Anda di halaman 1dari 7

Nama : Asyadillah Adrian Althaf

NPM : 203507516031

Matkul : Filsafat dan dasar-dasar logika

Review individu tentang Socrates dan Plato dari buku Deliar Noer, Pemikiran politik di Negeri
Barat.

BAB I

SOCRATES (469-399) DAN PLATO (429-347)

Jika kita telaah pemikiran-pemikiran politik dunia di sebelah barat, maka kita akan
berfokus pada Yunani Kuno, karena memang disanalah pemikiran-pemikiran demikian yang
dimulai secara sadar. Hingga saat ini pemikiran politik dari zaman Yunani kuno masih
berpengaruh disana, bahkan ada perkataan yang menyatakan bahwa tanpa menggali Kembali apa
yang terpikir pada Yunani Kuno, takkan mungkin untuk mengetahui sepenuhnya apa yang ada
dalam pemikiran orang-orang barat saat ini.

Buku yang ada masa kini di dunia barat yang mengenai pemikiran ataupun teori politik
biasanya tak lupa menambahkan referensi tentang teori yang pernah dikemukakan pada zaman
Yunani Kuno. Istilah seperti Platonic Dialogue (Dialog Plato), Platonic dialectic (Dialektika
Plato), Platonic justice (Keadilan Plato), Aristotelian logic (Logika Aristoteles), istilah diatas
sering disebut dalam pembicaraan yang tak menyangkut zaman Plato dan Aristoteles itu sendiri.
Istilah diatas dikemukakan sebagai perbandingan untuk pokok masalah yang menyangkut masa
lain.

Pemikiran-pemikiran politik pada zaman Yunani Kuno tak langsung ada dengan
sendirinya, pemikiran-pemkiran itu didahului oleh pemikiran mengenai alam semesta dan baru
pada akhir dari abad ke-5 sebelum masehi lah perhatian ditumpahkan pada masalah kosmos kecil
atau masalah dunia tempat manusia ini hidup. Pada abad tersebut pemikiran tentang pengetahuan
alam bukan lagi menjadi topik utama melainkan studi tentang manusia.
Pemikiran-pemikiran tersebut muncul dari Yunani kuno karena mereka dapat melepaskan
diri dari cara berpikir yang menaruh kecenderungan untuk menerima apa saja yang ada, tetapi
masyarakat Yunani Kuno mencoba mencari jawaban atas masalah-masalah yang terjadi yang
dapay diterima oleh akal. Orang Yunani Kuno memiliki pandangan bermacam-macam mengenai
masalah-masalah negara dan masyarakatnya.

Yang pertama, negara pada masa Yunani Kuno sering mengalami sifat pemerintahan dari
monarki ke aristokrasi (aristo = pilihan, atas), dari aristokrasi ke tirani, dan dari tirani ke
demokrasi. Pertukaran yang sering terjadi inilah yang menimbulkan perangsang bagi pemikiran
politik, dan pertukaran ini juga memberikan bahan untuk penyelidikan dan perbandingan
mengenai apa itu negara. Yang kedua, menimbulkan perangsang untuk menjawab masalah politik
tadi adalah karena berbicara dan bukan kekerasan senjata yang di utamakan. Karena argumentasi
menimbulkan daya piker dan rasa intiqad (mengkritik) hingga para pihak yang berkaitan harus
memperhatikan alasan yang dikemukakan.

Yang ketiga, apa yang mereka sebut negara mereka samakan dengan masyarakat, dan
sebaliknya masyarakat identik dengan negara. Oleh sebab itu masalah pergaulan bersama adalah
masalah negara dan kelanjutannya masalah pribadi sudah otomatis termasuk masalah negara.
Selanjutnya, cara hidup mereka yang seakan menuntut warganya untuk memperhatikan dan
membicarakan masalah secara bersama. Disatu pihak hal ini dimungkinkan oleh penilaian yang
tinggi terhadap pembahasan, dan dilain pihak terdapat penilaian tinggi terhadap apa yang disebut
leisure. Dan penyebab terakhir adalah kehidupan untuk memperhatikan dan membicarakan
masalah umum itu dan mendapat kemudahan juga. Dan bisa dikatakan juga bahwa mereka hidup
lebih banyak di dalam dan di tengah masyarakat daripada dirumah.

