Anda di halaman 1dari 145

SKRIPSI

UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG


BIJI BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)

Oleh :
SUTANTO
F14102021

2006
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sutanto. F14102021. Uji Performansi Mesin Penyosoh dan Penepung Biji
Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv). Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Rokhani
Hasbullah, MSi. 2006.

RINGKASAN

Pola konsumsi dan produksi nasional sampai sekarang sangat ditekankan


pada beras. Ketergantungan kita pada beras akan merupakan suatu bahaya besar.
Usaha-usaha diversivikasi pertanian serta usaha penganekaragaman bahan pangan
sebagai sumber energi perlu segera dikembangkan, terutama penganekaragaman
bahan pangan lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Salah satu contohnya
adalah tanaman hotong (Setaria italica (L) beauv.), sejenis tanaman sorgum dari
pulau Buru (Maluku).
Beberapa permasalahan dalam penanganan pascapanen buru hotong adalah
karakteristik biji/malai yang berbeda dengan padi baik ukuran maupun
karakteristik fisik bahan lainnya seperti massa jenis dan kadar air bahan, sehingga
pemilihan alat/mesin yang digunakan untuk perontokan maupun penggilingan
hotong perlu pengkajian khusus. Penanganan pascapanen hotong meliputi
kegiatan panen, pengeringan malai, perontokan, pembersihan, penyosohan,
penepungan, dan penyimpanan.
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kadar air
terhadap penyosohan dan penepungan buru hotong. Secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan mutu biji hotong, mengetahui
kinerja mesin penyosoh dan penepung hotong.
Penelitian ini dilakukan dari Februari sampai Mei 2006. Penelitian ini
dilakukan di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants), Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan untuk
penelitian adalah malai tanaman buru hotong, gas dan bahan-bahan kimia untuk
uji proksimat (K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3 dan HCl). Peralatan yang
dipergunakan selama penelitian adalah mesin penyosoh, mesin penepung,
pengering tipe rak, stop watch, timbangan dan meteran, fasilitas bengkel, oven,
tabung erlenmeyer, desikator, cawan, labu soxhlet dan labu lemak, gelas ukur, kat
dan timbangan analitik. Kegiatan penelitian meliputi penelitian pendahuluan
diantaranya adalah untuk mengetahui karakteristik biji hotong dan kemudian
dilakukan pengeringan sebagai perlakuan kadar air yakni 10.1%, 7.5%, dan 6.6%,
penelitian utama yang bertujuan untuk mengetahui kinerja mesin penyosoh dan
penepung biji hotong, pengolahan data, dan pembuatan laporan.
Dimensi butir biji hotong adalah (1.57 x 1.26 x 0.96) mm dan panjang
malai rata-rata sebesar (15.91 ± 3.58) cm dan diameter biji hotong sebesar (1.24 ±
0.03) mm. Pengamatan tentang sifat fisik bahan menunjukkan bahwa massa jenis
rata-rata biji hotong adalah (0.64 ± 0.01) g/ml. Berat 1000 biji pada biji hotong
sebesar (1.19 ± 0.03) g. Berat malai pada biji hotong mempunyai massa sebesar
(4.17 ± 1.96) g, sedangkan persentase berat biji per malai sebesar (80.27 ±
2.53)%. Biji hotong memiliki kadar protein (13.30 ± 0.18)% dan karbohidrat
(67.66 ± 0.19)%, lemak (3.86 ± 0.22)% dan kadar abu (3.35 ± 0.10)% serta kadar
(11.83 ± 0.61)%. Kandungan energi yang terdapat dalam hotong adalah 359
kal/100 gr. Malai hotong pada bagian tengah memiliki massa jenis dan kandungan
gizi paling tinggi dibandingkan dengan bagian ujung dan pangkal, sedangkan
diameter biji pada bagian pangkal malai lebih besar dari pada bagian ujung dan
tengah malai.
Biji hotong mempunyai sifat bahan liat. Bahan liat akan lebih mudah
tersosoh jika bahan dalam keadaan kering, begitu juga sebaliknya jika kadar air
terlalu tinggi akan sulit tersosoh, sedangkan untuk menghasilkan bahan tepung
yang halus maka diperlukan kadar air yang tinggi namun akan mengakibatkan
kapasitas yang rendah.
Kadar air berpengaruh terhadap penyosohan biji hotong dalam hal
kapasitas, rendemen, susut tercecer, efektifitas kipas dan kualitas penyosohan.
Semakin tinggi kadar air biji hotong maka kapasitas penyosohan menjadi
meningkat, kapasitas penyosohan tertinggi diperoleh pada kadar air 11.1% sebesar
26.32 kg/jam. Kapasitas penyosohan terendah diperoleh pada kadar air 6.2%
sebesar 13.25 kg/jam. Besarnya rendemen penyosohan pada kadar air 11.1%,
8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 60.17%, 62.80% dan 68.97%. Besarnya
susut tercecer penyosohan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut
sebesar 6.58%, 3.51% dan 5.83%. Persentase biji tersosoh tertinggi dan persentase
biji pecah terendah diperoleh pada saat penyosohan pada kadar air 6.2%yaitu
berturut-turut sebesar 93.00% sebesar 3.97%.
Kadar air berpengaruh terhadap penepungan biji hotong dalam hal
kapasitas, rendemen, susut tercecer, dan kualitas penepungan. Kapasitas
penepungan tertinggi diperoleh pada kadar air 8.5% sebesar 7.282 kg/jam.
Kapasitas penepungan terendah diperoleh pada kadar air 11.1% sebesar 6.618
kg/jam. Besarnya rendemen penepungan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2%
berturut-turut sebesar 88.52%, 86.60% dan 84.64%. Besarnya susut tercecer
penepungan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 11.48%,
13.40% dan 15.36%. Modulus kehalusan tertinggi pada proses penepungan buru
hotong adalah pada kadar air 8.5% sebesar 1.63 dan terendah sebesar 1.25 pada
kadar air 11.1%. Ukuran partikel yang dihasilkan dalam proses penepungan pada
kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 0.014 inchi, 0.016 inchi
dan 0.015 inchi.
Berdasarkan pertimbangan kadar air biji hotong yang digunakan,
pengoperasian mesin penyosoh dan penepung biji hotong akan lebih optimal pada
saat kadar air biji hotong sebesar 11.1%. Mesin penyosoh dan penepung buru
hotong perlu dikembangkan agar diperoleh performansi penyosohan dan
penepungan yang bagus.
UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG BIJI
BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
SUTANTO
F14102021

2006
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG BIJI


BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
SUTANTO
F14102021
Dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1984
Di Pekalongan
Tanggal Lulus :
Bogor, Agustus 2006

Disetujui oleh :

Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi


Dosen Pembimbing

Mengetahui :

Dr. Ir. Wawan Hermawan, M. S.


Ketua Departemen Teknik Pertanian
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan, pada tanggal 15 Februari 1984. Penulis


adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Satimbul dan Ibu
Chotijah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Bojong Wetan pada
tahun 1996, kemudian penulis melanjutkan pendidikan lanjutan pada SLTPN 1
Bojong, dan lulus pada tahun 1999, pada tahun yang sama penulis
melanjutkanpendidikan lanjutan tingkat atas di SMUN 1 Kajen kabupaten
Pekalongan dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002, penulis masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Program Studi Teknik Pertanian,
Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Pada tahun 2005, penulis mengambil Sub Program Studi (SPS) Teknik
Biosistem. Penulis melaksanakan Praktek Lapangan dengan judul “Mempelajari
Teknik Pengolahan Pascapanen pada Pembuatan Gula di Pabrik Gula Madukismo
Yogyakarta”, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Uji Performansi Mesin Penyosoh dan
Penepung Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv)”.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan
yakni Himpunan Mahasiswa Pekalongan (HIMAPEKA), Koperasi Mahasiswa
IPB (KOPMA), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM
FATETA), Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA), Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Kerokhanian ISLAM Teknik
Pertanian IPB (Rohis TEP). Pengalaman kerja penulis adalah magang kerja di
Dinas Pertanian Sukoharjo, sebagai staf guru bantu matematika pada SDN 1
Bengle Ciampea Bogor, dan sebagai staf pengajar untuk mata pelajaran
matematika pada lembaga bimbingan belajar College Education.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT atas karunia-Nya yang
begitu besar kepada penulis, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini. Tugas akhir ini berjudul “Kajian Teknik Penyosohan dan
Penepungan Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv)”.
Penyelesaian tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Departemen Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan, bantuan dana penelitian, arahan dan nasehatnya selama
masa studi, penelitian dan penyelesaian tugas akhir.
2. Dr. Ir. Dyah Wulandani, MSi dan Dr. Ir. Dewa Made Subrata, MAgr
selaku dosen penguji atas nasehat dan masukannya terhadap skripsi
penulis.
3. Staf di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants), bapak Basri,
bapak Hendra, bapak Ujang, bapak Tolib dan ibu Iin serta staf AP4.
4. Yang penulis sayangi bapak, mamak, dan adik-adikku atas segala kasih
sayang, doa, nasehat, dan dukungan moril dan material yang tiada
terhitung kepada penulis.
5. Ibu Reggy, Ibu Waysima, Pak Impron, dan Pak Dinarwan yang telah
banyak membantu penulis selama masa studi.
6. Teman-teman TEP’39 yang selalu setia dengan penulis.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas bantuan
dan dukungannya.
Mengingat keterbatasan penulis, kritik dan saran membangun sangat
penulis harapkan dari pembaca, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua
pihak yang membutuhkannya.
Juni 2006

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
RINGKASAN ........................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iv
RIWAYAT HIDUP................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ........................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Tujuan ............................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 4
A. Tanaman Buru Hotong ................................................... 4
B. Teknik Budidaya Buru Hotong ...................................... 6
C. Penanganan Pascapanen Buru Hotong ........................... 8
D. Mesin Penyosoh Biji-Bijian ............................................ 14
E. Mesin Penepung Biji-bijian ........................................... 17
III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 21
A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................ 21
B. Bahan dan Alat ............................................................... 21
C. Metode Penelitian .......................................................... 22
IV. MESIN PENYOSOH BIJI BURU HOTONG ...................... 30
A. Prinsip Kerja Mesin ....................................................... 30
B. Mekanisme Kerja Mesin ................................................ 31
C. Konstruksi Mesin ........................................................... 32
V. MESIN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG ...................... 38
A. Prinsip Kerja Mesin ....................................................... 38
B. Mekanisme Kerja Mesin ................................................ 39
C. Konstruksi Mesin ........................................................... 40
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 45
A. Karakteristik Fisiko-Kimia Buru Hotong ...................... 45
1. Kandungan Gizi Biji Buru Hotong ................................. 45
2. Dimensi Butir Biji Hotong .............................................. 46
3. Massa Jenis Biji Hotong ................................................. 47
4. Perontokan secara manual ............................................... 49
5. Pengeringan ..................................................................... 50
B. Uji Performansi Mesin Penyosoh Buru Hotong ............ 52
a. Kapasitas Penyosohan Buru Hotong .................. 52
b. Rendemen Penyosohan Buru Hotong ................. 53
c. Efektifitas Kipas Penyosohan Buru Hotong ....... 55
d. Susut Tercecer Penyosohan Buru Hotong .......... 57
e. Kualitas Penyosohan Penyosohan Buru Hotong . 58
C. Uji Performansi Mesin Penepung Buru Hotong ............. 60
a. Kapasitas Penepungan Buru Hotong ............... 60
b. Rendemen Penepungan Buru Hotong .............. 62
c. Susut Tercecer Penepungan Buru Hotong ....... 63
d. Derajat Kehalusan Penepungan Buru Hotong 64
e. Ukuran Partikel Tepung Buru Hotong ............ 66
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 68
A. KESIMPULAN ............................................................... 68
B. SARAN ........................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 70
LAMPIRAN ......................................................................................... 73
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan gizi biji buru hotong dibandingkan dengan biji


hermada dan beras........................................................................ 5

Tabel 2. Kandungan gizi buru hotong ........................................................ 45

Tabel 3. Dimensi buru hotong ................................................................... 47

Tabel 4. Massa jenis dan persentase berat biji hotong per malai hotong .. 48

Tabel 5. Perontokan buru hotong secara manual ...................................... 50

Tabel 6. Karakteristik teknik mesin penyosoh biji hotong ........................ 52

Tabel 7. Karakteristik teknik mesin penepung biji hotong ........................ 60


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman buru hotong ........................................................... 4


Gambar 2. Bagan alir kegiatan pascapanen buru hotong......................... 8
Gambar 3. Penyosoh tipe “vertikal abrasive whitening cone” ............... 15
Gambar 4. Penyosoh tipe “horizontal abrasive whitening machine” ..... 15

Gambar 5. Penyosoh tipe ” horizontal friction” atau “jet pearler”……. 16

Gambar 6. Mesin penyosoh buru hotong ................................................ 30

