Anda di halaman 1dari 23

MODUL XIV

PERBANDINGAN PENEGAKAN HUKUM DI BERBAGAI NEGARA


(AL: JEPANG & AMERIKA)

TIM PENYUSUN
Prof. Dr. Musakkir, S.H.,M.H (Koordinator)
Prof. Dr. Irwansyah, S.H.,M.H
Prof. Dr. Pangerang Moenta, S.H.,M.H
Prof. Dr. H.M. Arfin Hamid, S.H.,M.H
Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H
Prof. Dr. A. Suryaman Mustari Pide, SH.,MH
Dr. Wiwie Heryani, S.H.,M.H
Dr. Ratnawati, S.H.,M.H
Dr. Hasbir Paserangi, S.H.,M.H
Dr. A. Tenri Famauri, S.H.,M.H
Dr. Muhammad Hasrul, S.H.,M.H
Dr. Andi Syahwiah. A. Sapiddin, SH.,MH.
Andi Muhammad Aswin Anas, SH.,MH.

DEPARTEMEN HUKUM, MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga modul mata kuliah perancangan kontrak ini dapat terselesaikan. Modul ini
disusun oleh dosen pengajar yang tergabung dalam Tim Pengampu Mata Kuliah Pengantar
Sosiologi Hukum, untuk menjadi panduan bagi peserta Mata Kuliah Pengantar Sosial
Hukum dalam memahami konsep teoretis yang terkait dengan pengertian dan karakteristik
sosiologi hukum.

Kami sangat menyadari bahwa Modul Mata Kuliah Pengantar Sosiologi Hukum ini
masih belum sempurna, namun Tim Penyusun berharap bahwa modul ini dapat menjadi
referensi dan menambah pengetahuan bagi para pembaca, khususnya mahasiswa.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
tak terhingga kepada Pimpinan Fakultas, Pimpinan Departemen Hukum, Masyarakat dan
Pembangunan dan Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengantar Sosiologi Hukum
dalam lingkup Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, atas arahan, dukungan dan
kontribusinya sehingga modul ini dapat selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Makassar, November 2020

Tim Penyusun

2
MODUL XIV
KEGIATAN BELAJAR 1
PERBANDINGAN PENEGAKAN HUKUM DI BERBAGAI NEGARA
(AL: JEPANG & AMERIKA)

A. Deskripsi Singkat
Pada kegiatan belajar ini, peserta mata kuliah akan mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan faktor non hukum meliputi kencin ala
jepang dan ala barat, konsep the law of the nontransferabillty of law, hukum asli
Indonesia hukum nsional, tertib berlalulintas di Tokyo, pengarus timbal balik
hukum dan non hukum, dan polisi inggris dan pentungannya.
B. Relevansi
Pemahaman tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan faktor non
hukum sangat penting, karena hukum bukan sesuatu yang jatuh begitu saja dari
langit melainkan terbentuk, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat,
serta dipengaruhi sekaligus mempengaruhi berbagai sektor lain di dalam
masyarakat. Dengan perkataan lain, terjadi hubungan timbal balik antara faktor
hukum dan faktor non hukum di dalam setiap masyarakat.
Berkerjanya hukum secara efektif atau tidak, sangat tergantung pada faktor
non hukum yang berpengaruh terhadapnya. Telah dibahas sebelumnya bahwa
hukum itu tidak otonom, artinya hukum itu tidak dapat tegak dengan sendirinya
tanpa ada dukungan dari faktor-faktor non hukum. Dalam hubungan itu, maka
faktor non hukum dapat berpengaruh positif dengan membuat hukum menjadi
efektif, sebaliknya dapat berdampak negative dengan membuat hukum menjadi
tidak efektif.
C. Capaian Pembelajaran
1. Uraian
Pembahasan tentang pengaruh timbal balik Antara hukum dan factor
non hukum berikut ini, bersumber dari buku Menjelajahi Kajian Empiris
Terhadap Hukum yang ditulis oleh Achmad Ali yang diterbitkan oleh PT.
Yasrif Watampone, Jakarta mulai dari halaman 303-330.
a. Kencin Ala Jepang dan Ala Barat
Umumnya, warga masyarakat di dunia ini hidup dalam satu kultur
tertentu yang menjadi tradisi mereka tetapi khusus orang Jepang, memiliki

3
keistimewaan tersendiri di mana mereka mampu hidup dalam dua kultur yang
berbeda, sehingga Achmad Ali mengistilahkan bahwa orang Jepang
mempunyai sekaligus dua cara kencing, yaitu kencing ala Jepang dan
kencing ala Barat. Tokyo, menyediakan fasilitas yang berbeda untuk dua jenis
cara kencing tadi, yaitu kencing cara Jepang dan kencing cara Barat.
Fenomena itu sepintas lalu tak berarti banyak, tetapi menurut beliau, fenomena
itu secara sosiologis menunjukkan makna yang cukup dalam. Disediakannva
dua jenis fasilitas kencing tersebut, menunjukkan hahwa sehagian besar
masyarakat Jepang masih hidup di dua kultur, yaitu kultur asli Jepang dan kultur
Barat.1
Seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (dalam berbagai
ceramah) bahwa orang Jepang meletakkan budaya Barat hanya sampai di
teras rumah saja dan belum boleh memasuki bagian dalam rumah mereka.
Dengan lain kata, orang Jepang modern sekalipun tetap mempertahankan
nilai-nilai asli budaya mereka, sekalipun mereka harus hidup di alam modern
ala barat. Jika kita kaitkan dengan ciri masyarakat hukum, maka orang
jepang termasuk yang lebih didominasi oleh budaya mereka daripada
hukum positit (undang-undang). Sebaliknya, orang Amerika, misalnya,
termasuk masyarakat yang lebih didominasi oleh sistem hukum mereka.
Di Jepang, jika kereta apinya mengalami keterlambatan, apapun
alasannya, entah faktor teknis, faktor manusianya ataupun faktor lain,
maka Menteri Perhubungannya sudah tampil di televisi memohon maaf
sebesar-besarnya dan berulang-ulang kali menghormat ala Jepang
rnenundukkan tubuhnya. Sebaliknya, di masyarakat lain, mungkin kereta
apinya bukan lagi sekadar terlambat, tetapi sudah mengalami kecelakaan
yang membawa korban nyawa dan harta, tetapi dampaknya malah anggaran
untuk ‘sektor’ itu mendapat tambahan ‘bonus’ yaitu dananya ditambah
dengan alasan kecelakaan terjadi karena kurangnya fasilitas.
b. Konsep The Law of the Nontransferabillty of Law

1
Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: PT. Yasrif
Watampone, hal. 307.

