segar
3. Social Activity
Kegiatan sosial mencakup semua jenis komunikasi antar manusia dalam ruang kota dan membutuhkan kehadiran orang lain.
Kegiatan ini terjadi baik secara kebutuhan atau pilihan yang kehadirannya memenuhi ruang publik. Contohnya adalah
pertemuan kebetulan dan obrolan ringan di kios, di bangku, dan dimana pun apabila terdapat orang.

2.4.5 Kota Sebagai Tempat Berkumpul Masyarakat


Seiring bertumbuhnya teknologi informasi dan telekomunikasi, eksistensi dari ruang publik mulai dipertanyakan.
Dapatkah fungsi ruang kota sebagai tempat pertemuan diambil alih oleh teknologi komunikasi seperti pertemuan maya?
Perkembangan kehidupan di kota-kota dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan gambaran yang sama sekali berbeda. Kontak
tidak langsung dan aliran gambar maya yang menggambarkan apa yang telah dialami orang lain di tempat lain adalah sesuatu
yang sangat berbeda dengan pengalaman pertemuan langsung bertatap muka dan dikelilingi oleh elemen urban yang bermacam
macam indahnya.
Pada tahun 2009, setengah dari seluruh unit rumah di Kopenhagen hanya dihuni oleh satu orang. Hal ini menyusutkan
kebutuhan pertemuan maya dan meningkatkan kebutuhan kontak sosial di luar rumah secara langsung. Banyak orang sekarang
menjalani kehidupan yang semakin diprivatisasi dengan tempat tinggal pribadi, mobil pribadi, mesin rumah tangga pribadi dan
kantor pribadi. Dalam situasi ini, dapat dilihat bahwa minat untuk berkontak dengan masyarakat lain secara langsung terus
bertumbuh . Peluang dan kebutuhan baru ini sebagian besar dapat menjelaskan peningkatan dramatis dalam penggunaan ruang
bersama kota yang terbukti di semua kota yang telah bekerja dalam beberapa tahun terakhir dengan menghidupkan kembali ruang
terbuka umum untuk kehidupan kota.

2.4.6 Kota dari Masyarakat untuk Masyarakat


Tidak seperti ruang publik di Venesia, ruang publik yang direkonstruksi di Kopenhagen, Melbourne, dan New York tidak
mewakili konsep ideal tradisional kota setempat. Hal ini dikarenakan kota-kota tersebut adalah kota kontemporer dengan
ekonomi yang solid, dengan perkembangan teknologi yang pesat, berpopulasi besar dan fungsi kota serbaguna. Ruang publik
dari kota-kota tersebut perlu diapresiasi karena perancang mengerti bahwa kota-kota harus dirancang untuk mengundang lalu
lintas pejalan kaki dan kehidupan kota, serta mengakui pentingnya lalu lintas pejalan kaki dan pengendara sepeda untuk
keberlanjutan dan kesehatan di masyarakat. Mereka mengakui pentingnya kehidupan kota sebagai tempat pertemuan yang
menarik, informal dan demokratis bagi penduduk mereka di abad ke-21. Setelah hampir 50 tahun mengabaikan aspek
kesejahteraan manusia, pada awal abad ke-21 ini kita memiliki kebutuhan mendesak dan meningkatnya kesediaan untuk sekali
lagi menciptakan kota bagi manusia dengan cara menyediakan sarana bagi manusia untuk bersosialisasi secara langsung dan
dengan nyaman.