Gambar 7. Skematik proses penyosohan .............................................. 31

Gambar 8. Kipas penyosoh buru hotong ................................................. 34


Gambar 9. Mesin penepung buru hotong ................................................ 38
Gambar 10. Pisau penepung biji hotong ................................................... 39
Gambar 11. Pisau penepung buru hotong yang berputar ......................... 41
Gambar 12. Pisau penepung buru hotong statis ........................................ 41
Gambar 13. Saringan penepung buru hotong ukuran mesh 14 ................ 42
Gambar 14. Pengering buatan tipe rak ...................................................... 51
Gambar 15. Hubungan antara kadar air dengan kapasitas penyosohan .... 53
Gambar 16. Hubungan rendemen penyosohan dengan kadar air .............. 55
Gambar 17. Hubungan efektifitas kipas dengan kadar air ........................ 57
Gambar 18. Hubungan susut tercecer dengan kadar air ............................ 58
Gambar 19. Kualitas penyosohan buru hotong ......................................... 58
Gambar 20. Hubungan kualitas penyosohan dengan kadar air ................. 59
Gambar 21. Hubungan kadar air dengan kapasitas mesin penepung biji
Hotong ................................................................................... 61
Gambar 22. Hubungan kadar air dengan rendemen penepungan biji
hotong .................................................................................... 62
Gambar 23. Hubungan antara kadar air dengan susut tercecer pada
proses penepungan ................................................................ 64
Gambar 24. Kualitas tepung buru hotong berdasarkan meshnya.............. 65
Gambar 25. Hubungan antara kadar air dengan derajat kehalusan tepung
biji hotong ............................................................................. 66
Gambar 26. Hubungan antara kadar air dengan ukuran partikel tepung... 67
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga
ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin, untuk memenuhi
kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tentram, serta sejahtera lahir
dan batin, semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas, dan
merata. Kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat
strategis sehingga negara menetapkan Sistem ketahanan pangan untuk
kepentingan dalam negerinya. Perwujudan ketahanan pangan telah menjadi
komitmen nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN. Dalam rangka
memenuhi komitmen nasional tersebut, pemerintah melalui undang-undang
nomor 25 tahun 2000 tentang Propernas tahun 2000-2004, telah menetapkan
program peningkatan ketahanan pangan. Program ini bertujuan untuk :
1. meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan
konsumsi pangan bersumber pangan ternak, ikan, tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, beserta produk-produk olahannya;
2. mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin
peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih beragam;
3. mengembangkan usaha bisnis pangan;
4. menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat.
Pola konsumsi dan produksi nasional sampai sekarang sangat ditekankan
pada beras. Ketergantungan kita pada beras merupakan suatu bahaya besar.
Usaha-usaha diversivikasi pertanian serta usaha penganekaragaman bahan pangan
sebagai sumber energi perlu segera dikembangkan, terutama penganekaragaman
bahan pangan lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Salah satu contohnya
adalah tanaman buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.), sejenis tanaman sorgum
dari pulau Buru (Maluku).
Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan
sumber daya alam yang sangat potensial, sudah sewajarnya harus mampu
mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya terutama dalam hal pemenuhan
sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral melalui pengembangan
sumber daya lokal. Salah satu produk pertanian lokal yang cukup potensial untuk
dikembangkan adalah buru hotong. Tanaman ini telah lama dikenal dan
dibudidayakan oleh masyarakat pedalaman di Kabupaten Buru. Biji hotong
memiliki kandungan protein dan lemak yang jauh lebih tinggi dari beras,
sedangkan kandungan karbohidratnya hampir sama dengan kandungan
karbohidrat pada beras, dengan demikian biji hotong diharapkan dapat dijadikan
alternatif makanan pokok sumber karbohidrat dengan tetap memperoleh lemak
dan protein.
Masalah peningkatan produksi hotong tidak hanya terbatas pada masalah
sebelum panen, tetapi juga pada masalah pascapanen. Masalah pascapanen pada
penanganan hotong mencakup beberapa aspek diantaranya adalah pengeringan,
penyimpanan dan pengolahan. Cara-cara pengolahan yang diterapkan pada biji-
bijian adalah penggilingan (ground), pengulitan dengan penggilingan berbentuk
silinder (dry roller), perendaman (soaked), pemeletan (pelleted), pengolahan
dengan silinder berisi uap panas (steam rolled), dan penggilingan dengan batu
giling gurinda (Albin dan Drake, 1971).
Penyosohan hotong adalah proses pelepasan kulit ari hotong. Penyosohan
hotong menjadi beras hotong dapat dilakukan dengan cara tradisional, yaitu
menggunakan alu atau lesung, dan dapat pula secara mekanis yaitu menggunakan
alat penggilingan seperti mesin penyosoh hotong. Penyosohan hotong dengan cara
tradisional dilakukan dengan penumbukan memakan waktu lama dan
menghasilkan rendemen hotong sosoh yang rendah. Cara penyosohan hotong
dengan mesin penyosoh agak berbeda dengan yang dilakukan pada penyosohan
gabah menjadi beras, karena hotong tidak mempunyai sekam sebagaimana halnya
dengan gabah, dan sifat kulit bijinya yang sukar dihilangkan.
Penepungan hotong adalah proses penghancuran hotong menjadi butiran
halus hingga menjadi tepung. Penepungan hotong menjadi tepung hotong dapat
dilakukan dengan tradisional, yaitu menggunakan alat penumbuk, dan dapat pula
secara mekanis yaitu menggunakan mesin penepung hotong. Seperti halnya
penyosohan, penepungan secara tradisional dilakukan dengan penumbukan
memakan waktu yang lama dan menghasilkan rendemen tepung yang rendah,
sehingga perlu peningkatan kinerjanya dengan menggunakan mesin penepung.
Hasil penggilingan biji hotong dapat berupa dua produk, yaitu beras
hotong giling dan tepung hotong. Beras hotong giling adalah beras hotong hasil
penggilingan biji hotong dengan suatu alat penggiling untuk menguliti dan
menyosoh biji hotong. Tepung hotong adalah beras hotong giling yang
dihancurkan hingga menjadi halus.
Pengembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) sangat diperlukan untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi sumber daya manusia, menekan
kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Alsintan
mempunyai arti penting pada pertanian pangan baik alat prapanen, alat panen
maupun pascapanen. Faktor kapasitas dan ergonomika serta kualitas mesin
merupakan alasan utama pembuatan alat.
Mesin penyosoh dan penepung buru hotong telah dirancang oleh
Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor, namun demikian masih perlu penyempurnaan agar dihasilkan kinerja yang
lebih baik.

B. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kadar air
terhadap penyosohan dan penepungan buru hotong. Secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk :
1. mengetahui karakteristik dan mutu biji buru hotong pada tiap bagian yaitu
bagian ujung, tengah dan pangkal malai,
2. mengetahui kinerja mesin penyosoh biji hotong,
3. mengetahui kinerja mesin penepung biji hotong.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN BURU HOTONG


Tanaman hotong merupakan sejenis alang-alang yang tumbuh di dataran
rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman ini
termasuk dalam famili Gramineae (Poacceae), genus Setaria, dan spesies Setaria
italica (L.) Beauv. Hotong mempunyai batang yang liat, semakin kering batang
tanaman hotong setelah dikeringkan akan semakin berkurang sifat liatnya. Malai
adalah lanjutan dari batang, hanya saja tumbuh cabang-cabang yang semakin
ujung posisinya semakin kompak. Cabang terdiri dari koloni kulit ari yang berisi
biji hotong. Panjang malai hotong rata-rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan
memiliki berat rata-rata 5.7 gram per malai. Biji buru hotong memiliki ukuran
panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm dan ketebalan 1.1 mm (Kharisun, 2003). Umur
panen tanaman buru hotong berkisar 80 – 90 hari. Gambar tanaman buru hotong
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Tanaman buru hotong

Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pengganti beras dan sebagai


bahan pembuat kue (wajik dan bubur). Pembudidayaan tanaman tidak
memerlukan pemeliharaan yang sangat intensif sebagaimana tanaman padi,
sehingga memungkinkan untuk dapat ditanam hampir pada semua tempat dengan
cara menaburkan biji. Tepung biji rumput ini bisa diolah menjadi berbagai jenis
makanan dan bahan olahan.
Biji buru hotong memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi
dibandingkan beras, sedangkan kandungan karbohidratnya hampir sama dengan
kandungan karbohidrat pada beras maupun hermada (Sorghum bicolour (L.)
Moench) seperti dilihatkan pada Tabel 1 dengan demikian biji Buru Hotong
diharapkan dapat dijadikan alternatif makanan pokok sumber karbohidrat non-
beras dengan tetap memperoleh protein dan lemak untuk mendukung upaya
diversifikasi pangan. Di Kabupaten Buru, biji buru hotong selain dimanfaatkan
sebagai pengganti beras, juga dapat diolah menjadi aneka macam makanan seperti
wajik, bubur, kue, tumpeng dan lain-lain.

Tabel 1. Kandungan gizi biji buru hotong dibandingkan dengan biji


hermada dan beras (Rokhani, et al., 2003)
Komponen Biji Hermada Hotongb) Berasa)
Jepanga) ASa)
Karbohidrat 75 72 73 70 – 80
Protein 9.4 11.3 11.2 4.0 – 5.0
Lemak 4.2 5.2 2.4 1.0 – 2.0
Serat kasar 8.3 8.5 - 8.0 – 15.0
Abu 3.8 3.3 1.3 2.0 – 5.0
a) http.//www. Republika. co. id/9810/11/341.htm
b) Hasil Analisa dari Laboratorium IPB

Keberhasilan penanaman maupun pengembangannya akan sangat


memberikan manfaat bagi daerah maupun negara. Pengembangan buru hotong
akan memberikan dampak yang sangat positif terutama dalam rangka diversifikasi
pangan, namun demikian untuk pengembangan diperlukan masukan teknologi
agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal, langkah awal yang dapat
dilakukan adalah dengan pembuatan mesin penggilingan buru hotong,
menganalisa kandungan pada biji buru hotong, dan pembuatan pangan alternatif
dari biji buru hotong.
B. TEKNIK BUDIDAYA BURU HOTONG
Pengembangan buru hotong untuk menunjang ketahanan pangan harus
didukung dengan ketersediaan :
1. teknologi unggul mulai dari teknik budidaya, pasca panen
sampai pengolahan dan pemasarannya,
2. informasi teknologi unggul untuk penyuluhan,
3. jaringan lembaga penelitian, pengembangan, penyuluhan
yang profesional dan tenaga ahli, fasilitas dan dana untuk penelitian dan
pengembangan.
Suatu komoditas seperti halnya buru hotong dapat diolah menjadi berbagai
macam produk olahan untuk meningkatkan nilai tambah dan memenuhi keinginan
pasar/konsumen. Penerapan teknologi yang tepat akan membantu proses
transformasi dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.
Keberhasilan penanaman maupun pengembangannya akan sangat memberikan
manfaat bagi daerah maupun negara. Pengembangan buru hotong akan
memberikan dampak yang positif, namun untuk pengembangannya diperlukan
masukan teknologi agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal, di dalam
membudidayakan buru hotong memerlukan proses sebagai berikut :

1. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan pada musim kemarau menjelang musim

hujan. Tujuan dilakukannya pengolahan tanah pada tanaman buru hotong

adalah untuk memperbaiki aerasi atau tata udara tanah, merangsang

berkecambahnya biji dan sekaligus memberantas gulma yang masih hidup.

2. Perlakuan Benih
Sebelum dilakukan penanaman sebaiknya benih buru hotong dicampur

dengan pasir kali dan furadan 3G dengan perbandingan benih dan pasir 1 : 3,

sedangkan rasio furadan dan benih adalah 1 : 1.


3. Penanaman
Penanaman dapat dilakukan dengan cara tugal, larikan, sebar dan

transplanting dengan jarak tanam 30 x 30 cm dan jumlah benih per lubang 3 –

5 biji (5 kg benih per ha). Penugalan dilakukan dengan menggunakan taji air

agar jarak tanam sesuai dengan yang dikehendaki. Berdasarkan hasil kajian

terdahulu dari segi ekonomis, cara tanam benih langsung (tanpa semai selama

21 hari) dengan menggunakan tugal lebih menguntungkan.

4. Penyiangan
Penyiangan dilakukan dua sampai tiga kali yaitu pada waktu tanaman

berumur tiga sampai empat minggu, jika tajuk tanaman buru hotong telah

melebihi tinggi gulma maka peluang untuk tumbuhnya tanaman pengganggu

semakin kecil.

5. Penyulaman
Penyulaman dilakukan jika tanaman berumur 7 sampai 14 hari setelah

tanam (7 – 14 hst), bibit tanaman untuk sulam disemai bersamaan dengan

waktu tanam benih di ladang.

