Anda di halaman 1dari 23

JURNAL

SUMBER DAN KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH


METODE STUDI ISLAM

DOSEN PENGAMPU : ANDRE TIONO, M.Pd.I

Disusun oleh :

ILHAM FAKHROZI

NPM : 2011100431

Kelas : PGMI (I)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
ABSTRAK

Islam merupakan agama yang benar-benar bersumber dari Allah SWT, yang tidak ada keraguan
sedikitpun mengenai kebenaran-Nya. Islam lahir sebagai Agama yang menyempurnakan agama-
agama terdahulu yang sudah banyak dikotori oleh campur tangan pemeluknya sendiri. Islam
mempunyai sumber ajaran utama yaitu al-Qur’an yang mutlak benarnya karena bersumber
langsung dari Allah SWT, yang kedua yaitu Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Di
dalam Islam juga dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang digunakan sebagai
sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemui.
Islam juga mempunyai berbagai karakteristik yang sangat luwes dan toleran, sehingga Islam
menjadi sangat menarik bagi pemeluknya. Islam juga memiliki moralitas yang tangguh dan kuat
yang di dalamnya mencakup aspek-aspek dalam berbagai segi kehidupan. Di dalam Islam juga
dikenal pembaharuan atau modernisitas yang semuanya itu adalah untuk mencapai kekuatan dan
kemajuan Islam.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Maslah

Islam merupakan agama yang benar-benar bersumber dari Allah SWT, yang tidak ada
keraguan sedikitpun mengenai kebenaran-Nya. Islam lahir sebagai Agama yang
menyempurnakan agama-agama terdahulu yang sudah banyak dikotori oleh campur tangan
pemeluknya sendiri. Islam mempunyai sumber ajaran utama yaitu al-Qur’an yang mutlak
benarnya karena bersumber langsung dari Allah SWT, yang kedua yaitu Hadits sebagai sumber
kedua setelah al-Qur’an. Di dalam Islam juga dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad)
yang digunakan sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam al-Qur’an
dan Hadits tidak ditemui. Islam juga mempunyai berbagai karakteristik yang sangat luwes dan
toleran, sehingga Islam menjadi sangat menarik bagi pemeluknya. Islam juga memiliki moralitas
yang tangguh dan kuat yang di dalamnya mencakup aspek-aspek dalam berbagai segi kehidupan.
Di dalam Islam juga dikenal pembaharuan atau modernisitas yang semuanya itu adalah untuk
mencapai kekuatan dan kemajuan Islam.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. SUMBER AJARAN ISLAM, PRIMER DAN SEKUNDER

Menurut Harun Nasution Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan


Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW.1 Secara Istilah adalah
mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan
berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari nabi Muhammad SAW.2 Kemudian
kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alqur’an dan Al-
Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alqur’an dan
Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal
dari Allah SWT.

1. Sumber Ajaran Islam Primer


a. Alqur’an

Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subni Shalih, Alqur’an
berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan
arti ism al-maf’ul, yaitu maqru’ yang dibaca (alqur’an terjemahannya, 1990: 15). Pegertian
ini merujuk pada sifat alqur’an yang difirmankan-Nya dalam alqur’an (Q.S. Alqiyamah
[75]:7-18), dalam ayat tersebut Allah berfirman.

Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan


(membuat kamu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka
ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18).3

Kemudian secara istilah secara lengkap dikemukakan oleh Abd. Al-Wahhab Al-Khallaf.
Menurutnya Al-qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah,
Muhammad bin Abdullah, melalui jibril dengan menggunakan bahasa Arab dan maknanya
yang benar, agar ia menjadiakan hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rosulullah,

1 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm. 24


2 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 65
3 Drs. Atang Abd. Hakim, M.A. dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2000) hlm. 69
menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi
sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Ia
terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat Al-nas,
disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi baik secara lisan
maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan penggantian.4

Fungsi Al-Qur’an tersurat dalam nama-namanya adalah sebagaimana berikut;

1. Al-huda (petunjuk)

Dalam al-qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi alqur’an sebagai


petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, Alqur’an sebagai petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah
berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alqur’an yang berfungsi sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” (Q.S. ai-
Baqarah [2]: 185)

2. Al-furqan (pemisah)

Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan
memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dan salah. Allah
berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi
sebagai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)...” (Q.S. al-Baqarah
[2]: 185).