2.4.7 Hubungan antara Public Space dan Public Life


Ruang publik memiliki keterikatan yang sangat erat dengan masyarakatnya. Pada ruang publik, kualitas kota dan tingkat
sosial masyarakat terdapat benang merah yang tidak dapat terpisahkan. Menurut Rustam Hakim (1987), ruang publik merupakan
suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun secara kelompok,
dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan.
Selain sebagai tempat pertemuan, ruang publik juga memiliki peran yang signifikan sebagai katalisator bagi kegiatan
sosial-rekreasi-budaya bagi warga kotanya. Melalui interaksi sosial, terjadi pembelajaran antar sesama manusia dan antar sesama
komunitas yang berlangsung secara terus menerus hingga terjadi kesepahaman bahwa heterogenitas harus diterima dan dijalani
bersama-sama. Hal ini menjadi modal utama dalam transformasi kota menuju nilai-nilai yang baru (Sunaryo et al., 2010).
Sedangkan oleh Carr (1995) dikatakan bahwa ruang publik yang baik memiliki tiga prinsip utama, yaitu tanggap terhadap
kebutuhan pengguna; bersifat demokratis; dan bermakna. Ruang publik sebagai media yang mewadahi terjadinya aktivitas harus
memberikan lingkungan yang kondusif untuk memberikan peluang terjadinya kontak dan komunikasi sosial.Buruknya kualitas
suatu ruang publik dikhawatirkan dapat memunculkan berbagai masalah sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari kurangnya
interaksi dan sosialisasi antar warga.
2.4.8 Unsur yang Diperlukan pada Public Space
1. Kenyamanan (Comfort)
Aspek kenyamanan menjadi kebutuhan utama dalam ruang publik yang dapat menentukan lama waktu yang digunakan
pengguna dalam menggunakan tempat tersebut. Faktor yang mempengaruhi aspek kenyamanan terdiri dari faktor alami
lingkungan, kenyamanan fisik seperti penyediaan fasilitas yang memadai, dan kenyamanan sosial-psikologis seperti suasana
ruang yang tenang dan aman.
2. Relaksasi (Relaxation)
Unsur relaksasi memiliki hubungan yang erat dengan kenyamanan psikologi. Elemen-elemen ekologis seperti tumbuhan,
pepohonan, elemen air dapat menjadi faktor yang membuat pengunjung lebih santai atau rileks.
3. Aktivitas Aktif (Active Engagement)
Merupakan kebutuhan yang melibatkan langsung antara tempat dan pengunjungnya. Bentuk kebutuhan ini berupa interaksi
dengan orang lain yang didukung oleh pengaturan fasilitas tempat tersebut. Keberhasilan suatu ruang publik dapat dilihat dari
kemampuannya mewadahi aktivitas atau interaksi antar anggota masyarakat.
4. Aktivitas Pasif (Passive Engagement)
Merupakan kebutuhan bagi seseorang untuk mengamati lingkungan sekitar. Aktivitas pasif sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya. Hal ini dapat didukung oleh elemen-elemen seperti view yang menarik, fasilitas yang memadai, aktivitas orang
sekitar, dan lainnya.
5. Pengalaman (Discovery)
Merupakan keinginan dalam mencari pengalaman baru untuk menghindari sifat monoton pada ruang publik. Pengalaman
baru ini dapat berupa desain lansekap yang unik, penampilan panorama alami yang menarik, pertunjukan kesenian, kios, dan
lainnya.
2.5 Signage
2.5.1 Definisi Signage
Kata signage berasal dari kata sign. Sign sebagai kata benda memiliki arti yang cukup luas karena memiliki arti yang
berbeda-beda tergantung pada ruang lingkupnya. Beberapa arti sign antara lain, (Rini Suryantini, 2001):
1. Sebuah tampilan publik atau sebuah pesan
2. Sebuah persepsi yang mengindikasikan sesuatu sebagai petunjuk yang terlihat bahwa sesuatu telah terjadi
3. Tingkah laku atau gerakan sebagai bahasa isyarat
Secara umum, signage berarti segala macam bentuk komunikasi yang mengandung sebuah pesan. Sebuah signage tidak
terbatas pada kata-kata 12namun juga termasuk gambar, gerakan, bau, rasa, tekstur, dan suara, atau dengan kata lain segala
macam cara bagaimana sebuah informasi dapat disampaikan atau diekspresikan oleh mahluk hidup.

2.5.2 Tujuan dan Fungsi Signage


Tujuan signage adalah untuk menghadirkan informasi secara konsisten sehingga individu akan belajar untuk melihat pada
beberapa tempat tertentu, untuk mengenalinya dengan mudah dan mengiktinya dengan rasa percaya diri. Signage juga memiliki
beberapa fungsi penting bagi manusia, yaitu diantaranya:
1. Sebagai alat untuk membantu manusia dengan cara mengarahkan, mengidentifikasi ruang atau struktur dan memberi
informasi manusia dalam melakukan kegiatan dalam suatu ruang.
2. Memperkuat kualitas lingkungan secara visual.
3. Melindungi kepentingan umum.

2.5.3 Jenis Signage


Sign mengalami perkembangan dan lima macam dasar dari jenis-jenis tanda dengan kode yang mudah untuk diingat
(Mclendon11). Jenis-jenis tersebut antara lain:
1. Sign Petunjuk dan Informasi
Sign ini biasanya digunakan untuk menuntun audiencenya dengan menginformasikan di mana suatu lokasi berada, juga di
saat kantor-kantor atau toko-toko yang sedang buka atau tutup, dan informasi-informasi lainnya.
2. Sign Untuk Petunjuk Arah
Sign yang termasuk dalam kelompok ini mencakup arah panah yang mampu mengarahkan pemakainya menuju ke suatu
tempat, seperti seperti sebuah ruangan, toko, jalan, atau fasilitas lain
3. Sign Untuk Pengenal
Sign ini dipakai untuk menunjukkan suatu identitas, seperti sebuah kantor, toko, fasilitas, atau sebuah gedung.
4. Sign untuk Larangan dan Peringatan
Sign ini bertujuan untuk menginformaskan mengenai apa yang tidak boleh dikerjakan atau dilarang. Selain itu, Sign ini
juga menginformasikan agar audience berhati-hati. Biasanya, dalam penerapannya dikombinasikan dengan kata-kata atau
dipakai sebagai simbol-simbol.
5. Sign Untuk Pemberitahuan Resmi
Sign ini menunjukkan informasi tentang pemberitahuan resmi agar tidak dikacaukan dengan tanda-tanda petunjuk
(orientation sign).

2.5.4 Syarat Pembuatan Signage


Signage sebagai sarana komunikasi memiliki peran yang penting dalam penyampaian informasi kepada orang lain. Agar
informasi tersebut dapat tersampaikan maka suatu signage memiliki syarat agar keberadaannya dapat berfungsi dengan baik.
1. Visibilitas Signage
Agar dapat dilihat dengan mudah oleh manusia, suatu signage membutuhkan penempatan, penggunaan warna, material,
bentuk, pemasangan, dan peletakan yang baik secara keseluruhan.
2. Mudah Dimengerti
Hal ini bergantung pada isi serta konstruksi kalimat pada signage dapat dimengerti dengan baik atau tidak.
3. Jelas
Agar dapat dibaca secara jelas, suatu signage harus memiliki kemampuan untuk mencolok atau menarik perhatian. Hal ini
bergantung pada format penyampaiannya seperti karakter huruf atau jenis font, warna signage, dan lain sebagainya.