6. Pemupukan
Urea diberikan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur 14 dan 30 hari

setelah tanam dengan dosis 100 – 200 kg/ha, sedangkan SP 36 (100kg/ha) dan
KCl (50 kg/ha) diberikan saat tanam, pemberian pupuk dilakukan dalam

larikan tanaman.

7. Pengendalian Hama dan Penyakit


Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika tanaman menunjukkan

adanya gejala serangan hama penyakit. Hama utama yang umumnya

menyerang adalah ulat penggerek dan dapat dicegah dengan furadan 3G.

Dosis furadan 3G 20 kg/ha dan diberikan dengan cara menyebar merata diatas

lahan.

8. Panen
Panen hasil dilakukan pada saat malai mulai berwarna coklat dengan

keseragaman warna mencapai 90%. Panen dilakukan dengan memotong

tangkai malai, diikat dan dijemur. Rata-rata umur panen hotong 80 – 90 hari

setelah tanam.

C. PENANGANAN PASCA PANEN BURU HOTONG

Beberapa permasalahan dalam penanganan pasca panen buru hotong

adalah karakteristik biji/malai yang berbeda dengan padi baik ukuran maupun

karakteristik fisik bahan lainnya seperti massa jenis dan kadar air bahan, sehingga

pemilihan alat/mesin yang digunakan untuk penyosohan maupun penepungan

hotong perlu pengkajian khusus. Penanganan pascapanen hotong meliputi

kegiatan panen, pengeringan malai, perontokan, pembersihan, penyosohan,


penepungan, dan penyimpanan. Bagan alir kegiatan pascapanen hotong dapat

dilihat pada Gambar 2 dibawah ini :

Panen Pengeringan Perontokan Pengeringan


malai

Sekam
Malai

Penepungan Penyosohan Pembersihan

Pengemasan Penyimpanan

Gambar 2. Bagan alir kegiatan pascapanen buru hotong

Uraian kegiatan pascapanen telah tercantum di bawah ini :

1. Pemanenan

Pemanenan dilakukan ketika buru hotong sudah masak atau pada kadar air

tertentu. Panen dilakukan pada saat malai mulai berwarna coklat dengan

keseragaman warna mencapai 90%. Panen dilakukan dengan memotong tangkai

malai, diikat dan dijemur. Rata-rata umur panen hotong 80 – 90 hari setelah

tanam.

Pemanenan di Indonesia umumnya masih menggunakan alat tradisional

yaitu ani-ani dan sabit. Pemanenan dilakukan dengan memotong tangkai hotong
yang ada malainya. Menurut panjang pemotongan, ada dua macam cara

pemanenan yaitu : 1) pemanenan jerami pendek, dan 2) pemanenan jerami

panjang. Pada pemanenan jerami pendek, panjang jerami adalah 15 cm dan total

dengan malainya adalah 30 cm, sedangkan pada pemanenan jerami panjang,

panjang jerami adalah 60 cm dan total dengan malainya adalah 75 cm.

Pemanenan jerami pendek umumnya dilakukan pada sawah yang

tergenang air sepanjang tahun, untuk pemanenan jerami pendek ini membutuhkan

tenaga lagi untuk memotong jerami apabila akan mengolah tanah. Pemanenan

jerami panjang dilakukan apabila waktu panen, sawah tidak ada genangan air.

Keuntungan pemanenan jerami panjang adalah penyiapan lahan baru akan lebih

cepat.

2. Perontokan

Perontokan adalah pemisahan biji hotong dari malainya. Perontokan biji

hotong dapat dilakukan sesudah atau sebelum pengeringan, tetapi umumnya

perontokan dilakukan sebelum pengeringan.

Perontokan dapat dilakukan dengan “diiles” (diinjak), dibanting, dipukul

dan dapat pula menggunakan alat perontok.

Perontokan dengan cara diinjak dilakukan dengan meletakkan hotong yang

telah dipanen pada lantai, kemudian hotong tadi diinjak-injak dengan

menggesekkan antara malai yang satu dengan yang lainnya sehingga hotong akan

rontok. Kecepatan perontokan dengan cara diinjak ini tergantung kepada hotong

yang dirontokan. Hotong yang mudah rontok akan cepat perontokannya.


Alat perontok terdiri dari tiga bagian utama yaitu silinder perontok, tempat

pemasukan hotong dan motor penggerak atau pedal. Sebagian alat perontok

dilengkapi dengan ayakan atau saringan serta penghembus yang berfungsi sebagai

alat pemisah butiran biji hotong yang berisi dengan kotoran, gabah hampa dan

debu. Silinder perontok konvensional terdiri dari beberapa tipe yaitu silinder gigi

paku, silinder pasak, dan silinder kawat bengkok.

Berdasarkan cara pengoperasiannya, ada dua tipe perontok yaitu : 1) Tipe

“throw-in”, yaitu jerami biji-bijian yang akan dirontokan seluruhnya dimasukkan

ke dalam alat. 2) Tipe “hold-on”, yaitu jerami biji-bijian yang akan dirontokkan

dipegang ujung tangkainya, sedangkan ujung yang berbulir dimasukkan ke dalam

alat.

3. Pembersihan

Biji-bijian yang sudah dirontokan biasanya masih tercampur dengan

tangkai biji-bijian, jerami, gabah hampa maupun kotoran lain yang tercampur

pada waktu dirontokan, oleh sebab itu perlu dibersihkan.

Pembersihan yang paling sederhana adalah dengan penampi (tampah).

Penggunaan penampi ini secara manual dan memerlukan keahlian/ketrampilan

sendiri. Gerakan apabila bahan berputar-putar diatas penampi disebut

“mengayak”, sedangkan apabila bahan meloncat-loncat disebut “menampi”.

Pembersihan biji-bijian yang lebih modern adalah dengan menggunakan

alat pembersih. Cara kerja alat pembersih biji-bijian ini adalah dengan prinsip

perbedaan berat jenis.


4. Pengeringan

Proses pengeringan hasil pertanian dapat dilakukan dengan penjemuran di

bawah sinar matahari atau dengan cara pemberian udara panas secara buatan.

Pengeringan dengan menjemur diatas suatu lamporan merupakan cara

pengeringan alami yang memanfaatkan energi matahari. Pengeringan dengan cara

ini memerlukan tempat yang luas, waktu yang lama, membutuhkan banyak tenaga

manusia dan mutu hasil pengeringannya tergantung pada cuaca.

Pengeringan buatan menggunakan alat pengering mekanis dimana suhu,

kelembaban nisbi udara, kecepatan pengeringan dapat diatur dan diawasi.

Pengeringan biji-bijian bertujuan untuk menurunkan kadar air sampai

batas kadar air yang aman untuk penyimpanan. Pengeringan merupakan kunci

untuk menjamin mutu produk selama penyimpanan. Untuk skala kecil,

pengeringan umumnya dilakukan secara alami dengan penjemuran. Penjemuran

dilakukan dengan menghamparkan biji hotong dengan ketebalan 10 cm dan

dilakukan proses pembalikan secara berkala. Pengeringan dilakukan hingga kadar

air mencapai 13% yang memerlukan waktu 3 – 4 hari tergantung kondisi cuaca.

Sarana pokok yang diperlukan untuk penjemuran adalah lantai penjemuran atau

lamporan.

Penjemuran sebagai salah satu metode pengeringan memiliki kelebihan

dan kelemahan. Kelebihannya antara lain (a) tidak memerlukan bahan bakar

sehingga biaya pengeringan dapat ditekan, (b) memerlukan banyak tenaga

manusia sehingga menguntungkan dalam hal kesempatan kerja bagi tenaga tak
terlatih, (c) infra merah yang dipancarkan matahari mempunyai daya penetrasi

yang dapat menembus sel biji-bijian sehingga memungkinkan panas merata ke

seluruh biji-bijian dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, sedangkan

kelemahannya adalah (a) memerlukan luasan lahan untuk lantai penjemuran, (b)

tergantung kondisi cuaca, (c) suhu dan kelembaban pengeringan tidak terkontrol

sehingga jika frekuensi pembalikan tidak optimum mengakibatkan kadar air biji-

bijian tidak merata, dan (d) kemungkinan terjadinya susut lebih besar akibat

tercecer atau adanya gangguan burung maupun ternak lainnya.

Pengeringan hotong secara mekanis dapat dilakukan dengan mesin

pengering tipe bin dryer. Laju pengeringan dipengaruhi oleh suhu dan

kelembaban udara pengeringan, aliran udara pengering dan kadar air bahan yang

dikeringkan. Suhu pengeringan yang dianjurkan adalah 43oC untuk tujuan benih,

60oC untuk penggilingan atau pengolahan pangan dan 82oC untuk pakan ternak.

5. Penyosohan

Penyosohan adalah suatu proses penghilangan sebagian atau seluruh katul

yang terdapat pada beras pecah kulit hingga dihasilkan beras sosoh yang putih dan

bersih (Hardjosentono et. al., 1978). Proses penyosohan terbagi menjadi dua yaitu

proses pemutihan dan penyosohan, pada proses pemutihan terjadi pengelupasan

kulit perak dan lapisan dedak, sedangkan proses penyosohan biji-bijian menjadi

biji-bijian putih, lapisan dedak yang masih tertinggal pada permukaan biji-bijian

terpoles menjadi mengkilap. Proses penyosohan selalu terjadi setelah proses

pemutihan selesai, kadang-kadang terjadi kerancuan tentang kata yang digunakan


dalam proses ini. Pemutihan (whitening) kadang-kadang disebut penyosohan

(polishing or milling). Penyosohan kadang-kadang disebut pembersihan akhir

(refiring or grinding) (Araullo et. al., 1976). Jika diinginkan hasil yang bagus,

biji-bijian dari pemutih diproses lagi sekali atau lebih didalam penyosoh.

Penyosoh sama dengan pemutih kecuali disamping sebuah batu penggosok, juga

terdiri dari sebuah drum yang dibungkus dengan strip-strip dari kulit domba atau

kulit kerbau liar (Grist, 1975). Proses pemutihan biji-bijian terjadi karena gesekan

antara biji-bijian dengan permukaan kasar (abrasive) dan pengelupasan terjadi

karena gesekan antara partikel biji-bijian pada tekanan tertentu.

Penyosohan bertujuan untuk memisahkan kulit (sekam) dari butir biji

dengan tingkat kerusakan minimum atau menghasilkan biji pecah kulit yang

maksimum. Pengertian penggilingan pada biji-bijian meliputi dua proses pokok,

yaitu proses pengupasan kulit menjadi biji-bijian pecah kulit dan pengupasan kulit

ari dari biji-bijian pecah kulit menjadi biji-bijian sosoh. Menurut esmay et al.,

(1979), penggilingan padi adalah proses penghilangan sekam dan dedak dari butir

biji-bijian menghasilkan biji-bijian putih dan bersih. Kriteria operasi penggilingan

biji-bijian yang baik adalah :

a. biji-bijian yang dihasilkan maksimum,

b. mendapatkan kualitas terbaik,

c. meminimumkan kehilangan ,

d. minimum dalam ongkos pengolahan.

Penyosohan biji-bijian bertujuan untuk mendapatkan biji-bijian sosoh.

Dasar proses pengulitan dan penyosohan biji-bijian adalah sama seperti pada
penggilingan padi yaitu memberikan gaya gesek pada biji sehingga kulit biji

tersosoh dari dagingnya (Purwadaria, 1980).

Secara tradisional, penggilingan hotong dengan cara hotong dibersihkan

dari sekamnya dengan cara penumbukan dan hasil yang diperoleh adalah biji

pecah kulit dan dedak kasar. Biji pecah kulit tersebut kemudian ditumbuk lagi

untuk memisahkan kulit arinya. Hasil yang diperoleh adalah beras hotong, dedak

halus atau bekatul.

6. Penepungan

Penepungan merupakan proses pengecilan ukuran suatu bahan padat

secara mekanis tanpa diikuti oleh perubahan sifat kimia dari bahan yang

ditepungkan. Proses penepungan dapat dilakukan beberapa kali sampai diperoleh

hasil tepung dengan ukuran fraksi tertentu, namun tidak mudah untuk memperoleh

hasil tepung dengan ukuran partikel tertentu. Ukuran partikel hasil gilingan

tersebar dalam banyak fraksi (Handerson dan Perry, 1978).

Proses pengecilan ukuran butiran hasil pertanian, menurut Handerson dan

Perry (1978), ada tiga cara yaitu pemotongan , penggerusan (peremukan) dan

pengguntingan, baik dilakukan sendiri-sendiri atau kombinasi dari ketiganya.

Pemotongan adalah pemisahan atau pengecilan yang diperoleh dengan

cara menekan pisau tipis dan tajam pada bahan yang akan dikecilkan dimana

semakin tajam dan tipis pisau pemotong semakin baik hasilnya. Bahan yang

diperkecil dengan cara ini misalnya buah-buahan dan sayur-sayuran. Produk hasil

pemotongan mengalami perubahan/kerusakan yang minimum dengan permukaan


baru yang dihasilkan oleh pisau tajam relatif tidak rusak. Cara ini akan

menghasilkan potongan yang halus dengan kebutuhan energi yang lebih kecil

(Handerson dan Perry, 1978).

