Anda di halaman 1dari 164
Part 1 Calon\Saja Tidak anya Ketika seorang wanita berumur 30 tahun, hal pertama yang terpikir oleh sebagian orang adalah wanita bersuami yang sudah memiliki beberapa anak. Namun, realitas jaman sekarang tidaklah demikian. Ada beberapa wanita yang masih betah sendiri dan lebih mendahulukan karier sehingga masalah asmara malah terlantar. Alhasil pertanyaan, “Kapan menikah?” Mana pasangannya?” “Anaknya sudah berapa?” dan berbagai pertanyaan serupa kerap bersahutan di telinga. Entah dari orang yang serius bertanya atau orang iseng yang bermaksud untuk mengejeknya. Salah satunya yang dialami perempuan awal kepala tiga bernama Kanin Alfareza. Hari itu masih pagi buta ketika suara pesan masuk mengusik tidurnya. Kanin menyibak selimut yang menutupi tubuh lantas mengambil ponsel yang ia letakkan di nakas. Ia mengerjapkan mata, berusaha menumpulkan kesadaran. Begitu membuka pesan, sebuah foto yang terdiri dari sepasang suami-istri dan anak laki-laki berumur sekitar satu tahunan, terpampang di layar ponsel. Ja mengubah posisi menjadi bersandar di kepala ranjang, lalu membaca caption foto yang dikirimkan Nadya—teman SMA-nya dulu—melalui aplikasi whatsapp tersebut. "Bahagia banget deh, Nin. Raka sekarang sudah bisa makan sendiri, loh. Kamu kapan mau menyusul punya anak, biar Raka ada. Kalau bisa perempuan, ya. Siapa tahu bisa dijodohkan kalau sudah besar nanti, hihihi." Ja melongo membaca pesan tersebut. Nadya menanyakan anak darinya, sedangkan ia menikah saja belum. Jangankan Maya Fadil - 1 menikah, calon suami saja belum ada. Huh! Dasar Nadya, pagi- pagi sudah bikin mood kacau saja, gerutu Kanin. Ia menatap malas layar ponsel, lalu mengirimkan emotikon ngantuk sebagai balasan. 'Makanya cari calon, umur sudah banyak loh, Nin. Satu bulan lagi kamu ulang tahun yang ke 30. Masih betahkah menjadi jomblo?' tulis Nadya berserta emotikon tertawa sampai mengeluarkan air mata sebanyak lima. Kanin hanya membaca pesan itu tanpa membalas. Ia menguap lebar sebelum beranjak malas-malasan dari tempat tidur menuju dapur. Usai mencuci muka, ia meminum satu galas air putih. Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Dari kecil ibu selalu membiasakan Kanin minum air putih di pagi hari, buat kesehatan ginjal katanya. Di Jakarta Kanin tinggal sendiri. Di kos kecil yang ia sewa seharga 9 juta per tahun. Cukup mahal, tapi tidak apa asal ia nyaman. Ia asli orang Jogja, tinggal dan besar di sana, tapi terpaksa merantau ke Ibukota untuk mencari peruntungan. Cukup beruntung, karena sekarang ia bekerja sebagai karyawan salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Hanya ada satu kendala. Di usia yang sudah matang, ia belum juga punya pasangan. Sebenarnya ia tidak terlalu mempermasalahkan, tapi kadang orang-orang di sekitarnya yang menyebalkan. Sebut saja Nadya, sahabat Kanin yang sekarang tinggal di Surabaya itu senang sekali menggoda. Nadya sering mengirimkan foto Raka—anaknya yang masih berusia satu tahun itu. Barangkali Nadya melakukan itu agar Kanin tergoda untuk segera menikah. eke Hampir setiap hari rutinitasnya tidak jauh berbeda. Bangun tidur, menyelesaikan pekerjaan, lalu pulang. Namun, kali ini ia agak suntuk plus bingung. Tadi ibu menelepon dan memberitahu kalau Salsa, adiknya yang empat tahun lebih muda, baru saja dilamar kekasihnya dan akan melangsungkan pernikahan. Sebenarnya tidak sulit mendapat restu dari orangtua, apalagi calon suami Salsa merupakan pengusaha BukanPerawanTua - 2 mebel yang cukup sukses. Setidaknya penghasilannya cukup untuk membiayai kebutuhan anak dan istri jika kelak menikah. Namun, masalahnya bukan itu. Bapak dan ibunya masih menganut paham kolot, dimana mereka ingin Kanin menikah dulu, baru Salsa. Lalu bagaimana, calon suami saja Kanin tidak punya, sementara kasihan Salsa dan Ferdi kalau pernikahannya harus ditunda. Mereka sudah menjalin hubungan selama hampir lima tahun ini. “Bagaimana dong, Ran, aku bingung ini?” Seperti biasa, jika ada masalah, Kanin selalu berkeluh kesah pada sahabat paling akrab sekaligus rekan kerjanya di Jakarta, Rani. Saat ini ia dan Rani sedang berada di warung burjo tempat mereka berdua biasa makan siang. Usai menelan sepotong lontong. sayur Rani menjawab, “Lo ngomong sama orang yang tepat. Lo tahu kan keahlian gue selama ini?" "Iya, aku ngerti. Biro jodoh ‘kan?" Rani punya usaha sampingan biro jodoh. Ia mempromosikan usahanya itu lewat media online. Rani merupakan seorang yang mudah bergaul dengan siapa saja, tidak heran ia punya banyak kenalan yang memudahkannya untuk promosi. "Yap." "Ck, enggak ah, Ran. Nanti kayak waktu itu lagi. Enggak mau, aku trauma." Kanin bergidik mengingat kejadian enam bulan lalu. Saat itu ia iseng-iseng ikut biro jodoh tempat Rani sebagai kelinci percobaan. Memang benar, ia dikenalkan dengan laki-laki dan cukup tampan. Namun, rupanya laki-laki yang bertemu dengannya di kafe itu sudah mempunyai istri. Parahnya, istrinya itu membuntuti suaminya dan menuduh Kanin sebagai PELAKOR aka perebut suami orang. Ia yang notabenenya tidak tau apa-apa cuma bisa pasrah dipermalukan di depan orang banyak. Rani malah tertawa terbahak-bahak. "Yang waktu itu gue memang kecolongan, tapi klien gue yang satu ini benar-benar makyus, Nin. Kebetulan gue sudah lumayan akrab kok. Maya Fadil - 3 Orangnya cukup baik dan ... ganteng. Kalau saja gue belum punya Tio, sudah gue mendekati sendiri cowok itu." “Halah, kamu mah ngomongnya memang sok meyakinkan. Tapi, aku sekarang sudah enggak mudah percaya sama mulut manismu itu," kata Kanin sambil menyendok sotonya. Rani menatap lurus, matanya melotot seakan ucapannya benar-benar serius. "Bener, Nin, benar! Gue enggak bohong. Dan, yang lebih menarik lagi— “Apa?” "Dia berasal dari Jogja sama kayak lo." "Terus?" "Gue enggak mungkin bohong, Nin. Lo sahabat gue, mana mungkin gue tega menjerumuskan elo." “Lah, yang waktu itu?" Rani berdecak. "Gue enggak sengaja, Nin. Habisnya doi mengakunya singel. Mana gue tau ternyata istrinya segalak jin tomang." Mereka kemudian diam, kembali menekuri makanan. Sampai akhirnya Kanin bertanya, “Namanya siapa?" "Hah?" Rani mengerutkan kening. "Yang mana?" "Klienmu yang sekarang lah, bagaimana, toh?" "Ohh," Rani mengangguk-angguk. "Namanya Rizal,” lalu Rani tersenyum. “Bagaimana?” Namun, yang ditanya belum merespons. Dalam otaknya terpikir sesuatu yang mengganjal. Rizal? Sepertinya Kanin tidak asing dengan nama itu. Tapi ia lupa. "Apa aku kenal sama si Rizal itu?" Rani mengangkat bahu. "Mana gue tau. Memangnya gue cenayang?" "Kok aku agak takut ya, Ran. Nanti ternyata orang itu penjahat atau penculik kayak di TV itu bagaimana ?" Bola mata Rani berputar malas. "Lo polos banget sih, Nin, astaga! Kan sudah gue bilang dia teman gue. Sangka lo gue temanan sama penjahat?" BukanPerawanTua - 4 Giliran Kanin yang mengedikkan bahu. “Mana aku tau.” Rani menunjuk Kanin dengan sendoknya. “Sekarang intinya lo mau apa enggak?” “Dia bukan orang jahat, kan?” “Bukan!”” “Beneran?” "Iya, Kanin sayang." "Yakin?" “TYA!" Kanin mendesah pasrah, sepertinya tidak ada cara lain. Tidak ada salahnya mencoba, siapa tau beneran cocok, pikir Kanin. ake Maya Fadil - 5 / Hari minggu jam dua siang ketika Kanin dan Rani berada di kafe, menunggu Rizal—laki-laki yang akan Rani kenalkan padanya. Jantung Kanin berdegup cepat, perutnya terasa mulas. Minuman yang ia pesan beberapa saat lalu belum tersentuh sama sekali. Rasannya begitu gugup. Ini bukan pertama kali ia akan bertemu laki-laki yang dijodohkan Rani, dan ia berharap semoga yang kedua ini benar-benar single, tidak punya kekasih apalagi istri. “Santai saja kali enggak usah tegang gitu. Kayak mau ketemu deppcollector saja," kata Rani. Kanin melirik tanpa minat ke arah Rani. Rani sedang sibuk bermain ponsel entah berbalas pesan dengan siapa. Terserah, Kanin tidak peduli. Namun, ketika Rani mengangkat tas sambil berdiri, Kanin pun bertanya, "Mau ke mana?" "Hehehe, kayaknya gue enggak bisa nunggu lo lama-lama deh, soalnya Tio sudah nunggu gue di rumah." Kanin menunjukkan raut tidak setuju, "Enak saja, Ran! Kamu kan yang mau kenalkan aku sama cowok ini. Kenapa sekarang kamu yang main meninggalkan aku gitu aja. Kalo aku diculik, bagaimana?" "Sorry deh, Nin. Soalnya gue lupa kalau kemaren ada janji sama Tio. Lagipula lo bukan ABG yang ke mana-mana mesti ditunggui ‘kan? Sudah mau kepala tiga juga masih saja manja. Lagipula siapa yang mau menculik lo? Dikira dia sindikat perdagangan manusia apa?" BukanPerawanTua - 6 Perempuan berambut sebahu itu merengut tidak terima. “Bukannya gitu, tapi aku belum tau kayak mana tampang si Rizal ini. Kamu juga, kasih tau fotonya saja enggak mau." “Aduh, Nin, kan sudah gue bilang biar suprise." "Ck, kalau salah orang, bagaimana?" "Tenang saja, enggak akan salah orang. Hari ini dia pakai kemeja pendek warna biru dongker, dan gue juga sudah kasih tau dia warna baju dan celana yang lo pakai," kata Rani lalu bergegas pergi sebelum Kanin sempat memprotes lagi. "Oh ya, dia sudah ontheway ke sini. Palingan sepuluh menit lagi," teriak Rani sebelum hilang di balik pintu. Kanin membuang napas. Duduk sendiri sambil menunggu Jaki-laki yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Andai bisa memilih, ia juga tidak akan mau seperti ini. Lagipula apa yang bisa dilakukan perempuan kesepian awal 30-an seperti dirinya selain menerima tawaran perjodohan dari temannya. Kanin menopang dagu, mulai bosan menunggu. Sepuluh menit yang dikatakan Rani, ternyata sampai menit ke-30, laki-laki itu belum juga menampakkan diri. Entah Rani yang berbohong atau Rizal yang kurang bertanggungjawab dengan ucapannya. Ta menyeruput minuman, lalu memainkan game di ponsel untuk mengusir rasa bosan. Hampir satu jam kemudian, seorang laki-laki dengan ciri-ciri yang disebutkan Rani datang. Tempat duduknya yang berada di dekat pintu masuk memudahkan untuk melihat siapa saja orang yang baru masuk. Setelah menoleh ke kanan-kiri, laki-laki berkemeja dongker itu menoleh ke arahnya. Ia mengambil duduk di hadapan Kanin sambil bertanya, "Kanin?" Kanin pun mengaguk pelan. Dahinya berkerut kala mengamati laki-laki itu. Tidak lama kemudian tubuhnya tersentak pelan. Sesaat ia menahan napas, lalu melotot. Lelaki itu? Wajah itu, mata itu, semuanya. Ya Tuhan.... ae Maya Fadil - 7 Tiga belas tahun lalu di sebuah SMA. Namanya Kanindya Alfariza. Ia bersekolah di SMA Negeri kota Jogjakarta. Saat itu umurnya menginjak 17 tahun, dan ia diam-diam sedang jatuh cinta. Terdengar klise memang. Seorang perempuan jatuh cinta dan merahasiakannya. Namun, mau dirahasiakan bagaimanapun juga, perempuan pasti akan tetap bercerita dengan sahabat dekatnya. “Aku jatuh cinta," katanya saat itu pada Nadya, teman sebangkunya. "Hah, sama siapa?" tanya Nadya antusias. Baru pertama ini Kanin membahas soal cinta. Sebelumnya Kanin tidak pernah peduli saat Nadya membahas cowok yang ia suka. Kamu Tidak akan percaya sampai kamu merasakannya sendiri, begitu yang selalu dikatakan Nadya. Dan benar saja, sekarang Kanin kena batunya. "Eum," katanya malu-malu. Rasanya mau menyebut nama saja pipinya sudah memanas. "Siapa?" tanya Nadya sedikit memaksa. Kanin mendekatkan bangku, lalu berbisik, "Rizal." Sejurus kemudian Nadya menutup mulut dengan kedua tangannya, lalu ikut bersuara lirih, “Maksudmu Mas Rizal anak kelas dua belas itu?" Kanin mengaguk malu-malu, lalu tersenyum. "Ya Allah, Nin. Mbo’ ya kalau punya mimpi itu jangan tinggi-tinggi, nanti jatuh sakit lo." "Maksudmu ki opo?" "Coba kamu pikir lagi. Mas Rizal itu ganteng, populer, dan juga," Nadya diam sebentar, tampak berpikir. "Oh iya, menurut gosip yang aku dengar, apa namanya, dia itu playboy, iya playboy, pokoknya istilahnya tukang ganti-ganti pacar. Sekarang sama ini, besoknya sama itu." Kanin mengerutkan kening. "Mas Rizal mana mau sama orang-orang kayak kita. Kita itu cuma anak bawang," putus Nadya. BukanPerawanTua - 8 "Aku anak bapak ibuku, bukan anak bawang," kata Kanin kesal. "Apa salahnya jatuh cinta, aku juga baru pertama ini merasakannya ." "Jatuh cinta memang enggak salah, tapi kalau cintanya sama Mas Rizal jelas salah. Lagipula badan kamu itu kerempeng, mana mau Mas Rizal sama kamu. Aku pernah lihat cewek-cewek yang dekat sama Mas Rizal, cantik-cantik, badannya pun bagus." "“Maksudmu aku enggak cantik dan badanku jelek, begitu?!" "Ya bukannya begitu, Nin. Kamu cantik kok, cuma kurang saja kalau dibandingkan mantannya Mas Rizal." Nadya menyengir sambil menunjukkan telunjuk dan jari tengah ke udara. Kanin sedikit tersinggung dengan kata-kata Nadya, tapi tidak bisa dipungkiri yang dikatakan sahabatnya benar. Kalau dibanding cewek-cewek yang dekat dengan Rizal, ia jelas tertinggal jauh. Dengan tinggi sekitar 160 cm dan berat 38 kg, Kanin terlihat seperti ranting yang rapuh tertiup angin. Tidak ada kesan menariknya sama sekali. Namun, memangnya ia tidak berhak jatuh cinta. Bagaimanapun, ia tetap manusia yang bebas merasakan cinta pada siapa saja, termasuk Rizal sekalipun. Perasaan pada Rizal bermula saat tidak sengaja bersitatap mata dengan kakak kelasnya itu di lapangan saat upacara. Sejak itulah ia merasa ada yang aneh. Debaran kerap muncul saat ia berpapasan, begitu pun perut yang terasa mulas, ditambah mata yang tak bisa berhenti untuk tidak menoleh ke arah Rizal. Apa benar ia jatuh cinta?’ Kanin pun mulai memperbanyak membaca novel bertema cinta, bertanya pada Nadya dan beberapa temannya, hingga ia menarik kesimpulan jika ia sedang dalam fase jatuh cinta. Kanin mulai tidak suka saat melihat Rizal berduaan atau bergandengan mesra dengan perempuan di lain, sementara ia hanya bisa menatap dari jauh. Hanya bisa memendam kecewa diam-diam. Hanya bisa menggerutu sendirian. Hari-hari ia Maya Fadil - 9 Jewati terasa tidak nyaman. Kanin tidak tahan lagi, sehingga pada suatu hari, tanpa sepengetahuan Nadya, ia menulis surat untuk Rizal. Perempuan itu diam-diam menyelinap ke kelas Rizal dan menaruh surat yang ia tulis ke tasnya saat kelas sepi. Di mana semua murid berkumpul di lapangan untuk melaksanakan senam jasmani yang rutin diadakan setiap hari jumat pagi. "Kamu dari mana saja?" tanya Nadya setelah Kanin berbaris di sampingnya. Kanin menggelengkan kepala, tersenyum membayangkan Rizal membaca suratnya. Jam setengah delapan, sehabis senam pagi, Kanin dan Nadya berniat mencari minum ke kantin ketika empat orang yang salah satunya Rizal, masuk ke kelas mereka. Rizal mengacungkan amplop pink yang Kanin tau berisi surat yang ia berikan. “Siapa yang namanya Kanin Alfareza kelas 11 MIPA 22" tanya Rizal lantang. Seketika semua mata menuju ke arah Kanin. Dengan ragu-ragu dan super gugup Kanin mengacungkan tangan. Rizal menyeringai, kemudian menarik dan membawa Kanin ke tengah lapangan. Tidak tau apa yang akan Rizal lakukan, tapi ia menurut saja. Kanin mulai kaget saat Rizal berteriak dan menyuruh semua orang yang ada di sekitar lapangan berkumpul. Ia terdiam kikuk, tidak tau harus berbuat apa. Rizal membuka surat itu, lalu membacanya di hadapan semua orang. "Aku mengagumimu dalam diam, tanpa suara tanpa pernyataan, atau penjelasan. Semuanya terjadi begitu saja, pada pandangan pertama aku jatuh cinta. Kamu tau, bagiku kamu seperti senja indah yang perlahan hilang di kegelapan malam, tapi aku tetap menunggu senja itu kembali datang esok petang ..." Dalam sebaris surat ini aku ingin bercerita bahwa memandangmu saja aku sudah bahagia. Namun, perlahan hati ini mulai tersiksa saat melihatmu bersama mereka, saat kamu terlihat mesra bersama perempuan-perempuan itu.” “hahaha!” Rizal tertawa. BukanPerawanTua - 10 "Kanin Alfareza, 11 MIPA 2," "Dasar cewek sinting!" “Hahahah!”” Kanin memejamkan mata, meruntuk dalam hati, mengapa ia bodoh sekali dengan menuliskan identitas lengkapnya. Rizal merobek surat itu. menjadi sobekan kecil-kecil, lalu menghamburkannya ke udara. "Sampah!" katanya menggelengkan kepala sebelum melenggang pergi, tanpa rasa bersalah. Semua orang bersorak, tidak jarang yang mencibir dengan kata-kata yang menyakiti hati. Kanin sangat malu, tidak terasa air matanya tumpah. Ia menulis dengan sepenuh hati, dan Rizal membuangnya seenak hati. Nadya berlari, menariknya pergi. Kanin menatap punggung Rizal dalam diam. Setidaknya jika laki-laki itu tidak suka, cukup buang saja suratnya, tidak perlu dia mempermalukan di depan umum. Di mana letak perasaannya?! Hari itu rasa yang ada untuk Rizal perlahan memudar, dan melupakan adalah cara terbaik yang harus ia lakukan. Maya Fadil - 11 Part 3 putusan [ni Senar “Pokoknya aku enggak mau, Ran!” Usai jam kerja, Kanin mengajak Rani ke kontrakkan dan menceritakan semua. Mengenai pertemuannya dengan Rizal. Rani tidak berhenti terbahak dan mengatakan itu kebetulan yang sangat pas. Rani juga bilang mungkin saja Kanin dan Rizal ditakdirkan untuk melupakan masa lalu dan berjodoh di masa depan. Pertemuan kembali dengan Rizal di kafe tidak bisa dibilang lancar. Setelah Kanin mengenali Rizal sebagai orang yang pernah mempermalukannya di masa lalu, ia jadi malas bertemu lagi dengan laki-laki itu.Kanin sudah meyakinkan Rizal kalau ia adalah perempuan yang pernah dipermalukan di depan umum saat SMA, Rizal malah tertawa sambil berkata, “Perempuan yang pernah saya tolak itu banyak. Jadi saya enggak mungkin ingat satu per satu wajah perempuan kurang beruntung itu.” Sombong, kata pertama yang terlintas di otak Kanin setelah mendengar jawaban Rizal. Dari dulu sampai sekarang Rizal tidak berubah. Tetap Rizal yang angkuh dan menganggap dia laki-laki paling tampan sejagat raya. Memangnya ada laki- Jaki tampan dan mapan yang repot-repot cari jodoh dan minta di comblangkan. Aneh, pikir Kanin. “Kalau kamu memang laki-laki berkarisma dan digilai perempuan, kenapa kamu malah minta Rani carikan jodoh?” Rizal diam setelah Kanin tanya begitu. Ia menghela napas, tatapan matanya menerawang. Raut mukanya berubah. Satu menit, dua menit, jawaban itu belum keluar dari mulutnya. BukanPerawanTua - 12 “Kenapa diam? Oh ya saya tahu, pasti kenyataannya enggak ada perempuan yang mau sama— “Karena saya enggak butuh pacar ataupun calon istri beneran. Saya cuma butuh perempuan yang mau jadi pasangan pura-pura saya, cuma sementara,” potongnya cepat. Kanin menatap Rizal dengan pandangan aneh. Antara bingung dan ingin tertawa. ‘Pasangan pura-pura katanya? Memang dia pikir ini dunia sinetron atau film. Orang mencari pasangan beneran. Eh, ini manusia satu malah cari pasangan bohongan. Buat apa coba?’ Kanin ingin tertawa sekarang. “Kamu mending jadi pelawak, sana. Lucu tahu.” “Saya serius!” “Kalau serius harusnya cari calon istri, bukannya pacar bohongan.” Rizal melengos miring. “Saya cuma butuh perempuan buat diajak ke pesta pernikahan mantan pacar saya. Jadi pacar pura-pura. Cuma itu. saya malas terikat lagi dengan makhluk sejenis perempuan.” Sekarang Kanin benar-benar tertawa. Jadi laki-laki ini sedang patah hati ditinggal nikah mantan pacarnya. Sampai mau bawa pacar bohongan segala. Karena terlalu frustrasinya atau bagaimana? Ia tidak habis pikir. “Kenapa ketawa? Memangnya ada yang lucu?” tanyanya sinis.” Kanin menutup mulut dengan tangan, lalu menggeleng. “Atau begini saja, kita lupakan masa lalu dan berteman. Saya punya penawaran, bagaimana kalau kamu saja yang menemani saya ke nikahan mantan saya? Jadi pacar pura-pura. Tenang, saya akan bayar kamu, bagaimana?” Kanin sontak menghentikan tawa. Raut mukanya Jangsung berubah. Maksud Rizal apa? Ia merasa tersinggung. Tidak butuh waktu lama, ia berdiri dari kursi. Sebelum pergi, Kanin menatap Rizal tajam seraya berkata, “Tiga belas tahun Jalu kamu rendahkan harga diri saya di depan umum, dan sekarang kamu rendahkan harga diri saya dengan uang?! Kamu pikir saya perempuan sewaan? Meskipun itu cuma menemani kamu ke acara nikahan. Saya enggak sudi!” Maya Fadil - 13 “Hey!” Kanin menoleh cepat. “Apa? Sudah saya bilang tidak sudi!” “Tas kamu ketinggalan.” Ja memutar bola mata. Tergesa-gesa mengambil tas, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Kanin menandaskan satu gelas air putih di meja. Menceritakan apa yang dikatakan Rizal sukses membuatnya kesal sekaligus lelah. Sedangkan, Rani hanya geleng-geleng kepala. “Lo berdua itu lucu tahu enggak,” ujar Rani. “Lucu dari mananya?” “Kalian itu sudah sama-sama tua, tapi kelakuan kayak anak remaja. Yang satu ngambekan, yang satu lagi enggak peka’an.” Kanin berdecak. “Bisa enggak kamu kasih saran buat masalahku, bukannya meledek melulu. Dua kali kamu kenalkan aku sama cowok, enggak ada yang benar!” “Oke-oke, gue kasih solusi tapi lo jangan ngeyel dulu.” “Ya?” “Bagaimana kalau lo terima saja tawarannya Rizal” “Apa?!” “Ishh! Dengerin dulu, gue belum selesai ngomong. Maksud gue, lo teriman dulu tawaran Rizal buat jadi pacar pura-puranya. Nah, lo dekati dia, siapa tahu lo sama dia bisa berjodoh beneran, hihihi.” Kanin melotot. “Dulu lo pernah cinta sama Rizal kan? Berarti enggak susah dong menumbuhkan cinta itu lagi?” Rani menjentikkan jari, seakan ia baru saja memberikan saran paling bijak di dunia. “Kenapa kamu enggak sekalian saja suruh aku lompat ke jurang yang banyak buayanya?” ujar Kanin sinis. “Hehehe, enggak gitu lo, Nin. Asal lo tahu ya, Rizal itu punya usaha jasa penerbitan sendiri di Jakarta, bahkan cabangnya di Semarang juga. Meskipun indie, tapi penerbitan dia sudah terkenal kualitasnya. “Lalu?” BukanPerawanTua - 14 “Lo dulu kan pernah cerita, ingin banget jadi penulis dan menerbitkan buku. Jadi ‘kan lumayan kalo lo bisa menggaet calon suami yang punya penerbitan sendiri.” “Tetap saja aku malas kalau orangnya Rizal.” Rani mendengkus. “ya sudah terserah.” sek Pukul sepuluh malam ketika Kanin menarik selimut hendak tidur, ponselnya berbunyi. Ia bangkit, duduk di samping ranjang sambil menjangkau ponsel di nakas lalu menempelkannya ke telinga. “Assalamuaikum, Mbak,” sapa suara dari seberang. “Tya, Waalaikumsalam. Kenapa, Sa. Kok suara kamu kayak orang habis nangis, begitu?” tanya Kanin ke Salsa, adiknya. “Mbak!” panggil Salsa serak. “Tya kenapa? Jangan bikin aku khawatir!” “Ferdi mengancam mau meninggalkan aku, Mbak.” “Hah? Kok bisa?” Kemudian mengalirlah cerita. Salsa bercerita tadi siang ia dan Ferdi baru saja berdebat. Ferdi bilang, kalau tidak segera mendapat restu untuk menikah, laki-laki itu mengancam akan menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya. Karena orangtua Ferdi sudah sangat mengharapkan anaknya menikah. Salsa juga bercerita hal itu pada ibu dan bapak, tapi bapak tetap bersikukuh kalau Ferdi memang mencintai Salsa, maka ia harus sabar menunggu. Artinya mereka harus menunggu Kanin menikah dulu, dan sekarang Salsa sedang mempertanyakan hal itu. “Kan aku sudah bilang toh, Sa, enggak apa-apa kamu sama Ferdi langkahi aku. Aku ikhlas.” “Masalahnya ada di ibu sama bapak, Mbak. Mereka tetap enggak kasih restu selama Mbak Kanin belum menikah, hiks!” Kanin memijit kening yang terasa berdenyut. Kenapa masalahnya jadi panjang. Andai bapak dan ibu tidak kolot, semuanya tidak akan serumit ini. Maya Fadil - 15 “Ayolah, Mbak, minimal Mbak pulang ke Jogja dan kenalkan calon suamimu. Setidaknya dengan begitu bapak dan ibu akan lega.” “Kamu pikir cari pasangan itu semudah cari gorengan, bisa aku temukan di pinggir jalan?” Salsa terdiam sebentar kemudian berkata, “Atau begini aja, Mbak Kanin pulang dulu ke Jogja, kebetulan Pak Nardi lagi cari calon istri. Bapak dan ibu pasti kasih restu kalau Mbak setuju nikah sama dia. Bagaimana?” “Sembarangan kalau mau jodohin orang! Kamu enggak kasihan aku yang masih gadis nikah sama duda terus mengurusi anaknya yang nakalnya enggak ketulungan itu?” Tentu Kanin menolak. Pak Nardi adalah seorang duda yang baru bercerai dengan istrinya setahun lalu. Umurnya sekitar 40-an dan anaknya laki-laki semua. Meskipun Pak Nardi hanya terpaut sepuluh tahun darinya, tapi Kanin ingin menikah dengan laki-laki yang masih sendiri. Dalam artian singel dan belum pernah menikah. “Terus bagaimana, Mbak, aku enggak mau ditinggalkan Ferdi! Aku cinta banget sama dia!” “Tapi benar loh, Sa, yang di bilang bapak. Kalau Ferdi memang cinta sama kamu, dia pasti sabar menunggu, kok.” “Sampai kapan, Mbak, sampai kapan? Kalau nyatanya mbak baru nikah lima tahun yang akan datang, apa aku harus menunggu selama itu?” Kanin tertegun. “Lagipula aku sudah bilang, kalau kita enggak dapet restu dalam waktu dekat, Ferdi mau nikah sama perempuan yang dijodohkan orangtuanya. Aku enggak mau itu terjadi, Mbak. Sudah empat tahun lebih aku sama dia pacaran, dan aku sayang banget sama dia. Kalau aku enggak jadi nikah sama dia, aku lebih baik mati ...!” “Sa!!” bentak Kanin. “Aku mohon, Mbak ...” Suara Salsa melemah, tangisnya pecah. Tidak tahan, Kanin mematikan sambungan telepon itu sepihak. Ia memejamkan mata kuat-kuat, rasanya kepalanya mau pecah. Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Ancaman Salsa BukanPerawanTua - 16 benar-benar membuatnya takut. Tidak terasa air mata berjatuhan. Kanin tau orangtuanya, tidak mudah membuat mereka mengerti, bagaimana ini? Hanya ada satu pilihan. Dan Kanin tidak yakin ini akan berhasil. Ia mendial nomor Rani. “Halo, Ran, aku butuh bantuan kamu ....” sek “Saya baru tahu kalau ada perempuan yang enggak konsisten kayak kamu.” Malam itu setelah memantikkan telepon Salsa, Kanin menelepon Rani dan minta tolong untuk mengabari Rizal jika ia ingin bertemu. Kanin tidak menyangka Rizal setuju. Dan sekarang di sinilah mereka, bertemu di kafe yang sama, jam sama, dan kebetulan duduk di kursi yang sama pula. “Saya masih ingat, kira-kira seminggu lalu ada seorang perempuan yang tolak tawaran saya dan meninggalkan saya begitu saja,” Rizal menumpukan sebelah sikunya di meja, menatap Kanin sambil tersenyum. “Kenapa? Apa sekarang kamu lagi butuh uang dan mau terima pekerjaan sampingan dari saya?” Kanin mengatur napas mencoba sabar. Tidak boleh terpancing seperti seminggu lalu. Ja harus bisa menjaga emosi ketika menghadapi orang menyebalkan macam laki-laki ini. “Saya berubah pikiran,” jawabnya. “Maksudnya, kamu terima tawaran saya, begitu?” “Ya.” Rizal mengangguk-angguk. “Sudah saya duga kamu pasti berubah pikiran. Kamu masih beruntung loh ini, sebenarnya beberapa hari lalu saya udah menemui perempuan yang pas. Lebih cantik dari kamu. Sayangnya dia terlalu agresif dan tergila-gila sama saya. Saya takutnya nanti diperkosa sama dia. Kalau sudah begitu siapa yang tanggungjawab? Saya juga kan! Laki-laki memangselalu berada di titik yang salah.” Maya Fadil - 17 Kanin menyerngit jijik. Sangat tidak penting sekali ceritanya Rizal. “Lebih tepatnya saya terima tawaran kamu, tapi saya enggak minta uang. Saya minta kamu lakukan hal lain sebagai imbalan.” Rizal mengerutkan kening. “Maksud kamu?” Kanin menghela napas panjang. Tidak percaya ia akan menceritakan ini pada Rizal. Sebenarnya bukan ide yang bagus, tapi ia harus tetap bercerita agar Rizal tau akar permasalahannya. Satu menit pertama bercerita, laki-laki itu sudah terbahak seakan Kanin baru saja melawak. “Hahaha, maaf menyela, tapi saya sudah tahu maksud kamu. Adik kamu mau menikah, tapi orangtua kamu ingin— “Ya, begitulah.” Rizal kembali tertawa, Kanin menatapnya kesal. “Memangnya ada yang lucu?!” Laki-laki berkaus hijau itu mengedikkan bahu. “Enggak sih sebenarnya, saya cuma lagi ingin ketawa saja, sudah lama saya enggak ketawa.” “Oh.” “Kamu enggak ingin tanya kenapa?” Sekarang giliran Kanin yang mengedikkan bahu. “Enggak penting juga sih.” “Oke. Jadi kamu mau minta saya melakukan apa?” “Bagaimana kalau kita menikah?” Butuh waktu tiga puluh detik sampai Rizal kembali menyemburkan tawanya. “Kamu ngomong apa melindur? Apa jangan-jangan kamu baru bangun tidur, belum cuci muka, belum gosok gigi, langsung ke sini?” Kanin yang menyadari ucapannya langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Ja merutuk dalam hati. Mungkin karena pikiran sedang kacau, makanya bicara ngawur. Ia meneguk jus di meja dengan cepat. “Maaf, saya tadi enggak fokus.” “Alah, ngomong saja kamu memangingin nikah sama saya, iya, kan?” Rizal tersenyum menggoda. “Bisa enggak kita kembali ke topik?” BukanPerawanTua - 18 “Topik yang mana? Yang kamu bilang mau nikah sama saya?” Tangan Kanin sudah mengepal sempurna di bawah meja, siap dilayangkan ke muka Rizal. Sekali lagi ia mengatur napas, agar tidak khilaf mengambil jualan menyiramnya ke wajah Jaki-laki itu. “Kalau kamu mau saya jadi pacar pura-pura kamu di depan mantan pacar kamu, berarti kamu juga mau pura-pura jadi pacar saya di depan orangtua saya, bagaimana?” “Kalau itu mah gampang. Gini-gini saya jago akting, loh. Saya bisa bilang ke orangtua kamu kalau saya ini calon suami kamu, tapi kita enggak bisa menikah cepat karena sedang banyak urusan. Dan kita bisa meyakinkan orangtua kamu agar merestui pernikahan adik kamu dengan bilang kita akan menyusul secepatnya,” “Deal?” Rizal mengulurkan tangan. Kanin melengos, lalu menyebut uluran tangan itu dengan malas. “Oke.” Maya Fadil - 19 Yogyakarta. Kanin tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar terjadi. Dua hari pasca pertemuan dengan Rizal dan sekarang di sinilah ia, menatap getir pagar rumah bertingkat dua, yang tidak lain adalah rumah orangtua Rizal. Perempuan itu menatap Rizal yang sedang mengeluarkan koper dari bagasi taksi. Merasa kesal karena laki-laki itu seenaknya mengatur jadwal. Masih mending Rizal bisa cuti kapan ia mau, sedangkan Kanin harus mati-matian meminta izin pada atasannya. Awalnya bos menolak dan tidak mengizinkan cuti, karena kantor sedang sibuk-sibuknya. Namun, karena bantuan Rani akhirnya ia diizinkan. Kanin hanya diberi kelonggaran waktu tiga hari, setelah itu ia sudah harus kembali bekerja. Ternyata rumah orangtua Rizal dan orangtuanya hanya berjarak sekitar dua kilo meter. Dulu ia dan Rizal memang satu SMA, jadi wajar jika tempat tinggal mereka masih berada di satu kawasan yang sama. Meski begitu, Kanin harus menunggu hari esok jika ingin pulang dan bertemu keluarganya. Itu pun ia harus menemani Rizal ke acara nikahan mantan terindahnya dulu. Dasar laki-laki gagal move on, cibir Kanin dalam hati. Kanin menyeret koper yang berisi pakaian tidak seberapa, lantas mengikuti Rizal yang berjalan membuka pintu pagar. Langkahnya terasa berat, ia jadi gugup seperti akan bertemu calon mertua sungguhan. Ia harus tetap tenang dan tidak boleh terbawa perasaan. Satu harapannya, semoga saja orangtua Rizal adalah tipe orang yang menyenangkan dan tidak banyak BukanPerawanTua - 20 tanya. Sehingga ia tidak perlu banyak berbohong dan menambah dosa. “Enggak usah gugup begitu, biasa saja, kebetulan keluarga saya bukan singa,” ujar Rizal melihat Kanin yang tampak enggan. Kanin hanya diam, mempersiapkan jawaban yang nantinya akan diberikan pada orangtua Rizal agar tidak tampak seperti sandiwara. Setelah memencet bel, wanita seumuran ibunya membuka pintu. Wanita yang Kanin tebak ibunya Rizal itu menukar pandang antara ia dan Rizal sebelum tersenyum sumringah dan mempersilakan mereka masuk. “Kamu pasti Kanin ya?” tanyanya antusias begitu Kanin melangkah melewati pintu. Kanin menoleh, Rizal mengangguk, ia mengerti. “T-iya, Tan— “Nama saya Kemala, tapi kamu panggil saja Bunda. Lagipula kan sebentar lagi kamu jadi mantu di sini, jadi anggap aja bunda ini ibu kandung kamu sendiri.” Kanin kembali menatap Rizal, laki-laki itu mengangkat kedua tangan. Ia jadi heran, apa saja yang sudah dikatakan Rizal pada ibunya. Kemala menarik koper yang pegang Kanin “Enggak apa-apa, biar Bunda bawakan , kamu pasti capek.” Kesan pertama yang Kanin dapat, ibu Rizal merupakan orang yang baik, tutur katanya lembut. Tatapan matanya pun terlihat tulus, senyum tidak lepas dari wajahnya yang mulai keriput. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan laki-laki yang mengaku anaknya itu. Atau jangan-jangan Rizal anak pungut? Ah, sudahlah, kenapa Kanin jadi repot-repot memikirkan ini. “Enggak apa Tan—eh bunda, aku bawa sendiri saja, enggak capek kok,” tolaknya berusaha sesopan mungkin. “Ya sudah sih, Bun, biar saja Kanin bawa kopernya sendiri kalau memang dia enggak capek. Bawakan punya aku saja ya. Aku capek banget, mau langsung tidur ini.” Kemala menatap Rizal malas sambil mengapit lengan Kanin, mengajaknya pergi. “Bawa saja sendiri, kamu kan laki- Maya Fadil - 21 laki, Kanin saja yang perempuan enggak manja. Ayok, Nin, Bunda mau cerita-cerita sama calon mantu Bunda.” “Lah, memang Bunda enggak kangen sama aku?” “Ngapain?” Kemala menahan tawa sambil melengos. Kanin mengikuti Kemala sambil tertawa pelan. Sepertinya setelah ini ia bisa mengajaknya berkomplot. sek Tidak membutuhkan waktu lama untuk Kanin akrab dengan Kemala. Wanita baya itu tipe orang yang supel, pembawaannya santai dan lumayan humoris. Ia bercerita banyak hal pada Kanin, orang yang notabenenya baru dikenal. Seperti masa kecil Rizal, kegemaran Rizal, dan semua hal tentang Rizal, bahkan Kemala memperlihatkan foto Rizal kecil yang kurus kering dan sering sakit-sakitan. Kata Kemala, dulu Rizal hampir meninggal karena sakit tifus. Rizal merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ia punya kakak perempuan bernama Shela yang berjarak dua tahun darinya, sudah menikah, dan tinggal bersama suami di Semarang. Sedangkan, adik perempuannya—Fania—-saat ini masih menempuh pendidikan semester empat jurusan IImu Komunikasi di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Fania masih tinggal di rumah, tapi kadang tidak pulang. Seperti sekarang, Fania sedang menginap di rumah temannya untuk mengerjakan proyek kelompok. Sementara itu, ayah Rizal yang bernama Proto sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu karena penyakit jantung. Otomatis Rizal mengambil alih kewajiban sebagai kepala dan tulang punggung keluarga. Namun, tidak sepenuhnya, karena Kemala juga punya dua cabang toko bakery yang dirintis sejak enam tahun lalu bersama suami. Setidaknya penghasilan itu cukup untuk menggaji pembantu dan kuliah Fania, meski begitu Rizal tetap mengirim uang setiap bulan. Ketika bercerita tentang suami, mata Kemala berkaca. Dulu ayah Rizal sangat ingin melihat putranya menikah, tapi sayang ajal lebih dulu menjemput. Kemala sempat BukanPerawanTua - 22 memperlihatkan foto suaminya di album keluarga. Postur tubuhnya sangat mirip dengan Rizal, tinggi dan tegap. Meski menurut Kanin, secara wajah Rizal lebih mirip ibunya. Kemala juga sempat menyinggung soal mantanya Rizal yang akan menikah, namanya Leni. Hanya sedikit, mungkin ia tidak ingin melukai perasaan Kanin. Kemala menghargai Kanin sebagai calon istri Rizal. Ja mengira Kanin benar-benar akan menikah dengan anaknya. Perasaan bersalah menghinggapi Kanin, andai Kemala tau ini hanya sandiwara, hatinya pasti terluka. Tanpa sepengetahuan mereka, diam-diam Rizal mengintip dari balik pintu. Ada perasaan hangat menjalar ketika melihat percakapan dua orang itu. Saat menjalin hubungan dengan Leni, rasa-rasanya bundanya tidak pernah smemangat begitu itu ketika mengobrol. Mungkin hanya kebetulan, pikir Rizal tidak mau ambil pusing. sek Pada malam harinya, hanya ada Kanin, Rizal, dan Kemala di meja makan. Kanin baru tahu jika Rizal ternyata sangat menyukai tumis kangkung dan telur puyuh balado. Kemala memang sengaja masak menu itu untuk menyambut kedatangan anaknya. Biasanya yang masak pembantu, tapi khusus malam ini ia yang memasak sendiri. Menurut Kanin, masakan Kemala sangat enak. Menunya sederhana, tapi ia suka. Walau begitu, tetap saja ia tidak nyaman saat Kemala menanyakan kapan ia dan Rizal akan menikah. Secepatnya, itu yang selalu dijawab Rizal, sedangkan Kanin hanya mengangguk-angguk saja. “Bunda senang kamu cepat moveon, ” kata Kemala disela kunyahannya. Rizal menggaruk tengkuk, terkekeh. “Ah, Bunda, sekarang bahasanya gaul, tau moveon segala.” “Tyalah, Bunda ini kan meskipun sudah tua, tapi dalam jiwanya tetap masih muda.” Maya Fadil - 23 “Nah gitu dong, kan aku tambah sayang.” Rizal memonyongkan bibirnya, memberi ibunya ciuman jarak jauh. Kemala menatap Kanin sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Begitulah, Nin, walau umurnya sudah tua tapi kelakuannya masih kayak anak kecil.” “Namanya juga ketemu ibunya. Walaupun umurnya sudah tua, tapi ingintetap dimanja. Bunda sehat terus ya sampai lihat aku gendong cucu.” "Makanya kalian cepat nikah, biar cepat punya anak, terus Bunda punya cucu. Habis itu punya cicit deh," kata Kemala riang. Kanin dan Rizal bertatapan sebelum sama-sama memalingkan muka. Kanin menunduk, entah mengapa pipinya terasa memanas. "Bun, Fania mengerjai apa sih di rumah temannya?" Kanin tahu Rizal sedang mengalihkan pembicaraan. Bahkan ia tidak yakin lelaki itu sudah melupakan mantan pacarnya. Kanin jadi penasaran, seperti apa perempuan bernama Leni itu sehingga membuat Rizal yang dulu ia kenal playboy, sepertinya tidak bisa melupakan hubungan mereka. Dan Kanin akan tahu besok. BukanPerawanTua - 24 Part S han Mlantan Rizal ‘ Kanin mematut bayangannya di cermin. Lumayan juga penampilannya. Hari ini ia memakai kebaya pemberian Kemala semalam. Meskipun klasik, tapi kebaya berwarna hijau toska itu tampak elegan saat dipakai. Tidak ketinggalan jaman. Rambutnya digulung rapi dan diberi hiasan bunga kecil di bagian kiri. Kemala sangat telaten dan cekatan bak penata rambut profesional. Ia memang suka merias perempuan, sayangnya Fania tidak pernah mau jika ibunya ikut campur soal penampilannya. Tangan Kemala mulai memoles makeup ke wajah Kanin. Menggoreskan pensil alis, menambahkan mascara ke bulu mata, serta mengusapkan pewarna ke bibirnya. Padahal ia hanya menghadiri pesta, tapi Kemala mendandani seolah ia lah pengantinya. Kanin memejamkan mata, membayangkan saat ini ia duduk berdampingan dengan Rizal— Cukup! Kenapa ia jadi memikirkan hal yang bukan-bukan. Ia dan Rizal hanya pura-pura, seharusnya tidak boleh lupa. Jika suatu hari benar-benar menikah, pasti bukan Rizal laki-laki yang mendampingi di hadapan penghulu. “Sudah selesai. Cantik! Rizal enggak salah cari calon istri,” kata Kemala, tersenyum puas. Kemala lantas mengeluarkan kepala ke pintu, memanggil nama Rizal beberapa kali. Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang laki-laki berkemeja abu-abu yang dimasukkan ke dalam celana hitam dan berikat pinggang rapi muncul dari balik pintu. Maya Fadil - 25 Kanin menahan napas sejenak. Ja akui Rizal lumayan tampan hari ini, layaknya seorang laki-laki dewasa yang berkarisma. Kanin menggeleng, ia tidak boleh memandang terlalu lama, nanti bisa-bisa kembali jatuh cinta. “Kamu kenapa? Sakit kepala?” Kanin menggeleng lagi sembari menormalkan detak jantung yang mulai berulah. Ini tidak boleh dibiarkan, kalau ia kembali menaruh rasa, maka ia juga harus siap kembali merasakan kecewa. Dan ia tidak mau hal itu terjadi. “Bagaimana, Zal, hasil karya Bunda? Kanin cantik kan?” Rizal memandang Kanin sebentar, sedikit tersentak menyadari sesuatu, lalu mengangguk kecil. “Cantik,” katanya lirih nyaris tidak terdengar. “Ayok, cepat, keburu siang ini.” Rizal menarik tangan Kanin cepat, membuat perempuan itu kehilangan keseimbangan. Namun, bukan seperti adegan FTV, karena yang menangkap tubuh Kanin bukan Rizal, melainkan Kemala berdiri tepat di belakangnya. “Hati-hati dong, Zal. Yang lembut kalau mau menarik perempuan!” Kemala menatap Rizal kesal. “Tya, iya, Bunda. Ayo, Nin.” Rizal kembali menarik tangannya pelan, tapi segera Kanin melepasnya. “Enggak usah, aku masih bisa jalan sendiri.” Kanin berlalu terlebih dulu setelah berpamitan dengan Kemala. Samar-samar ia mendengar bunda berkata. “Makanya kalau sama perempuan itu yang lembut. Karena perempuan itu hatinya sensitif. Sekarang Kanin jadi marah kan gara-gara kamu, sana kejar terus minta maaf.” “Tya, Bunda.” “Kamu kenapa pakai kebaya itu?” “Memangnya ada yang salah?” “Enggak tahu.” “Kok enggak tahu?” BukanPerawanTua - 26 Rizal mengedikkan bahu, Kanin tidak bertanya lagi. Dasar laki-laki aneh, batinnya. Mobil Rizal sampai di tempat parkir depan lobby hotel bintang lima di sekitar kawasan Malioboro. Mereka masuk ke dalam setelah Rizal mempercayakan mobilnya ke valletparking. Rizal mengajaknya masuk lift menuju lantai tujuh di mana resepsi pernikahan itu digelar. Kanin menoleh, menatap Rizal yang sedari tadi hanya diam. Raut wajahnya terlihat murung, mungkin perasaannya hancur melihat perempuan yang masih diharapkan menikah dengan pria lain. Sambil menduga-duga, Kanin pun bertanya, “Kenapa kamu harus datang?” “Memangnya kenapa?” tanya Rizal balik. “Ya, kamu enggak perlu datang kalau memang kamu enggak sanggup.” “Siapa yang bilang saya enggak sanggup? Dia Cuma masa lalu.” Bohong, batin Kanin. “Tapi kan— “Sudahlah, kita enggak perlu bahas apa-apa. Tugas kamu cuma menemani saya dan tugas saya meyakinkan orangtua kamu. Setelah itu kita kembali menjadi orang asing yang enggak perlu saling mengenal apalagi mengurusi urusan masing-masing.” Kanin merapatkan mulut. Tidak bicara apa-apa lagi. Sampai masuk ke dalam ruang resepsi pun ia tetap diam. Kanin mengedarkan mata, menatap seluruh ruangan. Desain ballroom hotel yang terletak di lantai tujuh ini cukup berkelas. Pernikahan ini mengambil tema hitam dan putih, mulai dari dekorasi atas hingga bawah. Hidangan disusun di atas meja bundar bertaplak putih dan dilingkari kursi berlapis kain hitam. Serasi dengan para tamu undangan yang memakai pakaian nuansa hitam putih sesuai tema. ‘Tunggu dulu! Sesuai tema? Hitam putih? Lalu?’ Kanin menurunkan pandangan, menatapi pakaian yang dipakai. Lalu mengangkat wajah, menatap Rizal bingung. “Zal” “Hm?” “Pakaian kita?” Maya Fadil - 27 “Tya saya tahu.” “Kenapa aku enggak ngomong kalau temanya hitam putih?” “Saya juga enggak tahu.” “Bagaimana sih, memang kamu enggak dapat undangan?” “Ya dapat, tapi saya cuma lihat lokasinya terus saya robek.” Kanin mendengkus. “Ishh, terus sekarang kita?” Sebelum Rizal menjawab, seseorang perempuan dari arah depan memanggil namanya. Perempuan yang ternyata ratu pesta itu melambaikan tangan. Rizalmenggandeng tangan Kanin menghampiri mempelai. Sepanjang langkah, rasanya Kanin ingin menutupi wajah dengan karung goni, atau sekalian menghilang juga tidak masalah. Malu sekali. Kebayanya yang kontras dengan tema pesta, membuat para tamu undangan yang kebanyakan kaum sosialita itu menyorotkan mata ke arah mereka. Rizal masih mendingan, memakai kemeja abu-abu tua dan celana hitam. Sedangkan, ia memakai warna toska yang terlihat paling mencolok di antara yang lain. Sampai di depan kedua mempelai, Leni langsung memeluk Rizal tanpa rasa canggung. Padahal di situ ada suaminya. Kanin diam, memperhatikan interaksi keduanya. Setelah melihat dari jarak dekat, ia akui Leni adalah perempuan yang cantik. Kulitnya putih bersih. Gaun pernikahan berwarna putih tulang yang melekat sebatas dada terlihat pas di tubuhnya yang molek. “Sayang, jangan lama-lama dong pelukannya,” ujar suami Leni sembari menyentuh pundak istrinya. Leni melepas pelukannya sambil berkata, “Ini Gani, suami aku.” Sekarang ia ganti memeluk lengan suaminya. Rizal menatap sekilas laki-laki yang lebih pendek darinya itu, sebelum keduanya saling menjabat tangan dan Rizal mengucapkan selamat. Kira lebih ganteng, nyatanya enggak, batinnya jengkel. “Ttu.” Leni menunjuk, Rizal langsung merangkul bahu Kanin. Perempuan yang masih diliputi perasaan malu itu pun tersenyum canggung. BukanPerawanTua - 28, “Dia Kanin, pacar aku,” kata Rizal memperkenalkan. Kanin hendak melepas tangan Rizal, tapi ketika ingat ini hanya sandiwara, ia membiarkan. Seketika raut wajah Leni berubah. “Oh, selamat ya, kamu udah berhasil cari penggantiku. Kukira kamu enggak bisa hidup tanpa aku, seperti yang kamu bilang waktu kita putus dulu.” Leni melirik Kanin. “Ttu kan dulu, sekarang buktinya aku udah bahagia sama Kanin. Iya kan, Sayang?” Rizal menoleh, Kanin mengangguk. “Tapi kayaknya kamu enggak pernah pajang foto dia di sosial media, enggak kayak waktu kamu pacaran sama aku dulu, sosial media kamu penuh sama fotoku.” Leni kembali melirik Kanin. Ja mulai tidak nyaman, lirikkannya itu seolah menegaskan jika Leni jauh lebih baik dibandingkan dirinya. “Karena kita pacaran di dunia nyata, bukan sosial media, jadi enggak perlu mengumbar kemesraan di sosial media. Daripada fotonya penuh di sosialmedia, tapi nyatanya enggak bersama, cuma jadi kenangan yang enggak berharga,” jawab Kanin. Rizal menoleh kaget sambil melepas rangkulannya. Leni melengos sebentar sebelum kembali berkata, “Oh, gitu ya. Eh, omong-omong aku baru sadar, kok kamu pakai kebaya warna toska?” “Emm,” Kanin bingung harus menjawab apa. Rizal hanya diam, tidak berusaha membantu. Kanin melirik suami Leni, Jaki-laki itu juga sama diamnya. “Dan omong-omong lagi, bukannya itu kebaya yang mau dikasih Bunda ke aku, tapi aku enggak mau ya, Zal?” “Hah,” Kanin terkejut. Ia menyenggol lengan Rizal, laki- Jaki itu belum bereaksi, akhirnya Kanin pun kembali menjawab, “Karena saya menghargai apa yang Bunda kasih, jadi apapun itu akan saya terima.” “Owh, gitu. Selamat ya, kamu sudah dapet bekas pacarku, dan sekarang dapet bekas baju yang mau Bunda kasih ke aku.” Leni tersenyum penuh kemenangan. Maya Fadil - 29 Kanin mengatur napas, agar tidak meledak dan merusak ketenangan pesta. “Terimakasih, bekas kamu sangat berharga. Kalau begitu saya pamit.” "Kenapa buru-buru?" "Karena kebetulan saya orangnya gampang tersinggung.” Setelah itu ia pun pergi, sementara Rizal langsung mengikuti dari belakang. “Nin!” panggil Rizal, Kanin meneruskan langkah menuju lift tanpa menghiraukan. Enak saja ia dipermalukan mantan pacar Rizal dan laki-laki itu. Hanya diam saja. “Nin!” Tetap tidak dihiraukan. Kanin berjalan cepat di lobby menuju pintu keluar hotel. Ia ingin berlari, tapi kebaya dan heels ini mempersulitnya. Ia pun berhenti sebentar untuk mencopot sandal hak tingginya. “Nin!” Rizal berhasil menangkap tangannya. “Mau ke mana?” Kanin menghempaskan tangan Rizal. “Pulang!” jawabnya ketus. “Kan kita baru datang.” “Apa kamu tuli? Tadi saya dikata-kata’in mantan kamu dan kamu diam saja.” “Salah kamu sendiri!” balas Rizal tidak mau kalah. “Kenapa kamu pakai baju itu? Apa kamu enggak punya baju lain? Atau kamu enggak punya uang buat beli baju bagus? Kamu tinggal ngomong dan saya akan belikan. Kamu malu- maluin saya!” “Malu-maluin kamu bilang?” Kanin menatap tidak percaya sambil menunjuk wajahnya. “Kamu dengar ya, pasang telinga baik-baik kalau perlu. Pertama, saya punya uang sendiri dan enggak butuh uang kamu. Kedua, saya pakai baju ini semata-mata karena saya menghargai dan enggak mau bikin ibu kamu sedih karenamenolak pemberiannya! Ketiga, saya masih punya harga diri!” Rizal tertegun, ia wajah Kanin yang memerah menahan amarah. “Sudahlah, saya mau pulang. Kamu enggak perlu BukanPerawanTua - 30 bantu saya, urusan kita selesai sampai di sini. Anggap saja kita enggak kenal. Oh ya, salamin buat Bunda kamu.” Maya Fadil - 31 Part 6 Kap Mau Menikah? / Rizal mengusap wajah ketika sampai di rumah. Ia mendorong pintu dan masuk dengan malas. Terpaksa ia pulang sendiri, karena Kanin yang marah atas sikapnya memilih naik taksi dan pulang ke rumah orang tuanya. Bahkan, melupakan jika kopernya masih berada di rumah ini. “Kanin mana, Zal?” Laki-laki itu menghembuskan napas pelan. Ia sudah menduga jika pertanyaan itu yang akan diajukan bundanya ketika tahu ia pulang tidak bersama Kanin. “Pulang ke rumah orangtuanya,” jawab Rizal cuek seraya menghempaskan panggunya ke sofa. Capek hati, capek pikiran, capek tenaga hari ini. Kemala duduk di samping Rizal sambil memijit pelan lengan anak laki-lakinya itu. "Kok enggak bareng kamu?” “Mungkin dia sudah keburu kangen sama orangtuanya, Bun.” “Terus kok enggak kamu anter?” “Rumahnya enggak terlalu jauh. Lagipula dia juga enggak bakal tersesat. Jogja kan kota kelahirannya.” Kemala berdecak. "Ya, seharusnya kamu itu antarkan, sekalian silaturahmi sama keluarganya. Katanya kalian sepasang kekasih dan akan segera menikah. Masa kamu enggak ke pikiran kenal lebih dekat sama keluarganya. Bagaimana sih kamu?” Huft, Rizal memalingkan muka. Ja tahu jika sudah mengomel begini, ibunya tidak akan diam sebelum keinginannya dituruti. "Terus aku harus bagaimana, Bun?” BukanPerawanTua - 32 “Pakai tanya!” Kemala mencubit lengan Rizal. “Pokoknya Bunda enggak mau tau, sekarang kamu susul Kanin!” sek “Kamu pulang ke rumah kok ndak kabari Ibuk to, Nduk?” Kanin menghela napas. Ia jadi teringat pertengkaran dengan Rizal tadi. Entah apa yang di pikirannya Rizal, barangkali ia masih mencintai Leni yang jelas-jelas sudah jadi milik laki-laki lain. Melihat Rizal masih membela Leni padahal jelas-jelas salah, kekesalan Kanin memuncak. Ia sudah tidak butuh Rizal untuk membantu. Ia juga tidak terlalu buruk, pasti ada laki-laki baik yang serius mau menikahi dan menerimanya apa adanya. “Hehehe, tadi aku habis dari nikahan teman jadi sekalian pulang ke rumah. Aku kangen sama Ibuk, sudah dua bulan aku enggak pulang,” jawab Kanin sembari merangkul Ibu yang duduk di sampingnya. “Teman kamu yang mana? Kok Ibuk ndak tahu?” “Engg—* Kanin gelagapan. “Adalah pokoknya, Ibuk enggak kenal.” “Oh. Tetep aja kalau telepon dulu Ibuk bisa masakin sambal teri kesukaan kamu. Memangnya kamu berapa hari di sini?” Kanin tersenyum tipis. “Besok aku sudah balik ke Jakarta lagi, Buk. Soalnya Pak Bos enggak kasih cuti lama.” Raut wajah Dasri tampak kecewa. “Lah, baru aja sampai hari ini, sudah pulang saja ke sana.” “Ya habis bagaimana, namanya juga kerja. ” “Tya, Ibuk ngerti kok kalau sekarang kamu itu orang sibuk.” “Sesibuk-sibuknya, aku kan tetap pulang kalau ada libur panjang. Masalahnya Bosku itu orangnya disiplin, enggak bisa aku ambil cuti sembarangan kalau memang enggak benar- benar penting.” “Bos kamu itu genteng ndak orangnya?” Maya Fadil - 33 Aku terkekeh kecil. “Percaya deh, Buk, tetap Bapak laki- laki paling ganteng di dunia.” Dasri tertawa. “Bisa aja kamu. Tapi nanti kalau sudah punya suami, pasti kamu anggapnya dia laki-laki paling ganteng.” Kanin merapatkan bibir membentuk garis lurus. Ia mulai gusar saat ibunya menyinggung topik itu. “Oh iya, Nin, bagaimana tadi adek kamu?" Kanin Menunduk sambil mengangguk lesu. “Salsa ngambek sama aku gara-gara aku belum bawa calon suami.” Dasri menatap diam, kemudian tangannya bergerak mengelus punggung anak pertamanya itu. “Ibuk ngerti kok perasaan kamu. Tapi seperti yang dibilang bapak, ini sebagai alat untuk menguji Ferdi, apa dia benar-benar sayang sama adikmu itu.” Seketika Kanin ingat ancaman Salsa. Mengenai Salsa yang mau bunuh diri jika ditinggal Ferdi. Namun, ia tidak mungkin mengatakan hal tersebut pada Ibunya. Ia kenal Ibu, ia juga kenal Salsa, mereka berdua orang yang sama-sama keras kepala. Kanin tidak mau mereka bertengkar. Belum lagi kalau Bapak tau, bisa-bisa Salsa dimarahi habis-habisan. Kanin mendongak. “Apa enggak sebaiknya kita izinkan saja Salsa melangkahi aku, Buk? Aku enggak masalah kok. Sekarang sudah zaman modern, enggak harus yang paling tua yang nikah duluan.” “Tapi Ibuk sama Bapak inginnya kamu yang nikah dulu, Nin. Umur kamu udah hampir kepala tiga, apa ndak ada calon yang siap kamu kenalkan?” Kanin menggigit bibir, tidak menjawab. “Yowes Ibuk ke belakang dulu. Bicara sama adikmu, dia pasti ngerti.” Dasri menepuk bahunya seraya berjalan menuju pintu. Kanin menutup wajah, mengusapnya ke bawah. Ternyata permasalahan masih sama, kapan menikah? eke BukanPerawanTua - 34 “Nin,” Panggil Dasri dari luar. “ Itu ada tamu mencari kamu!” “Siapa, Buk?” “Ndak tahu. Kamu temui saja sana.” Kanin mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadaran sembari bangkit dari tempat tidur. Siapa sih yang mencarinya sore-sore begini? Padahal ia masih ingin tidur sebentar lagi. Badan dan pikirannya capek sekali. Tadi ia habis berdebat lagi dengan Salsa. Masalahnya masih sama, Salsa ingin Kanin segera menikah agar ia juga bisa menikah dengan kekasihnya. Segala hal membuat frustrasi. Semoga tamu ini tidak semakin menambah beban pikiran. Ja menunjukkan kepala, mengintip siapa yang ingin menemuinya. Seketika ia menarik badan lantas membekap mulut dengan mata membelalak. Untuk apa laki-laki menyebalkan itu datang. Sekali lagi Kanin menjulurkan kepala, memastikan kalau ia tidak salah melihat. Namun, itu benar- benar Rizal. Lelaki itu sedang berbincang dengan bapak di ruang tamu. Mencoba bersikap biasa, perlahan Kanin berjalan menemui mereka. Bapak dan Rizal menoleh. Rizal tersenyum kecil, ia merengut, lalu mengambil duduk di kursi kayu samping bapak. Rizal kembali tersenyum. Namun, Kanin menatapnya jutek, tapi begitu bapak menoleh ia kembali bersikap biasa. “Bener, Nin, dia pacar kamu dan kalian berencana mau menikah?” tanya Darsono. Kanin melotot dengan mulut setengah terbuka. Drama apa lagi yang sedang Rizal perankan, pikirnya. “Bu—bukan, Pak.” Dahi Darsono mengkerut, alisnya menukik. Ja menatap Kanin dan Rizal bergantian. “Tapi tadi Nak Rizal bilang dia calon suami kamu. Kalian berdua udah kenal lama sejak SMA.” “Eng— “Jadi begini, Pak. Sebenarnya Kanin pulang ke Jogja bareng saya. Tapi karena ada sedikit kesalahpahaman, mungkin dia masih marah dan tidak mau mengakui saya Maya Fadil - 35 sebagai pacarnya. Biasa lah, Pak, namanya perempuan.” Rizal mengedipkan mata, Kanin membuang muka. “Jadi ini cuma soal salah paham toh?” Rizal mengangguk. “Iya, benar sekali, Pak. Saya sudah mencoba membujuknya berkali-kali, tapi Kanin tetap marah dan memilih pulang ke rumah orangtuanya. Mau enggak mau sebagai lelaki sejati, saya tetap harus susulin dia.” Rasanya kukuk-kukuk Kanin ingin ia larikan ke wajah Rizal yang sok lugu itu. Lelaki itu sungguh pintar, memutar balikkan fakta dan menyudutkan, seolah Kanin yang salah dalam hal ini. Licik! Darsono menoleh ke arah anaknya. “Bapak nggak tau masalah kalian apa, tapi Bapak harap kalian segera menyelesaikan. Nak Rizal juga sudah minta maaf. Kelihatannya dia laki-laki baik dan bertanggungjawab." Ingin sekali Kanin jawab, “Kapan Rizal minta maaf, Pak? Rizal bahkan enggak mengucapkan kata maaf sama sekali.” Namun, masih ia tahan dan hanya berhenti di tenggorokan. Napasnya naik-turun, menahan emosi ternyata melelahkan. “Oh, iya, Nak Rizal sekarang bekerja di mana?” “Kebetulan saya pemilik jasa penerbitan, Pak, di Jakarta. Penerbit Payung Bening. Cabangnya di Semarang.” “Apa kira-kira itu cukup menguntungkan?” “Lumayan sih, Pak. Sebulannya saya bisa meraup untung puluhan juta bahkan lebih kalau sedang beruntung. Dan alhamdulillah beberapa bulan terakhir ini, keberuntungan itu hampir menyertai saya.” Rizal tersenyum. Sombong sekali! Pekik Kanin dalam hati. Ia menatap Rizal galak, sementara Rizal malah senyum-senyum jumawa. “Alhamdullilah kalau begitu,” Darsono juga tersenyum. “Kamu tahu enggak, Nin. Tadi Nak Rizal cerita kalau dia anaknya Pak Proto. Kamu tahu Pak Proto itu siapa?” “Bapaknya Rizal toh, Pak.” “Maksudnya, dia itu teman sekolahnya Bapak. Di SMA yang sama juga kayak kamu dan Rizal. Dulu Bapak sama Bapaknya Rizal ke mana-mana bareng. Beli makanan, bolos, BukanPerawanTua - 36 hahaha! Pak Proto itu waktu SMA bandel banget, suka gonta- ganti pacar ...” Pantas, batin Kanin. Ternyata turun menurun. “Mukanya mirip banget sama Rizal. Enggak menyangka sekarang kalian berdua malah pacaran. Bapak kaget loh awalnya. Insyaa Allah akan segera jadi besan. Tapi sayang, sekarang dia sudah enggak ada.” Darsono menurunkan bahunya. “Oh iya,” Bapak menepuk jidat. “Sampai lupa. Buatkan calon suami kamu kopi, Nin. kasihan dia.” Tanpa banyak bicara, Kanin masuk ke dapur. Tiba-tiba ide jahil terbesit di otaknya. Ia terkikik membayangkan raut sombong Rizal berubah masam saat mencicipi kopi buatannya. Ja membuat dua kopi. Satu untuk bapak dan satu lagi khusus untuk Rizal. Kanin menaruhnya di atas nampan lantas berjalan kembali ke ruang tamu. Hampir sampai, Salsa datang dan merebut nampan yang ia bawa. Salsa berkata senang sekali karena Kanin sudah berhasil membawa calon suami. Salsa mengecup pipinya riang sambil berkata, “Biar aku saja yang bawa, Mbak. Sekalian kenalan sama calon kakak iparku.” Salsa sudah sampai di ruang tamu sebelum Kanin berhasil mencegah. Kanin meringis, ia memejamkan mata. Satu, dua, tiga, empat, lim— “Kanin!” panggil Bapak agak berteriak. Kanin segera meluncur ke ruang tamu. “I—iya, Pak?” “Kenapa kopinya asin? Kata Salsa buatan ini kamu?” “Eng—gini, Pak ....” Kanin melirik Rizal, laki-laki itu membekap mulut menahan tawa. Kanin kembali menatap bapak. “Jadi gini, Pak...” “Mbak Kanin itu kebelet ingin nikah, Pak. Makanya kopinya asin,” ledek Salsa. Kanin semakin salah tingkah. “Benar itu, Ndok?” tanya Darsono. Sebelum Kanin menjawab, Darsono sudah lebih dulu berkata pada Rizal, “Nak Rizal, kapan kamu mau menikahi Kanin? Sepertinya dia benar- Maya Fadil - 37 benar ingin menikah. Lagipula kalian sudah sama-sama dewasa, enggak baik menunda-nunda hubungan sah.” Kanin membelalak. Rizal tertegun. “Kanin ini anak perempuan saya yang pertama. Meskipun umurnya sudah kepala tiga, tapi dia tetap putri kecil bagi saya. Sebagai Bapak kadang saya itu was-was mengingat dia tinggal sendiri di Jakarta. Kalau dia punya suami, pasti saya akan lebih tenang karena Kanin ada yang menjaga,” Hati Kanin terenyuh mendengar kata-kata bapak. “Jadi kapan kamu akan menikahi Kanin?” tanya Darsono menatap Rizal penuh harap. “Karena tugas seorang Bapak selain membesarkan adalah menikahkan anaknya.” Mata Rizal bergerak ke segala arah. Ia menunduk sebentar sebelum menarik napas panjang dan menjawab, “Saya akan menikahi Kanin secepatnya bahkan besok kalau bisa.” Kanin semakin membelalak. Apa Rizal sudah gila?! BukanPerawanTua - 38 Kanin masih tidak paham dengan jalan pikiran Rizal. Bisa-bisanya laki-laki itu berkata akan menikahinya di depan bapak. Entah hanya main-main atau mamang serius, Kanin tidak tahu. Yang jelas jika ini hanya bercanda, Rizal sudah sangat keterlaluan. Tentu saja Darsono senang bukan kepalang, begitu pun Salsa dan Dasri. Mereka menganggap serius perkataan Rizal. Apalagi jika dilihat dari segi ekonomi Rizal jelas mampu memenuhi kebutuhan Kanin. Lebih parah dari semua itu, Kanin tidak izinkan kembali ke Jakarta sebelum menikah dengan Rizal. “Apa kamu sudah gila?!” Sejak ucapan menggemparkan sore tadi, sampai malam ini Rizal belum pulang. Saat ini ia dan Rizal sedang duduk di gazebo dekat kolam lele belakang rumah. Darsono punya dua terpal kolam berisi ikan lele berumur sekitar tiga bulanan. Dan sekarang yang dilakukan Rizal menabur pakan ke kolam, lalu mengabaikan ucapan Kanin. Bahkan, Rizal lebih tertarik ke segerombolan ikan yang tengah berebut makanan di kolam tersebut. “Zal!” “Apa?” “Apa kamu sudah gila?” ulangnya “Apa saya terlihat seperti orang gila?” “Kayaknya.” Maya Fadil - 39 Rizal menoleh. Dia mengembalikan pakan ikan yang tersisa di tangannya, lalu memutar tubuh menghadap Kanin. “Apa yang membuat kamu berpikir seperti itu?” “Apa yang membuat saya berpikir?” Kanin menunjuk dirinya sendiri. “Kamu pura-pura atau memang lupa? Kamu nggak ingat apa yang kamu bilang sampai-sampai keluarga saya sudah mempersiapkan pernikahan kita?” “Ya sudah, menikah tinggal menikah, gitu aja kok repot,” Jawabnya cuek, lalu membalikkan badan, kembali menabur pakan ikan. “Enak banget kamu ngomong!” Suara Kanin meninggi. “Saya tau ya, Zal. Kamu baru aja ditinggal nikah orang yang masih kamu cintai. Tapi, bukan berarti kamu jadi stress, lalu bawa-bawa saya dalam masalah kamu. pernikahan itu nggak main-main!” “Siapa yang mau main-main?” Rizal menoleh cepat. Suaranya ikut meninggi. “Dan lagi, ini nggak ada hubungannya sama Leni. Saya pun nggak terkena gangguan jiwa. Saya setuju nikah sama kamu karena sebab lain!” “Apa?” Bahu Rizal merendah. Terdengar helaan napas sebelum ia menggeser posisi duduknya mendekat. Tatapan wajahnya terlihat serius. “Karena ayah kamu.” “Apa hubungannya?” “Entah kenapa saya enggak bisa menolak permintaan ayah kamu. Saya langsung teringat sama almarhum ayah saya. Dulu sebelum pergi, Ayah bilang ingin banget liat saya nikah. Sayangnya penyakit jantungnya kambuh dan ...” Mata Rizal memerah, kalimat tidak kuasa ia lanjutkan. Letupan emosi terasa, karena belum berhasil memenuhi permintaan terakhir ayahnya. Baru kali ini Kanin melihat Rizal begitu rapuh. Bulir-bulir air mata Rizal seka sebelum jatuh ke pipinya. Entah inisiatif dari mana, Kanin mengusap lengan lelaki itu, bermaksud menenangkannya. BukanPerawanTua - 40 “Dulu, setelah Ayah pergi saya berniat mewujudkan permintaannya. Saya ingin menikahi Leni, karena kebetulan kami sudah menjalin hubungan lama. Saya juga sangat cinta sama dia, saya pikir dia memang perempuan terakhir yang ditakdirkan Tuhan untuk jadi istri saya. Tapi, ternyata dia lebih memilih lelaki yang dijodohkan orangtuanya,” ucap Rizal panjang lebar. Kanin hanya diam memperhatikan. “Saya benar-benar enggak sanggup menolak permintaan ayah kamu. Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi kita membahagiakan orangtua. Saya pikir Bunda juga suka sama kamu. Jadi apa salahnya kita nikah?” “Tap— “Anggap saja kita ini simbiosis mutualisme. Kita menikah atas nama orangtua, bagaimana?” “Zal, ini pernikahan! Saya cuma ingin nikah satu kali seumur hidup!” “Saya tahu.” “Lalu?” Rizal diam. “Coba aja kamu enggak ke sini, semuanya enggak akan runyam kayak gini. Lagipula ngapain sih kamu menyusul saya ke rumah? Kan saya bilang, urusan kita udah selesai.” “Koper kamu masih ketinggalan di rumah.” “Cuma karena itu?” “Bunda marah karena saya enggak ajak kamu pulang.” Kanin mengusap rambut ke belakang. “Tapi semua jadi kacau! Saya enggak mau nikah main-main!” “Saya enggak main-main!” “Maksud kamu?” “Oke, saya serius!” “Untuk?” “Menikahi kamu!” “Zal kita-- “Apa susahnya sih, Nin? Toh dulu kamu pernah cinta sama saya.” Kanin mendongak kesal. Memang_ Rizal kira menumbuhkan cinta lama, semudah menumbuhkan biji toge. Maya Fadil - 41 Kanin menggerutu. Dulu ia memang mencintainya, tapi bukan berarti ia tidak bisa melupakan Rizal. Beberapa kali ia sempat menjalin hubungan dengan lelaki lain, walau selalu berakhir dengan kegagalan. Rizal beranjak. "Saya mau pulang dulu. Besok saya ke sini lagi sama Bunda. Tunggu aja." Laki-laki itu pergi tanpa menunggu jawaban. Sungguh percaya diri Kanin akan menerima lamarannya. Walaupun sepertinya memang begitu, mengingat bapak dan ibunya. sek Seperti yang dikatakan Rizal kemarin, hari ini ia dan keluarganya benar-benar datang untuk melamar Kanin. Rizal hanya membawa Kemala dan Fania, sedangkan kakak perempuannya tidak ikut dan berjanji akan datang di hari pernikahan saja. Setelah dirundingkan, semua sepakat akan melangsungkan pernikahan beberapa hari lagi. Namun, pernikahan itu hanya mengundang kerabat dan teman dekat. Tidak ada resepsi yang meriah, hanya ijab kabul sah, mengingat Kanin dan Rizal sudah harus segera kembali ke Jakarta. Sungguh, Kanin sudah pasrah sekarang. Pernikahan sakral bak permainan. Namun, tidak mungkin juga ia menolak apalagi memberi alasan. Semua anggota keluarga tampak bahagia, tersenyum penuh rasa lega. Namun, Fania terlihat sedikit berbeda. Kanin tidak ingin berburuk sangka, mungkin ia hanya belum terlalu mengenal Fania. Rizal bilang adiknya memang agak judes, tapi baik jika sudah akrab. “Aku belum kenal banyak sama Mbak Kanin, tapi aku harap Mbak lebih baik dari Mbak Leni yang meninggalkan Mas Rizal gitu aja," kata Fania sambil memicingkan mata. Kanin tersenyum dan mengiyakan ucapan gadis muda itu. Ta_berpikir, mungkin Fania hanya khawatir jika Rizal memperoleh perempuan sama seperti masa lalunya. Anggota keluarga Rizal termasuk lelaki itu sudah pulang. Kini Kanin duduk di undakan depan rumah dan merenungkan BukanPerawanTua - 42 semua. Sebentar lagi ia akan jadi istri. Entah benar asli atau mimpi, rasanya ia masih sulit percaya. Dari dalam rumah Salsa datang dan duduk di sebelahnya. "Cie yang mau nikah, senang dong, ya?" ucap Salsa sambil menyenggol lengan kakaknya. “Bukannya kamu yang paling senang, Sa. Secepatnya kamu bisa nikah sama pacarmu yang paling kamu cintai sampai kamu rela mati itu?" sindir Kanin. "Hehehe, iya, Mbak. Aku sudah kasih tahu Ferdi, katanya dia mau lamar aku bulan depan," Salsa tampak enggan menatap mata Kanin. Ia merasa malu pada kakaknya. Tiba-tiba Salsa memeluk Kanin dari samping sambil menumpukkan dagunya di bahu. "Maafkan aku ya, Mbak. Karena sudah bersikap buruk sama Mbak." Kanin memejamkan mata sebentar, lalu mengelus rambut panjang Salsa. "Iya," katanya, berusaha memaksakan senyum. Meskipun saat kecil mereka sering bertengkar, tapi Salsa tetap adik yang paling ia sayang. Ia tidak pernah tega jika melihatnya bersedih. Salsa menegakkan badan, tersenyum _seraya mengucapkan terimakasih. "Ngomong-ngomong kok aku perhatikan adiknya Mas Rizal itu agak kurang suka ya sama kita?" “Fania itu bukannya enggak suka, dia cuma kurang terbiasa dan belum kenal sama kita. Jadi wajar kalau dia kayak gitu. Sikapnya memang kurang dewasa. Tapi jangankan Fania, kamu saja yang udah 26 tahun kadang masih kayak anak kecil." Salsa tertawa, karena yang dikatakan kakaknya memang benar adanya. Kanin menerawangkan mata ke langit, kembali memikirkan keputusan yang baru diambilnya. Ia harap tidak menyesal dengan semua ini. a "Kamu benaran mau nikah, Nin?!" Maya Fadil - 43 Kanin menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Nadya melengking keras di seberang sana. Sahabatnya itu memang kalau bicara tidak kira-kira. "Iya, Nad. Sudah sih enggak usah kayak orang kesambet setan gitu." "Ya habis kamu mau nikah enggak bilang-bilang." Aku mendengus. "La iki opo nak aku ora kabar-kabar, Nadya!" Nadya cekikikan. "Iya-iya. Habisnya kamu ngomongnya mendadak. jadi aku enggak bisa datang, soalnya aku lagi di Bandung tempat saudaranya Mas Haris." "Enggak apa-apa, lagipula memang semuanya serba mendadak kok." "La memangsopo yang bakal jadi calon suamimu. Kok aku enggak pernah kamu kasih tahu?" Kanin mencomot kue kering di toples lalu memakannya. "Rizal," jawabnya kalem. Namun, ia sudah menduga reaksi apa yang akan diterima "Rizal?!" ucap Nadya berteriak. Tidak lama Nadya terkekeh. "Kok namanya sama ya sama cowok sok ganteng yang menolak kamu waktu SMA. Kamu masih ingat, kan? Alah itu lho si cowok playboy." "Ya memang dia." "Hah? Maksud kamu?" "Rizal yang pernah menola- aku waktu SMA. Afrizal Pradistyo. Kakak kelas kita, iya dia," katanya hati-hati. Kanin kembali menjauhkan ponsel dari telinga. Pasti akan ada suara melengking dengan frekuensi tinggi. Satu dua tig-- "APA?!" Akhirnya Kanin pun menceritakan semua pada Nadya tanpa ada yang ditutupi. Nadya sahabatnya dari SMA, ia tidak enggan mengatakan apapun padanya. Nadya sempat tidak percaya dan bertanya apa Kanin sudah gila. Sedangkan, Kanin terkekeh dan menjawab ia masih normal sepenuhnya. Di akhir pembicaraan Nadya memberi dukungan dan mendoakan semoga sahabatnya itu bahagia. Ia menutup panggilan itu. BukanPerawanTua - 44 Tadi sebelum menelepon Nadya, ia juga sudah lebih dulu menelepon Rani. Respon mereka tidak jauh berbeda. Rani langsung memberitahu bos mengenai hal ini. Awalnya bos marah dan bertanya apa Kanin sudah bosan kerja. Namun, ketika Rani memberitahu Kanin akan menikah, izin itu akhirnya didapat. Dengan catatan ia harus lembur sampai malam jika sudah kembali bekerja. Walau disiplinnya tinggi, tapi atasannya itu adalah orang yang cukup pengertian. Maya Fadil - 45 Jodoh memang takdir Tuhan. Manusia tidak akan tahu dengan siapa berjodoh di masa depan. Semua masih menjadi rahasianya. Disimpan rapat dan dipertemukan di waktu yang tepat. Bisa saja orang yang saat ini berada di sisi dan dicintai mati-matian bukanlah jodoh yang asli. Bisa juga orang pernah menolak dan mengolok-olok di masa lalu adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan. Seperti Kanin. Siapa yang menyangka bila lelaki yang dulu tidak suka dan begitu enggan menerimanya adalah lelaki yang saat ini sedang menjabat tangan dan mengucapkan namanya di hadapan penghulu. “Saya terima nikah dan kawinnya Kanin Alfareza binti Darsono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" "Sah?" "Sah!" "Sah!" Semua orang menyuarakan kata yang sama. Perempuan itu menyeka air mata yang tiba-tiba turun di pipi. Pernikahan ini sungguh sederhana. Hanya mengurus berkas-berkas di KUA untuk pencatatan sipil dan sisanya acara syukuran kecil- kecil di rumah, tapi mampu membuat semua terharu. Untuk apa yang luar biasa bila yang sederhana saja dapat membuat bahagia. Hatinya terasa menghangat kala melihat wajah-wajah bahagia itu terpampang di mana-mana. Semua perasaan berkecamuk jadi satu, marah, kesal, haru, juga lega. Kanin mencubit lengan, memastikan kalau suasana ini bukan mimpi dan ia akan terbangun esok pagi. BukanPerawanTua - 46 "Aww," ia meringis pelan. Ini benar-benar nyata. Kanin menoleh, memperhatikan laki-laki yang duduk di sampingnya. Sudut matanya berair, sejurus kemudian Rizal berhambur ke pelukan ibunya sembari beberapa kali menggumamkan kata ayah. Anak mana yang tidak sedih ketika di hari bahagia ayah yang paling dicinta tidak hadir mendampingi, karena sudah berpulang ke lain dimensi. Walaupun Kanin tidak tahu pasti apakah Rizal benar- benar bahagia dengan pernikahan ini. Kemala membisikkan sesuatu ke telinga anak laki-lakinya yang beberapa saat lalu resmi menjadi suami itu sebelum Rizal melepas pelukan ibunya dan beralih menatap Kanin. Perempuan itu terpaku sebentar, lalu perlahan ia mengambil tangan Rizal dan dengan sedikit gemetar menempelkan di keningnya. Kembali air mata tanpa tahi malu menetes. Kenapa diri ini cengeng sekali, ia merutuk dalam hati. Tiba-tiba tanpa terduga Rizal menarik dan mencium keningnya. Hawa panas menjalar. Ia menahan napas dalam- dalam. Derap jantungnya terasa tak menentu. Kembali Kanin mencubit lengannya. Namun, kali ini salah sasaran, karena Rizal yang mengaduh kesakitan. "Kenapa, Mas?" tanya Fania kaget. "Tadi digigit semut rang-rang, Fan," kata Rizal sembari melirik Kanin kesal. Apa yang dilakukan perempuan itu sungguh merusak momen romantis yang hampir tercipta. Beberapa orang berjingkat. Memeriksa di sekitar tempat duduknya, barangkali ada semut hitam legam yang siap menggigit mereka. Padahal tanpa mereka ketahui Kanin lah semut itu sebenarnya. Sampai di situ momen haru pun berlalu. Namun, Kanin kembali dibuat menegang ketika Rizal mengangkat tangannya dan menyematkan cincin platinum bermata satu di jemari manisnya. Kelopak matanya tertutup, tidak kuasa menatap Rizal yang membuat pipinya semakin merona. Begitu cincin terpasang, Kanin membuka mata. Dengan sedikit gugup, Kanin mengambil cincin satu lagi dan menyematkannya di jemari Rizal. Tepuk tangan saling Maya Fadil - 47 bersahutan riang, lalu perlahan hilang, tergantikan doa-doa yang dipanjatkan pada Tuhan. eke Sedikit demi sedikit Kanin mulai mengenal keluarga Rizal. Mulai dari Fania yang ternyata tidak seburuk yang ia kira sebelumnya sampai Shela, kakak pertama Rizal yang hari ini datang ke rumahnya-menyaksikan ijab kabul-bersama suami dan anak perempuannya yang berusia dua tahun. Ja mulai akrab dengan Shela meski tidak terlalu. Kesan pertama yang ia dapat, Shela punya kepribadian yang ramah dan cukup humoris. Bisa dibilang kakak perempuan Rizal itu hampir mewarisi sifat Kemala. Ia _ tidak berniat membandingkan, tapi Shela dan Fania memang_berbeda. Menurutnya Fania juga baik, tetapi Fania agak ketus saat pertemuan pertama, sedangkan Shela baru kenal saja sudah menganggapnya saudara. “Rizal itu walaupun laki-laki tapi takut banget sama cecak. Hehehe, bisa dibilang fobia," kata Shela, terkekeh geli. “Apa-apaan sih, Mbak." Rizal yang juga bersama mereka, memprotes, tidak suka Shela membuka rahasianya. “Enggak apa-apa, Nin. Kan sekarang kamu istrinya, jadi wajar kalau kamu tahu. " Shela mengerlingkan mata tidak memperdulikan raut kesal adiknya. Kanin tersenyum geli membayangkan Rizal yang ketakutan hanya karena melihat seekor cecak. "Ngapain kamu senyum-senyum, mau menertawakan saya?" tanya Rizal, memicing ke Kanin. "Siapa bilang? Enggak usah ge’er jadi orang!" "Ehh, ngomong-ngomong saya ini suami kamu loh sekarang. Hormat dan hargai saya!" “Memangnya kamu bendera merah putih, suruh kasih hormat," jawabnya lirih, lalu melengos. “Bentar-bentar, kok kalian cara ngomongnya gitu?" Shela yang sedari tadi diam mengamati, bertanya. "Gitu bagaimana?" tanya balik Rizal. BukanPerawanTua - 48, "Ya gitu, pakai saya-kamu. Formal banget, katanya pacaran sebelumnya. Kok ngomongnya kaku. Memang kayak begitu bahasa kalian sehari-hari? Kayak bos sama pegawai saja?" Kanin dan Rizal saling berpandangan, bingung harus memberi alasan. Mereka sudah terbiasa hingga lupa ada Shela yang tidak tahu apa-apa tentang sandiwara mereka sebelumnya. "Hehehe, sudah kebiasaan, Mbak," jawab Kanin menyengir. "Jangan dibiasakan dong! Mbak aja sama mas Dio panggilannya Ammi-Appi. Dulu malah waktu pacaran panggilannya ayah-bunda, hahaha!" Shela, perempuan yang lebih tua tiga tahun dari mereka itu, tertawa di ujung kalimatnya. Pipinya bersemu merah. "Kalian itu harus belajar beskap romantis, biar menambah keharmonisan dalang rumah tangga. Enggak masalah alay kalau sama istri atau suami sendiri. Kalau perlu panggilan kalian itu diubah, Bubbly dan Bunnymisalnya, hahaha!" Shela kembali tergelak. "Apaan sih, Mbak? Norak!" kesal Rizal. “Hahaha. Uchh, uchhh, pengantin baru marah." Rizal menatap kakaknya tajam, lalu melenggang pergi. “Hahaha! Biar saja, dia memang kayak gitu orangnya. Ngambekan. Sabar saja ya kamu jadi istrinya." Shela baru akan membuka mulut lagi ketika Fania datang dari arah pintu bersama Kesha--anak Shela--dalam gendongannya. "Nih loh, Mbak, Kesha daripadamencari Mbak melulu," kata Fania sambil menyerahkan Kesha pada ibunya. Kanin mencubiti pelan pipi Kesha yang gembul dan putih. Tangan Kesha bergerak, berusaha menepis tangan Kanin dari pipinya, tapi Kanin tertawa dan tetap melakukannya. Kesha imut, rambutnya yang ikal dikuncir dua dan diberi penjepit pita. Bocah cilik itu memakai terusan pink salem yang membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Ia beberapa kali bertanya mengenai Kesha pada Shela. Setidaknya dengan begitu ia sedikit terbebas dari pembahasan tadi. Maya Fadil - 49 "Gemesin banget, sih. Ingin punya satu yang kayak gini," ucapnya sembari mengelus rambut Kesya. “Makanya cepat buatkan Mbak keponakan ya, Nin. Biar Kesha ada temannya." Kanin menoleh cepat, merapatkan bibir. Keluar dari kandang singa, masuk ke kandang beruang, keluar lagi, masuk lagi ke kandang macan, dan berakhir di kandang harimau. Rutuknya dalam hati. Sial-sial! BukanPerawanTua - 50 Z Kanin memperhatikan laki-laki yang terlelap di sampingnya. Tidurnya tampak pulas, dengkuran halus terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka. Wajahnya begitu damai, tidak seperti saat membuka mata, menyebalkan dan menguras kesabaran. Ia menggeser posisi mendekat, mengambil tissue, lalu mengelap bulir-bulir keringat yang jatuh di sekitar pelipis lelaki itu. Sepertinya Rizal sangat kelelahan. Ia kembali bergeser menjauh, tidak mau Rizal bangun dan melihatnya begitu perhatian. Kanin merenung, mengingat perpisahan haru dengan keluarganya tadi. Memang ia sudah biasa melakukan itu saat akan kembali ke rutinitasnya di Jakarta. Namun, kali ini suasananya berbeda. Ia masih kurang percaya kalau sekarang dirinya dan Rizal merupakan sepasang suami-istri. Meskipun ia sudah mencubiti lengannya berkali-kali tidak akan merubah jika laki-laki yang tertidur pulas ini adalah suaminya. Mereka sah melakukan apapun, termasuk... ia menelan ludah cepat- cepat. Ya, mereka bebas melakukan hubungan yang memang seharusnya dilakukan oleh suami-istri setelah menikah, Namun? Kanin kembali menoleh. Rizal masih tidur, tetapi tubuhnya bergerak kecil mendekatinya, mencari posisi ternyaman. Kanin membiarkan dan berharap Rizal tidak terbangun karena mendengar debaran jantungnya. Tangan Rizal mulai melingkar perutnya tanpa sadari. Kanin menggigit bibir kuat-kuat, menarik napas dalam-dalam. Posisinya yang berada di pojok, tidak memungkinkan untuk menghindar. Maya Fadil - 51 Ja gugup, sungguh. Saat ini ia dan Rizal tidak sedang berada di bangku pesawat dalam perjalanan kembali ke Jakarta. Padahal ini baru lima belas menit mengudara, tetapi Rizal sudah tidur tanpa sadar sekitar. Posisi Rizal yang memeluk dari samping, membuat beberapa penumpang lain sesekali menatap mereka sambil lalu berbisik-bisik. Norak, begitu pikir mereka, karena mengumbar kemesraan seperti tidak punya tempat privasi. Kanin meringis, berusaha mendorong tubuh Rizal menjauh sambil berbisik ke telinga lelaki itu. Biar saja Rizal bangun, Kanin sudah tidak peduli. "Psst, Zal, Zal..." Rizal menggeliat kecil, tapi tidak merubah posisinya. "Zal..." "Hm," gumamnya. "Geseran!" bisik Kanin tertahan. "Ishh, Zal!" "Ck, apaan sih?" tanyanya tanpa membuka mata. "Geseran, ih! Malu dilihat orang." "Ngantuk." "Zal ...!" "Hm." Bukannya bergeser, Rizal malah semakin mempererat pelukannya. Karena kehilangan kesabaran, Kanin mendorong tubuh Rizal kuat hingga hampir terjungkal dari tempat duduk. Kanin membekap mulut, kegaduhan yang mereka timbulkan semakin membuat mereka menjadi pusat perhatian. Terkejut, Rizal tersadar penuh, lalu menatap sang pelaku geram. Kanin meringis pelan. "Apa-apaan sih, Nin?!" tanyanya dengan mata memerah, karena masih mengantuk. Kanin mengusap rambut ke belakang telinga, lalu menarik tubuh Rizal dan berusaha menenangkannya. Ia berkata lirih sambil menceritakan apa yang terjadi. "Tapi enggak perlu dorong juga kali. Kaget tahu. Tadi dalam mimpi, aku pikir aku jatuh dari pesawat,” ujarnya kesal. BukanPerawanTua - 52 Sejak diprotes Shela waktu itu, Kanin dan Rizal sepakat merubah cara panggil menjadi aku-kamu. Agar lebih terbiasa, dan agar tidak terlihat kaku di depan orangtua. "Iya-iya maaf, refleks tadi. Habisnya kamu enggak bangun-bangun." “Ngantuk ...! Aku kira kamu guling, makanya aku peluk," serunya sambil mengucek mata. Kanin mendengkus. “Ada apa, Mbak-Mas?" Pramugari cantik, bertubuh langsing dan tinggi semampai muncul dari arah belakang setelah mengamati keributan mereka. Rizal tersenyum merangkul pundak Kanin, merapatkan tubuh mereka. "Biasa, Mbak, istri saya ini lagi kedatangan tamu bulanan, makanya sangarnya kayak macan beranak." Pramugari itu tersenyum santun. "Oh, saya kira ada apa ribut-ribut. Kalau begitu saya permisi dulu, kalau ada perlu sesuatu bisa panggil kami." Mengangguk, pramugari berseragam merah itu berlalu, tetapi Rizal masih memperhatikan caranya berjalan. Kanin memicingkan mata. Dasar laki-laki! Lihat yang bening sedikit saja langsung lupa sama istri, pikirnya kesal. Ternyata sifat playboy Rizal dari jaman SMA dulu belum hilang, Kanin tambah kesal. ‘Lah, kenapa jadi aku yang kesal. Biarkan saja, mau mengoleksi seribu wanita sekalipun, apa peduliku!' Ia menggerutu dalam hati. Tunggu dulu? Ja kan istrinya. Tidak mau jika baru menikah sudah jadi janda. Kanin merengut, ia mengacak rambut, merasa sebal dengan dirinya sendiri. Rizal menyerngit melihat tingkah aneh Kanin. "Kenapa?" "Enggak apa-apa." "Oh," jawabnya cuek, lalu kembali memejamkan mata. Rasa kantuknya belum begitu hilang. Gitu doang? Kanin semakin kesal. "Zal!" "Hm?" "Pramugari tadi cantik, ya! Badannya seksi, putih lagi. " Maya Fadil - 53 "Itu tahu," jawabnya dengan mata terpejam. "Kamu naksir?" “Bisa jadi." "Ya sudah sana sama dia!" kata Kanin sambil cemberut. Rizal langsung membuka mata, menatap Kanin jahil. "Berarti boleh nikah lagi?" Kanin melotot. "Satu aja belum digarap, udah ke pikiran mau yang lain!" Ia memukuli lengan Rizal. Rizal mengaduh, Kanin tidak menghiraukan. “Ternyata seram banget ya perempuan kalau lagi PMS itu. Laki-laki jadi sasaran samsak. Kamu jangan kayak gitu ya, Yank. Kalau kita nikah nanti," celetuk