2.5.5 Aspek Desain Signage


Pembuatan sebuah desain perlu memperhatikan bentuk desain yang diinginkan, tentunya agar desain yang diciptakan
terlihat baik, maka aspekaspek pembuatan desain yang perlu diperhatikan adalah, (Rini Suryantini,2001) :
1. Garis (line) adalah unsur dasar untuk membangun bentuk atau kontruksi, desain sebuah garis adalah unsur desain yang
menghubungkan antara satu titik point dengan titik point yang lain sehingga bisa berbentuk gambar garis lengkung (curve)
atau lurus (straight).
2. Bentuk adalah segala hal yang memiliki diameter tinggi dan lebar. Bentuk dasar yang dikenal orang adalah kotak
(rectangle), lingkaran (circle), dan segitiga (triangle). Sementara pada kategori sifatnya, bentuk dapat dikategorikan
menjadi tiga, yaitu, Huruf (Character), Simbol (Symbol), Bentuk Nyata (Form)
3. Tekstur (Texture) adalah tampilan permukaan (corak) dari suatu benda yang dapat dinilai dengan cara dilihat atau diraba.
Pada prakteknya, tekstur sering dikategorikan sebagai corak dari suatu permukaan benda. Material merupakan dasar dalam
menentukan texture yang biasa digunakan untuk outdoor sign. Material yang biasa digunakan untuk outdoor sign yaitu
lembaran metal, steel structural shapes, kayu, exterior grade plywood, acrylic plastic, tembaga, alumunium, batu, concrete,
fiberglass (Follis 46-48).
4. Ruang (Space), merupakan jarak antara suatu bentuk dengan bentuk lainnya yang pada praktek desain dapat dijadikan unsur
untuk memberi efek estetika desain. Pengidentifikasian dalam bentuk fisiknya ruang digolongkan menjadi dua unsur, yaitu
obyek (figure) dan latar belakang (background).
5. Ukuran (Size), adalah unsur lain dalam desain yang mendefinisikan besar kecilnya suatu obyek. Penggunaan unsur ini
seseorang dapat menciptakan kontras dan penekanan (emphasis) pada obyek desain orang lain sehingga orang akan tahu
mana yang akan dilihat atau dibaca terlebih dahulu.
6. Warna juga merupakan faktor yang penting untuk menunjang sebuah tanda. Simbol, logotype, dan warna merupakan tiga
elemen visual yang diperlukan dalam menyusun sebuah simbol. Pemilihan warna yang tepat dapat membuat sebuah simbol
tampak lebih hidup dan lebih menarik untuk diamati, dan memudahkan untuk diingat. Identifikasi warna terhadap
penggunaannya di dalam sign system (Darmaprawira 33-34) :
a. Merah, Warna ini dipakai sebagai tanda larangan dan bahaya.
b. Biru, Warna ini dipakai untuk tanda menyampaikan informasi.
c. Hijau, Warna ini dipakai untuk tanda kadaan gawat darurat, pertolongan pertama, dan perlindungan terhadap kebakaran.
d. Kuning , Warna ini dipakai untuk tanda peringatan atau hati-hati.
e. Hitam, Warna ini dipakai sebagai untuk warna simbol pada tanda yang menggunakan warna merah dan kuning. Selain itu
warna juga dipakai sebagai tanda kewajiban.
f. Putih, Warna ini dipakai untuk semua simbol dalam kelompok tanda-tanda lainnya, atau dapat juga digunakan pada semua
tanda yang telah disebut diatas.
7. Pencahayaan buatan untuk mendukung signage juga perlu pertimbangan. Kebanyakan pencahayaan pada billboard
menggunakan lampu neon maupun neon box, sehingga terlihatjelas dan menarik di malam hari. Appleyard dalam Semardon
(1986: 16) mengatakan bahwa, tidak ada efek yang menarik selain pencahayaan pada malam hari.
2.5.6 Aspek Lingkungan dan Sosial Signage
Untuk menciptakan kualitas visual yang baik di suatu daerah, harus dilakukan penataan elemen elemen visual kota secara
menyeluruh tidak terkecuali signage. Signage yang di letakkan cenderung asal asalan dan tidak sesuai peraturan justru akan
menjadi polusi visual di daerah tersebut. Citra visual sebuah kota sangat terkait dengan terbentuknya identitas sebuah kota.
Setelah mengetahui betapa pentingnya penanda untuk bisnis pada suatu area, kita juga harus memperhatikan hubungannya
dengan kualitas lingkungan fisik. Sign yang di desain dengan bagus, berkontribusi banyak dalam pembentukan karakter dari
fasad bangunan, sembari menghidupkan pemandangan jalan. Dengan nilai tambah untuk mengkomunikasikan informasi tentang
barang dan jasa dari bisnis individu.
Selain dari penempatan signage sebagai elemen visual dari suatu kota, penempatan pada signage juga merupakan hal
yang harus dilakukan dengan tepat. Terdapat berbagai perbedaan sistem pelaksanaan penempatan signage sisi lalu lintas di
berbagai negara yang dipengaruhi oleh aspek sosial kultural dari masing-masing negara. Sebagai contoh dapat dilihat di berbagai
negara seperti Amerika, Eropa, sebagai bangsa dengan mayoritas masyarakatnya beraktivitas dengan dominasi tangan kiri, hal
ini berpengaruh pada tatanan perancangan produk otomotif dan pelaksanaan sistem lalu lintasnya. Jalur lalu lintas yang digunakan
adalah jalur kanan, hingga sisitem signage sisi jalan raya ditempatkan pada sisi kanan jalan raya. Lain halnya dengan kondisi lalu
lintas di Indonesia. Mayoritas masyarakatnya beraktivitas dengan dominan tangan kanan, lebih menerapkan sistem lalu lintas
dengan pengggunaan jalur kiri, hingga penempatan signage sisi diletakkan di sisi kiri jalan raya.
Penempatan signage memiliki berbagai jenis dalam hal dalam pemetaan dan jarak pandang yaitu :
1. Suspended atau ceiling-hung, bagian atas sign menancap di langit-langit dan pemasangannya secara horizontal.
2. Projecting atau flag-mounted, pada bagian sisi sign menancap ke tembok dan pemasangannya secara vertikal.
3. Flush atau flat wall-mounted, dimana bagian belakang sign menempel ke tembok dengan pemasangan secara vertikal.
4. Freestanding atau ground-mounted, dimana bagian bawah sign menancap di lantai dan pemasangannya secara horizontal

