Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas besar
laporan Kajian Kawasan Studi Kasus (Identifikasi Karakteristik Kawasan Urban) dengan studi kasus Jalan Simpang Ijen dan Jalan Jakarta.
Tersusunnya laporan ini tidak lepas dari bimbingan, diskusi dan juga bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ir. Jenny Ernawati, MSP., Ph.D., selaku Dosen Koordinator Mata Kuliah Azas Desain Urban
2. Ir. Sigmawan Tri Pamungkas, MT., selaku Dosen Penanggung Jawab
3. Subhan Ramdlani, ST., MT., selaku Dosen Penanggung Jawab
Adanya Laporan Tugas Besar ini, kami berharap agar pembaca dapat menambah ilmu dan pengetahuan mengenai Desain Urban. Kami
juga menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, baik dari isi laporan maupun
penyajiannya. Akhir kata, kami mohon maaf dan kami mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun agar laporan ini dapat menjadi
lebih baik lagi.
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kota merupakan pusat terakumulasinya sumber daya manusia, oleh karena itu harus di lengkapi dengan fasilitas yang memadai. Selain
itu daya dukung lingkungan harus tetap diperhatikan (Dahlan,2004). Berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor 4 Tahun 1980, kota memiliki dua
pengertian, yaitu: (1) suatu daerah yang memiliki batas administratif seperti kotamadya dan kota administratif seperti yang telah dituangkan
dalam perundang-undangan, d (2) sebagai lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris. Dari sudut pandang arsitektur
lanskap, menurut Simonds (1983) kota adalah suatu bentukan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat kegiatan manusia dalam mengelola
kepentingan hidupnya, hingga faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, ilmu politik, pengetahuan, dan teknologi mempengaruhi
perubahan lanskap perkotaan juga akan berkontribusi terhadap lingkungan fisik kota.Salah satu metode untuk menganalisis bentuk kota secara
tekstural, adalah melalui interpretasi terhadap artikulasi bentuk kawasan kota.
Dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan di kawasan perkotaan (urban area) peran dan manfaat dari ‘perencanaan kota’ menjadi
hal penting dan menentukan terutama bagi acuan dan arahan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan. Melihat hal tersebut di atas, kondisi
perkembangan ilmu dan profesi ‘perencanaan kota’ pada saat ini sudah mengalami banyak kemajuan. Sejak tahun 1980-an hingga saat ini kita
diperkenalkan suatu pendekatan dalam kegiatan perencanaan kota yang disebut ‘perencanaan kota komprehensif’ (comprehensive urban
planning).
Perencanaan kota merupakan suatu desain dan pengaturan penggunaan ruang yang berfokus pada bentuk fisik, fungsi ekonomi, dan
dampak sosial dari lingkungan perkotaan serta lokasi kegiatan yang berbeda di dalamnya. Sejak ratusan tahun yang lalu, bukti-bukti perencanaan
kota telah ditemukan di banyak reruntuhan kota-kota kuno di dunia. Hal ini membuktikan bahwa perencanaan kota merupakan suatu tatanan
ilmu yang sudah dipelajari oleh nenek moyang kita, meski dalam taraf yang masih sangat rendah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4. Konservasi
Upaya untuk mempertahankan, memelihara, memperbaiki atau merehabilitasi, dan meningkatkan jumlah daya tanah, agar
berdaya guna optimum sesuai dengan pemanfaatan atau fungsinya. Masalah-masalah yang terdapat pada konservasi,ialah :
• Benefisiasi, yaitu mempertahankan serta mempertinggi fungsi, manfaat, atau faedah sumberdaya tertentu.
• Preservasi, yaitu pemeliharaan untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas sumberdaya tertentu sepanjang waktu.
• Restorasi, yaitu pemeliharaan dan perbaikan untuk meningkatkan manfaat serta perkembangan sumber-sumber biotik.
• Reklamasi, yaitu mengubah sumber-sumber yang tidak produktif atau tidak berguna menjadi produktif dan bermanfaat
kembali.
• Efisiensi, yaitu pemanfaatan atau pengeluaran sesuatu sumber yang tidak berlebihan tetapi sesuai dengan keperluan atau
kebutuhan.