Socrates

Socrates merupakan tokoh utama walaupun bukan yang pertama, di masa Yunani Kuno itu
yang mengarahkan perhatiannya pada masalah-masalah bermasyarakat dan bernegara seperti
Socrates diatas. Socrates lahir disekitar tahun 469 sebelum masehi. Ia mengaku sebagai seseorang
yang tak tahu apa-apa, suatu sikap yang terkenal dari Socrates adalah istilah ironi Socrates. Hal ini
dikarenakan Socrates selalu menanyakan pertanyaan pada tiap orang yang setiap dijawab ia
sambut lagi dengan pertanyaan lebih lanjut sampai orang yang ia tanya kehabisan jawaban dan
merasa ragu atas kebenaran jawabannya dan menjadi kebenaran palsu.
Dengan adanya dialog Socrates, masyarakat Athena tergugah pikirannya. Korban utama
dari dialog Socrates ini adalah golongan sofis, karena golongan sofis ini adalah golongan yang ahli
tentang sesuatu yang kerjanya memberikan pelajaran bagi orang-orang yang memintanya tetapi
dengan memungut bayaran yang mana golongan ini lebih mementingkan bayaran daripada isi
pengetahuan yang sesungguhnya. Golongan sofis mengutamakan ilmu praktis yaitu ilmu yang
mudah dan cepat dipergunakan seperti cara berpidato, mempengaruhi orang banyak dan
sebagainya, lepas dari hal golongan sofis mempengaruhi pendapat umum terutama pada pihak
yang berkuasa, maka Socrates pun sama saja berhadapan dengan penguasa.

Karena dialog Socrates tak memiliki batas, maka bisa termasuk didalamnya hal yang
bersangkutan dengan keyakinan, karena hal ini lah banyak tuduhan yang datang pada Socrates.
Tuduhan ini ditunjukkan pada Socrates karena ada yang mengatakan bahwa Socrates memiliki niat
untuk merusak anak-anak muda di Athena. Akhirnya pada umur ke 70 tahun ia dijatuhi hukuman
mati, meski begitu ia tetap setia dan teguh dalam keyakinannya meskipunada kesempatan untuk
lari dari tahanan, ia tetap tabah menghadapi hukuman mati, karena baginya keyakinan lebih
bernilai daripada mengorbankan keyakinan itu sendiri.

Plato

Socrates tak meninggalkan karya tulisan untuk para murid dan pengikutnya, meski begitu
pendapatnya tak hilang begitu saja karena diteruskan oleh muridnya terutama Plato. Plato
menuliskan pikiran gurunya sehingga masih bisa dibaca hingga sekarang, cara yang digunakan
oleh Plato dalam mengemukakan uraian mengenai suatu masalah sama dengan dialog Socrates.
Menurut plato, peranan Socrates yang dikemukakan karena memang seperti itulah pendirian
Socrates. Dan bagi kita yang mempelajarinya akan sulit untuk kita teliti mana tulisan plato atau
berasal dari gurunya.

Plato berasal dari keluarga aristocrat sekitar tahun 429 SM, seperti diatas ia termasuk orang
yang belajar dari Socrates dan ia berniat untuk masuk bidang politik sebagai karirnya. Tapi karena
kematian sang guru yang menyebabkannya memutuskan hidup sebagai filosof. Dimasa mudanya
plato melihat kemunduran dari Athena, terutama perebutan kepemimpinan Yunani Kuno antara
Athena dan Sparta yang memanas pada peperangan peloponnesos (431-404) yang akhirnya
dimenangkan Sparta. Karena hal itu Plato berusaha memikirkan cara untuk memulihkan Athena
kembali, itulah mengapa tiap pemikirannya diarahkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
manusia secara konkret, karena baginya ilmu dan amal tak dapat dipisahkan.