2.6 Perabot Jalan (Street Furniture)


2.7 Sirkulasi dan Parkir, serta Linkage System
2.7.1 Sirkulasi
A. Definisi Sirkulasi
Sirkulasi adalah elemen perancangan kota yang secara langsung yang dapat membentuk, mengontrol, dan mengarahkan
pola kegiatan dan perkembangan pada kota. Pada suatu kota elemen sirkulasi menjadi alat paling kuat yang dapat digunakan
untuk menstrukturkan lingkungan perkotaan karena dapat mengarahkan, mengendalikan, dan membentuk pola aktivitas dalam
kota. Sirkulasi turut memberi andil dalam pembentukan karakter suatu daerah, tempat aktivitas, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya, Francis D.K. Ching mengatakan bahwa sirkulasi merupakan tali yang terlihat dan menghubungan
ruang-ruang pada suatu bangunan atau deretan ruang baik yang berada di dalam maupun luar ruangan secara bersama-sama.
Suatu sirkulasi atau kegiatan dapat dilihat pada keberadaan system transportasi dari jalan public, jalur pedestrian, dan tempat-
tempat transit yang saling berhubungan.

B. Tujuan Sirkulasi
Menurut Tofani (2011) dan Yadnya (2012), system sirkulasi memiliki dua tujuan, yaitu:
1. Memiliki maksud tertentu dengan berorientasi ke tempat tujuan dan cendedrung bersifat langsung. Pelaku aktivitas
penggunan system ini mengharapkan perjalanan yang lebih singkat dan cepat dengan jarak seminimal mungkin.
2. Bersifat rekreasi dan tidak memiliki batasan waktu dengan mengutamakan aspek kenyamanan dan kenikmatan.
C. Elemen Sirkulasi
Menurut Francis D.K Ching dalam Form, Space, and Order (1979), elemen sirkulasi dibagi menjadi 5, yaitu:
1. Pencapaian (Approach)
Sirkulasi pencapaian menggunakan jarak pandang sebagai tolak ukur sirkulasi, dan dapat dilihat secara kasat mata oleh
pengguna sirkulasi. Dilihat dari jalur yang dilewati pengguna, elemen pencapaian terbagi menjadi tiga, yaitu:
a) Frontal, atau pencapaian langsung. Pencapaian ini mengarah langsung ke suatu tujuan dengan pengakhiran
pencapaian yang jelas.
b) Oblique, atau pencapaian tidak langsung, memiliki sedikit space berbelok sehingga pengakhiran pencapaian tidak
berhadapan secara langsung. Bangunan akan terlihat secara perspektif karena jalur pencapaian diarahkan beberapa
kali sebelum mencapai tujuan.
c) Spiral, atau memutar. Memiliki jalur pencapaian yang mengelilingi bangunan sehingga mengharuskan pengguna
sirkulasi untuk berputar di sekelilingnya sebelum mencapai tujuan.

2. Jalan Masuk (Entrance)


Merupakan elemen penghubung antar zona luar ke zona dalam dan dapat berupa lubang sederhana, tiang atau balok portal
maupun perbedaan ketinggian. Pintu masuk dikelompokkan menjadi 3 yaitu pintu masuk rata, menjorok keluar, dan
menjorok kedalam.

3. Konfigurasi Jalur (Configuration of the Path)


Terbagi menjadi lima pola yaitu pola sirkulasi linier, pola radial, pola grid, pola network, dan pola radial.

4. Hubungan Jalur-Ruang (Path-Space Relationship)


Jalan dengan ruang-ruang dihubungkan dengan cara seperti berikut:
a) Melewati ruang (pass by spaces), memiliki jalur sirkulasi yang lebih fleksibel dan tetap mempertahankan integritas
setiap ruang. Ruang perantara dapat digunakan sebagai penghubung antara jalur dengan ruang-ruangnya.
b) Menembus ruang (pass through space), memiliki jalur sirkulasi yang menembus sebuah ruang menurut sumbunya,
miring atau sepanjang sisinya. Pengguna sirkulasi ini dibawa melewati ruang dalam pencapaian kesebuah ruang
yang dituju.
c) Menghilang dalam ruang (terminate in a space), memiliki jalur sirkulasi yang diciptakan dari lokasi ruang tujuan
dengan membawa pengunjung dating langsung menuju tempat tujuan.