Penggerusan adalah pengecilan ukuran dengan menggunakan gaya yang

melebihi kekuatan bahan. Partikel yang dihasilkan mempunyai bentuk dan ukuran

yang tidak beraturan. Sifat permukaan dan partikel tergantung dari jenis bahan

dan cara penggunaan gaya. Gaya yang dipakai untuk penggerusan dapat

digunakan secara statis dan dinamis. Gaya statis digunakan untuk alat yang

memecah dengan rol, sedangkan hammer mill merupakan contoh penggunaan

gaya dinamis (Handerson dan Perry, 1978).

Pengguntingan adalah gabungan dari memotong dan menggerus, jika mata

pengguntingan tipis dan tajam, kemampuan kerja mendekati proses pemotongan,

jika mata pengguntingan tebal dan tumpul maka kemampuan kerja lebih

menyerupai penggerusan. Bahan yang berserat liat sangat baik menggunakan alat

dengan prinsip pengguntingan.

Suatu proses penepungan tergantung dari sifat bahan yang akan digiling,

bila kadar air dari bahan memiliki sifat relatif keras dan rapuh, untuk menggiling

bahan yang demikian akan sesuai bila diterapkan gaya putaran atau gaya gesek

(Leniger, 1975).

D. MESIN PENYOSOH BIJI-BIJIAN


Mesin penyosoh biji-bijian adalah suatu alat pemutih biji-bijian pecah

kulit menjadi biji-bijian putih dengan menggunakan tenaga mekanis, baik yang
bersumber dari tenaga motor listrik maupun daya dari tenaga penggerak (engine)

dengan bahan bakar minyak bensin atau solar (Departemen Pertanian, 1983).

Ruiten (1976) membagi mesin penyosoh menjadi tiga tipe yaitu :

1. Tipe “Vertical Abrasive Whitening Cone”

Mesin tipe ini pada dasarnya terdiri dari besi cor yang dilapisi lapisan

abrasive. Besi cor berbentuk kerucut yang memiliki dudukan pada sebuah bidang

yang dihubungkan dengan sumbu vertikal (Araullo et. al., 1976). Bagian luar

batu penyosoh terdapat kasa yang terbuat dari pelat baja, antara batu penyosoh

dengan kasa terdapat sebuah ruang yang berjarak 11 – 17 mm (Hardjosentono et.

al., 1978), pada kasa dipasang bantalan karet yang berfungsi sebagai penghambat

perputaran biji. Jarak renggang antara bantalan dengan batu penyosoh adalah 3 – 5

mm. Lebar bantalan sekitar 30 – 50 mm tergantung ukuran mesin (Araullo et. al.,

1976).

Biji-bijian pecah kulit yang masuk ke dalam ruang penyosoh akan disebar

secara merata akibat gaya sentrifugal perputaran silinder kerucut, selain proses

gesekan oleh silinder penyosoh, juga terjadi pergesekan antara biji-bijian yang

satu dengan biji-bijian yang lain sehingga dedaknya mudah dihilangkan

(Hardjosentono, 1978). Gambar skematik mesin penyosoh tipe ini dapat dilihat

pada Gambar 3.

2. Tipe “Horizontal Abrasive Whitening Machine”


Mesin ini terdiri dari rol abrasive yang berbentuk silinder, dijepitkan pada

poros horizontal (Esmay et. al., 1979). Poros ini berputar pada ruang penyosohan

pada kecepatan sekitar 1000 rpm (Araullo et. al., 1976). Biji-bijian pecah kulit

yang dimasukkan melalui corong masuk diteruskan oleh sekrup pengumpan

(feeding screw) ke dalam ruang bebas antara rol abrasive dengan silinder penutup.

Gambar skematik mesin penyosoh tipe “horizontal abrasive whitening machine”

dapat dilihat pada Gambar 4.


Gambar 3. Penyosoh tipe “vertikal abrasive whitening cone”

Gambar 4. Penyosoh tipe “horizontal abrasive whitening machine”

3. Tipe “Horizontal Friction” atau “Jet Pearler”


Mesin ini disebut jet pearler karena aliran udara ditekan selama proses

penyosohan (Esmay et. al., 1979), mesin rol silinder penyosoh terbuat dari besi

baja yang dicetak dengan buah alur memanjang. Lubang ini sebagai jalan udara

yang dihembuskan ke sapanjang sumbu berlubang. Silinder penyosoh berputar di

bagian dalam ruangan hexagonal yang dibatasi setangkup saringan yang terbuat

dari besi baja (Araullo et. al., 1976).

Biji-bijian pecah kulit yang jatuh ke conveyor sekrup didorong masuk ke

ruangan penyosohan. Di ruangan ini, biji-bijian akan bergesekan satu sama lain

dan juga antara biji-bijian dengan kasa (Esmay et. al., 1979). Secara skematik,

mesin penyosoh tipe jet pearler dapat dilihat pada Gambar 5.


Gambar 5. Penyosoh tipe ” horizontal friction” atau “jet pearler”

E. MESIN PENEPUNG BIJI-BIJIAN


Menurut Leniger (1975), ada dua jenis alat penepungan bila dilihat dari

keadaan bahan selama penepungan yaitu :

1. penepungan tipe ”batch” dimana selama penepungan bahan akan tetap ada

dalam bak dan baru dikeluarkan bila penepungan telah selesai,

2. penepungan tipe terusan (continue) dimana selama penepungan akan melewati

penepung selama sekali lintasan, dengan tipe alat ini hasil gilingan akan

mempunyai ukuran yang tidak merata, karena itu alat harus diatur sedemikian

rupa sehingga ukuran bahan sesuai yang diizinkan.

Ada beberapa tipe alat penepung menurut Perry dan Chilton, 1973 dan

Leniger, 1975 yaitu :

a) Penepung tipe palu (hammer),

b). Penepung tipe gigi vertikal,


c) Penepung dengan pasak berputar,

d) Penepung tipe piring.

Perry dan Green (1984) membagi alat pengecil ukuran bahan menjadi

empat kelompok menurut gaya yang dikenakan terhadap bahan, yaitu : 1) bila

gaya yang bekerja di antara dua permukaan bahan disebut penggerusan, 2) gaya

yang bekerja pada satu permukaan bahan disebut proses pemukulan, 3) gaya yang

bekerja tidak pada permukaan bahan tetapi melalui aksi medium sekeliling, 4)

gaya yang bekerja bukan dengan energi mekanik tetapi dengan aksi lain seperti

kejutan panas dan elektrohidraulik.

Hunt (1978) membagi alat penepung berdasarkan gaya yang bekerja

terhadap bahan yaitu :

a. Penepung Tipe Palu (hammer)

Menurut Hunt (1977), penepung palu adalah suatu alat yang digunakan

untuk memperkecil ukuran bahan berdasarkan gaya pukulan/impak. Hammer mill

terdiri dari palu/pemukul yang berputar pada porosnya. Bahan yang akan digiling

masuk ke dalam ruang pemukulan melalui corong pemasukan. Susunan palu yang

terdapat pada porosnya akan bergerak bolak-balik memberikan pukulan pada

bahan.

Menurut Ismayandi (1985), pengurangan ukuran bahan dapat diakibatkan

karena : 1) pukulan/impak dari pemukul, 2) pemotongan oleh sisi pemukul, 3)

keausan (atrinition) atau aksi gosokan (rubbing action). Penepung palu digunakan

untuk penepungan sedang dan halus.


Modulus kehalusan dan indeks keseragaman hasil giling tergantung pada

ukuran dari lubang saringan dan laju pengumpanan bahan (Handerson dan Perry,

1978). Kecepatan putar penepung dan bentuk dari pemukul juga merupakan faktor

yang mempengaruhi (Pamudji, 1983). Kecepatan putar dari pemukul penepung

palu adalah antara 1500 sampai 4000 rpm (Handerson dan Perry, 1978), secara

umum dibutuhkan tenaga sebesar satu kilowatt (kw) untuk menggiling satu

kilogram bahan permenit pada penepungan sedang (Ismayandi, 1985).

Menurut Handerson dan Perry (1978), beberapa keuntungan dalam

menggunakan penepung palu sebagai alat penepung antara lain adalah : 1) bentuk

konstruksinya yang sederhana, 2) dapat digunakan untuk menghasilkan hasil

giling dengan bermacam-macam ukuran, 3) tidak mudah rusak dengan adanya

benda asing dalam ruang penepung, dan 4) biaya operasi dan pemeliharaan yang

lebih murah bila dibandingkan dengan penepung bergerigi. Beberapa kerugian

dalam menggunakan penggiling palu adalah : 1) kekurang-mampuan untuk

menghasilkan hasil giling yang seragam, 2) kebutuhan tenaga yang tinggi, dan 3)

biaya investasi awal yang lebih tinggi dibandingkan penggilingan bergerigi.

b. Penepung Tipe Bergerigi

Menurut Handerson dan Perry (1978), penepung bergerigi yang biasa

dikenal dengan atrition mill, plate atau disk mill bekerja berdasarkan gaya tekanan

dan gesekan antara dua piringan yang satu berputar dan yang lainnya tetap.

Penepung bergerigi biasa terdiri dari dua atau tiga piringan dimana bila dua

piringan, satu piringan bergerak, sedangkan piringan yang lain diam atau
bergerak berlawanan, untuk tiga buah piringan yang lain disisinya diam

(Ismayandi,1985).

Menururt Handerson dan Perry (1978), laju pemasukan yang berlebihan

akan memperkecil keefektifan dari alat dan akan menyebabkan panas yang

berlebihan. Tenaga yang diperlukan untuk menggiling akan berkurang bila

kecepatan penepungan bertambah (Ismayandi, 1985).

Hasil penepungan dipengaruhi oleh kecepatan putar, kadar air biji, jenis

biji yang digiling, laju pemasukan bahan serta kondisi dan jenis piringan

penepung (Ismayandi, 1985). Handerson dan Perry (1978) menyebutkan bahwa

terdapat beberapa piringan yang dirancang untuk berbagai jenis bahan, umumnya

terbuat dari ”Chilled cast iron” walaupun kadang-kadang ada yang terbuat dari

”alloy steel”.

Menurut Richey CB (1961), kecepatan putar gigi penepung bergerigi

adalah 1800 rpm, sedangkan menurut Handerson dan Perry (1978) umumnya

kecepatan putar penepung bergerigi adalah dibawah 1200 rpm.

Menurut Handerson dan Perry (1978), beberapa keuntungan bila

menggunakan penepung bergerigi adalah : 1) biaya pemasangan awal yang

rendah, 2) hasil gilingan yang relatif seragam, 3) tenaga yang dibutuhkan lebih

rendah bila dibandingkan dengan penepung palu, dan 4) lebih dapat menyesuaikan

diri dengan gerusan kasar daripada penepung palu. Beberapa kerugian dalam

menggunakan penggiling bergerigi adalah : 1) adanya benda-benda asing di dalam

bahan yang digiling dapat menyebabkan kerusakan pada alat, dan 2) bila piringan
beroperasi tanpa bahan yang digiling maka akan mempercepat kerusakan

piringan.

c. Penepung Tipe Silinder

Menurut Hall dan Davis (1978), ukuran penepung silinder didasarkan pada

ukuran diameter dan panjang silinder. Sebelum pemasukan bahan yang akan

digiling, silinder harus dalam keadaan berputar dengan kecepatan tertentu, bila

tidak, maka akan terjadi selip pada belt atau motor menjadi mati. Prinsip kerja dari

alat ini adalah penggilasan bahan diantara celah-celah silinder.

Celah antara silinder dapat diatur jaraknya untuk memperoleh derajat

kehalusan yang diinginkan, bila jarak antara silinder terlalu dekat maka tenaga

yang diperlukan akan menjadi lebih besar, kapasitas penepungan berkurang serta

debu banyak terjadi, pada beberapa jenis satu silinder berputar lebih cepat

dibandingkan dengan yang lain untuk mendapatkan aksi gilingan yang lebih

ringan ketika bahan melalui celah silinder bergerigi sejajar dengan as silinder.

Kebutuhan tenaga penggiling silinder tergantung kepada bentuk dan kuantitas biji

yang digiling, derajat kehalusan yang diinginkan, kadar air bahan, laju

pengumpanan, kecepatan operasi, tenaga yang tersedia serta kondisi dari silinder.