2.1.3 Urgensi Tata Guna Lahan
Tanah merupakan bagian penting untuk kelangsungan hidup manusia karena adanya beberapa nilai yang terkandung di
dalamnya, maka dari itu penting untuk dilakukan penataan atas segala jenis aktivitas yang berada di dalamnya. Seperti contoh ,
pengembangan sebuah kawasan yang awal mulanya merupakan kawasan pertanian kemudian menjadi kawasan industri tentu
saja akan membawa dampak yang tidak ringan. Selain dari segi lingkungan, dampak yang kemudian muncul adalah adanya
perubahan jumlah bangkitan di kawasan tersebut, perubahan sosial masyarakatnya, hingga kesenjangan fungsi antara kawasan
industri baru dengan kawasan permukiman penduduk di sekitarnya. Perencanaan tata guna lahan juga diharapkan mampu
meminimalkan besarnya bangkitan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain karena adanya aktivitas-aktivitas yang tidak bisa
dipenuhi dalam satu tempat. Karena itulah dibutuhkan perencanaan tata guna lahan serta tida dapat dipisahkan dengan sistem
transportasi sebab dari adanya suatu guna lahan tertentu sering diikuti oleh adanya bangkitan transportasi di sekitarnya.
Induk dari kebijakan Indonesia dibahas pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33
ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari Pasal tersebut menjelaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat.Keterkaitannya dengan pembangunan yaitu kata
bumi, dapat diartikan sebagai lahan atau tanah yang harus dimanfaatkan secara bijak terutama dalam pembangunan agar dapat
menciptakan kemakmuran rakyat. Dengan direalisasikannya Pasal tersebut dengan dibuatnya Undang-Undang organik yaitu
UUPA serta UU mengenai kebijakan pembangunan yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Negara diberikan kewenangan untuk
mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. perencanaan, penguasaan, dan
penggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah di wilayah Republik Indonesia dengan tujuan agar dapat
dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan tersebut di laksanakan negara dalam kedudukannya
sebagai organisasi kekuasaan seluruh Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa.
Urgensi perencanaan tata guna lahan dapat dilihat pada pokok-pokok sebagai berikut:
1. Jumlah lahan terbatas dan merupakan sumber daya yang hampir tak terbaharui, sedangkan manusia yang memerlukan tanah
jumlahnya terus bertambah. Pertumbuhan penduduk mencapai 2,5% per tahun. Semakin banyak penduduk, semakin nggi pula
angka kebutuhan terhadap perumahan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah harus dapat menyiasati langkah apa yang harus
diambil agar kebutuhan perumahan masyarakat terpenuhi. Sebagai contoh,Pemerintah dapat membangun rumah susun.
2. Meningkatnya pembangunan dan taraf hidup masyarakat dapat meningkatkan persaingan penggunaan lahan sehingga sering
terjadi konflik penggunaan lahan.
3. Penggunaan lahan yang dak sesuai dengan kemampuan nya dapat menyebabkan kerusakan lahan. Pemerintah hendaknya harus
lebih ketat dalam melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan tanah. Pemerintah harus berpikir jauh mengenai dampak positif
dan negatif sebelum lahan tersebut digunakan untuk kegiatan atau pembangunan tertentu.
4. Konversi lahan pertanian dengan tanah subur termasuk sawah irigasi menjadi lahan non-pertanian seper wilayah industri,
perumahan, dan lain-lain perlu ditata karena sulitnya mencari lahan pengganti yang lebih subur atau minimal sama di luar lahan
pertanian yang telah ada.
5. Banyak lahan hutan yang seharusnya digunakan untuk melindungi kelestarian sumber daya air kemudian digarap menjadi lahan
pertanian tanpa memperhatikan asas kesesuaian lahan, sehingga dapat merusak tanahnya sendiri maupun lingkungan pada
umumnya.
6. Pandangan bahwa tanah semata-mata merupakan faktor produksi cenderung mengabaikan pemeliharaan kelestarian tanah.
Padahal, tanah juga mempunyai kemampuan terbatas dalam memberi daya dukung bagi kehidupan manusia.
