ABBASIYAH
Disusun Oleh:
Kelompok: 4
SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan pemilik langit dan bumi,
berkat nikmat serta karuni yang diberikan sehingga kami dapat menyusun sebuah
makalah singkat mengenai Sejarah Pendidikan Islam Masa Abbasiyah.
Setelah meluruskan niat agar Allah meridhoi pembuatan makalah ini, akhirnya
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan kemudahan yang diberikan oleh Allah
SWT. Yang pada awalnya kami mendapat kesulitan dalam pembuatan makalah ini.
Kemudian sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada sang pembawa
risalah kenabian yaitu nabi agung Muhammad SAW. Semoga dengan memperbanyak
bersholawat kita mendapat syafaat yang beliau janjikan dan semoga dengan
memperbanyak bersholawat kepadanya kita dapat mengambil berkah dari tulisan
singkat ini.
Disamping itu kami menyusun makalah ini dengan tujuan untuk melewati atau
mencapai standarisasi dari penilaian pada mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Segala
kecacatan dan kekurangan dalam makalah ini kami mohon maaf dan memohon
pengertiannya dan kepada Allah kami memohon ampun atas kekeliruan dalam makalah
ini.
penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Kesimpulan....................................................................................................17
B. Saran...............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam catatan sejarah, pendidikan Islam sudah hadapi pasang surut. Dari
masa Rasulullah SAW sampai 3 rezim sesudahnya (kekhalifahan Khulafaur
Rasyidin, Dinasti Umaiyyah, serta Abbasiyah) yang tiap-tiap kepemimpinannya
mempunyai karakteristik atau perkembangan yang berbeda. Masa pembinaan
pendidikan Islam terjadi pada masa Rasulullah SAW, lalu disusul dengan masa
perkembangannya yakni pada era Khulafaur Rasyidin. Puncaknya adalah ketika
pada era dinasti Abbasiyah, sebuah pemerintahan yang dinisbahkan dari keluarga
Nabi Muhammad SAW yang telah mengalami masa kejayaan di segala bidang.
Dengan tumbuh suburnya lembaga pendidikan saat itu, menandakan bahwa
pendidikan Islam memang telah pada masa kejayaannya. Kuantitas lembaga
pendidikan yang semakin meningkat pada era tersebut terlihat sangat dominan
mempengaruhi kehidupan umat Islam. Bermacam ilmu pengetahuan yang tumbuh
lewat lembaga pendidikan itu menciptakan pembangunan, peradaban, serta
pertumbuhan bermacam berbagai aspek kultur baru di kalangan muslimin yang
sebelumnya belum pernah ada.
B. Rumusan Masalah.
1. Apa yang menjadi latar belakang berdirinya Dinasti Abbasiyah?
2. Bagaimana perkembangan pendidikan masa Dinasti Abbasiyah?
3. Bagaimana bentuk lembaga pendidikan masa Dinasti Abbasiyah?
4. Bagaimana kurikulum dan materi pendidikan masa Dinasti Abbasiyah?
5. Bagaimana metode pendidikan masa Dinasti Abbasiyah?
6. Jelaskan tujuan pendidikan masa Dinasti Abbasiyah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang berdirinya Dinasti
Abbasiyah.
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan masa Dinasti
Abbasiyah.
1
3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk lembaga pendidikan masa Dinasti
Abbasiyah.
4. Untuk mengetahui bagaimana kurikulum dan materi pendidikan masa Dinasti
Abbasiyah.