3. Al-syifa (obat).

Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada
pada dada (mungkin disini yang dimaksud adalah penyakit psikologis). Allah
berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada...” (Q.S. Yunus [10]: 57).

4 Abd. Al-Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala al-Indonesia li al-Da’wah al-
Islamiyah,1972), cet. IX, hlm. 23.
4. Al-mau’izah (nasihat).

Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang yang
bertaqwa. Allah berfirman, “Al-qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan
petunjuk serta pelajaran bagi orang-orangg yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 138) 5

b. Al-Hadis

Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Selain
didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat Alqur’an dan Hadis juga didasarkan
kepada pendapat kesepakatan para sahabat.6 Yakni seluruh sahabat sepakat untuk
menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun
setelah beliau wafat.7

Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-
hadits, seperti al-sunnah, al-khabar, dan al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah
tersebut kebanyakan ulama’ hadis adalah sama dengan terminologi al-hadits meskipun
ulama’ lain ada yang membedakannya.

Menurut ahli bahasa , al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar (beriata), dan al-qarib
(dekat) (lihat Muhammad Ajaj al- Khatib, 1971: 20 dan Endang Soetari Ad, 1984: 1). Hadis
dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat al-Thur (52) ayat 34.
Surat al-Kahfi (18) ayat 6, dan surat al-Dhuha (93) ayat 11.

Kemudian dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi antara ulama’ hadis
dan ulama’ ushul fiqh terjadi berbeda pendapat. Menurut ulama’ hadits, arti hadits adalah :

“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan , taqrir
maupun sifat. (Mahmud al-Thahan, 1985:15)”

Sedangkan ulama’ ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah.

5 Drs. Atang Abd. Hakim, M.A. dan Dr. Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 70-71
6 Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimalah, dan apa-apa yang dilarangnyabagimu tinggalkanlah.
(Q.S. Al-Hasyr, 7); dan kami tidak mengutus seorang rosul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (Q.S. An-Nisa’
64)
7 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 72
“Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW yang berkaitan dengan penetapan
hukum.”

Al-sunnah dalam pengertian etimologi adalah

“Jalan atau cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau jelek. (Nur al-‘ Athar, 1979:
27)”

Posisi dan Fungsi Hadits

Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an.
Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun
hadits. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi (lihat Jalal al-din Abd. Al-Rahman bin Abi Bakr
al-Suyuti, th. 505)

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab
Allah (Al-quran) dan Sunnah Rasul.

Hadits berfungsi merinci danmengiterpretasi ayat-ayat al-qur’anyang mujmal (global) serta


memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia pun
berfungsi mengkhususkan (tahkhshish) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (‘am).
Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafshil versi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga bayan
tafsir. Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-
qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Ahmad bin Hambal.

2. Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder


a. Pengertian Ijtihad

Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya
menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak
disenangi.8

8 Drs. Atang Abd Hakim, M. A dan Dr. Jaih Mubarok, Op. Cit, hlm. 95
Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad ialah

‫ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻟﻴﺔ ﻟﺘﻬﺎ ﺍﺩ ﻤﻦ ﺍﻟﻌﻤﻟﻴﺔ ﺍﻻﺤﻜﺎﻡ ﺍﺴﺘﻨﺑﺎﻂ ﻔﻰ ﻮﺴﻌﻪ ﺍﻟﻔﻗﻴﻪ ﺒﺬﻝ‬

Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum


amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.9

Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’yi dan akal).10

Secara harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang arab telah
mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam
menangani urusan yang dihadapi.11

b. Dasar-dasar Ijtihad

Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an dan al-Sunnah. Diantara ayat al-
Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:

“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat. (Q. S. al-Nisa : 105).

…sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir. (Q. S. al-Rum : 21)

Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits ‘Amr bin al-‘Ash yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda:

‫ﻮﺍﺤﺪ ﺍﺟﺮ ﺍﺨﻄﺄ ﻔﻟﻪ ﺛﻡ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﺤﻜﻡ ﺍﺟﺮﺍﻦ ﺍﺬﺍ ﻔﻟﻪ ﻔﺎﺼﺎﺐ ﻔﺎﺟﺗﻬﺩ ﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﺤﻜﻡ ﺍﺬﺍ‬

9 Ibid, hlm. 97
10 Ibid, hlm. 98
11 Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), hlm. 104
”Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala, akan tetapi jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka
ia mendapatkan satu pahala.” (Muslim, II, t.th: 62).12

c. Syarat-Syarat Mujtahid
1) Mukalaf, karena hanya mukalaf yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya
3) Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah
atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.13

d. Macam-Macam Mujtahid14
1) Mujtahid Mutlak

Yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari al-Qur’an dan
hadits, dan seringkali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan para
imam yang empat.

2) Mujtahid Mazhab

Yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab dan tidak membentuk suatu mazhab
tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat
dengan imamnya.

3) Mujtahid fil Masa’il

Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti
keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu mazhab.

4) Mujtahid Mugaiyyad

Yaitu orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama salaf,
dengan kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dan pendapat-pendapat

12 Op. Cit, hlm. 99


13 Op. Cit, hlm. 101
14 Ramulyo, Mohd. Idris., Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 148-149
yang berbeda beserta riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu, begitu pun mereka
memahami dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti.

e. Hukum Ijtihad

Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu
saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas
hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ’ain.

Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap
dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah.

Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang
tidak atau belum terjadi.

Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah
jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah; atau ijtihad atas
peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9
dan Muhaimin, dkk., 1994: 189)15

15 Op. Cit, hlm. 105


B. SIFAT DASAR AJARAN ISLAM

Konsep dasar ajaran islam adalah seluruh alam semesta diciptakan oleh Allah SWT yang
merupakan Tuhan dan Penguasa Alam Semesta, dan dia pula yangmengcukupinya.
Diciptakannya manusia, dan masing-masing manusia diberi umur tertentu, Allah SWT telah
menentukan kode kehidupan tertentu yang paling bagimanusia, tetapi pada saat yang sama
manusia diberi kebebasan untuk memilih. Apakah akan menerima atau menginkari dasar
kehidupannya sendiri.

Ajaran Islam memiliki sifat khas yang berbeda dengan ajaran agama lainnya yang
menjadikannyamenarik bagi manusia sepanjang umur dan zaman.Sifat Dasar Ajaran Islam
antara lain

1) Kesederhanaan, Rasionalitas, dan Praktis Islam tidak memiliki mitologis, ajarannya


cukup sedehana dan dapat dipahami. Ajaran Islam bersifat rasional yang dapat
dijelaskan oleh logikadan penalaran, islam merangsang pemeluknya mempergunakan
akal serta mendororng pemakaian intelek, sehingga jelaslah bahwa islam merupakan
agama yang praktis dan tidak memprbolehkan manusia berpuas diri dalam kesia-siaan
2) Kesatuan antara Materi dan Rohani Islam mendorong manusia untuk mencapai
kepuasan dalam kehidupan, tidak memisahkan yang material dengan yang moral,
yang dunia dengan yang ukhrowi, dan mengajak manusia agar selalumencurahkan
tenaga untuk mengkontruksikan kehidupan atas dasar moral yang sehat. Dengan
demikian islam menyuruh untuk memadukan antara kehidupan moral dan materi.
Sehingga keduanya saling selaras danmemberi kemamfa’atan, bukan dengan
kehidupan Asketisme(Kepertapaan) maupun dengan idiologi materialistik yang dpat
mengabaikan sisi moral dan spiritual kehidupan.
3) Sebuah Cara Hidup yang Lengkap Islam memberikan tuntunan bagi seluruh aspek
kehidupan baikpribadi dan sosial, moral dan material, ekonomi dan politik, legal
dankultural, serta nasional dan internasional.
4) Keseimbangan antara Pribadi dan Masyarakat Islam menciptakan keserasian dan
keseimbangan anataraindividualisme dan kolektivisme, keduanya mempunyai hak
dan kewajiban sehingga harus ditunaikan secara selaras dan sebaik-baiknya.
5) Universalitas dan Humanisme Islam bersifat menyeluruh dan sangat menjunjung
tinggikemanusiaan, menghendaki perdamaiaan dan persatuan umat.
6) Keajegan dan PerubahanYang dimaksud Keajegan dalam islam bukan berarti kaku,
datar dalam setiap hal. Islam bisa menerima perubahan, keduanya harus dijalankan
secara seimbang, sehingga prinsip islam tetap ada tanpa terganggu oleh perubahan
yang ada.