Model Burgess merupakan suatu model yang diperuntukkan bagi kota yang mengalami migrasi besar-besaran dan
pasar perumahan didominasi oleh sektor privat. Dengan demikian bagi kota yang tingkat migrasinya rendah dan peranan sektor
public sangat besar, maka teori ini menjadi kurang relevan. Teori Konsentris Burgess memiliki beberapa kelemahan antara
lain:
a. Pada kenyataannya gradasi antar zoona tidak terlihat dengan jelas
b. Bentuk CBD kebanyakan memiliki bentuk yang tidak teratur
c. Perkembangan kota cenderung mengikuti rute strategis
d. Homogenitas internal yang tidak sesuai dengan kenyataan
e. Slum area tidak selalu berada di area pusat kota
4. Teori Poros
Teori Poros dicetuskan oleh Babcock pada tahun 1932 sebagai respon akan Teori Konsentris Burgess. Teori ini
mendasarkan penggunaan lahan pada peranan sektor transportasi. Keberadaan jalur transportasi akan menyebabkan distorsi
pada pola konsentris, sehingga daerah yang dilalui oleh jalur transportasi akan memiliki perkembangan fisik yang berbeda
dengan daerah yang tidak dilalui oleh jalur transportasi. Berikut merupakan gambaran model Teori Poros oleh Babcock:
b. Model Terbuka ialah Istilah terbuka yang merupakan suatu ruang atas lahan dalam satu wilayah tertentu tidak terpecah dalam
zona-zona penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka terfokus pada usaha-usaha untuk mencari tempat
yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta.
c. Konsolidasi lahan,Teknik pembenahan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan,
sungai, saluran pembagian/pembuangan air)sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang
dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air. Penatagunaan tanah juga mencakup arti
pemeliharaan. Tanah itu harus dikelola baik-baik menurut cara yang patut dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai
dengan petunjuk dari 33 jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya. Tujuan
Konsolidasi tanah yaitu untuk mencapai pemanfaatan tanah secaraoptimal melalui penambahan efisiensi dan produktifitas
penggunaan tanah.Sedangkan sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah
yang tertib dan teratur. Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN) Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatkan untuk kemakmuran
rakyat. Elemen-elemen terpenting yang harus diperhatikan dalam kosolidasi lahan antara lain:
• Kebijakan pertanahan
• Penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah yang bertujuan untuk kepentingan pembangunan,
meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan SDA
• Melibatkan pastisipasi aktif masyarakat
3. Amplop Bangunan
Amplop bangunan merupakan batas maksimum ruang yang diijinkan untuk dibangun.
Batas maks. Ruang = Luas lantai x Tinggi maks. Bangunan
Dapat disimpulkan bahwa amplop bangunan memberikan gambaran volume ruang bangunan yang dapat
diletakkan pada suatu tapak. Amplop bangunan dibuat berdasarkan kriteria terukur yang terdiri dari:
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan
gedung dengan luas lahan perpetakan atau lahan perencanaan yang dikuasai. Standar KDB di suatu kawasan berbeda
pada masing-masing wilayah. Berikut rumus KDB:
b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
KLB ini merupakan persentase hasil perbandingan antara jumlah seluruh lantai (dari lantai basement, lantai dasar dan
lantai tingkat) dibagi dengan luas lahan yang tersedia. Dengan adanya KLB ini akan membatasi luas lantai yang bisa
dibangun dalam sebuah wilayah. Hal ini nantinya akan menjadi penentu berapa jumlah lantai yang bisa dibangun.
Standar KLB di suatu kawasan berbeda pada masing-masing wilayah. Sedangkan KLB di Kota Malang memiliki
ketentuan sebagai berikut :
• Perumahan Kepadatan Tinggi: 0,60 -1,20
• Perumahan Kepadatan Sedang: 0,50 - 1,20
• Perumahan Kepadatan Rendah: 0,30 - 1,20
• Perdagangan, Komersil, dan Jasa: 1,0 - 3,0
• Perkantoran: 0,40 – 1,20
5. Visual Bangunan
Visual bangunan tergantung pada gaya, skala, bentuk, ukuran dan pola pembangunan, serta beberapa faktor lainnya
berupa pencahayaan dan penghawaan, material, warna dan tekstur.
a. Gaya Arsitektur
Gaya arsitektur adalah ciri khusus yang ada pada suatu kelompok bangunan berdasarkan massa atau letak geografis
tertentu. Gaya ini merupakan sub-kelas dari gaya dalam seni visual dan sebagian besar terkait dengan gaya artistik
kontemporer yang lebih luas. Gaya arsitektur sendiri mencakup berbagai elemen, seperti bentuk, metode konstruksi,
bahan bangunan, dan karakter daerah. Kebanyakan gaya arsitektur mencerminkan adanya perubahan mode,
kepercayaan dan agama, atau munculnya ide, teknologi, dan bahan baku baru yang memungkinkan lahirnya gaya baru.
b. Skala
Skala merupakan perbandingan antara satu bentuk ukuran tak asli dengan dengan bentuk ukuran sebenarnya
berdasarkan tinggi, lebar, maupun panjang. Skala merupakan hal yang penting dalam merancang bentuk dan massa
bangunan. Skala memiliki keterkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi, dan bangunan sekitarnya.