5. Bentuk Ruang Sirkulasi (Form of the Circulation Space)


Memiliki bentuk yang beragam, disesuaikan dari sekat-sekat antar ruang, kualitas skala, proporsi, pencahayaan, dan
pemandangan. Bentuk ruang sirkulasi terbagi menjadi tiga, yaitu tertutup, terbuka pada satu sisi, dan terbuka pada dua sisi.

D. Pola Ruang Pergerakan


1. Jalan sebagai Pembentuk Citra Kota
Pengertian citra kota didefinisikan sebagai gambaran mental sebuah kota sesuai dengan pandangan rata-rata
masyarakatnya. Kevin Lynch (1961) mengungkapkan bagaimana kita mempersepsikan pencitraan kota melalui elemen-
elemen pembentuk kota dan karakteristik pendukung kota tersebut. Terdapat tiga komponen yang mempengaruhi citra
seseorang terhadap suatu kawasan, antara lain:
a) Identitas
Yang dimaksud adalah ciri khas yang terdapat pada suatu objek berdasarkan keunikannya, dengan adanya
identitas
maka masyarakat dapat memahami bentuk dari visual-visual yang dihasilkan oleh struktur ruang kota.
b) Struktur
Struktur adalah pola spasial yang menghubungkan antara objek dengan pengamat sebagai subjek, pengamat
dengan objek lainnya, maupun antar sesame objek. Adanya pola spasial dapat membantu pengamat sebagai
subjek untuk mengidentifikasi pola-pola perkotaan.
c) Meaning
Merupakan arti objek bagi pengamat baik secara praktis maupun emosional yang dapat memunculkan
persepsi terhadap
bentuk kota.
2. Jalan sebagai Penghubung
Menurut Edmund N. Bacon (1967), penggunaan jalur sirkulasi sebagai lintasan sistem gerak yang simultan harus
mempertimbangkan tiga konsep, yaitu:
a) Hubungan antara massa dan ruang;
b) Kesinambungan pengalaman; dan
c) Kesinambungan yang menyeluruh
Sistem gerak simultan bersifat organik sesuai dengan waktunya dan saling memiliki interaksi antara satu dengan yang
lainnya dengan berpedoman pada pola-pola gerakan dasar suatu kawasan.
Fungsi lain dari jalur sirkulasi yang diutarakan oleh Ronald Wiedenhoeft (1981), adalah:
a) Meningkatkan kualitas lingkungan bagi masyarakatnya
b) Meningkatkan daya tarik ruang disekitarnya
c) Menciptakan rasa kebersamaan antar masyarakat
d) Pembangkit kegiatan dalam suatu kawasan
e) Mendorong timbulnya bentuk lain dari pergerakan selain dengan kendaraan.
Selain berfungsi sebagai penghubung antar suatu daerah, jalur sirkulasi juga menciptakan mobilitas dan interaksi antar
penggunanya yang timbul dari kebutuhan penggunanya.

3. Jalan sebagai Pembentuk Hirarki Ruang


Dalam buku Streets and the Shaping of Towns and Cities, Michael Southworth dan Eran Ben-Joseph (1980)
menjelaskan tentang bentuk jalur sirkulasi yang memiliki ciri khas dan fungsinya masing-masing. Jalur sirkulasi tidak
hanya berfungsi sebagai prasarana transportasi namun juga memiliki nilai sosial bagi penggunanya. Sirkulasi menjadi
wadah untuk menikmati suatu pengalaman ruang, sehingga pengguna dapat mengenang pengalaman ruang yang
berkesan sepanjang perjalanannya. Pada pengalaman ruang tersebut akan tercipta hierarki ruang dengan memiliki irama
yang berlainan.

E. Jenis Sirkulasi
Berdasarkan fungsinya sirkulasi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Sirkulasi Manusia
Sirkulasi manusia dapat berupa pedestrian atau plaza yang membentuk hubungan erat dengan aktivitas kegiatan di
dalam tapak. (Hari,2009). Menurut Hari, hal yang perlu diperhatikan dalam sirkulasi manusia antara lain lebar jalan, pola
lantai, kejelasan orientasi, lampu jalan, dan fasilitas penyeberangan. Sirkulasi manusia memiliki beberapa ciri yakni
kelonggaran damn fleksibel dalam bergerak, berkecepatan rendah, dan sesuai dengan skala manusia.
2. Sirkulasi Kendaraan
Dilihat dari hierarki nya sirkulasi kendaraan terbagi menjadi dua jalur, yaitu jalur distribusi dan jalur akses. Yang
dimaksud dengan jalur distribusi adalah jalur yang digunakan untuk gerak perpindahan lokasi (jalur cepat), sedangkan jalur
akses adalah jalur yang melayani hubungan jalan dengan akses masuk barang.
3. Sirkulasi Barang
Sirkulasi barang umumnya disatukan atau menumpang pada sistem sirkulasi lainnya (Rahmah, 2010). Contoh sirkulasi
barang secara vertikal dan horizontal dapat kita lihat pada lift barang, conveyor belt, jalur troli, dan lainnya.

