Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STRIKTUR


URETRA DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Efi Zuhrortul Karimah, S. Kep
NIM 182311101125

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
1. Anatomi dan Fisiologi Uretra
a. Letak Uretra

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-
buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang
bervariasi.Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian
posterior. Uretraposterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars
membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan
bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30
ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.

Gambar 1. Anatomi Uretra

b. Uretra bagian anterior


Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini dimulai
dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa
tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan
operasi atau reparasi relatif mudah. Uretra anterior adalah bagian yang dibungkus
oleh korpus spongiousum penis. Uretra anterior terdiri atas :
a) Pars bulbosa
b) Pars pendularis
c) Fossa navikulare
d) Meatus uretra eksterna
Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang
berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam
diafragma urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu
kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
c. Uretra bagian posterior
Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi).Uretra yang dikelilingi
kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya adalah uretra
membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar
untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter.Sfingter
ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti pada waku
berkemih. Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis,
sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra membranasea.

d. Definisi Striktur Uretra


a. Pengertian
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit.
Berbeda dengan obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra
merupakan adanya oklus dari dari meatus uretralis karena adanya jaringan yang
fibrotik dengan hipertrofi. Jaringan fibrotik yan tumbuh dengan abnormal akan
menutupi/ mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran urine (urine flow) akan
menurun.  (Prabowo & Pranata, 2014: 144)
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
(Purnomo, 2011: 153). Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat
adanya jaringan parut dan kontriksi.  (Suharyanto & Madjid, 2013: 271)
Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra merupakan
penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen uretra
akibat adanya obstruksi kemudian terbentuk jaringan fibrotik (jaringan parut)
pada daerah uretra.
b. Epidemiologi
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian
dunia tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita,
karena uretra pada wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu
yang melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan
striktur uretra, meskipun hal tersebut jarang terjadi.

Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu
yang cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan
retensi urin. Penyebab utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%)
dan trauma (33%). Salah satu manipulasi uretra adalah pemasangan kateter
Folley.

Kateterisasi urin merupakan salah satu tindakan yang membantu eliminasi


urin maupun ketidakmampuan melakukan urinasi. Prosedur pemasangan kateter
uretra merupakan tindakan invasif. Pasien akan dipasangkan sejenis alat yang
disebut kateter Dower pada muara uretra. Dalam melakukan prosedur ini
diperlukan keprofesionalan. Banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri,
dan tidak nyaman pada saat dilakukan kataterisasi uretra. Hasil studi dari
Mushhab, 2006 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara lama waktu
terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada pasien yang terpasang kateter
uretra.
c. Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a) Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase,
sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan
dengan anomalia sakuran kemih yang lain.
b) Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen,
infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur
sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada
daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik
dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih progresif daripada striktur
akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan adanya hematuria gross.
c) Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat
daripada striktur traumatic.
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau
iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau infeksi,
keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan gejala
sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi
berisiko tinggi. Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi
transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia.
Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra,
sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan hipospadia) adalah 45,5%
dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda dari 45 tahun penyebab utama
adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur panggul. Pada pasien yang lebih
tua dari 45 tahun penyebab utama adalah reseksi transurethraldan idiopathy.
Penyebab utama penyakit penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi
uretra anterior, sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur
uretra posterior.
Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura uretra
pada wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40 tahun dengan
sindroma sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi. Diagnosis striktur
uretra dibuat dengan bougie aboul’e, tanda khas dari pemeriksaan bougie aboul’e
adalah pada waktu dilepas terdapat flik/hambatan. Pengobatan dari striktura uretra
pada wanita dengan dilatasi, kalo gagal dengan otis uretrotomi.

d. Derajat penyempitan Uretra


Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga
tingkatan:
a) Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.
b) Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra.
c) Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Pada
penyempitan derajat berat kadangkala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