e. Warna
Warna dalam arsitektur digunakan untuk menekankan atau memperjelas karakter suatu objek, memberikan aksen
pada bentuk dan bahannya. Warna adalah atribut yang paling mencolok yang membedakan suatu bentuk terhadap
lingkungannya dan mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.
f. Tekstur
Tekstur adalah keadaan permukaan suatu benda (kasar, halus) , ukuran dan susunan jaringan bagian suatu benda ,
jalinan atau penyatuan bagian bagian sesuatu hingga membentuk suatu material
Guna RTNH secara tidak langsung adalah guna yang baru bisa dialami dalam jangka waktu yang panjang, berikut ialah
guna RTNH secara tidak langsung:
1. Mereduksi kasus serta konflik sosial
2. Menambah produktivitas masyarakat
3. Pelestarian lingkungan
4. Menambah nilai ekonomis lahan di sekitarnya, dan lain sebagainya.
Di suatu kota ruang jelas muncul keragaman dalam beraktivitas berdasarkan kebutuhan dan lingkungannya. Keragaman
aktivitas yang ada di ruang publik tersebut terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Necessary Activity
Kegiatan ini merupakan hal yang diperlukan dengan tujuan yaitu, kegiatan tersebut umumnya harus dilakukan atau memiliki
kewajiban: pergi kerja atau sekolah. Kegiatan ini berlangsung di bawah semua kondisi dan bersifat kebutuhan.
2. Optional Activity
Sebagian besar aktivitas di ruang kota yang paling menarik dan populer termasuk dalam kelompok kegiatan opsional ini.
Kegiatan ini bersifat pilihan. Kegiatan ini dapat dilakukan apabila kondisi lingkungan sekitar saling mendukung, baik secara
fisik maupun alami. Contoh dari aktivitas ini adalah berjalan-jalan menghirup udara segar
3. Social Activity
Kegiatan sosial mencakup semua jenis komunikasi antar manusia dalam ruang kota dan membutuhkan kehadiran orang lain.
Kegiatan ini terjadi baik secara kebutuhan atau pilihan yang kehadirannya memenuhi ruang publik. Contohnya adalah
pertemuan kebetulan dan obrolan ringan di kios, di bangku, dan dimana pun apabila terdapat orang.
B. Tujuan Sirkulasi
Menurut Tofani (2011) dan Yadnya (2012), system sirkulasi memiliki dua tujuan, yaitu:
1. Memiliki maksud tertentu dengan berorientasi ke tempat tujuan dan cendedrung bersifat langsung. Pelaku aktivitas
penggunan system ini mengharapkan perjalanan yang lebih singkat dan cepat dengan jarak seminimal mungkin.
2. Bersifat rekreasi dan tidak memiliki batasan waktu dengan mengutamakan aspek kenyamanan dan kenikmatan.
C. Elemen Sirkulasi
Menurut Francis D.K Ching dalam Form, Space, and Order (1979), elemen sirkulasi dibagi menjadi 5, yaitu:
1. Pencapaian (Approach)
Sirkulasi pencapaian menggunakan jarak pandang sebagai tolak ukur sirkulasi, dan dapat dilihat secara kasat mata oleh
pengguna sirkulasi. Dilihat dari jalur yang dilewati pengguna, elemen pencapaian terbagi menjadi tiga, yaitu:
a) Frontal, atau pencapaian langsung. Pencapaian ini mengarah langsung ke suatu tujuan dengan pengakhiran
pencapaian yang jelas.
b) Oblique, atau pencapaian tidak langsung, memiliki sedikit space berbelok sehingga pengakhiran pencapaian tidak
berhadapan secara langsung. Bangunan akan terlihat secara perspektif karena jalur pencapaian diarahkan beberapa
kali sebelum mencapai tujuan.
c) Spiral, atau memutar. Memiliki jalur pencapaian yang mengelilingi bangunan sehingga mengharuskan pengguna
sirkulasi untuk berputar di sekelilingnya sebelum mencapai tujuan.
E. Jenis Sirkulasi
Berdasarkan fungsinya sirkulasi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Sirkulasi Manusia
Sirkulasi manusia dapat berupa pedestrian atau plaza yang membentuk hubungan erat dengan aktivitas kegiatan di
dalam tapak. (Hari,2009). Menurut Hari, hal yang perlu diperhatikan dalam sirkulasi manusia antara lain lebar jalan, pola
lantai, kejelasan orientasi, lampu jalan, dan fasilitas penyeberangan. Sirkulasi manusia memiliki beberapa ciri yakni
kelonggaran damn fleksibel dalam bergerak, berkecepatan rendah, dan sesuai dengan skala manusia.