2.7.2 Parkir
A. Definisi Parkir
Menurut Ditjen Perhubungan Darat (1998), parkir merupakan keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang bersifat
sementara sedangkan berhenti adalah kendaraan tidak bergerak untuk sementara dengan pengemudi tidak meninggalkan
kendaraan. Menurut Wicaksono (1989), parkir merupakan suatu tempat berhentinya kendaraan dalam rentang waktu yang lama
atau hanya sekedar transit saja, bergantung pada kebutuhan atau keadaan serta situasi yang ada. Tempat parkir yang ada pada
kawasan memiliki pengaruh langsung pada lingkungan di sekitarnya, yaitu pada kegiatan komersial wilayah perkotaan dan
mempunyai pengaruh visual pada beberapa daerah perkotaan. Semakin sedikit efek visual yang dihasilkan dari penyediaan
ruang parkir menandakan kesuksesan pada perancangan kota.

B. Jenis Parkir
Berdasarkan cara penempatannya parkir dapat dibedakan menjadi dua jenis fasilitas parkir, yaitu:
a) Di badan jalan (on Street)
Menurut Ditjen Perhubungan Darat (1998), fasilitas parkir pada badan jalan memiliki kesamaan dengan
pengertian kawasan parkir. Parkir yang berada pada badan jalan menggunakan areal pinggir/tepi badan jalan sebagai
fasilitas parkir. Keberadaan fasilitas parkir pada badan jalan dipengaruhi oleh tiga factor, yaitu sudut parkir, lokasi
parkir, dan panjang jalan yang digunakan sebagai area parkir.
b) Di luar badan jalan (off Street)
Fasilitas parkir off street tidak berada pada badan jalan ataupun menempati badan jalan, tetapi berada di area
luar badan jalan yang dibuat khusus seperti pelataran parkir umum maupun bangunan bertingkat khusus parkir.
Lokasi ideal untuk membangun fasilitas parkir off street harus dibangun tidak ter;alu jauh dari lokasi yang ingin
dituju oleh pemarkir, dengan jarak parkir terjauh ke tempat tujuan tidak lebih dari 300-400 meter.
C. Pola Parkir
Menurut Ditjen Perhubungan darat (1996), terdapat tiga pola utama parkir berdasarkan pengaturan posisi kendaraan nya, yaitu:
a) parkir tegak lurus;
b) parkir sudut;
c) parkir paralel

D. Penetapan Fasilitas Parkir


Penetapan lokasi fasilitas parkir untuk umum dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a) rencana umum tata ruang daerah;
b) keselamatan dan kelancaran lalu lintas;
c) kelestarian lingkungan;
d) kemudahan bagi pengguna jasa.

E. Persyaratan Parkir
Dalam penyediaan lahan parkir yang tepat berdasarkan pusat kegiatannya hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) lahan parkir yang berfungsi sebagai fasilitas pelengkap dari pusat kegiatan sebisa mungkin berada dekat dengan
pusat kegiatan yang dilayani;
b) lokasi parkir harus memiliki akses yang mudah dari dan menuju pusat kegiatan tanpa gangguan ataupun memotong
arus lalu lintas jalan utama;
c) lahan parkir harus memiliki hubungan dengan jaringan sirkulasi pedestrian secara langsung; dan
d) lokasi parkir harus mudah terlihat dan dicapai dari jalan terdekat.
2.7.3 Linkage
A. Teori Linkage
Teori Linkage adalah teori yang menekankan pada hubugan dan pergerakan yang terjadi pada bagian kota. Linkage adalah
garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau
distrik yang satu dengan yang lain. Linkage merupakan penghubung berupa organisasi garis yang menghubungkan antar bagian
kota. Menurut Fumihiko Maki dalam bukunya, linkage adalah perekat kota yang menyatukan kegiatan dan menghasilkan
bentuk fisik pada kota. Penghubung ini dibutuhkan untuk membantu berjalannya dinamika kegiatan kota dan membantu
masyarakat di dalamnya agar tidak tersesat. Penghubung tersebut dapat berupa jalan, gang, jalur pedestrian, ruang terbuka
berbentuk linier, maupun bentuk lainnya yang secara fisik menjadi penghubung antar bagian wilayah.

B. Jenis-jenis Linkage
Dalam suatu kawasan, linkage dapat diamati dengan tiga pendekatan, yaitu:
a. Linkage Visual
Linkage visual dapat didefinisikan dengan dua atau lebih fragmen kota yang dihubungkan menjadi satu kesatuan secara
visual. Terdapat dua perbedaan pokok pada linkage visual, yaitu linkage yang menghubungkan dua daerah yang netral dan
linkage yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan salah satu daerah nya. Linkage visual menghasilkan lima
elemen visual berupa garis, koridor, sisi, sumbu, dan irama. Komponen dasar yang dapat membentuk kualitas visual ruang
secara utuh adalah jarak, sosok utama, komposisi, dan orientasi.