Tipe dengan kecepatan putar silinder satu yang dua atau tiga kali dari silinder lain

sudah banyak digunakan untuk industri tepung. Tahap akhir pembuatan tepung

dipergunakan silinder halus dengan kecepatan silinder 25% lebih cepat dari

silinder yang lain (Hall dan Davis, 1978).


d. Penepung Tipe Pisau

Menurut Perry dan Chilton (1978) penepung pisau terutama digunakan

untuk bahan yang liat atau berserat, dimana aksi pengguntingan lebih efektif

dibandingkan dengan tekanan maupun pukulan/impak. Laju pemasukan bahan

pada ruang pemotong hendaknya tidak melebihi panjang dari pisau pemotong

dengan ketebalan bahan pengumpan tidak lebih dari 1 inchi. Bentuk umum dari

alat penggiling ini adalah rotor dengan pisau pemotong berputar pada ruang

pemotongan dan memotong bahan dengan bantuan pisau tetap pada keliling luar

bahan yang digiling akan keluar melalui saringan dengan ukuran maksimum

tergantung pada jenis saringan yang digunakan. Terdapat bermacam-macam

penepung pisau tergantung kepada gaya dan banyaknya pisau pemotong (Loncin

dan Merson, 1978).


III. METODOLOGI PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

1. Waktu
Penelitian ini dilakukan dari Februari sampai Mei 2006. Kegiatan
penelitian meliputi penelitian pendahuluan, penelitian utama, pengolahan data,
dan pembuatan laporan.

2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot
Plants), Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

B. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah malai tanaman buru hotong
(Setaria italica (L.) Beauv.), gas dan bahan-bahan kimia untuk uji proksimat
(K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3 dan HCl).

2. Alat
Peralatan yang dipergunakan selama penelitian adalah mesin penyosoh,
mesin penepung, pengering tipe rak, stop watch, timbangan dan meteran, fasilitas
bengkel, oven, tabung erlenmeyer, desikator, cawan, labu soxhlet dan labu
lemak, gelas ukur, kat dan timbangan analitik. Gambar timbangan analitik dan
biasa dapat dilihat pada Lampiran 1 dan gambar gelas ukur, oven dan ayakan tyler
dapat dilihat pada Lampiran 2.
C. METODE PENELITIAN

1. Karakteristik Fisiko-Kimia Buru Hotong


Karakteristik fisiko-kimia buru hotong bertujuan untuk mengetahui
karakteristik dan mutu biji hotong pada setiap malai. Pengamatan meliputi
pengukuran dimensi panjang dan berat malai buru hotong, pengukuran berat tiap
bagian malai yakni pangkal, tengah dan ujung malai buru hotong, pengukuran
dimensi biji hotong, dan mengukur kadar air, massa jenis dan prosentase
perbandingan berat biji malai per berat malai serta analisis proksimat buru
hotong.
Analisa proksimat meliputi :

a. Analisa Kadar Air


Sampel sebanyak 1.0 gram dihancurkan dan dimasukkan ke dalam cawan
yang telah dikeringkan dan ditimbang, lalu dipanaskan di dalam oven dengan suhu
105oC sampai berat konstan, setelah itu dimasukkan ke dalam desikator dan
ditimbang beratnya. Kadar air ditentukan dengan rumus :
berat awal sampel − berat akhir sampel
Kadar air = x 100% .............. 1)
berat awal sampel

b. Analisa Kadar Abu


Sampel sebanyak 1.0 gram ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam cawan
yang telah dikeringkan dan ditimbang, kemudian dibakar dalam pembakar gas
selama 30 menit. Cawan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC sampai
menjadi abu, setelah itu sampel dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang.
Kadar abu ditentukan dengan rumus :
berat abu dan cawan − berat cawan
% Abu = x100% ........................... 2)
berat awal sampel

c. Analisa Kadar Protein


Sampel sebanyak 0.1 - 0.2 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl
100ml, lalu ditambahkan 2 gram K2SO4 dan HgO (1 : 1) dan 2.5 ml H2SO4 pekat,
setelah itu didestruksi selama 30 menit sampai cairan mencapai warna hijau
jernih, kemudian dibiarkan sampai dingin, lalu ditambah 35 ml air suling dan 10
ml NaOH pekat sampai warna coklat kehitaman kemudian didestilasi. Hasilnya
ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator merah metil-
metilen blue 1 : 4, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N. Kadar protein
ditentukan dengan rumus :

(ml HCl − ml Blangko) x 0.02 x 14.007 x 100


%N= ........................... 3)
mg Sampel

% Protein = % N x faktor konversi .......................................................... 4)

d. Analisa Kadar Lemak


Sebanyak 1.0 gram sampel yang telah kering di bungkus dengan kertas
saring, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Sementara itu, heksan dimasukkan
ke dalam labu lemak yang telah ditimbang beratnya, selanjutnya diekstrak selama
5 jam. Destilasi pelarut yang ada di dalam labu lemak, lalu labu dikeringkan di
dalam oven pada suhu 105oC. Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

berat labu akhir − berat labu awal


KL = x 100% .................................. 5)
berat sampel

e. Analisa Kadar Karbohidrat


Analisa kadar karbohidrat ditentukan secara by difference, yakni dengan
rumus :
% Kh = 100% - (Ka + K abu + K protein + KL) ...................................... 6)
` Kadar air bahan diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
bb
Ka = x100% ………………...………………………………….. 7)
bb + bk
dimana : Ka = kadar air (%),
bb = berat basah (gr),
bk = berat kering (gr).
Massa jenis (bulk density) dari biji hotong diperoleh dengan cara
menimbang 1 liter biji hotong dalam wadah (perbandingan berat biji hotong
dengan volume biji hotong itu sendiri), secara matematis dirumuskan sebagai
berikut :
m
ρ= ………………………...………………………………………... 8)
v
dimana : ρ = massa jenis (gr/ml),
m = massa (gr),
v = volume (ml).
Pengukuran prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai dapat
diukur dengan rumus :
mb
R= …………………………………………………………………. 9)
mm
dimana : R = prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai (%),
mb = berat biji hotong (gr),
mm = berat malai hotong (gr).
Handerson dan Perry (1970), untuk biji-bijian berbentuk tidak beraturan
dapat dianalisa dengan mengasumsikan diameter efektif biji-bijian sama dengan
diameter bola yang volumenya sama. Mohsenin (1970) menyatakan bahwa rata-
rata geometris dari tiga dimensi aksial adalah pendekatan yang baik untuk
menentukan diameter sepadan bola (volumenya) dengan memasukkan faktor
bentuk.
Penentuan panjang ketiga dimensi aksial adalah dengan memproyeksikan
biji-bijian tersebut, setelah didapat proyeksi terbesar dan terkecil yang salah satu
panjang proyeksi terkecil adalah panjang proyeksi terbesar, dapat ditentukan
panjang a, b, dan c. Panjang a dan b berasal dari proyeksi terbesar dengan
membuat empat persegi panjang terkecil pada sisi terluar. Panjang a adalah
panjang terbesar sisi empat persegi panjang dan yang lebih pendek adalah b. Cara
yang sama digunakan terhadap proyeksi terkecil untuk menentukan c (Mohsenin,
1970).
Curay (1951) menyatakan bahwa bentuk biji-bijian yang tidak beraturan
dapat ditentukan dimensi partikel rata-ratanya yaitu dengan menggunakan panjang
ketiga dimensi aksialnya. Secara sistematis, diameter biji dirumuskan sebagai
berikut :
D = (a x b x c)1/3 ...................................................................................... 10)
dimana : D = diameter geometris rata-rata biji hotong (mm),
a, b, c = rata-rata proyeksi panjang, lebar, dan tebal biji
dengan pengambilan sampel sebanyak 25 biji
(mm).

2. Penelitian Utama
Penelitian utama bertujuan untuk mengkaji kinerja mesin penyosoh buru
hotong yang meliputi kapasitas produksi, efisiensi kipas pada mesin penyosoh,
rendemen dan susut tercecer serta mengetahui kualitas hasil penyosohan buru
hotong. Penelitian utama juga bertujuan untuk mengkaji kinerja mesin penepung
buru hotong yang meliputi kapasitas produksi, rendemen dan susut tercecer serta
mengetahui kualitas tepung yang dihasilkan.
Tahap penelitian utama ini akan menggunakan perlakuan terhadap biji
hotong pada tingkat kadar air berbeda-beda dengan cara mengeringkan kadar air
biji hotong, yaitu kadar air 6.2%, kadar air 8.5% dan kadar air 11.1%. Metode ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh kadar air yang berbeda-beda terhadap
performansi alat pada waktu beroperasi.
Adapun dalam analisa data, parameter-parameter yang digunakan sebagai
acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kapasitas Penyosohan
Kapasitas mesin penyosohan adalah jumlah bahan hotong yang dapat
disalurkan selama 1 (satu) jam. Kapasitas penyosohan merupakan kapasitas yang
diperoleh sampai biji benar-benar tersosoh (bersih). Kapasitas penyosohan dapat
diperoleh dari rumus dibawah ini :
Wpk
Kps = × 3600 ................................................................................... .... 11)
t
dimana : Kps = kapasitas penyosohan (kg/jam),
Wpk = berat biji hotong pecah kulit (kg),
t = waktu penyosohan (detik).

b. Efektivitas Penyosohan (Rendemen)


Rendemen penyosohan dapat diperoleh dari rumus di bawah ini :
Wpk
ηp = × 100% .................................................................................... 12)
Wp
dimana : ηp = efektivitas penyosohan (%),
Wpk = berat biji hotong pecah kulit (kg),
Wp = berat biji hotong yang dimasukan ke penyosohan (kg).

c. Efektifitas Kipas (Blower)


Efektifitas kipas dapat diperoleh dari rumus di bawah ini :
Wkout
ηk = × 100% ............................................................................... 13)
Wkin
dimana : ηk = efektifitas kipas (%),
Wkout = berat dedak yang Keluar menuju kipas (g),
Wkin = berat dedak keseluruhan (g).

d. Susut Tercecer Penyosohan


Susut tercecer pada proses penyosohan dapat diperoleh dari rumus di
bawah ini :
WbTc
Sts = x100% .................................................................................. 14)
WbTs
dimana : Sts = susut tercecer penyosohan (%),
WbTc = berat biji tercecer (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).

e. Kualitas Penyosohan
Pengukuran kualitas penyosohan dari biji hotong dengan cara menghitung
persentase biji tersosoh, persentase biji tak tersosoh, dan berat biji pecah.
Persentase tersebut dapat diperoleh dengan cara :
Wbtk
%btk = x100% .............................................................................. 15)
WbTs
dimana : %btk = persentase biji tersosoh (%),
Wbtk = berat biji tersosoh (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).
Wbttk
%bttk = x100% ............................................................................. 16)
WbTs
dimana : %bttk = persentase biji tak tersosoh (%),
Wbttk = berat biji tak tersosoh (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).

Wbp
%bpk = x100% ................................................................. 17)
WbTs
dimana : %bpk = persentase biji tersosoh (%),
Wbp = berat biji pecah (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).

f. Kapasitas Penepungan
Kapasitas mesin penepungan adalah jumlah bahan hotong yang dapat
disalurkan selama 1 (satu) jam hingga menjadi tepung. Kapasitas mesin penepung
merupakan nilai kapasitas yang diperoleh sampai biji benar-benar menjadi tepung
yang halus. Rumus kapasitas penepungan diperoleh dengan rumus :
Wpk
Kpt = × 3600 ................................................................................... 18)
t
dimana : Kpt = kapasitas penepungan (kg/jam),
Wpk = berat biji hotong yang ditepungkan (kg),
t = waktu penepungan (detik).

g. Efektivitas Penepungan (Rendemen)


Rendemen penepungan dapat diperoleh dari rumus di bawah ini :
Wt
ηt = × 100% ................................................................................... 19)
Wpk
dimana :
ηt = efektivitas penepungan (%),
Wt = berat tepung hasil penepungan (kg),
Wpk = berat biji hotong yang dimasukkan ke mesin penepung (kg).

h. Susut Tercecer Penepungan


Susut tercecer penepungan pada proses penepungan dapat diperoleh dari
rumus di bawah ini :
WtTc
Stp = x100% .................................................................................. 20)
WtTs
dimana : Stp = susut tercecer penepungan (%),
WtTc = berat tepung tercecer (g),
WtTs = berat tepung keseluruhan (g).

i. Kualitas Penepungan
Mc Colly (1955) menyatakan bahwa setiap bahan berbeda kriteria kasar,
sedang, halus berdasarkan derajat kehalusannya, dengan menggunakan test
pengayakan tyler dapat ditentukan ukuran partikel dan penyebaran fraksi-fraksi
ukuran dalam produk hasil penepungan (Handerson dan Perry, 1978). Test
pengayakan ini menggunakan tujuh macam ukuran ayakan yaitu 3/8, 4, 8, 14, 28,
48, 100 mesh dan baki pada tingkat terbawah.
Hall dan Davis (1978) mengemukakan bahwa dalam penentuan mutu hasil
giling digunakan dua macam kriteria, yaitu :

1. Derajat kehalusan yaitu merupakan bilangan yang mewakili ukuran rata-rata


partikel bahan hasil penepungan. Derajat kehalusan dihitung berdasarkan
jumlah fraksi bahan yang tertinggal pada setiap ayakan tyler dibagi dengan
100.

