Part 1
Calon\Saja Tidak anya
Ketika seorang wanita berumur 30 tahun, hal pertama
yang terpikir oleh sebagian orang adalah wanita bersuami yang
sudah memiliki beberapa anak. Namun, realitas jaman
sekarang tidaklah demikian. Ada beberapa wanita yang masih
betah sendiri dan lebih mendahulukan karier sehingga masalah
asmara malah terlantar. Alhasil pertanyaan, “Kapan menikah?”
Mana pasangannya?” “Anaknya sudah berapa?” dan
berbagai pertanyaan serupa kerap bersahutan di telinga. Entah
dari orang yang serius bertanya atau orang iseng yang
bermaksud untuk mengejeknya.
Salah satunya yang dialami perempuan awal kepala tiga
bernama Kanin Alfareza. Hari itu masih pagi buta ketika suara
pesan masuk mengusik tidurnya. Kanin menyibak selimut yang
menutupi tubuh lantas mengambil ponsel yang ia letakkan di
nakas. Ia mengerjapkan mata, berusaha menumpulkan
kesadaran. Begitu membuka pesan, sebuah foto yang terdiri
dari sepasang suami-istri dan anak laki-laki berumur sekitar
satu tahunan, terpampang di layar ponsel.
Ja mengubah posisi menjadi bersandar di kepala ranjang,
lalu membaca caption foto yang dikirimkan Nadya—teman
SMA-nya dulu—melalui aplikasi whatsapp tersebut. "Bahagia
banget deh, Nin. Raka sekarang sudah bisa makan sendiri, loh.
Kamu kapan mau menyusul punya anak, biar Raka ada. Kalau
bisa perempuan, ya. Siapa tahu bisa dijodohkan kalau sudah
besar nanti, hihihi."
Ja melongo membaca pesan tersebut. Nadya menanyakan
anak darinya, sedangkan ia menikah saja belum. Jangankan
Maya Fadil - 1menikah, calon suami saja belum ada. Huh! Dasar Nadya, pagi-
pagi sudah bikin mood kacau saja, gerutu Kanin. Ia menatap
malas layar ponsel, lalu mengirimkan emotikon ngantuk
sebagai balasan. 'Makanya cari calon, umur sudah banyak loh,
Nin. Satu bulan lagi kamu ulang tahun yang ke 30. Masih
betahkah menjadi jomblo?' tulis Nadya berserta emotikon
tertawa sampai mengeluarkan air mata sebanyak lima.
Kanin hanya membaca pesan itu tanpa membalas. Ia
menguap lebar sebelum beranjak malas-malasan dari tempat
tidur menuju dapur. Usai mencuci muka, ia meminum satu
galas air putih. Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Dari kecil ibu
selalu membiasakan Kanin minum air putih di pagi hari, buat
kesehatan ginjal katanya.
Di Jakarta Kanin tinggal sendiri. Di kos kecil yang ia sewa
seharga 9 juta per tahun. Cukup mahal, tapi tidak apa asal ia
nyaman. Ia asli orang Jogja, tinggal dan besar di sana, tapi
terpaksa merantau ke Ibukota untuk mencari peruntungan.
Cukup beruntung, karena sekarang ia bekerja sebagai
karyawan salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Hanya ada
satu kendala. Di usia yang sudah matang, ia belum juga punya
pasangan. Sebenarnya ia tidak terlalu mempermasalahkan, tapi
kadang orang-orang di sekitarnya yang menyebalkan. Sebut
saja Nadya, sahabat Kanin yang sekarang tinggal di Surabaya
itu senang sekali menggoda. Nadya sering mengirimkan foto
Raka—anaknya yang masih berusia satu tahun itu. Barangkali
Nadya melakukan itu agar Kanin tergoda untuk segera
menikah.
eke
Hampir setiap hari rutinitasnya tidak jauh berbeda.
Bangun tidur, menyelesaikan pekerjaan, lalu pulang. Namun,
kali ini ia agak suntuk plus bingung. Tadi ibu menelepon dan
memberitahu kalau Salsa, adiknya yang empat tahun lebih
muda, baru saja dilamar kekasihnya dan akan melangsungkan
pernikahan. Sebenarnya tidak sulit mendapat restu dari
orangtua, apalagi calon suami Salsa merupakan pengusaha
BukanPerawanTua - 2mebel yang cukup sukses. Setidaknya penghasilannya cukup
untuk membiayai kebutuhan anak dan istri jika kelak menikah.
Namun, masalahnya bukan itu. Bapak dan ibunya masih
menganut paham kolot, dimana mereka ingin Kanin menikah
dulu, baru Salsa. Lalu bagaimana, calon suami saja Kanin tidak
punya, sementara kasihan Salsa dan Ferdi kalau pernikahannya
harus ditunda. Mereka sudah menjalin hubungan selama
hampir lima tahun ini.
“Bagaimana dong, Ran, aku bingung ini?”
Seperti biasa, jika ada masalah, Kanin selalu berkeluh
kesah pada sahabat paling akrab sekaligus rekan kerjanya di
Jakarta, Rani. Saat ini ia dan Rani sedang berada di warung
burjo tempat mereka berdua biasa makan siang.
Usai menelan sepotong lontong. sayur Rani menjawab,
“Lo ngomong sama orang yang tepat. Lo tahu kan keahlian gue
selama ini?"
"Iya, aku ngerti. Biro jodoh ‘kan?"
Rani punya usaha sampingan biro jodoh. Ia
mempromosikan usahanya itu lewat media online. Rani
merupakan seorang yang mudah bergaul dengan siapa saja,
tidak heran ia punya banyak kenalan yang memudahkannya
untuk promosi.
"Yap."
"Ck, enggak ah, Ran. Nanti kayak waktu itu lagi. Enggak
mau, aku trauma."
Kanin bergidik mengingat kejadian enam bulan lalu. Saat
itu ia iseng-iseng ikut biro jodoh tempat Rani sebagai kelinci
percobaan. Memang benar, ia dikenalkan dengan laki-laki dan
cukup tampan. Namun, rupanya laki-laki yang bertemu
dengannya di kafe itu sudah mempunyai istri. Parahnya,
istrinya itu membuntuti suaminya dan menuduh Kanin sebagai
PELAKOR aka perebut suami orang. Ia yang notabenenya
tidak tau apa-apa cuma bisa pasrah dipermalukan di depan
orang banyak.
Rani malah tertawa terbahak-bahak. "Yang waktu itu gue
memang kecolongan, tapi klien gue yang satu ini benar-benar
makyus, Nin. Kebetulan gue sudah lumayan akrab kok.
Maya Fadil - 3Orangnya cukup baik dan ... ganteng. Kalau saja gue belum
punya Tio, sudah gue mendekati sendiri cowok itu."
“Halah, kamu mah ngomongnya memang sok
meyakinkan. Tapi, aku sekarang sudah enggak mudah percaya
sama mulut manismu itu," kata Kanin sambil menyendok
sotonya.
Rani menatap lurus, matanya melotot seakan ucapannya
benar-benar serius. "Bener, Nin, benar! Gue enggak bohong.
Dan, yang lebih menarik lagi—
“Apa?”
"Dia berasal dari Jogja sama kayak lo."
"Terus?"
"Gue enggak mungkin bohong, Nin. Lo sahabat gue, mana
mungkin gue tega menjerumuskan elo."
“Lah, yang waktu itu?"
Rani berdecak. "Gue enggak sengaja, Nin. Habisnya doi
mengakunya singel. Mana gue tau ternyata istrinya segalak jin
tomang."
Mereka kemudian diam, kembali menekuri makanan.
Sampai akhirnya Kanin bertanya,
“Namanya siapa?"
"Hah?" Rani mengerutkan kening. "Yang mana?"
"Klienmu yang sekarang lah, bagaimana, toh?"
"Ohh," Rani mengangguk-angguk. "Namanya Rizal,” lalu
Rani tersenyum.
“Bagaimana?”
Namun, yang ditanya belum merespons. Dalam otaknya
terpikir sesuatu yang mengganjal. Rizal? Sepertinya Kanin
tidak asing dengan nama itu. Tapi ia lupa. "Apa aku kenal sama
si Rizal itu?"
Rani mengangkat bahu. "Mana gue tau. Memangnya gue
cenayang?"
"Kok aku agak takut ya, Ran. Nanti ternyata orang itu
penjahat atau penculik kayak di TV itu bagaimana ?"
Bola mata Rani berputar malas. "Lo polos banget sih, Nin,
astaga! Kan sudah gue bilang dia teman gue. Sangka lo gue
temanan sama penjahat?"
BukanPerawanTua - 4Giliran Kanin yang mengedikkan bahu. “Mana aku tau.”
Rani menunjuk Kanin dengan sendoknya. “Sekarang
intinya lo mau apa enggak?”
“Dia bukan orang jahat, kan?”
“Bukan!””
“Beneran?”
"Iya, Kanin sayang."
"Yakin?"
“TYA!"
Kanin mendesah pasrah, sepertinya tidak ada cara lain.
Tidak ada salahnya mencoba, siapa tau beneran cocok, pikir
Kanin.
ake
Maya Fadil - 5/ Hari minggu jam dua siang ketika Kanin dan Rani berada
di kafe, menunggu Rizal—laki-laki yang akan Rani kenalkan
padanya. Jantung Kanin berdegup cepat, perutnya terasa mulas.
Minuman yang ia pesan beberapa saat lalu belum tersentuh
sama sekali. Rasannya begitu gugup. Ini bukan pertama kali ia
akan bertemu laki-laki yang dijodohkan Rani, dan ia berharap
semoga yang kedua ini benar-benar single, tidak punya kekasih
apalagi istri.
“Santai saja kali enggak usah tegang gitu. Kayak mau
ketemu deppcollector saja," kata Rani.
Kanin melirik tanpa minat ke arah Rani. Rani sedang
sibuk bermain ponsel entah berbalas pesan dengan siapa.
Terserah, Kanin tidak peduli. Namun, ketika Rani mengangkat
tas sambil berdiri, Kanin pun bertanya, "Mau ke mana?"
"Hehehe, kayaknya gue enggak bisa nunggu lo lama-lama
deh, soalnya Tio sudah nunggu gue di rumah."
Kanin menunjukkan raut tidak setuju, "Enak saja, Ran!
Kamu kan yang mau kenalkan aku sama cowok ini. Kenapa
sekarang kamu yang main meninggalkan aku gitu aja. Kalo aku
diculik, bagaimana?"
"Sorry deh, Nin. Soalnya gue lupa kalau kemaren ada janji
sama Tio. Lagipula lo bukan ABG yang ke mana-mana mesti
ditunggui ‘kan? Sudah mau kepala tiga juga masih saja manja.
Lagipula siapa yang mau menculik lo? Dikira dia sindikat
perdagangan manusia apa?"
BukanPerawanTua - 6Perempuan berambut sebahu itu merengut tidak terima.
“Bukannya gitu, tapi aku belum tau kayak mana tampang si
Rizal ini. Kamu juga, kasih tau fotonya saja enggak mau."
“Aduh, Nin, kan sudah gue bilang biar suprise."
"Ck, kalau salah orang, bagaimana?"
"Tenang saja, enggak akan salah orang. Hari ini dia pakai
kemeja pendek warna biru dongker, dan gue juga sudah kasih
tau dia warna baju dan celana yang lo pakai," kata Rani lalu
bergegas pergi sebelum Kanin sempat memprotes lagi.
"Oh ya, dia sudah ontheway ke sini. Palingan sepuluh
menit lagi," teriak Rani sebelum hilang di balik pintu.
Kanin membuang napas. Duduk sendiri sambil menunggu
Jaki-laki yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Andai bisa
memilih, ia juga tidak akan mau seperti ini. Lagipula apa yang
bisa dilakukan perempuan kesepian awal 30-an seperti dirinya
selain menerima tawaran perjodohan dari temannya. Kanin
menopang dagu, mulai bosan menunggu. Sepuluh menit yang
dikatakan Rani, ternyata sampai menit ke-30, laki-laki itu
belum juga menampakkan diri. Entah Rani yang berbohong
atau Rizal yang kurang bertanggungjawab dengan ucapannya.
Ta menyeruput minuman, lalu memainkan game di ponsel
untuk mengusir rasa bosan. Hampir satu jam kemudian,
seorang laki-laki dengan ciri-ciri yang disebutkan Rani datang.
Tempat duduknya yang berada di dekat pintu masuk
memudahkan untuk melihat siapa saja orang yang baru masuk.
Setelah menoleh ke kanan-kiri, laki-laki berkemeja dongker itu
menoleh ke arahnya. Ia mengambil duduk di hadapan Kanin
sambil bertanya, "Kanin?"
Kanin pun mengaguk pelan. Dahinya berkerut kala
mengamati laki-laki itu. Tidak lama kemudian tubuhnya
tersentak pelan. Sesaat ia menahan napas, lalu melotot. Lelaki
itu? Wajah itu, mata itu, semuanya. Ya Tuhan....
ae
Maya Fadil - 7Tiga belas tahun lalu di sebuah SMA.
Namanya Kanindya Alfariza. Ia bersekolah di SMA
Negeri kota Jogjakarta. Saat itu umurnya menginjak 17 tahun,
dan ia diam-diam sedang jatuh cinta. Terdengar klise memang.
Seorang perempuan jatuh cinta dan merahasiakannya. Namun,
mau dirahasiakan bagaimanapun juga, perempuan pasti akan
tetap bercerita dengan sahabat dekatnya.
“Aku jatuh cinta," katanya saat itu pada Nadya, teman
sebangkunya.
"Hah, sama siapa?" tanya Nadya antusias.
Baru pertama ini Kanin membahas soal cinta.
Sebelumnya Kanin tidak pernah peduli saat Nadya membahas
cowok yang ia suka. Kamu Tidak akan percaya sampai kamu
merasakannya sendiri, begitu yang selalu dikatakan Nadya.
Dan benar saja, sekarang Kanin kena batunya.
"Eum," katanya malu-malu. Rasanya mau menyebut nama
saja pipinya sudah memanas.
"Siapa?" tanya Nadya sedikit memaksa.
Kanin mendekatkan bangku, lalu berbisik, "Rizal."
Sejurus kemudian Nadya menutup mulut dengan kedua
tangannya, lalu ikut bersuara lirih, “Maksudmu Mas Rizal anak
kelas dua belas itu?"
Kanin mengaguk malu-malu, lalu tersenyum.
"Ya Allah, Nin. Mbo’ ya kalau punya mimpi itu jangan
tinggi-tinggi, nanti jatuh sakit lo."
"Maksudmu ki opo?"
"Coba kamu pikir lagi. Mas Rizal itu ganteng, populer,
dan juga," Nadya diam sebentar, tampak berpikir. "Oh iya,
menurut gosip yang aku dengar, apa namanya, dia itu playboy,
iya playboy, pokoknya istilahnya tukang ganti-ganti pacar.
Sekarang sama ini, besoknya sama itu."
Kanin mengerutkan kening.
"Mas Rizal mana mau sama orang-orang kayak kita. Kita
itu cuma anak bawang," putus Nadya.
BukanPerawanTua - 8"Aku anak bapak ibuku, bukan anak bawang," kata Kanin
kesal. "Apa salahnya jatuh cinta, aku juga baru pertama ini
merasakannya ."
"Jatuh cinta memang enggak salah, tapi kalau cintanya
sama Mas Rizal jelas salah. Lagipula badan kamu itu
kerempeng, mana mau Mas Rizal sama kamu. Aku pernah lihat
cewek-cewek yang dekat sama Mas Rizal, cantik-cantik,
badannya pun bagus."
"“Maksudmu aku enggak cantik dan badanku jelek,
begitu?!"
"Ya bukannya begitu, Nin. Kamu cantik kok, cuma
kurang saja kalau dibandingkan mantannya Mas Rizal." Nadya
menyengir sambil menunjukkan telunjuk dan jari tengah ke
udara.
Kanin sedikit tersinggung dengan kata-kata Nadya, tapi
tidak bisa dipungkiri yang dikatakan sahabatnya benar. Kalau
dibanding cewek-cewek yang dekat dengan Rizal, ia jelas
tertinggal jauh. Dengan tinggi sekitar 160 cm dan berat 38 kg,
Kanin terlihat seperti ranting yang rapuh tertiup angin. Tidak
ada kesan menariknya sama sekali. Namun, memangnya ia
tidak berhak jatuh cinta. Bagaimanapun, ia tetap manusia yang
bebas merasakan cinta pada siapa saja, termasuk Rizal
sekalipun.
Perasaan pada Rizal bermula saat tidak sengaja bersitatap
mata dengan kakak kelasnya itu di lapangan saat upacara.
Sejak itulah ia merasa ada yang aneh. Debaran kerap muncul
saat ia berpapasan, begitu pun perut yang terasa mulas,
ditambah mata yang tak bisa berhenti untuk tidak menoleh ke
arah Rizal.
Apa benar ia jatuh cinta?’ Kanin pun mulai
memperbanyak membaca novel bertema cinta, bertanya pada
Nadya dan beberapa temannya, hingga ia menarik kesimpulan
jika ia sedang dalam fase jatuh cinta.
Kanin mulai tidak suka saat melihat Rizal berduaan atau
bergandengan mesra dengan perempuan di lain, sementara ia
hanya bisa menatap dari jauh. Hanya bisa memendam kecewa
diam-diam. Hanya bisa menggerutu sendirian. Hari-hari ia
Maya Fadil - 9Jewati terasa tidak nyaman. Kanin tidak tahan lagi, sehingga
pada suatu hari, tanpa sepengetahuan Nadya, ia menulis surat
untuk Rizal.
Perempuan itu diam-diam menyelinap ke kelas Rizal dan
menaruh surat yang ia tulis ke tasnya saat kelas sepi. Di mana
semua murid berkumpul di lapangan untuk melaksanakan
senam jasmani yang rutin diadakan setiap hari jumat pagi.
"Kamu dari mana saja?" tanya Nadya setelah Kanin
berbaris di sampingnya.
Kanin menggelengkan kepala, tersenyum membayangkan
Rizal membaca suratnya. Jam setengah delapan, sehabis senam
pagi, Kanin dan Nadya berniat mencari minum ke kantin ketika
empat orang yang salah satunya Rizal, masuk ke kelas mereka.
Rizal mengacungkan amplop pink yang Kanin tau berisi surat
yang ia berikan.
“Siapa yang namanya Kanin Alfareza kelas 11 MIPA 22"
tanya Rizal lantang. Seketika semua mata menuju ke arah
Kanin.
Dengan ragu-ragu dan super gugup Kanin mengacungkan
tangan. Rizal menyeringai, kemudian menarik dan membawa
Kanin ke tengah lapangan. Tidak tau apa yang akan Rizal
lakukan, tapi ia menurut saja.
Kanin mulai kaget saat Rizal berteriak dan menyuruh
semua orang yang ada di sekitar lapangan berkumpul. Ia
terdiam kikuk, tidak tau harus berbuat apa. Rizal membuka
surat itu, lalu membacanya di hadapan semua orang.
"Aku mengagumimu dalam diam, tanpa suara tanpa
pernyataan, atau penjelasan. Semuanya terjadi begitu saja,
pada pandangan pertama aku jatuh cinta. Kamu tau, bagiku
kamu seperti senja indah yang perlahan hilang di kegelapan
malam, tapi aku tetap menunggu senja itu kembali datang esok
petang ..."
Dalam sebaris surat ini aku ingin bercerita bahwa
memandangmu saja aku sudah bahagia. Namun, perlahan hati
ini mulai tersiksa saat melihatmu bersama mereka, saat kamu
terlihat mesra bersama perempuan-perempuan itu.”
“hahaha!” Rizal tertawa.
BukanPerawanTua - 10"Kanin Alfareza, 11 MIPA 2,"
"Dasar cewek sinting!"
“Hahahah!””
Kanin memejamkan mata, meruntuk dalam hati, mengapa
ia bodoh sekali dengan menuliskan identitas lengkapnya. Rizal
merobek surat itu. menjadi sobekan kecil-kecil, lalu
menghamburkannya ke udara.
"Sampah!" katanya menggelengkan kepala sebelum
melenggang pergi, tanpa rasa bersalah.
Semua orang bersorak, tidak jarang yang mencibir dengan
kata-kata yang menyakiti hati. Kanin sangat malu, tidak terasa
air matanya tumpah. Ia menulis dengan sepenuh hati, dan Rizal
membuangnya seenak hati.
Nadya berlari, menariknya pergi. Kanin menatap
punggung Rizal dalam diam. Setidaknya jika laki-laki itu tidak
suka, cukup buang saja suratnya, tidak perlu dia
mempermalukan di depan umum. Di mana letak perasaannya?!
Hari itu rasa yang ada untuk Rizal perlahan memudar, dan
melupakan adalah cara terbaik yang harus ia lakukan.
Maya Fadil - 11Part 3
putusan [ni Senar
“Pokoknya aku enggak mau, Ran!”
Usai jam kerja, Kanin mengajak Rani ke kontrakkan dan
menceritakan semua. Mengenai pertemuannya dengan Rizal.
Rani tidak berhenti terbahak dan mengatakan itu kebetulan
yang sangat pas. Rani juga bilang mungkin saja Kanin dan
Rizal ditakdirkan untuk melupakan masa lalu dan berjodoh di
masa depan.
Pertemuan kembali dengan Rizal di kafe tidak bisa
dibilang lancar. Setelah Kanin mengenali Rizal sebagai orang
yang pernah mempermalukannya di masa lalu, ia jadi malas
bertemu lagi dengan laki-laki itu.Kanin sudah meyakinkan
Rizal kalau ia adalah perempuan yang pernah dipermalukan di
depan umum saat SMA, Rizal malah tertawa sambil berkata,
“Perempuan yang pernah saya tolak itu banyak. Jadi saya
enggak mungkin ingat satu per satu wajah perempuan kurang
beruntung itu.”
Sombong, kata pertama yang terlintas di otak Kanin
setelah mendengar jawaban Rizal. Dari dulu sampai sekarang
Rizal tidak berubah. Tetap Rizal yang angkuh dan menganggap
dia laki-laki paling tampan sejagat raya. Memangnya ada laki-
Jaki tampan dan mapan yang repot-repot cari jodoh dan minta
di comblangkan. Aneh, pikir Kanin.
“Kalau kamu memang laki-laki berkarisma dan digilai
perempuan, kenapa kamu malah minta Rani carikan jodoh?”
Rizal diam setelah Kanin tanya begitu. Ia menghela napas,
tatapan matanya menerawang. Raut mukanya berubah. Satu
menit, dua menit, jawaban itu belum keluar dari mulutnya.
BukanPerawanTua - 12“Kenapa diam? Oh ya saya tahu, pasti kenyataannya
enggak ada perempuan yang mau sama—
“Karena saya enggak butuh pacar ataupun calon istri
beneran. Saya cuma butuh perempuan yang mau jadi pasangan
pura-pura saya, cuma sementara,” potongnya cepat.
Kanin menatap Rizal dengan pandangan aneh. Antara
bingung dan ingin tertawa. ‘Pasangan pura-pura katanya?
Memang dia pikir ini dunia sinetron atau film. Orang mencari
pasangan beneran. Eh, ini manusia satu malah cari pasangan
bohongan. Buat apa coba?’ Kanin ingin tertawa sekarang.
“Kamu mending jadi pelawak, sana. Lucu tahu.”
“Saya serius!”
“Kalau serius harusnya cari calon istri, bukannya pacar
bohongan.”
Rizal melengos miring. “Saya cuma butuh perempuan
buat diajak ke pesta pernikahan mantan pacar saya. Jadi pacar
pura-pura. Cuma itu. saya malas terikat lagi dengan makhluk
sejenis perempuan.”
Sekarang Kanin benar-benar tertawa. Jadi laki-laki ini
sedang patah hati ditinggal nikah mantan pacarnya. Sampai
mau bawa pacar bohongan segala. Karena terlalu frustrasinya
atau bagaimana? Ia tidak habis pikir.
“Kenapa ketawa? Memangnya ada yang lucu?” tanyanya
sinis.”
Kanin menutup mulut dengan tangan, lalu menggeleng.
“Atau begini saja, kita lupakan masa lalu dan berteman.
Saya punya penawaran, bagaimana kalau kamu saja yang
menemani saya ke nikahan mantan saya? Jadi pacar pura-pura.
Tenang, saya akan bayar kamu, bagaimana?”
Kanin sontak menghentikan tawa. Raut mukanya
Jangsung berubah. Maksud Rizal apa? Ia merasa tersinggung.
Tidak butuh waktu lama, ia berdiri dari kursi. Sebelum pergi,
Kanin menatap Rizal tajam seraya berkata, “Tiga belas tahun
Jalu kamu rendahkan harga diri saya di depan umum, dan
sekarang kamu rendahkan harga diri saya dengan uang?! Kamu
pikir saya perempuan sewaan? Meskipun itu cuma menemani
kamu ke acara nikahan. Saya enggak sudi!”
Maya Fadil - 13“Hey!”
Kanin menoleh cepat. “Apa? Sudah saya bilang tidak
sudi!”
“Tas kamu ketinggalan.”