C. KARAKTER ISLAM : ANTARA NORMATIVITAS DAN HISTORISITAS

Karakter Islam Antara Normativitas Dan Historitas

 Pengertian Normativitas

Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma ajaran, acuan, ketentuan
tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.16
Pada aspek normativitas, studi Islam agaknya masih banyak terbebeni oleh misi keagamaan
yang bersifat memihak sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris
terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang
begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

 Pengertian Historisitas

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadaminta mengatakan sejarah adalah
kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau peristiwa penting
yang benar-benar terjadi.17 Definisi tersebut terlihat menekankan kepada materi peristiwanya
tanpa mengaitka dengan aspek lainnya. Sedangkan dalam pengartian yang lebih
komprehensif suatu peristiwa sejarah perlu juga di lihat siapa yang melakukan peristiwa
tersebut, dimana, kapan, dan mengapa peristiwa tersebut terjadi.

16 W.J.S Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta ; Balai Pustaka, 1991), cet. XII hlm.887.
17 Harun Nasution,Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1979), hlm 56-75.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam
adalah peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang sluruhnya berkaitan
dengan ajaran Islam diantara cakupannya itu ada yang berkaitan dengan sejarah proses
pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan
pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran
yang di capai umat Islam dalam berbagai bidang,seperti dalam bidang pengetauan agama dan
umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi dan
lain sebagainya.

Ketika melakukan studi atau penelitian Islam, perlu lebih dahulu ada kejelasan Islam mana
yang diteliti; Islam pada level mana. Maka penyebutan Islam normatifitas dan Islam
Historisitas adalah salah satu dari penyebutan level tersebut. Istilah yang hampir sama
dengan Islam Normatifitas dan Islam Historisitas adalah Islam sebagai wahyu dan Islam
sebagai produk sejarah.Sebagai wahyu, Islam didefinisikan sebagaimana ditulis sebelumnya
di atas, yakni: Artinya: Wahyu ilahi yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Untuk
kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.Sedangkan Islam Historisitas atau Islam sebagai
produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam yang dipraktikkan kaum muslim di
seluruh penjuru dunia, mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.18

Pengelompokkan Islam normatifitas dan Islam historisitas menurut Nasr Hamid Abu Zaid
mengelompokkan menjadi tiga wilayah (domain).

1. Pertama, wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan
sunnah nabi Muhammad yang otentik.
2. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (Al-
qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap
teks asli Islam,seperti tafsir dan fikih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, sebab
ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu tidak semua terinci,
bahkan sebagian masih bersifat global yang membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Di
samping permasalahan kehidupan selalu berkembang terus, sedangkan secara tegas
permasalahan yang timbul itu belum/tidak disinggung.

18 Achmad slamet blog “normativitas dan historitas dalam metodologi studi islam “
Karena itulah diperbolehkan berijtihad, meski masih harus tetap bersandar kepada
kedua sumber utamanya dan sejauh dapat memenuhi persyaratan
3. Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai
macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks).Contohnya : praktek
sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada. Contohnya lainnya
praktik duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim Indonesia, sementara muslim
di tempat/ negara lain tidak melakukannya.19

Sementara Abdullah Saeed menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi yang
berbeda sebagai berikut :

1. Tingkatan pertama, adalah nilai pokok/dasar/asas, kepercayaan, ideal dan institusi-


institusi.
2. Tingkatan kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar
tersebut dapat dilaksanakan/dipraktekkan.
3. Tingkatan ketiga manifestasi atau pratek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang
berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan
wilayah lain. Perbedaan tejadi karena perbedaan penafsiran dan perbedaan konteks dan
budaya.