2. Sirkulasi Kendaraan
Dilihat dari hierarki nya sirkulasi kendaraan terbagi menjadi dua jalur, yaitu jalur distribusi dan jalur akses. Yang
dimaksud dengan jalur distribusi adalah jalur yang digunakan untuk gerak perpindahan lokasi (jalur cepat), sedangkan jalur
akses adalah jalur yang melayani hubungan jalan dengan akses masuk barang.
3. Sirkulasi Barang
Sirkulasi barang umumnya disatukan atau menumpang pada sistem sirkulasi lainnya (Rahmah, 2010). Contoh sirkulasi
barang secara vertikal dan horizontal dapat kita lihat pada lift barang, conveyor belt, jalur troli, dan lainnya.
2.7.2 Parkir
A. Definisi Parkir
Menurut Ditjen Perhubungan Darat (1998), parkir merupakan keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang bersifat
sementara sedangkan berhenti adalah kendaraan tidak bergerak untuk sementara dengan pengemudi tidak meninggalkan
kendaraan. Menurut Wicaksono (1989), parkir merupakan suatu tempat berhentinya kendaraan dalam rentang waktu yang lama
atau hanya sekedar transit saja, bergantung pada kebutuhan atau keadaan serta situasi yang ada. Tempat parkir yang ada pada
kawasan memiliki pengaruh langsung pada lingkungan di sekitarnya, yaitu pada kegiatan komersial wilayah perkotaan dan
mempunyai pengaruh visual pada beberapa daerah perkotaan. Semakin sedikit efek visual yang dihasilkan dari penyediaan
ruang parkir menandakan kesuksesan pada perancangan kota.
B. Jenis Parkir
Berdasarkan cara penempatannya parkir dapat dibedakan menjadi dua jenis fasilitas parkir, yaitu:
a) Di badan jalan (on Street)
Menurut Ditjen Perhubungan Darat (1998), fasilitas parkir pada badan jalan memiliki kesamaan dengan
pengertian kawasan parkir. Parkir yang berada pada badan jalan menggunakan areal pinggir/tepi badan jalan sebagai
fasilitas parkir. Keberadaan fasilitas parkir pada badan jalan dipengaruhi oleh tiga factor, yaitu sudut parkir, lokasi
parkir, dan panjang jalan yang digunakan sebagai area parkir.
b) Di luar badan jalan (off Street)
Fasilitas parkir off street tidak berada pada badan jalan ataupun menempati badan jalan, tetapi berada di area
luar badan jalan yang dibuat khusus seperti pelataran parkir umum maupun bangunan bertingkat khusus parkir.
Lokasi ideal untuk membangun fasilitas parkir off street harus dibangun tidak ter;alu jauh dari lokasi yang ingin
dituju oleh pemarkir, dengan jarak parkir terjauh ke tempat tujuan tidak lebih dari 300-400 meter.
C. Pola Parkir
Menurut Ditjen Perhubungan darat (1996), terdapat tiga pola utama parkir berdasarkan pengaturan posisi kendaraan nya, yaitu:
a) parkir tegak lurus;
b) parkir sudut;
c) parkir paralel
E. Persyaratan Parkir
Dalam penyediaan lahan parkir yang tepat berdasarkan pusat kegiatannya hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) lahan parkir yang berfungsi sebagai fasilitas pelengkap dari pusat kegiatan sebisa mungkin berada dekat dengan
pusat kegiatan yang dilayani;
b) lokasi parkir harus memiliki akses yang mudah dari dan menuju pusat kegiatan tanpa gangguan ataupun memotong
arus lalu lintas jalan utama;
c) lahan parkir harus memiliki hubungan dengan jaringan sirkulasi pedestrian secara langsung; dan
d) lokasi parkir harus mudah terlihat dan dicapai dari jalan terdekat.