b. Linkage Struktural
Linkage struktural adalah hubungan yang menggabungkan dua atau lebih bentuk struktur menjadi satu kesatuan tatanan.
Pada kota linkage struktural berfungsi sebagai stabilisator dan coordinator dalam lingkungannya. Yang menjadi elemen dalam
linkage struktural adalah tambahan, sambungan, dan tembusan. Yang dimaksud dengan penambahan adalah dengan
penambahan yang mengikuti dengan pola yang sudah ada sebelumnya. Elemen sambungan merupakan pola baru yang dapat
menyambung dua kawasan atau lebih dan umumnya memiliki fungsi khusus dalam lingkungan kota. Hampir serupa dengan
elemen tambahan, pada elemen tembusan penambahan dilakukan tidak dengan mengenalkan pola baru melainkan dengan
memanfaatkan pola yang sudah ada dan kemudian disatukan sebagai pola yang menembus dalam kawasan.
c. Linkage Bentuk Kolektif
Terdapat dua perbedaan dalam linkage bentuk kolektif, yaitu bentuk yang berbeda dengan lingkungannya dan bentuk
yang berhubungan dengan lingkungannya. Menurut Fumihiko Maki, terdapat tiga elemen bentuk kolektif, yaitu komposisi,
megaform, dan groupform. Elemen komposisi digunakan untuk merancang objek yang hubungannya cenderung abstrak.
Elemen megaform umumnya kerap digunakan sebagai penghubung struktur-struktur yang linear atau grid dengan hierarki yang
masih dapat berkembang. Elemen groupform biasanya tercipta dari penambahan bentuk dan struktur yang biasanya berdiri
dekat dengan ruang terbuka publik dengan bentuk organis dan biasa digunakan untuk mengekspresikan suatu persamaan
bangunan di dalam kawasannya melalui pola struktur yang saling terikat.

2.8 Pelestarian dan Kawasan Bersejarah


2.8.1 Pengertian Cagar Budaya
• Menurut KBBI, pengertian Cagar Budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya
dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan.
• Menurut UURI No.11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2.8.2 Fungsi dan Manfaat Bangunan Bersejarah


Bangunan bersejarah mempunyai fungsi sosial dan budaya bangunan gedung pelayanan pendidikan, sosial dan budaya.
Ada beberapa fungsi dan manfaat dari bangunan bersejarah tersebut, diantaranya:
1. Objek Pariwisata
Bangunan berarsitektur lama dan menjadi tanda untuk menentukan tahun periode perkembangan arsitektur di Jawa Barat,
dapat dijadikan sumber objek wisata yang dapat menghasilkan devisa bagi daerahnya.
2. Objek Penelitian dari Berbagai Disiplin Ilmu
Bangunan-bangunan yang tersebar di beberapa lingkungan/pelosok kota adalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat
dijadikan objek penelitian bagi perkembangan dari berbagai disiplin ilmu, baik itu untuk ilmu sejarah, bagaimana dan sejak
kapan arsitektur itu berkembang di daerah ini, atau dengan bangunan itu dapat berbicara tentang lingkup sejarah pada masa
itu hingga sekarang. Karena bangunan merupakan tinggalan yang sangat berharga sebagai peninggalan sejarah yang telah
ada.
3. Sumber Devisa yang Dapat Menambah Pendapatan Daerah
Banyaknya tinggalan bangunan bersejarah di daerah tertentu, dapat menjadikan sebagai objek wisata yang menarik para
wisatawan yang pada akhirnya dapat menambah devisa, guna meningkatkan daya tatik para wisatawan, penataan dan
pemeliharaan kembali bangunan-bangunan bersejarah perlu dilestarikan dan dikembangkan, dengan adanya sedikit catatan
mengenai sejarah bangunan tersebut hal ini akan menarik perhatian orang.
4. Pengayoman Budaya Daerah Setempat
Bangunan-bangunan kuno yang ada berarsitektur indah dapat dijadikan aset bagi daerahnya dan menjadikan ciri mandiri dari
kota itu sendiri, sehingga sebuah kota yang penuh dengan bangunan kuno yang terpelihara dengan baik adalah cermin budaya
masyarakatnya yang sekaligus pula menjadi ciri kebanggaan daerah setempat, karena bangunan bersejarah adalah sumber
sejarah yang dapat dan mampu berbicara apa adanya sesuai dengan perjalanan waktu.

2.8.3 Kriteria Cagar Budaya


1. Obyek Bangunan:
• Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih
• Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun
• Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
• Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
2. Lokasi:
• Mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya
• Menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu
3. Ruang Geografis
• Mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan
• Berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun
• Memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun
• Memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas
• Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya
• Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang tidak memenuhi kriteria cagar budaya, tetapi memiliki arti
khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia,dapat diusulkan sebagai Cagar Budaya melalui proses penelitian. Arti khusus
tersebut dapat merupakan simbol pemersatu, kebanggaan, dan jati diri bangsa, atau yang merupakan suatu peristiwa luar biasa
berskala nasional atau dunia.

2.8.4 Pengertian Pelestarian


Menurut UURI No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan
keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
Nia Kurmasih Pontoh (1992:36), mengemukakan bahwa konsep awal pelestarian adalah konservasi, yaitu upaya
melestarikan dan melindungi sekaligus memanfaatkan sumber daya suatu tempat dengan adaptasi terhadap fungsi baru, tanpa
menghilangkan makna kehidupan budaya.