laki-laki yang duduk di seberang mereka bersama kekasihnya. "Enggak lah, Yank. Kan aku sayang sama kamu. Memangnya Mbak itu,” ujarnya sinis sembari melirik Kanin. Tambah kesal, Kanin menatap tajam pasangan itu, mereka mengalihkan pandangan sembari berbisik-bisik. sek Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah minimalis bercat biru milik Rizal di kawasan Jakarta Pusat. Sebelumnya mereka sempat berdebat mengenai Kanin yang ingin pulang ke kontrakan, karena masih merasa kesal. Namun, Rizal bilang, "Bukannya sekarang kita sudah nikah, masa iya tinggal pisah. Siapa yang mau beres-beres rumah sama masak. Lumayan kan kalau ada kamu, bisa jadi pembantu tanpa bayaran, hehehe!" Kanin membelalak dan memprotes ucapan Rizal, masa ia disamakan dengan pembantu. Namun, lelaki itu mengancam akan mengadukan orangtua Kanin, dan akhirnya ia hanya bisa mengangguk setuju. Rizal menurunkan koper dari bagasi, Kanin menunggu di samping pagar. Begitu pagar terbuka, ia masuk lebih dulu sambil membawa koper miliknya, sementara Rizal kembali menghampiri pengemudi taksi untuk membayar argo. BukanPerawanTua - 54 Setelah beres, Rizal menyusulnya yang berdiri di depan pintu. Rizal lantas memutar kunci rumah, dan mereka pun masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat, untuk ukuran laki- laki yang tinggal sendiri, Rizal lumayan rapi. Kemungkinan sudah dibereskan sebelum di tinggal pergi. Sekilas penilaiannya, Rizal bukan jenis laki-laki jorok yang gemar menebar kulit kacang, atau meninggalkan bekas makan sembarangan. Semoga saja itu benar, pikirnya. Ia memasuki kamar yang ditunjukkan Rizal. Ranjang tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk tidur dua orang. Ia menyeret koper menuju lemari kayu besar di samping kanan tempat tidur. Begitu ia buka, sebagian besar sudah terisi. Matanya berkeliling, menemukan berbagai perabotan Jaki-laki tercecer di kamar ini. Seperti ikat pinggang, handuk, alat cukur, dan beberapa lembar pakaian yang tersampir di balik pintu. "Ini kamar kamu?" tanyanya pada Rizal yang baru menyusulnya masuk. "Yaiyalah," jawabnya santai seraya mencopot jaket yang dipakai. "Kok aku tidur di sini?" “Memang ada yang salah? "Tapi kita-- "Kita sudah nikah kalau kamu lupa. Memang ada norma yang melarang suami tidur sama istrinya?" Kanin menggigit bibir. Masih merasa aneh dengan semua ini. Bingung dan canggung, hanya berdua dengan Rizal di kamar. "Enggak sih, tapi pernikahan kita?" "Pernikahan kita sah. Itu buku nikahnya ada, kalau kamu enggak lupa bawa." "Ishh, bukan itu," katanya kesal. Tiba-tiba memekik sambil menutup mata ketika Rizal melepas celana jeansnya. “Zal, kamu mau ngapain?!" "Hah, ngapain apanya?" “Pakai celana kamu!" “Buka dulu mata kamu!" “Pakai celana!" Maya Fadil - 55 "Buka mata!" Kanin menggeram, lalu perlahan membuka mata, dan bernapas lega. Ternyata Rizal masih memakai celana boxer. Rizal tergelak. "Jadi kamu takut aku apa-apain toh? Astaga Kanin-Kanin, kayak bocah ABG saja!" Kanin cemberut. Rizal naik ke tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya. Kanin mengamati dalam diam. Rizal menaikkan alisnya. "Kenapa? Enggak apa-apa ‘kan kalau SUAMI-ISTRI tidur berdua?" Kanin masih diam. “Tenang saja, aku enggak bakal apa-apain kamu malam ini. Aku capek banget. Ngatuk. Tapi, enggak tau kalau besok," Rizal mengerlingkan mata sebelum memejamkannya. Diam- diam ia menahan tawa, sungguh asik mengerjai perempuan itu. Tidak lama matanya kembali terbuka. "Aku enggak mandi ya, Nin. Soalnya udah malam dingin banget. Aku sarankan kamu juga enggak usah mandi, nanti masuk angin baru tahu rasa." "Jorok!" Kanin melempar bantal ke arahnya sebelum berlalu ke kamar mandi. Rizal tergelak. BukanPerawanTua - 56 Tiba-tiba ia terbangun. Menoleh ke samping melihat laki- laki tengah terlelap, hampir menjerit jika saja tidak segera teringat kemarin baru menjalani prosesi paling sakral dalam hidupnya. Ia membuka selimut, hampir menjerit lagi, tetapi urung ketika menemukan pakaiannya masih lengkap. Huh, huh, ia mengatur napas. Ini benar-benar baru membuatnya sering kali lupa jika kini statusnya bukan lagi lajang. Kanin bangkit menuju lemari kaca. Membuka sedikit bajunya, mengecek apakah ada tanda yang menandakan Rizal macam-macam padanya. Huft, ternyata tidak. Mungkin laki- Jaki itu benar-benar kelelahan. Ia menepuk kening. Rizal berbuat pun tidak akan dosa, justru ia yang dosa jika menolak. Namun, untuk sekarang ia belum siap. Dirinya perlu penyesuaian yang lebih dulu pada suaminya. Ah, suami, pipinya bersemu. Membalik badan, menatap Rizal lama, kembali mencubiti diri, berharap segera terbangun jika ini hanya mimpi. Meregangkan tangan sembari menguap kecil, Rizal melihat perempuan memasak di dapurnya. Biasanya dirinya sendiri yang mengerjakan, tetapi kini ada perempuan yang menggantikan. “Kamu masak apa?" tanya Rizal, harap-harap mendapat kejutan dari masakan pertama istrinya. Maya Fadil - 57 Kanin mematikan kompor, membalik badan, lalu menaruh hasil masakannya di meja. Tanpa menjawab pertanyaan Rizal, ia kembali berlalu untuk mengambil nasi dan perlengkapan makan. Rizal menatap datar. "Di hari pertama jadi istri, kamu cuma memasakkan suamimu telur? Di mana letak harunya?" "Aku enggak lagi berusaha membuatmu terharu," jawab Kanin santai sembari duduk. "Mungkin kamu lupa kalau di kulkas cuma ada itu." "Masa sih?" "Cek saja sendiri." Lelaki itu menghela napas, mengingat jika ia memang mengosongkan kulkas sebelum akan ditinggal ke Yogyakarta. "ya nanti belanja." "Nah gitu dong jadi suami, jangan kebanyakan protes." Rizal kembali mengamati dua telur mata sapi di piring itu. "Mana mungkin enggak protes kalau telurnya agak gosong gini?" "Tadi apinya kebesaran . Itu enggak gosong kok, tapi kematangan, jadi agak menghitam." Rizal berdecak, lalu menyodorkan piring. "Apa?" tanya Kanin. “Ambilkan nasi." “Huh, dasar manja." “Masih mending manja sama istri sendiri, daripada sama istri tetangga." Menghela napas, Kanin pun mengambilkan nasi. Rizal menerima piring itu kembali seraya bertanya kapan Kanin kembali bekerja. “Nanti habis ini." "Lah, cepat amat, enggak ada cuti habis menikah? Kita kan belum bulan madu." Rizal tersenyum jahil, sengaja menggoda Kanin. Kanin melihat ke arah lain, mulai merasa canggung. "Enggak karena kemarin mendadak. Lagipula aku kan cuma karyawan yang harus nurut sama bos." BukanPerawanTua - 58 "Makanya lain kali kalo melamar kerja langsung jadi bos!" ake Mereka sudah kembali ke rutinitas masing-masing. Kanin bekerja di bidang administrasi pada bagian entry data. Siang ini dirinya sedang sibuk merekap laporan yang masuk. Ia harus cermat dan teliti, tidak boleh satu pun yang terlewat, tetapi sedari tadi Rani tidak membiarkan bekerja dengan tenang. "Cie Kanin sekarang sudah nikah ... cie!" Ja memutar bola mata, melirik Rani yang berulang kali memunculkan kepala dari balik bilik yang memisahkan mereka. Sahabatnya itu tak henti-hentinya menggoda. "Ran," Kanin mengeluh. "Cie-cie yang sudah bukan perawan tua lagi." Rani terkikik, berisik sekali. "Ish, Ran, Diam! Kalau ketahuan Pak Bos, bisa-bisa kita dikasih gaji lebih awal." “Aibh, ya lumayan lah kalau gajian awal, bisa gue belikan sepatu yang kemarin gue lihat di onlineshop." "Maksudnya kita dipecat, Dudul!" "Iya-iya, sensi amat pengantin baru," Rani kembali menjulurkan kepalanya. menyengir lebar. "By theway, bagaimana malam pertama lo waktu itu? Servis-nya memuaskan enggak? Pastinya mantap dong, dan anunya juga— Kanin beranjak cepat membekap mulut ceplas-ceplos Rani sebelum mengucapkan kata yang tidak patut didengar. Beberapa karyawan lain menoleh, memperhatikan ia dan Rani yang terlihat paling berisik sendiri. "Ehem!" Shanti, kepala HRD yang terkenal galak dan ketus menegur mereka. Kanin langsung melepaskan tangannya dari bibir Rani, menggaruk tengkuk. "Ada apa ini?" tanyanya tegas. Sorot matanya tajam. "Enggak apa-apa, Mbak. Tadi ada keributan kecil sama Rani. Biasa lah, Mbak, dia agak meluber mulutnya, hehehe!" Maya Fadil - 59 Namun, Shanti tidak menangkap maksud candaan yang dilontarkan Kanin, terbukti dari sorot matanya yang tidak berubah. "Ini kantor, tempatnya kerja, bukan bercanda. Dan kamu Rani, saya enggak tahu apa hubungan kamu sama bos sehingga kamu masih ada di sini meski berulang kali menyepelekan masalah kedisiplinan. Dan kamu Kanin, beberapa waktu lalu kamu mengajukan cuti secara mendadak, dan lagi-lagi disetujui karena bantuan Rani," Shanti melirik Rani sebelum melanjutkan. "Saya harap kamu lebih profesional bekerja setelah ini." Kanin mengangguk paham. Shanti hendak berlalu, tetapi terhenti ketika Rani menjawab, "Sebentar, kok saya agak tersinggung, ya. Maksudnya, Mbak tuduh saya ada main sama bos, begitu?" Shanti tersenyum sinis. "Saya enggak menuduh jika kamu merasa itu urusan kamu." "Tolong ya, Mbak, jangan ngomong sembarangan. Kebetulan saya sudah punya pacar, catat itu! Jadi saya enggak mungkin punya hubungan spesial sama bos, jelas?" Akhirnya terjadi perang argumen antar kedua perempuan itu. Kanin menghembuskan napas, beranjak ke kamar mandi meninggalkan dua perempuan keras kepala yang mulai jadi pusat perhatian itu. Kanin pikir mereka sudah dewasa, jadi tidak mungkin menambahkan aksi jambak rambut seusai adu mulut. Ja membasuh wajah di wastafel. Dari pantulan kaca terlihat gurat lelah di sana. Terhitung sudah hampir tiga hari ia lembur sampai malam, memenuhi janji pada atasan. Setelah pulang ia kelelahan, tidak banyak waktu tersisa untuk mengurus rumah dan ... suaminya. Namun, Rizal tidak banyak protes meski Kanin tidak selalu membuatkan sarapan pagi atau makan siang untuknya. Barangkali karena Rizal sudah terbiasa menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Tetap saja ia istri yang harus memenuhi kebutuhan suami, termasuk ... Kanin menggigit bibir. Ia dan Rizal belum pernah melakukannya sampai detik ini. Pernah satu malam ia tak BukanPerawanTua - 60 sengaja terbangun dan mendapati Rizal gelisah dalam tidurnya. Bagaimanapun dirinya dan Rizal dua orang dewasa yang tidur satu ranjang. Tidak mungkin tidak ada nafsu yang menyertainya. "Huh!" Ia jadi merasa bersalah. Rizal suaminya, berhak meminta kapanpun dia mau darinya. sek Kanin berdiri di jalanan sekitar kantor menunggu taksi online yang dipesan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Biasanya saat senggang Rizal menjemput, tetapi malam ini tidak bisa karena tadi pagi lelaki itu berangkat ke Semarang. Orang kepercayaannya untuk mengurus penerbitan di sana menghilang. Orang itu melarikan diri dengan membawa sejumlah uang yang disetor penulis yang ingin menerbitkan karya secara indie. Penerbitan kacau. Penulis protes karena novelnya tidak kunjung terbit, lalu menuduh pihak penerbit melakukan penipuan dan mengunggah kekesalan di sosial media. Membuat nama penerbit menjadi buruk. Rizal ke sana untuk menyelesaikan masalah dan sampai sekarang belum pulang. Taksi online datang, Kanin masuk ke dalam. Ia menyebutkan alamat, lalu taksi pun melaju. Ia membuka pintu rumah dengan duplikat kunci yang diberikan Rizal. Masuk ke dalam, ia menyalakan lampu yang padam, karena tidak ada seorang pun di dalam. Menaruh tas, melangkah ke dapur untuk membasahi kerongkongan. Perutnya terasa lapar. Ia mengecek tudung saji dan tak menemukan makanan. Membuka kulkas, ia mengambil telur untuk digoreng. Tidak peduli sudah jam setengah sepuluh malam. Mengambil nasi, Kanin membawa makanannya ke ruang televisi untuk menonton sinetron malam. Selesai makan, Kanin menandaskan segelas air putih, meletakkan piring, dan menyenderkan tubuh ke punggung sofa. Perut kenyang, mata pun mengantuk. Ia menguap beberapa kali sebelum membaringkan tubuh. Maya Fadil - 61 Baru pulang Rizal geleng-geleng mendapati Kanin tidur di ruang TV dengan layar persegi datar itu masih menyala. Baju kerjanya belum diganti. Piring bekas makan berserakan di meja, sungguh jorok. Biasanya Kanin akan mengomel jika ia tidak mandi, tetapi sekarang perempuan itu sendiri yang melakukannya. Ia berusaha menyadari jika Kanin kelelahan setelah pulang lembur. Ingin rasanya ia melarang istrinya itu bekerja. Namun, ia sedang malas berdebat, Kanin pun belum tentu mau menuruti keinginannya. Mematikan TV, Rizal membungkuk lalu mengangkat tubuh Kanin menuju ranjang. Diturunkannya hati-hati sebelum. Kanin refleks memeluk guling di sebelahnya. Rizal mendengkus, lagi-lagi ia harus menahan. Rizal menguap, ia juga merasa kelelahan. Terserah belum mandi, lagipula kali ini mereka sama. Ia mencopot ikat pinggang, sebelum bergabung di ranjang. Sayup-sayup Kanin mendengar suara azan. Ia mengerjapkan mata, merasakan jika tempatnya berbaring bukanlah tempat terakhir ia tidur semalam. Ternyata dirinya sudah berpindah ke kamar. Ia menoleh dan menemukan Rizal terlelap di sampingnya. Berarti laki-laki itu yang telah membopongnya. Kanin tersenyum, ia jadi teringat bapaknya yang dulu sering melakukan itu saat ia masih kecil. Ta hendak bangkit, tapi merasakan sesuatu menahan perutnya. Ketika matanya menurun ke bawah, ia mendapati tangan kanan Rizal melingkar di sana. Ia memiringkan badan, menatap wajahnya lekat-lekat. Tanpa sepengetahuan Rizal, Kanin sering melakukan ini, karena biasanya ia yang bangun duluan. BukanPerawanTua - 62 Kanin mengamati seluruh bagian, dan berakhir di bibir Rizal. Bibir yang dulu begitu ringan mencemoohnya. Bibir yang kerap membuatnya sebal. Bibir yang belum pernah ia rasakan sampai sekarang. Kanin geleng-geleng kepala. Hendak bangkit, tapi lagi-lagi tangan Rizal menghalangi. "Zal," ia menepuk pipinya ringan, agar Rizal tidak kaget saat terbangun. Seperti biasa, Rizal sangat sulit dibangunkan. Berulang kali berusaha hanya mendapat geraman. Tidak menyerah, ia kembali mengguncang tubuhnya. Rizal menggeliat dan tanpa terduga gerakannya menimpa tubuh Kanin. Ta menahan napas, berusaha menggerakkan tubuh menjauh. Tiba-tiba kelopak mata itu terbuka lalu membelalak. Kecanggungan terasa. Kanin lekas berkata-kata, tapi bibir itu lebih dulu membungkamnya. Bergerak-gerak, memberi sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kanin pernah pacaran sebenarnya. Namun, sungguh ini baru pertama kali. Dulu ia kerap menolak kontak fisik berlebih yang menurutnya tabu dan berakhir putusnya hubungan. Selalu seperti itu. Ia berusaha mengimbangi permainan Rizal dengan gerakan kaku. Tidak seperti Rizal yang begitu ahli. Merasa sudah terlalu jauh, Kanin menghentikan tangan Rizal yang mulai bergerilya di dadanya. "Kenapa?" Kanin mengancingkan kembali kemeja kerja yang belum ia ganti, karena ketiduran. Melihat sepasang mata itu meredup kecewa, sejujurnya ia tidak tega. "Kenapa?" "Aku... Aku..." "Hah?" Rizal berdecak jengkel. "Apa?" "Sebenarnya aku ... belum selesai menstruasi, hehe." Rizal melongo sambil mengerjapkan mata. "Sudah berapa hari?" Maya Fadil - 63 “Baru saja kemarin di kantor." “Biasanya berapa hari?" “Apanya?" Rizal mendengkus. "Bulan merahmu itu lah!" "Oh, enam hari sih, tapi kadang tujuh hari." Kanin menyengir, menunjukkan sederet giginya. "Arghh|" Rizal mengacak rambut frustrasi, kemudian berlalu ke kamar mandi. Kanin semakin merasa bersalah. Bukan hanya Rizal, ia pun merasa tersiksa harus menghentikannya. BukanPerawanTua - 64 Part 11 Bilang Saja Kangen Diam-diam sambil mengaduk nasi goreng di wajan, Kanin memperhatikan Rizal yang duduk di meja makan menunggu sarapan. Pagi-pagi begini mood lelaki itu sudah buruk. Wajahnya_ ditekuk. Tiba-tiba Rizal menoleh, Kanin menyibukkan diri pura-pura tidak melihat. Sudah hampir setengah tujuh, ia masih berkutat di dapur. Sebelumnya tidak pernah serepot ini, sebab pekerjaan menuntutnya berangkat pagi. Namun, mulai hari ini ia putuskan untuk menyempatkan diri, karena itu sudah kewajiban seorang istri. Kanin tidak mau dicap sebagai istri yang menelantarkan suami. Ia membawa dua piring nasi goreng lengkap dengan irisan tomat dan telur mata sapi. Sambil tersenyum ia menaruh nasi goreng itu di hadapan Rizal, dan satu lagi untuknya sendiri. Kanin menarik kursi, duduk sebelah Rizal. Namun, Rizal sama sekali tidak membalas senyumannya. “Enak enggak nasi gorengnya?” tanyanya harap-harap cemas. “Biasa saja, kayak nasi goreng pada umumnya,” jawab Rizal cuek tanpa mengangkat wajah. “Oh,” Kanin merengut dan melanjutkan makan. Padahal ia mengharapkan sedikit pujian dari suaminya. Sungguh, tidak peka sama sekali. “Bagaimana masalah kamu kemarin? Sudah selesai belum?” “Belum.” “Lah, terus bagaimana kelanjutannya?” Maya Fadil - 65 “Ya, enggak bagaimana-bagaimana.” “Orang yang bawa kabur uang penerbitan sudah ketemu?” Rizal menggeleng. “Sudahlah, enggak usah kebanyakan tanya, kamu juga enggak akan bisa bantu, toh!” “Memang sih, tapi setidaknya aku bisa jadi pendengar. Itu pun kalau kamu mau cerita.” Kanin tersenyum, masih mencoba memahami. Mungkin Rizal tengah pening terkait pekerjaan. “Enggak penting juga cerita sama kamu.” Kanin menatap Rizal yang enggan menatapnya. “Kenapa enggak penting?” Rizal mengangkat bahu. Lama-lama ia merasa jengkel. Bukannya dirinya yang menstruasi, tapi kenapa Rizal yang bersikap ketus. “Kamu kenapa sih, Zal?” Rizal mengangkat wajah. Ekspresinya datar. “Kenapa apanya?” “Jutek banget perasaan.” “Biasa saja.” “Tuh kan! Yang PMS aku apa kamu sih? Kenapa kamu lebih sensitif?” “Biasa saja.” Belum selesai pembicaraan, Rizal yang pagi itu sudah berpakaian rapi beranjak dari kursi. “Mau ke mana?” “Semarang.” “Beneran?” “Hm.” Kanin terkejut, mendadak sekali. “Berapa hari?” “Tujuh hari!” Ja membelalak. Rizal tidak main-main dengan ucapannya. Ini sudah hari ke empat lelaki itu berada di Semarang. Selama itu pula Kanin ia di rumah sendirian. Ia menggerutu, Rizal memang tega padanya. BukanPerawanTua - 66 "Apa dia sudah bosan sama aku? Lalu berniat menjauhi pelan-pelan,” pikirnya tidak karuan. Rasanya ia ingin menangis. Meskipun ia dan Rizal tidak pernah bersikap manis, tapi tidak ada lelaki itu rasanya lain. Seperti ada yang hilang. Tidak ada lagi yang membuatnya sebal pagi-pagi. Atau memeluknya di waktu malam. Ia benar-benar kesepian. Sore ini sekitar jam empat ia keluar dari kantor. Jatah lembur sudah habis, jadi tidak perlu pulang larut malam seperti hari-hari sebelumnya. Mobil sedan silver bergerak pelan menyampingi. Tanpa diminta pun, Kanin masuk ketika mobil itu berhenti. “Aku bingung, Ran, sama Rizal. Kamu punya saran enggak?” Kanin langsung mengutarakan permasalahan. Rani terkekeh di balik kemudi. “Tni ada apa lagi sih, Pengantin Baru?” Kanin berdecak. “Ya, kayak yang aku ceritain kemarin.” “Rizal belum pulang sampai hari ini?” Kanin menggeleng lemah. “Apa mungkin dia selingkuh ya, Ran?” “Hust, enggak boleh gitu. Gue kenal kok Rizal, dia enggak mungkin selingkuh.” “Aku bahkan kenal Rizal dari SMA, dia PLAYBOY pada jamannya.” Kanin berkata sinis. “Ke coffieshop dulu ya, Nin? Kayaknya lo butuh penyegaran otak.” Kanin mengangguk sekilas. sek “Aku kangen sama kamu, Zal." Perempuan itu menghampiri, memeluk tubuhnya dari samping, lalu tiba-tiba mencium pipinya. Rizal mengusap pipi, ternyata kebiasaan Leni dari dulu tidak berubah, meski kini perempuan itu sudah bersuami. Melalui dari storyinstagram Rizal berada di CV penerbitannya, Semarang. Leni menghubungi mengajaknya Maya Fadil - 67 bertemu. Awalnya ia menolak ketika Leni mengatakan akan menyusul, tetapi tidak mampu lagi berkata tidak ketika Leni memohon. Diam-diam ia juga sangat merindukan perempuan itu. "Bagaimana kabar kamu, dia suami yang baik, kan?" Leni mendengkus. Ia melengos sebentar, sebelum kembali menatapnya. "Dia lelaki yang membosankan. Workaholic yang bikin aku ngerasa diabaikan tiap hari." Hati Rizal terasa diremas. Ia masih tidak terima mendengar mantan tidak bahagia dengan pernikahannya. Nyatanya, entah berapa sakit yang diterima, ia hanyalah lelaki lemah yang belum sanggup menanggalkan rasa sayangnya. "Coba aja orangtuaku enggak ngotot jodohin aku sama dia yang katanya lelaki sukses, cuma