19 Wikipedia , “ moralitas dalam islam


D. MORALITAS ISLAM : IBADAH, PENDIDIKAN, ILMU DAN SOSIAL
Moral, diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat. Sementara
moralitas secara lughowi juga berasal dari kata mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti
kebiasaan, adat istiadat. Kata ’bermoral’ mengacu pada bagaimana suatu masyarakat yang
berbudaya berperilaku. Dan kata moralitas juga merupakan sifat latin moralis, mempunyai arti
sama dengan moral hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral dan moralitas memiliki arti yang
sama, maka dalam pengertiannya lebih ditekankan pada penggunaan moralitas, karena
sifatnya yang abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk.20 Senada dengan pengertian tersebut, W. Poespoprodjo
mendefinisikan moralitas sebagai ”kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup tentang baik
buruknya perbuatan manusia.

Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul
terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman. Pengertian Islam
secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga
huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar “selamat” (Salama).

Moralitas islam ditinjau dari berbagai bidang :

a. Dalam Bidang Ibadah

Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT, karena didorong dan
dibangkitkan oleh akidah tauhid.21 Ibadah adalah sebagai upaya mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan mentaati segala perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. Ibadah
ada yang umum ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah
SWT, sedangkan yang khusus adalah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT akan perincian-
perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu.22

20 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, cet.1, (Rajawali Press, Jakarta, 1992), hlm. 8.
21 QS. Adz-Dzariyat:56
22 NasruddinRazak, Dienul Islam, (Bandung: al-ma'arif, 1977) cet. II hlm 44 dan 47.
b. Dalam Bidang Pendidikan

Sejalan dengan bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, Islam juga memiliki ajaran yang
khas dalam pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang,
laki-laki maupun perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat. Seperti yang terkutip di hadist
Rasul. "Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi orang Islam laki-laki dan perempuan. Tuntutlah
ilmu mulai dari buaian hingga keliang lahat".

Di dalam Islam banyak diketahui metode-metode pembelajaran seperti: ceramah, tanya jawab,
diskusi, demontrasi, penugasan, teladan, pembiasaan, karya wisata, cerita, hukuman, nasihat,
dan sebagainya.

c. Dalam Bidang Sosial

Ajaran Islam dalam bidang social adalah yang paling menonnjol karena seluruh bidang ajaran
Islam adalah untuk kesejahteraan manusia. Islam menjunjung tinggi tolong menolong, saling
menasehati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, kerukunan antar tetangga, tenggang
rasa dan kebersamaan. Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata
agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah.23 Islam
ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari aspek kehidupan ritual. Islam
adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi pada Allah SWT.
Muamalah jauh lebih luas dari pada ibadah (dalam arti khusus).

23 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam, (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2004), hal 89.
E. ISLAM DAN WACANA PEMBAHARUAN

Pembaharuan hukum Islam terdiri dari dua kata, yaitu: “pembaharuan” yang berarti
modernisasi, atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu
yang baru, dan “hukum Islam”, yakni kumpulan atau koleksi daya upaya para fukaha dalam
bentuk hasil pemikiran untuk menerapkan syariat berdasarkan kebutuhan masyarakat, dalam
hal ini hukum Islam sama dengan fiqh, bukan syariat.

Pembaharuan yang dimaksud disini adalah pembaharuan yang kata padanannya dalam
bahasa Arab ialah tajdid, bukan bid’ah, ibda’ atau ibtida’. Sebab, meskipun kata-kata ini juga
mengandung makna kebaruan, pembaharuan ataupun pembuatan hal baru, konotasinya negatif
karena secara semantik mengandung arti pembuatan hal baru dalam agama. Secara
kebahasaan sebetulnya kata-kata bid’ah dan tasyrifnya mempunyai arti kreativitas atau daya
cipta. Maka dalam al Quran pun Tuhan disebutkan sebagai al-Badi’, Maha Kreatif atau Maha
berdaya cipta (QS. 2:59 dan 6:101). Dan jika Nabi SAW bersabda agar kita berbudi dengan
mencontoh budi Tuhan, maka kreativitas atau daya cipta adalah hal yang sangat terpuji.
Namun sudah dikatakan, tentu saja yang terpuji itu bukanlah kreativitas atau daya cipta dalam
hal agama itu sendiri, seperti kreativitas dan daya cipta dalam masalah ibadah murni. Maka
sama sekali tidak dapat dibenarkan, misalnya, menambah jumlah rakaat dalam shalat atau
memasukkan sesuatu yang sebenarnya hanya budaya belaka menjadi bagian dari agama
murni. Maka kreativitas atau daya cipta dalam hal keagamaan murni (bukan dalam hal budaya
keagamaan) sama dengan tindakan mengambil wewenang Allah SWT dan Rasul-Nya, yang
menurut sabda Nabi SAW adalah sesat.

