Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fitriani D.

Hikmah
NIM : 195100900111018
Kelas :M
TUGAS PANCASILA
Mengkaji Pasal-Pasal Omnibus Law yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila

Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Savitri, Omnibus Law merupakan sebuah UU
yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Omnibus Law dimaksudkan
untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah. Selain itu, menyederhakan peraturan agar lebih
tepat sasaran. Terobosan itu sangat menantang jika dilakukan di Indonesia, karena Indonesia
belum pernah menerapkan Omnibus Law.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK),
Fajri Nursyamsi, menyatakan bahwa ketiadaan draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang
(RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) di berbagai situs resmi milik pemerintah dan DPR RI telah
melanggar prinsip pembentukan undang-undang (UU). Pada pasal 5 huruf g UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah menyatakan tentang
asas keterbukaan. Pasal tersebut telah ditegaskan lewat Pasal 170 Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 bahwa pemerintah dan DPR harus menyebarluaskan rancangan UU sejak
tahap penyusunan. Ketiadaan draf Omnibus Law RUU Ciptaker di berbagai situs resmi
pemerintah dan DPR membuat ruang partisipasi publik tertutup. Padahal, partisipasi
masyarakat merupakan hak yang dijamin dalam Pasal 96 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Ketiadaan draf Omnibus Law RUU Ciptaker di berbagai situs pemerintah
dan DPR ini menunjukkan bahwa penyusunan regulasi hanya melibatkan segelintir elite seperti
kepala daerah dan asosiasi pengusaha. Seharusnya pemerintah sejak awal mengundang
keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi pihak terdampak, untuk
memberikan masukan.
Omnibus Law banyak mendapat respon dari masyarakat karena masyarakat menilai
bahwa Omnibus Law merugikan masyarakat. Diantaranya ialah merugikan pekerja karena
memperpanjang jam kerja dan lembur, penetapan upah minimum yang rendah, potensialnya
terjadi pelanggaran hak berserikat pekerja, pemangkasan kewenangan serikat pekerja,dan
hilangnya hak-hak pekerja perempuan untuk cuti haid, hamil dan keguguran. Selain itu
merugikan bidang pertanian karena hilangnya pembatasan impor pangan dan monopoli oleh
unit usaha terkait ekspor bibit unggul tanama. Hal lain ialah pendidikan yang berorientasi pasar
karena komersialisasi Link and match dengan industri serta pembentukan kurikulum pendidikan
yang fokus ke dalam orientasi kerja.
Pasal pertama yang dirasa tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila ialah pasal
166. Pasal tersebut jelas mengubah prinsip dasar pemerintah daerah yang sebelumnya diatur
dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Jika omnibus law disetujui
semua maka peraturan daerah bisa diubah lewat peraturan presiden saja. Selain
bertentangan dengan semangat desentralisasi pasca-gerakan Reformasi 1998, rancangan
pasal ini bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV pada
2016, yang tegas-tegas menyatakan peraturan daerah hanya bisa dicabut oleh Mahkamah
Agung.
Pasal berikutnya ialah Pasal 170. Pasal tersebut menegaskan bahwa presiden bisa
menerbitkan peraturan pemerintah untuk mengganti atau mengubah undang-undang, baik
yang terkena dampak oleh aturan baru ini maupun undang-undang lain yang tidak diubah
dalam omnibus law. Dengan kata lain, pasal ini akan memberikan kewenangan legislasi luar
Nama : Fitriani D. Hikmah
NIM : 195100900111018
Kelas :M
biasa kepada presiden, bahkan lebih tinggi dari DPR. Berdasarkan pasal tersebut untuk
mengubah sebuah undang-undang yang dinilainya keliru, presiden bisa mengambil jalan
pintas tanpa perlu repot-repot meminta persetujuan wakil rakyat di Senayan. Hal ini sangat
bertentangan pada Pancasila mengenai kemusyawaratan rakyat, karena DPR sebagai wadah
aspirasi masyarakat. Jika DPR tidak dilibatkan dalam pengubahan UU maka hilanglah peran
rakyat dalam menghadapi perubahan UU yang ada di negara ini.
Selain pasal-pasal tersebut, terdapat pasal yang dinilai merugikan kaum pekerja
karena adanya perubahan pada mekanisme PHK. Mekanisme PHK diatur pada Bab XII Pasal
150-172 UU Ketenagakerjaan. Pemangkasan prosedur/mekanisme PHK dalam RUU Cipta
Kerja salah satunya dapat dilihat dalam perubahan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan yang
menyebutkan PHK dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh. Jika kesepakatan tidak tercapai, penyelesaian PHK melalui prosedur yang diatur
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). RUU
Cipta Kerja menyisipkan pasal baru diantara Pasal 151 dan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan
yakni Pasal 151A. Berbeda dengan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Prinsipnya, pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Jika upaya telah dilakukan PHK tidak dapat dihindari,
PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja bila
tidak menjadi anggota serikat pekerja. Jika hasil perundingan itu tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha dapat melakukan PHK setelah memperoleh penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial (pengadilan hubungan industrial/PHI). RUU
Cipta Kerja menghapus Pasal 152 UU Ketenagakerjaan yang mengatur syarat prosedur PHK
sesuai Pasal 151 sebelum mengajukan permohonan penetapan PHK pada PHI. Pasal 153 UU
Ketenagakerjaan terkait larangan PHK juga diubah, tapi substansinya tidak banyak berubah.
Perubahannya hanya mempertegas larangan bagi pengusaha melakukan PHK dengan alasan
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya dalam satu perusahaan. Perubahan ini sesuai Putusan MK No.13/PUU-XV/2017 yang
menghapus frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan. atau
perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan.
Pasal berikutnya ialah Pasal 42.Pasal 42 mengatur kemudahan izin bagi perekrutan
tenaga kerja asing (TKA). Dalam ayat (1) Pasal 42 RUU Omnibus Law disebutkan, "Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat,". Jika disahkan, Pasal di Omnibus Law
ini akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, di mana
sebelumnya TKA harus mendapatkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Ketentuan Pasal 42 di Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak berlaku bagi anggota direksi dan
komisaris dengan kepemilikan saham tertentu, pegawai korps diplomatik dan konsuler. Dalam
Omnibus Law, ketentuan itu juga tak berlaku bagi yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada
jenis kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start-up, kunjungan
bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. Jika mengacu pada Perpres Nomor 20
Tahun 2018, diatur bahwa TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin
Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan
mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu
Nama : Fitriani D. Hikmah
NIM : 195100900111018
Kelas :M
membutuhkan RPTKA saja.

Anda mungkin juga menyukai