Ja memutar bola mata. Tergesa-gesa mengambil tas, lalu
pergi tanpa menoleh lagi. Kanin menandaskan satu gelas air
putih di meja. Menceritakan apa yang dikatakan Rizal sukses
membuatnya kesal sekaligus lelah. Sedangkan, Rani hanya
geleng-geleng kepala.
“Lo berdua itu lucu tahu enggak,” ujar Rani.
“Lucu dari mananya?”
“Kalian itu sudah sama-sama tua, tapi kelakuan kayak
anak remaja. Yang satu ngambekan, yang satu lagi enggak
peka’an.”
Kanin berdecak. “Bisa enggak kamu kasih saran buat
masalahku, bukannya meledek melulu. Dua kali kamu
kenalkan aku sama cowok, enggak ada yang benar!”
“Oke-oke, gue kasih solusi tapi lo jangan ngeyel dulu.”
“Ya?”
“Bagaimana kalau lo terima saja tawarannya Rizal”
“Apa?!”
“Ishh! Dengerin dulu, gue belum selesai ngomong.
Maksud gue, lo teriman dulu tawaran Rizal buat jadi pacar
pura-puranya. Nah, lo dekati dia, siapa tahu lo sama dia bisa
berjodoh beneran, hihihi.”
Kanin melotot.
“Dulu lo pernah cinta sama Rizal kan? Berarti enggak
susah dong menumbuhkan cinta itu lagi?” Rani menjentikkan
jari, seakan ia baru saja memberikan saran paling bijak di dunia.
“Kenapa kamu enggak sekalian saja suruh aku lompat ke
jurang yang banyak buayanya?” ujar Kanin sinis.
“Hehehe, enggak gitu lo, Nin. Asal lo tahu ya, Rizal itu
punya usaha jasa penerbitan sendiri di Jakarta, bahkan
cabangnya di Semarang juga. Meskipun indie, tapi penerbitan
dia sudah terkenal kualitasnya.
“Lalu?”
BukanPerawanTua - 14“Lo dulu kan pernah cerita, ingin banget jadi penulis dan
menerbitkan buku. Jadi ‘kan lumayan kalo lo bisa menggaet
calon suami yang punya penerbitan sendiri.”
“Tetap saja aku malas kalau orangnya Rizal.”
Rani mendengkus. “ya sudah terserah.”
sek
Pukul sepuluh malam ketika Kanin menarik selimut
hendak tidur, ponselnya berbunyi. Ia bangkit, duduk di
samping ranjang sambil menjangkau ponsel di nakas lalu
menempelkannya ke telinga.
“Assalamuaikum, Mbak,” sapa suara dari seberang.
“Tya, Waalaikumsalam. Kenapa, Sa. Kok suara kamu
kayak orang habis nangis, begitu?” tanya Kanin ke Salsa,
adiknya.
“Mbak!” panggil Salsa serak.
“Tya kenapa? Jangan bikin aku khawatir!”
“Ferdi mengancam mau meninggalkan aku, Mbak.”
“Hah? Kok bisa?”
Kemudian mengalirlah cerita. Salsa bercerita tadi siang ia
dan Ferdi baru saja berdebat. Ferdi bilang, kalau tidak segera
mendapat restu untuk menikah, laki-laki itu mengancam akan
menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya. Karena
orangtua Ferdi sudah sangat mengharapkan anaknya menikah.
Salsa juga bercerita hal itu pada ibu dan bapak, tapi bapak tetap
bersikukuh kalau Ferdi memang mencintai Salsa, maka ia
harus sabar menunggu. Artinya mereka harus menunggu Kanin
menikah dulu, dan sekarang Salsa sedang mempertanyakan hal
itu.
“Kan aku sudah bilang toh, Sa, enggak apa-apa kamu
sama Ferdi langkahi aku. Aku ikhlas.”
“Masalahnya ada di ibu sama bapak, Mbak. Mereka tetap
enggak kasih restu selama Mbak Kanin belum menikah, hiks!”
Kanin memijit kening yang terasa berdenyut. Kenapa
masalahnya jadi panjang. Andai bapak dan ibu tidak kolot,
semuanya tidak akan serumit ini.
Maya Fadil - 15“Ayolah, Mbak, minimal Mbak pulang ke Jogja dan
kenalkan calon suamimu. Setidaknya dengan begitu bapak dan
ibu akan lega.”
“Kamu pikir cari pasangan itu semudah cari gorengan,
bisa aku temukan di pinggir jalan?”
Salsa terdiam sebentar kemudian berkata, “Atau begini
aja, Mbak Kanin pulang dulu ke Jogja, kebetulan Pak Nardi
lagi cari calon istri. Bapak dan ibu pasti kasih restu kalau Mbak
setuju nikah sama dia. Bagaimana?”
“Sembarangan kalau mau jodohin orang! Kamu enggak
kasihan aku yang masih gadis nikah sama duda terus
mengurusi anaknya yang nakalnya enggak ketulungan itu?”
Tentu Kanin menolak. Pak Nardi adalah seorang duda
yang baru bercerai dengan istrinya setahun lalu. Umurnya
sekitar 40-an dan anaknya laki-laki semua. Meskipun Pak
Nardi hanya terpaut sepuluh tahun darinya, tapi Kanin ingin
menikah dengan laki-laki yang masih sendiri. Dalam artian
singel dan belum pernah menikah.
“Terus bagaimana, Mbak, aku enggak mau ditinggalkan
Ferdi! Aku cinta banget sama dia!”
“Tapi benar loh, Sa, yang di bilang bapak. Kalau Ferdi
memang cinta sama kamu, dia pasti sabar menunggu, kok.”
“Sampai kapan, Mbak, sampai kapan? Kalau nyatanya
mbak baru nikah lima tahun yang akan datang, apa aku harus
menunggu selama itu?”
Kanin tertegun.
“Lagipula aku sudah bilang, kalau kita enggak dapet restu
dalam waktu dekat, Ferdi mau nikah sama perempuan yang
dijodohkan orangtuanya. Aku enggak mau itu terjadi, Mbak.
Sudah empat tahun lebih aku sama dia pacaran, dan aku sayang
banget sama dia. Kalau aku enggak jadi nikah sama dia, aku
lebih baik mati ...!”
“Sa!!” bentak Kanin.
“Aku mohon, Mbak ...” Suara Salsa melemah, tangisnya
pecah. Tidak tahan, Kanin mematikan sambungan telepon itu
sepihak. Ia memejamkan mata kuat-kuat, rasanya kepalanya
mau pecah. Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Ancaman Salsa
BukanPerawanTua - 16benar-benar membuatnya takut. Tidak terasa air mata
berjatuhan. Kanin tau orangtuanya, tidak mudah membuat
mereka mengerti, bagaimana ini?
Hanya ada satu pilihan. Dan Kanin tidak yakin ini akan
berhasil. Ia mendial nomor Rani. “Halo, Ran, aku butuh
bantuan kamu ....”
sek
“Saya baru tahu kalau ada perempuan yang enggak
konsisten kayak kamu.”
Malam itu setelah memantikkan telepon Salsa, Kanin
menelepon Rani dan minta tolong untuk mengabari Rizal jika
ia ingin bertemu. Kanin tidak menyangka Rizal setuju. Dan
sekarang di sinilah mereka, bertemu di kafe yang sama, jam
sama, dan kebetulan duduk di kursi yang sama pula.
“Saya masih ingat, kira-kira seminggu lalu ada seorang
perempuan yang tolak tawaran saya dan meninggalkan saya
begitu saja,”
Rizal menumpukan sebelah sikunya di meja, menatap
Kanin sambil tersenyum.
“Kenapa? Apa sekarang kamu lagi butuh uang dan mau
terima pekerjaan sampingan dari saya?”
Kanin mengatur napas mencoba sabar. Tidak boleh
terpancing seperti seminggu lalu. Ja harus bisa menjaga emosi
ketika menghadapi orang menyebalkan macam laki-laki ini.
“Saya berubah pikiran,” jawabnya.
“Maksudnya, kamu terima tawaran saya, begitu?”
“Ya.”
Rizal mengangguk-angguk. “Sudah saya duga kamu pasti
berubah pikiran. Kamu masih beruntung loh ini, sebenarnya
beberapa hari lalu saya udah menemui perempuan yang pas.
Lebih cantik dari kamu. Sayangnya dia terlalu agresif dan
tergila-gila sama saya. Saya takutnya nanti diperkosa sama dia.
Kalau sudah begitu siapa yang tanggungjawab? Saya juga kan!
Laki-laki memangselalu berada di titik yang salah.”
Maya Fadil - 17Kanin menyerngit jijik. Sangat tidak penting sekali
ceritanya Rizal. “Lebih tepatnya saya terima tawaran kamu,
tapi saya enggak minta uang. Saya minta kamu lakukan hal lain
sebagai imbalan.”
Rizal mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
Kanin menghela napas panjang. Tidak percaya ia akan
menceritakan ini pada Rizal. Sebenarnya bukan ide yang bagus,
tapi ia harus tetap bercerita agar Rizal tau akar
permasalahannya. Satu menit pertama bercerita, laki-laki itu
sudah terbahak seakan Kanin baru saja melawak.
“Hahaha, maaf menyela, tapi saya sudah tahu maksud
kamu. Adik kamu mau menikah, tapi orangtua kamu ingin—
“Ya, begitulah.”
Rizal kembali tertawa, Kanin menatapnya kesal.
“Memangnya ada yang lucu?!”
Laki-laki berkaus hijau itu mengedikkan bahu. “Enggak
sih sebenarnya, saya cuma lagi ingin ketawa saja, sudah lama
saya enggak ketawa.”
“Oh.”
“Kamu enggak ingin tanya kenapa?”
Sekarang giliran Kanin yang mengedikkan bahu. “Enggak
penting juga sih.”
“Oke. Jadi kamu mau minta saya melakukan apa?”
“Bagaimana kalau kita menikah?”
Butuh waktu tiga puluh detik sampai Rizal kembali
menyemburkan tawanya. “Kamu ngomong apa melindur? Apa
jangan-jangan kamu baru bangun tidur, belum cuci muka,
belum gosok gigi, langsung ke sini?”
Kanin yang menyadari ucapannya langsung menutup
mulut dengan kedua tangan. Ja merutuk dalam hati. Mungkin
karena pikiran sedang kacau, makanya bicara ngawur. Ia
meneguk jus di meja dengan cepat. “Maaf, saya tadi enggak
fokus.”
“Alah, ngomong saja kamu memangingin nikah sama
saya, iya, kan?” Rizal tersenyum menggoda.
“Bisa enggak kita kembali ke topik?”
BukanPerawanTua - 18“Topik yang mana? Yang kamu bilang mau nikah sama
saya?”
Tangan Kanin sudah mengepal sempurna di bawah meja,
siap dilayangkan ke muka Rizal. Sekali lagi ia mengatur napas,
agar tidak khilaf mengambil jualan menyiramnya ke wajah
Jaki-laki itu.
“Kalau kamu mau saya jadi pacar pura-pura kamu di
depan mantan pacar kamu, berarti kamu juga mau pura-pura
jadi pacar saya di depan orangtua saya, bagaimana?”
“Kalau itu mah gampang. Gini-gini saya jago akting, loh.
Saya bisa bilang ke orangtua kamu kalau saya ini calon suami
kamu, tapi kita enggak bisa menikah cepat karena sedang
banyak urusan. Dan kita bisa meyakinkan orangtua kamu agar
merestui pernikahan adik kamu dengan bilang kita akan
menyusul secepatnya,”
“Deal?” Rizal mengulurkan tangan.
Kanin melengos, lalu menyebut uluran tangan itu dengan
malas. “Oke.”
Maya Fadil - 19Yogyakarta.
Kanin tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar terjadi.
Dua hari pasca pertemuan dengan Rizal dan sekarang di sinilah
ia, menatap getir pagar rumah bertingkat dua, yang tidak lain
adalah rumah orangtua Rizal. Perempuan itu menatap Rizal
yang sedang mengeluarkan koper dari bagasi taksi. Merasa
kesal karena laki-laki itu seenaknya mengatur jadwal. Masih
mending Rizal bisa cuti kapan ia mau, sedangkan Kanin harus
mati-matian meminta izin pada atasannya.
Awalnya bos menolak dan tidak mengizinkan cuti, karena
kantor sedang sibuk-sibuknya. Namun, karena bantuan Rani
akhirnya ia diizinkan. Kanin hanya diberi kelonggaran waktu
tiga hari, setelah itu ia sudah harus kembali bekerja.
Ternyata rumah orangtua Rizal dan orangtuanya hanya
berjarak sekitar dua kilo meter. Dulu ia dan Rizal memang satu
SMA, jadi wajar jika tempat tinggal mereka masih berada di
satu kawasan yang sama. Meski begitu, Kanin harus menunggu
hari esok jika ingin pulang dan bertemu keluarganya. Itu pun
ia harus menemani Rizal ke acara nikahan mantan terindahnya
dulu. Dasar laki-laki gagal move on, cibir Kanin dalam hati.
Kanin menyeret koper yang berisi pakaian tidak seberapa,
lantas mengikuti Rizal yang berjalan membuka pintu pagar.
Langkahnya terasa berat, ia jadi gugup seperti akan bertemu
calon mertua sungguhan. Ia harus tetap tenang dan tidak boleh
terbawa perasaan. Satu harapannya, semoga saja orangtua
Rizal adalah tipe orang yang menyenangkan dan tidak banyak
BukanPerawanTua - 20tanya. Sehingga ia tidak perlu banyak berbohong dan
menambah dosa.
“Enggak usah gugup begitu, biasa saja, kebetulan
keluarga saya bukan singa,” ujar Rizal melihat Kanin yang
tampak enggan.
Kanin hanya diam, mempersiapkan jawaban yang
nantinya akan diberikan pada orangtua Rizal agar tidak tampak
seperti sandiwara. Setelah memencet bel, wanita seumuran
ibunya membuka pintu. Wanita yang Kanin tebak ibunya Rizal
itu menukar pandang antara ia dan Rizal sebelum tersenyum
sumringah dan mempersilakan mereka masuk.
“Kamu pasti Kanin ya?” tanyanya antusias begitu Kanin
melangkah melewati pintu. Kanin menoleh, Rizal mengangguk,
ia mengerti.
“T-iya, Tan—
“Nama saya Kemala, tapi kamu panggil saja Bunda.
Lagipula kan sebentar lagi kamu jadi mantu di sini, jadi anggap
aja bunda ini ibu kandung kamu sendiri.”
Kanin kembali menatap Rizal, laki-laki itu mengangkat
kedua tangan. Ia jadi heran, apa saja yang sudah dikatakan
Rizal pada ibunya. Kemala menarik koper yang pegang Kanin
“Enggak apa-apa, biar Bunda bawakan , kamu pasti
capek.”
Kesan pertama yang Kanin dapat, ibu Rizal merupakan
orang yang baik, tutur katanya lembut. Tatapan matanya pun
terlihat tulus, senyum tidak lepas dari wajahnya yang mulai
keriput. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan
laki-laki yang mengaku anaknya itu. Atau jangan-jangan Rizal
anak pungut? Ah, sudahlah, kenapa Kanin jadi repot-repot
memikirkan ini.
“Enggak apa Tan—eh bunda, aku bawa sendiri saja,
enggak capek kok,” tolaknya berusaha sesopan mungkin.
“Ya sudah sih, Bun, biar saja Kanin bawa kopernya
sendiri kalau memang dia enggak capek. Bawakan punya aku
saja ya. Aku capek banget, mau langsung tidur ini.”
Kemala menatap Rizal malas sambil mengapit lengan
Kanin, mengajaknya pergi. “Bawa saja sendiri, kamu kan laki-
Maya Fadil - 21laki, Kanin saja yang perempuan enggak manja. Ayok, Nin,
Bunda mau cerita-cerita sama calon mantu Bunda.”
“Lah, memang Bunda enggak kangen sama aku?”
“Ngapain?” Kemala menahan tawa sambil melengos.
Kanin mengikuti Kemala sambil tertawa pelan.
Sepertinya setelah ini ia bisa mengajaknya berkomplot.
sek
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Kanin akrab
dengan Kemala. Wanita baya itu tipe orang yang supel,
pembawaannya santai dan lumayan humoris. Ia bercerita
banyak hal pada Kanin, orang yang notabenenya baru dikenal.
Seperti masa kecil Rizal, kegemaran Rizal, dan semua hal
tentang Rizal, bahkan Kemala memperlihatkan foto Rizal kecil
yang kurus kering dan sering sakit-sakitan. Kata Kemala, dulu
Rizal hampir meninggal karena sakit tifus.
Rizal merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ia
punya kakak perempuan bernama Shela yang berjarak dua
tahun darinya, sudah menikah, dan tinggal bersama suami di
Semarang. Sedangkan, adik perempuannya—Fania—-saat ini
masih menempuh pendidikan semester empat jurusan IImu
Komunikasi di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Fania
masih tinggal di rumah, tapi kadang tidak pulang. Seperti
sekarang, Fania sedang menginap di rumah temannya untuk
mengerjakan proyek kelompok.
Sementara itu, ayah Rizal yang bernama Proto sudah
meninggal sejak dua tahun yang lalu karena penyakit jantung.
Otomatis Rizal mengambil alih kewajiban sebagai kepala dan
tulang punggung keluarga. Namun, tidak sepenuhnya, karena
Kemala juga punya dua cabang toko bakery yang dirintis sejak
enam tahun lalu bersama suami. Setidaknya penghasilan itu
cukup untuk menggaji pembantu dan kuliah Fania, meski
begitu Rizal tetap mengirim uang setiap bulan.
Ketika bercerita tentang suami, mata Kemala berkaca.
Dulu ayah Rizal sangat ingin melihat putranya menikah, tapi
sayang ajal lebih dulu menjemput. Kemala sempat
BukanPerawanTua - 22memperlihatkan foto suaminya di album keluarga. Postur
tubuhnya sangat mirip dengan Rizal, tinggi dan tegap. Meski
menurut Kanin, secara wajah Rizal lebih mirip ibunya.
Kemala juga sempat menyinggung soal mantanya Rizal
yang akan menikah, namanya Leni. Hanya sedikit, mungkin ia
tidak ingin melukai perasaan Kanin. Kemala menghargai
Kanin sebagai calon istri Rizal. Ja mengira Kanin benar-benar
akan menikah dengan anaknya. Perasaan bersalah
menghinggapi Kanin, andai Kemala tau ini hanya sandiwara,
hatinya pasti terluka.
Tanpa sepengetahuan mereka, diam-diam Rizal
mengintip dari balik pintu. Ada perasaan hangat menjalar
ketika melihat percakapan dua orang itu. Saat menjalin
hubungan dengan Leni, rasa-rasanya bundanya tidak pernah
smemangat begitu itu ketika mengobrol. Mungkin hanya
kebetulan, pikir Rizal tidak mau ambil pusing.
sek
Pada malam harinya, hanya ada Kanin, Rizal, dan Kemala
di meja makan. Kanin baru tahu jika Rizal ternyata sangat
menyukai tumis kangkung dan telur puyuh balado. Kemala
memang sengaja masak menu itu untuk menyambut
kedatangan anaknya. Biasanya yang masak pembantu, tapi
khusus malam ini ia yang memasak sendiri.
Menurut Kanin, masakan Kemala sangat enak. Menunya
sederhana, tapi ia suka. Walau begitu, tetap saja ia tidak
nyaman saat Kemala menanyakan kapan ia dan Rizal akan
menikah. Secepatnya, itu yang selalu dijawab Rizal, sedangkan
Kanin hanya mengangguk-angguk saja.
“Bunda senang kamu cepat moveon, ” kata Kemala disela
kunyahannya.
Rizal menggaruk tengkuk, terkekeh. “Ah, Bunda,
sekarang bahasanya gaul, tau moveon segala.”
“Tyalah, Bunda ini kan meskipun sudah tua, tapi dalam
jiwanya tetap masih muda.”
Maya Fadil - 23“Nah gitu dong, kan aku tambah sayang.” Rizal
memonyongkan bibirnya, memberi ibunya ciuman jarak jauh.
Kemala menatap Kanin sambil menggeleng-gelengkan
kepala. “Begitulah, Nin, walau umurnya sudah tua tapi
kelakuannya masih kayak anak kecil.”
“Namanya juga ketemu ibunya. Walaupun umurnya
sudah tua, tapi ingintetap dimanja. Bunda sehat terus ya sampai
lihat aku gendong cucu.”
"Makanya kalian cepat nikah, biar cepat punya anak, terus
Bunda punya cucu. Habis itu punya cicit deh," kata Kemala
riang.
Kanin dan Rizal bertatapan sebelum sama-sama
memalingkan muka. Kanin menunduk, entah mengapa pipinya
terasa memanas.
"Bun, Fania mengerjai apa sih di rumah temannya?"
Kanin tahu Rizal sedang mengalihkan pembicaraan.
Bahkan ia tidak yakin lelaki itu sudah melupakan mantan
pacarnya. Kanin jadi penasaran, seperti apa perempuan
bernama Leni itu sehingga membuat Rizal yang dulu ia kenal
playboy, sepertinya tidak bisa melupakan hubungan mereka.
Dan Kanin akan tahu besok.
BukanPerawanTua - 24Part S
han Mlantan Rizal
‘ Kanin mematut bayangannya di cermin. Lumayan juga
penampilannya. Hari ini ia memakai kebaya pemberian
Kemala semalam. Meskipun klasik, tapi kebaya berwarna hijau
toska itu tampak elegan saat dipakai. Tidak ketinggalan jaman.
Rambutnya digulung rapi dan diberi hiasan bunga kecil di
bagian kiri. Kemala sangat telaten dan cekatan bak penata
rambut profesional. Ia memang suka merias perempuan,
sayangnya Fania tidak pernah mau jika ibunya ikut campur
soal penampilannya.
Tangan Kemala mulai memoles makeup ke wajah Kanin.
Menggoreskan pensil alis, menambahkan mascara ke bulu
mata, serta mengusapkan pewarna ke bibirnya. Padahal ia
hanya menghadiri pesta, tapi Kemala mendandani seolah ia lah
pengantinya. Kanin memejamkan mata, membayangkan saat
ini ia duduk berdampingan dengan Rizal—
Cukup!
Kenapa ia jadi memikirkan hal yang bukan-bukan. Ia dan
Rizal hanya pura-pura, seharusnya tidak boleh lupa. Jika suatu
hari benar-benar menikah, pasti bukan Rizal laki-laki yang
mendampingi di hadapan penghulu.
“Sudah selesai. Cantik! Rizal enggak salah cari calon istri,”
kata Kemala, tersenyum puas.
Kemala lantas mengeluarkan kepala ke pintu, memanggil
nama Rizal beberapa kali. Langkah kaki terdengar mendekat.
Seorang laki-laki berkemeja abu-abu yang dimasukkan ke
dalam celana hitam dan berikat pinggang rapi muncul dari
balik pintu.
Maya Fadil - 25Kanin menahan napas sejenak. Ja akui Rizal lumayan
tampan hari ini, layaknya seorang laki-laki dewasa yang
berkarisma. Kanin menggeleng, ia tidak boleh memandang
terlalu lama, nanti bisa-bisa kembali jatuh cinta.
“Kamu kenapa? Sakit kepala?”
Kanin menggeleng lagi sembari menormalkan detak
jantung yang mulai berulah. Ini tidak boleh dibiarkan, kalau ia
kembali menaruh rasa, maka ia juga harus siap kembali
merasakan kecewa. Dan ia tidak mau hal itu terjadi.
“Bagaimana, Zal, hasil karya Bunda? Kanin cantik kan?”
Rizal memandang Kanin sebentar, sedikit tersentak
menyadari sesuatu, lalu mengangguk kecil. “Cantik,” katanya
lirih nyaris tidak terdengar.
“Ayok, cepat, keburu siang ini.” Rizal menarik tangan
Kanin cepat, membuat perempuan itu kehilangan
keseimbangan. Namun, bukan seperti adegan FTV, karena
yang menangkap tubuh Kanin bukan Rizal, melainkan Kemala
berdiri tepat di belakangnya.
“Hati-hati dong, Zal. Yang lembut kalau mau menarik
perempuan!” Kemala menatap Rizal kesal.
“Tya, iya, Bunda. Ayo, Nin.” Rizal kembali menarik
tangannya pelan, tapi segera Kanin melepasnya.
“Enggak usah, aku masih bisa jalan sendiri.” Kanin
berlalu terlebih dulu setelah berpamitan dengan Kemala.
Samar-samar ia mendengar bunda berkata.
“Makanya kalau sama perempuan itu yang lembut.
Karena perempuan itu hatinya sensitif. Sekarang Kanin jadi
marah kan gara-gara kamu, sana kejar terus minta maaf.”
“Tya, Bunda.”
“Kamu kenapa pakai kebaya itu?”
“Memangnya ada yang salah?”
“Enggak tahu.”
“Kok enggak tahu?”
BukanPerawanTua - 26Rizal mengedikkan bahu, Kanin tidak bertanya lagi. Dasar
laki-laki aneh, batinnya. Mobil Rizal sampai di tempat parkir
depan lobby hotel bintang lima di sekitar kawasan Malioboro.
Mereka masuk ke dalam setelah Rizal mempercayakan
mobilnya ke valletparking. Rizal mengajaknya masuk lift
menuju lantai tujuh di mana resepsi pernikahan itu digelar.