Hukum Islam itu hidup dan berkembang dalam pergumulan sejarah dan sosial secara
responsif, adaptif dan dinamis. Karakteristik ini memungkinkannya melakukan reformasi atau
pembaharuan. Jika pembaruan itu dibawa ke dalam konteks hukum Islam, maka yang
dimaksud “pembaruan hukum Islam” adalah “upaya untuk memberikan jawaban-jawaban
ajaran Islam di bidang hukum terhadap kemajuan modern”. Berikut cara kita melakukan
pembaharuan hukum Islam:
a. Pemahaman baru terhadap Kitabullah

Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam ini ,kita dapat melakukannya dengan cara
merekonstruksi atau mengartikan al-qur’an dalam konteks dan jiwanya.pemahaman melalui
konteks berarti mengetahui asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti
memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut.

b. Pemahaman baru terhadap Sunnah

Dilakukan dengan cara mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan Rasulullah dalam
rangka Tasyri’ Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku
manusia biasa sebagai sifat basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan
pegangan wajib apabila dilakukan dalam rangkaTasyri’ Al- Ahkam. Sedangkan yang
dilakukannya sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan Rosulullah SAW
kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan sebagainnya. Disamping itu
sebagaimana aal-Qur’an, Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau
substansi yang terkandung didalamnya.

c. Pendekatan ta’aqquli (rasional)

Ulama’ terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa
adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyakk tidak
terungkap. Oleh karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan
hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih
dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.

d. Penekanan zawajir dan jawabir dalam pidana

Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum
itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan
jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum
dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan didera.
Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga
tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus
ditekakankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang
tertera dalam nash.

e. Masalah ijma”

Pemahaman yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijamak harus dirubah dengan
menerima ijmak sarih,yang terjadi dikalangan sahabat (ijmak sahabat) saja,sebagai mana yang
dikemukakan oleh asy-syafi’i.kemungkinan terjadinya ijmak sahabat sangat
sulit,sedangkanijmak sukuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Disamping itu,ijmak yang
dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya
bukan kepada ijmak itu sendiri,tetapi pada dali yang menjadi sandaranya. Sedangkan ijmak
yang mempunyai sandaran dalil zanni sangat sulit terjadi.

f. Masalik al-‘illat (cara penetapan ilat)

Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi ilat hukum yang biasanya dibicarakan
dalam kaitan dengan kias. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai
dengan ilatnya”. Ini fitempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit yang
benar-benar baru.

g. Masalih mursalah

Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan popular dikalangan
ulama. Dalam hal ini masalih mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini,dapat
ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-qur’an dan sunah.

h. Sadd az-zari’ah

Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram. Pada dasarnya sarana itu
hukumnya mubah,akan tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram,maka
sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.

i. Irtijab akhalf ad-dararain

Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangant tepat dan efektif untuk pemecahan
masalah baru. Umpamanya perang di bulan muharram hukumnya
haram, tetapi karena pihak musuh menyerang,maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah
tersebut,karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama Islam.

j. Keputusan waliyy al-amr

Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa,mulai dari tingkat yang
rendah sampai yang paling tinggi. Segala peraturan Undang-Undangan wajib ditaati selama
tidak bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahakn
hukumnya mubah. Contohnya,pemerintah atas dasar masalih mursalah menetapkan bahwa
penjualan hasil pertanian harus melalui koperasi dengan tujuan agar petani terhindar dari tipu
muslihat lintah darat.