5. Untuk mengetahui bagaimana metode pendidikan masa Dinasti Abbasiyah.
6. Untuk mengetahui tujuan pendidikan masa Dinasti Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2
dinasti Abbasiyah. Walaupun bukan seseorang muslim yang saleh, dialah
sesungguhnya, bukan al-Saffah yang membangun dinasti baru itu.1
Tonggak berdirinya dinasti Abbasiyah berawal dari merapuhnya system
internal dan performance penguasa Bani Umayah yang berujung pada keruntuhan
dinasti Umayah di Damaskus, maka upaya untuk menggantikannya dalam
memimpin umat islam adalah dari kalangan bani Abbasiyah. Propaganda revolusi
Abbasiyah ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan Syi’ah,
karena bernuansa keagamaan, dan berjanji akan menegakkan kembali keadilan
seperti yang dipraktikan oleh khulafaurrasyidin.2
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi yang
bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh
Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas.3
Proses berdirinya dinasti Abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu:
pertama, dengan system mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal
ini sudah berlangsung sejak akhir abad pertama hijriah yang bermarkas di Syam
dan tempatnya di Al-Hamimah, system ini berakhir dengan bergabungnya abu
muslim Al-Khurasani pada jum’iyah yang sepakat atas terbentuknya Abbasiyah.
Sedangkan yang kedua, dilakukan secara terang-terangan dan himbauan-himbaun
di forum-forum resmi untuk mendirikan dinasti Abbasiyah berlanjut dengan
peperangan melawan dinasti Umayah. Dari dua strategi yang diterapkan oleh
Muhammad bin Al-Absy dan kawan-kawannya sejak akhir abad pertama sampai
132 H/750 M, akhirnya membuahkan hasil dengan berdirinya dinasti Abbasiyah.4
Berdasarkan fakta sejarah, sebanyak 37 khalifah5 yang pernah menjadi
pemimpin pada masa Abbasiyah, dan masa kejayaan masa keemasannya Antara
khalifah ketiga al-Mahdi dan khalifah ke Sembilan, al-Watsiq, dan khususnya pada
masa Harun al-Rasyid dan anaknya al-Makmum.
Selama kekuasaan mereka tersebut, peradaban Islam sangat berkembang. Jika
pada masa Umayyah lebih dikenal dengan upaya ekspansinya, maka pada masa
1
Philip. K. Hitti, Terjemahan History of the Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002),h. 358
2
Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta:
LESFI, 2003), h.118
3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.49
4
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h.65
5
Nama lengkap khalifah yang berjumlah 37, dapat dilihat dalam Ali Mufrodi, islam…., h.98-99
3
Abbasiyah lebih dikenal adalah berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti
Umayyah terdiri atas orang-orang Arab Oriented, dinasti Abbasiyah lebih bersifat
internasional, asimilasi corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur,
Mesir dan sebagainya.
Begitulah bani Abbasiyah membawa peradaban islam pada puncak
kejayaannya, dan terutama pada perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat
maju. Pada masa inilah buat pertama kalinya dalam sejarah terjadi kontak Antara
islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani klasik
yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.6
6
Harun Nasution, Islam Tinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 1,… h.71
4
lain, kemakmuran masyarakat pada saat ini mencapai tingkat tertinggi. Pada masa
ini pula umat islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan
sehingga berhasil menyiapkan landsan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam islam.
Dinasti Abbasiyah menyumbang peran penting dalam soal alih bahasa atau
terjemahan,penerjemahan karya-karya penting sebenarnya sudah dimulai sejak
pertengahan dinasti Umawiyah. Ketika kekuasaan beralih ketangan dinasti
Abbasiyah, kegiatan penerjemahan ke dalam bahasa Arab semakin marak dan
dilakukan secara besar-besaran. Al-Manshur termasuk khalifah Abbasiyah yang
ikut andil dalam membangkitkan pemikiran, dia mendatangkan begitu banyak
ulama cendikia dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan ke Baghdad. Di samping
itu, dia juga mengirimkan utusan untuk mencari buku-buku ilmiah dari negeri
Romawi dan mengalihkannya ke bahasa Arab. Akibatnya pada masa ini banyak
para ilmuan dan cendikiawan bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan
menjadi maju pesat. Adapun puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh
khalifah yaitu al-Mahdi, al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-
Wasiq dan al-Mutawakkil.