Kanin menoleh, menatap Rizal yang sedari tadi hanya diam.
Raut wajahnya terlihat murung, mungkin perasaannya hancur
melihat perempuan yang masih diharapkan menikah dengan
pria lain. Sambil menduga-duga, Kanin pun bertanya,
“Kenapa kamu harus datang?”
“Memangnya kenapa?” tanya Rizal balik.
“Ya, kamu enggak perlu datang kalau memang kamu
enggak sanggup.”
“Siapa yang bilang saya enggak sanggup? Dia Cuma masa
lalu.”
Bohong, batin Kanin. “Tapi kan—
“Sudahlah, kita enggak perlu bahas apa-apa. Tugas kamu
cuma menemani saya dan tugas saya meyakinkan orangtua
kamu. Setelah itu kita kembali menjadi orang asing yang
enggak perlu saling mengenal apalagi mengurusi urusan
masing-masing.”
Kanin merapatkan mulut. Tidak bicara apa-apa lagi.
Sampai masuk ke dalam ruang resepsi pun ia tetap diam. Kanin
mengedarkan mata, menatap seluruh ruangan. Desain ballroom
hotel yang terletak di lantai tujuh ini cukup berkelas.
Pernikahan ini mengambil tema hitam dan putih, mulai dari
dekorasi atas hingga bawah. Hidangan disusun di atas meja
bundar bertaplak putih dan dilingkari kursi berlapis kain hitam.
Serasi dengan para tamu undangan yang memakai pakaian
nuansa hitam putih sesuai tema.
‘Tunggu dulu! Sesuai tema? Hitam putih? Lalu?’ Kanin
menurunkan pandangan, menatapi pakaian yang dipakai. Lalu
mengangkat wajah, menatap Rizal bingung.
“Zal”
“Hm?”
“Pakaian kita?”
Maya Fadil - 27“Tya saya tahu.”
“Kenapa aku enggak ngomong kalau temanya hitam
putih?”
“Saya juga enggak tahu.”
“Bagaimana sih, memang kamu enggak dapat undangan?”
“Ya dapat, tapi saya cuma lihat lokasinya terus saya
robek.”
Kanin mendengkus. “Ishh, terus sekarang kita?”
Sebelum Rizal menjawab, seseorang perempuan dari arah
depan memanggil namanya. Perempuan yang ternyata ratu
pesta itu melambaikan tangan. Rizalmenggandeng tangan
Kanin menghampiri mempelai. Sepanjang langkah, rasanya
Kanin ingin menutupi wajah dengan karung goni, atau sekalian
menghilang juga tidak masalah. Malu sekali. Kebayanya yang
kontras dengan tema pesta, membuat para tamu undangan yang
kebanyakan kaum sosialita itu menyorotkan mata ke arah
mereka. Rizal masih mendingan, memakai kemeja abu-abu tua
dan celana hitam. Sedangkan, ia memakai warna toska yang
terlihat paling mencolok di antara yang lain.
Sampai di depan kedua mempelai, Leni langsung
memeluk Rizal tanpa rasa canggung. Padahal di situ ada
suaminya. Kanin diam, memperhatikan interaksi keduanya.
Setelah melihat dari jarak dekat, ia akui Leni adalah perempuan
yang cantik. Kulitnya putih bersih. Gaun pernikahan berwarna
putih tulang yang melekat sebatas dada terlihat pas di tubuhnya
yang molek.
“Sayang, jangan lama-lama dong pelukannya,” ujar suami
Leni sembari menyentuh pundak istrinya.
Leni melepas pelukannya sambil berkata, “Ini Gani,
suami aku.” Sekarang ia ganti memeluk lengan suaminya.
Rizal menatap sekilas laki-laki yang lebih pendek darinya itu,
sebelum keduanya saling menjabat tangan dan Rizal
mengucapkan selamat. Kira lebih ganteng, nyatanya enggak,
batinnya jengkel.
“Ttu.” Leni menunjuk, Rizal langsung merangkul bahu
Kanin. Perempuan yang masih diliputi perasaan malu itu pun
tersenyum canggung.
BukanPerawanTua - 28,“Dia Kanin, pacar aku,” kata Rizal memperkenalkan.
Kanin hendak melepas tangan Rizal, tapi ketika ingat ini hanya
sandiwara, ia membiarkan.
Seketika raut wajah Leni berubah. “Oh, selamat ya, kamu
udah berhasil cari penggantiku. Kukira kamu enggak bisa
hidup tanpa aku, seperti yang kamu bilang waktu kita putus
dulu.”
Leni melirik Kanin.
“Ttu kan dulu, sekarang buktinya aku udah bahagia sama
Kanin. Iya kan, Sayang?” Rizal menoleh, Kanin mengangguk.
“Tapi kayaknya kamu enggak pernah pajang foto dia di
sosial media, enggak kayak waktu kamu pacaran sama aku
dulu, sosial media kamu penuh sama fotoku.” Leni kembali
melirik Kanin. Ja mulai tidak nyaman, lirikkannya itu seolah
menegaskan jika Leni jauh lebih baik dibandingkan dirinya.
“Karena kita pacaran di dunia nyata, bukan sosial media,
jadi enggak perlu mengumbar kemesraan di sosial media.
Daripada fotonya penuh di sosialmedia, tapi nyatanya enggak
bersama, cuma jadi kenangan yang enggak berharga,” jawab
Kanin. Rizal menoleh kaget sambil melepas rangkulannya.
Leni melengos sebentar sebelum kembali berkata, “Oh,
gitu ya. Eh, omong-omong aku baru sadar, kok kamu pakai
kebaya warna toska?”
“Emm,” Kanin bingung harus menjawab apa. Rizal hanya
diam, tidak berusaha membantu. Kanin melirik suami Leni,
Jaki-laki itu juga sama diamnya.
“Dan omong-omong lagi, bukannya itu kebaya yang mau
dikasih Bunda ke aku, tapi aku enggak mau ya, Zal?”
“Hah,” Kanin terkejut. Ia menyenggol lengan Rizal, laki-
Jaki itu belum bereaksi, akhirnya Kanin pun kembali menjawab,
“Karena saya menghargai apa yang Bunda kasih, jadi apapun
itu akan saya terima.”
“Owh, gitu. Selamat ya, kamu sudah dapet bekas pacarku,
dan sekarang dapet bekas baju yang mau Bunda kasih ke aku.”
Leni tersenyum penuh kemenangan.
Maya Fadil - 29Kanin mengatur napas, agar tidak meledak dan merusak
ketenangan pesta. “Terimakasih, bekas kamu sangat berharga.
Kalau begitu saya pamit.”
"Kenapa buru-buru?"
"Karena kebetulan saya orangnya gampang tersinggung.”
Setelah itu ia pun pergi, sementara Rizal langsung mengikuti
dari belakang.
“Nin!” panggil Rizal, Kanin meneruskan langkah menuju
lift tanpa menghiraukan. Enak saja ia dipermalukan mantan
pacar Rizal dan laki-laki itu. Hanya diam saja.
“Nin!” Tetap tidak dihiraukan. Kanin berjalan cepat di
lobby menuju pintu keluar hotel. Ia ingin berlari, tapi kebaya
dan heels ini mempersulitnya. Ia pun berhenti sebentar untuk
mencopot sandal hak tingginya.
“Nin!” Rizal berhasil menangkap tangannya. “Mau ke
mana?”
Kanin menghempaskan tangan Rizal. “Pulang!” jawabnya
ketus.
“Kan kita baru datang.”
“Apa kamu tuli? Tadi saya dikata-kata’in mantan kamu
dan kamu diam saja.”
“Salah kamu sendiri!” balas Rizal tidak mau kalah.
“Kenapa kamu pakai baju itu? Apa kamu enggak punya
baju lain? Atau kamu enggak punya uang buat beli baju bagus?
Kamu tinggal ngomong dan saya akan belikan. Kamu malu-
maluin saya!”
“Malu-maluin kamu bilang?” Kanin menatap tidak
percaya sambil menunjuk wajahnya.
“Kamu dengar ya, pasang telinga baik-baik kalau perlu.
Pertama, saya punya uang sendiri dan enggak butuh uang kamu.
Kedua, saya pakai baju ini semata-mata karena saya
menghargai dan enggak mau bikin ibu kamu sedih
karenamenolak pemberiannya! Ketiga, saya masih punya
harga diri!”
Rizal tertegun, ia wajah Kanin yang memerah menahan
amarah. “Sudahlah, saya mau pulang. Kamu enggak perlu
BukanPerawanTua - 30bantu saya, urusan kita selesai sampai di sini. Anggap saja kita
enggak kenal. Oh ya, salamin buat Bunda kamu.”
Maya Fadil - 31Part 6
Kap Mau Menikah?
/ Rizal mengusap wajah ketika sampai di rumah. Ia
mendorong pintu dan masuk dengan malas. Terpaksa ia pulang
sendiri, karena Kanin yang marah atas sikapnya memilih naik
taksi dan pulang ke rumah orang tuanya. Bahkan, melupakan
jika kopernya masih berada di rumah ini.
“Kanin mana, Zal?”
Laki-laki itu menghembuskan napas pelan. Ia sudah
menduga jika pertanyaan itu yang akan diajukan bundanya
ketika tahu ia pulang tidak bersama Kanin.
“Pulang ke rumah orangtuanya,” jawab Rizal cuek seraya
menghempaskan panggunya ke sofa. Capek hati, capek pikiran,
capek tenaga hari ini.
Kemala duduk di samping Rizal sambil memijit pelan
lengan anak laki-lakinya itu. "Kok enggak bareng kamu?”
“Mungkin dia sudah keburu kangen sama orangtuanya,
Bun.”
“Terus kok enggak kamu anter?”
“Rumahnya enggak terlalu jauh. Lagipula dia juga enggak
bakal tersesat. Jogja kan kota kelahirannya.”
Kemala berdecak. "Ya, seharusnya kamu itu antarkan,
sekalian silaturahmi sama keluarganya. Katanya kalian
sepasang kekasih dan akan segera menikah. Masa kamu
enggak ke pikiran kenal lebih dekat sama keluarganya.
Bagaimana sih kamu?”
Huft, Rizal memalingkan muka. Ja tahu jika sudah
mengomel begini, ibunya tidak akan diam sebelum
keinginannya dituruti. "Terus aku harus bagaimana, Bun?”
BukanPerawanTua - 32“Pakai tanya!”
Kemala mencubit lengan Rizal. “Pokoknya Bunda
enggak mau tau, sekarang kamu susul Kanin!”
sek
“Kamu pulang ke rumah kok ndak kabari Ibuk to, Nduk?”
Kanin menghela napas. Ia jadi teringat pertengkaran
dengan Rizal tadi. Entah apa yang di pikirannya Rizal,
barangkali ia masih mencintai Leni yang jelas-jelas sudah jadi
milik laki-laki lain.
Melihat Rizal masih membela Leni padahal jelas-jelas
salah, kekesalan Kanin memuncak. Ia sudah tidak butuh Rizal
untuk membantu. Ia juga tidak terlalu buruk, pasti ada laki-laki
baik yang serius mau menikahi dan menerimanya apa adanya.
“Hehehe, tadi aku habis dari nikahan teman jadi sekalian
pulang ke rumah. Aku kangen sama Ibuk, sudah dua bulan aku
enggak pulang,” jawab Kanin sembari merangkul Ibu yang
duduk di sampingnya.
“Teman kamu yang mana? Kok Ibuk ndak tahu?”
“Engg—* Kanin gelagapan. “Adalah pokoknya, Ibuk
enggak kenal.”
“Oh. Tetep aja kalau telepon dulu Ibuk bisa masakin
sambal teri kesukaan kamu. Memangnya kamu berapa hari di
sini?”
Kanin tersenyum tipis. “Besok aku sudah balik ke Jakarta
lagi, Buk. Soalnya Pak Bos enggak kasih cuti lama.”
Raut wajah Dasri tampak kecewa. “Lah, baru aja sampai
hari ini, sudah pulang saja ke sana.”
“Ya habis bagaimana, namanya juga kerja. ”
“Tya, Ibuk ngerti kok kalau sekarang kamu itu orang
sibuk.”
“Sesibuk-sibuknya, aku kan tetap pulang kalau ada libur
panjang. Masalahnya Bosku itu orangnya disiplin, enggak bisa
aku ambil cuti sembarangan kalau memang enggak benar-
benar penting.”
“Bos kamu itu genteng ndak orangnya?”
Maya Fadil - 33Aku terkekeh kecil. “Percaya deh, Buk, tetap Bapak laki-
laki paling ganteng di dunia.”
Dasri tertawa. “Bisa aja kamu. Tapi nanti kalau sudah
punya suami, pasti kamu anggapnya dia laki-laki paling
ganteng.”
Kanin merapatkan bibir membentuk garis lurus. Ia mulai
gusar saat ibunya menyinggung topik itu.
“Oh iya, Nin, bagaimana tadi adek kamu?"
Kanin Menunduk sambil mengangguk lesu. “Salsa
ngambek sama aku gara-gara aku belum bawa calon suami.”
Dasri menatap diam, kemudian tangannya bergerak
mengelus punggung anak pertamanya itu. “Ibuk ngerti kok
perasaan kamu. Tapi seperti yang dibilang bapak, ini sebagai
alat untuk menguji Ferdi, apa dia benar-benar sayang sama
adikmu itu.”
Seketika Kanin ingat ancaman Salsa. Mengenai Salsa
yang mau bunuh diri jika ditinggal Ferdi. Namun, ia tidak
mungkin mengatakan hal tersebut pada Ibunya. Ia kenal Ibu, ia
juga kenal Salsa, mereka berdua orang yang sama-sama keras
kepala. Kanin tidak mau mereka bertengkar. Belum lagi kalau
Bapak tau, bisa-bisa Salsa dimarahi habis-habisan.
Kanin mendongak. “Apa enggak sebaiknya kita izinkan
saja Salsa melangkahi aku, Buk? Aku enggak masalah kok.
Sekarang sudah zaman modern, enggak harus yang paling tua
yang nikah duluan.”
“Tapi Ibuk sama Bapak inginnya kamu yang nikah dulu,
Nin. Umur kamu udah hampir kepala tiga, apa ndak ada calon
yang siap kamu kenalkan?”
Kanin menggigit bibir, tidak menjawab.
“Yowes Ibuk ke belakang dulu. Bicara sama adikmu, dia
pasti ngerti.” Dasri menepuk bahunya seraya berjalan menuju
pintu. Kanin menutup wajah, mengusapnya ke bawah.
Ternyata permasalahan masih sama, kapan menikah?
eke
BukanPerawanTua - 34“Nin,” Panggil Dasri dari luar. “ Itu ada tamu mencari
kamu!”
“Siapa, Buk?”
“Ndak tahu. Kamu temui saja sana.”
Kanin mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan
kesadaran sembari bangkit dari tempat tidur. Siapa sih yang
mencarinya sore-sore begini? Padahal ia masih ingin tidur
sebentar lagi. Badan dan pikirannya capek sekali. Tadi ia habis
berdebat lagi dengan Salsa. Masalahnya masih sama, Salsa
ingin Kanin segera menikah agar ia juga bisa menikah dengan
kekasihnya. Segala hal membuat frustrasi. Semoga tamu ini
tidak semakin menambah beban pikiran.
Ja menunjukkan kepala, mengintip siapa yang ingin
menemuinya. Seketika ia menarik badan lantas membekap
mulut dengan mata membelalak. Untuk apa laki-laki
menyebalkan itu datang. Sekali lagi Kanin menjulurkan kepala,
memastikan kalau ia tidak salah melihat. Namun, itu benar-
benar Rizal. Lelaki itu sedang berbincang dengan bapak di
ruang tamu.
Mencoba bersikap biasa, perlahan Kanin berjalan
menemui mereka. Bapak dan Rizal menoleh. Rizal tersenyum
kecil, ia merengut, lalu mengambil duduk di kursi kayu
samping bapak. Rizal kembali tersenyum. Namun, Kanin
menatapnya jutek, tapi begitu bapak menoleh ia kembali
bersikap biasa.
“Bener, Nin, dia pacar kamu dan kalian berencana mau
menikah?” tanya Darsono.
Kanin melotot dengan mulut setengah terbuka. Drama apa
lagi yang sedang Rizal perankan, pikirnya. “Bu—bukan, Pak.”
Dahi Darsono mengkerut, alisnya menukik. Ja menatap
Kanin dan Rizal bergantian. “Tapi tadi Nak Rizal bilang dia
calon suami kamu. Kalian berdua udah kenal lama sejak SMA.”
“Eng—
“Jadi begini, Pak. Sebenarnya Kanin pulang ke Jogja
bareng saya. Tapi karena ada sedikit kesalahpahaman,
mungkin dia masih marah dan tidak mau mengakui saya
Maya Fadil - 35sebagai pacarnya. Biasa lah, Pak, namanya perempuan.” Rizal
mengedipkan mata, Kanin membuang muka.
“Jadi ini cuma soal salah paham toh?”
Rizal mengangguk. “Iya, benar sekali, Pak. Saya sudah
mencoba membujuknya berkali-kali, tapi Kanin tetap marah
dan memilih pulang ke rumah orangtuanya. Mau enggak mau
sebagai lelaki sejati, saya tetap harus susulin dia.”
Rasanya kukuk-kukuk Kanin ingin ia larikan ke wajah
Rizal yang sok lugu itu. Lelaki itu sungguh pintar, memutar
balikkan fakta dan menyudutkan, seolah Kanin yang salah
dalam hal ini. Licik!
Darsono menoleh ke arah anaknya. “Bapak nggak tau
masalah kalian apa, tapi Bapak harap kalian segera
menyelesaikan. Nak Rizal juga sudah minta maaf.
Kelihatannya dia laki-laki baik dan bertanggungjawab."
Ingin sekali Kanin jawab, “Kapan Rizal minta maaf, Pak?
Rizal bahkan enggak mengucapkan kata maaf sama sekali.”
Namun, masih ia tahan dan hanya berhenti di tenggorokan.
Napasnya naik-turun, menahan emosi ternyata melelahkan.
“Oh, iya, Nak Rizal sekarang bekerja di mana?”
“Kebetulan saya pemilik jasa penerbitan, Pak, di Jakarta.
Penerbit Payung Bening. Cabangnya di Semarang.”
“Apa kira-kira itu cukup menguntungkan?”
“Lumayan sih, Pak. Sebulannya saya bisa meraup untung
puluhan juta bahkan lebih kalau sedang beruntung. Dan
alhamdulillah beberapa bulan terakhir ini, keberuntungan itu
hampir menyertai saya.” Rizal tersenyum.
Sombong sekali! Pekik Kanin dalam hati. Ia menatap
Rizal galak, sementara Rizal malah senyum-senyum jumawa.
“Alhamdullilah kalau begitu,” Darsono juga tersenyum.
“Kamu tahu enggak, Nin. Tadi Nak Rizal cerita kalau dia
anaknya Pak Proto. Kamu tahu Pak Proto itu siapa?”
“Bapaknya Rizal toh, Pak.”
“Maksudnya, dia itu teman sekolahnya Bapak. Di SMA
yang sama juga kayak kamu dan Rizal. Dulu Bapak sama
Bapaknya Rizal ke mana-mana bareng. Beli makanan, bolos,
BukanPerawanTua - 36hahaha! Pak Proto itu waktu SMA bandel banget, suka gonta-
ganti pacar ...”
Pantas, batin Kanin. Ternyata turun menurun.
“Mukanya mirip banget sama Rizal. Enggak menyangka
sekarang kalian berdua malah pacaran. Bapak kaget loh
awalnya. Insyaa Allah akan segera jadi besan. Tapi sayang,
sekarang dia sudah enggak ada.” Darsono menurunkan
bahunya.
“Oh iya,” Bapak menepuk jidat. “Sampai lupa. Buatkan
calon suami kamu kopi, Nin. kasihan dia.”
Tanpa banyak bicara, Kanin masuk ke dapur. Tiba-tiba ide
jahil terbesit di otaknya. Ia terkikik membayangkan raut
sombong Rizal berubah masam saat mencicipi kopi buatannya.
Ja membuat dua kopi. Satu untuk bapak dan satu lagi khusus
untuk Rizal. Kanin menaruhnya di atas nampan lantas berjalan
kembali ke ruang tamu.
Hampir sampai, Salsa datang dan merebut nampan yang
ia bawa. Salsa berkata senang sekali karena Kanin sudah
berhasil membawa calon suami. Salsa mengecup pipinya riang
sambil berkata, “Biar aku saja yang bawa, Mbak. Sekalian
kenalan sama calon kakak iparku.”
Salsa sudah sampai di ruang tamu sebelum Kanin berhasil
mencegah. Kanin meringis, ia memejamkan mata. Satu, dua,
tiga, empat, lim—
“Kanin!” panggil Bapak agak berteriak.
Kanin segera meluncur ke ruang tamu. “I—iya, Pak?”
“Kenapa kopinya asin? Kata Salsa buatan ini kamu?”
“Eng—gini, Pak ....”
Kanin melirik Rizal, laki-laki itu membekap mulut
menahan tawa. Kanin kembali menatap bapak. “Jadi gini,
Pak...”
“Mbak Kanin itu kebelet ingin nikah, Pak. Makanya
kopinya asin,” ledek Salsa. Kanin semakin salah tingkah.
“Benar itu, Ndok?” tanya Darsono. Sebelum Kanin
menjawab, Darsono sudah lebih dulu berkata pada Rizal, “Nak
Rizal, kapan kamu mau menikahi Kanin? Sepertinya dia benar-
Maya Fadil - 37benar ingin menikah. Lagipula kalian sudah sama-sama
dewasa, enggak baik menunda-nunda hubungan sah.”
Kanin membelalak. Rizal tertegun.
“Kanin ini anak perempuan saya yang pertama. Meskipun
umurnya sudah kepala tiga, tapi dia tetap putri kecil bagi saya.
Sebagai Bapak kadang saya itu was-was mengingat dia tinggal
sendiri di Jakarta. Kalau dia punya suami, pasti saya akan lebih
tenang karena Kanin ada yang menjaga,”
Hati Kanin terenyuh mendengar kata-kata bapak.
“Jadi kapan kamu akan menikahi Kanin?” tanya Darsono
menatap Rizal penuh harap. “Karena tugas seorang Bapak
selain membesarkan adalah menikahkan anaknya.”
Mata Rizal bergerak ke segala arah. Ia menunduk sebentar
sebelum menarik napas panjang dan menjawab, “Saya akan
menikahi Kanin secepatnya bahkan besok kalau bisa.”
Kanin semakin membelalak. Apa Rizal sudah gila?!
BukanPerawanTua - 38Kanin masih tidak paham dengan jalan pikiran Rizal.
Bisa-bisanya laki-laki itu berkata akan menikahinya di depan
bapak. Entah hanya main-main atau mamang serius, Kanin
tidak tahu. Yang jelas jika ini hanya bercanda, Rizal sudah
sangat keterlaluan.
Tentu saja Darsono senang bukan kepalang, begitu pun
Salsa dan Dasri. Mereka menganggap serius perkataan Rizal.
Apalagi jika dilihat dari segi ekonomi Rizal jelas mampu
memenuhi kebutuhan Kanin. Lebih parah dari semua itu,
Kanin tidak izinkan kembali ke Jakarta sebelum menikah
dengan Rizal.
“Apa kamu sudah gila?!”
Sejak ucapan menggemparkan sore tadi, sampai malam
ini Rizal belum pulang. Saat ini ia dan Rizal sedang duduk di
gazebo dekat kolam lele belakang rumah. Darsono punya dua
terpal kolam berisi ikan lele berumur sekitar tiga bulanan. Dan
sekarang yang dilakukan Rizal menabur pakan ke kolam, lalu
mengabaikan ucapan Kanin. Bahkan, Rizal lebih tertarik ke
segerombolan ikan yang tengah berebut makanan di kolam
tersebut.
“Zal!”
“Apa?”
“Apa kamu sudah gila?” ulangnya
“Apa saya terlihat seperti orang gila?”
“Kayaknya.”
Maya Fadil - 39Rizal menoleh. Dia mengembalikan pakan ikan yang
tersisa di tangannya, lalu memutar tubuh menghadap Kanin.
“Apa yang membuat kamu berpikir seperti itu?”
“Apa yang membuat saya berpikir?” Kanin menunjuk
dirinya sendiri.
“Kamu pura-pura atau memang lupa? Kamu nggak ingat
apa yang kamu bilang sampai-sampai keluarga saya sudah
mempersiapkan pernikahan kita?”
“Ya sudah, menikah tinggal menikah, gitu aja kok repot,”
Jawabnya cuek, lalu membalikkan badan, kembali menabur
pakan ikan.
“Enak banget kamu ngomong!” Suara Kanin meninggi.
“Saya tau ya, Zal. Kamu baru aja ditinggal nikah orang yang
masih kamu cintai. Tapi, bukan berarti kamu jadi stress, lalu
bawa-bawa saya dalam masalah kamu. pernikahan itu nggak
main-main!”
“Siapa yang mau main-main?” Rizal menoleh cepat.
Suaranya ikut meninggi.
“Dan lagi, ini nggak ada hubungannya sama Leni. Saya
pun nggak terkena gangguan jiwa. Saya setuju nikah sama
kamu karena sebab lain!”