k. Memfiqhkan hukum qat’i

Kebenaran qat’i bersifat absolut. Sedangkan kebenaran fiqh relative.menurut para fukaha,
tidak ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau
demikian halnya,maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada moto: al-
Islam salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa al-
zaman.untk menghadapi masalah ini qat’i diklasifikasikan menjadi:Qat’I fi jami’ al-ahwal dan
Qot’i fi ba’d al-ahwal. Pada qot’I fi al-ahwal tidak berlaku ijtihad,sedangkan pada qot’I fi ba’d
al-ahwal ijtihad dapat diberlakukan.tidak semua hukum qat’I dari segi penerapanya (tatbiq)
berlaku pada semua zaman.24

24 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
persada, 2004), hlm.: 31-34
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada masyarakat


manusia melalui Nabi Muhammad SAW, dimana agama Islam sendiri memiliki pedoman
pokok atau sumber ajaran yang berupa kitab suci yang bernama Al-qur’an. Kemudian apabila
dalam al-qur’an masih belum terperinci maka Sunnah/Al-hadits sebagai pedoman yang
kedua. selanjutnya di dalam Islam juga dikenal adanya Ra’yu atau akal pikiran (ijtihad) yang
digunakan sebagai sumber pendukung untuk mendapatkan hukum bila di dalam al-Qur’an
dan Hadits tidak ditemui.

Karakteristik ajaran Islam merupakan suatu ciri khas dari ajaran yang diajarkan Nabi
Muhammad yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia
dalam berbagai bidang agama, muamalah, yang di dalamnya termasuk ekonomi, sosial,
politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan hidup, dan disiplin ilmu, yang
kesemuanya itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Jadi, Islam memiliki karakteristik
yang universal sehingga mampu menjangkau lapisan masyarakat yang berlainan dan beragam
model dan bentuknya.

Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk. Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi
dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.
Moralitas islam ditinjau dari berbagai bidang, meliputi :

a. Dalam bidang ibadah, ibadah yang sudah ditetapkan oleh Allah ketentuan-ketentuan dan
segalanya, maka sebagai manusia atau penganutnya tidak boleh ikut campur bahkan
mengubahnya.
b. Dalam bidang pendidikan, Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap
orang, laki-laki maupun perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat.
c. Dalam bidang sosial, Islam menjunjung tinggi tolong menolong, saling menasehati
tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, kerukunan antar tetangga, tenggang rasa dan
kebersamaan.

Wacana pembaharuan Islam yang muncul sekarang ini datang karena di dalam tubuh
islam merasa banyaknya persoalan-persoalan umat yang muncul, yang berbeda dan hampir
tidak ditemukan pada masa Rosulullah. Maka bermunculan Organisasi-organisasi Islam yang
saling mengkalim bahwa mereka dapat mengatasi dan menjawab permasalahan-
permasalahan umat yang ada.

Akan tetapi akan lebih baik cara pandang standar harus dirombak dengan cara pandang
pluralis, yang menempatkan kesetaraan dalam kebenaran agama. Sehingga menumbuhkan
adanya mutual trust antar umat beragama sebab, mutual trust akan menghasilkan
demokratisasi dalam kehidupan umat beragama yang pluralistik, apalagi untuk sesama
pemeluk Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok, 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

Ahmad, Hasan, 1984, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, Bandung: Pustaka Bandung

Al-Wahab al-Khallaf, 1972, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Al-Majelis al-‘Ala al-Indonesia li al-
Da’wah al-Islamiyah

Nasution, Harun, jilid 1, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya.

Nata, Abuddin, 1998, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Nata, Abuddin, 2000, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Qodir, Zuly, 2006, Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Pustaka Belajar

Ramulyo, Moh. Idris., 1997, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika

Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia,
(Jakarta:PT. Raja Grafindo persada, 2004)

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam, (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2004)

Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, cet.1, (Rajawali Press, Jakarta, 1992)
NasruddinRazak, Dienul Islam, (Bandung: al-ma'arif, 1977) cet. II
Achmad slamet blog “normativitas dan historitas dalam metodologi studi islam”

W.J.S Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta ; Balai Pustaka, 1991), cet. XII

Anda mungkin juga menyukai