Setelah itu ia mengembara ke Sisilia dan Itali serta kabarnya juga sampai afrika dan daerah
yang termasuk timur tengah yang dimana ia mendapat banyak pengalaman berharga untuk
pemikirannya, selanjutnya ia mendirikan akademi di Athena yang tak membatasi diri hingga ilmu
pengetahuan tak hanya sekedar pengetahuan belaka. Ia berharap dengan adanya akademi dapat
menjadi tempat pembentuk dan penempa masyarakat yang dapat membawa perubahan bagi
Yunani.

Seiring dengan berdirinya akademi, ia mengeluarkan kitabnya yaitu Politeia (Republik)


yang menjadi kitab pegangan di akademi, Politeia sering diterjemahkan menjadi republik, namun
arti sebenarnya adalah konstitusi dalam pengertian suatu jalan atau cara bagi individu saling
berhubungan sesamanya dalam pergaulan hidup atau masyarakat. Politeia juga Bernama Tentang
Keadilan, karena memang keadilan adalah tema utama dari kitab itu. Keadilan yang dimaksud
berbeda dengan keadilan sekarang, karena keadilan yang ia maksud adalah lebih dekat pada
kejujuran, pada moral, sifat baik manusia dan seumpama itu, selain itu berhubungan pula dengan
kejujuran seseorang mengenai kesanggupan dan bakat dirinya.

Dalam pikiran Plato, Keadilan itu berarti bahwa seseorang itu membatasi dirinya pada kerja
dan tempat dalam hidup yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya, dalam
hubungan bernegara, keadilan yang dimaksud plato adalah keselarasan antara fungsi di satu pihak
dan kecakapan serta kesanggupan dipihak lain, bukan soal hak disini yang menjadi masalah.
Dalam menulis Politeia, Plato lebih mengemukakan peringatan dan suruhan daripada mengadakan
suatu analisis keadaan atau kejadian.

Plato mengemukakan bahwa adanya analogi antara jiwa dan negara, menurut Plato jiwa itu
ada unsur keinginan seperti lapar, dahaga cinta, kemudian ada pula unsur Logos atau akal uang
dengannya manusia dapat belajar mengetahui sesuatu, dan karena mengetahui itu maka manusia
mencintai pula. Diantara kedua unsur tersebut terdapat pula unsur semangat, yang mana unsur ini
memberikan inspirasi pada manusia untuk bertempur yang bukan berdasarkan ambisi atau
keinginan melainkan karena didorong rasa berontak terhadap ketidakdilan.
Dengan begitu ketiga unsur jiwa tersebut membentuk susunan negara, adanya keinginan
memnyebabkan adanya asosiasi, perhubungan dan pergaulan antara manusia yang merupakan
dasar bagi adanya masyarakat atau negara. Manusia tak dapat berdiri sendiri, ia memerlukan
manusia lain, terutama saling memerlukan kerja sama dalam mencukupi kebutuhan jasmani.

Plato memulai pembagian kerja dikalangan masyarakat, walaupun pembagian pekerjaan


itu bukan berdasarkan pada bidang ekonomi ataupun efisiensi kerja, melainkan bersandar pada
panggilan kesadaran diri manusia itu sendiri dalam rangka yang sesuai dengan tujuan hidup.
Konsepsi seperti ini menghendaki pendikikan tertentu serta cara-cara kehidupan sosial yang
tertentu pula, Pendidikan tertentu itu dimaksudkan agar terdapat bimbingan yang tepat untuk
mewujudkan kelas tadi, supaya bakat dan kecakapan jangan terbuang percuma.

Mengenai cara kehidupan sosial, Plato mengemukakan semacam komunisme yang


melarang adanya hak milik serta kehidupan berfamili, menurut Plato adanya milik akan
mengurangi dedikasi seseorang pada kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Kesempatan
bermilik akan menggoda seseorang untuk memperhatikan kepentingan sendiri terlebih dahulu.
Oleh sebab itu, keperluan jasmaniah seseorang, makanan dan pakaian akan dicukupi oleh negara
dan makan pun secara bersama ditempat yang sama dan disediakan bersama pula.

Tetapi komunisme cara plato ini terbatas pada kelas-kelas penguasa dan pembantu
penguasa saja, kelas ketiga yaitu pekerja dibenarkan memiliki famili dan hak milik dan mereka
pula lah yang menghidupi kelas-kelas lain karena tugas mereka memang untuk menyelenggarakan
produksi perekonomian.