“Apa?”
Bahu Rizal merendah. Terdengar helaan napas sebelum ia
menggeser posisi duduknya mendekat. Tatapan wajahnya
terlihat serius. “Karena ayah kamu.”
“Apa hubungannya?”
“Entah kenapa saya enggak bisa menolak permintaan
ayah kamu. Saya langsung teringat sama almarhum ayah saya.
Dulu sebelum pergi, Ayah bilang ingin banget liat saya nikah.
Sayangnya penyakit jantungnya kambuh dan ...”
Mata Rizal memerah, kalimat tidak kuasa ia lanjutkan.
Letupan emosi terasa, karena belum berhasil memenuhi
permintaan terakhir ayahnya. Baru kali ini Kanin melihat Rizal
begitu rapuh. Bulir-bulir air mata Rizal seka sebelum jatuh ke
pipinya. Entah inisiatif dari mana, Kanin mengusap lengan
lelaki itu, bermaksud menenangkannya.
BukanPerawanTua - 40“Dulu, setelah Ayah pergi saya berniat mewujudkan
permintaannya. Saya ingin menikahi Leni, karena kebetulan
kami sudah menjalin hubungan lama. Saya juga sangat cinta
sama dia, saya pikir dia memang perempuan terakhir yang
ditakdirkan Tuhan untuk jadi istri saya. Tapi, ternyata dia lebih
memilih lelaki yang dijodohkan orangtuanya,” ucap Rizal
panjang lebar. Kanin hanya diam memperhatikan.
“Saya benar-benar enggak sanggup menolak permintaan
ayah kamu. Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi kita
membahagiakan orangtua. Saya pikir Bunda juga suka sama
kamu. Jadi apa salahnya kita nikah?”
“Tap—
“Anggap saja kita ini simbiosis mutualisme. Kita menikah
atas nama orangtua, bagaimana?”
“Zal, ini pernikahan! Saya cuma ingin nikah satu kali
seumur hidup!”
“Saya tahu.”
“Lalu?”
Rizal diam.
“Coba aja kamu enggak ke sini, semuanya enggak akan
runyam kayak gini. Lagipula ngapain sih kamu menyusul saya
ke rumah? Kan saya bilang, urusan kita udah selesai.”
“Koper kamu masih ketinggalan di rumah.”
“Cuma karena itu?”
“Bunda marah karena saya enggak ajak kamu pulang.”
Kanin mengusap rambut ke belakang. “Tapi semua jadi
kacau! Saya enggak mau nikah main-main!”
“Saya enggak main-main!”
“Maksud kamu?”
“Oke, saya serius!”
“Untuk?”
“Menikahi kamu!”
“Zal kita--
“Apa susahnya sih, Nin? Toh dulu kamu pernah cinta
sama saya.”
Kanin mendongak kesal. Memang_ Rizal kira
menumbuhkan cinta lama, semudah menumbuhkan biji toge.
Maya Fadil - 41Kanin menggerutu. Dulu ia memang mencintainya, tapi bukan
berarti ia tidak bisa melupakan Rizal. Beberapa kali ia sempat
menjalin hubungan dengan lelaki lain, walau selalu berakhir
dengan kegagalan.
Rizal beranjak. "Saya mau pulang dulu. Besok saya ke sini
lagi sama Bunda. Tunggu aja."
Laki-laki itu pergi tanpa menunggu jawaban. Sungguh
percaya diri Kanin akan menerima lamarannya. Walaupun
sepertinya memang begitu, mengingat bapak dan ibunya.
sek
Seperti yang dikatakan Rizal kemarin, hari ini ia dan
keluarganya benar-benar datang untuk melamar Kanin. Rizal
hanya membawa Kemala dan Fania, sedangkan kakak
perempuannya tidak ikut dan berjanji akan datang di hari
pernikahan saja. Setelah dirundingkan, semua sepakat akan
melangsungkan pernikahan beberapa hari lagi.
Namun, pernikahan itu hanya mengundang kerabat dan
teman dekat. Tidak ada resepsi yang meriah, hanya ijab kabul
sah, mengingat Kanin dan Rizal sudah harus segera kembali ke
Jakarta.
Sungguh, Kanin sudah pasrah sekarang. Pernikahan
sakral bak permainan. Namun, tidak mungkin juga ia menolak
apalagi memberi alasan. Semua anggota keluarga tampak
bahagia, tersenyum penuh rasa lega. Namun, Fania terlihat
sedikit berbeda. Kanin tidak ingin berburuk sangka, mungkin
ia hanya belum terlalu mengenal Fania. Rizal bilang adiknya
memang agak judes, tapi baik jika sudah akrab.
“Aku belum kenal banyak sama Mbak Kanin, tapi aku
harap Mbak lebih baik dari Mbak Leni yang meninggalkan
Mas Rizal gitu aja," kata Fania sambil memicingkan mata.
Kanin tersenyum dan mengiyakan ucapan gadis muda itu.
Ta_berpikir, mungkin Fania hanya khawatir jika Rizal
memperoleh perempuan sama seperti masa lalunya.
Anggota keluarga Rizal termasuk lelaki itu sudah pulang.
Kini Kanin duduk di undakan depan rumah dan merenungkan
BukanPerawanTua - 42semua. Sebentar lagi ia akan jadi istri. Entah benar asli atau
mimpi, rasanya ia masih sulit percaya. Dari dalam rumah Salsa
datang dan duduk di sebelahnya.
"Cie yang mau nikah, senang dong, ya?" ucap Salsa
sambil menyenggol lengan kakaknya.
“Bukannya kamu yang paling senang, Sa. Secepatnya
kamu bisa nikah sama pacarmu yang paling kamu cintai
sampai kamu rela mati itu?" sindir Kanin.
"Hehehe, iya, Mbak. Aku sudah kasih tahu Ferdi, katanya
dia mau lamar aku bulan depan," Salsa tampak enggan menatap
mata Kanin. Ia merasa malu pada kakaknya. Tiba-tiba Salsa
memeluk Kanin dari samping sambil menumpukkan dagunya
di bahu.
"Maafkan aku ya, Mbak. Karena sudah bersikap buruk
sama Mbak."
Kanin memejamkan mata sebentar, lalu mengelus rambut
panjang Salsa. "Iya," katanya, berusaha memaksakan senyum.
Meskipun saat kecil mereka sering bertengkar, tapi Salsa tetap
adik yang paling ia sayang. Ia tidak pernah tega jika melihatnya
bersedih.
Salsa menegakkan badan, tersenyum _seraya
mengucapkan terimakasih. "Ngomong-ngomong kok aku
perhatikan adiknya Mas Rizal itu agak kurang suka ya sama
kita?"
“Fania itu bukannya enggak suka, dia cuma kurang
terbiasa dan belum kenal sama kita. Jadi wajar kalau dia kayak
gitu. Sikapnya memang kurang dewasa. Tapi jangankan Fania,
kamu saja yang udah 26 tahun kadang masih kayak anak kecil."
Salsa tertawa, karena yang dikatakan kakaknya memang
benar adanya. Kanin menerawangkan mata ke langit, kembali
memikirkan keputusan yang baru diambilnya. Ia harap tidak
menyesal dengan semua ini.
a
"Kamu benaran mau nikah, Nin?!"
Maya Fadil - 43Kanin menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Nadya
melengking keras di seberang sana. Sahabatnya itu memang
kalau bicara tidak kira-kira.
"Iya, Nad. Sudah sih enggak usah kayak orang kesambet
setan gitu."
"Ya habis kamu mau nikah enggak bilang-bilang."
Aku mendengus. "La iki opo nak aku ora kabar-kabar,
Nadya!"
Nadya cekikikan. "Iya-iya. Habisnya kamu ngomongnya
mendadak. jadi aku enggak bisa datang, soalnya aku lagi di
Bandung tempat saudaranya Mas Haris."
"Enggak apa-apa, lagipula memang semuanya serba
mendadak kok."
"La memangsopo yang bakal jadi calon suamimu. Kok
aku enggak pernah kamu kasih tahu?"
Kanin mencomot kue kering di toples lalu memakannya.
"Rizal," jawabnya kalem. Namun, ia sudah menduga reaksi apa
yang akan diterima
"Rizal?!" ucap Nadya berteriak. Tidak lama Nadya
terkekeh.
"Kok namanya sama ya sama cowok sok ganteng yang
menolak kamu waktu SMA. Kamu masih ingat, kan? Alah itu
lho si cowok playboy."
"Ya memang dia."
"Hah? Maksud kamu?"
"Rizal yang pernah menola- aku waktu SMA. Afrizal
Pradistyo. Kakak kelas kita, iya dia," katanya hati-hati.
Kanin kembali menjauhkan ponsel dari telinga. Pasti akan
ada suara melengking dengan frekuensi tinggi. Satu dua tig--
"APA?!"
Akhirnya Kanin pun menceritakan semua pada Nadya
tanpa ada yang ditutupi. Nadya sahabatnya dari SMA, ia tidak
enggan mengatakan apapun padanya. Nadya sempat tidak
percaya dan bertanya apa Kanin sudah gila. Sedangkan, Kanin
terkekeh dan menjawab ia masih normal sepenuhnya. Di akhir
pembicaraan Nadya memberi dukungan dan mendoakan
semoga sahabatnya itu bahagia. Ia menutup panggilan itu.
BukanPerawanTua - 44Tadi sebelum menelepon Nadya, ia juga sudah lebih dulu
menelepon Rani. Respon mereka tidak jauh berbeda. Rani
langsung memberitahu bos mengenai hal ini. Awalnya bos
marah dan bertanya apa Kanin sudah bosan kerja. Namun,
ketika Rani memberitahu Kanin akan menikah, izin itu
akhirnya didapat. Dengan catatan ia harus lembur sampai
malam jika sudah kembali bekerja. Walau disiplinnya tinggi,
tapi atasannya itu adalah orang yang cukup pengertian.
Maya Fadil - 45Jodoh memang takdir Tuhan. Manusia tidak akan tahu
dengan siapa berjodoh di masa depan. Semua masih menjadi
rahasianya. Disimpan rapat dan dipertemukan di waktu yang
tepat. Bisa saja orang yang saat ini berada di sisi dan dicintai
mati-matian bukanlah jodoh yang asli. Bisa juga orang pernah
menolak dan mengolok-olok di masa lalu adalah jodoh yang
ditakdirkan Tuhan.
Seperti Kanin. Siapa yang menyangka bila lelaki yang
dulu tidak suka dan begitu enggan menerimanya adalah lelaki
yang saat ini sedang menjabat tangan dan mengucapkan
namanya di hadapan penghulu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Kanin Alfareza binti
Darsono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
"Sah?"
"Sah!"
"Sah!"
Semua orang menyuarakan kata yang sama. Perempuan
itu menyeka air mata yang tiba-tiba turun di pipi. Pernikahan
ini sungguh sederhana. Hanya mengurus berkas-berkas di
KUA untuk pencatatan sipil dan sisanya acara syukuran kecil-
kecil di rumah, tapi mampu membuat semua terharu.
Untuk apa yang luar biasa bila yang sederhana saja dapat
membuat bahagia. Hatinya terasa menghangat kala melihat
wajah-wajah bahagia itu terpampang di mana-mana. Semua
perasaan berkecamuk jadi satu, marah, kesal, haru, juga lega.
Kanin mencubit lengan, memastikan kalau suasana ini bukan
mimpi dan ia akan terbangun esok pagi.
BukanPerawanTua - 46"Aww," ia meringis pelan. Ini benar-benar nyata.
Kanin menoleh, memperhatikan laki-laki yang duduk di
sampingnya. Sudut matanya berair, sejurus kemudian Rizal
berhambur ke pelukan ibunya sembari beberapa kali
menggumamkan kata ayah. Anak mana yang tidak sedih ketika
di hari bahagia ayah yang paling dicinta tidak hadir
mendampingi, karena sudah berpulang ke lain dimensi.
Walaupun Kanin tidak tahu pasti apakah Rizal benar-
benar bahagia dengan pernikahan ini. Kemala membisikkan
sesuatu ke telinga anak laki-lakinya yang beberapa saat lalu
resmi menjadi suami itu sebelum Rizal melepas pelukan
ibunya dan beralih menatap Kanin.
Perempuan itu terpaku sebentar, lalu perlahan ia
mengambil tangan Rizal dan dengan sedikit gemetar
menempelkan di keningnya. Kembali air mata tanpa tahi malu
menetes. Kenapa diri ini cengeng sekali, ia merutuk dalam hati.
Tiba-tiba tanpa terduga Rizal menarik dan mencium
keningnya. Hawa panas menjalar. Ia menahan napas dalam-
dalam. Derap jantungnya terasa tak menentu. Kembali Kanin
mencubit lengannya. Namun, kali ini salah sasaran, karena
Rizal yang mengaduh kesakitan.
"Kenapa, Mas?" tanya Fania kaget.
"Tadi digigit semut rang-rang, Fan," kata Rizal sembari
melirik Kanin kesal. Apa yang dilakukan perempuan itu
sungguh merusak momen romantis yang hampir tercipta.
Beberapa orang berjingkat. Memeriksa di sekitar tempat
duduknya, barangkali ada semut hitam legam yang siap
menggigit mereka. Padahal tanpa mereka ketahui Kanin lah
semut itu sebenarnya.
Sampai di situ momen haru pun berlalu. Namun, Kanin
kembali dibuat menegang ketika Rizal mengangkat tangannya
dan menyematkan cincin platinum bermata satu di jemari
manisnya. Kelopak matanya tertutup, tidak kuasa menatap
Rizal yang membuat pipinya semakin merona.
Begitu cincin terpasang, Kanin membuka mata. Dengan
sedikit gugup, Kanin mengambil cincin satu lagi dan
menyematkannya di jemari Rizal. Tepuk tangan saling
Maya Fadil - 47bersahutan riang, lalu perlahan hilang, tergantikan doa-doa
yang dipanjatkan pada Tuhan.
eke
Sedikit demi sedikit Kanin mulai mengenal keluarga Rizal.
Mulai dari Fania yang ternyata tidak seburuk yang ia kira
sebelumnya sampai Shela, kakak pertama Rizal yang hari ini
datang ke rumahnya-menyaksikan ijab kabul-bersama suami
dan anak perempuannya yang berusia dua tahun.
Ja mulai akrab dengan Shela meski tidak terlalu. Kesan
pertama yang ia dapat, Shela punya kepribadian yang ramah
dan cukup humoris. Bisa dibilang kakak perempuan Rizal itu
hampir mewarisi sifat Kemala. Ia _ tidak berniat
membandingkan, tapi Shela dan Fania memang_berbeda.
Menurutnya Fania juga baik, tetapi Fania agak ketus saat
pertemuan pertama, sedangkan Shela baru kenal saja sudah
menganggapnya saudara.
“Rizal itu walaupun laki-laki tapi takut banget sama cecak.
Hehehe, bisa dibilang fobia," kata Shela, terkekeh geli.
“Apa-apaan sih, Mbak." Rizal yang juga bersama mereka,
memprotes, tidak suka Shela membuka rahasianya.
“Enggak apa-apa, Nin. Kan sekarang kamu istrinya, jadi
wajar kalau kamu tahu. " Shela mengerlingkan mata tidak
memperdulikan raut kesal adiknya. Kanin tersenyum geli
membayangkan Rizal yang ketakutan hanya karena melihat
seekor cecak.
"Ngapain kamu senyum-senyum, mau menertawakan
saya?" tanya Rizal, memicing ke Kanin.
"Siapa bilang? Enggak usah ge’er jadi orang!"
"Ehh, ngomong-ngomong saya ini suami kamu loh
sekarang. Hormat dan hargai saya!"
“Memangnya kamu bendera merah putih, suruh kasih
hormat," jawabnya lirih, lalu melengos.
“Bentar-bentar, kok kalian cara ngomongnya gitu?" Shela
yang sedari tadi diam mengamati, bertanya.
"Gitu bagaimana?" tanya balik Rizal.
BukanPerawanTua - 48,"Ya gitu, pakai saya-kamu. Formal banget, katanya
pacaran sebelumnya. Kok ngomongnya kaku. Memang kayak
begitu bahasa kalian sehari-hari? Kayak bos sama pegawai
saja?"
Kanin dan Rizal saling berpandangan, bingung harus
memberi alasan. Mereka sudah terbiasa hingga lupa ada Shela
yang tidak tahu apa-apa tentang sandiwara mereka sebelumnya.
"Hehehe, sudah kebiasaan, Mbak," jawab Kanin
menyengir.
"Jangan dibiasakan dong! Mbak aja sama mas Dio
panggilannya Ammi-Appi. Dulu malah waktu pacaran
panggilannya ayah-bunda, hahaha!" Shela, perempuan yang
lebih tua tiga tahun dari mereka itu, tertawa di ujung
kalimatnya. Pipinya bersemu merah.
"Kalian itu harus belajar beskap romantis, biar menambah
keharmonisan dalang rumah tangga. Enggak masalah alay
kalau sama istri atau suami sendiri. Kalau perlu panggilan
kalian itu diubah, Bubbly dan Bunnymisalnya, hahaha!" Shela
kembali tergelak.
"Apaan sih, Mbak? Norak!" kesal Rizal.
“Hahaha. Uchh, uchhh, pengantin baru marah."
Rizal menatap kakaknya tajam, lalu melenggang pergi.
“Hahaha! Biar saja, dia memang kayak gitu orangnya.
Ngambekan. Sabar saja ya kamu jadi istrinya."
Shela baru akan membuka mulut lagi ketika Fania datang
dari arah pintu bersama Kesha--anak Shela--dalam
gendongannya. "Nih loh, Mbak, Kesha daripadamencari Mbak
melulu," kata Fania sambil menyerahkan Kesha pada ibunya.
Kanin mencubiti pelan pipi Kesha yang gembul dan putih.
Tangan Kesha bergerak, berusaha menepis tangan Kanin dari
pipinya, tapi Kanin tertawa dan tetap melakukannya. Kesha
imut, rambutnya yang ikal dikuncir dua dan diberi penjepit pita.
Bocah cilik itu memakai terusan pink salem yang membuatnya
terlihat semakin menggemaskan. Ia beberapa kali bertanya
mengenai Kesha pada Shela. Setidaknya dengan begitu ia
sedikit terbebas dari pembahasan tadi.
Maya Fadil - 49"Gemesin banget, sih. Ingin punya satu yang kayak gini,"
ucapnya sembari mengelus rambut Kesya.
“Makanya cepat buatkan Mbak keponakan ya, Nin. Biar
Kesha ada temannya."
Kanin menoleh cepat, merapatkan bibir. Keluar dari
kandang singa, masuk ke kandang beruang, keluar lagi, masuk
lagi ke kandang macan, dan berakhir di kandang harimau.
Rutuknya dalam hati. Sial-sial!
BukanPerawanTua - 50Z Kanin memperhatikan laki-laki yang terlelap di
sampingnya. Tidurnya tampak pulas, dengkuran halus
terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Wajahnya begitu
damai, tidak seperti saat membuka mata, menyebalkan dan
menguras kesabaran. Ia menggeser posisi mendekat,
mengambil tissue, lalu mengelap bulir-bulir keringat yang
jatuh di sekitar pelipis lelaki itu. Sepertinya Rizal sangat
kelelahan. Ia kembali bergeser menjauh, tidak mau Rizal
bangun dan melihatnya begitu perhatian.
Kanin merenung, mengingat perpisahan haru dengan
keluarganya tadi. Memang ia sudah biasa melakukan itu saat
akan kembali ke rutinitasnya di Jakarta. Namun, kali ini
suasananya berbeda. Ia masih kurang percaya kalau sekarang
dirinya dan Rizal merupakan sepasang suami-istri. Meskipun
ia sudah mencubiti lengannya berkali-kali tidak akan merubah
jika laki-laki yang tertidur pulas ini adalah suaminya. Mereka
sah melakukan apapun, termasuk... ia menelan ludah cepat-
cepat. Ya, mereka bebas melakukan hubungan yang memang
seharusnya dilakukan oleh suami-istri setelah menikah,
Namun?
Kanin kembali menoleh. Rizal masih tidur, tetapi
tubuhnya bergerak kecil mendekatinya, mencari posisi
ternyaman. Kanin membiarkan dan berharap Rizal tidak
terbangun karena mendengar debaran jantungnya. Tangan
Rizal mulai melingkar perutnya tanpa sadari. Kanin menggigit
bibir kuat-kuat, menarik napas dalam-dalam. Posisinya yang
berada di pojok, tidak memungkinkan untuk menghindar.
Maya Fadil - 51Ja gugup, sungguh.
Saat ini ia dan Rizal tidak sedang berada di bangku
pesawat dalam perjalanan kembali ke Jakarta. Padahal ini baru
lima belas menit mengudara, tetapi Rizal sudah tidur tanpa
sadar sekitar. Posisi Rizal yang memeluk dari samping,
membuat beberapa penumpang lain sesekali menatap mereka
sambil lalu berbisik-bisik. Norak, begitu pikir mereka, karena
mengumbar kemesraan seperti tidak punya tempat privasi.
Kanin meringis, berusaha mendorong tubuh Rizal
menjauh sambil berbisik ke telinga lelaki itu. Biar saja Rizal
bangun, Kanin sudah tidak peduli.
"Psst, Zal, Zal..."
Rizal menggeliat kecil, tapi tidak merubah posisinya.
"Zal..."
"Hm," gumamnya.
"Geseran!" bisik Kanin tertahan.
"Ishh, Zal!"
"Ck, apaan sih?" tanyanya tanpa membuka mata.
"Geseran, ih! Malu dilihat orang."
"Ngantuk."
"Zal ...!"
"Hm."
Bukannya bergeser, Rizal malah semakin mempererat
pelukannya. Karena kehilangan kesabaran, Kanin mendorong
tubuh Rizal kuat hingga hampir terjungkal dari tempat duduk.
Kanin membekap mulut, kegaduhan yang mereka timbulkan
semakin membuat mereka menjadi pusat perhatian.
Terkejut, Rizal tersadar penuh, lalu menatap sang pelaku
geram. Kanin meringis pelan. "Apa-apaan sih, Nin?!" tanyanya
dengan mata memerah, karena masih mengantuk.
Kanin mengusap rambut ke belakang telinga, lalu menarik
tubuh Rizal dan berusaha menenangkannya. Ia berkata lirih
sambil menceritakan apa yang terjadi.
"Tapi enggak perlu dorong juga kali. Kaget tahu. Tadi
dalam mimpi, aku pikir aku jatuh dari pesawat,” ujarnya kesal.
BukanPerawanTua - 52Sejak diprotes Shela waktu itu, Kanin dan Rizal sepakat
merubah cara panggil menjadi aku-kamu. Agar lebih terbiasa,
dan agar tidak terlihat kaku di depan orangtua.
"Iya-iya maaf, refleks tadi. Habisnya kamu enggak
bangun-bangun."
“Ngantuk ...! Aku kira kamu guling, makanya aku peluk,"
serunya sambil mengucek mata.
Kanin mendengkus.
“Ada apa, Mbak-Mas?" Pramugari cantik, bertubuh
langsing dan tinggi semampai muncul dari arah belakang
setelah mengamati keributan mereka.
Rizal tersenyum merangkul pundak Kanin, merapatkan
tubuh mereka. "Biasa, Mbak, istri saya ini lagi kedatangan
tamu bulanan, makanya sangarnya kayak macan beranak."
Pramugari itu tersenyum santun. "Oh, saya kira ada apa
ribut-ribut. Kalau begitu saya permisi dulu, kalau ada perlu
sesuatu bisa panggil kami."
Mengangguk, pramugari berseragam merah itu berlalu,
tetapi Rizal masih memperhatikan caranya berjalan. Kanin
memicingkan mata. Dasar laki-laki! Lihat yang bening sedikit
saja langsung lupa sama istri, pikirnya kesal. Ternyata sifat
playboy Rizal dari jaman SMA dulu belum hilang, Kanin
tambah kesal.
‘Lah, kenapa jadi aku yang kesal. Biarkan saja, mau
mengoleksi seribu wanita sekalipun, apa peduliku!' Ia
menggerutu dalam hati.
Tunggu dulu?
Ja kan istrinya. Tidak mau jika baru menikah sudah jadi
janda. Kanin merengut, ia mengacak rambut, merasa sebal
dengan dirinya sendiri.
Rizal menyerngit melihat tingkah aneh Kanin. "Kenapa?"
"Enggak apa-apa."
"Oh," jawabnya cuek, lalu kembali memejamkan mata.
Rasa kantuknya belum begitu hilang.
Gitu doang? Kanin semakin kesal. "Zal!"
"Hm?"
"Pramugari tadi cantik, ya! Badannya seksi, putih lagi. "
Maya Fadil - 53"Itu tahu," jawabnya dengan mata terpejam.
"Kamu naksir?"
“Bisa jadi."
"Ya sudah sana sama dia!" kata Kanin sambil cemberut.
Rizal langsung membuka mata, menatap Kanin jahil.
"Berarti boleh nikah lagi?"
Kanin melotot. "Satu aja belum digarap, udah ke pikiran
mau yang lain!" Ia memukuli lengan Rizal. Rizal mengaduh,
Kanin tidak menghiraukan.
“Ternyata seram banget ya perempuan kalau lagi PMS itu.