karena usaha kamu lagi turun waktu itu." Leni mendesah, menjadi anak yang patuh tidak serta merta membuatnya bahagia. Ia balik bertanya, "Kalo kamu bagaimana?" Rizal mengangkat bahu. "Pasti dia juga perempuan yang membosankan dan menyebalkan, kan?" "Bisa jadi." Ia hanya tersenyum kecil. "Ya sudahlah, ngapain kita bahas mereka, mending sekarang kita jalan-jalan mumpung ketemu. Aku juga bawa kamera, yuk sekalian kita hangout." Leni tertawa ceria, mengait tangannya, mengajak mengelilingi objek wisata Ambarawa, Semarang tersebut. Rizal mengembuskan napas berat. Pikirannya melayang tidak tenang. Ia tahu ini salah. Bertemu berdua tanpa sepengetahuan pasangan masing-masing. Ia merasa menjadi pecundang, yang belum bisa tegas menentukan pilihan. see Pagi ini Kanin bangun dengan wajah lebih sumringah. Pembicaraannya kemarin dengan Rani di coffieshop memberi sedikit pencerahan. Meskipun belum menikah, tetapi Rani sangat pandai memberi masukan. BukanPerawanTua - 68 Rani bilang, “Salah satu tujuan nikah itu meneruskan keturunan. Bagaimana lo sama Rizal mau punya anak dan benar-benar terikat kalau berhubungan badan saja belum pernah. Kasihan loh Rizal, biar bagaimanapun dia tetap laki- laki tulen.” Apa yang dikatakan Rani benar. Jika dihitung sudah dua belas hari ia dan Rizal menikah, tapi belum pernah sekalipun melakukan hubungan layaknya suami-istri. Sebenarnya hampir, hanya saja bulan merah yang menjadi penghalang antara mereka. Ia jadi malu. Pagi ini rencananya ia akan belanja sekalian refreshing. Mumpung hari minggu. Kemarin Rani mengatakan akan menjemput jam sembilan. Kurang satu jam lagi ia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, mandi, dan siap-siap. Meskipun perempuan, ia tidak seperti yang digambarkan meme-meme sosial media. Katanya perempuan kalau mandi butuh waktu satu jam, lalu dandan butuh dua jam, sampai laki- laki yang nunggu ketiduran. Itu terlalu berlebihan menurutnya. Mungkin ada perempuan seperti itu, tapi ia tidak termasuk diantaranya. Kanin baru selesai mandi dan berganti pakaian ketika ponsel di atas tempat tidur berdering . Nama Rizal tertera di layar. Tiba-tiba ia merasa antusias. Tumben sekali Rizal menyempatkan diri meneleponnya. Ia menempelkan ponsel di telinga kiri, sementara tangan kanannya bergerak memoles pelembab di depan cermin. “Kapan pulang?” Hal pertama yang langsung tanyakan. Rizal tidak menjawab malah balik bertanya, “Kamu kangen?” “Enggak sih, biasa saja tuh.” “Ya sudah aku pulangnya lusa.” “Jangan!” serunya spontan. Rizal terkekeh di seberang sana. “Katanya enggak kangen?” “Ya enggak sebenarnya, tapi kan enggak enak di rumah sendiri. Apalagi kalau habis nonton sinema rada horror, jadi Maya Fadil - 69 parno tahu. Enggak ada teman ngobrol sama teman tidur,” ucapnya lirih di ujung kalimat. “Lah, dulu saja di kontrakan juga sendiri.”” “Ya memang, tapi kan— “Bilang saja kangen.” Kanin mengalihkan pembicaraan. “Jadi kapan mau pulang?” “Entah. Mungkin besok atau besoknya lagi, atau besoknya, besoknya lagi, atau mungkin bisa juga besoknya lagi.” Perempuan itu cemberut. “Aihh, kalau ngomong itu yang benar, jangan berbelit-belit dan bikin sembelit.” Rizal benar-benar tertawa. “Ngaku dulu kalau kamu kangen.” “Jawab dulu.” “Ngaku dulu.”” “Tshhh!” “Enggak mau pulang kalau enggak ngaku.” Kanin menghela napas, lalu menghembuskan perlahan. Menarik napas lagi, dan menghembuskannya kembali. “Iya-iya aku kangen, puas?” “Hehe, gitu dong.” “Jadi kapan pulang?” “Kemungkinan besok, atau besoknya. Bisa jug— KLIK. Telepon ia matikan. Bisa tidak sih Rizal tidak membuatnya sebal sekali saja. Kembali ia melanjutkan aktivitas di depan cermin. Namun, tiba-tiba ia tersenyum sendiri. Sebenarnya lebih baik Rizal yang menyebalkan begini, dibanding Rizal yang ketus seperti tempo hari. Tidak berapa lama ponsel kembali bersuara. “Apa?” Jeda hampir satu menit sampai Rizal berkata, “Maaf ya, Nin.” “Buat?” Terdengar helaan napas dari seberang. Rizal diam cukup lama, membuatnya kembali bertanya, "Maaf apa?" “Aku merasa harus minta maaf saja." BukanPerawanTua - 70 "Oh, pasti kamu mau minta maaf karena sikap buruk kamu pagi itu. Nah, begitu dong. Haha, seharusnya aku rekam permintaan maaf kamu ini." Rizal tertawa lirih. "Anggap saja iya." Maya Fadil - 71 Part 12 u Kamu “alam [nil Sore sepulang kerja, ia sibuk berkutat di dapur. Bukan tanpa alasan jadi rajin seperti sekarang. Tadi siang Rizal mengirim pesan kalau lelaki itu akan pulang dan kemungkinan sampai rumah malam. Jadi ia ingin menyambut kedatangan dengan masakan terbaiknya. Terdengar berlebihan. Bukan masakan terbaik, melainkan ia akan memasak makanan kesukaan Rizal. Teringat saat di Jogja saat Rizal terlihat lahap menyantap telur puyuh balado dan tumis kangkung buatan Kemala. Mungkin ia tidak bisa membuat yang seenak bunda, tapi tidak apa selagi ia sudah berusaha. Setelah masakan dirasa matang, ia memindahkan ke wadah dan menyimpan dalam tudung nasi, kemudian berlalu ke kamar mandi. Selesai mandi dan keramas sebagai penanda berakhirnya masa bulanan, Kanin berganti pakaian. Ja segera menyisir rambut, dan mengoles bedak serta sedikit makeup di wajah, tidak lupa juga mewarnai bibirnya. Sebelumnya di rumah tidak pernah seperti ini. Entah mengapa hari ini ia ingin terlihat cantik di depan suaminya. Kanin senyum-senyum sendiri sembari bersenandung kecil. Mendadak ia teringat sesuatu. Lebih tepatnya barang yang ia beli bersama Rani ketika belanja hari minggu kemarin. Ia beranjak untuk mengambil paperbag yang ditaruh di samping lemari. Kanin meringis membuka isinya. Sebuahlingrie berenda berwarna merah menyala berada di genggaman tangannya. Sungguh ini bukan idenya, melainkan Rani yang terus-terusan memaksa membeli pakaian kurang bahan BukanPerawanTua - 72 tersebut. Bahkan Rani yang membayarnya sebagai hadiah pernikahan katanya. Ini benar-benar memalukan. Terbayang bagaimana ia memakai pakaian tipis itu di depan Rizal, membuatnya bergidik. Ia tidak mungkin percaya diri itu, meskipun Rizal suaminya. Namun, ia rindu Rizal dan ingin bersamanya malam ini. Kanin berdecak, menaruh /ingrie itu begitu saja, lalu keluar kamar untuk menonton televisi. Ia butuh pengalihan untuk membuang pikiran kotor dari otaknya. ae Suara ketukan pintu terdengar, Kanin yang sedang berselancar di sosial media bergegas untuk membuka pintu. Ia tersenyum cerah mendapati muka Rizal menyambut di balik pintu. Ia mengambil tangan kanan Rizal, menempelkannya di kening. Rizal terkesiap, terpaku sebentar. Dapat ia tangkap lelaki itu tersenyum singkat sebelum kembali memasang raut seperti semula. Kanin menggiring duduk di sofa, Rizal menyenderkan punggung seraya mencopot tas gendongnya. Hal pertama yang Kanin tanyakan tentu saja seputar pekerjaan. Rizal tidak menjelaskan secara detail, ia hanya menjawab, “Andi ternyata enggak kabur, dia pulang kampung dan bawa uang itu buat pengobatan anaknya yang kena DBD.” “Terus kamu percaya begitu saja?” tanyanya. Rizal mengangkat bahu. “Mungkin.” “Kok gitu?” “Andi memang punya anak perempuan umur lima tahun, jadi kemungkinan dia jujur. Lagipula enggak mungkin juga kan dia bohong dengan mengatasnamakan anaknya yang sakit cuma buat modus penipuan,” jelasnya. “Tapikan kita enggak tau isi hati orang bagaimana?” Kanin tetap bersikukuh, merasa Rizal begitu santai menghadapi permasalahan . “Sudahlah enggak usah dipermasalahkan lagi. lagipula Andi udah bisa dihubungi dan janji bakal kembalikan uang itu kalau dia sudah punya rezeki.” Maya Fadil - 73 Kanin mengangguk-angguk. “Kalau masalah nama baik penerbitan, bagaimana?” Rizal menghembuskan napas. “Udah diklarifikasi. Masalah percaya atau enggak itu urusan mereka.” Kanin diam dan tidak bertanya lagi. Lama ia perhatikan, sepertinya Rizal punya kegundahan lain yang lebih mengganggunya. Sejenak mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kanin menoleh, Rizal menerawangkan matanya. Setitik kekecewaan menghampiri hati. Meski seminggu Rizal tidak bertemu dengannya, tetapi tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan lelaki itu rindu padanya. Bahkan memeluknya saja tidak sama sekali. Sebagai istri ingin sekali-kali ia diperhatikan suami. Dirindukan, atau setidaknya diberi sedikit sikap manis yang membuatnya melayang. “Zal, kamu mending mandi sana. Jangan bilang kamu enggak mandi lagi kayak waktu itu,” ucapnya dengan iringan canda. Rizal mengangguk kecil dan berlalu pergi. Kanin memandang punggungnya yang menjauh. Berusaha berpikir jernih, mungkin Rizal hanya sedang suntuk. eke Menunggu Rizal selesai mandi, Kanin menyiapkan masakan di meja dengan semangat. Tidak lama berselang, Rizal datang dengan rambut acak-acakan belum tersentuh sisir. Ia terpaku sebentar memandanginya. Gaya rambut yang tidak tertata itu membawa ingatan terbang pada lelaki sama tiga belas tahun lalu. Rambutnya yang agak ikal dari dulumemang tidak pernah bisa dibentuk jambul. Kanin terkekeh sendiri. Rizal menyengitkan alis. “Kenapa?” Kanin menggeleng, menarik kursi, duduk. Rizal melakukan hal yang sama. Pancaran mata agak berbinar tertuju pada menu makanan yang istrinya hidangkan malam ini. “Aku yang masak sore tadi, cobain deh,” kata Kanin riang. BukanPerawanTua - 74 Rizal menuangkan nasi di piring dan lauk pauk. Kanin tertegun, menunggu reaksi Rizal setelah mencicipi masakannya. Namun, setelah beberapa suapan, Rizal tidak berkomentar apapun. Hanya duduk tenang menikmati makan. Kanin melenguh kecewa, lalu menyendok makanan ke piringnya sendiri. Denting sendok yang beradu dengan piring sengaja ia keraskan agar Rizal sadar dirinya butuh perhatian. Merasa terusik, Rizal mengangkat wajah menatap Kanin. Ta balas menatap sebelum menunduk kembali. “Kalau mau konser ke Ancol sana, jangan meja makan, berisik tau,” ucap Rizal di sela kunyahan. “Siapa yang mau konser?” Kanin menggerutu pelan. “Kamu kenapa sih? Aneh banget.” “Kamu yang kenapa?” Kanin memandang Rizal dengan mata berkaca. Runtuh sudah pertahanannya. Padahal ia perempuan dewasa mendekati tua, tapi kenapa masih cengeng seperti balita. Dadanya terasa sesak, air mata mendesak. Rizal melebarkan mata, dia segera memutari meja mendatanginya. “Kamu kok nangis?” tanyanya panik. “Kamu kalau enggak suka, kenapa kamu nikah sama aku? Kenapa enggak sama orang lain saja? Atau jangan-jangan aku cuma pelarian kamu? Kamu anggap aku apa? Enggak ada kah sedikit perasaan kamu buat aku?” Kanin merancau tidak jelas, mengeluarkan unek-unek yang tersimpan di hatinya. Ta bergegas pulang dari tempat kerja hanya untuk memasak sesuatu yang menarik untuk Rizal. Rela menahan lapar dari sore hanya agar bisa makan berdua dengan Rizal. Lama menunggu tidak sedikitpun ada tanggapan yang membuatnya lega. Rizal dan ketidakperduliannya yang tetap sama. Berharap sedikit saja perhatian darinya, tapi tidak juga ia dapatkan. Kanin rasa Rizal memang belum berniat membuka hati untuknya. Masa lalu tetap menjadi prioritas yang paling diingat. Bahkan, pernah satu kali ia mendengar Rizal menyebut nama Leni dalam tidurnya. Kanin tidak tahu apakah dirinya cembutu. Ia juga tidak tahu apakah perasaannya sudah kembali seperti dulu. Semuanya terjadi begitu saja. Ia menangis untuk Maya Fadil - 75 sesuatu yang tidak ia mengerti. Hanya sesak dan ingin menumpahkannya, itu saja. “Nin,” kata Rizal sambil membelai rambut Kanin dari belakang. “Kayaknya kamu lagi capek, sana istirahat.” “Aku memang capek, Zal. Capek sama semua sikap kamu. Capek!” Kanin menutup wajah, terisak. Napasnya memburu. “Nin,” Rizal berusaha menyingkirkan tangan dari wajahnya. “Apa kamu menyesal nikah sama aku?” “Seharusnya aku yang tanya kayak begitu, Zal,” serunya. “Benar kan kamu nikah sama aku karena terpaksa?” Rizal tertegun. Ia mengacak rambut. Tatapan mata ia buang ke arah lain. Cukup sudah. Kanin menghentakkan kaki sebelum berlari masuk ke kamar. Hendak menutup pintu, tapi tangan Rizal yang lebih kuat menahannya. Lelaki itu menerobos masuk, kemudian mengunci pintu. “Sebenarnya ada apa sih, Nin? Ada masalah di kantor? Ada yang jahili atau bikin kamu kesal di kantor? Atau gaji bulanan kamu belum keluar? Tenang, uangku masih cukup kok untuk memenuhi belanja kamu sehari-hari seperti beli kangkung, telur, tog— “BUKAN ITU!” “Lalu?” Kanin duduk di tepian kasur, memijat pelipis. Rizal mengisi tempat di sampingnya. “Sekarang aku tanya sekali lagi, Zal. Apa kamu udah muak dengan pernikahan ini, dan berniat menyu— Ucapan terhenti kala bibir Rizal menyambarnya. Kanin membelalak kaget lantas berusaha mendorong tubuh Rizal menjauh, tapi kedua tangan Rizal yang melingkar, mengunci tubuhnya hingga tak bisa berkutik. Belum melepas ciuman, Rizal membimbing berbaring di ranjang. Ia menumpukan tangan untuk menahan beban badan sembari menatap tajam. “Jangan teruskan omongan kamu, atau ini nggak akan berakhir sampai pagi,” katanya dengan sudut bibir terangkat. Usai mengatakan itu Rizal beranjak menjauh. BukanPerawanTua - 76 Kanin bangkit duduk dan menatapnya geram. “Apa maksud kamu?!” “Apa aku perlu mengulangnya supaya kamu tahu apa yang aku maksud?” Kanin menelan ludah susah payang — seraya menggelengkan kepala. “Kenapa? Bukannya hal itu lumrah dilakukan laki-laki dan perempuan yang sudah sah?” Berusaha menekan kegugupan, Kanin memicingkan mata ke arah Rizal yang tersenyum penuh kemenangan. “Zal, enggak usah mengalihkan topik yang kita bahas tadi, ya.” Rizal terkekeh pelan seraya melangkah mendekat, Kanin bergerak waspada. “Kenapa kamu begitu marah? Bukannya kita sama-sama tahu dari awal kalau pernikahan ini didasarkan oleh kepentingan masing-masing.” Rizal berhenti ketika kakinya menyandung sesuatu. Pandangan turun ke bawah, melihat kain tipis berenda merah yang terkulai di samping kolong ranjang. Rizal membungkuk, lalu diangkatnya tinggi-tinggi. “Ini apa, Nin?” “Eng—* Kanin memalingkan muka. “Tni untuk persiapan, Nin?” Kanin menggeleng cepat. “Eng-enggak itu buk— “Kalo enggak kenapa ada baju model begini? Jadi kamu selingkuh sama laki-laki lain selama aku enggak ada?!” Kanin tersentak. Rizal sudah berada di sebelahnya, meraih kedua pundaknya, memaksa agar Kanin menatapnya. “Benar yang aku bilang tadi?!” Masih dengan intonasi keras, Kanin melotot tidak terima. “Enak saja, enggak usah asal tuduh ya! Aku enggak selingkuh sama laki-laki mana pun! Jangan-jangan kamu yang selingkuh?” Rizal tersentak mundur, tetapi ia harus segera menguasai keadaan. “Enggak ada bukti, hoax!” “Hah?” “Aku perlu bukti!” Maya Fadil - 77 “Aku suruh buktikan bagaimana? Memang aku enggak selingkuh sama siapa-siapa!” Kanin berteriak, merasa terhina dengan tuduhan Rizal. “Makanya buktikan !” “Ya bagaimana caranya?!” Rizal merenggut rambutnya kasar sebelum dengan cepat mendorong tubuh Kanin hingga berbaring. Ia menarik kedua tangan Kanin ke atas. “Masih kurang jelas?” tanyanya serupa bisikan. Dapat ia rasakan embusan napasnya yang memburu menerpa wajahnya. "Ta-tapi..." "Kamu enggak mau?" “Aku cuma..." "Ssstttt ... aku mau kamu malam ini." Lidah Kanin terasa kelu untuk berkata-kata. “Bunda tadi telepon.” “La-lalu?” “Dia minta cucu.” Seolah terhipnotis oleh binar mata sendu itu, Kanin mengangguk. Rizal mengikis jarak. Untuk pertama kali, malam ini menjadi malam terpanjang antara ia dan Rizal. BukanPerawanTua - 78 ‘Dua bulan berlalu sejak ia dan Rizal menjadi suami-istri dalam arti sesungguhnya . Menjalin hubungan layaknya dua orang yang berumah tangga. Tidak banyak yang berubah, Rizal tetap orang yang menyebalkan seperti biasa, tapi hal tersebut sudah jadi ciri khas dan dapat Kanin maklumi. Bahkan terasa aneh jika Rizal bersikap mendadak romantis misalnya. Sudah bisa ditebak, Rizal hanya akan bertingkah semanis gulali ketika menginginkan sesuatu Kanin. Sesuatu yang bersifat privasi bagi suami-istri. Beberapa bulan tinggal bersama juga membuat Kanin banyak mengerti tentang Rizal. Apa yang disukai dan tidak. Laki-laki itu tidak suka makanan terlalu pedas, juga tidak suka minum jika tidak sehabis makan. Akibatnya kulit kering, tidak banyak cairan masuk dalam tubuhnya. Beberapa kali Rizal mengeluhkan sakit di bagian pinggang. Kanin yang khawatir langsung memaksa periksa ke dokter. Untung saja tidak ada gejala penyakit yang serius. Hanya dokter menyarankan Rizal memperbanyak minum air putih, untuk membantu metabolisme, agar ginjalnya tidak terganggu. Terkadang saat pagi buta mereka sudah berdebat, karena Kanin yang terus memaksa membiasakan minum segelas air setelah bangun tidur. Rizal sering menolak, tapi kadang ia menurut agar Kanin tidak mengomel lebih panjang dan membuat telinganya panas. Dan ternyata yang dikatakan Shela waktu itu benar. Rizal fobia cicak. Pernah satu kali ketika mereka nonton TV ada cicak jatuh di dekat Rizal. Lelaki itu terjingkat lantas berlari Maya Fadil - 79 histeris menyambar pembasmi serangga, dan menyemprotkan ke sofa tempat cicak itu jatuh dengan badan gemetar. Ja hanya tergelak melihat tingkah suaminya yang bak melihat maling masuk rumah. Aura laki-laki yang ada pada Rizal seketika luntur hanya karena melihat hewan kecil yang masih masuk dalam anggota keluarga tokek tersebut. Rizal memarahi karena menertawai orang yang sedang ketakutan. Fobia itu sulit dilawan. “Awas ya, kalau aku tau ketakutan terbesar kamu, bakal aku ketawain habis-habisan,” ancamnya sengit. Kanin hanya terbahak dan mengangguk saja. sek Dulu ia tidak pernah tau jika Rizal menyukai dunia literasi. Bukan karena Kanin meragukan kemampuan, tapi setaunya saat SMA Rizal bukan jenis murid yang menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Laki-laki tidak taat aturan yang sering gonta-ganti pacar dan gemar menyakiti hati perempuan. Dulu, hanya itu yang ia tahu dari Rizal. Namun, ketika dijumpai kembali sosoknya yang telah memiliki penerbitan buku sendiri, Kanin lumayan heran sekaligus kagum. Rizal lebih memilih wirausaha di bidang literasi, bukan berdagang atau membuka restoran cepat saji. Saat ia bertanya alasan, Rizal bercerita, “Dulu saat kuliah aku ambil jurusan sastra bahasa Indonesia. Niatnya mau ambil jurusan hukum atau akuntansi, lalu jurusan bahasa buat cadangan. Tapi kadang niat enggak sesuai harapan, dan aku malah ke terima di jurusan ketiga,” “Awalnya aku ingin keluar karena kurang sreg sama jurusan itu. Tapi waktu itu aku ketemu perempuan yang bikin aku semangatmeneruskan kuliah sampai akhir.” Rizal tersenyum. Tampak bahagia mengingat perempuan itu. ‘Apakah Leni perempuan yang dimaksud Rizal?’ pikir Kanin. Tiba-tiba ia merasa kurang nyaman dengan pembahasan ini. BukanPerawanTua - 80 “Selesai kuliah aku enggak tahu mesti ngapain, mesti mencari kerjaan apa, sampai seorang temanmengajak aku— “Teman kamu itu cowok apa cewek?” potongnya. Rizal melirik sinis. “Bisa enggak aku selesaikan cerita dulu?” “Oh, oke.” “Dia cowok, namanya Febri. Dia yang mengajak aku buka penerbitan bareng. Biayanya sokongan. Kebetulan Febri sudah pernah menerbitkan beberapa buku dan punya banyak kenalan yang bergelut di bidang itu. Dari dia aku belajar semuanya. Aku jadi lumayan senang membaca, menulis— " Namun, tidak lama ekspresi Rizal berubah, “—tapi takdir berkata lain, belum genap setahun kami mendirikan penerbitan, Febri mengalami kecelakaan dan,” Rizal menghembuskan napas berat. “Sejak kepergian Febri, aku janji sama diriku sendiri buat meneruskan usaha itu apapun yang terjadi.” Air mata merebak di sudut mata langsung Rizal seka dengan punggung tangan. Rizal memang bukan jenis laki-laki yang kuat menahan sedih. Itu terbukti ketika beberapa kali Kanin mendapatinya menangis. Bahkan, Kanin memergoki Rizal menangis hanya karena film sedih yang mereka tonton di bioskop minggu lalu. ‘Dasar cengeng!' batin Kanin. Ingin mengatai, tapi momennya kurang pas. “Nin, buatkan kopi dong, mau begadang ini,” pinta Rizal. Tanpa banyak protes, Kanin beranjak ke dapur, sementara Rizal membuka laptopnya yang di ‘s/eep’ sebelum membagi cerita dengannya. Ia kembali membawa secangkir kopi dan sepiring cemilan yang ditaruh di meja kecil samping ranjang. “Ttu kopinya.” Rizal melirik, lalu mengangguk pelan. Jemarinya lincah menari-nari di keyboad. Menulis kata demi kata yang akan menjadi naskah untuk novel terbarunya. Sudah hampir setahun Rizal berhenti menulis. Hari ini ia ingin memulainya kembali, lagi punya inspirasi. Maya Fadil - 81 Dari belakang Kanin menumpukan dagu di pundak Rizal. Lelaki itu lebih gesit menutup laptop a sebelum Kanin membaca cerita yang ia tulis. “Kenapa?” “Kamu enggak boleh baca.” “Kok begitu?” “Tni baru mau mulai. Kalo kamu baca nanti ambyar semua imajinasiku. Dah sana, ganggu saja,” ucapnya sambil mengibaskan tangan, mengusir istrinya. “Sana, dasar pelit,” cibir Kanin pelan, lalu berbaring, mengubur diri dalam selimut. “Katanya tadi belum ngantuk?” “Hoamzz.” Rizal hanya menggelengkan kepala sebelum kembali menekuni aktivitasnya. sek “Beneran enggak bisa, Bos?” Bos menggeleng untuk yang ke sekian kalinya. Kanin baru saja minta izin cuti lagi, karena akan pergi ke Jogjakarta menghadiri ijab kabul Salsa dan Ferdi yang akan diadakan hari jumat besok. Tadi malam Salsa sudah meneleponnya berulang- ulang. “Cuma dua hari doang kok, Bos. Masa enggak bisa?” “Beneran enggak bisa, Nin. Besok kantor lagi dalam fase benar-benar sibuk, dan enggak ada satu pun karyawan yang diizinkan absen.” Kanin mendesah pasrah sambil menyedot es teh. Saat ini mereka sedang ada di kafetaria kantor untuk makan siang. Di sebelahnya Rani juga tampaknya tidak bisa membantu. Jangan heran jika melihat mereka bertiga makan di meja yang sama. Kanin, Rani, Ridho—pak bos, memang akrab, atau bisa dibilang karena Rani Kanin jadi akrab. Ridho merupakan sahabat Rani semasa kuliah. Dan rahasia yang jarang ketahui orang, Ridho adalah pacar Rani semasa SMA. Mereka pacaran saat SMA dan putus di tengah BukanPerawanTua - 82 kuliah. Ridho belum menikah sampai sekarang, dan Rani tengah menjalin hubungan dengan Tio. Rumit, tetapi unik. Kanin berpikir, mungkin akan menarik jika kisah cinta mereka diangkat jadi novel. “Beneran enggak bisa, Do? Kasihan loh Kanin, mau mendampingi adiknya nikahan. Masa kamu halang-halangi.” “Bukannya dihalang-halangi, Ran. Tapi sebagai bos aku harus bersikap profesional dan adil. Bagaimana kata karyawan lain kalau Kanin diizinkan libur sedangkan mereka enggak?” “Tapi ini pernikahan adiknya loh?” “Memang kalau Kanin enggak datang pernikahannya bakal bubar?” Rani berdecak. “Lo mah gitu, Do, enggak teman ah, malas!” Ridho menghela napas, Kanin menengahi. “Sudahlah, Ran, enggak apa-apa. Bos juga sudah punya pertimbangan, kok. Aku juga bisa ke sana sabtu sore, terus minggu pulang. Salsa pasti ngerti, kok.” “Tapi, Nin?” Kanin menggeleng, Rani melengos. sek Keesokan harinya Kanin membatu Rizal membereskan barang yang akan dibawa ke Jogja. Ia sudah menelepon Salsa dan memberitahu jika hanya Rizal yang datang sementara ia menyusul sabtu sore selepas pulang kerja. “Enggak usah bawa baju dari sini. Aku mau pulang dulu ke rumah, sekalian ke sana bareng bunda sama Fania,” kata Rizal sambil mengeringkan rambut. Kanin mengangguk. “Kamu enggak masalah kan ke sana sendiri?” “Enggak.” “Naik pesawat aja, sudah aku pesankan tiketnya.” “Iya.” “Kalau di bandara dijaga barang-barangnya. Kalau diajak orang enggak dikenal jangan mau, nanti kamu diculik.” Maya Fadil - 83 Kanin mengatupkan bibir. Memang Rizal kira ia anak kecil diperingatkan begitu. Namun, ia tidak membantah dan hanya menjawab, “Iya.” “Jangan cuma iya-iya aja, tapi diingat.” “Ho’oh,” tiba-tiba Kanin iseng ingin bertanya, “Memang kalo aku diculik kamu bakalan bagaimana?” Rizal yang mengoles gel ke rambutnya, menjawab cuek, “Paling-paling aku cari istri lagi.” Kanin meradang, langsung mendaratkan bantal ke punggungnya. “Halus banget ya kalau ngomong sampai- sampai aku terkesima,” katanya sinis. “Terimakasih,” jawab Rizal santai sembari berjalan keluar kamar. Kanin mendengus kesal, bersamaan dengan itu ponsel Rizal berdering. Siapa yang menelepon Rizal pagi-pagi begini? Ah, mungkin bunda, pikirnya. Ia mengambil ponsel di atas kasur. Sepertinya tidak apa ia yang angkat. Biasanya Rizal sangat anti jika ia menyentuh ponsel yang menurutnya privasi. Kanin tertegun. Pupil matanya membesar. ‘Leni sayangincomingcall’ Hatinya mencelos. Rizal saja tidak menamai kontaknya semesra itu. Sekarang Rizal telah menemukan ketakutan terbesar, Yaitu kehilangan dirinya. BukanPerawanTua - 84 Part 14 pakah da Ruang Ontukku? Perempuan itu mulai kehilangan kepercayaan. Sesuatu yang tumbuh kembali terpatahkan. Bangunan yang baru jadi setengah, mulai retak perlahan. Semua Karena kebohongan yang disembunyikan dalam hubungan. Apa yang pernah dikatakan Rizal omong kosong. Lelaki itu bilang akan memulai semua dari awal? "Awal apa? Awal perpisahan maksudnya?!" Nyatanya Rizal tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya, lalu dengan bodohnya ia percaya. Rizal sudah berangkat satu jam lalu. Bukan perpisahan dengan ciuman atau pelukan, tapi ia pergi begitu saja setelah pertengkaran mereka, “Tuh mantan terindah kamu telepon,” kata Kanin seraya melempar ponsel itu ke Rizal. Ta berusaha menangkap, tapi benda persegi itu lebih dulu terjun ke lantai. Seketika panggilan terputus. Kanin tahu yang ia lakukan tidak sopan. Rizal suaminya dan tidak seharusnya ia bersikap demikian. Namun, hatinya terlanjur panas, hingga tidak lagi memikirkan adab berkelakuan. “Nin, apa-apaan sih?!” seru Rizal sambil memasang baterai yang tercerai di lantai. “Kalau ada masalah itu ngomong, bukan bersikap seperti perempuan bar-bar kayak gini!” Kanin beranjak menghampirinya. “Maksud kamu apa?” “Kamu tanya maksudku?” Rizal menunjuk wajahnya. “Seharusnya aku yang tanya, kenapa kamu tiba-tiba main lempar HP orang sembarangan?” Maya Fadil - 85 “Sudah aku bilang kalau mantan kamu nelepon, apa itu kurang jelas?” Rizal tidak menjawab, ia menunduk, menghidupkan ponselnya. “Lain kali jangan asal comot HP orang tanpa seizin yang punya,” katanya sinis. Kanin melipat tangan, tersenyum miring. “oh iya, aku lupa. HP kamu kan privasi ya, enggak boleh seorang pun tahu, karena di dalamnya banyak kebohongan tersimpan,” katanya tidak kalah sinis. “Ngomong apa sih kamu? Ngelantur!” Rizal memasukkan asal-asalan barang yang baru setengah dirapikan di tas. “Sudah ah, aku mau _berangkat,” katanya seraya mengangsurkan tangan. Kanin melirik malas uluran tangan itu. Rizal saja tidak menjelaskan apapun agar ia tidak salah paham, seolah membenarkan dugaan. Berdecak, Rizal melangkah keluar, tapi Kanin lebih gesit memalang pintu. “Benar, kamu masih berhubungan sama Leni?” Rizal berusaha menggeser, tapi Kanin tetap mempertahankan posisi. “Enggak ada,” jawabnya. “Kalau enggak ada kenapa nama kontaknya tetap Leni sayang?” Kanin terus mencerca dengan pertanyaan. Rizal menjawab datar, “Lupa belum diganti.” “Karena pada dasarnya dia belum tergantikan di hati kamu, kan?” “Apa sih, ngelantur!” “Aku sadar-sesadar-sadarnya kalau aku lagi tanya sama kamu, Zal.” “Enggak ada apa-apa.” “Kalau enggak ada apa-apa kenapa perempuan itu hubungi kamu?” “Sudah dibilang enggak ada apa-apa masih saja ngeyel. Kamu itu ingin tahu banget urusan orang!” “Aku istri kamu, kalau kamu Lupa,” jawabnya berteriak. Ia menghela napas, menahan agar tidak menangis. BukanPerawanTua - 86 “Terus mentang-mentang kamu istriku, kamu harus tahu semua urusanku, begitu? Semua orang punya privasi, Nin. Jangan lupa kamu!” “Privasi untuk selingkuh?” “Aku enggak selingkuh!” Rizal balik berteriak, Kanin tersentak. Usai membentak, Rizal menerobos. Baru beberapa langkah, suara Kanin menghentikan, “Cuma perempuan enggak benar yang hubungi suami orang pagi-pagi disaat dia seharusnya masak dan ngurus suaminya sendiri!” Rizal berbalik cepat, lalu mencengkeram lengan istrinya. “Jaga ucapan kamu, siapa yang kamu bilang perempuan enggak benar?!” Rizal menatap tajam, cengkeraman semakin menguat, tetapi Kanin hanya diam memandangnya. Tersadar dengan apa yang dilakukan, Rizal melepas lengan Kanin yang memerah tercetak bekas kukunya. Rizal menyentuh lengan itu, Kanin meringis pelan. Ia menyugar kasar rambut ke belakang, lalu pergi tanpa permisi. Air mata Kanin tumpah. sek Kanin tersentak, terbangun dari tidur. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ternyata ia tertidur usai pertengkaran dengan Rizal tadi pagi. Bangkit dari ranjang, ia bercermin sambil merapikan rambut. Matanya bengkak dan terasa perih, karena terlelap dalam keadaan menangis. Berusaha mengurai kesedihan, ia berjalan keluar kamar, mendapati rumah masih dalam keadaan berantakan. Debu bertebaran ke mana-mana, karena belum sempat dibersihkan. Kanin mengambil sapu, dan mulai menyapu tiap ruangan satu persatu. Usai membereskan ruang tamu dengan pikiran kosong, ia menuju ruangan kecil yang biasa digunakan Rizal untuk menghabiskan kegiatan. Ia mulai menyapu sela ruangan yang sangat cocok untuk metime ini. Sebelah tembok kiri terdapat satu rak punuh berisi buku pengetahuan ataupun novel. Maya Fadil - 87 Sebelah kanan ditempati lemari kaca tempat menampung piagam, piala, maupun benda koleksi milik Rizal. Sisa tempat diisi sofa yang menghadap langsung ke jendela kaca dengan meja kecil di depannya. Terkadang saat menjelang maghrib, ia dan Rizal duduk di sini. Jingga kekuningan yang menghiasi langit sore sungguh memukau. Biasanya mereka tidak berucap sepatah kata, hanya menikmati senja, dan bersandar di bahunya. Seketika senyum yang hampir terbit, tenggelam kembali. Teringat pertengkaran, membuat dadanya sesak. Air mata yang telah usai, mulai berjatuhan kembali. Perih di lengan sudah tidak seberapa, tapi nyeri di hati masih terasa. Ja menarik turunkan napas sambil meletakkan sapu. Tiba- tiba rasa penasaran menyeruak, seistimewa apa perempuan itu, hingga Rizal tetap membela meski sudah dikhianati. Sebesar apa rasa cinta, hingga ia istri sahnya tidak mendapat pembelaan darinya. Rizal pernah memamerkan tiga novel hasil karyanya beberapa tahun lalu. Kanin terpikir, biasanya beberapa penulis mendapat inspirasi dari kehidupan pribadinya. Bisa saja Rizal salah satu diantaranya. Kanin mengangkat meja kecil, kemudian menaiki untuk mengambil tiga novel tersebut di rak paling atas. Setelah diraih semua, ia membawa ke sofa sembari dibaca satu per satu sinopsisnya. Tidak ada yang pas, karena semua novel itu bergenre horror. Terdiam cukup lama, Kanin teringat lagi, ia hampir pernah membaca buku catatan Rizal, tetapi langsung disahut lelaki itu. Katanya buku privasi, tidak seorang pun boleh membacanya. Barangkali itu buku diarya. Ia beranjak mulai mencari-cari. Satu persatu sela buku dibukanya. Pasti masih ada rak ini. Kanin yakin sekali. Hampir menyerah, tetapi ketika melihat buku bersampul biru di selipan buku tebal, Kanin mengambilnya. Ja tahu kegiatan membaca buku diary seseorang adalah tidak sopan. Namun, Kanin sudah tidak peduli, rasa penasaran BukanPerawanTua - 88 lebih mengusai. Ia membuka-buka, membaca sekilas, sampai menemukan halaman yang dicari. Jurusan bahasa Indonesia bukanlah tujuan. Hanya pilihan terakhir yang kebetulan meloloskanku— masuk Universitas. Namun, aku tidak mungkin membatalkan. Ayah dan Bunda sudah terlanjur bahagia mengetahui aku masuk Universitas Negeri di kota Jogja. Jujur saja itu sangat menyiksa. Bayangkan saja saat kau tidak menyukai jurusan yang kau jalani. Beberapa kali aku bolos mata kuliah, karena bosan tiap hari membahas seputar sastra. Belum lagi ada tugas suruh meresensi buku, rasanya aku ingin segera pindah jurusan. Jika bukan demi orangtua, pasti aku sudah meluluskan diri sejak dini. Hari-hari kuliah terasa monoton. Tidak banyak yang bisa kulakukan. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang hobi menunduk, maksudku membaca berlembar-lembar buku di tangannya. Tidak semua, hanya saja sebagian besar. Intinya mereka gemar membaca, berbeda denganku yang baru membaca dua lembar saja sudah mengantuk. Hari itu, berniat mencari udara baru, aku ikut Febri— orang yang paling akrab denganku di kelas, berwajah lumayan, tetapi aku lebih tampan—pergi ke fakultas bisnis. Bukan tanpa alasan aku mengekor ke sana, Febri akan bertemu temannya. Anak akuntansi. Katanya sih cantik, jadi aku ikut saja. Baru masuk ke halaman saja, mata ini sudah berbinar. Gila! Cewek fakultas ini cakep-cakep, Cuy! Penampilannya modis-modis. Aku kasih senyum dikit, mereka histeris, Febri memukul pundakku. Katanya nggak usah jual pesona di sini. Aku mendengkus dan mengikuti langkahnya sampai kafetaria kampus. Sambi menunggu teman Febri datang, aku berkedip ke salah satu cewek cantik di ujung sana, dia terkikik. Ternyata pesonaku memangdahsyat! Tidak lama teman Febri datang. Memakai celana jeans dan kemeja pink berlengan pendek. Aku langsung terpaku tanpa berkedip. Wajah ayu itu tersenyum padaku. Maya Fadil - 89 Mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri, “Leni,” ucapnya lembut. Aku masih sangat ingat. Aku memperkenalkan diri sebagai cowok paling ganteng di FIB, Febri protes. Lena tertawa. Itu lah awal perkenalanku dengan gadis yang kini mengisi hari-hariku. Mengingat saja membuatku tersenyum. Leni perempuan yang menarik. Sangat menarik malah, hingga mampu menarik perhatianku untuk mengenalnya. Karena dia aku mulai berubah. Biasanya malas kuliah, jadi semangat, cuma biar bisa bertemu dia. Semula tukang bolos, jadi agak berkurang, karena sering dinasihati. Meski masing- masing dari kami belum membicarakan soal perasaan, tapi aku yakin kalau dia juga menyukai lelaki sepertiku. Bersamanya aku merasa nyaman. Leni berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah kukenal sebelumnya. Senyumnya, segalanya, aku suka. Belum pernah aku merasa seperti ini, meskipun sudah tidak terhitung berapa kali menjalin hubungan. Dia manja, sedikit egois, aku tetap suka. Sore itu, hari rabu, aku membulatkan tekat. Tak mungkin seorang Rizal tak mendapat sesuatu yang ia mau. Sepulang kuliah, aku menjemput ke Leni dari rumahnya dan mengajaknya jalan-jalan. Sampai di taman, aku mengutarakan semuanya, perasaanku. Hanya bermodal nekat saja karena aku tau, Leni bukan jenis perempuan yang menyukai bunga. Namun, dia menolakku dengan alasan, “Kita berteman dulu, aku belum mau menjalin hubungan lagi, aku masih trauma,” “Aku takut, apalagi gosip yang aku dengar tentang kamu,” Aku tidak marah. Justru aku menariknya dalam pelukan dan memberi ketenangan. Mengelus rambutnya, agar dia mengerti bahwa perasaanku tidak main-main. Aku pernah menjadi playboy, memainkan banyak hati wanita. Namun bukan berarti aku akan mengulanginya. kali ini perasaanku lain. Aku serius akan berubah. Berusaha meyakinkannya berkali-kali, tetapi jawabannya masih sama, “Aku butuh waktu.” BukanPerawanTua - 90 Aku hanya tersenyum simpul. Dan asal dia tau, aku pun punya sejuta waktu untuk menunggu. Pada saat menulis ini aku belum menyerah. Tertera tanggal di bawah. Kanin menutup diary yang baru ia baca separuh itu. baru sampai situ saja hatinya sudah terasa sesak. Lama menyimpan dan akan lanjut membacanya nanti jika sudah merasa lebih baik. Dari untaian kata, tampak Rizal begitu menyukai perempuan itu. Ja mulai berpikir, apa mungkin hati Rizal bisa terbuka kembali untuk wanita selain Leni? Untuknya, istrinya? Kanin keluar dari ruangan itu dan seketika ingat sesuatu. Ya Allah, ia lupa tidak masuk kerja hari ini! Maya Fadil - 91 Part 15 os Ridho Rizal tidak pernah berniat melukai perempuan. Atau ralat, maksudnya secara fisik. Jika dilihat dari sudut pandang hati, entah sudah berapa perempuan yang pernah ia lukai di masa lalu. Entah dirinya yang memutuskan secara sepihak, atau mereka sendiri yang memilih mengakhiri hubungan karena tidak tahan dengan sikapnya. Semua karena kebiasaannya yang mudah sekali bosan. Dulu saat ia masih kecil, Kemala sering marah-marah ketika Rizal membuang asal mainan setelah bosan. Dan kebiasaan itu berlanjut saat dewasa dimana ia belum mengenal cinta sebenarnya. Gampang membuat hubungan, lalu meninggalkan tanpa rasa bersalah. Semua karena bosan. Menjadi playboy unggulan, sampai pernah mempermalukan perempuan udik yang memberinya surat. Kejadian lama yang sudah lewat dan tak perlu diingat. Namun, ia tetap manusia yang dalam satu kesempatan dapat berubah, bahkan total. Menjadi lelaki paling setia yang tidak pernah melirik perempuan selain dia. Setelah semua masa yang mereka lewati bersama, mana mungkin ia sanggup melupakan begitu saja. Meskipun Leni telah menghancurkan ke taraf paling parah, dengan menikahi lelaki lain setelah empat tahun pertemanan mereka dan enam tahun Rizal habiskan untuk menjadi kekasihnya. Bisa dibayangkan betapa remuk hatinya saat itu, bahkan sampai sekarang. BukanPerawanTua - 92 Namun, tadi ia kembali menjadi lelaki berengsek dengan melukai perempuan yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Rizal mengusap wajah. Ingin rasanya ia berteriak. Sial. sek Kakinya melangkah cepat memasuki kantor dengan perasaan gusar. Bagaimana mungkin ia bisa seceroboh ini dengan melupakan pekerjaan. Ini gila! Bahkan, dirinya termasuk karyawan rajin dan jarang sekali terlambat. Cepat-cepat Kanin memencet tombol lift yang akan membawa menuju lantai tiga di mana ruangannya. Baru akan tertutup, seseorang menghadang dan bergabung bersama. Kanin menggigit bibir, berusaha setenang mungkin. Bayangkan saja saat kau terlambat lebih dari lima jam. Lalu, orang yang berdiri disampangmu ini adalah atasanmu sendiri. Malu dan takut, itu yang dirasakan Kanin. Ia melempar senyum tipis sebelum /ift itu terbuka di lantai tiga. Sialnya, bos ikut keluar juga. Kanin berteriak dalam hati memaki diri sendiri. Ia memasang telinga baik-baik, andai Ridho ingin memarahihabis-habisan atas ketidakdisiplinannya ini. Biarlah, dirinya memang salah. Namun, beberapa detik berlalu, Ridho hanya diam. Pandangannya sayu. Ridho hanya melangkah di sebelahnya tanpa berucap sepatah kata pun. ‘Apa mungkin dia tidak tahu jika aku terlambat?' batin Kanin. Mengingat Ridho tidak mungkin mengecek karyawannya satu per satu. Kanin berdehem, merasa tidak enak, Jantas berkata, "Maaf, Bos." Ridho menghentikan langkah, ia menatap dengan pandangan bertanya. "Untuk?" Kanin memilin ujung baju. Kebiasaan saat ia gugup. “Saya terlambat," ucapnya lirih.Kanin memandang Ridho hanya untuk menemukan ekspresinya. Namun, wajah yang tampaknya tidak bersemangat itu hanya menghela napas, lalu menjawab, "Oh, enggak apa-apa. Lapor saja ke bagian HRD." Maya Fadil - 93 Usai membuatnya heran dengan jawabannya, Ridho melenggang pergi, meninggalkan Kanin yang melongo di tempat. ‘Apa benar dia bosku yang memegang teguh kedisiplinan? Yang selalu mengingatkan dengan tegas saat ada karyawan yang tidak taat aturan?’ Kanin membatin. Ja menggaruk tengkuk. Namun, segera tersadar untuk melapor ke bagian HRD. Ja kembali menaiki lift menuju lantai lima. "Kenapa terlambat? Apa kamu pikir data-data itu bisa merekap dirinya sendiri?" Kanin mengumpat dalam hati. Mengapa harus Shanti satu-satunya orang yang ada di ruangan ini, mengapa bukan staff yang lain saja. Wanita itu sangat pedas saat berbicara. Mungkin saat masih dalam perut, ibunya ngidam cabai rawit kali, ya? pikir Kanin melantur.la geleng-gelengkan kepala, mengapa dalam situasi seperti ini, ia masih sempat berpikir seperti itu. "Kalau begitu kenapa bisa terlambat?" Kemudian ia menjelaskan alasan berserta sedikit bumbu kebohongan di dalamnya. Terpaksa. Tidak mungkin kan ia bercerita bahwa tadi pagi dirinya bertengkar dengan suami, lalu tidur, dan membaca diarysampai melupakan jam kerja. Bisa-bisa ia ditertawakan, atau lebih parah langsung direkomendasikan jadi karyawan yang terancam kehilangan pekerjaan. Rasa-rasanya opsi kedua terdengar lebih menakutkan. Ia tidak mau bergantung hidup dengan laki-laki yang bahkan ia tidak tau hatinya milik siapa. Setelah beberapa saat terlewat untuk mendengar ocehan Shanti yang hanya ia jawab dengan lya-iya saja, Kanin permisi undur diri. Ini memuakkan. Selama bekerja, ia hanya beberapa kali terlambat, dan kali ini yang paling parah. Namun, Shanti mengomel seakan ia karyawan paling tidak disiplin di kantor. Kembali memasuki lift, dan lagi-lagi bertemu Ridho di dalam. Entah apa yang ia lakukan sampai bolak-balik naik- turun lift. Kanin ingin bertanya, tetapi canggung. Meskipun BukanPerawanTua - 94 mereka berteman, tapi Ridho tetap atasan di kantor. Namun, ketika menoleh. Lagi, ia dapati wajah tegas itu murung. Ting! Kanin berniat keluar sesampainya di lantai tiga, tapi tangan Ridho lebih dulu mencegahnya. Ia belum tanya kenapa, Ridho sudah menjawab, "Ikut saya sebentar, ya." Hah, ke mana? Kanin menggigit bibir. Bagaimana jika Shanti mengecek dan mendapati kubikelnya dalam keadaan kosong. Pasti wanita itu mengeluarkan tanduk yang selama ini disembunyikan. Namun, kali ini bos yang meminta, dan itu bisa menjadi alasannya nanti. Kanin mengangguk, masih belum membuka suara. Ta mengikuti Rodho yang berjalan di Jobby menuju tempat parkir mobil. Lagi-lagi Kanin dibuat heran. Menyamai langkah, ia bertanya, "Mau ke mana?" Tidak menjelaskan apapun, Ridho hanya menjawab, "Ayo." Dahinya berkerut-kerut, "Tapi kan-- "Masalah pekerjaan enggak usah khawatir, saya yang tanggung jawab!" Kanin memilih diam dan tidak bertanya lagi. Ia memasuki mobil dengan perasaan aneh. Bukan takut, Kanin tau Ridho lelaki baik. Agak canggung, karena mereka tidak begitu akrab jika tidak ada Rani. Perempuan itu yang biasanya menjadi penghangat suasana. Omong-omong soal Rani, Kanin tidak melihatnya sejak tadi. Biasanya satu paket dengan Ridho, mengingat Rani adalah sekretarisnya. Lalu, apakah kemurungan yang tampak di wajah Ridho ada kaitannya dengan Rani, Kanin mulai menebak-nebak dalam hati. "Maaf ya sudah mengganggu pekerjaan kamu?" Ridho membuka suara, sementara matanya fokus ke jalanan. Kanin menoleh. "Memangnya ada masalah apa sih, Pak?" Ridho tertawa sumbang. "Masalah hati." "Hah?" Kanin terkejut. "Maksud, Bapak?" Ridho menoleh, "Jangan panggil bapak lah, Nin. Kan di luar kantor. Santai saja, enggak usah terlalu formal, katanya kita teman." Maya Fadil - 95 Kanin meringis. "Oke, Pak--eh maksudku Do. Ada yang bisa aku bantu sebagai teman?" Ridho mengela napasnya. "Aku butuh teman curhat," lalu lelaki itu tersenyum geli, "Terdengar melankolismemang, tapi walaupun laki-laki aku juga butuh mencurahkan sesuatu untuk mengurangi beban." "Jadi beban pikiran kamu apa?" "Sebelumnya aku benar-benar minta maaf karena udah nyuri waktu kamu." Kanin terkekeh. "Katanya teman, tapi dari tadi minta maaf terus. Sekali lagi kamu minta maaf, aku kirimkan paketan gelas cantik loh ke rumah kamu." “Sepuluh paket sekalian yah, mau bagi keponakan juga." “Itu minta apa malak?" Dia tergelak, setidaknya wajahnya tidak semurung tadi. "Jadi kamu mau ngomong apa?" "Nanti, kita cari tempat yang enak buat ngobrol." sek Pukul setengah delapan malam, Ridho menghantarkan pulang. Waktu berlalu cepat. Sebentar yang direncanakan, nyatanya nyaris tujuh jam ia pergi bersama Ridho. Bahkan mereka sempat mampir ke MONAS hanya untuk sekadar duduk mengobrol dan membeli kerak telur. Sudah lama aku tidak berkunjung ke tempat itu. Kanin tidak selingkuh! Ia membantah kata yang sempat terbesit di otaknya. Ia masih ingat statusnya sebagai istri. Ia dan Ridho jalan tidak lebih dari sekadar teman. Melepas beban Masing-masing dengan membicarakan banyak hal. Sebenarnya tujuan utama Ridho mengajaknya pergi untuk membicarakan seputar Rani. Ridho tau hubungan dengan Rani hanya sekadar mantan di masa lalu, dan sekretaris di masa kini. Namun tetap saja, saat mendengar Rani baru saja dilamar kekasihnya, Ridho patah hati. Jauh dilubuk hatinya, ia mengharapkan Rani lebih dari apapun. Masih menyimpan perasaan yang dalam untuk BukanPerawanTua - 96 mantannya itu hingga kini. Semuanya ia utarakan pada Kanin, ungkapan hati yang hanya mampu ia pendam untuk Rani. "Selama ini aku jadikan dia sekretaris supaya aku bisa lebih dekat sama dia. Nyatanya dia bahagaia sama lelaki lain," katanya tadi dengan nada putus asa. Jika dipikir-pikir, kisah cintanya dan Ridho hampir mirip. Sama-sama mengharapkan orang di masa lalu. Hanya bedanya Kanin berhasil mendapatkan orang itu, sementara Ridho tidak. Namun, perlu digaris bawahi bahwa Kanin hanya mendapat raganya, bukan hatinya. Setelah kembali Kanin menaruh rasa, mana mungkin ia merasa baik-baik saja saat melihat Rizal bahagia dengan perempuan lain. Sungguh demi apapun, ia masih manusia biasa. Kanin mengecek ponsel yang ia simpan dengan mode silent. Ia terkejut mendapati lima belas panggilan tidak terjawab. Tiga dari ibu, dan sisanya dari Rizal. Jujur saja, ia masih kesal dengan lelaki itu. Kanin baru akan masuk ke kamar ketika ingat sesuatu. Seharusnya ia sudah berangkat ke bandara sejak sore tadi. Astaga! Ja benar-benar jadi pelupa. Maya Fadil - 97 Part 16 Menyesal "Zal!" Rizal menghela napas mendengar panggilan parau itu. Getaran di dadanya masih sama. Ia terdiam kaku sampai tubuh mungil itu menubruk tubuhnya, melingkarkan tangan di pinggangnya. Lelaki itu menghirup wangi parfum itu dalam-dalam. Ia menyukai wanginya. Dari dulu dia tidak pernah menggantinya. Sejak bertemu di Semarang hampir sebulan lalu, hari ini Leni mengajaknya bertemu kembali. Kali ini lebih dekat, karena posisi Rizal yang pulang ke Jogja. Tidak mungkin ia menolak, ketika Leni menelepon sambil terisak, entak masalah apa yang tengah dihadapi. Nyatanya, air mata perempuan itu masih membuatnya tidak berdaya. "Aku benar-benar menyesal, Zal. Udah meninggalkan kamu, dan menikah dengan laki-laki itu. Tapi asal kamu tahu, Zal. Aku masih sangat mencintai kamu," Leni mulai berceloteh, "Dia bukan laki-laki yang aku harapkan untuk jadi pendamping hidup. Aku benar-benar muak. Aku mau kamu, Zal, aku mau kamu kembali. Dia payah, aku enggak suka. Aku enggak bahagia sama dia. A-aku mau kamu." Isak tangisnya semakin jelas. Wajah putih itu memerah dengan air yang terus luruh dari matanya. Masih tetap, ketika melihat Leni bersedih, Rizal tidak mampu mengontrol air mata. Dirinya memang laki-laki cengeng. "Maafkan aku, Zal." Setelah bergeming cukup lama, akhirnya Rizal meraih tubuh itu, dan memeluknya erat, memberi ketenangan. Seolah BukanPerawanTua - 98, tidak ada hari esok yang akan mempertemukan mereka. Ini salah, jelas salah, karena ia sudah mempunyai istri. Meskipun sekarang ia dan Kanin sedang marahan. Namun, tidak seharusnya ia bertemu dengan perempuan lain, lalu memeluknya erat, bahkan di taman umum seperti ini. Semua hanya alibi ketika ia mengatakan akan pergi ke Jogja lebih awal untuk menghadiri pernikahan adik iparnya. Ia memang akan menghadiri pernikahan itu, tapi tujuan utamanya ada di sini, menemui Leni. Angin sore berhembus membelai, tempat ini, taman yang begitu berkesan bagi mereka. Tempat di mana Rizal pertama kali menyatakan cinta, tetapi ditolak, dan akhirnya membuat ia merasa harus berjuang lebih keras.Juga tempat pilu ketika Leni berpamitan akan menikah dengan lelaki kaya pilihan ayahnya. Dan sekarang Leni kembali mengajaknya ke sini, membawa kabar ketidakcocokanya dengan suami. Merasa kurang nyaman ketika melihat beberapa anak yang bermain di sekitar memperhatikan mereka, Rizal mengurai pelukan Leni. Leni menatap sendu. "Kenapa? Apa kamu enggak kangen sama aku?" Rizal menyentuh air matanya, lalu menyekanya dengan jempol. "Kangen." "Zal!" "Hm." “Aku mau kita bersama lagi." Rizal tersenyum kecut. "Tapi kamu tahu kan posisiku sekarang?" "Aku enggak peduli, toh kamu enggak mencintainya, kan?" Ta tertegun. "Kenapa diam? Kamu enggak mulai cinta sama perempuan itu, kan?" tanya Leni sambil meneteskan air mata lagi. Rizal benci melihat Leni menangis. Ja pun menggelengkan kepala pelan. Dalam hati sebenarnya ia tidak tau. Maya Fadil - 99 "Kalau begitu bawa aku pergi jauh. Aku mau bersama kamu, Zal. Ke mana pun!" Rizal membelalakkan mata. "Kamu gila? Aku udah punya istri!" "Kamu bentak aku, Zal?" Air mata itu luruh semakin banyak. Rizal meraup wajah dengan kedua tangan, ia kembali merengkuh Leni dalam pelukan. "Len, aku mohon jangan nangis, aku enggak bisa lihat kamu nangis.” "Kalau begitu berarti kamu masih sayang sama aku, kan?" Leni mengguncang pundaknya. "Kamu masih sayang sama aku, kan?" "T-iya tentu." "Kalau gitu bawa aku bersama kamu, aku mohon... " ek Permintaan Leni terdengar begitu konyol. Meskipun Rizal masih mengharapkan perempuan itu, tetapi tidak mungkin ia melarikan istri orang. Bisa-bisa dirinya berakhir di jeruji besi. Meregangkan otot, ia masuk ke dalam rumah. Ia memijit kepala yang terasa berdenyut. Teringat akan sesuatu, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Mendial nomor, lalu menempelkan ke telinga. Tidak ada jawaban, sampai panggilan yang entah ke berapa, masih tidak ada respon. Menghempaskan tubuh ke sofa, ia terdiam berpikir. Ke mana Kanin sampai mengabaikan panggilan darinya. Apa mungkin karena pertemuan terakhir mereka sedang tidak baik- baik saja. Beberapa detik kemudian, ia kembali menghubunginya. Masih tidak ada jawaban, padahal teleponnya tersambung. Sungguh, ia tidak bermaksud melukai lengan Kanin dengan kukuk-kukuk yang lupa belum ia potong. Hanya refleks, tidak terima dengan kata-kata Kanin tentang Leni. Sekarang ia malah merasa benci dengan dirinya sendiri. “Banci lu, Zal." Ia mulai memaki diri. BukanPerawanTua - 100 Mendadak Rizal jadi risau. Seharusnya Kanin sudah sampai sejak tiga jam lalu, karena Kanin berkata akan menyusul sore selepas pulang kerja. Perjalanan pesawat dari Jakarta-Jogja kurang lebih memakan waktu empat puluh lima menit. Kanin pun biasanya pulang pukul 4 sore, artinya sudah hampir empat jam lalu, karena sekarang sudah jam delapan kurang dua puluh menit. Kembali Rizal menatap layar ponsel itu. Namun, kali ini yang ia hubungi Gea, anak tetangga samping rumah yang masih duduk di bangku SMP. Ia cukup akrab dengan anak itu, jadi tidak sungkan untuk meminta tolong mengecek keadaan Kanin. Rizal mengutarakan permintaan, Gea menjawab, "Mbak Kanin udah pulang kok, Bang." "“Memang sudah kamu cek ke sana, kok cepat banget jawabnya?" "Enggak perlu dicek. Tadi pas aku duduk depan rumah, aku liat Mbak Kanin pulang di antartemannya." Jadi Kanin pulang malam. Namun, dengan siapa? Ah, Paling-paling Rani, pikirnya. Ia pun bertanya, "Siapa?" "Mana aku tahu, memangnya aku kenal?" Tersengar dengusan dari seberang. "Pokoknya temannya itu cowok." "Hah, cowok?!" "Th, jangan teriak-teriak dong, Bang. Nanti makin congek kuping aku!" kesalnya. "Iya, cowok. Kayaknya teman kantornya deh, soalnya bajunya rapi gitu." "Siapa?" "Sudah dibilang aku enggak kenal! Sudah ya aku tutup teleponnya, mau ngerjain PR Bu galak dulu, Hehehe! Dahhh!" Belum sempat Rizal bertanya lagi, sambungan sudah ditutup. Ia termenung. Teman Kanin yang ia kenal hanya Rani. Ja pun tidak pernah tahu Kanin punya teman cowok. Tiba-tiba ada sesuatu yang terasa aneh. Ia tidak suka mendengar kabar ini! Maya Fadil - 101 "Ah, pokoknya aku sebel sama Mbak!" Kanin mendengkus pasrah mendengar omelan Salsa. Meski ia sudah menjelaskan berulang kali, tetapi Salsa tampaknya todak ingin mengerti. Adiknya terus saja berkata kecewa dan sebal, karena ia tidak hadir di hari resepsi pernikahannya. "Kemarin sore sama sekarang apa bedanya, Sa?" tanyanya. "Sama-sama enggak bisa lihat kamu sama Ferdi ijab kabul, kan?" Salsa kembali mencebikkan bibir. “Iya, tapi kalau dari kemarin se-enggaknya Mbak bisa menginap. Kalau datangnya hari ini, nanti sore pasti sudah pamit pulang, iyakan?" Kanin mengangguk. Bagaimana pun ia wanita karier yang tidak bisa sembarangan meninggalkan pekerjaan kecuali minggu atau hari libur kerja. “Tuh, kan!" Salsa bersedekap sambil melengos. Kanin memutar tubuh Salsa menghadapnya. Seraya menatap mata, ia berkata, "Sekarang kan sudah punya suami, masa kerjaanya masih merajuk kayak bocah? Harus belajar dewasa, Sa. bagaimanapun kamu punya rumah tangga yang harus diurus. Dan itu enggak mudah!" Tatapan Salsa melunak, ia tersenyum hangat sebelum memeluk kakaknya erat. "Aku cuma ingin ada Mbak di sampingku pas hari bahagiaku. Entah berapa banyak makasih yang bisa aku ucapkan buat Mbak. Mbak selalu berkorban apapun buat aku sejak kecil. Makanan, mainan, baju, asal aku mau Mbak kasih dengan sukarela. Bahkan pernikahan ini enggak akan terjadi tanpa pengorbanan Mbak juga." Salsa melepas rengkuhannya sambil mengecup kedua pipi kakaknya. "Makasih sudah jadi kakak yang selalu mengalah buat adiknya. Makasih sudah jadi kakak terbaik dalam hidupku, makasih, Mbak!" Kanin melengos pura-pura marah. "Sudah ah makasihnya, kebanyakan, bikin mual tahu. Pokoknya buat tanda makasih, kamu harus bahagia sama pernikahan ini, setuju?" "Pasti, Mbak, pasti. Dan buat catatan Mbak juga harus bahagia sama Mas Rizal, okey!" BukanPerawanTua - 102 Kanin belum bertemu dengan lelaki itu sampai sekarang, karena begitu sampai, ia langsung menuju rumah orangtuanya. Rizal juga tidak terlihat di sini. Mungkin sudah pulang ke rumah Bunda. "Pasti! Mmm, Mas Rizal kemarin ke sini, kan?" Salsa terdiam sebentar sebelum menjawab, "Ke sini kok, Mbak. Tapi aku cuma ketemu pas siang doang, habis itu enggak lihat lagi. Padahal ibu sama adiknya di sini sampai malam, tapi kalau Mas Rizal kayaknya sudah pulang dari siang." Tiba-tiba Kanin terbesit sesuatu. Apa mungkin Rizal bertemu Leni, secara sebelum berangkat ke Jogja, perempuan itu sempat meneleponnya. Ah, kenapa ia terpikir macam- macam. Ia tidak boleh berpikiran seburuk itu pada suaminya sendiri. Walau ia tidak yakin untuk itu. Salsa mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Kok bengong, Mbak?" "Hah?" Kanin segera tersadar, lalu menggeleng. "Enggak apa-apa, kok." Dasri datang ke kamar Salsa, lantas duduk di antara kedua anak perempuannya dan merangkulnya. "Dua anak Ibu udah nikah semua. Sekarang Ibu dan Bapak tinggal menjalani hidup berdua," kata Dasri sendu. Kanin dan Salsa saling bertatap mata, lalu bersamaan mengecup pipi Ibunya. "Aku dan Salsa tetap anak Ibu dan Bapak. Sampai kapanpun kalian tetap orang paling berharga di hidup kami." "Lagipula kalau tinggal berdua, Ibu dan Bapak bisa mengulang lagi masa pacaran yang mungkin belum puas waktu muda dulu,” lanjut Salsa, terkekeh. Ibu mendelik, lalu mencubit lengan Salsa gemas. "Dasar anak nakal, udah punya suami tapi masih demen godain ibunya." Salsa mengaduh, dan Dasri semakin memperluas area cubitannya. Tentu saja hanya bercanda dan tidak mencubit dalam arti sesungguhnya. Kanin tertawa melihat tingkah mereka. Setidaknya sepelik apapun hidup, masih ada keluarga yang membuatnya beruntung bisa lahir ke dunia. Maya Fadil - 103, "Kalau begitu sebagai gantinya kalian harus cepat-cepat buatkan ibumu ini cucu." "Yee, Ibuk. Aku kan baru nikah kemaren, masa sudah ditagih cucu. Mbak Kanin tuh, kali aja perutnya sudah ada dedeknya." Dasri menoleh, Kanin spontan menyentuh perut. Sepertinya keinginan untuk memberi ibunya cucu, harus tertunda dulu. Minggu lalu ia baru selesai haid. Jadi kemungkinan di perut belum ada janin yang tumbuh. Kanin sontak menggeleng pelan. Ja mendesah kecewa. Umur sudah 30 tahun. Dan keinginan untuk memperoleh keturunan semakin menggebu. Dasri tersenyum sambil mengelus lembut pundaknya. "Ndak apa-apa, dulu Ibu juga ga langsung hamil. Semua ada prosesnya.” Kanin tau ibunya hanya berusaha menghibur. Namun, tidak apa, mungkin Yang Maha Kuasa belum mempercayakan, yang perlu ia lakukan hanya bersabar menunggu saat istimewa itu tiba. BukanPerawanTua - 104 Part 17 Mengadu Tidak mengerti Kanin dengan jalan pikiran Rizal. Terlalu rumit dan sulit dipahami. Bukankan seharusnya ia yang marah, karena insiden pagi itu, tetapi kenapa sekarang Rizal yang lebih banyak mendiamkannya. Sudah ada satu jam ia datang ke rumah Kemala untuk menemui mertua sekaligus suaminya, tetapi Rizal hanya acuh. Sibuk bermain ponsel dan hanya menjawab singkat-singkat saat Kanin ajak bicara. Setaunya jurus diam-mendiamkan adalah andalan wanita, tetapi kenapa Rizal yang memakainya, aneh sekali! Duduk di dekat Rizal seperti duduk di samping batu. Hening dan membosankan. Tidak ada obrolah yang tercipta antara mereka. Kanin yang sibuk menerka-nerka, sementara Rizal yang sibuk bermain gameonlinedi ponselnya,Dih, kayak ABG saja, ejek Kanin dalam hati. Lama-lama Kanin merasa sebal juga. Beranjak dari ruang TV, belum tiga langkah menjauh Rizal sudah memanggilnya. Ja menoleh, memicingkan mata. "Apa?" tanyanya jutek seraya melipat tangan. "Duduk!" Rizal menepuk sofa di sampingnya. Kanin menuruti perintahnya. Meski begitu Kanin tetap memasang wajah masam, agar Rizal tau jika ia sedang kesal dengannya. "Cepat kalau mau ngomong. Aku enggak punya banyak waktu, mau bantuin bunda mencuci piring." "Sudah ada Bik Jumi yang mencuci, enggak usah banyak alasan, duduk dulu aku mau bicara," ucapnya tegas tanpa Maya Fadil - 105, ekspresi. Kanin paling tidak suka jika Rizal sudah memasang tampang seperti itu. Tandanya lelaki itu sedang dalam mood yang kacau. Beberapa bulan tinggal bersama, membuat Kanin hafal mimik- mimik apa saja yang akan Rizal tunjukan pada kondisi tertentu. "Ya, apa?" "Kemarin kamu ke mana saja_seharian?" Rizal menggerakkan posisinya mendekat, Kanin melengos merasa tersudut oleh tatapannya. "Kerja lah, kamu kan tahu kebiasaanku tiap hari, kenapa pakai tanya?" Rizal menyentuh pipinya, memaksa Kanin untuk menatapnya. Kanin sebisa mungkin bersikap biasa, agar tidak kelihatan sedang terintimidasi. “Habis itu?” Kanin bergeser menjauh saat dirasa Rizal semakin mendekat. "Kamu kenapa sih tiba-tiba tanya kayak begitu? Aneh banget?" “Aku butuh jawaban, bukan pertanyaan!" Mendadak Kanin gugup. Teringat saat ia pergi bersama Ridho membuatnya enggan menjawab pertanyaan dengan jujur. "Pu-pulang!" "Enggak ke mana-mana?" "Eng-enggak." “Langsung pulang?" "Liya." "Sendiri?" Ya Tuhan, kenapa Rizal jadi banyak tanya begini. Kanin semakin tersudut. Ia menggeleng pelan. "Ya, ya seperti biasanya." Bibir Rizal tersinggung senyum sinis. "Bohong!" Deg! "Ma-maksud kamu bohong?" "Jelas-jelas kemarin kamu pulang diantar cowok!" "Eh, emm ...." "Siapa dia, Nin? Kenapa kamu bohong sama aku? Apa dia pacar baru kamu? Kamu mau balas dendam karena BukanPerawanTua - 106 pertengkaran kita pagi itu, iya?" tanyanya beruntun seraya memegang kuat kedua lengan istrinya. Teringat atas dirinya sendiri membuat uring-uringan. Bagaimana jika Kanin melakukan hal yang sama. Sementara, Kanin hanya menggeleng tidak mampu menjawab. Ia takut Rizal dirinya pulang bersama Ridho. "Aku enggak suka dibohongi!" Sejurus kemudian, Rizal mengikis jarak antara mereka, melumat bibir Kanin kasar. Lidahnya masuk, tergesa-gesa membelit di dalam. Kanin gelagapan, belum lagi posisi mereka berada di ruang terbuka, bagaimana jika ada orang masuk. Berusaha mendorong Rizal, tetapi sia-sia. Tangan mulai bergerilya menyelusup di balik kemeja, memorak-porandakan hingga membuat sebagian kancingnya terbuka. Ciuman Rizal turun ke lehernya, menggigit-gigit kecil di sana. Kanin tidak lagi bisa berbuat apa-apa sampai ketika, "Mbak Kanin, Mas Rizal! Astagfirullah!" Suara cempreng itu seketika membuat Rizal tersentak menjauh. Kanin yang tidak kalah kagetnya, segera merapikan baju. "Perasaan di rumah ini ada lima kamar loh, tapi kenapa melakukannya masih di ruang TV? Nggak sopan!" kesalnya. “Mataku jadi tercemar tau!" Kanin tersenyum kecil, memandang Fania yang baru pulang kuliah dengan perasaan malu, sedangkan Rizal tidak peduli. Ia hanya mendengkus menatap adiknya. "Sudah sana anak kecil, ganggu saja urusan orang dewasa!" usir Rizal. Fania menghentakkan kaki, bibirnya mengerucut. "Kalau enggak mau diganggu, jangan umbar adegan enggak senonoh sembarangan dong. Tua juga enggak punya pikiran. Ini area umum, huh! Aku aduin bunda biar tau rasa!" "Sana aduin, jangan sampai enggak," jawabnya santai, mengibaskan tangan. “Nyebelin ...!" Maya Fadil - 107

Anda mungkin juga menyukai