Gerakan Kebangkitan intelektual ditandai oleh proyek penerjemahan karya-
karya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan terutama yang berbahsa Yunani ke
bahasa Arab,7 pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan yaitu Bait al-
Hikmah, dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan
sebagai buah dari kebebasan berpikir.8 Ada beberapa upaya yang dilaksanakan
terkait dengan kemajuan dan perkembangan peradaban Islam. Peradaban-peradaban
tersebut pada dasarnya merupakan akulturasi dari peradaban Islam dengan
peradaban lainnya, terutama Persia atau Yunani, di antaranya:
1. Gerakan Penerjemahan
Pada abad ke-9 M, dilakukan penerjemahan besar-besaran buku, dalam
penerjemahannya ikut berperan serta orang-orang Yahudi dan Kristen di
samping orang-orang Islam sendiri.9 Mereka menerjemahkan manuskrip-
manuskrip terutama yang berbahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab.
7
Philip K. Hitti, History of the Arab… h.381
8
Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam,… h.116
9
M. Arkoun, Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad (Bandung:
Pustaka, 1997), h.74
5
Para Ilmuan diutus untuk ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah
Yunani dalam berbagai ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Sedangkan untuk
perburuan manuskrip di daerah Timur seperti Persia, adalah pada bidang tata
negara dan sastra. Sebelum diterjemahkan kedalam bahasa Arab, naskah yang
berbahasa Yunani diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Syiria. Hal ini
disebabkan karena para penerjemah adalah para pendeta Kristen Syiria yang
memahami bahasa Yunani.10
Pelopor gerakan penerjemahan adalah khalifah al-Mansur, dengan
mempekerjakan orang-orang Persia untuk menerjemahkan karya-karya
berbahasa Persia, di antaranya: Buku tentang ketatanegaraan (Kalila wa Dimna
dan Shindind). Sedangkan manuskrip yang berbahasa Yunani, seperti
Logikamkarya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya
Nicomachu dari Gerasa, Geometri karya Euclid.11
Pada masa Harun al-Rasyid, dikenal Yuhanna Yahya ibn Masawayh
(w.857) yang menerjemahkan beberapa manuskrip tentang kedokteran yang
dibawa oleh khalifah dari Ankara dan Amorium. Pada masa Makmun dikenal
Hunayn ibn Ishaq. (Joannitius, 809-873) ia dijuluki “ketua para penerjemah”
(sebutan orang Arab), seorang sarjana terbesar dan figur terhormat. Makmun
mengangkatnya menjadi pengawas perpustakaan akademinya. Dan bertugas
menerjemahkan karya-karya ilmiah, dibantu oleh anaknya Ishaq, dan
keponakannya Hubaisy ib al-Hasan yang telah ia latih.
Kegiatan penerjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad, babak
penerjemahan itu dalam rentang ±750-850.12 Di antara cabang ilmu pengetahuan
yang diutamakan ialah Ilmu Kedokteran, Matematika, Optika, Geografi, Fisika,
Astronomi, dan Sejarah di samping Filsafat.
2. Aktivitas Kreatif Karya-karya Orisinil
Babak berikutnya setelah adanya era penerjemahan yang berkembang pada
dinasti Abbasiyah adalah babak aktivitas kreatif penulisan karya-karya orisinil.
Penulisan karya-karya tersebut melahirkan beberapa tokoh utama yang yang
menekuni bidang masing-masing. Pada bidang kedokteran beberapa tokoh yang
10
Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam,… h.124
11
Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam,… h.124
12
Philip K. Hitti, History of the Arabs, h.389
6
muncul seperti Ali ibn Sahl Rabban al-Thabari, pertengahan abad ke sembilan;
Abu Bakr Muh ibn Zakariyya al-Razi (Rhazes, 865-925); Ali ibn al Abbas
(w.994); Ibn Sina, 980-1037.13
Dalam perkembangan filsafat Islam, peneliti muslim memahami bahwa
falsafah merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang sebenarnya,
sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia. Filsafat dan kedokteran
Yunani senyatanya ilmu yang dimiliki orang Barat, dan orang Arab percaya
bahwa Alquran dan Teologi adalah rangkuman hukum dan pengalaman Agama.
Karenanya, kontribusi filsafat dan agama di satu sisi dan di antara filsafat dan
kedokteran di sisi lain menjadi tren keilmuan saat itu.
Para penulis Arab akhirnya menerapkan kata: falasifah atau hukam
(filosof atau sufi) terhadap para filosof yang pemikiran spekulatifnya tidak
dibatasi agama; dan Mutakallimun atau ahl al-kalam (ahli bicara, ahli dialektika)
pada orang-orang yang memosisikan sistem pemikirannya di bawah ajaran
agama samawi. Ahli membuat proposisi. Seiring perkembangannya, kalam
berubah maknanya menjadi teologi, dan mutakallimin akhirnya bersinonim
dengan teolog, upaya harmonisasi filsafat Yunani dengan Islam dilakukan oleh
nama-nama besar dalam bidang filsafat yaitu al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
Pada kajian Astronomi dan Matematika, tahun 771, seorang pengembara
India memperkenalkan naskah astronomi ke baghdad yang berjudul siddhanta
(bahasa Arab, sindhind), kemudian diterjemahkan oleh Muh ibn Ibrahim al-
Fazari atas perintah al Mansur yang kemudian menjadi astronom Islam pertama,
dengan demikian Islam juga memberi rangsangan penting untuk mempelajari
astronomi sebagai cara untuk menetapkan arah shalat yang menghadap kiblat.
Perkembangan dalam bidang Kimia, memperkenalkan tradisi penelitian
objektif, sebuah perbaikan penting terhadap tradisi pemikiran spekulatif orang
Yunani. Bapak Kima bangsa Arab adalah Jabir ibn Hayyan. Pada bidang
Geografi, dikenal Al Ya’qubi, seorang ahli Geografi, sejarawan dan
pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi berjudul al-Buldan (891),
yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui dicitur al-
Ya’qubi Historiae.
13
Philip K. Hitti, History of the Arabs, h.459
7
Tradisi perjalanan mencari ilmu (al-rihlah fi thalab al-‘ilm) dipandang
sebagai bentuk kesalehan paripurna, sama dengan jihad dalam perang suci. 14
Abad ke 3 Hijriah disaksikan penyusunan enam kitab hadis yang saat itu
menjadi kitab hadis standar. Yang paling otoritatif adalah yang dihimpun
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (810-870) dengan shahih Bukharinya; diikuti
Muslim ibn al-Hajjaj (w.875) dengan shahih muslimnya, Sunan Abu Dawud dari
Bashrar (w.888), jami’ al-Tirmizi (w.±892), Sunan Ibn Majah dari Qazwin
(w.886), dan Sunan al-Nasa’i (w.915).
3. Membangun Bait al-Hikmah
Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai
pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Instuisi ini merupakan kelanjutan dari
instuisi yang serupa di masa imperium Sasania Persia yang bernama
Jundishapur Academy. Perbedaannya, pada masa Persia institusi ini hanya
menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk Raja, sedangkan pada masa
Abbasiyah (Harun Al-Rasyid) instutusi ini diberi nama Khizanah al-Hikmah
yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada masa al-
Makmun diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah dipergunakan untuk
menyimpan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan
Etiopia dan India.15
Langkah-langkah yang dilakukan khalifah al-Makmun membentuk
lembaga Bait al-Hikmah pada tahun 832 M. bertujuan untuk mendorong atau
untuk memasukkan hal-hal yang positif dari kebudayaan Yunani ke dalam
pengetahuan khususnya wilayah filsafat Islam.16
Setelah adanya upaya penerjemahan dan pembentukan kajian keilmuan
melaui pendirian Bait al-Hikmah, kaum muslim telah mengalami perkembangan
yaitu mulai bergaul dengan orang luar Islam. Deskripsi institusi Bait al-Hikmah
dapat diurai sebagai berikut: Pertama, nilai-nilai kebebasan berekspresi,
keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan
manuskrip-manuskrip dan penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Kedua,
14
Philip K. Hitti, History of the Arabs,.. h.493
15
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam… 126
16
Agussalim Sitompul, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Kebudayan Yunani/ Persia, (Yogyakarta:
2006), h. 9
8
perbedaan etnik kultural dan agama bukan halangan dalam melakukan
penerjemahan
17
Zuhairini, Moh. Kasiran, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: DEPAG, 1985), h.99
18
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang,n.d.), h.60
19
Ahmad Syalabi, Mausu’ah Tarikh AL-Islamiyah (Cairo: ah-Nahdah al-Misriyah, 1974), h.58
20
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Falsafah Al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Qalam, 1962).H.65
21
HASAN Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Islam (Kairo: al-Nahdah al-Mishiriyah, 1976), h.98
22
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat, Dan Metodologi
Pendidikan Islam Dari Era Nabi SAW Sampai Ulama Nusantara. h.77
23
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1966), h. 60
9
pengkajian yang dilakukan adalah dengan duduk melingkar. Dinamakan
demikian karena guru duduk di tengah-tengah di sebuah mimbar atau bantal
membelakangi tembok atau tiang dan para pelajar duduk dengan membentuk
lingkaran di depan guru. Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatannya.
Semakin tinggi tingkatan seseorang atau pelajar, maka ia duduk palin dekat
dengan gurunya.
2. Maktab atau Kuttab
Maktab atau Kuttab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis. Jadi maktab atau kuttab berarti tempat belajar menulis. Munculnya
lembaga kuttab ini kalau ditelusuri, akan sampai pada zaman Rasulullah, 24 atau
mungkin bahkan sebelum datangnya Islam, kuttab ini telah ada di negeri Arab.25
Kutab ialah suatu lembaga pembelajaran dasar yang dalam catatan sejarah
sudah terdapat sejak pra Islam. Diperkirakan mulai dibesarkan oleh pendatang
ke tanah Arab, yang terdiri dari golongan Yahudi dan Nasrani bagaikan tata cara
mereka memusatkan Taurat dan Injil, filsafat, Jadal (ilmu debat), dan topik-
topik yang berkenaan dengan agama mereka26
24
Ibid
25
Zuhairani et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 89
26
Badri Yatim, Ensiklopedia Mini: Sejarah Dan Kebudayan Islam, (Jakarta: Logos, 1966), h. 87
27
Zuhairani, Moh. Kasiram, Abdul Ghofir, Tajdab, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), h. 92
10
yang kian hari semakin maju. Toko buku jikalau saat ini merupakan sebuah
tempat transaksi untuk menjual dan membeli, namun berbeda dengan kondisi di
era dinasti Abbasiyah. Pada masa itu toko buku bukan hanya menjadi sebuah
tempat melakukan akad jual-beli, namun lebih dari itu toko buku menjadi sebuah
lembaga pendidikan yang di dalamnya banyak dilakukan kegiatan ilmiah
misalnya pembelajaran, diskusi, riset, serta pengembangan ilmu-ilmu yang ada.
Tentu hal ini sangat menarik jika diimplementasikan dewasa ini, sehingga bilik-
bilik ilmiah akan ramai dan ini tentu akan mendorong dan mendukung kemajuan
di bidang pendidikan. Owner atau pemilik toko kitab/bukuumumnya sebagai
pendidik dalam himpunan tersebut.28
5. Rumah Ulama
Meskipun termasuk kaategori lembaga pendidikan yang bersifat informal,
rumah ulama di era dinasti Abbasiyah telah menjadi tempat belajar bagi para
murid yang ingin belajar ilmu pengetahuan. Salah satu contohnya adalah rumah
Ibn Sina yang digunakan untuk mempelajari ilmu medis, serta rumah Abi
Sulaiman al-Sajastani yang digunakan untuk menekuni ilmu filsafat serta ilmu
mantiq dan lain sebagainya.29
6. Salun kesusasteraan
Salun dalam bahasa Arab berarti sanggar seni.30 Merupakan sebuah
lembaga pendidikan yang bersifat nonformal yang di dalamnya banyak
mendiskusikan tentang berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis ini sudah
terdapat semenjak era Khulafaur Rasyidin, yang awal mulanyadiadakan di dalam
masjid. Tetapi pada masa dinasti Umayyah, penerapannya dipindahkan ke istana
serta dihadiri oleh orang-orang tertentu saja.31 Pada masa Harun ar-Rasyid (170-
193) di era dinasti Abbasiyah, majelis sastra ini hadapi kemajuan yang luar
biasa, sebab khalifah sendiri merupakan pakar ilmu pengetahuan yang pintar
yang ikut serta di dalam semua kegiatan pada lembaga pendidikan ini.
7. Badi’ah (Dusun tempat tinggal Badwi)
28
Philip. K. Hitti, Terjemahan History of the Arabs. 521
29
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam: Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat, Dan Metodologi
Pendidikan Islam Dari Era Nabi SAW Sampai Ulama Nusantara. h. 81
30
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
Sampai Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, Divisi Kencana, 2016).
31
Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam, (Padang: IAIN Press, 1981), h. 58
11
Di wilayah perkotaan, umumnya bahasa Arab sudah rusak dan menjadi
bahasa pasaran serta campur baur dengan bahasa lain. Tidak demikian halnya di
badi’ah-badi’ah, tempat tinggal orang-orang Arab, dipandang tetap
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Mereka masih sangat
memperhatikan kefasihan berbahasa dengan memelihara kaidah-kaidah
bahasanya. Dengan demikian, badi’ah-badi’ah ini merupakan sumber bahasa
arab asli dan murni.32
8. Rumah Sakit
Untuk memujudkan kesejahteraan para khalifah dan pembesar-pembesar
Negara pada masa ini, banyak mendirikan rumah-rumahsakit, rumah-rumah
sakit tersebut selain sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit
juga berfungsi sebagai tempat untuk mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan
dengan perawatan dan pengobatan serta tempat untuk mengadakan berbagai
penelitian dan percobaan (praktikum) dalam bidang kedokteran dan obat-obatan,
sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi.
Dengan demikian rumah sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai
lembaga pendidikan.33
32
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam…., h. 77-78
33
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.97
34
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 161
12
10. Masjid
Tempat pendidikan muslim yang paling khas dan bertahan paling lama
adalah di masjid. Di mana saja Islam tersebar pada abad pertama dengan
perkembangannya yang luar biasa, tradisi belajar di masjid selalu turut
menyertainya. Dengan demikian, wajarlah apabila khalifah terdahulu sedikit
demi sedikit melihat pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan,
tapi juga sebagai pusat penngajaran bagi kaum muda.35
11. Khanqah, Zawiyah, dan Ribath
Lembaga-lembaga pendidikan ini lebih menyerupai monastry dan
hermitage karena para pelajar mengasingkan diri mereka untuk belajar dan
beribadat di lembaga ini, sebagaimana biasanya disediakan untuk orang mistik
dan sufi. Khanqah pada umumnya lebih tersebar luas dan lebih berperan dari
pada zawiyah atau ribath. Al-Maqrizi mengatakan bahwa di dalam salah satu
khanqah, di sana telah diatur beberapa mata pelajaran, diantaranya adalah mata
pelajaran untuk empat mazhab, beberapa mata pelajarn hadis, beberapa mata
pelajaran membaca al-Qur’an dalam tujuh buah riwayat. Tiap-tiap mata
pelajaran diasuh oleh sorang guru, dan tiap-tiap guru mempunyai sekumpulan
pelajar, dan diisyaratkan kepada mereka menghadiri pelajaran dan melaksanakan
semua protokoler atau semacam jadwal tasawuf.36
Adapun zawiyah lebih menyerupai khanqah dari segi tujuan. Akan tetapi
zawiyah ini lebih kecil dari khanqah. Zawiyah dibangun untuk orang-orang sufi
yang fakir supaya mereka dapat belajar dan beribadat. Zawiyah ini kadang-
kadang didirikan oleh seorang atau kadang-kadang pula didirikan oleh seorang
syaikh yang terkenal dan banyak ilmunya.37
Sedangkan yang dimaksudkan dengan ribath adalah rumah-rumah orang
sufi dan tempat tinggal mereka yang didiami oleh sejumlah orang dari fuqara’
yang mengasingkan diri, yang tidak mempunyai keluarga, dan mempersiapkan
38
diri mereka untuk belajar dan beribadat semata-mata. Ketiga tempat
pendidikan tersebut paling banyak dikenal di kalangan sufi.
35
Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 22-23
36
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat…, h. 46
37
Ibid., h. 47
38
Ibid
13
12. Madrasah
Madrasah sudah eksis semenjak awal masa kekuasaan Islam bani
Abbasiyah seperti Bait al-Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam
pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Makmun.39 Institusi
yang mengukir sejarah baru dalam peradaban Islam dengan konsep multikultural
dalam pendidikan, karena subjek toleransi, perbedaan etnik kultural, dan agama
sudah dikenal dan merupakan hal biasa.
Madrasah Nizhamiyah merupakan prototype awal bagi lembaga
pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karakteristik tradisi
pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem
asrama. Pemerintah atau penguasa ikut terlibat didalam menentukan tujuan,
kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik dan lain-lain.
14
agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada
saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya
dengan agama seperti Bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.40
40
Zuhairini, Moh. Kasiran. Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Depag, 1985), h. 100
41
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 114
42
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 46
15
1. Tujuan Keagamaan dan Akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak
dididik dan diajar membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah karena hal itu suatu
kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikuti ajaran agama dan
berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir, hadits dan
sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
2. Tujuan Kemasyarakatan, selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula
tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu,
supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari
masyarakat yang penuh kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu
pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju
dan makmur.
3. Selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta
senang dan lezat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan
keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam dalam ilmu
pengetahuan. Mereka melawat ke seluruh Negara Islam, untuk menuntut
ilmu, tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan, yang umumnya
dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka
lain tidak untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.
4. Di samping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum Muslimin, yaitu
tujuan kebendaan. Mereka menuntut ilmu, supaya mendapat penghidupan
yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat
kemegahan dan kekuasaan di dunia ini.
16
BAB III
PENUTUP
A. Krsimpulan
B. Saran
Demikian makalah ini di susun, untuk kedepannya kita semua bias
memahaminya dan terima kasih atas antusias kepada pembaca yang telah mencoba
memahami isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan dari
makalah ini. Kami berharap pembaca memberikan saran dan kritik kepada kami
demi sempurnanya makalah ini di kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
17
Philip. K. Hitti, Terjemahan History of the Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2002.
Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern,
Yogyakarta: LESFI, 2003.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Jurnal. Mahfud Ifendi, Dinasti Abbasiyah: Studi Analisis Lembaga Pendidikan Islam.
M. Arkoun, Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, terj. Ahsin Mohammad.
Bandung: Pustaka, 1997.
Agussalim Sitompul, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Kebudayan Yunani/ Persia.
Yogyakarta: 2006.
Zuhairini, Moh. Kasiran, dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG, 1985.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang,n.d.
Jurnal. Imam Fu’adi, Sejarah Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah.
Ahmad Syalabi, Mausu’ah Tarikh AL-Islamiyah. Cairo: ah-Nahdah al-Misriyah, 1974.
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Falsafah Al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Qalam, 1962.
Hasan Ibrahim Hasan. Tarikh Al-Islam. Kairo: al-Nahdah al-Mishiriyah, 1976.
Muhamad Tsina Nugraha. Sejarah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Diandra Kreatif,
2019.
Jurnal. Serli Mahroes, Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah
Pendidikan Islam.
Lihat Asar, Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2011.
Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Jurnal. Maryamah, Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
18