2.8.5 Tujuan dan Manfaat Pelestarian Bangunan Cagar Budaya


Pelestarian Cagar Budaya bertujuan untuk:
1. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia
2. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya
3. Memperkuat kepribadian bangsa
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
5. Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional
Menurut Budihardjo (1997), terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelestarian bangunan dan kawasan
bersejarah diantaranya:
1. Pelestarian memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat untuk kontinuitas, memberi kaitan yang berarti dengan
masa lalu, serta memberi pilihan untuk tinggal dan bekerja di samping lingkungan modern.
2. Pada saat perubahan dan pertumbuhan terjadi secara cepat seperti sekarang, kelestarian lingkungan lama memberi suasana
permanen yang menyegarkan.
3. Pelestarian memberi keamanan psikologis bagi seseorang untuk dapat melihat menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik
sejarah.
4. Kelestarian mewariskan arsitektur, menyediakan catatan historis tentang masa lalu dan melambangkan keterbatasan masa
hidup manusia.
5. Kelestarian lingkungan lama adalah salah satu aset komersial dalam kegiatan wisata internasional.
6. Dengan dilestarikannya warisan yang berharga dalam keadaan baik maka generasi yang akan datang dapat belajar dari
warisan-warisan tersebut dan menghargainya sebagaimana yang dilakukan pendahulunya

2.8.6 Klasifikasi Pelestarian


Menurut Antariksa (2011), terdapat beberapa klasifikasi pelestarian yang telah dicantumkan dalam peraturan pelestarian
bangunan (Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya, PP No.10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-
undang No5 tahun 1992, dan Kepmendikbud No.062/U/1995, No.063/U/1995, dan No.064/U/1995):
1. Preservasi: tindakan atau proses penerapan langkah-langkah dalam mendukung keberadaan bentuk asli, keutuhan material
bangunan/struktur,serta bentuk tanaman yang ada dalam tapak.
2. Rehabilitasi/Renovasi: sebuah proses mengembalikan obyek agar berfimgsi kembali, dengan cam memperbaiki agar sesuai
dengan kebutuhan sekarang,seraya melestarikan bagian-bagian dan wujud-wujud yang menonjol (penting) dinilai dari
aspek sejarah, arsitektur dan budaya.
3. Konservasi: memelihara dan melindungi tempat-tempat yamg indah dan berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai
batas-batas yang wajar. Menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama, agar tidak terlantar.
4. Rekonstruksi: tindakan suatu proses mereproduksi dengan membangun baru semua bentuk serta detil secara tepat, sebuah
bangunan yang telah hancur/hilang, serta tampak pada periode tertentu.
2.8.7 Jenis Kegiatan Pemeliharaan Bangunan
Menurut Fitch (1982) yang dilengkapi dengan pendapat Busono (2009), jenis kegiatan pemeliharaan bangunan serta
tingkat perubahan yang dapat terjadi dalam mempertahankan komponen bangunan dapat digolongkan menjadi 7 tingkatan, yaitu:
1. Pengawetan (preservation), yaitu mempertahankan bangunan seperti adanya saat akan diawetkan yang dilakukan dengan
alat bantu berupa zat pengawet, teknologi dan sebagainya
2. Pemugaran (restoration), yaitu pengembalian warisan budaya ke kondisi awal perkembangan morfologinya
3. Penguatan (consolidation), yaitu usaha mempertahankan bentuk dan bangun warisan budaya dengan menggunakan alat
bantu kebendaan
4. Penataan ulang (reconstritution), yaitu menyelamatkan bangunan yang runtuh melalui penyusunan kembali elemen
bangunan tersebut satu persatu,baik pada era lama maupun era yang baru
5. Pemakaian baru (adaptive re-use), yaitu membangun kembali bangunan lama untuk fungsi baru
6. Pembangunan ulang (reconstruction), yaitu membangun kembali bangunan yang sudah hilang
7. Pembuatan kembaran (replication), yaitu penciptaan yang meniru secara utuh warisan budaya yang masih ada, dengan
konstruksi baru

2.8.8 Tahapan Kegiatan Pelestarian Bangunan


Berdasarkan Piagam Burra, terdapat langkah dalam melakukan rencana konservasi (Conservation Plan), yaitu:
1. Tahap 1: Stating Cultural Significance, merupakan usaha memahami dan menilai makna kultural dari bangunan beserta
nilai tempatnya dengan kriteria penilaian tertentu sebagai contoh nilai keindahan, sejarah dan keilmuan, maupun nilai
demonstratif, hubungan asosiasional, kualitas formal dan estetis

2. Tahap 2: Conservation Policy, merupakan pencarian cara-cara terbaik dalam mempertahankan nilai-nilai tersebut dalam
penggunaannya dan pengembangan di masa yang akan datang (Kerr 1982).
Gambar 2.1.1 Diagram Rencana Konservasi
Sumber: Antariksa. 2011. Beberapa Teori Dalam Pelestarian Bangunan.
DAFTAR PUSTAKA

Arifia, Dina. Teori Tata Guna Lahan (Land Use). https://www.academia.edu/13367793/Teori_Tata_Guna_Lahan_Land_Use_. Diakses pada
8 April 2021.
Aristante, Fiki. 2011. Perancangan Sign System Taman Satwa Taru Jurug.
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/21559/NDYxNTQ=/Perancangan-Sign-System-Taman-Satwa-Taru-Jurug-fiki.pdf. diakses 8 April
2021
Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung : P.T.Alumni.
Carmona, Matthew. Heath, Tim. Oc, Taner. Tiesdell, Steve. 2003. Public Space-Urban Spaces: The Dimension of Urban Design. Burlington
MA: Architectural Press
Puspitasari, Dyah Gayatri; Darmawan, James. 2011. Humaniora Vol.4 No.1. Signage dan Penerapannya: Lingkungan Jalan Raya Tol Bintaro
https://media.neliti.com/media/publications/167423-ID-signage-dan-penerapannya-lingkungan-jala.pdf. Diakses 8 april 2021

Anda mungkin juga menyukai