Dalam menjelaskan apa sebenarnya pengetahuan itu, Plato memakai perumpamaan orang-
orang yang semenjak kecil terikat dalam goa pada kaki dan kuduknya hingga tak dapat
menggerakkan badan untuk berpaling ketempat lain. Orang ini membelakang pintu goa sehingga
cahaya masuk pun sedikit dan tak pula bersifat langsung, jadi yang ada dihadapan orang itu hanya
dinding saja. Agak jauh dibelakang mereka terdapat seunggun api yang menyala. Yang tampak
hanyalah bayangan dari benda yang ia bawa, yang terdengar hanyalah gema seisi goa. Karena hal
ini yang terjadi bertahun-tahun tanpa tahu kehidupan lain, maka ia menyangka bahwa baik yang
terlihat dan terdengar adalah benda dan suara yang sesungguhnya.
Perumpamaan ini merupakan bukti lagi betapa eratnya hubungan antara ilmu dan amal. Ia
adalah orang yang berpendirian bahwa orang yang berilmu haruslah memberikan dampak bagi
masyarakat, karena itulah menurut plato, orang yang harus mendapat kepercayaan dalam
memimpin negara dan masyarakat itu adalah orang yang sungguh berilmu yaitu para filosof.

Plato memandang kedudukan manusia sebagai sebuah ketentuan yang tak dapat diubah,
walaupun menurut Plato Pendidikan dapat menambah pengetahuan dan membentuk watak
manusia. Namun penambahan pengetahuan dan pembentukan watak itu ada batas ketetapan yaitu
pembagian kelas tadi, terlebih lagi keadilan bagi Plato adalah penuaian tugas dalam rangka
susunan masyarakat untuk tujuan tertentu.

Usaha Plato dalam membentuk kepala negara yang sesuai dengan cita-citanya pun gagal,
dalam perjalannya ke Syracuse di sisilia pada tahun 387, kepala negara Dionysius berusaha untuk
menjual Plato sebagai seorang hamba karena ia merasa jengkel pada Plato karena terus mengecam
dan mencerca apa yang ia anggap sebagai ketidakadilan dan tirani. Dalam perjalannya yang kedua
dan ketiga ke Syracuse pada 368 dan 361 dengan maksud mendidik Dionysius II yang
menggantikan ayahnya, ia tidak mendapat hadil seperti yang ia harapkan seperti apa yang
dituliskan pada buku Politeia dan ia gagal dalam mendidik Dionysius II.

Meski begitu ia tak berhenti begitu saja, maka ia menuliskan apa pikiran yang telah ia
kembangkan yang dihasilkan dari kegagalannya di Syracuse, dalam kitab yang isinya lebih melihat
kenyataan. Dan salah satu kitab yang tuliskan yaitu Kitab Hukum (Nomoi), yang tidak
menempatkan penguasa diatas hukum melainkan sebagai pengemban dan penjaga hukum itu
sendiri. Plato kini melihat hukum sebagai sesuatu yang menangani dari segi hidup, termasuk dari
segi moral sampai adanya peraturan penguburan orang mati. Hukum merupakan suatu cara
Pendidikan pula yang pelaksanaannya lebih tergantung pada kesadaran dan bukan hukuman.,
masyarakat pun bertujuan menciptakan kedamaian berdasarkan harmoni antara pihak yang
berbeda pendapat.

Perbedaan antara Politeia dan Nomoi adalah menurut Nomoi baik penguasa maupun yang
dikuasai semuanya memiliki hak politik dan dalam Politeia hak tersebut tak dipersoalkan yang
dikemukakan adalah tugas dan kewajiban. Menurut Nomoi penguasa pun memiliki hak milik dan
berkeluarga. Komunisme seperti yang dianjurkan plato dihapuskan dan penguasa bukan kelas
tersendiri karena siapapun yang berkuasa bergantung pada pilihan rakyat kemauan rakyat yang
dikemukakan plato bukan sekedar kemauan saja melainkan kemauan yang baik, segi-segi moral
pun tak ia hapuskan ketika ia mencoba melihat kenyataan.

Anda mungkin juga menyukai