2.7.3 Linkage
A. Teori Linkage
Teori Linkage adalah teori yang menekankan pada hubugan dan pergerakan yang terjadi pada bagian kota. Linkage adalah
garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau
distrik yang satu dengan yang lain. Linkage merupakan penghubung berupa organisasi garis yang menghubungkan antar bagian
kota. Menurut Fumihiko Maki dalam bukunya, linkage adalah perekat kota yang menyatukan kegiatan dan menghasilkan
bentuk fisik pada kota. Penghubung ini dibutuhkan untuk membantu berjalannya dinamika kegiatan kota dan membantu
masyarakat di dalamnya agar tidak tersesat. Penghubung tersebut dapat berupa jalan, gang, jalur pedestrian, ruang terbuka
berbentuk linier, maupun bentuk lainnya yang secara fisik menjadi penghubung antar bagian wilayah.
B. Jenis-jenis Linkage
Dalam suatu kawasan, linkage dapat diamati dengan tiga pendekatan, yaitu:
a. Linkage Visual
Linkage visual dapat didefinisikan dengan dua atau lebih fragmen kota yang dihubungkan menjadi satu kesatuan secara
visual. Terdapat dua perbedaan pokok pada linkage visual, yaitu linkage yang menghubungkan dua daerah yang netral dan
linkage yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan salah satu daerah nya. Linkage visual menghasilkan lima
elemen visual berupa garis, koridor, sisi, sumbu, dan irama. Komponen dasar yang dapat membentuk kualitas visual ruang
secara utuh adalah jarak, sosok utama, komposisi, dan orientasi.
b. Linkage Struktural
Linkage struktural adalah hubungan yang menggabungkan dua atau lebih bentuk struktur menjadi satu kesatuan tatanan.
Pada kota linkage struktural berfungsi sebagai stabilisator dan coordinator dalam lingkungannya. Yang menjadi elemen dalam
linkage struktural adalah tambahan, sambungan, dan tembusan. Yang dimaksud dengan penambahan adalah dengan
penambahan yang mengikuti dengan pola yang sudah ada sebelumnya. Elemen sambungan merupakan pola baru yang dapat
menyambung dua kawasan atau lebih dan umumnya memiliki fungsi khusus dalam lingkungan kota. Hampir serupa dengan
elemen tambahan, pada elemen tembusan penambahan dilakukan tidak dengan mengenalkan pola baru melainkan dengan
memanfaatkan pola yang sudah ada dan kemudian disatukan sebagai pola yang menembus dalam kawasan.
c. Linkage Bentuk Kolektif
Terdapat dua perbedaan dalam linkage bentuk kolektif, yaitu bentuk yang berbeda dengan lingkungannya dan bentuk
yang berhubungan dengan lingkungannya. Menurut Fumihiko Maki, terdapat tiga elemen bentuk kolektif, yaitu komposisi,
megaform, dan groupform. Elemen komposisi digunakan untuk merancang objek yang hubungannya cenderung abstrak.
Elemen megaform umumnya kerap digunakan sebagai penghubung struktur-struktur yang linear atau grid dengan hierarki yang
masih dapat berkembang. Elemen groupform biasanya tercipta dari penambahan bentuk dan struktur yang biasanya berdiri
dekat dengan ruang terbuka publik dengan bentuk organis dan biasa digunakan untuk mengekspresikan suatu persamaan
bangunan di dalam kawasannya melalui pola struktur yang saling terikat.
2. Tahap 2: Conservation Policy, merupakan pencarian cara-cara terbaik dalam mempertahankan nilai-nilai tersebut dalam
penggunaannya dan pengembangan di masa yang akan datang (Kerr 1982).
Gambar 2.1.1 Diagram Rencana Konservasi
Sumber: Antariksa. 2011. Beberapa Teori Dalam Pelestarian Bangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifia, Dina. Teori Tata Guna Lahan (Land Use). https://www.academia.edu/13367793/Teori_Tata_Guna_Lahan_Land_Use_. Diakses pada
8 April 2021.
Aristante, Fiki. 2011. Perancangan Sign System Taman Satwa Taru Jurug.
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/21559/NDYxNTQ=/Perancangan-Sign-System-Taman-Satwa-Taru-Jurug-fiki.pdf. diakses 8 April
2021
Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung : P.T.Alumni.
Carmona, Matthew. Heath, Tim. Oc, Taner. Tiesdell, Steve. 2003. Public Space-Urban Spaces: The Dimension of Urban Design. Burlington
MA: Architectural Press
Puspitasari, Dyah Gayatri; Darmawan, James. 2011. Humaniora Vol.4 No.1. Signage dan Penerapannya: Lingkungan Jalan Raya Tol Bintaro
https://media.neliti.com/media/publications/167423-ID-signage-dan-penerapannya-lingkungan-jala.pdf. Diakses 8 april 2021