Gambar 2. Derajat Striktur Uretra

e. Patofisiologi
Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun jika
banyak dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan terjadinya refluks dan
jika berlangsung kronis kemungkinan menimbulkan hidronephrosis. Selain itu,
stagnansi urine yang lama menimbulkan sedimentasi sehingga kemungkinan akan
terjadi urolithiasis. Hal yang paling kompleks dari dampak striktur adalah
terjadinya gagal ginjal. Hal ini dikarenakan refluks pada ginjal akan memperberat
kerja ginjal untuk melakukan fungsinya.
Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu pula
dengan akumulasi urine yang semakin bertambah dengan adanya striktur. Urine
yang bersifat asam/ basa akan berusaha mencari jalan baru sebgai saluran dengan
meningkatkan iritabilitas pada mukosa jaringan sekitar dan terbentukla fistel.
(Prabowo & Pranata, 2014: 147-149)
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra
menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang
terhambat tersumbat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal
striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi
menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula
uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga
disebut sebagai fistula seruling.  (Purnomo, 2011: 144)
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat
trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatriks
pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran
urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di
tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga
periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah
membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu banyak dijumpai fistula
sehingga disebut sebagai fistula seruling.
Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan
salah jalan ( false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan
strikture dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada
pemakaian kateter menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada
perbatasan uretra bulbo-pendulare yang mengakibatkan penekanan uretra terus
menerus, menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang pada akhirnya
menimbulkan fistula atau strikur uretra.
f. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran kemih
lainnya, misalnya BPH. Namun ada beberapa yang khas dari klien striktur uretra,
yaitu pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/
obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine
low dan obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine terpecah,
sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua. Gejala yang lain dari striktur
uretra antara lain:
a) Frekuensi
Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan
frekuensi untuk berkemih pada klien striktur uretra dikarenakan tidak tuntasnya
klien untuk mengosongkan vesika, sehingga masih terdapat residu urine dalam
vesika. Hal inilah yang kemudian mendorong m.detrusor untuk berespon
mengosongkan vesika.
b) Urgensi
Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika
tidak berkemih. Akumulasi yang kronis pada klien striktur uretra adalah
mengakibatkan iritabilitas vesika urinaria meningkat. Hal ini akan merangsang
persarafan yang mengontrol eliminasi uri untuk mengosongkan melalui efek
kontraksi pada bladder. Dengan demikian keinginan untuk miksi akan terjadi
terus-menurus pada striktur uretra.
c) Disuria
Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien striktur
urtra akan mengalami iritabilitas mukosa, baik pada uretra maupun pada vesika
urinaria. Hal ini dikarenakan akumulasi urine yang melebihi kapasitas bladder dan
sifat pH dari urine yang cenderung asam/ basa akan melukai mukosa saluran
kemih. Selain itu, relaksasi vesika yang melebihi dari kemampuan otot vesika
akan menimbulkan inflamasi dan nyeri.
d) Inkontenensia urine
Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa awam :
ngompol ) kejadian ini pada klien striktur uretra dipicu oleh iritabilitas sayaraf
perkemihan sehingga kemampuan untuk mengatur regulasi miksi menurun.
e) Urine menetes
Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada meatus
uretralis, sehingga pancara urine melemah dan pengosongan tidak bisa spontan.
f) Penis membengkak
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan menyebabkan
resistensi kapiler jaringan sekitar meningkat dengan gejala inflamasi yang
jelas, sehingga penis akan membengkak.
g) Infiltrat
Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan baik dan
terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan infeksi pada striktur
akan terjadi mengingat urine merupakan media untuk pertumbuhan kuman yang
baik. Jika hal ini terjadi, inflamasi jaringan striktu akan menjadi abses dan
infiltrasi akan terjadi pula.
h) Abses
Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan obstruksi
striktur.
i) Fistel
Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis untuk
mencari jalan keluar. Oleh karena itu, iritabilitas jaringan sekitar akan terus terjadi
untuk membuat saluran baru, sehingga kemungkinan akan terbentuk fistel sebagai
jalan keluar urine baru.
j) Retensio urine
Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine, sehingga
urine tidak akan keluar sedikit pun dan terakumulasi pada vesika urinaria.
k) Kencing bercabang
Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/
obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine
low dan obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine terpecah,
sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua. (Prabowo & Pranata, 2014:
146)
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
b) Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
2) Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan
pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal
menandakan ada obstruksi
3) Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan
dan besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan uretrogram adalah
pemeriksaan radiografi ureter dengan bahan kontras uretra. Untuk mengetahui
lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar
sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-
buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur
dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi
4) Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan
kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan
ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli- buli. Apabila dengan kateter
ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
5) Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika diketemukan
adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu
memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.
h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra
adalah dengan menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non
farmakologis.
1) Terapi Farmakologis
a) Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan
periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis
bougie. Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai
dengan kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari
logam, mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit
melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan
terbuat dari bahan yang lebih lunak.

Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah


pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan
glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan
antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan
dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang
untuk mengisolasi penis.

Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah


bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan
bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut.
Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.

Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau
lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi
dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar
tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada
akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap
dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan
baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan
perdarahan dan bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false
passage). Perkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok
septic dengan tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.

Gambar 3. Dilatasi uretra dengan bougie

Gambar 4. Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan
bougie bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie lurus (G)
dilatasi dengan sebuah bougie bengkok (H-J)
b) Uretrotomi interna

Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong


jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau
elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama
bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga
dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.

Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur
uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang tidak
lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2- 3 hari pasca
tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu selama 1
bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur
hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran
urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.

c) Uretrotomi eksterna

Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian


dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara
ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson;
dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik.

 Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit


jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi.
Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7
hari.

 Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak,
dilakukan pembuatan uretra baru.
d) Uretroplasty

Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm


atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi
Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah
striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan
dengan free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit
preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
2) Penatalaksanaan Non Farmakologis
a) Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.
b) Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter.
c) Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit
menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan
dan memakai kondom.
d) Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi
dan gagal ginjal.
i. Komplikasi
Adapun komplikasi dari Striktur Uretra jika adalah:

a) Trabekulasi, sakulasi dan divertikel

Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka
otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat
kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan
menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase
dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan
divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli
sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah
tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.

b) Residu urine

Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah
keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing.Dalam
keadaan normal residu ini tidak ada.

c) Refluks vesiko ureteral

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-
buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang
meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli
akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.

d) Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal

Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara
tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap
saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi
maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi.
Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan
timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal
dengan segala akibatnya.

e) Infiltrat urine, abses dan fistulas

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine
yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat
urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul
fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.

j. Standar Operasional Prosedure Tur P


a. Pengertian: Reseksi prostat transuretra (TURP) adalah suatu tindakan
pengambilan (pembuangan) jaringan prostat secara endoskopi dengan
menggunakan alat pemotong (cutting loop).
b. Prosedur: Persiapan
1. Petugas
2. Alat-alat

 Cold light fountain standard (lampu endoskopi)