2. Indeks keseragaman yaitu merupakan perbandingan angka yang


menyatakan fraksi-fraksi kasar, sedang, halus dari partikel bahan hasil
penepungan, untuk penentuan indeks keseragaman, bahan hasil penepungan
dibagi menjadi tiga kategori yaitu kasar, sedang dan halus, yang termasuk
kategori kasar adalah jumlah fraksi berat yang tertahan pada tiga ayakan
pertama dari satu set ayakan tyler, yaitu pada 3/8, 4, dan 8 mesh, sedangkan
jumlah fraksi berat yang tertahan pada dua ayakan berikutnya, yaitu 14 dan 28
mesh termasuk dalam kategori sedang. Jumlah fraksi berat pada ayakan
selanjutnya, yaitu 48, 100 mesh dan baki digolongkan dalam kategori halus.
Perbandingan ketiga kategori bahan tersebut merupakan indeks keseragaman.
Menurut handerson dan Perry (1978), ukuran partikel bahan berdasarkan
modulus kehalusan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

D = 0.0041 x (2)FM .......................................................................... 21)


Dimana :
D = ukuran rata-rata partikel bahan (inchi),
FM = modulus kehalusan (tanpa satuan).
IV. MESIN PENYOSOH BIJI BURU HOTONG

A. PRINSIP KERJA MESIN


Proses penyosohan biji hotong terjadi dalam rumah penyosohan yang di
dalamnya terdapat roller penyosoh dan plat penyosoh. Kombinasi antara roller
penyosoh dan plat penyosoh ini menghasilkan gesekan dan tekanan pada biji
hotong. Roller penyosohan berfungsi untuk menggesek biji hotong, sedangkan
plat penyosohan berfungsi untuk menekan biji hotong sehingga biji hotong dapat
tersosoh dengan baik. Gambar mesin penyosoh buru hotong dapat dilihat pada
Gambar 6.

Gambar 6. Mesin penyosoh buru hotong

Plat penyosoh terdiri dari 3 (tiga) buah plat di tiga titik sepanjang setengah
lingkaran penutup roller. Jadi, proses penyosohan terjadi sebanyak 3 (tiga) kali
penyosohan.
Menurut Hall and Davis (1978), alat penggiling roller mill lebih tepat
digunakan pada proses penyosohan biji hotong karena penggunaan roller mill
(metode penyosohan dengan tekanan dan gesekan) cukup baik untuk biji hotong
yang mempunyai ukuran diameter biji yang lebih kecil dibandingkan gabah.
Selanjutnya, proses pemisahan biji tersosoh dengan kulit bijinya adalah
dengan pemasangan blower di bawah rumah penyosoh. Blower yang digunakan
adalah blower siput yang mempunyai 2 buah lubang. Kedua lubang ini akan
digunakan sebagai blower penghembus.

B. MEKANISME KERJA MESIN


Biji hotong dari hopper turun melewati lubang pemasukan dan langsung
digesek oleh roller penyosoh yang dikombinasikan dengan tiga buah plat besi di
tiga titik sepanjang setengah lingkaran roller penyosoh. Proses penyosohan
menggunakan metode gesekan antara roller penyosohan dengan plat penyosohan,
yaitu sepanjang setengah lingkaran roller penyosoh, dengan pengaturan jarak
renggang yang sebaik-baiknya antara roller penyosoh dengan plat besi maka kulit
biji hotong yang kering tersebut akan disosoh dengan baik, dimana di dalam ruang
penyosoh terjadi gesekan antara biji dengan roller, biji dengan plat dan antara biji
dengan biji. Gambar skematik proses penyosohan dapat dilihat pada Gambar 7 di
bawah ini.

Gambar 7. Skematik proses penyosohan


Biji yang telah tersosoh dan kulit bijinya akan turun ke bawah, lalu
disalurkan ke lubang pengeluaran. Sebelum bahan yang diproses keluar dari
lubang pengeluaran, kulit biji yang massanya lebih ringan dari bijinya langsung
dihisap oleh blower yang dihubungkan ke lubang pengeluaran.
Perputaran roller penyosohan diatur dengan motor listrik yang
dihubungkan oleh puli dan sabuk. Cara pengisian biji hotong ke dalam hopper
dilakukan secara manual, begitu juga biji yang telah tersosoh ditampung dan
diambil dari tempatnya secara manual.
Kapasitas penyosohan yang optimum tercapai apabila biji yang tersosoh
sebanyak mungkin atau biji yang tidak tersosoh seminimum mungkin. Kapasitas
tinggi juga diperoleh apabila jumlah biji yang dapat disosoh persatuan waktu
sebesar mungkin. Kapasitas penyosohan yang dihasilkan tergantung dari
kecepatan mengumpan serta tenaga yang tersedia untuk penyosohan. Mesin
penyosohan biji hotong dioperasikan oleh satu orang operator.

C. KONSTRUKSI MESIN

C. 1. Desain Fungsional
1. Hopper
Hopper berfungsi sebagai tempat penampung biji hotong yang dilengkapi
dengan lubang pemasukan untuk mengatur jumlah biji yang akan masuk ke rumah
penyosoh.

2. Rumah Penyosoh
Rumah penyosoh digunakan untuk menopang hopper, roller penyosoh,
dan dua buah penutup roller dimana satu bagian merupakan penyosoh dan satu
bagian lagi merupakan penutup roller saja. Bagian-bagiannya dapat diuraikan di
bawah ini :
a. Plat biji tebal 4 mm : digunakan sebagai dudukan
roller penyosoh dan poros.
b. Roller Penyosoh : berfungsi sebagai unit penyosoh
kulit biji hotong yang berputar bergesekan dengan tiga buah plat besi yang
dipasang di sisi salah satu penutup roller.
c. Penutup roller penyosoh : berfungsi untuk menutup
roller penyosoh dan sebagai penyosoh yang dikombinasikan dengan roller
penyosoh, dimana dua buah penutup roller satu bagiannya merupakan
penyosoh dan satu bagian lagi merupakan penutup roller saja.
d. Baut dengan panjang 19 cm dan 20 cm, pipa besi
pejal yang kedua ujung ditap, dan pipa besi bolong diameter 1.2 cm dengan
panjang 15 cm sebagai penghubung dua buah plat besi 44 mm.

3. Sistem transmisi dan dudukannya


Sistem transmisi dan dudukan mesin penyosoh biji buru hotong terdiri dari
bagian-bagian di bawah ini yaitu :
a. poros : berfungsi untuk meneruskan putaran dari
poros motor listrik ke poros roller penyosoh. Selain itu, poros juga berfungsi
sebagai tempat memasang puli.
b. Puli : berfungsi untuk dudukan sabuk, selain itu
ukuran diameter puli yang berbeda dapat memperbesar atau memperkecil
kecepatan putaran mesin.
c. Sabuk V-belt : berfungsi untuk menyalurkan putaran
dari puli pada motor listrik ke puli pada poros roller penyosoh dan ke puli
pada poros blower. Panjangnya disesuaikan dengan jarak antar puli yang
digunakan. Sabuk yang dipakai tipe A karena mudah didapatkan di pasaran
dan disesuaikan dengan tipe puli yang digunakan.
d. Penutup sabuk V-belt dan puli : berfungsi untuk
menutup sabuk V-belt dan puli, juga berfungsi sebagai pelindung.
e. Rangka dudukan bearing : berfungsi sebagai
dudukan bearing.
f. Bearing : berfungsi sebagai dudukan poros atau as.
Ukuran bearing yang dipakai sesuai dengan ukuran diameter as yang
digunakan.
4. Saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan
Saluran ini berada di bawah rumah penyosohan dan berfungsi sebagai
saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan yang belum terpisahkan.

5. Selang pemisahan kulit dengan biji


Saluran ini menghubungkan saluran pengeluaran biji dan kulit tersosoh
yang belum terpisah dengan blower penghisap.

6. Kipas (blower)
Blower berfungsi untuk memisahkan partikel kecil dari biji hotong yang
sudah tersosoh, seperti kulit biji dan kotoran yang terkandung di dalamnya. Biji
yang lebih berat akan tetap jatuh ke bawah pada lubang pengeluaran, dan kulit
serta kotoran yang dikandung akan dihisap dan dikeluarkan dari blower menuju
siklon. Gambar kipas dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kipas penyosoh buru hotong

7. Motor Penggerak
Motor penggerak dari mesin penyosohan kulit biji hotong ini adalah motor
listrik yang berfungsi untuk menghasilkan putaran sebagai sumber tenaga.
8. Rangka penyangga
Rangka penyangga berfungsi sebagai dudukan rumah penyosoh, motor
listrik, saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan, dan blower penghisap.

C. 2. Desain Struktural
Mesin ini terdiri atas delapan bagian utama, yaitu : Hopper, rumah
penyosoh, sistem transmisi dan dudukannya, saluran pengeluaran biji dan kulit
hasil penyosohan, saluran pemisahan kulit dengan biji, kipas, motor listrik, dan
rangka penyangga. Gambar teknik mesin penyosoh hotong dapat dilihat pada
Lampiran 22.
9. Hopper
Hopper merupakan penampung biji yang terbuat dari plat besi dengan
bentuk limas terbalik yang terpotong di bagian bawah. Ukuran Hopper ini adalah
pada bagian atas memiliki ukuran (20 x 30) cm, dan pada bagian bawah
mempunyai ukuran (13 x 7) cm, sedangkan tingginya 21 cm. Hopper ini
menempel pada penutup rumah penyosoh berbentuk huruf U terbalik dan
memiliki ukuran.

10. Rumah penyosohan


Rumah penyosoh terdiri dari dua buah plat besi tebal 4 mm dengan ukuran
26.5 cm x 26 cm, dan di bagian bawah diberi besi siku sebagai penyangga dengan
ukuran 26.5 cm x 3.5 cm.
Bagian roller penyosoh merupakan silinder karet dengan diameter 22 cm,
tebal 4 cm, dan panjang 15 cm, sedangkan bagian tengahnya terdapat dudukan
poros 1 inchi.
Penutup roller penyosoh terdiri dari dua buah plat besi yang masing-
masing diberi bentuk setengah lingkaran dengan keliling setengah lingkarannya
37 cm dan panjangnya 15 cm. Satu bagian dari plat besi ini merupakan penyosoh
dan satu bagian lagi merupakan penutup roller saja. Bagian penutup sekaligus
penyosoh ini mempunyai tiga sisi bagian dalam penutup roller penyosoh. Plat besi
(3 cm x 15 cm) ini dikombinasikan dengan roller penyosoh sehingga bisa
dimanfaatkan sebagai penyosoh dengan metode gesekan antara bahan dengan plat
dan roller. Di bagian atas penutup roller penyosoh terdapat pipa besi bolong
sebagai dudukan baut penghubung antara dua buah plat besi tebal 4 mm, dan di
bagian bawah penutup roller penyosoh terdapat besi siku 4.5 cm x 1 cm panjang
15 cm yang dihubungkan oleh baut dengan diameter 2 cm dan panjang 10 cm.
Baut dengan diameter 2 cm ini berfungsi sebagai pengatur jarak renggang antara
roller penyosoh dengan penutup roller penyosoh.
Untuk menghubungkan dua buah plat besi tebal 4 mm digunakan dua jenis
baut, yaitu baut biasa ukuran 8 mm dengan panjang 20 cm sebanyak dua buah,
dan besi pipa pejal diameter 6 mm yang kedua ujungnya ditap dan dijadikan baut
dengan panjang 19 cm sebanyak 4 buah. Sebagai penutup besi pipa yang ditap dan
dijadikan baut digunakan pipa besi bolong diameter 1.2 cm dan panjang 15 cm.

11. Sistem transmisi dan dudukannya


Sistem transmisi terdiri dari satu bauh poros yang ditempatkan pada roller
penyosoh. Penghubung antara puli adalah sabuk V-belt tipe A, pada sistem
transmisi dibuat juga penutup sabuk dan puli yang terbuat dari plat.

12. Saluran pengeluaran biji dan kulit hasil sosoh


Saluran ini berada di bawah rumah penyosoh yang dihubungkan dengan 4
buah baut 8 mm yang dibuat ke rangka penyangga. Bagian ini terbuat dari besi
plat dan mempunyai bentuk balok dengan ukuran ( 10 x 9) cm.

13. Selang pemisahan kulit dengan biji


Bagian ini memiliki bentuk silinder dengan panjang selang 1 meter dan
diameter 8 cm.

14. Kipas
Kipas penghisap terbuat dari kipas model siput dengan diameter kipas 25
cm, dan diameter saluran udara penghembus 8 cm. Kipas ini banyak terdapat di
pasaran. Dudukannya langsung dihubungkan ke kerangka penyangga dengan
mempergunakan baut 8 mm. Klasifikasi motor penggerak kipas ini adalah
menggunakan motor 1 phase, sedangkan tegangan yang digunakan 220 V dan
mempunyai rpm sebesar 3000/3666 rpm.

15. Motor penggerak


Motor penggerak mesin penyosoh kulit biji hotong ini adalah motor listrik
yang menggunakan arus AC tiga fasa, dengan daya 2.2 kw, sedangkan tegangan
yang digunakan 500 V dan mempunyai rpm sebesar 1425 rpm.

16. Rangka penyangga


Rangka penyangga merupakan meja persegi panjang yang terbuat dari besi
plat dengan ukuran (57 x 23) cm dan tinggi kaki 65 cm (posisi kaki miring).
Diatas meja besi plat akan diletakkan rumah penyosoh dan kipas, sedangkan di
bawah besi plat diletakkan motor penggerak dan saluran pengeluaran biji dan kulit
hasil penyosohan.
V. MESIN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG

A. PRINSIP KERJA MESIN


Proses penepungan biji hotong terjadi dalam rumah penepungan yang di
dalamnya terdapat pisau penepung yang berbentuk balok pejal yang berputar dan
balok pejal statis. Kombinasi antara pisau penepung berbentuk balok pejal yang
berputar dan balok pejal statis menghasilkan tumbukan dan tekanan pada biji
hotong. Pisau penepung berbentuk balok yang berputar berfungsi untuk
menumbuk biji hotong, sedangkan pisau balok yang diam berfungsi untuk
menekan biji hotong sehingga biji hotong dapat menjadi tepung yang berkualitas
baik (halus). Gambar mesin penepung buru hotong dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Mesin penepung buru hotong


Menurut Perry dan Chilton (1978), penggiling pisau digunakan untuk

bahan yang liat atau berserat, dimana aksi pengguntingan lebih efektif

dibandingkan dengan tekanan maupun pukulan/impak. Laju pemasukan bahan

pada ruang pemotong hendaknya tidak melebihi panjang dari pisau pemotong

dengan ketebalan bahan pengumpan tidak lebih dari 1 inchi. Bentuk umum dari

alat penggiling ini adalah rotor dengan pisau pemotong berputar pada ruang

pemotongan dan memotong bahan dengan bantuan pisau tetap pada keliling luar

bahan yang digiling akan keluar melalui saringan dengan ukuran maksimum

tergantung pada jenis saringan yang digunakan.

Setelah terjadi penepungan di dalam rumah penepungan, tepung akan


dilanjutkan menuju lubang pengeluaran mesin penepung. Tepung akan ditampung
pada wadah mesin penepung yang berupa karung.

B. MEKANISME KERJA MESIN


Biji hotong dari hopper turun melewati lubang pemasukan dan langsung
ditumbuk oleh pisau penepung yang berbentuk balok dan berputar yang
dikombinasikan dengan pisau penepung statis. Proses penepungan menggunakan
metode pemotongan antara pisau penepung yang berputar dengan pisau
penepung statis, yaitu sepanjang satu putaran pisau penepung yang berputar satu
lingkaran penuh. Pisau penepung yang menumbuk biji hotong yang akan
ditepungkan dengan kecepatan putar yang tinggi maka akan didapatkan kualitas
tepung yang bagus (halus). Gambar skematik pisau penepung dapat dilihat pada
Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10. Pisau penepung biji hotong

Biji yang telah menjadi tepung akan turun ke bawah karena terdorong oleh
pisau untuk keluar dari rumah penepungan melalui saringan, lalu disalurkan ke
lubang pengeluaran. Partikel yang lebih kecil atau sama ukuran partikelnya
dengan ukuran mesh saringan maka partikel tepung akan disalurkan ke lubang
pengeluaran mesin penepung.
Perputaran pisau penepung diatur dengan motor listrik yang dihubungkan
oleh puli dan sabuk. Cara pengisian biji hotong ke dalam hopper dilakukan secara
manual, begitu juga biji yang telah menjadi tepung ditampung dan diambil dari
tempatnya secara manual.
Kapasitas penepungan yang optimum tercapai apabila biji yang menjadi
tepung dengan kualitas baik (halus) yang dihasilkan banyak atau biji yang tidak
halus seminimum mungkin. Kapasitas tinggi juga diperoleh apabila jumlah biji
yang dapat ditepungkan persatuan waktu sebesar mungkin. Kapasitas penepungan
yang dihasilkan tergantung dari kecepatan mengumpan serta tenaga yang tersedia
untuk penepungan. Mesin penyosohan biji hotong dioperasikan oleh satu orang
operator.

C. KONSTRUKSI MESIN
C.1. Desain Fungsional
Bagian-bagian dari mesin penepungan buru hotong antara lain :
1. Hopper
Hopper berfungsi sebagai tempat penampung biji hotong yang dilengkapi
dengan lubang pemasukan untuk mengatur jumlah biji yang akan masuk ke rumah
penepungan.

2. Rumah penepung
Rumah penepung digunakan untuk menopang hopper, pisau penepung,
dan saringan serta penutup pisau penepung. Bagian-bagiannya dapat diuraikan di
bawah ini :
a. Pisau penepung
Pisau penepung berfungsi sebagai unit penepung biji hotong yang berputar
bertumbukan dengan pisau penepung yang lain dimana pisau yang lain tersebut
diam. Pisau penepung ini terdiri dari 4 pisau, di mana pisau ini akan bergesekan
dengan pisau yang lainnya. Gambar pisau penepung buru hotong yang berputar
dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Pisau penepung buru hotong yang berputar

b. Penutup pisau penepung


Penutup pisau penepung berfungsi untuk menutup pisau penepung dan
sebagai penepung yang dikombinasikan dengan pisau penepung yang berputar,
dimana di dalam penutup pisau penepung ini terdapat bagian pisau penepung
statis. Gambar penutup pisau penepung buru hotong statis dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12. Pisau penepung buru hotong statis

c. Saringan
Saringan berfungsi sebagai penentu ukuran partikel tepung yang
diinginkan sehingga diperoleh hasil tepung yang halus sesuai ukuran meshnya.
Saringan ini berbentuk lingkaran dimana ukurannya disesuaikan dengan lingkaran
rumah penepung. Gambar saringan penepung buru hotong dapat dilihat pada
Gambar 13.

Gambar 13. Saringan penepung buru hotong ukuran mesh 14

3. Sistem transmisi dan dudukannya


Sistem transmisi dan dudukan mesin penepung biji buru hotong terdiri dari
bagian-bagian di bawah ini yaitu :
a. poros : berfungsi untuk meneruskan putaran dari
poros motor listrik ke poros roller penepung, selain itu juga berfungsi sebagai
tempat memasang puli.
b. Puli : berfungsi untuk dudukan sabuk, selain itu
ukuran diameter puli yang berbeda dapat memperbesar atau memperkecil
kecepatan putaran mesin.
c. Sabuk V-belt : berfungsi untuk menyalurkan putaran
dari puli pada motor listrik ke puli pada poros pisau penepung. Panjangnya
disesuaikan dengan jarak antar puli yang digunakan. Sabuk yang dipakai tipe
A karena mudah didapatkan di pasaran dan disesuaikan dengan tipe puli yang
digunakan.
d. Penutup sabuk V-belt dan puli : berfungsi untuk
menutup sabuk V-belt dan puli, juga berfungsi sebagai pelindung.
e. Rangka dudukan bearing : berfungsi sebagai
dudukan bearing.
f. Bearing : berfungsi sebagai dudukan poros atau as.
Ukuran bearing yang dipakai sesuai dengan ukuran diameter as yang
digunakan.

4. Saluran pengeluaran tepung hasil penepungan


Saluran ini berada di bawah rumah penepungan dan berfungsi sebagai
saluran pengeluaran tepung yang dihasilkan dari proses penepungan yang ada di
rumah penepung.

5. Motor Penggerak
Motor penggerak dari mesin penepungan biji hotong ini adalah motor
listrik yang berfungsi untuk menghasilkan putaran sebagai sumber tenaga.

6. Rangka penyangga
Rangka penyangga berfungsi sebagai dudukan rumah penepung dan
hopper, motor listrik, dan saluran pengeluaran tepung.
C.2. Desain Struktural
Mesin ini terdiri atas enam bagian utama, yaitu : Hopper, rumah
penepung, sistem transmisi dan dudukannya, saluran pengeluaran tepung, motor
listrik, dan rangka penyangga. Gambar teknik mesin penepung hotong dapat
dilihat pada Lampiran 23.

7. Hopper
Hopper merupakan penampung biji yang terbuat dari plat besi dengan
bentuk limas terbalik yang terpotong di bagian bawah. Ukuran Hopper ini adalah
(27 x 20 x 21) cm. Hopper ini menempel pada penutup rumah penyosoh
berbentuk huruf U terbalik dan memiliki ukuran.

8. Rumah penepung
Rumah penepung terdiri dari pisau penepung baik yang berputar maupun
statis dan terdapat saringan dengan ukuran 14 mesh. Pisau penepung yang
berputar terdiri dari pisau balok sebanyak empat buah dengan ukuran (3 x 2 x 2)
cm dan pisau silinder sebanyak delapan buah dengan diameter 1.5 cm dan
panjangnya 2.5 cm. Pisau statis terdiri dari pisau balok sebanyak 24 buah dengan
ukuran (2 x 2 x 1.5) cm.
9. Sistem transmisi dan dudukannya
Sistem transmisi terdiri dari satu bauh poros yang ditempatkan pada roller
penyosoh. Penghubung antara puli adalah sabuk V-belt tipe A, pada sistem
transmisi dibuat juga penutup sabuk dan puli yang terbuat dari plat.

10. Saluran pengeluaran tepung hasil penepungan


Saluran ini berada di bawah rumah penyosoh yang dihubungkan dengan 4
buah baut 8 mm yang dibuat ke rangka penyangga. Bagian ini terbuat dari besi
plat dan mempunyai bentuk balok ukuran (15 x 6) cm.

11. Motor penggerak


Motor penggerak mesin penyosoh kulit biji hotong ini adalah motor listrik yang
menggunakan arus AC tiga fasa, , dengan daya 2.2 kw, sedangkan tegangan yang
digunakan 380 V dan mempunyai rpm sebesar 1425 rpm.

12. Rangka penyangga


Rangka penyangga merupakan meja persegi panjang yang terbuat dari besi
plat dengan ukuran (37 x 13.5) cm dan tinggi kaki 29 cm (posisi kaki miring).
Diatas meja besi plat akan diletakkan rumah penepung dan hopper, sedangkan di
bawah besi plat diletakkan motor penggerak dan saluran pengeluaran tepung.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA BURU HOTONG


1. Kandungan Gizi Biji Buru Hotong
Kandungan gizi biji hotong cukup bagus sebagai bahan pangan karena
terlihat bahwa kadar protein dan karbohidrat yang tinggi yakni kadar proteinnya
sebesar (13.30 ± 0.18)% dan kadar karbohidratnya sebesar (67.66 ± 0.19)%,
sedangkan kadar lemaknya sebesar (3.86 ± 0.22)% dan kadar abunya sebesar
(3.35 ± 0.10)% serta kadar airnya adalah (11.83 ± 0.61)%. Kandungan energi
yang terdapat dalam hotong adalah 359 kal/100 g. Analisa sidik ragam
menunjukkan bahwa kandungan gizi tiap bagian malai tidak berbeda nyata pada
taraf nyata 0.05, kecuali pada kandungan abu tiap bagian malai berbeda nyata
pada taraf nyata 0.05. Pengukuran analisis keragaman ini menggunakan anova
single factor dengan taraf nyata 0.05, analisa ini dapat dilihat pada Lampiran 18.
Kandungan gizi pada bagian tengah malai buru hotong sangat bagus
apabila dibandingkan dengan bagian ujung dan pangkal malai hotong, yakni
terlihat bahwa kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi
dibandingkan pada bagian yang lainnya. Kadar protein dan kadar karbohidrat pada
bagian tengah yaitu (13.36 ± 0.28)% dan (67.91 ± 0.09)%, pada bagian pangkal
memiliki kadar protein dan kadar karbohidrat sebesar (13.18 ± 0.14)% dan (67.59
± 0.28)%, sedangkan kadar protein dan kadar karbohidrat pada bagian ujung buru
hotong sebesar (13.36 ± 0.12)% dan (67.49 ± 0.21)%. Kandungan gizi tiap bagian
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi buru hotong


Komponen Pangkal (%) Tengah (%) Ujung (%) Keseluruhan (%)
Kadar Air 11.85 ± 0.04 11.82 ± 0.05 11.84 ± 0.10 11.83 ± 0.61
Kadar Protein 13.18 ± 0.14 13.36 ± 0.28 13.36 ± 0.12 13.30 ± 0.18
Kadar Lemak 3.72 ± 0.23 3.84 ± 4.04 4.04 ± 0.11 3.86 ± 0.22
Kadar Karbohidrat 67.59 ± 0.28 67.91 ± 0.09 67.49 ± 0.21 67.66 ± 0.19
Kadar Abu
3.68 ± 0.13 3.08 ± 0.07 3.28 ± 0.08 3.35 ± 0.10

Kadar lemak pada bagian ujung buru hotong merupakan kandungan


terbesar bila dibandingkan dengan pada bagian pangkal dan tengah yaitu sebesar
(4.04 ± 0.11)%, pada bagian pangkal mempunyai kadar lemak sebesar (3.72 ±
0.23)%, sedangkan pada bagian tengah mempunyai kadar lemak sebesar (3.84 ±
4.04)%.
Bagian tengah buru hotong mempunyai kadar abu yang paling rendah
dibandingkan dengan kadar abu pada bagian yang lainnya yaitu sebesar (3.08 ±
0.07)%. Kadar abu pada bagian pangkal buru hotong sebesar (3.68 ± 0.13)%,
sedangkan pada bagian ujung buru hotong mempunyai kadar abu sebesar (3.28 ±
0.08)%.
Kadar air pada bagian tengah buru hotong cukup rendah dibandingkan
dengan kadar air pada bagian pangkal dan ujung yaitu besar kadar air pada tengah
sebesar (11.82 ± 0.05)%, sedangkan pada bagian pangkal buru hotong kadar
airnya sebesar (11.85 ± 0.04)% dan bagian ujung buru hotong memiliki kadar air
sebesar (11.84 ± 0.10)%. Analisa proksimat dapat dilihat pada Lampiran 3.