Laki-laki jadi sasaran samsak. Kamu jangan kayak gitu ya,
Yank. Kalau kita nikah nanti," celetuk laki-laki yang duduk di
seberang mereka bersama kekasihnya.
"Enggak lah, Yank. Kan aku sayang sama kamu.
Memangnya Mbak itu,” ujarnya sinis sembari melirik Kanin.
Tambah kesal, Kanin menatap tajam pasangan itu, mereka
mengalihkan pandangan sembari berbisik-bisik.
sek
Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah
minimalis bercat biru milik Rizal di kawasan Jakarta Pusat.
Sebelumnya mereka sempat berdebat mengenai Kanin yang
ingin pulang ke kontrakan, karena masih merasa kesal. Namun,
Rizal bilang, "Bukannya sekarang kita sudah nikah, masa iya
tinggal pisah. Siapa yang mau beres-beres rumah sama masak.
Lumayan kan kalau ada kamu, bisa jadi pembantu tanpa
bayaran, hehehe!"
Kanin membelalak dan memprotes ucapan Rizal, masa ia
disamakan dengan pembantu. Namun, lelaki itu mengancam
akan mengadukan orangtua Kanin, dan akhirnya ia hanya bisa
mengangguk setuju.
Rizal menurunkan koper dari bagasi, Kanin menunggu di
samping pagar. Begitu pagar terbuka, ia masuk lebih dulu
sambil membawa koper miliknya, sementara Rizal kembali
menghampiri pengemudi taksi untuk membayar argo.
BukanPerawanTua - 54Setelah beres, Rizal menyusulnya yang berdiri di depan
pintu. Rizal lantas memutar kunci rumah, dan mereka pun
masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat, untuk ukuran laki-
laki yang tinggal sendiri, Rizal lumayan rapi. Kemungkinan
sudah dibereskan sebelum di tinggal pergi.
Sekilas penilaiannya, Rizal bukan jenis laki-laki jorok
yang gemar menebar kulit kacang, atau meninggalkan bekas
makan sembarangan. Semoga saja itu benar, pikirnya. Ia
memasuki kamar yang ditunjukkan Rizal. Ranjang tidak terlalu
besar, tetapi cukup untuk tidur dua orang. Ia menyeret koper
menuju lemari kayu besar di samping kanan tempat tidur.
Begitu ia buka, sebagian besar sudah terisi.
Matanya berkeliling, menemukan berbagai perabotan
Jaki-laki tercecer di kamar ini. Seperti ikat pinggang, handuk,
alat cukur, dan beberapa lembar pakaian yang tersampir di
balik pintu.
"Ini kamar kamu?" tanyanya pada Rizal yang baru
menyusulnya masuk.
"Yaiyalah," jawabnya santai seraya mencopot jaket yang
dipakai.
"Kok aku tidur di sini?"
“Memang ada yang salah?
"Tapi kita--
"Kita sudah nikah kalau kamu lupa. Memang ada norma
yang melarang suami tidur sama istrinya?"
Kanin menggigit bibir. Masih merasa aneh dengan semua
ini. Bingung dan canggung, hanya berdua dengan Rizal di
kamar. "Enggak sih, tapi pernikahan kita?"
"Pernikahan kita sah. Itu buku nikahnya ada, kalau kamu
enggak lupa bawa."
"Ishh, bukan itu," katanya kesal. Tiba-tiba memekik
sambil menutup mata ketika Rizal melepas celana jeansnya.
“Zal, kamu mau ngapain?!"
"Hah, ngapain apanya?"
“Pakai celana kamu!"
“Buka dulu mata kamu!"
“Pakai celana!"
Maya Fadil - 55"Buka mata!"
Kanin menggeram, lalu perlahan membuka mata, dan
bernapas lega. Ternyata Rizal masih memakai celana boxer.
Rizal tergelak. "Jadi kamu takut aku apa-apain toh? Astaga
Kanin-Kanin, kayak bocah ABG saja!"
Kanin cemberut.
Rizal naik ke tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya.
Kanin mengamati dalam diam. Rizal menaikkan alisnya.
"Kenapa? Enggak apa-apa ‘kan kalau SUAMI-ISTRI
tidur berdua?"
Kanin masih diam.
“Tenang saja, aku enggak bakal apa-apain kamu malam
ini. Aku capek banget. Ngatuk. Tapi, enggak tau kalau besok,"
Rizal mengerlingkan mata sebelum memejamkannya. Diam-
diam ia menahan tawa, sungguh asik mengerjai perempuan itu.
Tidak lama matanya kembali terbuka. "Aku enggak mandi
ya, Nin. Soalnya udah malam dingin banget. Aku sarankan
kamu juga enggak usah mandi, nanti masuk angin baru tahu
rasa."
"Jorok!" Kanin melempar bantal ke arahnya sebelum
berlalu ke kamar mandi.
Rizal tergelak.
BukanPerawanTua - 56Tiba-tiba ia terbangun. Menoleh ke samping melihat laki-
laki tengah terlelap, hampir menjerit jika saja tidak segera
teringat kemarin baru menjalani prosesi paling sakral dalam
hidupnya. Ia membuka selimut, hampir menjerit lagi, tetapi
urung ketika menemukan pakaiannya masih lengkap. Huh, huh,
ia mengatur napas. Ini benar-benar baru membuatnya sering
kali lupa jika kini statusnya bukan lagi lajang.
Kanin bangkit menuju lemari kaca. Membuka sedikit
bajunya, mengecek apakah ada tanda yang menandakan Rizal
macam-macam padanya. Huft, ternyata tidak. Mungkin laki-
Jaki itu benar-benar kelelahan.
Ia menepuk kening. Rizal berbuat pun tidak akan dosa,
justru ia yang dosa jika menolak. Namun, untuk sekarang ia
belum siap. Dirinya perlu penyesuaian yang lebih dulu pada
suaminya.
Ah, suami, pipinya bersemu. Membalik badan, menatap
Rizal lama, kembali mencubiti diri, berharap segera terbangun
jika ini hanya mimpi.
Meregangkan tangan sembari menguap kecil, Rizal
melihat perempuan memasak di dapurnya. Biasanya dirinya
sendiri yang mengerjakan, tetapi kini ada perempuan yang
menggantikan.
“Kamu masak apa?" tanya Rizal, harap-harap mendapat
kejutan dari masakan pertama istrinya.
Maya Fadil - 57Kanin mematikan kompor, membalik badan, lalu
menaruh hasil masakannya di meja. Tanpa menjawab
pertanyaan Rizal, ia kembali berlalu untuk mengambil nasi dan
perlengkapan makan.
Rizal menatap datar. "Di hari pertama jadi istri, kamu
cuma memasakkan suamimu telur? Di mana letak harunya?"
"Aku enggak lagi berusaha membuatmu terharu," jawab
Kanin santai sembari duduk. "Mungkin kamu lupa kalau di
kulkas cuma ada itu."
"Masa sih?"
"Cek saja sendiri."
Lelaki itu menghela napas, mengingat jika ia memang
mengosongkan kulkas sebelum akan ditinggal ke Yogyakarta.
"ya nanti belanja."
"Nah gitu dong jadi suami, jangan kebanyakan protes."
Rizal kembali mengamati dua telur mata sapi di piring itu.
"Mana mungkin enggak protes kalau telurnya agak gosong
gini?"
"Tadi apinya kebesaran . Itu enggak gosong kok, tapi
kematangan, jadi agak menghitam."
Rizal berdecak, lalu menyodorkan piring.
"Apa?" tanya Kanin.
“Ambilkan nasi."
“Huh, dasar manja."
“Masih mending manja sama istri sendiri, daripada sama
istri tetangga."
Menghela napas, Kanin pun mengambilkan nasi. Rizal
menerima piring itu kembali seraya bertanya kapan Kanin
kembali bekerja.
“Nanti habis ini."
"Lah, cepat amat, enggak ada cuti habis menikah? Kita
kan belum bulan madu." Rizal tersenyum jahil, sengaja
menggoda Kanin.
Kanin melihat ke arah lain, mulai merasa canggung.
"Enggak karena kemarin mendadak. Lagipula aku kan cuma
karyawan yang harus nurut sama bos."
BukanPerawanTua - 58"Makanya lain kali kalo melamar kerja langsung jadi
bos!"
ake
Mereka sudah kembali ke rutinitas masing-masing. Kanin
bekerja di bidang administrasi pada bagian entry data. Siang
ini dirinya sedang sibuk merekap laporan yang masuk. Ia harus
cermat dan teliti, tidak boleh satu pun yang terlewat, tetapi
sedari tadi Rani tidak membiarkan bekerja dengan tenang.
"Cie Kanin sekarang sudah nikah ... cie!"
Ja memutar bola mata, melirik Rani yang berulang kali
memunculkan kepala dari balik bilik yang memisahkan mereka.
Sahabatnya itu tak henti-hentinya menggoda.
"Ran," Kanin mengeluh.
"Cie-cie yang sudah bukan perawan tua lagi." Rani
terkikik, berisik sekali.
"Ish, Ran, Diam! Kalau ketahuan Pak Bos, bisa-bisa kita
dikasih gaji lebih awal."
“Aibh, ya lumayan lah kalau gajian awal, bisa gue belikan
sepatu yang kemarin gue lihat di onlineshop."
"Maksudnya kita dipecat, Dudul!"
"Iya-iya, sensi amat pengantin baru," Rani kembali
menjulurkan kepalanya. menyengir lebar. "By theway,
bagaimana malam pertama lo waktu itu? Servis-nya
memuaskan enggak? Pastinya mantap dong, dan anunya
juga—
Kanin beranjak cepat membekap mulut ceplas-ceplos
Rani sebelum mengucapkan kata yang tidak patut didengar.
Beberapa karyawan lain menoleh, memperhatikan ia dan Rani
yang terlihat paling berisik sendiri.
"Ehem!" Shanti, kepala HRD yang terkenal galak dan
ketus menegur mereka. Kanin langsung melepaskan tangannya
dari bibir Rani, menggaruk tengkuk.
"Ada apa ini?" tanyanya tegas. Sorot matanya tajam.
"Enggak apa-apa, Mbak. Tadi ada keributan kecil sama
Rani. Biasa lah, Mbak, dia agak meluber mulutnya, hehehe!"
Maya Fadil - 59Namun, Shanti tidak menangkap maksud candaan yang
dilontarkan Kanin, terbukti dari sorot matanya yang tidak
berubah. "Ini kantor, tempatnya kerja, bukan bercanda. Dan
kamu Rani, saya enggak tahu apa hubungan kamu sama bos
sehingga kamu masih ada di sini meski berulang kali
menyepelekan masalah kedisiplinan. Dan kamu Kanin,
beberapa waktu lalu kamu mengajukan cuti secara mendadak,
dan lagi-lagi disetujui karena bantuan Rani," Shanti melirik
Rani sebelum melanjutkan.
"Saya harap kamu lebih profesional bekerja setelah ini."
Kanin mengangguk paham. Shanti hendak berlalu, tetapi
terhenti ketika Rani menjawab, "Sebentar, kok saya agak
tersinggung, ya. Maksudnya, Mbak tuduh saya ada main sama
bos, begitu?"
Shanti tersenyum sinis. "Saya enggak menuduh jika kamu
merasa itu urusan kamu."
"Tolong ya, Mbak, jangan ngomong sembarangan.
Kebetulan saya sudah punya pacar, catat itu! Jadi saya enggak
mungkin punya hubungan spesial sama bos, jelas?"
Akhirnya terjadi perang argumen antar kedua perempuan
itu. Kanin menghembuskan napas, beranjak ke kamar mandi
meninggalkan dua perempuan keras kepala yang mulai jadi
pusat perhatian itu. Kanin pikir mereka sudah dewasa, jadi
tidak mungkin menambahkan aksi jambak rambut seusai adu
mulut.
Ja membasuh wajah di wastafel. Dari pantulan kaca
terlihat gurat lelah di sana. Terhitung sudah hampir tiga hari ia
lembur sampai malam, memenuhi janji pada atasan. Setelah
pulang ia kelelahan, tidak banyak waktu tersisa untuk
mengurus rumah dan ... suaminya.
Namun, Rizal tidak banyak protes meski Kanin tidak
selalu membuatkan sarapan pagi atau makan siang untuknya.
Barangkali karena Rizal sudah terbiasa menyiapkan segala
sesuatunya sendiri.
Tetap saja ia istri yang harus memenuhi kebutuhan suami,
termasuk ... Kanin menggigit bibir. Ia dan Rizal belum pernah
melakukannya sampai detik ini. Pernah satu malam ia tak
BukanPerawanTua - 60sengaja terbangun dan mendapati Rizal gelisah dalam tidurnya.
Bagaimanapun dirinya dan Rizal dua orang dewasa yang tidur
satu ranjang. Tidak mungkin tidak ada nafsu yang
menyertainya.
"Huh!" Ia jadi merasa bersalah. Rizal suaminya, berhak
meminta kapanpun dia mau darinya.
sek
Kanin berdiri di jalanan sekitar kantor menunggu taksi
online yang dipesan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam.
Biasanya saat senggang Rizal menjemput, tetapi malam ini
tidak bisa karena tadi pagi lelaki itu berangkat ke Semarang.
Orang kepercayaannya untuk mengurus penerbitan di
sana menghilang. Orang itu melarikan diri dengan membawa
sejumlah uang yang disetor penulis yang ingin menerbitkan
karya secara indie. Penerbitan kacau. Penulis protes karena
novelnya tidak kunjung terbit, lalu menuduh pihak penerbit
melakukan penipuan dan mengunggah kekesalan di sosial
media. Membuat nama penerbit menjadi buruk.
Rizal ke sana untuk menyelesaikan masalah dan sampai
sekarang belum pulang. Taksi online datang, Kanin masuk ke
dalam. Ia menyebutkan alamat, lalu taksi pun melaju. Ia
membuka pintu rumah dengan duplikat kunci yang diberikan
Rizal. Masuk ke dalam, ia menyalakan lampu yang padam,
karena tidak ada seorang pun di dalam. Menaruh tas,
melangkah ke dapur untuk membasahi kerongkongan.
Perutnya terasa lapar. Ia mengecek tudung saji dan tak
menemukan makanan. Membuka kulkas, ia mengambil telur
untuk digoreng. Tidak peduli sudah jam setengah sepuluh
malam.
Mengambil nasi, Kanin membawa makanannya ke ruang
televisi untuk menonton sinetron malam. Selesai makan, Kanin
menandaskan segelas air putih, meletakkan piring, dan
menyenderkan tubuh ke punggung sofa. Perut kenyang, mata
pun mengantuk. Ia menguap beberapa kali sebelum
membaringkan tubuh.
Maya Fadil - 61Baru pulang Rizal geleng-geleng mendapati Kanin tidur
di ruang TV dengan layar persegi datar itu masih menyala.
Baju kerjanya belum diganti. Piring bekas makan berserakan
di meja, sungguh jorok. Biasanya Kanin akan mengomel jika
ia tidak mandi, tetapi sekarang perempuan itu sendiri yang
melakukannya.
Ia berusaha menyadari jika Kanin kelelahan setelah
pulang lembur. Ingin rasanya ia melarang istrinya itu bekerja.
Namun, ia sedang malas berdebat, Kanin pun belum tentu mau
menuruti keinginannya.
Mematikan TV, Rizal membungkuk lalu mengangkat
tubuh Kanin menuju ranjang. Diturunkannya hati-hati sebelum.
Kanin refleks memeluk guling di sebelahnya. Rizal
mendengkus, lagi-lagi ia harus menahan. Rizal menguap, ia
juga merasa kelelahan. Terserah belum mandi, lagipula kali ini
mereka sama. Ia mencopot ikat pinggang, sebelum bergabung
di ranjang.
Sayup-sayup Kanin mendengar suara azan. Ia
mengerjapkan mata, merasakan jika tempatnya berbaring
bukanlah tempat terakhir ia tidur semalam. Ternyata dirinya
sudah berpindah ke kamar. Ia menoleh dan menemukan Rizal
terlelap di sampingnya. Berarti laki-laki itu yang telah
membopongnya. Kanin tersenyum, ia jadi teringat bapaknya
yang dulu sering melakukan itu saat ia masih kecil.
Ta hendak bangkit, tapi merasakan sesuatu menahan
perutnya. Ketika matanya menurun ke bawah, ia mendapati
tangan kanan Rizal melingkar di sana. Ia memiringkan badan,
menatap wajahnya lekat-lekat. Tanpa sepengetahuan Rizal,
Kanin sering melakukan ini, karena biasanya ia yang bangun
duluan.
BukanPerawanTua - 62Kanin mengamati seluruh bagian, dan berakhir di bibir
Rizal. Bibir yang dulu begitu ringan mencemoohnya. Bibir
yang kerap membuatnya sebal. Bibir yang belum pernah ia
rasakan sampai sekarang. Kanin geleng-geleng kepala. Hendak
bangkit, tapi lagi-lagi tangan Rizal menghalangi.
"Zal," ia menepuk pipinya ringan, agar Rizal tidak kaget
saat terbangun.
Seperti biasa, Rizal sangat sulit dibangunkan. Berulang
kali berusaha hanya mendapat geraman. Tidak menyerah, ia
kembali mengguncang tubuhnya. Rizal menggeliat dan tanpa
terduga gerakannya menimpa tubuh Kanin.
Ta menahan napas, berusaha menggerakkan tubuh
menjauh. Tiba-tiba kelopak mata itu terbuka lalu membelalak.
Kecanggungan terasa. Kanin lekas berkata-kata, tapi bibir itu
lebih dulu membungkamnya. Bergerak-gerak, memberi
sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Kanin pernah pacaran sebenarnya. Namun, sungguh ini
baru pertama kali. Dulu ia kerap menolak kontak fisik berlebih
yang menurutnya tabu dan berakhir putusnya hubungan. Selalu
seperti itu. Ia berusaha mengimbangi permainan Rizal dengan
gerakan kaku. Tidak seperti Rizal yang begitu ahli. Merasa
sudah terlalu jauh, Kanin menghentikan tangan Rizal yang
mulai bergerilya di dadanya.
"Kenapa?"
Kanin mengancingkan kembali kemeja kerja yang belum
ia ganti, karena ketiduran. Melihat sepasang mata itu meredup
kecewa, sejujurnya ia tidak tega.
"Kenapa?"
"Aku... Aku..."
"Hah?"
Rizal berdecak jengkel. "Apa?"
"Sebenarnya aku ... belum selesai menstruasi, hehe."
Rizal melongo sambil mengerjapkan mata. "Sudah berapa
hari?"
Maya Fadil - 63“Baru saja kemarin di kantor."
“Biasanya berapa hari?"
“Apanya?"
Rizal mendengkus. "Bulan merahmu itu lah!"
"Oh, enam hari sih, tapi kadang tujuh hari." Kanin
menyengir, menunjukkan sederet giginya.
"Arghh|" Rizal mengacak rambut frustrasi, kemudian
berlalu ke kamar mandi. Kanin semakin merasa bersalah.
Bukan hanya Rizal, ia pun merasa tersiksa harus
menghentikannya.
BukanPerawanTua - 64Part 11
Bilang Saja Kangen
Diam-diam sambil mengaduk nasi goreng di wajan, Kanin
memperhatikan Rizal yang duduk di meja makan menunggu
sarapan. Pagi-pagi begini mood lelaki itu sudah buruk.
Wajahnya_ ditekuk. Tiba-tiba Rizal menoleh, Kanin
menyibukkan diri pura-pura tidak melihat.
Sudah hampir setengah tujuh, ia masih berkutat di dapur.
Sebelumnya tidak pernah serepot ini, sebab pekerjaan
menuntutnya berangkat pagi. Namun, mulai hari ini ia
putuskan untuk menyempatkan diri, karena itu sudah
kewajiban seorang istri. Kanin tidak mau dicap sebagai istri
yang menelantarkan suami.
Ia membawa dua piring nasi goreng lengkap dengan irisan
tomat dan telur mata sapi. Sambil tersenyum ia menaruh nasi
goreng itu di hadapan Rizal, dan satu lagi untuknya sendiri.
Kanin menarik kursi, duduk sebelah Rizal. Namun, Rizal sama
sekali tidak membalas senyumannya.
“Enak enggak nasi gorengnya?” tanyanya harap-harap
cemas.
“Biasa saja, kayak nasi goreng pada umumnya,” jawab
Rizal cuek tanpa mengangkat wajah.
“Oh,” Kanin merengut dan melanjutkan makan. Padahal
ia mengharapkan sedikit pujian dari suaminya. Sungguh, tidak
peka sama sekali.
“Bagaimana masalah kamu kemarin? Sudah selesai
belum?”
“Belum.”
“Lah, terus bagaimana kelanjutannya?”
Maya Fadil - 65“Ya, enggak bagaimana-bagaimana.”
“Orang yang bawa kabur uang penerbitan sudah ketemu?”
Rizal menggeleng. “Sudahlah, enggak usah kebanyakan
tanya, kamu juga enggak akan bisa bantu, toh!”
“Memang sih, tapi setidaknya aku bisa jadi pendengar. Itu
pun kalau kamu mau cerita.” Kanin tersenyum, masih mencoba
memahami. Mungkin Rizal tengah pening terkait pekerjaan.
“Enggak penting juga cerita sama kamu.”
Kanin menatap Rizal yang enggan menatapnya. “Kenapa
enggak penting?”
Rizal mengangkat bahu. Lama-lama ia merasa jengkel.
Bukannya dirinya yang menstruasi, tapi kenapa Rizal yang
bersikap ketus. “Kamu kenapa sih, Zal?”
Rizal mengangkat wajah. Ekspresinya datar. “Kenapa
apanya?”
“Jutek banget perasaan.”
“Biasa saja.”
“Tuh kan! Yang PMS aku apa kamu sih? Kenapa kamu
lebih sensitif?”
“Biasa saja.”
Belum selesai pembicaraan, Rizal yang pagi itu sudah
berpakaian rapi beranjak dari kursi.
“Mau ke mana?”
“Semarang.”
“Beneran?”
“Hm.”
Kanin terkejut, mendadak sekali. “Berapa hari?”
“Tujuh hari!”
Ja membelalak.
Rizal tidak main-main dengan ucapannya. Ini sudah hari
ke empat lelaki itu berada di Semarang. Selama itu pula Kanin
ia di rumah sendirian. Ia menggerutu, Rizal memang tega
padanya.
BukanPerawanTua - 66"Apa dia sudah bosan sama aku? Lalu berniat menjauhi
pelan-pelan,” pikirnya tidak karuan.
Rasanya ia ingin menangis.
Meskipun ia dan Rizal tidak pernah bersikap manis, tapi
tidak ada lelaki itu rasanya lain. Seperti ada yang hilang. Tidak
ada lagi yang membuatnya sebal pagi-pagi. Atau memeluknya
di waktu malam. Ia benar-benar kesepian.
Sore ini sekitar jam empat ia keluar dari kantor. Jatah
lembur sudah habis, jadi tidak perlu pulang larut malam seperti
hari-hari sebelumnya. Mobil sedan silver bergerak pelan
menyampingi. Tanpa diminta pun, Kanin masuk ketika mobil
itu berhenti.
“Aku bingung, Ran, sama Rizal. Kamu punya saran
enggak?” Kanin langsung mengutarakan permasalahan. Rani
terkekeh di balik kemudi.
“Tni ada apa lagi sih, Pengantin Baru?”
Kanin berdecak. “Ya, kayak yang aku ceritain kemarin.”
“Rizal belum pulang sampai hari ini?”
Kanin menggeleng lemah. “Apa mungkin dia selingkuh
ya, Ran?”
“Hust, enggak boleh gitu. Gue kenal kok Rizal, dia enggak
mungkin selingkuh.”
“Aku bahkan kenal Rizal dari SMA, dia PLAYBOY pada
jamannya.” Kanin berkata sinis.
“Ke coffieshop dulu ya, Nin? Kayaknya lo butuh
penyegaran otak.”
Kanin mengangguk sekilas.
sek
“Aku kangen sama kamu, Zal."
Perempuan itu menghampiri, memeluk tubuhnya dari
samping, lalu tiba-tiba mencium pipinya. Rizal mengusap pipi,
ternyata kebiasaan Leni dari dulu tidak berubah, meski kini
perempuan itu sudah bersuami.
Melalui dari storyinstagram Rizal berada di CV
penerbitannya, Semarang. Leni menghubungi mengajaknya
Maya Fadil - 67bertemu. Awalnya ia menolak ketika Leni mengatakan akan
menyusul, tetapi tidak mampu lagi berkata tidak ketika Leni
memohon. Diam-diam ia juga sangat merindukan perempuan
itu.
"Bagaimana kabar kamu, dia suami yang baik, kan?"
Leni mendengkus. Ia melengos sebentar, sebelum
kembali menatapnya. "Dia lelaki yang membosankan.
Workaholic yang bikin aku ngerasa diabaikan tiap hari."
Hati Rizal terasa diremas. Ia masih tidak terima
mendengar mantan tidak bahagia dengan pernikahannya.
Nyatanya, entah berapa sakit yang diterima, ia hanyalah lelaki
lemah yang belum sanggup menanggalkan rasa sayangnya.
"Coba aja orangtuaku enggak ngotot jodohin aku sama dia
yang katanya lelaki sukses, cuma karena usaha kamu lagi turun
waktu itu." Leni mendesah, menjadi anak yang patuh tidak
serta merta membuatnya bahagia. Ia balik bertanya,
"Kalo kamu bagaimana?"
Rizal mengangkat bahu.
"Pasti dia juga perempuan yang membosankan dan
menyebalkan, kan?"
"Bisa jadi." Ia hanya tersenyum kecil.
"Ya sudahlah, ngapain kita bahas mereka, mending
sekarang kita jalan-jalan mumpung ketemu. Aku juga bawa
kamera, yuk sekalian kita hangout." Leni tertawa ceria,
mengait tangannya, mengajak mengelilingi objek wisata
Ambarawa, Semarang tersebut.
Rizal mengembuskan napas berat. Pikirannya melayang
tidak tenang. Ia tahu ini salah. Bertemu berdua tanpa
sepengetahuan pasangan masing-masing. Ia merasa menjadi
pecundang, yang belum bisa tegas menentukan pilihan.
see
Pagi ini Kanin bangun dengan wajah lebih sumringah.
Pembicaraannya kemarin dengan Rani di coffieshop memberi
sedikit pencerahan. Meskipun belum menikah, tetapi Rani
sangat pandai memberi masukan.
BukanPerawanTua - 68Rani bilang, “Salah satu tujuan nikah itu meneruskan
keturunan. Bagaimana lo sama Rizal mau punya anak dan
benar-benar terikat kalau berhubungan badan saja belum
pernah. Kasihan loh Rizal, biar bagaimanapun dia tetap laki-
laki tulen.”
Apa yang dikatakan Rani benar. Jika dihitung sudah dua
belas hari ia dan Rizal menikah, tapi belum pernah sekalipun
melakukan hubungan layaknya suami-istri. Sebenarnya hampir,
hanya saja bulan merah yang menjadi penghalang antara
mereka. Ia jadi malu.
Pagi ini rencananya ia akan belanja sekalian refreshing.
Mumpung hari minggu. Kemarin Rani mengatakan akan
menjemput jam sembilan. Kurang satu jam lagi ia gunakan
untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, mandi, dan siap-siap.
Meskipun perempuan, ia tidak seperti yang digambarkan
meme-meme sosial media. Katanya perempuan kalau mandi
butuh waktu satu jam, lalu dandan butuh dua jam, sampai laki-
laki yang nunggu ketiduran. Itu terlalu berlebihan menurutnya.
Mungkin ada perempuan seperti itu, tapi ia tidak termasuk
diantaranya.
Kanin baru selesai mandi dan berganti pakaian ketika
ponsel di atas tempat tidur berdering . Nama Rizal tertera di
layar. Tiba-tiba ia merasa antusias. Tumben sekali Rizal
menyempatkan diri meneleponnya. Ia menempelkan ponsel di
telinga kiri, sementara tangan kanannya bergerak memoles
pelembab di depan cermin.
“Kapan pulang?” Hal pertama yang langsung tanyakan.
Rizal tidak menjawab malah balik bertanya, “Kamu
kangen?”
“Enggak sih, biasa saja tuh.”
“Ya sudah aku pulangnya lusa.”
“Jangan!” serunya spontan.
Rizal terkekeh di seberang sana. “Katanya enggak
kangen?”
“Ya enggak sebenarnya, tapi kan enggak enak di rumah
sendiri. Apalagi kalau habis nonton sinema rada horror, jadi
Maya Fadil - 69parno tahu. Enggak ada teman ngobrol sama teman tidur,”
ucapnya lirih di ujung kalimat.
“Lah, dulu saja di kontrakan juga sendiri.””
“Ya memang, tapi kan—
“Bilang saja kangen.”
Kanin mengalihkan pembicaraan. “Jadi kapan mau
pulang?”
“Entah. Mungkin besok atau besoknya lagi, atau
besoknya, besoknya lagi, atau mungkin bisa juga besoknya
lagi.”
Perempuan itu cemberut. “Aihh, kalau ngomong itu yang
benar, jangan berbelit-belit dan bikin sembelit.”
Rizal benar-benar tertawa. “Ngaku dulu kalau kamu
kangen.”
“Jawab dulu.”
“Ngaku dulu.””
“Tshhh!”
“Enggak mau pulang kalau enggak ngaku.”
Kanin menghela napas, lalu menghembuskan perlahan.
Menarik napas lagi, dan menghembuskannya kembali. “Iya-iya
aku kangen, puas?”
“Hehe, gitu dong.”
“Jadi kapan pulang?”
“Kemungkinan besok, atau besoknya. Bisa jug—
KLIK. Telepon ia matikan. Bisa tidak sih Rizal tidak
membuatnya sebal sekali saja. Kembali ia melanjutkan
aktivitas di depan cermin. Namun, tiba-tiba ia tersenyum
sendiri. Sebenarnya lebih baik Rizal yang menyebalkan begini,
dibanding Rizal yang ketus seperti tempo hari.
Tidak berapa lama ponsel kembali bersuara. “Apa?”
Jeda hampir satu menit sampai Rizal berkata, “Maaf ya,
Nin.”
“Buat?”
Terdengar helaan napas dari seberang. Rizal diam cukup
lama, membuatnya kembali bertanya,
"Maaf apa?"
“Aku merasa harus minta maaf saja."
BukanPerawanTua - 70"Oh, pasti kamu mau minta maaf karena sikap buruk
kamu pagi itu. Nah, begitu dong. Haha, seharusnya aku rekam
permintaan maaf kamu ini."
Rizal tertawa lirih. "Anggap saja iya."
Maya Fadil - 71Part 12
u Kamu “alam [nil
Sore sepulang kerja, ia sibuk berkutat di dapur. Bukan
tanpa alasan jadi rajin seperti sekarang. Tadi siang Rizal
mengirim pesan kalau lelaki itu akan pulang dan kemungkinan
sampai rumah malam. Jadi ia ingin menyambut kedatangan
dengan masakan terbaiknya.
Terdengar berlebihan. Bukan masakan terbaik, melainkan
ia akan memasak makanan kesukaan Rizal. Teringat saat di
Jogja saat Rizal terlihat lahap menyantap telur puyuh balado
dan tumis kangkung buatan Kemala. Mungkin ia tidak bisa
membuat yang seenak bunda, tapi tidak apa selagi ia sudah
berusaha.
Setelah masakan dirasa matang, ia memindahkan ke
wadah dan menyimpan dalam tudung nasi, kemudian berlalu
ke kamar mandi. Selesai mandi dan keramas sebagai penanda
berakhirnya masa bulanan, Kanin berganti pakaian.
Ja segera menyisir rambut, dan mengoles bedak serta
sedikit makeup di wajah, tidak lupa juga mewarnai bibirnya.
Sebelumnya di rumah tidak pernah seperti ini. Entah mengapa
hari ini ia ingin terlihat cantik di depan suaminya. Kanin
senyum-senyum sendiri sembari bersenandung kecil.
Mendadak ia teringat sesuatu. Lebih tepatnya barang yang
ia beli bersama Rani ketika belanja hari minggu kemarin. Ia
beranjak untuk mengambil paperbag yang ditaruh di samping
lemari. Kanin meringis membuka isinya. Sebuahlingrie
berenda berwarna merah menyala berada di genggaman
tangannya. Sungguh ini bukan idenya, melainkan Rani yang
terus-terusan memaksa membeli pakaian kurang bahan
BukanPerawanTua - 72tersebut. Bahkan Rani yang membayarnya sebagai hadiah
pernikahan katanya.
Ini benar-benar memalukan. Terbayang bagaimana ia
memakai pakaian tipis itu di depan Rizal, membuatnya
bergidik. Ia tidak mungkin percaya diri itu, meskipun Rizal
suaminya. Namun, ia rindu Rizal dan ingin bersamanya malam
ini. Kanin berdecak, menaruh /ingrie itu begitu saja, lalu keluar
kamar untuk menonton televisi. Ia butuh pengalihan untuk
membuang pikiran kotor dari otaknya.
ae
Suara ketukan pintu terdengar, Kanin yang sedang
berselancar di sosial media bergegas untuk membuka pintu. Ia
tersenyum cerah mendapati muka Rizal menyambut di balik
pintu. Ia mengambil tangan kanan Rizal, menempelkannya di
kening. Rizal terkesiap, terpaku sebentar. Dapat ia tangkap
lelaki itu tersenyum singkat sebelum kembali memasang raut
seperti semula. Kanin menggiring duduk di sofa, Rizal
menyenderkan punggung seraya mencopot tas gendongnya.
Hal pertama yang Kanin tanyakan tentu saja seputar
pekerjaan. Rizal tidak menjelaskan secara detail, ia hanya
menjawab, “Andi ternyata enggak kabur, dia pulang kampung
dan bawa uang itu buat pengobatan anaknya yang kena DBD.”
“Terus kamu percaya begitu saja?” tanyanya.
Rizal mengangkat bahu. “Mungkin.”
“Kok gitu?”
“Andi memang punya anak perempuan umur lima tahun,
jadi kemungkinan dia jujur. Lagipula enggak mungkin juga
kan dia bohong dengan mengatasnamakan anaknya yang sakit
cuma buat modus penipuan,” jelasnya.
“Tapikan kita enggak tau isi hati orang bagaimana?”
Kanin tetap bersikukuh, merasa Rizal begitu santai
menghadapi permasalahan .
“Sudahlah enggak usah dipermasalahkan lagi. lagipula
Andi udah bisa dihubungi dan janji bakal kembalikan uang itu
kalau dia sudah punya rezeki.”
Maya Fadil - 73Kanin mengangguk-angguk. “Kalau masalah nama baik
penerbitan, bagaimana?”
Rizal menghembuskan napas. “Udah diklarifikasi.
Masalah percaya atau enggak itu urusan mereka.”
Kanin diam dan tidak bertanya lagi. Lama ia perhatikan,
sepertinya Rizal punya kegundahan lain yang lebih
mengganggunya. Sejenak mereka tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Kanin menoleh, Rizal menerawangkan
matanya. Setitik kekecewaan menghampiri hati. Meski
seminggu Rizal tidak bertemu dengannya, tetapi tidak ada
tanda-tanda yang memperlihatkan lelaki itu rindu padanya.
Bahkan memeluknya saja tidak sama sekali.
Sebagai istri ingin sekali-kali ia diperhatikan suami.
Dirindukan, atau setidaknya diberi sedikit sikap manis yang
membuatnya melayang.
“Zal, kamu mending mandi sana. Jangan bilang kamu
enggak mandi lagi kayak waktu itu,” ucapnya dengan iringan
canda.
Rizal mengangguk kecil dan berlalu pergi. Kanin
memandang punggungnya yang menjauh. Berusaha berpikir
jernih, mungkin Rizal hanya sedang suntuk.
eke
Menunggu Rizal selesai mandi, Kanin menyiapkan
masakan di meja dengan semangat. Tidak lama berselang,
Rizal datang dengan rambut acak-acakan belum tersentuh sisir.
Ia terpaku sebentar memandanginya. Gaya rambut yang tidak
tertata itu membawa ingatan terbang pada lelaki sama tiga
belas tahun lalu. Rambutnya yang agak ikal dari dulumemang
tidak pernah bisa dibentuk jambul. Kanin terkekeh sendiri.
Rizal menyengitkan alis. “Kenapa?”
Kanin menggeleng, menarik kursi, duduk. Rizal
melakukan hal yang sama. Pancaran mata agak berbinar tertuju
pada menu makanan yang istrinya hidangkan malam ini.
“Aku yang masak sore tadi, cobain deh,” kata Kanin riang.
BukanPerawanTua - 74Rizal menuangkan nasi di piring dan lauk pauk. Kanin
tertegun, menunggu reaksi Rizal setelah mencicipi
masakannya. Namun, setelah beberapa suapan, Rizal tidak
berkomentar apapun. Hanya duduk tenang menikmati makan.
Kanin melenguh kecewa, lalu menyendok makanan ke
piringnya sendiri. Denting sendok yang beradu dengan piring
sengaja ia keraskan agar Rizal sadar dirinya butuh perhatian.
Merasa terusik, Rizal mengangkat wajah menatap Kanin.
Ta balas menatap sebelum menunduk kembali.
“Kalau mau konser ke Ancol sana, jangan meja makan,
berisik tau,” ucap Rizal di sela kunyahan.
“Siapa yang mau konser?” Kanin menggerutu pelan.
“Kamu kenapa sih? Aneh banget.”
“Kamu yang kenapa?” Kanin memandang Rizal dengan
mata berkaca. Runtuh sudah pertahanannya. Padahal ia
perempuan dewasa mendekati tua, tapi kenapa masih cengeng
seperti balita. Dadanya terasa sesak, air mata mendesak. Rizal
melebarkan mata, dia segera memutari meja mendatanginya.
“Kamu kok nangis?” tanyanya panik.
“Kamu kalau enggak suka, kenapa kamu nikah sama aku?
Kenapa enggak sama orang lain saja? Atau jangan-jangan aku
cuma pelarian kamu? Kamu anggap aku apa? Enggak ada kah
sedikit perasaan kamu buat aku?” Kanin merancau tidak jelas,
mengeluarkan unek-unek yang tersimpan di hatinya.
Ta bergegas pulang dari tempat kerja hanya untuk
memasak sesuatu yang menarik untuk Rizal. Rela menahan
lapar dari sore hanya agar bisa makan berdua dengan Rizal.
Lama menunggu tidak sedikitpun ada tanggapan yang
membuatnya lega. Rizal dan ketidakperduliannya yang tetap
sama.
Berharap sedikit saja perhatian darinya, tapi tidak juga ia
dapatkan. Kanin rasa Rizal memang belum berniat membuka
hati untuknya. Masa lalu tetap menjadi prioritas yang paling
diingat. Bahkan, pernah satu kali ia mendengar Rizal menyebut
nama Leni dalam tidurnya. Kanin tidak tahu apakah dirinya
cembutu. Ia juga tidak tahu apakah perasaannya sudah kembali
seperti dulu. Semuanya terjadi begitu saja. Ia menangis untuk
Maya Fadil - 75sesuatu yang tidak ia mengerti. Hanya sesak dan ingin
menumpahkannya, itu saja.
“Nin,” kata Rizal sambil membelai rambut Kanin dari
belakang. “Kayaknya kamu lagi capek, sana istirahat.”
“Aku memang capek, Zal. Capek sama semua sikap kamu.
Capek!” Kanin menutup wajah, terisak. Napasnya memburu.
“Nin,” Rizal berusaha menyingkirkan tangan dari
wajahnya.
“Apa kamu menyesal nikah sama aku?”
“Seharusnya aku yang tanya kayak begitu, Zal,” serunya.
“Benar kan kamu nikah sama aku karena terpaksa?”
Rizal tertegun. Ia mengacak rambut. Tatapan mata ia
buang ke arah lain. Cukup sudah. Kanin menghentakkan kaki
sebelum berlari masuk ke kamar. Hendak menutup pintu, tapi
tangan Rizal yang lebih kuat menahannya. Lelaki itu
menerobos masuk, kemudian mengunci pintu.
“Sebenarnya ada apa sih, Nin? Ada masalah di kantor?
Ada yang jahili atau bikin kamu kesal di kantor? Atau gaji
bulanan kamu belum keluar? Tenang, uangku masih cukup kok
untuk memenuhi belanja kamu sehari-hari seperti beli
kangkung, telur, tog—
“BUKAN ITU!”
“Lalu?”
Kanin duduk di tepian kasur, memijat pelipis. Rizal
mengisi tempat di sampingnya. “Sekarang aku tanya sekali lagi,
Zal. Apa kamu udah muak dengan pernikahan ini, dan berniat
menyu—
Ucapan terhenti kala bibir Rizal menyambarnya. Kanin
membelalak kaget lantas berusaha mendorong tubuh Rizal
menjauh, tapi kedua tangan Rizal yang melingkar, mengunci
tubuhnya hingga tak bisa berkutik.
Belum melepas ciuman, Rizal membimbing berbaring di
ranjang. Ia menumpukan tangan untuk menahan beban badan
sembari menatap tajam. “Jangan teruskan omongan kamu, atau
ini nggak akan berakhir sampai pagi,” katanya dengan sudut
bibir terangkat. Usai mengatakan itu Rizal beranjak menjauh.
BukanPerawanTua - 76Kanin bangkit duduk dan menatapnya geram. “Apa
maksud kamu?!”
“Apa aku perlu mengulangnya supaya kamu tahu apa
yang aku maksud?”
Kanin menelan ludah susah payang — seraya
menggelengkan kepala.
“Kenapa? Bukannya hal itu lumrah dilakukan laki-laki
dan perempuan yang sudah sah?”
Berusaha menekan kegugupan, Kanin memicingkan mata
ke arah Rizal yang tersenyum penuh kemenangan. “Zal,
enggak usah mengalihkan topik yang kita bahas tadi, ya.”
Rizal terkekeh pelan seraya melangkah mendekat, Kanin
bergerak waspada. “Kenapa kamu begitu marah? Bukannya
kita sama-sama tahu dari awal kalau pernikahan ini didasarkan
oleh kepentingan masing-masing.”
Rizal berhenti ketika kakinya menyandung sesuatu.
Pandangan turun ke bawah, melihat kain tipis berenda merah
yang terkulai di samping kolong ranjang. Rizal membungkuk,
lalu diangkatnya tinggi-tinggi. “Ini apa, Nin?”
“Eng—* Kanin memalingkan muka.
“Tni untuk persiapan, Nin?”
Kanin menggeleng cepat. “Eng-enggak itu buk—
“Kalo enggak kenapa ada baju model begini? Jadi kamu
selingkuh sama laki-laki lain selama aku enggak ada?!”
Kanin tersentak. Rizal sudah berada di sebelahnya, meraih
kedua pundaknya, memaksa agar Kanin menatapnya. “Benar
yang aku bilang tadi?!”
Masih dengan intonasi keras, Kanin melotot tidak terima.
“Enak saja, enggak usah asal tuduh ya! Aku enggak selingkuh
sama laki-laki mana pun! Jangan-jangan kamu yang
selingkuh?”
Rizal tersentak mundur, tetapi ia harus segera menguasai
keadaan.
“Enggak ada bukti, hoax!”
“Hah?”
“Aku perlu bukti!”
Maya Fadil - 77“Aku suruh buktikan bagaimana? Memang aku enggak
selingkuh sama siapa-siapa!” Kanin berteriak, merasa terhina
dengan tuduhan Rizal.
“Makanya buktikan !”
“Ya bagaimana caranya?!”
Rizal merenggut rambutnya kasar sebelum dengan cepat
mendorong tubuh Kanin hingga berbaring. Ia menarik kedua
tangan Kanin ke atas. “Masih kurang jelas?” tanyanya serupa
bisikan. Dapat ia rasakan embusan napasnya yang memburu
menerpa wajahnya.
"Ta-tapi..."
"Kamu enggak mau?"
“Aku cuma..."
"Ssstttt ... aku mau kamu malam ini."
Lidah Kanin terasa kelu untuk berkata-kata.
“Bunda tadi telepon.”
“La-lalu?”
“Dia minta cucu.”
Seolah terhipnotis oleh binar mata sendu itu, Kanin
mengangguk. Rizal mengikis jarak. Untuk pertama kali, malam
ini menjadi malam terpanjang antara ia dan Rizal.
BukanPerawanTua - 78‘Dua bulan berlalu sejak ia dan Rizal menjadi suami-istri
dalam arti sesungguhnya . Menjalin hubungan layaknya dua
orang yang berumah tangga. Tidak banyak yang berubah, Rizal
tetap orang yang menyebalkan seperti biasa, tapi hal tersebut
sudah jadi ciri khas dan dapat Kanin maklumi. Bahkan terasa
aneh jika Rizal bersikap mendadak romantis misalnya.
Sudah bisa ditebak, Rizal hanya akan bertingkah semanis
gulali ketika menginginkan sesuatu Kanin. Sesuatu yang
bersifat privasi bagi suami-istri. Beberapa bulan tinggal
bersama juga membuat Kanin banyak mengerti tentang Rizal.
Apa yang disukai dan tidak. Laki-laki itu tidak suka makanan
terlalu pedas, juga tidak suka minum jika tidak sehabis makan.
Akibatnya kulit kering, tidak banyak cairan masuk dalam
tubuhnya. Beberapa kali Rizal mengeluhkan sakit di bagian
pinggang.
Kanin yang khawatir langsung memaksa periksa ke dokter.
Untung saja tidak ada gejala penyakit yang serius. Hanya
dokter menyarankan Rizal memperbanyak minum air putih,
untuk membantu metabolisme, agar ginjalnya tidak terganggu.
Terkadang saat pagi buta mereka sudah berdebat, karena Kanin
yang terus memaksa membiasakan minum segelas air setelah
bangun tidur. Rizal sering menolak, tapi kadang ia menurut
agar Kanin tidak mengomel lebih panjang dan membuat
telinganya panas.
Dan ternyata yang dikatakan Shela waktu itu benar. Rizal
fobia cicak. Pernah satu kali ketika mereka nonton TV ada
cicak jatuh di dekat Rizal. Lelaki itu terjingkat lantas berlari
Maya Fadil - 79histeris menyambar pembasmi serangga, dan menyemprotkan
ke sofa tempat cicak itu jatuh dengan badan gemetar.
Ja hanya tergelak melihat tingkah suaminya yang bak
melihat maling masuk rumah. Aura laki-laki yang ada pada
Rizal seketika luntur hanya karena melihat hewan kecil yang
masih masuk dalam anggota keluarga tokek tersebut.
Rizal memarahi karena menertawai orang yang sedang
ketakutan. Fobia itu sulit dilawan. “Awas ya, kalau aku tau
ketakutan terbesar kamu, bakal aku ketawain habis-habisan,”
ancamnya sengit.
Kanin hanya terbahak dan mengangguk saja.
sek
Dulu ia tidak pernah tau jika Rizal menyukai dunia literasi.
Bukan karena Kanin meragukan kemampuan, tapi setaunya
saat SMA Rizal bukan jenis murid yang menghabiskan waktu
berjam-jam di perpustakaan.
Laki-laki tidak taat aturan yang sering gonta-ganti pacar
dan gemar menyakiti hati perempuan. Dulu, hanya itu yang ia
tahu dari Rizal. Namun, ketika dijumpai kembali sosoknya
yang telah memiliki penerbitan buku sendiri, Kanin lumayan
heran sekaligus kagum. Rizal lebih memilih wirausaha di
bidang literasi, bukan berdagang atau membuka restoran cepat
saji.
Saat ia bertanya alasan, Rizal bercerita, “Dulu saat kuliah
aku ambil jurusan sastra bahasa Indonesia. Niatnya mau ambil
jurusan hukum atau akuntansi, lalu jurusan bahasa buat
cadangan. Tapi kadang niat enggak sesuai harapan, dan aku
malah ke terima di jurusan ketiga,”
“Awalnya aku ingin keluar karena kurang sreg sama
jurusan itu. Tapi waktu itu aku ketemu perempuan yang bikin
aku semangatmeneruskan kuliah sampai akhir.” Rizal
tersenyum. Tampak bahagia mengingat perempuan itu.
‘Apakah Leni perempuan yang dimaksud Rizal?’ pikir
Kanin. Tiba-tiba ia merasa kurang nyaman dengan
pembahasan ini.
BukanPerawanTua - 80“Selesai kuliah aku enggak tahu mesti ngapain, mesti
mencari kerjaan apa, sampai seorang temanmengajak aku—
“Teman kamu itu cowok apa cewek?” potongnya.
Rizal melirik sinis. “Bisa enggak aku selesaikan cerita
dulu?”
“Oh, oke.”
“Dia cowok, namanya Febri. Dia yang mengajak aku buka
penerbitan bareng. Biayanya sokongan. Kebetulan Febri sudah
pernah menerbitkan beberapa buku dan punya banyak kenalan
yang bergelut di bidang itu. Dari dia aku belajar semuanya.
Aku jadi lumayan senang membaca, menulis— " Namun, tidak
lama ekspresi Rizal berubah, “—tapi takdir berkata lain, belum
genap setahun kami mendirikan penerbitan, Febri mengalami
kecelakaan dan,”
Rizal menghembuskan napas berat. “Sejak kepergian
Febri, aku janji sama diriku sendiri buat meneruskan usaha itu
apapun yang terjadi.”
Air mata merebak di sudut mata langsung Rizal seka
dengan punggung tangan. Rizal memang bukan jenis laki-laki
yang kuat menahan sedih. Itu terbukti ketika beberapa kali
Kanin mendapatinya menangis. Bahkan, Kanin memergoki
Rizal menangis hanya karena film sedih yang mereka tonton di
bioskop minggu lalu.
‘Dasar cengeng!' batin Kanin. Ingin mengatai, tapi
momennya kurang pas.
“Nin, buatkan kopi dong, mau begadang ini,” pinta Rizal.
Tanpa banyak protes, Kanin beranjak ke dapur, sementara
Rizal membuka laptopnya yang di ‘s/eep’ sebelum membagi
cerita dengannya. Ia kembali membawa secangkir kopi dan
sepiring cemilan yang ditaruh di meja kecil samping ranjang.
“Ttu kopinya.”