 Kabel cahaya fiber optik
 Pipa air dengan luerlock
 Alat koagulasi dan reseksi listrik
 Working element yang terdiri dari :
- Sheath : No. 24 F atau 27 F
- Obturator : No. 24 F atau 27 F
- Teleskope : Optik 0 atau 30
- Cutting loop : No. 24 F atau 27 F
 Bougie : Roser 25 F, 27 F, dan 29 F
 Desinfeksi klem
 Sarung tangan steril 2 pasang
 Linen set terdiri dari : penutup meja instrumen, sarung kaki 2 buah, doek
besar berlubang, baju dan skort operasi.
c. Pelaksanaan
 Pasang foto-foto pada light box
 Letakkan dalam posisi litotomi setelah pasien dilakukan anestesi regional
 Lakukan desinfeksi dengan povidone jodine didaerah penis scrotum dan
sebagian dari kedua paha dan perut sebatas umbilikus
 Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki dan doek
panjang berlubang untuk bagian perut keatas.
 Dilatasi uretra dengan bougie roser 25 F sampai 29 F
 Masukkan Sheath 24 F atau 27 F dengan obturator lewat uretra sampai
masuk buli-buli
 Lepas Obturator,ganti dengan optik 30 dan cutting loop sesuai dengan
ukuran sheatnya.
 Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu, trabekulasi dan divertikel buli
 Tarik keluar Working element untuk mengevaluasi prostat (panjangnya
prostat yang menutup uretra, leher buli dan verumontanum)
 Selanjutnya lakukan reseksi prostat sambil merawat pendarahan
 Sebaiknya reseksi semua adenoma prostat. Waktu reseksi paling lama 60
menit (bila menggunakan irigan aquades) dan waktu bisa lebih lama bila
menggunakan irigan glisin. Hal ini untuk menghindari terjadinya
Sindroma TUR.
 Segera hentikan operasi apabila terjadi pembukaan sinus untuk
menghindari sindroma TUR.
 Keluarkan Chips prostat dengan menggunakan ellik evakuator sampai
bersih, selanjutnya lakukan perawatan perdarahan.
 Setelah selesai, pasang three way kateter 24 F dan pasang Spoel PZ atau
aquades. Kateter ditraksi selama 24 jam, dan dilepas 7 - 10 hari (pelepasan
kateter dapat dilakukan pada saat kontrol pertama di poliklinik).
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.
pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan
klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi Sachse
dan pengkajian post operasi Sachse.
1. Pengkajian pre operasi Sachse
Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat operasinya,
yang meliputi; a. Pengkajian fokus :
Palpasi :
1. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan
retensi umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra
pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada
klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien,
ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau
meningkat.
2. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat
dapat teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi
retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk
scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
Inspeksi :
a. Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b. Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan
purulent (nanah)
c. Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d. Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal
lainnya pada penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e. Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan
ketidak nyamanan pada saat akan mixi.
b. Pengkajian psikososial :
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu :
menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
2. Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran
diri, takut dan kemampuan seks menurun dan takut akan
kematian. Riwayat psikososial terdiri dari :
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan
muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul karena
ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat
kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien
tentang sakitnya.
a. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien
dalam masyarakat.
b. Pengkajian diagnostik
Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel
urin yaitu sel, eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan
protein.
c. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat,
no. rigester dan diagnosa medis.
d. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah
frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak
lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu
miksi memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.
e. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran
perkemihan, misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang
berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita. Operasi yang
pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat
penyakit DM dan hipertensi.
f. Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga
yang menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang
menderita DM, asma, atau hipertensi.
g. Pola Fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan
tembakau, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan
upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan
diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang
adekuat).
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan
pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan
menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause,
stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya
tidak mengalami gangguan atau masalah.
h. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk
frekuensinya, ragu ragu, jumlah kecil dan tidak lancar menetes –
netes, kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya apakah
mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien
ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi
akibat dari p[enyempitan urethra kedalam rectum.
i. Pola tidur dan istirahat .
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang
berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari
( nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi
lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi
kesulitan tidur.
j. Pola Aktifitas
Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas
penggunaan waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada
perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas
sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih
mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
k. Pola hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota
keluarga, pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien
dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan sebagai mana
seharusnya.
l. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang
dialami atau dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya
muncul kecemasan dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan
klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien
dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa
tidak berdaya.
m. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan
pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir,
isi pikiran, daya ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak
terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
n. Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan
pasangannya, pengetahuannya tantang seksualitas. Perlu dikaji pula
keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah seksual yang
dialami sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan
pola perilaku seksual
o. Pola Mekanisme Koping
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab
stress, mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami.
Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa.
Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.

Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum


Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus,
pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah
kelainan pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku
klien
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan,
nyeri kepala atau trauma pada kepala.
d. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang
bagaimana keadaannya, begitu pula bagaimana otot
mukanya.
e. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau
tidak. Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan
perdarahan. Slera tampak ikterus atau tidak.
f. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing.
Bagaimana bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.
g. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada
obstruksi atau polip, apakah hidung berbau dan adakah
pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada
perdarahan atau ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak.
Adakah pembesaran tonsil.
i. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran
kelenjar limphe.
j. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau
penarikan. Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah
ada suara nafas tambahan seperti ronchi , wheezing atau
egofoni.
l. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana
dengan iktus atau getarannya.
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan
retensi umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra
pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada
klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien,
ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau
meningkat.
n. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat
dapat teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi
retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk
scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa
tidak. Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar
pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah
atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang
bagaimana.
2. Pengkajian post operasi sachse
Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang
meliputi:
a. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu
dengan yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada
klien post operasi Sachse adalah keluhan rasa tidak nyaman,
nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas
insisi pada waktu pembedahan.
Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari
klien sendiri.
b. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
c. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan
nafas atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas ,
irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak.
Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung,
gerakan dada dan perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
d. Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan
darah, suhu tubuh, monitor jantung ( EKG ).
e. Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi,
konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah
flatus apa belum, apakah ada mual dan muntah.
f. Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi.
Bagaimana memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus
dan dibagian mana dipasang serta keadaan disekitar daerah yang
terpasang infus.
g. Sistem eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih
penuh . Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah
ada tanda – tanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis
apa. Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah produksi
urine tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan
kateter. Terapi yang diberikan setelah operasi : Infus yang
terpasang, obat – obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan
irigasi kandung kemih.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain :

1. Diagnosa sebelum operasi


a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy,
inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah
miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.
b. Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing
sekunder terhadap struktur urethra
c. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan,
kurang pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post
operasi
d. Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan ketidak
adekuatan pertahanan primer
2. Diagnosa setelah operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada Sachse.
b. Resiko cedera jatuh berhubungan dengan trauma cedera dari
kerusakan uretra.
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
. Keperawatan

Gangguan Eliminasi NOC


Urin 1. Urinary elimination (0503)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan Perawatan Retensi Urin (0620)
gangguan eliminasi urin klien dapat teratasi dengan kriteria 1. Lakukan penilaian kemih yang
hasil: komprehensif berfokus pada
inkontinensia (misal output urine,
Eliminasi Urin: pola berkemih,fungsi kognitif, dan
Awa Tujuan masalah kencing praeksisten)
No Indikator 2. Gunakan spirit wintergreen di
l 1 2 3 4 5
pispot atau urinal.
1. Pola Eliminasi
3. Masukkan kateter kemih yang
2. Bau Urin
sesuai
3. Jumlah Urin 4. Anjurkan pasien/keluarga untuk
4. Warna Urin mencatat output urin.
5. Kejernihan Urin 5. Memantau asupan dan keluaran.
Keterangan: 6. Memantau tingkat distensi
1. Sangat terganggu kandung kemihdengan palpasi dan
2. Banyak terganggu perkusi
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

Eliminasi Urin:
No Indikator Awal Tujuan
1 2 3 4 5
1. Partikel urin
terlihat
2. Darah terlihat
dalam urin
3. Nyeri saat kencing
4. Rasa terbakar saat
berkemih
5. Retensi urin
Keterangan:
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
Nyeri akut NOC NIC: Manajemen nyeri (1400)
Kontrol nyeri (1605) 1. Lakukan pengkajian nyeri
Tingkat nyeri (2102) secara komprehensif (lokasi,
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) karakteristik, durasi, dan
intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
2. Observasi adanya petunjuk
nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan kriteria hasil: nonverbal nyeri
Indikator Awal 1 2 3 4 5 3. Jelaskan pada pasien terkait
Melaporka nyeri yang dirasakan
n nyeri
berkurang NIC: Terapi relaksasi (6040)
Mengenali 4. Gambarkan rasional dan
nyeri manfaat relaksasi seperti nafas
Mengetahui dalam
penyebab 5. Dorong pasien mengambil
nyeri posisi nyaman
Mencari
bantuan
Keterangan:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
Secara konsisten menunjukkan
Ansietas NOC: Tingkat Kecemasan (1211) NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam, Anxiety Reduction (penurunan
ansietas pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: kecemasan)
1 Gunakan pendekatan yang
Indikator Awa 1 2 3 4 5
menenangkan
l 2 Nyatakan dengan jelas
Menyambaika harapan terhadap pelaku
n rasa takut pasien
Tekanan darah 3 Jelaskan semua prosedur dan
Frekuensi nadi apa yang dirasakan selama
Frekuensi prosedur
pernafasan 4 Temani pasien untuk
memberikan keamanan dan
mengurangi takut
5 Berikan informasi faktual
mengenai diagnosis, tindakan
prognosis
6Dorong keluarga untuk
menemani anak
7 Dengarkan dengan penuh
perhatian
8 Bantu pasien mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
9 Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
10 Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi
Resiko Infeksi area NOC NIC :
pembedahan Kontrol resiko (1902) Infection Control (Kontrol infeksi)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, 1 Bersihkan lingkungan setelah
dipakai pasien lain
tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil:
2 Pertahankan teknik isolasi
3 Batasi pengunjung bila perlu
Indikator Awa 1 2 3 4 5 4 Instruksikan pada pengunjung
l untuk mencuci tangan saat
Bau busuk berkunjung dan setelah
Suhu tubuh berkunjung meninggalkan
Nanah pada pasien
luka 5 Gunakan sabun antimikrobia
Kemampuan untuk cuci tangan
mengidentifika 6 Cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
si faktor risiko
keperawtan
7 Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
8 Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan
alat
Risiko Cedera Jatuh NOC Knowledge: fall prevention NIC Environtmental Management
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan risio
cedera jatuh klien dapat teratasi dengan kriteria hasil: 1. Monitoring dan memanipulasi
dari lingkungan fisik untuk
meningkatkankeamanan. 
Tujuan 2. Identifikasi kebutuhan
No Indikator Awal
1 2 3 4 5 keamanan pasien dari fisik,
1. Benar dalam fungsi kognitif dan
menggunakan kebiasaan perilaku pasien.
peralatan 3. Identifikasi bahaya
keamanan keselamatan pasien di
2. Benar dalam lingkungan (ex: fisik, biologis,
menggunakan kimia).
terali yang 4. Hilangkan risiko dari
tersedia lingkungan jika
memungkinkan.
3. Benar dalam 5. Modifikasi lingkungan untuk
menggunakan meminimalkan resiko dan
pintu keamanan bahaya.
6. Menyediakan alat adaptif (ex:
Alat untuk melangkah dan
4. Penggunaan dari pegangan tangan)
tata cara untukmeningkatkan keamanan
berpindah yang dari lingkungan.
aman 7. Gunakan alat pelindung (mis.
Pegangan samping, pintu
Keterangan:
tertutup, gerbang)
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu untukketerbatasan mobilitas
3. Cukup terganggu fisik.
4. Sedikit terganggu 8. Memberitahu agensi
5. Tidak terganggu pemerintah yang sah untuk
melindungi lingkungan
Tujuan (ex:departemen lingkungan,
No Indikator Awal
1 2 3 4 5
dll).
1. Peningkatan suhu
9. Memberikan pasien nomor
kulit
telepon darurat (ex:
2. Penurunan suhu
departemen kesehatan
kulit
3. Sakit kepala terdekat, polisi,dll).
4. Radang dingin 10. Monitor lingkungan untuk
mengubah status keamanan.
Keterangan:
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi
keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