4
Benturan kultural di masa globalisasi ini memang sudah tak mungkin
dielakkan secara keseluruhan, namun tidak berarti 'tembok- tembok' antar
kultur tidak ada lagi sama sekali. Khususnya di bidang hukum, kita harus
'super hati-hati' untuk menyeleksi hukum yang akan kita berlakukan. Belum
tentu hukum dari negara maju cocok kita terapkan di Indonesia, tetapi juga
sebaliknya belum tentu asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum dan
aturan-aturan hukum asli kita, yaitu yang sering dinamai hukum adat masih
cocok dengan kebutuhan hukum dari masyarakat Indonesia dewasa ini. 2
Sehubungan dengan pemberlakuan hukum asing ke dalam suatu
masyarakat lain, kita seyogianya mengingat konsep the law of the non
transferrability of law (hukum tentang tidak dapatnya hukum ditransfer) dari
Robert B. Seidmann, yang pada intinya memandang hukum tidak dapat
ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lain yang
memiliki perbedaan kultur.3
Kasus menarik yang dapat dijadikan contoh tentang kebenaran teori
dari Robert B. Seidmann itu adalah kasus pengadilan di Kepulauan Fiji.
Seperti diketahui, kepulauan Fiji adalah bekas jajahan Inggris, sehingga
hukum positif yang diberlakukan di Fiji adalah Hukum Inggris. Para sarjana
hukum Fiji adalah lulusan fakultas-fakultas hukum Inggris. Padahal,
masyarakat Fiji yang sebagian besar beragama Sikh memiliki hukum
tradisional mereka sendiri. Di pengadilan negeri di ibukota Fiji, bekerja
seorang satpam sebagai penjaga pintu gerbang pengadilan yang kebetulan
penduduk asli Fiji, yang menghayati nilai-nilai tradisional masyarakat Fiji,
termasuk di dalamnya perasaan keadilan mereka.4
Para pencari keadilan yang datang hendak mengajukan
persengketaan mereka ke pengadilan, tentu saja pertama-tama berjumpa
dengan si satpam itu sebelum dapatmemasuki ruang pengadilan untuk
menjumpai panitera atau pejabat lain di pengadilan. Dan begitulah
kenyataannya, sebagian besar para pihak yang bertemu dengan si satpam
itu, karena menduga semua orang yang bekerja di pengadilan adalah

2 Ibid, hal 309


3 Ibid.
4 Ibid.

5
hakim, maka mereka juga berpikir si satpam itu termasuk salah seorang
dari para hakim.5
Para pihak dari pedalaman lalu secara bergantian menceritakan dan
mengemukakan kasus mereka kepada si satpam tadi. Si satpampun
memberikan komentar- komentar sesuai dengan jalan berpikir tradisionalnya
yang tentu sangat pribadi sifatnya. Namun ternyata, komentar, dan advisnya
justeru dapat diterima oleh kedua pihak yang bersengketa itu; dan kedua
pihakpun kembali ke desanya dengan perasaan puas. Persengketaan
mereka telah "diputus" secara sangat adil oleh "hakim satpam" tadi.6
Hingga pada suatu ketika, dari desa yang sama kembali datang
pencari keadilan ke pengadilan tersebut. Kebetulan waktu mereka tiba, si
satpam penjaga pintu tidak berada di pos tugasnya, sehingga pencari
keadilan itu lolos masuk ke panitera mendaftarkan perkaranya dan
selanjutnya diproses prosedur hukum acara yang formal. Singkat cerita,
stelah hakim menjatuhkan putusannya, ternyata baik pihak penggugat
maupun pihak tergugat menganggap putusan hakim tersebut tidak adil. 7
Ketika tiba kembali di desanya, mereka menggerutu kepada warga
desa lain yang pernah berperkara di pengadilan. Warga desa lain
menanyakan kepada mereka, hakim yang mana yang memutuskan
perkara mereka? Keduanya menjawab, hakim yang bertoga hitam dengan
buku-buku tebal di atas meja hijau yang megah. Warga desa lain serentak
berkomentar, itu sih salah kalian, kami dulu diputus oleh hakim yang
bersorban putih seperti sorban kita dan yang ruangan kantornya di depan
pintu. Hakim itulah yang putusannya selalu adil. 8
Kisah di atas, menunjukkan bahwa advis si satpam justeru lebih
cocok dengan perasaan keadilan warga masyarakat Fiji, ketimbang
putusan hakim yang sesungguhnya yang terlalu diwarnai dengan hukum
Inggris. Hal itu juga menunjukkan bahwa hukum Inggris yang efektif dan
dirasakan adil di Inggris, ternyata setelah ditransfer di Fiji, menimbulkan

5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.
88 Ibid.

6
kenyataan adanya benturan antara hukum Inggris dengan kultur asli
masyarakat Fiji.
c. Hukum Asli Indonesia dan Hukum Nasional
Achmad Ali berpendapat bahwa sebagian besar asas-asas, kaidah-
kaidah, dan aturan-aturan hukum asli kita tak dapat kita gunakan lagi untuk
pembentukan hukum nasional Indonesia di masa yang akan datang.
Banyak contoh yang dapat kita gunakan. Asas kompromi yang merupakan
ciri hukum asli kita jelas bertentangan dengan asas hukum acara tidak
mengenal dan tidak mentolerir perdamaian dalam perkara pidana. Efek
negatif dari pengaruh asas) sering kita temukan dalam apa yang penulis
namakan sebagai peradilan pojok jalan antara oknum petugas Polantas
dengan, oknum pelanggar aturan lalu lintas.9
Lagi pula adalah tidak logis bahwa hukum adat sifatnya lokal dapat
menunjang hukum nasional yang sifatnya tentu antikelokalan. Asas hukum
keluarga yang bergaris keturunan keibuan (matrilineal) di satu daerah jelas
bertentangan dengan asas keturunan kebapakan (patrilineal) di daerah
lain, dan juga lain lagi dengan asas garis keturunan ibu-bapak di daerah
lainnya lagi. 10
Bagaimana mungkin menerima sekaligus ketiga asas yang saling
bertentangan itu untuk mewujudkan unifikasi hukum? Bagaimana
menerapkan asas magis religius dari hukum adat dalam penerapan
creditcard yang telah menjadi kebiasaan nyata dalam lalu lintas keperdataan
dewasa ini? Bagaimana mungkin hukum adat menyelesaikan persoalan-
persoalan franchise yang merupakan fakta kehidupan hukum modern
dewasa ini? Bagaimana hukum adat dapat diikutsertakan dalam
penyelesaian persoalan-persoalan hukum yang baru seperti: leasing,
negotiable instrument, law of contract yang mutakhir, seperti a self service
system, automatic ticket dengan exclusion clause, the exclusion clause on
the door of the bedroom, contract by communication dan contract by
correspondence.11

9 Ibid, hal. 132


10 Ibid, hal. 312-313
11 Ibid, hal 312

7
Kalau orang di Indonesia bicara tentang hukum kebiasaan, maka
kalangan hukum adat cepat-cepat menyatakan bahwa hukum kebiasaan
itu identik dengan hukum adat. Pernyataan atau pendapat seperti itu jelas
sesuatu yang tidak realistis. Apa hubungannya kebiasaan berkartu kredit
dengan hukum adat? Kalimat nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, antara
lain yang tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No.
48 Tahun 2009), sering disalahartikan dengan mengidentikkannya sebagai
hukum adat. Padahal nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita di era
globalisasi ini sudah lebih banyak yang ditransfer dari nilai luar yang masuk
melalui teknologi canggih seperti televisi dan media komunikasi modern
lain. Bagaimana menghubungkan penggunaan kartu telepon dengan hukum
adat? Kalau ada yang sengaja menghubung- hubungkannya, jelas hanya
merupakan perbuatan yang terlalu mengada-
ada.12
Oleh karena itu, dalam Seminar Hukum Nasional VI yang diadakan
oleh B.P.H.N (Badan Pembinaan Hukum Nasional) di Horison Hotel Ancol
Jakarta, 25-29 Juli 1994, Achmad Ali menyampaikan pada sidang pleno agar
dalam pembentukan hukum nasional kita, seyogianya kita menyeleksi
kembali asas- asas hukum, kaidah-kaidah hukum maupun aturan-aturan
hukum yang akan kita tuangkan dalam perundang-undangan nasional kita,
baik yang bersumber dari hukum asli kita maupun yang bersumber dari
hukum asing.13
d. Tertib Berlalulintas di Tokyo
Alvin dan Heidi Toffler di dalam bukunya yang berjudul: Creating a
New Civilization; The Politics of The Third Wave (1995:19) mengemukakan
bahwa:14
“A new civilization is emerging in our lives, and blind men everywhere
are truing to suppress it. This new civilization beings with it new family
styles, changed ways of working, loving, and living, a new economy, new
political conflicts, and beyond all this an altered conscousnwess as well.

12 Ibid.
13 Ibid.
14 Ibid, hal 315.

8
(Suatu peradaban baru telah tumbuh di dalam kehidupan kita dan orang-
orang buta di mana-mana mencoba untuk menekannya. Peradaban
baru ini mencakupi gaya baru berkeluarga, perubahan cara-cara
bekerja, perubahan cara bercinta, dan perubahan cara hidup, konfik-
konflik baru di bidang ekonomi dan politik, dan juga perubahan
kesadaran).”
Meskipun tidak secara tegas mereka kemukakan, tetapi kita sendiri
dapat menyimpulkan bahwa semua perubahan yang terjadi di atas, dengan
sendirinya juga menyebabkan perubahan hukum dan perubahan praktek
hukum. Sebab secara logis, terjadinya hal baru akibat perubahan berarti juga
dibutuhkan pengaturan hukum yang baru. Jika hukum tidak mampu
menyelaraskan diri dengan perubahan perubahan tersebut, niscaya hukum
akan kehilangan kepercayaan dari warga masyarakat pencari keadilan.
Wibawa hukum secara bertahap akan terkikis; dan kalau yang demikian
terjadi, kehidupan akan dilanda dengan anarkhis.
Kita telah mengetahui bahwa hukum itu tidak otonom, oleh karena
itu setiap perubahan pada sektor hukum, mau tidak rnau, langsung atau tidak
langsung, cepat atau lambat, pada akhirnya juga akan berpengaruh terhadap
sektor hukum. Salah satu contohnya adalah pengaturan tertib lalu lintas di
Metropolitan Tokyo, Jepang. Akibat pemanfaatan kecanggihan berbagai
hasil teknologi modern, maka terjadi pula perubahan cara pengendalian lalu
lintas di Tokyo. Kalau Anda ke Tokyo sekarang ini, Anda akan melihat bahwa
Kepolisian Metropolitan Tokyo mengatur lalu lintas jalan, termasuk traffic
light bukan lagi dan pojok-pojok jalan seperti kita di Indonesia, melainkan
dari satu pusat pengendaIian di Markas Kepolisian Tokyo. Dari sana, para
penegak hukum melalui layar monitoring ratusan televisi, dapat mengetahui
semua kejadian di jalan-jalan di Tokyo, dan melalui mikrofon yang terpasang
di traffic light dan berhubungan dengan pusat pengendalian tersebut, polisi
dapat melakukan instruksi-instruksi ataupun peringatan terhadap para
pemakai jalan yang melakukan
pelanggaran.15

15 Ibid, hal 317

9
Dampak perubahan seperti itu tentu saja berpengaruh pula terhadap
pelaksanaan hukumnya, misalnya saja, dengan cara seperti itu, tidak lagi
memungkinkan terjadinya denda damai atau peradilan pojok jalan antara
oknum polisi dan oknum pelanggar (itu bagi kita di Indonesia; sebab bagi
polisi Jepang, sejak sebelum penggunaan cara modern di atas, mereka
memang tidak mengenal istilah denda damai atau peradilan pojok jalan).
Juga patut dicatat bahwa banyak perubahan berupa pemanfaatan
hasil teknologi canggih yang luput dari kemampuan pemerintah untuk
mengawasinya, sehingga selaras dengan hal itu, Newt Gingrich, dalam
forewordnya untuk buku Toffler tersebut di atas, antara lain menuliskan
bahwa:16
“The reality is that tranformation is going on everyday in the private sector
among entrepreneurs and with citizens who are inventing new things and
creating new solutions because bureaucracy does’nt stop them”.

e. Pengaruh Timbal Balik Faktor Hukum dan Non Hukum


Gerald Turkel mengutip pendapat seorang tokoh masa lalu yang
menulis tentang pergolakan politik dan pergolakan hukum di Perancis lebih
150 tahun silam, di mana tokoh itu menyatakan bahwa:17
“men make their own history, but they do not make it just as they please;
they do not make it under circumstances chosen by themselves, but
under circumstances given and transmitted from the past"

Manusia membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak


membuatnya sesuai kesenangan mereka sendiri; mereka tidak
membuatnya dengan pilihan mereka sendiri, tetapi karena diberi dan
dikirimi oleh masa lalu). Tokoh itu juga mengakui bahwa aktivitas manusia
telah membuat dunia di mana mereka hidup di dalamnya, tetapi apa yang
mereka lakukan itu adalah di bawah pengaruh kondisi-kondisi material,
kondisi-kondisi politis, kondisi- kondisi kultural dan kondisi-kondisi hukum;
kondisi-kondisi tersebut tidak mereka buat sendiri, melainkan dibuat oleh
para pendahulu mereka.

16 Ibid.
17 Gerald Turkel. 1996. Law dan Society: Critical Approaches. USA: Allyn & Bacon, hal. 5-7.

10
10
Suatu bagian penting dari perubahan sosial adalah mengatasi kondisi-
kondisi yang dibuat di masa silam dengan cara yang memungkinkan
orang-orang untuk memenuhi kebutuhan mereka yang lebih demokrasi
dan bebas. Di dalam bukunya yang berjudul : The Social Construe tion of
Reality, Peter Berger dan Thomas Luckman membuat similar points
berkenaan dengan pengetahuan kita tentang dunia. Secara umum diterima
bahwa kita dimungkinkan untuk bekerja sama dengan orang lain, kita
juga dimungkinkan untuk menentukan hal-hal yang bersifat individual dan
untuk menentukan identitas sendiri, dan juga dimungkinkan untuk
membenarkan tindakan kita, serta membangun pranata-pranata sosial
yang kita inginkan.18
Kesemuanya itu dibuat melalui interaksi kita dengan orang lain, baik
dalam pengaruh lingkungan bahasa, lingkungan ekonon hukum yang
merupakan warisan dari masa lampau. Secara umum diterima bahwa telah
dilupakan masa lalu yang membentuk kehidupan dan hubungan dengan
pihak lain, namun mereka mempunyai suatu kenyataan yang
membolehkan untuk merintangi suatu penyelesaian problem kontemporer.
Mereka boleh membatasi tindakan-tindakan dan identitas, serta menciptakan
kebutuhan yang saling bertentangan dalam hubungan kita dengan pihak lain.
Dalam pembahasannya tentang sejarah hukum keluarga, Martha
Minow memberikan suatu contoh bagaimana konstruksi hukum telah
mengakibatkan hal-hal bertentangan terhadap tindakan-tindakan kaum
wanita maupun bagi identitas kaum wanita. Secara tradisional, hukum telah
membatasi pekerjaan dan peran publik kaum wanita melalui pembatasan
wanita yang sudah kawin dan hidup berkeluarga. Kaum wanita tidak
mempunyai hak milik; kaum wanita juga tidak memiliki hak untuk
berpartisipasi di bidang politik, terlepas dari suami- suami mereka. Kaum
wanita selalu dipandang hanya cocok untuk pantas kehidupan domestik;
kaum wanita selalu dianggap hanya untuk membesarkan anak. 19
Meskipun demikian, dalam keadaan historis tertentu, teryata

18 Achmad Ali. 1998. Opcit, hal. 324.


19 Ibid, hal. 325.

11
11
peranan könstruksi hukum telah ditarik dari wanita menjadi mendukung pola-
pola yang lebih luas dari kekuasaan dan eksploitasi. Jadi, wanita kulit hitam
di bawah perbudakan tidak mempunyai hak-hak hukum untuk membentuk
dan menjalani kehidupan keluarga. Memang, sejumlah negara bagian,
termasuk Georgia dan Texas, menentukan bahwa perkawinan di antara
budak tidak mempunyai dasar hukum, dan bahwa budak wanita tidak
mempunyai hak terhadap anak-anak mereka sejak anak itu lahir dalam
suatu perkawinan-budak; anak yang lahir dari suatu perkawinan budak
dianggap sebagai anak haram. Meskipun hal itu dilarang oleh hukum,
komunitas budak benar-benar berhasil membentuk dan mempertahankan
hubungan keluarga di antara mereka, yang berkisar sekitar ikatan maternal
(ikatan didasarkan hubungan keibuan) yang kuat. 20
Sebenarnya, hukum itu bertentangan dengan cara aktual di mana
orang-orang membuat komitmern bagi seseorang lain dan melakukan
kehidupan sehari-hari mereka. Namun demikian, juga terjadi bahwa hukum
setidak-tidaknya telah sebagian mengakui kenyataan tentang ikatan
perkawinan dan komitmen-komitmen di antara budak itu. Sebenarnya, baik
Georgia maupun Texas menerapkan aturan-aturan terhadap perbudakan
tentang rintangan pasangan yang menikah dari memberikan kesaksian
yang memberatkan seseorang lain. Ketidaksahan keluarga-budak tidak
sama sekali menghapuskan kenyataan adanya hubungan keluarga di
antara budak itu, pun di dalam hukum.21
Mengikuti wawasan ini, menurut Achmad Ali bahwa pendekatan dasar
dari buku ini terhadap hukum dan masyarakat adalah pendekatan bersifat
kritis dan berkonstruksi sosial: termasuk di dalamnya, orang-orang yang
menciptakan hukum, yang mengimplementasikan hukum, dan yang
mengindahkan hukum di dalam tindakan-tindakan mereka di bawah keadaan
yang mencakupi kelangkaan sumber-sumber material dan ketida samaan
status, ketidaksamaan pengetahuan, ketidaksamaan sumber- sumber
penghasilan, ketidaksamaan kekuasaan, serta ketidaksamaan

20 Ibid.
21 Ibid.

12
kesempatan untuk berpartisipasi.22
Sekali ditetapkan, hukum mencerminkan dan secara umum
mendorong kondisi-kondisi sosial yang melahirkan hukum itu. Pranata-
pranata hukum dan pengetahuan hukum menciptakan peranan-peranan
dan harapan-harapan yang mendorong pokok yang mendasari kondisi-
kondisi sosial, baik dalam hal diterimanya mereka (pranata-pranata hukum
dan pengetahuan hukum) sebagai sesuatu yang benar, maupun dalam hal
menetapkan alasan yang membuat mereka kelihatan yang dibutuhkan dan
adil.23
Pada saat yang bersamaan, pranata-pranata hukum, bahasa dan
penalaran, menyediakan dasar-dasar yang melebihi kondisi-kondisi sosial
yang melahirkan hukum. Penanggulangan perbudakan dan legalisasi
diskriminasi baik di Amerika Serikat maupun pada apartheid di Afrika
Selatan; telah mengubah bagian dalam (inside) pranata-pranata hukum yang
membuat hukum menjadi lebih inklusif; dan juga mengubah bagian luar
(external) hukum, seperti gerakan- gerakan sosial dan pertumbuhan
pengetahuan nonhukum, yang dicontohkan dengan bagaimana hukum dapat
melayanı kebebasan orang.24
Selanjutnya Satjipto Rahardjo menggambarkan hubungan antara
hukum dengan faktor non hukum dalam hal pembuatan undang-undang
dengan konteks sosialnya, dengan mengemukakan beberapa pertanyaan
yaitu, mengapa terdapat perbedaan dalam jenis undang-undang yang dibuat
dalam periode tertentu dari sejarah kita? Mengapa ada kenaikan mencolok
dalam pembuatan Undang-undang dalam kurun waktu tertentu dan
mengapa ada periode lain terjadi penurunan? Apakah yang
sebenarnya terjadi dalam masyarakat waktu itu? Sosiologisasi pembuatan
Undang-undang juga membawa kita kepada pengkajian mengenai
hubungan antara susunan dan keanggotaan badan pembuat Undang-
undang dengan produk Undang-undang yang dihasilkannya. Sejak
Undang- undang itu tidak steril dan merupakan endapan dari realitas

22 Ibid.
23 Ibid.
24 Ibid.

13
masyarakatnya, maka menjadi relevan untuk menanyakan siapa membuat
apa dalam badan tersebut. Sejak itu menggunakan optik sosiologis, maka
badan pembuat Undang-undang tidak lagi kita lihat sebagai pabrik
Undang-undang atau hukum, melainkan merupakan medan di mana
berlaga berbagai kepentingan dan kekuatan dalam masyarakat. 25
Berdasarkan hal tersebut, maka badan pembuat Undang-undang juga
akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan tersebut. Sistem
demokrasi menyalurkannya melalui sistem perwakilan dan pemilihan
umum. Kecenderungan pemikiran, pendidikan, asal-usul sosial dan lain-lain
dari para anggota badan pembuat undang-undang akan turut menentukan
undang-undang yang dibuat. Bangsa-bangsa mengorganisir badan pembuat
Undang-undang menurut kode atau pikiran yang mereka anggap baik. Suatu
bangsa mempunyai kecenderungan kuat ke arah pertimbangan politik,
sedang bangsa lain mengorganisirnya atas dasar kode yang berbeda,
seperti ekonomi.26
f. Polisi Inggris dan pentungannya.
Setelah ratusan tahun polisi Inggris dikagumi sekaligus disegani
dengan ciri khasnya yang hanya bersenjata pentungan, dan penuh dengan
keramahtamahan, akhirnya pada tahun 1994 ini, polisi Inggris terpaksa
meninggalkan ciri khasnya tadi. Di masa lalu, warga Inggris masih menganut
nilai dan persepsi yang positif tentang polisi Inggris. Sifat "kegentlemenan"
warga Inggris tertuang pula pada sikap hormat mereka yang sangat tinggi
pada polisi mereka, sehingga sangat jarang terdengar adanya warga
menyerang atau melawan aparat polisinya.27
Namun, zaman dan nilai yang dianut oleh warga Inggris telah
berubah. Akhir-akhir ini banyak anggota polisi Inggris yang tewas atau
terluka parah akibat diserang oleh penjahat. Konon, menurut the Times,
dalam tahun 1993 saja terjadi 3.370 kali penyerangan terhadap polisi Inggris.
Bahkan, tahun sebelumnya, tahun 1992 terjadi 3.606 kali
penyerangan terhadap polisi Inggris. Wajarlah, Menteri Dalam Negeri
25 Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Jakarta: Genta Publishing, hal. 141.
26
Ibid.
27
Achmad Ali. 1998. Opcit, hal 327.

14
14
Inggris 1994, Michael Howard, telah menyetujui untuk mengganti senjata
pentungan menjadi senjata api berupa pistol kaliber 38. Ini berarti zaman
Sherlock Holmes bagi kepolisian Inggris telah berubah menjadi zaman
James Bond 007.28
Hal di atas, menurut Achmad Ali, membuktikan bahwa perubahan
sosial mau tidak mau menyebabkan pula terjadinya perubahan di bidang
hukum dan penegakan hukum. Sulit untuk diterima dengan akal sehat, jika
tetap ingin dipertahankan tradisi pentungan bagi polisi Inggris untuk
menghadapi bandit-bandit Inggris yang bersenjata M-16, misalnya. Yang
menarik adalah reaksi warga Inggris terhadap dipersenjatai pistol para
polisi Inggris. Terdapat 30% responden dari 1.000 responden menyetujui
polisi Inggris dipersenjatai pistol, 37% responden tidak secara tegas, tetapi
menyatakan jika diperlukan mereka tidak keberatan polisi Inggris
dipersenjatai pistol. Sisanya 23% sama sekali tidak setuju senjata pentungan
polisi diganti dengan pistol.29
Masa sudah berganti. Penjahat tidak mungkin lagi hanya dihadapi
dengan senyuman dan pentungan. Menurut Achmad Ali, beliau selalu setuju,
jika demi memberantas kriminalitas, para polisipun tidak segan- segan
menggunakan kekerasan, sepanjang kekerasan itu masih melalui prosedur
hukum atau bisa dibuat seolah-olah tidak menyalahi prosedur yang ada.
Harus kita ingat, tugas kepolisian tidak sekadar untuk penegakan
hukum, melainkan juga untuk mewujudkan ketertiban. Dalam tugas
penertiban inilah, mau tidak mau, polisi menggunakan kekerasan. 30
Jadi, kekerasan tidak selamanya identik dengan sesuatu yang
buruk. Contohnya seorang ayah yang berniat mendidik anaknya dan
karena itu memukuli putranya (sampai batas tertentu, misalnya jangan
sampai mencederai putranya), merupakan salah satu contoh penggunaan
kekerasan dengan itiqad baik. Dalam ajaran Islam sendiri, dianjurkan
seorang ayah/suami untuk memukul anak (yang sudah akil baliq) atau
istriyang setelah diperingati atau ditegur beberapa kali tetap tidak mau

28
Ibid.
29 Ibid, hal.
328328328.
30 Ibid.

15
melaksanakan shalat. Jadi, Islampun merestui penggunaan kekerasan
yang berdasarkan hukum. Sikap atau perlakuan keras seyogianya disertai
pula sikap lunak dan welas asih terhadap warga baik-baik. Misalnya,
terhadap oknum sopir-sopir angkutan umum yang ugal- ugalan, di mana
hanya karena ingin menjaring penumpang, melupakan keselamatan
penumpangnya.31
Menurut Achmad Ali, sikap polisi yang paling tepat adalah
menggunakan sikap keras dan tegas, agar oknum sopir seperti itu bisa
jera, dan dengan demikian keselamatan pemakai jalan dapat ditingkatkan.
Akan tetapi, sebaliknya bagi oknum sopir yang berdisiplin dan tertib,
seyogianya pula pihak kepolisian memberinya bonus atau hadiah; baik
dalam wujud materi ataupun mungkin dalam wujud sertifikat penghargaan,
dan namanya dipublikasikan di media massa. 32
Tentu saja setiap masyarakat memiliki ciri khas sikap atau persepsi
mereka terhadap kepolisiannya di masing-masing. Masyarakat Jepang,
contohnya, menyukai kehadiran polisi Jepang dalam melakukan apa yang
di Jepang dikenal sebagai survei kediaman, di mana polisi mendatangi
rumah penduduk dan mengorek segala informasi tentang setiap keluarga
yang berada dalam wilayah tugasnya. Sebaliknya, masyarakat Amerika
Serikat menentang perlakuan seperti itu, di mana mereka paling risih dan
menolak diganggu oleh tugas-tugas kepolisian semacam itu. Jadi, sikap atau
reaksi warga masyarakatpun menentukan aksi yang mana yang dianggap
paling tepat dilakukan oleh pihak kepolisian.33
Salah satu faktor yang menyebabkan kesuksesan polisi Jepang,
adalah tingginya partisipasi warga masyarakatnya untuk membantu pihak
kepolisian Jepang dalam pelaksanaan tugas-tugas negara mereka mereka.
Suatu perbandingan menarik tentang kepolisian Amerika Serikat dan Jepang
pernah dikemukakan oleh David Barley sebagai berikut, di Jepang,
penentuan sifat polisi mendahului perincian tugas-tugas; di Amerika
Serikat, tugas-tugas mendahului perhatian terhadap sifat. Anggota polisi

31 Ibid, hal. 328-329.


32 Ibid, hal.
329329329.
33 Ibid.

16
Amerika dapat memenuhi perincian tanggung jawab mereka, kalau mereka
dapat membimbing rakyat untuk mematuhi hukum, sedangkan yang
diupayakan polisi Jepang tidak terbatas pada kepatuhan, mereka
mengupayakan pula nilai moral masyarakat yang diterima. Mereka tidak
hanya sebagai pelaksana hukum, mereka juga guru yang mengajarkan
kebajikan- kebajikan hukum. Polisi Jepang telah diberi mandat moral
berdasarkan pengakuan tentang betapa pentingnya mereka memberi bentuk
kepada negara. Anggota polisi Amerika telah diberi perintah menurut
hukum, dan diperintahkan supaya tidak menyimpang dari hukum.34
Jadi, apakah polisi kita di Indonesia akan tetap membawa-bawa
senjata api, baik pistol ataupun senjata api yang lebih berat, atau mau
menggunakan pentungan saja ala polisi Inggris di masa lalu, menurut
Achmad Ali, tergantung pada situasi dan kondisi kita sendiri di Indonesia.
Demikian juga, apakan person polisi kita mau dibuat lebih banyak senyum
pepsodentnya atau mau dibikin lebih banyak geramnya, semuanya
tergantung sikon yang ada.35
2. Latihan
Dalam latihan ini, peserta kuliah diharapkan menjawab soal berikut
ini. Setelah menjawab, peserta kuliah diharapkan dapat menelusuri
jawabannya pada bagian uraian.
1. Jelaskan apa yang dimaksud kencing ala Jepang dan ala Barat, bagi
orang Jepang!
2. Jelaskan makna dari teori The law of the nontrasferrability of law oleh
Robert Seidman!
3. Apakah hukum asli Indonesia yang bersifat lokal masih berpengaruh di
dalam perkembangan hukum Nasional Indonesia!
4. Jelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketertiban dalam
berlalulitas di Jepang, sehingga masyarakatnya sangat tertib!

34 Ibid, hal.
330330330.
35 Ibid.

17
5. Jelaskan faktor yang berpengaruh sehingga polisi Inggris yang terkenal
dengan pentungannya, kemudian diganti dengan senjata apai berupa
pistol!
6. Tuliskan faktor-faktor non hukum apa saja yang berpengarus terhadap
hukum!
3. Rangkuman
 Di Jepang, jika kereta apinya mengalami keterlambatan, apapun
alasannya, entah faktor teknis, faktor manusianya ataupun faktor lain, maka
Menteri Perhubungannya sudah tampil di televisi memohon maaf sebesar-
besarnya dan berulang-ulang kali menghormat ala Jepang rnenundukkan
tubuhnya. Artinya penegakan hukum Jepang sangat dipengaruhi oleh
kultur mereka.
 Teori the law of the non transferrability of law (hukum tentang tidak
dapatnya hukum ditransfer) dari Robert B. Seidmann, yang pada intinya
memandang hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu
masyarakat ke masyarakat lain yang memiliki perbedaan kultur.
 Achmad Ali berpendapat bahwa sebagian besar asas-asas, kaidah-
kaidah, dan aturan-aturan hukum asli kita tak dapat kita gunakan lagi
untuk pembentukan hukum nasional Indonesia di masa yang akan
datang. Banyak contoh yang dapat kita gunakan. Asas kompromi yang
merupakan ciri hukum asli kita jelas bertentangan dengan asas hukum
acara tidak mengenal dan tidak mentolerir perdamaian dalam perkara
pidana. Efek negatif dari pengaruh asas) sering kita temukan dalam apa
yang penulis namakan sebagai peradilan pojok jalan antara oknum petugas
Polantas dengan, oknum pelanggar aturan lalu lintas.
 Dalam pembentukan hukum nasional, seyogianya kita menyeleksi
kembali asas- asas hukum, kaidah-kaidah hukum maupun aturan-aturan
hukum yang akan kita tuangkan dalam perundang-undangan nasional
kita, baik yang bersumber dari hukum asli kita maupun yang bersumber
dari hukum asing.
 Jika terjadi perubahan masyarakat, maka hukum seyogianya
menyelaraskan diri dengan perubahan perubahan tersebut, apabila tidak

18
18
mampu menyeseuaikan diri, maka niscaya hukum akan kehilangan
kepercayaan dari warga masyarakat pencari keadilan. Wibawa hukum
secara bertahap akan terkikis; dan kalau yang demikian terjadi,
kehidupan akan dilanda dengan anarkhis.
 Salah satu perubahan hukum yang menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat adalah pengaturan tertib lalu lintas di Metropolitan Tokyo,
Jepang. Akibat pemanfaatan kecanggihan berbagai hasil teknologi modern,
maka terjadi pula perubahan cara pengendalian lalu lintas di Tokyo.
Kepolisian Metropolitan Tokyo mengatur lalu lintas jalan, termasuk traffic
light bukan lagi dan pojok-pojok jalan seperti di Indonesia, melainkan
dari satu pusat pengendaIian di Markas Kepolisian Tokyo.
 Satjipto Rahardjo menggambarkan hubungan antara hukum dengan
faktor non hukum dalam hal pembuatan undang-undang dengan konteks
sosialnya, badan pembuat Undang-undang akan mencerminkan
konfigurasi kekuatan dan kepentingan tersebut. Sistem demokrasi
menyalurkannya melalui sistem perwakilan dan pemilihan umum.
Kecenderungan pemikiran, pendidikan, asal-usul sosial dan lain-lain dari
para anggota badan pembuat undang-undang akan turut menentukan
undang-undang yang dibuat.
 Perubahan sosial mau tidak mau menyebabkan pula terjadinya
perubahan di bidang hukum dan penegakan hukum. Sulit untuk diterima
dengan akal sehat, jika tetap ingin dipertahankan tradisi pentungan bagi
polisi Inggris untuk menghadapi bandit-bandit Inggris yang bersenjata M-
16.
 Suatu perbandingan menarik tentang kepolisian Amerika Serikat dan
Jepang pernah dikemukakan oleh David Barley sebagai berikut, di
Jepang, penentuan sifat polisi mendahului perincian tugas-tugas; di
Amerika Serikat, tugas-tugas mendahului perhatian terhadap sifat.
 Anggota polisi Amerika dapat memenuhi perincian tanggung jawab
mereka, kalau mereka dapat membimbing rakyat untuk mematuhi hukum,
sedangkan yang diupayakan polisi Jepang tidak terbatas pada
kepatuhan, mereka mengupayakan pula nilai moral masyarakat yang

19
19
diterima. Mereka tidak hanya sebagai pelaksana hukum, mereka juga
guru yang mengajarkan kebajikan-kebajikan hukum. Polisi Jepang telah
diberi mandat moral berdasarkan pengakuan tentang betapa pentingnya
mereka memberi bentuk kepada negara. Anggota polisi Amerika telah
diberi perintah menurut hukum, dan diperintahkan supaya tidak
menyimpang dari hukum.
4. Pustaka
1. Achmad Ali . 1998. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta:
Yaesrif Watampone.
2. Gerald Turkel. 1996. Law dan Society: Critical Approaches. USA: Allyn &
Bacon.
3. Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah. Jakarta: Genta Publishing.

D. Tugas dan Lembar Kerja


Pada tugas ini peserta kuliah atau mahasiswa diharapkan dapat
mengerjakan tugas, yaitu peserta kuliah membuat deskripsi tentang bagaimana
faktor non hukum berpengaruh terhadap hukum, baik dalam pembuatan
maupun dalam pelaksanaannya.
Tugas ini dapat didiskusikan bersama dengan peserta kuliah yang lain
dengan catatan bahwa peserta kuliah telah menyelesaikan tugasnya secara
mandiri. Tugas ini juga dapat dibahas pada pertemuan di dalam kelas.
E. Tes Formatif
Jawablah pertanyaan di bawah ini, dengan memilih salah satu alternatif
jawaban yang benar.
1. Di Jepang, jika kereta apinya mengalami keterlambatan, apapun
alasannya, entah faktor teknis, faktor manusianya ataupun faktor lain,
maka Menteri Perhubungannya sudah tampil di televisi memohon maaf
sebesar-besarnya dan berulang-ulang kali menghormat ala Jepang
rnenundukkan tubuhnya. Artinya penegakan hukum Jepang sangat
dipengaruhi oleh kultur mereka.
a. B
b. S
2. Teori the law of the non transferrability of law (hukum tentang tidak

20
20
dapatnya hukum ditransfer) dari Robert B. Seidmann, yang pada intinya
memandang hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu
masyarakat ke masyarakat lain yang memiliki perbedaan kultur.
a. B
b. S
3. Achmad Ali berpendapat bahwa sebagian besar asas-asas, kaidah-
kaidah, dan aturan-aturan hukum asli kita tak dapat kita gunakan lagi
untuk pembentukan hukum nasional Indonesia di masa yang akan datang.
Banyak contoh yang dapat kita gunakan. Asas kompromi yang merupakan
ciri hukum asli Indonesia jelas bertentangan dengan asas hukum acara
yang tidak mengenal dan tidak mentolerir perdamaian
dalam perkara pidana.
a. B
b. S
4. Dalam pembentukan hukum nasional, tidak perlu menyeleksi kembali
asas- asas hukum, kaidah-kaidah hukum maupun aturan-aturan hukum
yang akan kita tuangkan dalam perundang-undangan nasional kita, baik
yang bersumber dari hukum asli kita maupun yang bersumber dari
hukum asing, tetapi harus sesuai dengan hukum lokal Indonesia saja.
a. B
b. S
5. Jika terjadi perubahan masyarakat, maka hukum seyogianya
menyelaraskan diri dengan perubahan perubahan tersebut, apabila tidak
mampu menyeseuaikan diri, maka niscaya hukum akan kehilangan
kepercayaan dari warga masyarakat pencari keadilan. Wibawa hukum
secara bertahap akan terkikis; dan kalau yang demikian terjadi, kehidupan
akan dilanda dengan anarkhis.
a. B
b. S
6. Salah satu perubahan hukum yang menyesuaikan dengan
perkembangan masyarakat adalah pengaturan tertib lalu lintas di
Metropolitan Tokyo, Jepang. Akibat pemanfaatan kecanggihan berbagai
hasil teknologi moderen, maka terjadi pula perubahan cara

21
21
pengendalian lalu lintas di Tokyo. Kepolisian Metropolitan Tokyo
mengatur lalu lintas jalan, melalui satu pusat pengendaIian di Markas
Kepolisian Tokyo.
a. B
b. S
7. Satjipto Rahardjo menggambarkan hubungan antara hukum dengan
faktor non hukum dalam hal pembuatan undang-undang dengan konteks
sosialnya, badan pembuat Undang-undang akan mencerminkan
konfigurasi kekuatan dan kepentingan tersebut. Sistem demokrasi
menyalurkannya melalui sistem perwakilan dan pemilihan umum.
Kecenderungan pemikiran, pendidikan, asal-usul sosial dan lain-lain dari
para anggota badan pembuat undang-undang tidak turut menentukan
undang-undang yang dibuat.
a. B
b. S
8. Perubahan sosial mau tidak mau menyebabkan pula terjadinya
perubahan di bidang hukum dan penegakan hukum. Sulit untuk diterima
dengan akal sehat, jika tetap ingin dipertahankan tradisi pentungan bagi
polisi Inggris untuk menghadapi bandit-bandit Inggris yang bersenjata M-
16. Ini menunjukkan besarnya pengaruh non hukum terhadap hukum.
a. B
b. S
9. Suatu perbandingan menarik tentang kepolisian Amerika Serikat dan
Jepang pernah dikemukakan oleh David Barley sebagai berikut, di
Jepang, penentuan sifat polisi mendahului perincian tugas-tugas; di
Amerika Serikat, tugas-tugas mendahului perhatian terhadap sifat polisi.
a. B
b. S
10. Anggota polisi Amerika dapat memenuhi perincian tanggung jawab
mereka, kalau mereka dapat membimbing rakyat untuk mematuhi
hukum, sedangkan yang diupayakan polisi Jepang tidak terbatas pada
kepatuhan, mereka mengupayakan pula nilai moral masyarakat yang
diterima. Mereka tidak hanya sebagai pelaksana hukum, mereka juga

22
22
guru yang mengajarkan kebajikan-kebajikan hukum. Ini menunjukkan
bahwa kultur penegak hukum sangat berpengaruh dalam penegakan
hukum.
a. B
b. S
-------------------------------kunci jawaban----------------------------
1. a
2. a
3. a
4. b
5. a
6. a
7. b
8. a
9. a
10. a
F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Apabila anda merasa telah menjawab tes formatif dengan baik,
maka bandingkanlah jawaban anda tersebut dengan jawaban yang telah
disediakan. Jika hasil perhitungan menunjukkan anda telah mencapai tingkat
penguasaan sama atau lebih besar dari 80%, Anda dipersilahkan untuk
meneruskan ke kegiatan belajar berikutnya.
Untuk mengetahui persentase penguasaan materi pada kegiatan
belajar 1 ini, anda cukup menghitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Jumlah jawaban benar yang benar
------------------------------------------------------ x 100 = %
Jumlah soal

23
23

Anda mungkin juga menyukai