Rizal melirik, lalu mengangguk pelan. Jemarinya lincah
menari-nari di keyboad. Menulis kata demi kata yang akan
menjadi naskah untuk novel terbarunya. Sudah hampir setahun
Rizal berhenti menulis. Hari ini ia ingin memulainya kembali,
lagi punya inspirasi.
Maya Fadil - 81Dari belakang Kanin menumpukan dagu di pundak Rizal.
Lelaki itu lebih gesit menutup laptop a sebelum Kanin
membaca cerita yang ia tulis.
“Kenapa?”
“Kamu enggak boleh baca.”
“Kok begitu?”
“Tni baru mau mulai. Kalo kamu baca nanti ambyar semua
imajinasiku. Dah sana, ganggu saja,” ucapnya sambil
mengibaskan tangan, mengusir istrinya.
“Sana, dasar pelit,” cibir Kanin pelan, lalu berbaring,
mengubur diri dalam selimut.
“Katanya tadi belum ngantuk?”
“Hoamzz.”
Rizal hanya menggelengkan kepala sebelum kembali
menekuni aktivitasnya.
sek
“Beneran enggak bisa, Bos?”
Bos menggeleng untuk yang ke sekian kalinya. Kanin
baru saja minta izin cuti lagi, karena akan pergi ke Jogjakarta
menghadiri ijab kabul Salsa dan Ferdi yang akan diadakan hari
jumat besok. Tadi malam Salsa sudah meneleponnya berulang-
ulang.
“Cuma dua hari doang kok, Bos. Masa enggak bisa?”
“Beneran enggak bisa, Nin. Besok kantor lagi dalam fase
benar-benar sibuk, dan enggak ada satu pun karyawan yang
diizinkan absen.”
Kanin mendesah pasrah sambil menyedot es teh. Saat ini
mereka sedang ada di kafetaria kantor untuk makan siang. Di
sebelahnya Rani juga tampaknya tidak bisa membantu. Jangan
heran jika melihat mereka bertiga makan di meja yang sama.
Kanin, Rani, Ridho—pak bos, memang akrab, atau bisa
dibilang karena Rani Kanin jadi akrab.
Ridho merupakan sahabat Rani semasa kuliah. Dan
rahasia yang jarang ketahui orang, Ridho adalah pacar Rani
semasa SMA. Mereka pacaran saat SMA dan putus di tengah
BukanPerawanTua - 82kuliah. Ridho belum menikah sampai sekarang, dan Rani
tengah menjalin hubungan dengan Tio. Rumit, tetapi unik.
Kanin berpikir, mungkin akan menarik jika kisah cinta mereka
diangkat jadi novel.
“Beneran enggak bisa, Do? Kasihan loh Kanin, mau
mendampingi adiknya nikahan. Masa kamu halang-halangi.”
“Bukannya dihalang-halangi, Ran. Tapi sebagai bos aku
harus bersikap profesional dan adil. Bagaimana kata karyawan
lain kalau Kanin diizinkan libur sedangkan mereka enggak?”
“Tapi ini pernikahan adiknya loh?”
“Memang kalau Kanin enggak datang pernikahannya
bakal bubar?”
Rani berdecak. “Lo mah gitu, Do, enggak teman ah,
malas!”
Ridho menghela napas, Kanin menengahi. “Sudahlah,
Ran, enggak apa-apa. Bos juga sudah punya pertimbangan, kok.
Aku juga bisa ke sana sabtu sore, terus minggu pulang. Salsa
pasti ngerti, kok.”
“Tapi, Nin?”
Kanin menggeleng, Rani melengos.
sek
Keesokan harinya Kanin membatu Rizal membereskan
barang yang akan dibawa ke Jogja. Ia sudah menelepon Salsa
dan memberitahu jika hanya Rizal yang datang sementara ia
menyusul sabtu sore selepas pulang kerja.
“Enggak usah bawa baju dari sini. Aku mau pulang dulu
ke rumah, sekalian ke sana bareng bunda sama Fania,” kata
Rizal sambil mengeringkan rambut.
Kanin mengangguk.
“Kamu enggak masalah kan ke sana sendiri?”
“Enggak.”
“Naik pesawat aja, sudah aku pesankan tiketnya.”
“Iya.”
“Kalau di bandara dijaga barang-barangnya. Kalau diajak
orang enggak dikenal jangan mau, nanti kamu diculik.”
Maya Fadil - 83Kanin mengatupkan bibir. Memang Rizal kira ia anak
kecil diperingatkan begitu. Namun, ia tidak membantah dan
hanya menjawab, “Iya.”
“Jangan cuma iya-iya aja, tapi diingat.”
“Ho’oh,” tiba-tiba Kanin iseng ingin bertanya, “Memang
kalo aku diculik kamu bakalan bagaimana?”
Rizal yang mengoles gel ke rambutnya, menjawab cuek,
“Paling-paling aku cari istri lagi.”
Kanin meradang, langsung mendaratkan bantal ke
punggungnya. “Halus banget ya kalau ngomong sampai-
sampai aku terkesima,” katanya sinis.
“Terimakasih,” jawab Rizal santai sembari berjalan keluar
kamar.
Kanin mendengus kesal, bersamaan dengan itu ponsel
Rizal berdering. Siapa yang menelepon Rizal pagi-pagi begini?
Ah, mungkin bunda, pikirnya. Ia mengambil ponsel di atas
kasur. Sepertinya tidak apa ia yang angkat. Biasanya Rizal
sangat anti jika ia menyentuh ponsel yang menurutnya privasi.
Kanin tertegun. Pupil matanya membesar.
‘Leni sayangincomingcall’
Hatinya mencelos. Rizal saja tidak menamai kontaknya
semesra itu. Sekarang Rizal telah menemukan ketakutan
terbesar,
Yaitu kehilangan dirinya.
BukanPerawanTua - 84Part 14
pakah da Ruang Ontukku?
Perempuan itu mulai kehilangan kepercayaan. Sesuatu
yang tumbuh kembali terpatahkan. Bangunan yang baru jadi
setengah, mulai retak perlahan. Semua Karena kebohongan
yang disembunyikan dalam hubungan.
Apa yang pernah dikatakan Rizal omong kosong. Lelaki
itu bilang akan memulai semua dari awal? "Awal apa? Awal
perpisahan maksudnya?!"
Nyatanya Rizal tidak sungguh-sungguh dengan
ucapannya, lalu dengan bodohnya ia percaya. Rizal sudah
berangkat satu jam lalu. Bukan perpisahan dengan ciuman atau
pelukan, tapi ia pergi begitu saja setelah pertengkaran mereka,
“Tuh mantan terindah kamu telepon,” kata Kanin seraya
melempar ponsel itu ke Rizal.
Ta berusaha menangkap, tapi benda persegi itu lebih dulu
terjun ke lantai. Seketika panggilan terputus. Kanin tahu yang
ia lakukan tidak sopan. Rizal suaminya dan tidak seharusnya ia
bersikap demikian. Namun, hatinya terlanjur panas, hingga
tidak lagi memikirkan adab berkelakuan.
“Nin, apa-apaan sih?!” seru Rizal sambil memasang
baterai yang tercerai di lantai.
“Kalau ada masalah itu ngomong, bukan bersikap seperti
perempuan bar-bar kayak gini!”
Kanin beranjak menghampirinya. “Maksud kamu apa?”
“Kamu tanya maksudku?” Rizal menunjuk wajahnya.
“Seharusnya aku yang tanya, kenapa kamu tiba-tiba main
lempar HP orang sembarangan?”
Maya Fadil - 85“Sudah aku bilang kalau mantan kamu nelepon, apa itu
kurang jelas?”
Rizal tidak menjawab, ia menunduk, menghidupkan
ponselnya. “Lain kali jangan asal comot HP orang tanpa seizin
yang punya,” katanya sinis.
Kanin melipat tangan, tersenyum miring. “oh iya, aku
lupa. HP kamu kan privasi ya, enggak boleh seorang pun tahu,
karena di dalamnya banyak kebohongan tersimpan,” katanya
tidak kalah sinis.
“Ngomong apa sih kamu? Ngelantur!” Rizal memasukkan
asal-asalan barang yang baru setengah dirapikan di tas.
“Sudah ah, aku mau _berangkat,” katanya seraya
mengangsurkan tangan.
Kanin melirik malas uluran tangan itu. Rizal saja tidak
menjelaskan apapun agar ia tidak salah paham, seolah
membenarkan dugaan. Berdecak, Rizal melangkah keluar, tapi
Kanin lebih gesit memalang pintu.
“Benar, kamu masih berhubungan sama Leni?”
Rizal berusaha menggeser, tapi Kanin tetap
mempertahankan posisi. “Enggak ada,” jawabnya.
“Kalau enggak ada kenapa nama kontaknya tetap Leni
sayang?” Kanin terus mencerca dengan pertanyaan.
Rizal menjawab datar, “Lupa belum diganti.”
“Karena pada dasarnya dia belum tergantikan di hati kamu,
kan?”
“Apa sih, ngelantur!”
“Aku sadar-sesadar-sadarnya kalau aku lagi tanya sama
kamu, Zal.”
“Enggak ada apa-apa.”
“Kalau enggak ada apa-apa kenapa perempuan itu
hubungi kamu?”
“Sudah dibilang enggak ada apa-apa masih saja ngeyel.
Kamu itu ingin tahu banget urusan orang!”
“Aku istri kamu, kalau kamu Lupa,” jawabnya berteriak.
Ia menghela napas, menahan agar tidak menangis.
BukanPerawanTua - 86“Terus mentang-mentang kamu istriku, kamu harus tahu
semua urusanku, begitu? Semua orang punya privasi, Nin.
Jangan lupa kamu!”
“Privasi untuk selingkuh?”
“Aku enggak selingkuh!” Rizal balik berteriak, Kanin
tersentak.
Usai membentak, Rizal menerobos. Baru beberapa
langkah, suara Kanin menghentikan, “Cuma perempuan
enggak benar yang hubungi suami orang pagi-pagi disaat dia
seharusnya masak dan ngurus suaminya sendiri!”
Rizal berbalik cepat, lalu mencengkeram lengan istrinya.
“Jaga ucapan kamu, siapa yang kamu bilang perempuan
enggak benar?!” Rizal menatap tajam, cengkeraman semakin
menguat, tetapi Kanin hanya diam memandangnya.
Tersadar dengan apa yang dilakukan, Rizal melepas
lengan Kanin yang memerah tercetak bekas kukunya. Rizal
menyentuh lengan itu, Kanin meringis pelan. Ia menyugar
kasar rambut ke belakang, lalu pergi tanpa permisi. Air mata
Kanin tumpah.
sek
Kanin tersentak, terbangun dari tidur. Jam menunjukkan
pukul sepuluh pagi. Ternyata ia tertidur usai pertengkaran
dengan Rizal tadi pagi. Bangkit dari ranjang, ia bercermin
sambil merapikan rambut. Matanya bengkak dan terasa perih,
karena terlelap dalam keadaan menangis.
Berusaha mengurai kesedihan, ia berjalan keluar kamar,
mendapati rumah masih dalam keadaan berantakan. Debu
bertebaran ke mana-mana, karena belum sempat dibersihkan.
Kanin mengambil sapu, dan mulai menyapu tiap ruangan satu
persatu.
Usai membereskan ruang tamu dengan pikiran kosong, ia
menuju ruangan kecil yang biasa digunakan Rizal untuk
menghabiskan kegiatan. Ia mulai menyapu sela ruangan yang
sangat cocok untuk metime ini. Sebelah tembok kiri terdapat
satu rak punuh berisi buku pengetahuan ataupun novel.
Maya Fadil - 87Sebelah kanan ditempati lemari kaca tempat menampung
piagam, piala, maupun benda koleksi milik Rizal. Sisa tempat
diisi sofa yang menghadap langsung ke jendela kaca dengan
meja kecil di depannya.
Terkadang saat menjelang maghrib, ia dan Rizal duduk di
sini. Jingga kekuningan yang menghiasi langit sore sungguh
memukau. Biasanya mereka tidak berucap sepatah kata, hanya
menikmati senja, dan bersandar di bahunya. Seketika senyum
yang hampir terbit, tenggelam kembali. Teringat pertengkaran,
membuat dadanya sesak. Air mata yang telah usai, mulai
berjatuhan kembali. Perih di lengan sudah tidak seberapa, tapi
nyeri di hati masih terasa.
Ja menarik turunkan napas sambil meletakkan sapu. Tiba-
tiba rasa penasaran menyeruak, seistimewa apa perempuan itu,
hingga Rizal tetap membela meski sudah dikhianati. Sebesar
apa rasa cinta, hingga ia istri sahnya tidak mendapat pembelaan
darinya.
Rizal pernah memamerkan tiga novel hasil karyanya
beberapa tahun lalu. Kanin terpikir, biasanya beberapa penulis
mendapat inspirasi dari kehidupan pribadinya. Bisa saja Rizal
salah satu diantaranya.
Kanin mengangkat meja kecil, kemudian menaiki untuk
mengambil tiga novel tersebut di rak paling atas. Setelah diraih
semua, ia membawa ke sofa sembari dibaca satu per satu
sinopsisnya. Tidak ada yang pas, karena semua novel itu
bergenre horror.
Terdiam cukup lama, Kanin teringat lagi, ia hampir
pernah membaca buku catatan Rizal, tetapi langsung disahut
lelaki itu. Katanya buku privasi, tidak seorang pun boleh
membacanya. Barangkali itu buku diarya. Ia beranjak mulai
mencari-cari. Satu persatu sela buku dibukanya. Pasti masih
ada rak ini. Kanin yakin sekali. Hampir menyerah, tetapi ketika
melihat buku bersampul biru di selipan buku tebal, Kanin
mengambilnya.
Ja tahu kegiatan membaca buku diary seseorang adalah
tidak sopan. Namun, Kanin sudah tidak peduli, rasa penasaran
BukanPerawanTua - 88lebih mengusai. Ia membuka-buka, membaca sekilas, sampai
menemukan halaman yang dicari.
Jurusan bahasa Indonesia bukanlah tujuan. Hanya
pilihan terakhir yang kebetulan meloloskanku— masuk
Universitas. Namun, aku tidak mungkin membatalkan. Ayah
dan Bunda sudah terlanjur bahagia mengetahui aku masuk
Universitas Negeri di kota Jogja.
Jujur saja itu sangat menyiksa. Bayangkan saja saat kau
tidak menyukai jurusan yang kau jalani. Beberapa kali aku
bolos mata kuliah, karena bosan tiap hari membahas seputar
sastra. Belum lagi ada tugas suruh meresensi buku, rasanya
aku ingin segera pindah jurusan. Jika bukan demi orangtua,
pasti aku sudah meluluskan diri sejak dini.
Hari-hari kuliah terasa monoton. Tidak banyak yang bisa
kulakukan. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang hobi
menunduk, maksudku membaca berlembar-lembar buku di
tangannya. Tidak semua, hanya saja sebagian besar. Intinya
mereka gemar membaca, berbeda denganku yang baru
membaca dua lembar saja sudah mengantuk.
Hari itu, berniat mencari udara baru, aku ikut Febri—
orang yang paling akrab denganku di kelas, berwajah lumayan,
tetapi aku lebih tampan—pergi ke fakultas bisnis. Bukan tanpa
alasan aku mengekor ke sana, Febri akan bertemu temannya.
Anak akuntansi. Katanya sih cantik, jadi aku ikut saja.
Baru masuk ke halaman saja, mata ini sudah berbinar.
Gila! Cewek fakultas ini cakep-cakep, Cuy! Penampilannya
modis-modis. Aku kasih senyum dikit, mereka histeris, Febri
memukul pundakku.
Katanya nggak usah jual pesona di sini. Aku mendengkus
dan mengikuti langkahnya sampai kafetaria kampus. Sambi
menunggu teman Febri datang, aku berkedip ke salah satu
cewek cantik di ujung sana, dia terkikik. Ternyata pesonaku
memangdahsyat!
Tidak lama teman Febri datang. Memakai celana jeans
dan kemeja pink berlengan pendek. Aku langsung terpaku
tanpa berkedip. Wajah ayu itu tersenyum padaku.
Maya Fadil - 89Mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri, “Leni,”
ucapnya lembut. Aku masih sangat ingat.
Aku memperkenalkan diri sebagai cowok paling ganteng
di FIB, Febri protes. Lena tertawa. Itu lah awal perkenalanku
dengan gadis yang kini mengisi hari-hariku. Mengingat saja
membuatku tersenyum.
Leni perempuan yang menarik. Sangat menarik malah,
hingga mampu menarik perhatianku untuk mengenalnya.
Karena dia aku mulai berubah. Biasanya malas kuliah, jadi
semangat, cuma biar bisa bertemu dia. Semula tukang bolos,
jadi agak berkurang, karena sering dinasihati. Meski masing-
masing dari kami belum membicarakan soal perasaan, tapi
aku yakin kalau dia juga menyukai lelaki sepertiku.
Bersamanya aku merasa nyaman. Leni berbeda dari
perempuan-perempuan yang pernah kukenal sebelumnya.
Senyumnya, segalanya, aku suka. Belum pernah aku merasa
seperti ini, meskipun sudah tidak terhitung berapa kali
menjalin hubungan. Dia manja, sedikit egois, aku tetap suka.
Sore itu, hari rabu, aku membulatkan tekat. Tak mungkin
seorang Rizal tak mendapat sesuatu yang ia mau. Sepulang
kuliah, aku menjemput ke Leni dari rumahnya dan
mengajaknya jalan-jalan. Sampai di taman, aku mengutarakan
semuanya, perasaanku. Hanya bermodal nekat saja karena
aku tau, Leni bukan jenis perempuan yang menyukai bunga.
Namun, dia menolakku dengan alasan, “Kita berteman
dulu, aku belum mau menjalin hubungan lagi, aku masih
trauma,”
“Aku takut, apalagi gosip yang aku dengar tentang kamu,”
Aku tidak marah. Justru aku menariknya dalam pelukan
dan memberi ketenangan. Mengelus rambutnya, agar dia
mengerti bahwa perasaanku tidak main-main.
Aku pernah menjadi playboy, memainkan banyak hati
wanita. Namun bukan berarti aku akan mengulanginya. kali
ini perasaanku lain. Aku serius akan berubah. Berusaha
meyakinkannya berkali-kali, tetapi jawabannya masih sama,
“Aku butuh waktu.”
BukanPerawanTua - 90Aku hanya tersenyum simpul. Dan asal dia tau, aku pun
punya sejuta waktu untuk menunggu. Pada saat menulis ini
aku belum menyerah.
Tertera tanggal di bawah.
Kanin menutup diary yang baru ia baca separuh itu. baru
sampai situ saja hatinya sudah terasa sesak. Lama menyimpan
dan akan lanjut membacanya nanti jika sudah merasa lebih
baik. Dari untaian kata, tampak Rizal begitu menyukai
perempuan itu.
Ja mulai berpikir, apa mungkin hati Rizal bisa terbuka
kembali untuk wanita selain Leni? Untuknya, istrinya?
Kanin keluar dari ruangan itu dan seketika ingat sesuatu.
Ya Allah, ia lupa tidak masuk kerja hari ini!
Maya Fadil - 91Part 15
os Ridho
Rizal tidak pernah berniat melukai perempuan. Atau ralat,
maksudnya secara fisik. Jika dilihat dari sudut pandang hati,
entah sudah berapa perempuan yang pernah ia lukai di masa
lalu. Entah dirinya yang memutuskan secara sepihak, atau
mereka sendiri yang memilih mengakhiri hubungan karena
tidak tahan dengan sikapnya.
Semua karena kebiasaannya yang mudah sekali bosan.
Dulu saat ia masih kecil, Kemala sering marah-marah ketika
Rizal membuang asal mainan setelah bosan. Dan kebiasaan itu
berlanjut saat dewasa dimana ia belum mengenal cinta
sebenarnya.
Gampang membuat hubungan, lalu meninggalkan tanpa
rasa bersalah. Semua karena bosan. Menjadi playboy unggulan,
sampai pernah mempermalukan perempuan udik yang
memberinya surat. Kejadian lama yang sudah lewat dan tak
perlu diingat. Namun, ia tetap manusia yang dalam satu
kesempatan dapat berubah, bahkan total. Menjadi lelaki paling
setia yang tidak pernah melirik perempuan selain dia.
Setelah semua masa yang mereka lewati bersama, mana
mungkin ia sanggup melupakan begitu saja. Meskipun Leni
telah menghancurkan ke taraf paling parah, dengan menikahi
lelaki lain setelah empat tahun pertemanan mereka dan enam
tahun Rizal habiskan untuk menjadi kekasihnya. Bisa
dibayangkan betapa remuk hatinya saat itu, bahkan sampai
sekarang.
BukanPerawanTua - 92Namun, tadi ia kembali menjadi lelaki berengsek dengan
melukai perempuan yang tidak lain adalah istrinya sendiri.
Rizal mengusap wajah. Ingin rasanya ia berteriak. Sial.
sek
Kakinya melangkah cepat memasuki kantor dengan
perasaan gusar. Bagaimana mungkin ia bisa seceroboh ini
dengan melupakan pekerjaan. Ini gila! Bahkan, dirinya
termasuk karyawan rajin dan jarang sekali terlambat.
Cepat-cepat Kanin memencet tombol lift yang akan
membawa menuju lantai tiga di mana ruangannya. Baru akan
tertutup, seseorang menghadang dan bergabung bersama.
Kanin menggigit bibir, berusaha setenang mungkin.
Bayangkan saja saat kau terlambat lebih dari lima jam. Lalu,
orang yang berdiri disampangmu ini adalah atasanmu sendiri.
Malu dan takut, itu yang dirasakan Kanin. Ia melempar senyum
tipis sebelum /ift itu terbuka di lantai tiga. Sialnya, bos ikut
keluar juga.
Kanin berteriak dalam hati memaki diri sendiri. Ia
memasang telinga baik-baik, andai Ridho ingin
memarahihabis-habisan atas ketidakdisiplinannya ini. Biarlah,
dirinya memang salah. Namun, beberapa detik berlalu, Ridho
hanya diam. Pandangannya sayu. Ridho hanya melangkah di
sebelahnya tanpa berucap sepatah kata pun.
‘Apa mungkin dia tidak tahu jika aku terlambat?' batin
Kanin. Mengingat Ridho tidak mungkin mengecek
karyawannya satu per satu. Kanin berdehem, merasa tidak enak,
Jantas berkata, "Maaf, Bos."
Ridho menghentikan langkah, ia menatap dengan
pandangan bertanya. "Untuk?"
Kanin memilin ujung baju. Kebiasaan saat ia gugup.
“Saya terlambat," ucapnya lirih.Kanin memandang Ridho
hanya untuk menemukan ekspresinya. Namun, wajah yang
tampaknya tidak bersemangat itu hanya menghela napas, lalu
menjawab, "Oh, enggak apa-apa. Lapor saja ke bagian HRD."
Maya Fadil - 93Usai membuatnya heran dengan jawabannya, Ridho
melenggang pergi, meninggalkan Kanin yang melongo di
tempat. ‘Apa benar dia bosku yang memegang teguh
kedisiplinan? Yang selalu mengingatkan dengan tegas saat ada
karyawan yang tidak taat aturan?’ Kanin membatin.
Ja menggaruk tengkuk. Namun, segera tersadar untuk
melapor ke bagian HRD. Ja kembali menaiki lift menuju lantai
lima.
"Kenapa terlambat? Apa kamu pikir data-data itu bisa
merekap dirinya sendiri?"
Kanin mengumpat dalam hati. Mengapa harus Shanti
satu-satunya orang yang ada di ruangan ini, mengapa bukan
staff yang lain saja. Wanita itu sangat pedas saat berbicara.
Mungkin saat masih dalam perut, ibunya ngidam cabai rawit
kali, ya? pikir Kanin melantur.la geleng-gelengkan kepala,
mengapa dalam situasi seperti ini, ia masih sempat berpikir
seperti itu.
"Kalau begitu kenapa bisa terlambat?"
Kemudian ia menjelaskan alasan berserta sedikit bumbu
kebohongan di dalamnya. Terpaksa. Tidak mungkin kan ia
bercerita bahwa tadi pagi dirinya bertengkar dengan suami,
lalu tidur, dan membaca diarysampai melupakan jam kerja.
Bisa-bisa ia ditertawakan, atau lebih parah langsung
direkomendasikan jadi karyawan yang terancam kehilangan
pekerjaan.
Rasa-rasanya opsi kedua terdengar lebih menakutkan. Ia
tidak mau bergantung hidup dengan laki-laki yang bahkan ia
tidak tau hatinya milik siapa. Setelah beberapa saat terlewat
untuk mendengar ocehan Shanti yang hanya ia jawab dengan
lya-iya saja, Kanin permisi undur diri. Ini memuakkan. Selama
bekerja, ia hanya beberapa kali terlambat, dan kali ini yang
paling parah. Namun, Shanti mengomel seakan ia karyawan
paling tidak disiplin di kantor.
Kembali memasuki lift, dan lagi-lagi bertemu Ridho di
dalam. Entah apa yang ia lakukan sampai bolak-balik naik-
turun lift. Kanin ingin bertanya, tetapi canggung. Meskipun
BukanPerawanTua - 94mereka berteman, tapi Ridho tetap atasan di kantor. Namun,
ketika menoleh. Lagi, ia dapati wajah tegas itu murung. Ting!
Kanin berniat keluar sesampainya di lantai tiga, tapi
tangan Ridho lebih dulu mencegahnya. Ia belum tanya kenapa,
Ridho sudah menjawab, "Ikut saya sebentar, ya."
Hah, ke mana? Kanin menggigit bibir. Bagaimana jika
Shanti mengecek dan mendapati kubikelnya dalam keadaan
kosong. Pasti wanita itu mengeluarkan tanduk yang selama ini
disembunyikan. Namun, kali ini bos yang meminta, dan itu
bisa menjadi alasannya nanti. Kanin mengangguk, masih
belum membuka suara.
Ta mengikuti Rodho yang berjalan di Jobby menuju tempat
parkir mobil. Lagi-lagi Kanin dibuat heran. Menyamai langkah,
ia bertanya, "Mau ke mana?"
Tidak menjelaskan apapun, Ridho hanya menjawab,
"Ayo."
Dahinya berkerut-kerut, "Tapi kan--
"Masalah pekerjaan enggak usah khawatir, saya yang
tanggung jawab!"
Kanin memilih diam dan tidak bertanya lagi. Ia memasuki
mobil dengan perasaan aneh. Bukan takut, Kanin tau Ridho
lelaki baik. Agak canggung, karena mereka tidak begitu akrab
jika tidak ada Rani. Perempuan itu yang biasanya menjadi
penghangat suasana.
Omong-omong soal Rani, Kanin tidak melihatnya sejak
tadi. Biasanya satu paket dengan Ridho, mengingat Rani
adalah sekretarisnya. Lalu, apakah kemurungan yang tampak
di wajah Ridho ada kaitannya dengan Rani, Kanin mulai
menebak-nebak dalam hati.
"Maaf ya sudah mengganggu pekerjaan kamu?" Ridho
membuka suara, sementara matanya fokus ke jalanan.
Kanin menoleh. "Memangnya ada masalah apa sih, Pak?"
Ridho tertawa sumbang. "Masalah hati."
"Hah?" Kanin terkejut. "Maksud, Bapak?"
Ridho menoleh, "Jangan panggil bapak lah, Nin. Kan di
luar kantor. Santai saja, enggak usah terlalu formal, katanya
kita teman."
Maya Fadil - 95Kanin meringis. "Oke, Pak--eh maksudku Do. Ada yang
bisa aku bantu sebagai teman?"
Ridho mengela napasnya. "Aku butuh teman curhat," lalu
lelaki itu tersenyum geli, "Terdengar melankolismemang, tapi
walaupun laki-laki aku juga butuh mencurahkan sesuatu untuk
mengurangi beban."
"Jadi beban pikiran kamu apa?"
"Sebelumnya aku benar-benar minta maaf karena udah
nyuri waktu kamu."
Kanin terkekeh. "Katanya teman, tapi dari tadi minta maaf
terus. Sekali lagi kamu minta maaf, aku kirimkan paketan gelas
cantik loh ke rumah kamu."
“Sepuluh paket sekalian yah, mau bagi keponakan juga."
“Itu minta apa malak?"
Dia tergelak, setidaknya wajahnya tidak semurung tadi.
"Jadi kamu mau ngomong apa?"
"Nanti, kita cari tempat yang enak buat ngobrol."
sek
Pukul setengah delapan malam, Ridho menghantarkan
pulang. Waktu berlalu cepat. Sebentar yang direncanakan,
nyatanya nyaris tujuh jam ia pergi bersama Ridho. Bahkan
mereka sempat mampir ke MONAS hanya untuk sekadar
duduk mengobrol dan membeli kerak telur. Sudah lama aku
tidak berkunjung ke tempat itu.
Kanin tidak selingkuh! Ia membantah kata yang sempat
terbesit di otaknya. Ia masih ingat statusnya sebagai istri. Ia dan
Ridho jalan tidak lebih dari sekadar teman. Melepas beban
Masing-masing dengan membicarakan banyak hal.
Sebenarnya tujuan utama Ridho mengajaknya pergi untuk
membicarakan seputar Rani. Ridho tau hubungan dengan Rani
hanya sekadar mantan di masa lalu, dan sekretaris di masa kini.
Namun tetap saja, saat mendengar Rani baru saja dilamar
kekasihnya, Ridho patah hati.
Jauh dilubuk hatinya, ia mengharapkan Rani lebih dari
apapun. Masih menyimpan perasaan yang dalam untuk
BukanPerawanTua - 96mantannya itu hingga kini. Semuanya ia utarakan pada Kanin,
ungkapan hati yang hanya mampu ia pendam untuk Rani.
"Selama ini aku jadikan dia sekretaris supaya aku bisa
lebih dekat sama dia. Nyatanya dia bahagaia sama lelaki lain,"
katanya tadi dengan nada putus asa.
Jika dipikir-pikir, kisah cintanya dan Ridho hampir mirip.
Sama-sama mengharapkan orang di masa lalu. Hanya bedanya
Kanin berhasil mendapatkan orang itu, sementara Ridho tidak.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa Kanin hanya mendapat
raganya, bukan hatinya.
Setelah kembali Kanin menaruh rasa, mana mungkin ia
merasa baik-baik saja saat melihat Rizal bahagia dengan
perempuan lain. Sungguh demi apapun, ia masih manusia biasa.
Kanin mengecek ponsel yang ia simpan dengan mode silent. Ia
terkejut mendapati lima belas panggilan tidak terjawab. Tiga
dari ibu, dan sisanya dari Rizal. Jujur saja, ia masih kesal
dengan lelaki itu. Kanin baru akan masuk ke kamar ketika ingat
sesuatu. Seharusnya ia sudah berangkat ke bandara sejak sore
tadi. Astaga!
Ja benar-benar jadi pelupa.
Maya Fadil - 97Part 16
Menyesal
"Zal!"
Rizal menghela napas mendengar panggilan parau itu.
Getaran di dadanya masih sama. Ia terdiam kaku sampai tubuh
mungil itu menubruk tubuhnya, melingkarkan tangan di
pinggangnya.
Lelaki itu menghirup wangi parfum itu dalam-dalam. Ia
menyukai wanginya. Dari dulu dia tidak pernah menggantinya.
Sejak bertemu di Semarang hampir sebulan lalu, hari ini Leni
mengajaknya bertemu kembali. Kali ini lebih dekat, karena
posisi Rizal yang pulang ke Jogja. Tidak mungkin ia menolak,
ketika Leni menelepon sambil terisak, entak masalah apa yang
tengah dihadapi. Nyatanya, air mata perempuan itu masih
membuatnya tidak berdaya.
"Aku benar-benar menyesal, Zal. Udah meninggalkan
kamu, dan menikah dengan laki-laki itu. Tapi asal kamu tahu,
Zal. Aku masih sangat mencintai kamu," Leni mulai berceloteh,
"Dia bukan laki-laki yang aku harapkan untuk jadi
pendamping hidup. Aku benar-benar muak. Aku mau kamu,
Zal, aku mau kamu kembali. Dia payah, aku enggak suka. Aku
enggak bahagia sama dia. A-aku mau kamu."
Isak tangisnya semakin jelas. Wajah putih itu memerah
dengan air yang terus luruh dari matanya. Masih tetap, ketika
melihat Leni bersedih, Rizal tidak mampu mengontrol air mata.
Dirinya memang laki-laki cengeng.
"Maafkan aku, Zal."
Setelah bergeming cukup lama, akhirnya Rizal meraih
tubuh itu, dan memeluknya erat, memberi ketenangan. Seolah
BukanPerawanTua - 98,tidak ada hari esok yang akan mempertemukan mereka. Ini
salah, jelas salah, karena ia sudah mempunyai istri. Meskipun
sekarang ia dan Kanin sedang marahan. Namun, tidak
seharusnya ia bertemu dengan perempuan lain, lalu
memeluknya erat, bahkan di taman umum seperti ini.
Semua hanya alibi ketika ia mengatakan akan pergi ke
Jogja lebih awal untuk menghadiri pernikahan adik iparnya. Ia
memang akan menghadiri pernikahan itu, tapi tujuan utamanya
ada di sini, menemui Leni.
Angin sore berhembus membelai, tempat ini, taman yang
begitu berkesan bagi mereka. Tempat di mana Rizal pertama
kali menyatakan cinta, tetapi ditolak, dan akhirnya membuat ia
merasa harus berjuang lebih keras.Juga tempat pilu ketika Leni
berpamitan akan menikah dengan lelaki kaya pilihan ayahnya.
Dan sekarang Leni kembali mengajaknya ke sini, membawa
kabar ketidakcocokanya dengan suami.
Merasa kurang nyaman ketika melihat beberapa anak
yang bermain di sekitar memperhatikan mereka, Rizal
mengurai pelukan Leni. Leni menatap sendu. "Kenapa? Apa
kamu enggak kangen sama aku?"
Rizal menyentuh air matanya, lalu menyekanya dengan
jempol. "Kangen."
"Zal!"
"Hm."
“Aku mau kita bersama lagi."
Rizal tersenyum kecut. "Tapi kamu tahu kan posisiku
sekarang?"
"Aku enggak peduli, toh kamu enggak mencintainya,
kan?"
Ta tertegun.
"Kenapa diam? Kamu enggak mulai cinta sama
perempuan itu, kan?" tanya Leni sambil meneteskan air mata
lagi.
Rizal benci melihat Leni menangis. Ja pun
menggelengkan kepala pelan. Dalam hati sebenarnya ia tidak
tau.
Maya Fadil - 99"Kalau begitu bawa aku pergi jauh. Aku mau bersama
kamu, Zal. Ke mana pun!"
Rizal membelalakkan mata. "Kamu gila? Aku udah punya
istri!"
"Kamu bentak aku, Zal?" Air mata itu luruh semakin
banyak.
Rizal meraup wajah dengan kedua tangan, ia kembali
merengkuh Leni dalam pelukan. "Len, aku mohon jangan
nangis, aku enggak bisa lihat kamu nangis.”
"Kalau begitu berarti kamu masih sayang sama aku, kan?"
Leni mengguncang pundaknya. "Kamu masih sayang
sama aku, kan?"
"T-iya tentu."
"Kalau gitu bawa aku bersama kamu, aku mohon... "
ek
Permintaan Leni terdengar begitu konyol. Meskipun Rizal
masih mengharapkan perempuan itu, tetapi tidak mungkin ia
melarikan istri orang. Bisa-bisa dirinya berakhir di jeruji besi.
Meregangkan otot, ia masuk ke dalam rumah. Ia memijit
kepala yang terasa berdenyut.
Teringat akan sesuatu, ia mengeluarkan ponsel dari saku
celana.
Mendial nomor, lalu menempelkan ke telinga. Tidak ada
jawaban, sampai panggilan yang entah ke berapa, masih tidak
ada respon. Menghempaskan tubuh ke sofa, ia terdiam berpikir.
Ke mana Kanin sampai mengabaikan panggilan darinya. Apa
mungkin karena pertemuan terakhir mereka sedang tidak baik-
baik saja.
Beberapa detik kemudian, ia kembali menghubunginya.
Masih tidak ada jawaban, padahal teleponnya tersambung.
Sungguh, ia tidak bermaksud melukai lengan Kanin dengan
kukuk-kukuk yang lupa belum ia potong. Hanya refleks, tidak
terima dengan kata-kata Kanin tentang Leni. Sekarang ia
malah merasa benci dengan dirinya sendiri.
“Banci lu, Zal." Ia mulai memaki diri.
BukanPerawanTua - 100Mendadak Rizal jadi risau. Seharusnya Kanin sudah
sampai sejak tiga jam lalu, karena Kanin berkata akan
menyusul sore selepas pulang kerja. Perjalanan pesawat dari
Jakarta-Jogja kurang lebih memakan waktu empat puluh lima
menit. Kanin pun biasanya pulang pukul 4 sore, artinya sudah
hampir empat jam lalu, karena sekarang sudah jam delapan
kurang dua puluh menit.
Kembali Rizal menatap layar ponsel itu. Namun, kali ini
yang ia hubungi Gea, anak tetangga samping rumah yang
masih duduk di bangku SMP. Ia cukup akrab dengan anak itu,
jadi tidak sungkan untuk meminta tolong mengecek keadaan
Kanin.
Rizal mengutarakan permintaan, Gea menjawab, "Mbak
Kanin udah pulang kok, Bang."
"“Memang sudah kamu cek ke sana, kok cepat banget
jawabnya?"
"Enggak perlu dicek. Tadi pas aku duduk depan rumah,
aku liat Mbak Kanin pulang di antartemannya."
Jadi Kanin pulang malam. Namun, dengan siapa? Ah,
Paling-paling Rani, pikirnya. Ia pun bertanya, "Siapa?"
"Mana aku tahu, memangnya aku kenal?" Tersengar
dengusan dari seberang. "Pokoknya temannya itu cowok."
"Hah, cowok?!"
"Th, jangan teriak-teriak dong, Bang. Nanti makin congek
kuping aku!" kesalnya. "Iya, cowok. Kayaknya teman
kantornya deh, soalnya bajunya rapi gitu."
"Siapa?"
"Sudah dibilang aku enggak kenal! Sudah ya aku tutup
teleponnya, mau ngerjain PR Bu galak dulu, Hehehe! Dahhh!"
Belum sempat Rizal bertanya lagi, sambungan sudah
ditutup. Ia termenung. Teman Kanin yang ia kenal hanya Rani.
Ja pun tidak pernah tahu Kanin punya teman cowok. Tiba-tiba
ada sesuatu yang terasa aneh. Ia tidak suka mendengar kabar
ini!
Maya Fadil - 101"Ah, pokoknya aku sebel sama Mbak!"
Kanin mendengkus pasrah mendengar omelan Salsa.
Meski ia sudah menjelaskan berulang kali, tetapi Salsa
tampaknya todak ingin mengerti. Adiknya terus saja berkata
kecewa dan sebal, karena ia tidak hadir di hari resepsi
pernikahannya.
"Kemarin sore sama sekarang apa bedanya, Sa?" tanyanya.
"Sama-sama enggak bisa lihat kamu sama Ferdi ijab kabul,
kan?"
Salsa kembali mencebikkan bibir. “Iya, tapi kalau dari
kemarin se-enggaknya Mbak bisa menginap. Kalau datangnya
hari ini, nanti sore pasti sudah pamit pulang, iyakan?"
Kanin mengangguk. Bagaimana pun ia wanita karier yang
tidak bisa sembarangan meninggalkan pekerjaan kecuali
minggu atau hari libur kerja.
“Tuh, kan!" Salsa bersedekap sambil melengos.
Kanin memutar tubuh Salsa menghadapnya. Seraya
menatap mata, ia berkata, "Sekarang kan sudah punya suami,
masa kerjaanya masih merajuk kayak bocah? Harus belajar
dewasa, Sa. bagaimanapun kamu punya rumah tangga yang
harus diurus. Dan itu enggak mudah!"
Tatapan Salsa melunak, ia tersenyum hangat sebelum
memeluk kakaknya erat. "Aku cuma ingin ada Mbak di
sampingku pas hari bahagiaku. Entah berapa banyak makasih
yang bisa aku ucapkan buat Mbak. Mbak selalu berkorban
apapun buat aku sejak kecil. Makanan, mainan, baju, asal aku
mau Mbak kasih dengan sukarela. Bahkan pernikahan ini
enggak akan terjadi tanpa pengorbanan Mbak juga."
Salsa melepas rengkuhannya sambil mengecup kedua pipi
kakaknya. "Makasih sudah jadi kakak yang selalu mengalah
buat adiknya. Makasih sudah jadi kakak terbaik dalam hidupku,
makasih, Mbak!"
Kanin melengos pura-pura marah. "Sudah ah makasihnya,
kebanyakan, bikin mual tahu. Pokoknya buat tanda makasih,
kamu harus bahagia sama pernikahan ini, setuju?"
"Pasti, Mbak, pasti. Dan buat catatan Mbak juga harus
bahagia sama Mas Rizal, okey!"
BukanPerawanTua - 102Kanin belum bertemu dengan lelaki itu sampai sekarang,
karena begitu sampai, ia langsung menuju rumah orangtuanya.
Rizal juga tidak terlihat di sini. Mungkin sudah pulang ke
rumah Bunda. "Pasti! Mmm, Mas Rizal kemarin ke sini, kan?"
Salsa terdiam sebentar sebelum menjawab, "Ke sini kok,
Mbak. Tapi aku cuma ketemu pas siang doang, habis itu
enggak lihat lagi. Padahal ibu sama adiknya di sini sampai
malam, tapi kalau Mas Rizal kayaknya sudah pulang dari
siang."
Tiba-tiba Kanin terbesit sesuatu. Apa mungkin Rizal
bertemu Leni, secara sebelum berangkat ke Jogja, perempuan
itu sempat meneleponnya. Ah, kenapa ia terpikir macam-
macam. Ia tidak boleh berpikiran seburuk itu pada suaminya
sendiri. Walau ia tidak yakin untuk itu.
Salsa mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Kok
bengong, Mbak?"
"Hah?" Kanin segera tersadar, lalu menggeleng. "Enggak
apa-apa, kok."
Dasri datang ke kamar Salsa, lantas duduk di antara kedua
anak perempuannya dan merangkulnya.
"Dua anak Ibu udah nikah semua. Sekarang Ibu dan
Bapak tinggal menjalani hidup berdua," kata Dasri sendu.
Kanin dan Salsa saling bertatap mata, lalu bersamaan
mengecup pipi Ibunya. "Aku dan Salsa tetap anak Ibu dan
Bapak. Sampai kapanpun kalian tetap orang paling berharga di
hidup kami."
"Lagipula kalau tinggal berdua, Ibu dan Bapak bisa
mengulang lagi masa pacaran yang mungkin belum puas waktu
muda dulu,” lanjut Salsa, terkekeh.
Ibu mendelik, lalu mencubit lengan Salsa gemas. "Dasar
anak nakal, udah punya suami tapi masih demen godain
ibunya."
Salsa mengaduh, dan Dasri semakin memperluas area
cubitannya. Tentu saja hanya bercanda dan tidak mencubit
dalam arti sesungguhnya. Kanin tertawa melihat tingkah
mereka. Setidaknya sepelik apapun hidup, masih ada keluarga
yang membuatnya beruntung bisa lahir ke dunia.
Maya Fadil - 103,"Kalau begitu sebagai gantinya kalian harus cepat-cepat
buatkan ibumu ini cucu."
"Yee, Ibuk. Aku kan baru nikah kemaren, masa sudah
ditagih cucu. Mbak Kanin tuh, kali aja perutnya sudah ada
dedeknya."
Dasri menoleh, Kanin spontan menyentuh perut.
Sepertinya keinginan untuk memberi ibunya cucu, harus
tertunda dulu. Minggu lalu ia baru selesai haid. Jadi
kemungkinan di perut belum ada janin yang tumbuh. Kanin
sontak menggeleng pelan.
Ja mendesah kecewa. Umur sudah 30 tahun. Dan
keinginan untuk memperoleh keturunan semakin menggebu.
Dasri tersenyum sambil mengelus lembut pundaknya. "Ndak
apa-apa, dulu Ibu juga ga langsung hamil. Semua ada
prosesnya.”
Kanin tau ibunya hanya berusaha menghibur. Namun,
tidak apa, mungkin Yang Maha Kuasa belum mempercayakan,
yang perlu ia lakukan hanya bersabar menunggu saat istimewa
itu tiba.
BukanPerawanTua - 104Part 17
Mengadu
Tidak mengerti Kanin dengan jalan pikiran Rizal. Terlalu
rumit dan sulit dipahami. Bukankan seharusnya ia yang marah,
karena insiden pagi itu, tetapi kenapa sekarang Rizal yang lebih
banyak mendiamkannya.
Sudah ada satu jam ia datang ke rumah Kemala untuk
menemui mertua sekaligus suaminya, tetapi Rizal hanya acuh.
Sibuk bermain ponsel dan hanya menjawab singkat-singkat
saat Kanin ajak bicara. Setaunya jurus diam-mendiamkan
adalah andalan wanita, tetapi kenapa Rizal yang memakainya,
aneh sekali!
Duduk di dekat Rizal seperti duduk di samping batu.
Hening dan membosankan. Tidak ada obrolah yang tercipta
antara mereka. Kanin yang sibuk menerka-nerka, sementara
Rizal yang sibuk bermain gameonlinedi ponselnya,Dih, kayak
ABG saja, ejek Kanin dalam hati.
Lama-lama Kanin merasa sebal juga. Beranjak dari ruang
TV, belum tiga langkah menjauh Rizal sudah memanggilnya.
Ja menoleh, memicingkan mata. "Apa?" tanyanya jutek seraya
melipat tangan.
"Duduk!" Rizal menepuk sofa di sampingnya. Kanin
menuruti perintahnya. Meski begitu Kanin tetap memasang
wajah masam, agar Rizal tau jika ia sedang kesal dengannya.
"Cepat kalau mau ngomong. Aku enggak punya banyak waktu,
mau bantuin bunda mencuci piring."
"Sudah ada Bik Jumi yang mencuci, enggak usah banyak
alasan, duduk dulu aku mau bicara," ucapnya tegas tanpa
Maya Fadil - 105,ekspresi. Kanin paling tidak suka jika Rizal sudah memasang
tampang seperti itu.
Tandanya lelaki itu sedang dalam mood yang kacau.
Beberapa bulan tinggal bersama, membuat Kanin hafal mimik-
mimik apa saja yang akan Rizal tunjukan pada kondisi tertentu.
"Ya, apa?"
"Kemarin kamu ke mana saja_seharian?" Rizal
menggerakkan posisinya mendekat, Kanin melengos merasa
tersudut oleh tatapannya.
"Kerja lah, kamu kan tahu kebiasaanku tiap hari, kenapa
pakai tanya?"
Rizal menyentuh pipinya, memaksa Kanin untuk
menatapnya. Kanin sebisa mungkin bersikap biasa, agar tidak
kelihatan sedang terintimidasi.
“Habis itu?”
Kanin bergeser menjauh saat dirasa Rizal semakin
mendekat. "Kamu kenapa sih tiba-tiba tanya kayak begitu?
Aneh banget?"
“Aku butuh jawaban, bukan pertanyaan!"
Mendadak Kanin gugup. Teringat saat ia pergi bersama
Ridho membuatnya enggan menjawab pertanyaan dengan jujur.
"Pu-pulang!"
"Enggak ke mana-mana?"
"Eng-enggak."
“Langsung pulang?"
"Liya."
"Sendiri?"
Ya Tuhan, kenapa Rizal jadi banyak tanya begini. Kanin
semakin tersudut. Ia menggeleng pelan.
"Ya, ya seperti biasanya."
Bibir Rizal tersinggung senyum sinis. "Bohong!"
Deg!
"Ma-maksud kamu bohong?"
"Jelas-jelas kemarin kamu pulang diantar cowok!"
"Eh, emm ...."
"Siapa dia, Nin? Kenapa kamu bohong sama aku? Apa dia
pacar baru kamu? Kamu mau balas dendam karena
BukanPerawanTua - 106pertengkaran kita pagi itu, iya?" tanyanya beruntun seraya
memegang kuat kedua lengan istrinya.
Teringat atas dirinya sendiri membuat uring-uringan.
Bagaimana jika Kanin melakukan hal yang sama. Sementara,
Kanin hanya menggeleng tidak mampu menjawab. Ia takut
Rizal dirinya pulang bersama Ridho.
"Aku enggak suka dibohongi!"
Sejurus kemudian, Rizal mengikis jarak antara mereka,
melumat bibir Kanin kasar. Lidahnya masuk, tergesa-gesa
membelit di dalam. Kanin gelagapan, belum lagi posisi mereka
berada di ruang terbuka, bagaimana jika ada orang masuk.
Berusaha mendorong Rizal, tetapi sia-sia. Tangan mulai
bergerilya menyelusup di balik kemeja, memorak-porandakan
hingga membuat sebagian kancingnya terbuka. Ciuman Rizal
turun ke lehernya, menggigit-gigit kecil di sana. Kanin tidak
lagi bisa berbuat apa-apa sampai ketika,
"Mbak Kanin, Mas Rizal! Astagfirullah!"
Suara cempreng itu seketika membuat Rizal tersentak
menjauh. Kanin yang tidak kalah kagetnya, segera merapikan
baju.
"Perasaan di rumah ini ada lima kamar loh, tapi kenapa
melakukannya masih di ruang TV? Nggak sopan!" kesalnya.
“Mataku jadi tercemar tau!"
Kanin tersenyum kecil, memandang Fania yang baru
pulang kuliah dengan perasaan malu, sedangkan Rizal tidak
peduli. Ia hanya mendengkus menatap adiknya.
"Sudah sana anak kecil, ganggu saja urusan orang
dewasa!" usir Rizal.
Fania menghentakkan kaki, bibirnya mengerucut. "Kalau
enggak mau diganggu, jangan umbar adegan enggak senonoh
sembarangan dong. Tua juga enggak punya pikiran. Ini area
umum, huh! Aku aduin bunda biar tau rasa!"
"Sana aduin, jangan sampai enggak," jawabnya santai,
mengibaskan tangan.
“Nyebelin ...!"
Maya Fadil - 107