Discharge Planning
1. Memastikan keamanan bagi pasien setelah
pemulangan
2. Memilih perawatan, bantuan, atau peralatan
khusus yang dibutuhkan
3. Merancang untuk pelayanan rehabilitasi
lanjut atau tindakan lainnya di rumah (misal kunjungan rumah oleh tim
kesehatan)
4. Penunjukkan health care provider yang akan
memonitor status kesehatan pasien
5. Menentukan pemberi bantuan yang akan
bekerja sebagai partner dengan pasien untuk memberikan perawatan dan
bantuan harian di rumah, dan mengajarkan tindakan yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition.


Mosby: Elsevier.

Lumen. Nicolaase, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st


Century. The journal of Uroogy. 2009; Vol 182, Issue 3, Pages 983-7

Riyadi, Mushab E. Hubungan anttara lama waktu terpasang kateter dengan


tingkat kecemasan pada klien yng terpasang kateter uretra di bangsal rawat
inap dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2006.

Mundy, Anthony R. And Andrich, Daniela E. Urethral Strictures. BJU


International. 2010;107,6-26

Tijani KH, Adesnya AA, Ogo CN. The New pattern of Urethral Stricture Disease
in Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J. 2009 Jun;16(2):162-5

Nording L, Liedberg H, Ekman P., et al. Influence of the Nervous System on


Experimentally induced urethral inflammation. Neurosci Lett. 1990 Jul
31;115(2-3):183-8.

Sugandi, Suwandi. Pola Penyakit Striktur Uretra dan Penanganannya di Rumah


Sakit Hasan Sadikin Bandung. MKB2003;Vol.35 No.2

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition.


Mosby: Elsevier.

Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., Gallo, B.M. 2011. Keperawatan Kritis:
Pendekatakan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC

NANDA International . 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC
Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ke 3. Jakarta: CV. Agung Seto.

Putri, Puspa Utami. 2013. Discharge planning pada Klien dengan Urolitiasis Post
Ureterorenoscopy (URS) di Ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP
Persahabatan. UNiversitas Indonesia [diakses online pada 8 Oktober 2017]
lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351454-PR-Puspa%20Utami.pdf

Sjamsuhidrajat R, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta :EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.

Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik.


Jakarta : Salemba Medika.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: CV Sagung


Seto.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai