Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kolestasis
3.1.1 Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk dalam duodenum dalam
jumlah normal. Gangguan aliran empedu dapat terjadi mulai dari membran basolateral
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Kolestasis dari segi
klinis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti
bilirubin, asam empedu, dan kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh. Kolestasis secara
patologi anatomi adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier
(Arief, 2012).
North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
mendefinisikan kolestasis sebagai kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total
kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar
bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total (Benchimol dkk, 2009) .

3.1.2 Epidemiologi
Insiden dari kolestasis neonatus di negara maju sekitar 1 dalam 2.500 kelahiran hidup,
sedangkan di negara berkembang sepeti India insiden kolestasis ± 30 %. (Rastogi dkk, 2009),
di Turki dilaporkan kolestasis intrahepatik yang terjadipada minggu pertama kehidupan
sebesar 51.1 % (Ipek dkk, 2013), suatu sistematik review dari 17 studi dengan peserta 1692
bayi mendapatkan penyebab kolestasis yaitu hepatitis neonatal idiopatik 26 %, atresia biliary
25.89 %, infeksi 11.47 % dimana sepsis sebagai penyebab 24.74 %, nutrisi parenteral 6.44 %,
penyakit metabolik 4.37 %, defisiensi α-1 antitripsin 4.14 %, asfiksia perinatal 3.66 %
(Gotesman dkk, 2015)
Di Indonesia sendiri belum ada data global angka kejadian kolestasis maupun
penyebabnya. Penelitian di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo (Surabaya) antara
tahun 1999-2004, dari 19270 penderita rawat inap didapat 96 penderita dengan neonatal
kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5
(5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%) (Arief, 2012).

3.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi anatomi, kolestasis secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu
kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik.
a. Kolestasis ekstrahepatik adalah suatu keadaan yang dapat mengakibatkan obstruksi/
sumbatan saluran empedu baik total maupun parsial (Modul kolestasis, 2009).
b. Kolestasis intrahepatik berupa gangguan yang terjadi pada tingkat hepatosit ataupun
elemen dari duktus biliaris yang ada di dalam hati (Modul kolestasis, 2009).
Kelainan primer pada hepatosit menyebabkan gangguan dan pembentukan aliran
empedu. Hepatosit pada neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit, fungsi
transport prematur, dan kemampuan sintesis asam empedu masih rendah sehingga mudah
terjadi kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri dan parasit.
Kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada
sepsis (Nazer, 2010).

3.1.4 Etiologi
Penyebab dari kolestasis ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Etiologi kolestasis
Obtructive cholestasis

Biliary atresia

Choledochal cyst

Gallstones or biliary sludge

Alagille syndrome

Inspissated bile

Neonatal sclerosing cholangitis

Congenital hepatic fibrosis/Caroli’s disease

Hepatocellular cholestasis

Idiopathic neonatal hepatitis

Viral infection

Cytomegalovirus

HIV

Bacterial infection

Urinary tract infection


Sepsis

Syphilis

Genetic/metabolic disoders

α1-antitrypsin deficiency

Tyrosinemia

Galactosemia

Hypothyroidism

Progressive fa,ilial intrahepatic cholestasis (PFIC)

Cytic fibrosis

Panhypopituitarism

Toxic/secondary

Parenteral nutrition-associated cholestasis

Sumber: Moyer (2004)

2.1.5 Patogenesis kolestasis intrahepatik


Kolestasis intrahepatik terjadi akibat gangguan sintesis dan/atau sekresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasi dalam hati.
Sekresi empedu normal tergantung dari fungsi beberapa transporter pada membran hepatosit,
sel epitel duktus biliaris (kolangiosit), dan pada struktur serta integritas fungsi aparatus
sekresi empedu. Berbagai keadaan/penyakit yang memengaruhi fungsi normal tersebut akan
menimbulkan kolestasis. Patogenesis kolestasis intrahepatik dapat dijabarkan sebagai berikut
(Juffrie dkk, 2011) :
a. Gangguan transporter (Na+ K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein
NCTP) pada membran hepatosit, sehingga ambilan asam empedu pada membran
tersebut berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada pengguanaan estrogen
atau akibat endotoksin.
b. Berkurangnya transport intraseluler karena perubahan keseimbangan kalsium atau
kelainan mikrotubulus akibat toksin atau pengguanaan obat.
c. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu atipik di
kanalikulus yang berpotensi mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati.
Keadaan ini dapat terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen
perikanalikulus atau berkurangnya transporter MDR 3 akibat pemakaian androgen,
atau pengaruh endotoksin.
d. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular, sehingga terjadi regurgitasi bahan
empedu akibat lesi pada tight junction, misalnya pada pemakaian estrogen.
e. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.

2.1.6 Manifestasi klinis kolestasis


Manifestasi kinis kolestasis adalah ikterus atau kulit dan mukosa berwarna kuning
yang berlangsung lebih dari 3 minggu, urin berwarna lebih gelap, warna tinja lebih pucat atau
fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik). Manifestasi klinis berupa pruritus dapat muncul
apabila berlangsung lama.Pasien dengan tinja berwarna dempul atau akholik harus diberikan
perhatian khusus dan pemeriksaan yang lebih lanjut karena merupakan manifestasi klinis
yang biasa ditemukan pada kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier
(Hadinegoro dkk, 2007 ; Hutapea dkk, 2008). Manifestasi klinis kolestasis dijabarkan pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Manifestasi klinis kolestasis

2.1.7 Diagnosis kolestasis


Tujuan utama mengevaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara
kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik sedini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier
ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis,
galaktosemia atau endokrinopati dapat diatasi dengan medikamentosa.(Arief,2012)
a. Anamnesis
1. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akholis persisten harus
dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.
2. Hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau berat
badan lahir rendah, sedangkan atresia bilier sering terjadi pada anak perempuan
dengan berat lahir normal, dengan gejala klinis ikterus dan tinja akholis lebih
awal.
3. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu demam atau
disertai tanda-tanda infeksi.
4. Riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kelainan genetik/metabolik perlu
dicurigai (fibro-kistik atau defisiensi α 1-antitripsin).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mencari etiologi atau ada tidaknya
komplikasi kolestasis (Modul kolestasis, 2009)
Pada mata dapat dilihat adanya katarak, choreoretinitis yang mengarah pada
infeksi TORCH. Terdapatnya bising jantung pada sindrom alagille, pada abdomen
bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila didapatkan kosistensi hepar keras, tepi
tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat diperkirakan hepar sudah
mengalami fibrosis atau sirosis. Kulit didapatkan icterus dan phimosis dapat sebagai
faktor risiko ISK.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan lebih lanjut untuk
mengetahui tipe kolestasis. Metode pemeriksaan yang dilakukan
mencakuppemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati, dan kolangiografi
intraoperatif (Bisanto, 2011)

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang
dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, sehingga dapat dibedakan antara
kolestasis dengan hiperbilirubinemia fisiologis. Kolestasis dikatakan apabila
didapatkan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang
dari 5 mg/dl atau kadar bilirubin direk lebih dari 20% apabila kadar bilirubin
total lebih dari 5 mg/dl.
b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan gamma GT < 5
kali lebih mengarah pada kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila didapatkan
peningkatan SGOT < 5 kali dengan peningkatan gamma GT > 5 kali,
mengarahkan kepada kolestasis ekstrahepatik.
c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 x nilai normalmenunjukan
adanya proses infeksi.
d. Pemeriksaan alkali fosfatasse biasanya meningkat pada pasien kolestasis.
e. Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan obstruksi.
f. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya
normal tetapi dapat memanjang yang dapat dikoreksi dengan vitamin K
parenteral, kecuali telah terjadi gagal hati.
g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan adanya hipoglikemia.
h. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri kemungkinan adanya infeksi
toksoplasma, cytomegalovirus, rubela, dan herpes.
i. Pemeriksaan FT4 dan TSH.
j. Pemeriksaan kultur bakteri (kultur urin dan darah).
k. Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar α-1 antitripsin.
Khusus untuk pemeriksaan tinja yang berwarna pucat (akholik) biasa disebut
dengan pemeriksaan tinja 3 porsi (dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam
sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja
akholik. Contoh cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah:
a. Porsi I diambil pada pukul 06.00 – 14.00
b. Porsi II diambil pada pukul 14.00 – 22.00
c. Porsi III diambil pada pukul 22.00 – 06.00
Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap,
kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Kolestasis
ekstrahepatik dicurigai apabila dalam beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil
tinja yang berwarna dempul terus-menerus. Pasien kolestasis intrahepatik biasanya
menunjukkan hasil pemeriksaan tinja yang normal atau berfluktuasi (Tufano dkk,
2009; Oswari 2013).
2. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan
untuk mendeteksi kolestasis pada pasien. Ukuran, keadaan hati dan kandung empedu
dapat diketahui melalui pemeriksaan USG. Pemeriksaan tersebut relatif murah dengan
teknik yang sangat sederhana serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi dapat
mendeteksi adanya tanda triangular cord (densitas eksogenik triangular) di bagian
atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas
100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik.(Hadinegoro
dkk, 2007 ; Juffrie dkk, 2011; Roquete, 2000)
Pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam sebelum dilakukan
pemeriksaan USG,kemudian setelah dilakukan USG yang pertama pasien diberikan
minum dan diperiksa USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan
tampak ≥ 1,5 cm, sedangkan pada 60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan
tampak (Roquete, 2000).
Pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan kandung empedu normal
saat puasa dan pada umumnya akan terisi cairan empedu, sehingga akan mudah
terlihat dengan pemeriksaan USG. Kandung empedu akan mengalami kontraksi
setelah pasien diberikan minum, sehingga ukurannya lebih kecil dan tidak terlihat
dengan pemeriksaan USG. Pada kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia
bilier terjadi karena proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan
kandung empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan USG (Hadinegoro dkk,
2007; Bisanto, 2011)
3. Biopsi Hati
Biopsi hati merupakan cara paling akurat untuk mendiagnosis bayi dengan
atresia bilier dengan tingkat akurasi lebih dari 90 %. Pada biopsy hati ditemukan
gambaran atresia bilier yang berupa proliferasi duktus biliaris, bile plug pada duktus
biliaris edema pada portal tract, fibrosis portal (Ovchinsky, 2012)
4. Kolangiografi intraoperatif
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada
kolestasis karena merupakan cara yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya
sangat tinggi, yakni sekitar 98 % untuk mendiagnosis atresia bilier. Dengan cara
memasukan kontras langsung ke dalam kandung empedu, kemudian dilihat aliran
cairan kontras secara langsung dengan fluoroskopi, bila terdapat sumbatan maka
aliran kontras tidak dapat mengalir ke dalam duodenum. Selain dapat menilai aliran
kontras, dapat juga dinilai patensi saluran bilier ductus hepatikus kanan dan kiri
dengan cara dilakukan pengkleman duktuskoledokus (Oswari, 2014)

2.1.8 Tata Laksana


Secragaris besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,
yaitu :

1. Penatalaksanaan kausal
Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolstasis
ekstrahepatikyang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi kasai dan
transplantasi hati merupakan cara yang efektif untuk tatalaksanyanya. Tindakan
operasi kasai efektif bila dikerjakan pada umur < 6 mingu dengan angka
keberhasilan mencapai80-90%, apabila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka
keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tata laksana kolestasis intrahepatik dengan
medikamentosa sesuai dengn penyebab merupakan tata laksana yang tepat
(benchimol, 2009; Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011).

2. Medikamentosa
Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk meningkatkan
aliran empedu. Medikamentosa yang biasanya diberikan antara lain: (Putra dan
Karyana, 2010)
a. Asam Ursodeoksikolat
Merupakan asam empedu tersier endogen yang bersifat hidrofilik dan
merupakan kompetitif binding terhadap asam empedu toksik. Asam
ursodeoksikolat berperan sebagai hepatoprotektor, flow induser, karena
meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel
hati. Dosis 10-30 mg/kgbb/hari.
b. Fenobarbital
Fenobarbital digunakan sebagai antipruritus dan dapat mengurangi
kuning. Mekanisme kerja obat tersebut yaitu meningkatkan aliran empedu
dengan cara menginduksi enzim UDP-Glukoronil transferase, sitokrom P-450
dan Na+ K+ATPase, namun pada bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan
mengganggu metabolisme beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga
dapat mengeksaserbasi riketsia. Dosis yang diberikan: 3-10 mg/kgBB/hari
dibagi dalam dua dosis.
c. Rimfampisin
Rifampisin berfungsi menghambat uptake asam empedu oleh hepatosit
serta dapat menghilangkan rasa gatal. Dosis: 5-10 mg/kgBB/hari.
3. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan hati
yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Bisanto, 2011).

2.1.9 Prognosis
Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis. Prediktor untuk
prognosis buruk adalah kuning hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul,
riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapatnya inflamasi hebat
pada hasil biopsi hati. Faktor yang berpengaruh untuk hasil yang baik pada pasien atresia
bilier adalah pengalaman operator dan sentral rujukan, luasnya kerusakan hati pada saat
operasi, frekuensi kolangitis, dan pasien dengan sindom tertentu akan memiliki prognosis
lebih jelek. Prognosis lebih baik dimiliki oleh sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi
dibandingkan atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal akibat metabolik maupun genetik
(prognosis 60% meninggal) karena dihubungkan dengan tersedianya antimikroba spesifik.
Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar 60-80% (Putra dan
Karyana, 2010; Bisanto, 2011).

Anda mungkin juga menyukai