2. Dimensi Butir Biji Hotong


Hasil pengukuran terhadap besar kecilnya dimensi butir biji hotong
menunjukkan diameter dan tebal yang berbeda-beda, seperti disajikan dalam
Tabel 3. Ukuran butir biji hotong yang terbesar akan ditentukan sebagai
pendekatan dalam menentukan jarak antara roller penyosoh pada mesin penyosoh
kulit biji hotong.
Diameter biji pada bagian pangkal malai lebih besar dari diameter biji
pada bagian ujung dan tengah malai yakni diameter pada bagian pangkal malai ini
sebesar (1.25 ± 0.05) mm dan mempunyai ukuran dimensi biji hotong sebesar
(1.59 x 1.27 x 0.97) mm, sedangkan diameter biji pada bagian ujung malai sebesar
(1.23 ± 0.05) mm dan mempunyai dimensi biji hotong sebesar (1.55 x 1.26 x
0.95) mm dan pada bagian tengah malai sebesar (1.23 ± 0.06) mm dan
mempunyai ukuran dimensi sebesar (1.56 x 1.26 x 0.95) mm. Ukuran dimensi
butir biji hotong dapat disajikan pada Tabel 3. Analisa sidik ragam menunjukkan
bahwa dimensi biji hotong tiap bagian malai tidak berbeda nyata pada taraf nyata
0.05. Contoh perhitungan pada karakteristik fisik buru hotong dapat dilihat pada
Lampiran 19.

Tabel 3. Dimensi buru hotong


Komponen Pangkal Tengah Ujung Keseluruhan
Panjang biji (mm) 1.59 ± 0.12 1.56 ± 0.11 1.55 ± 0.11 1.57 ± 0.06
Lebar biji (mm) 1.27 ± 0.07 1.26 ± 0.10 1.26 ± 0.06 1.26 ± 0.04
Tebal biji (mm) 0.97 ± 0.10 0.95 ± 0.07 0.95 ± 0.05 0.96 ± 0.04
Diameter biji (mm) 1.25 ± 0.05 1.23 ± 0.06 1.23 ± 0.05 1.24 ± 0.03
Panjang malai (cm)
5.30 ± 1.19 5.30 ± 1.19 5.304 ± 1.19 15.91 ± 3.58
Tabel diatas menunjukkan bahwa ukuran dimensi butir biji hotong adalah
(1.57 x 1.26 x 0.96) mm dan panjang malai rata-rata sebesar (15.91 ± 3.58) cm,
sedangkan diameter hotong merupakan faktor pembatas dalam penentuan jarak
antara roller penyosoh. Diameter biji hotong ditentukan dengan rumus sebagai
berikut :
D = (a x b x c)1/3
Dimana D = diameter biji (mm)
a = panjang biji (mm)
b = lebar biji (mm)
c = tebal biji (mm)
Diameter biji hotong sebesar (1.24 ± 0.03) mm diperoleh dari rumus diatas.
Pengukuran dimensi ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

3. Massa Jenis Biji Hotong


Pengamatan tentang sifat fisik bahan menunjukkan bahwa massa jenis
rata-rata biji hotong adalah (0.64 ± 0.01) g/ml. Berat 1000 biji pada biji hotong
sebesar (1.19 ± 0.03) g. Berat malai pada biji hotong mempunyai massa sebesar
(4.17 ± 1.96) g, sedangkan persentase berat biji per malai sebesar (80.27 ±
2.53)%. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa massa jenis biji hotong tiap
bagian malai berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. Pengukuran berat 1000 biji
dapat dilihat pada Lampiran 5.
Bagian tengah malai massa jenis bijinya paling besar dibandingkan dengan
massa jenis pada bagian malai yang lainnya yakni sebesar (0.65 ± 0.01) g/ml,
pada bagian pangkal malai biji hotong mempunyai massa jenis sebesar (0.64 ±
0.01) g/ml dan pada bagian ujung mempunyai massa jenis sebesar (0.63 ± 0.01)
gr/ml. Pengukuran massa jenis buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 7.
Bagian ujung mempunyai berat bijinya paling berat dibandingkan pada
bagian malai yang lainnya yakni 1000 biji mempunyai massa (1.24 ± 0.12) g,
sedangkan pada bagian pangkal sebesar (1.14 ± 0.01) g dan pada bagian tengah
malai buru hotong mempunyai massa 1000 biji sebesar (1.22 ± 0.07) g.
Bagian tengah malai mempunyai berat malai yang paling tinggi
dibandingkan berat malai pada bagian malai yang lainnya yaitu sebesar (1.29 ±
0.64) g. Hal ini disebabkan karena massa jenis pada bagian tengah malai yang
juga lebih tinggi dibandingkan massa jenis pada bagian malai yang lainnya.
Bagian ujung mempunyai berat malai sebesar (1.25 ± 0.68) g, sedangkan pada
bagian pangkal mempunyai berat sebesar (1.29 ± 0.64) g. Pengukuran massa jenis
ini dapat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Massa jenis dan persentase berat biji hotong per malai hotong
Komponen Pangkal Tengah Ujung Keseluruhan
Massa jenis (g/ml) 0.64 ± 0.01 0.65 ± 0.01 0.63 ± 0.01 0.64 ± 0.01
Berat 1000 biji (g) 1.14 ± 0.01 1.22 ± 0.07 1.24 ± 0.12 1.19 ± 0.03
Berat malai (g) 1.29 ± 0.64 1.63 ± 0.75 1.25 ± 0.68 4.17 ± 1.96
Berat biji/malai (g) 0.99 ± 0.48 1.32 ± 0.60 1.02 ± 0.55 3.35 ± 1.54
Persentase berat biji per
malai (%)
77.23 ± 4.30 81.49 ± 3.10 81.31 ± 3.47 80.27 ± 2.53

Tabel diatas menunjukkan bahwa persentase berat biji per malai pada
bagian tengah paling besar dibandingkan dengan pada bagian yang lainnya yaitu
sebesar (81.49 ± 3.10)%, sedangkan yang terkecil pada bagian pangkal sebesar
(77.23 ± 4.30) % dan pada bagian ujung mempunyai persentase berat biji per
malai sebesar (81.31 ± 3.47)%. Pengukuran karakteristik malai buru hotong dapat
dilihat pada Lampiran 6 dan persentase berat biji per malai dapat dilihat pada
Lampiran 9.

4. Perontokan secara manual


Pengukuran terhadap perontokan secara manual meliputi kapasitas
perontokan, rendemen dan susut tercecer biji. Kapasitas perontokan, rendemen
dan susut tercecer dapat dilihat pada Tabel 5.
Kerontokan biji hotong dari malainya dapat dilakukan dengan empat
metode yaitu :
a. Biji dirontokan dengan cara diurut sampai 15 kali oleh tangan bertekanan
rendah, biji yang berhasil dirontokan lebih dari 85% seluruh biji pada
malai dan malai tidak patah.
b. Biji dirontokan dengan cara digilas oleh tangan diatas permukaan meja
sampai 5 kali bertekanan rendah, biji yang berhasil dirontokan lebih dari
85% dari seluruh biji pada malai dan malai tidak patah.
c. Biji dirontokan dengan digilas oleh kedua tangan sampai 9 kali bertenaga
agak kuat, biji yang berhasil dirontokan lebih besar dari 85% dari seluruh
biji pada malai dan malai tidak patah.
d. Biji dirontokan dengan dibanting ke permukaan meja sampai 10 kali
bertenaga kuat, biji yang berhasil dirontokan sekitar 20% dari seluruh biji
pada malai dan malai tidak patah.
Perontokan secara manual dilakukan dengan berbagai kecepatan yakni
kecepatan rendah, kecepatan sedang dan kecepatan tinggi. Cara perontokan secara
manual ini yaitu dengan cara menggerak-gerakkan jari telunjuk yang bertemu
dengan ibu jari sambil menekan atau semacam mengurut searah dari pangkal
sampai ujung malai. Kapasitas perontokan didapat dari berat biji terontokan dibagi
dengan berat malai awal.

Tabel 5. Perontokan buru hotong secara manual


Komponen Kecepatan tinggi Kecepatan sedang Kecepatan rendah
Kapasitas (kg/jam) 0.59 ± 0.004 0.51 ± 0.012 0.41 ± 0.008
Rendemen (%) 70.70 ± 1.30 72.62 ± 0.67 75.84 ± 0.19
Susut tercecer (%) 8.11 ± 1.58 5.64 ± 0.97 1.51 ± 0.02

Tabel diatas menunjukkan bahwa perontokan pada kecepatan tinggi


diperoleh kapasitas yang tinggi yakni (0.59 ± 0.004) kg/jam, tetapi diperoleh
rendemen yang kecil dan susut tercecer yang besar yakni rendemennya sebesar
(70.70 ± 1.30)% dan susut tercecernya sebesar (8.11 ± 1.58)%, sedangkan dengan
kecepatan yang rendah diperoleh kapasitas yang rendah sebesar (0.41 ± 0.008)
kg/jam, tetapi diperoleh rendemen yang besar yakni (75.84 ± 0.19)% dan susut
tercecer yang cukup kecil sebesar (1.51 ± 0.02)%. Perontokan dengan kecepatan
sedang menghasilkan kapasitas sebesar (0.51 ± 0.012) kg/jam, dan menghasilkan
rendemen sebesar (72.62 ± 0.67)%, serta menghasilkan susut tercecer sebesar
(5.64 ± 0.97)%. Perontokan secara manual ini menghasilkan kapasitas yang sangat
rendah maka diperlukan suatu alat yang dapat membantu untuk meningkatkan
kapasitas perontokan. Perhitungan perontokan manual dapat dilihat pada
Lampiran 10.

5. Pengeringan
Proses pengeringan hasil pertanian dapat dilakukan dengan penjemuran di

bawah sinar matahari atau dengan cara pemberian udara panas secara buatan.

Pengeringan dengan menjemur diatas suatu lamporan merupakan cara

pengeringan alami yang memanfaatkan energi matahari. Pengeringan dengan cara

ini memerlukan tempat yang luas, waktu yang lama, membutuhkan banyak tenaga

manusia dan mutu hasil pengeringannya tergantung pada cuaca.

Pengeringan buatan menggunakan alat pengering mekanis dimana suhu,

kelembaban nisbi udara, kecepatan pengeringan dapat diatur dan diawasi. Gambar

pengering buatan yang di pakai untuk pengeringan buru hotong dapat dilihat pada

Gambar 14.
Gambar 14. Pengering buatan tipe rak

Pengeringan ini bertujuan untuk memperoleh nilai kadar air biji hotong
yang akan disosoh dengan mesin penyosoh dan setelah disosoh akan ditepungkan
dengan mesin penepung biji hotong sebagai bahan perbandingan. Pengeringan biji
hotong ini dilakukan dengan menggunakan alat pengering tipe rak yang terletak di
AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants). Proses pengeringan
dilakukan pada suhu 60oC untuk keperluan bahan baku pangan. Pengeringan
menghasilkan kadar air berturut-turut 6.2%, 8.5% dan 11.1%. Perhitungan
pengeringan buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 8.
B. UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH BURU HOTONG
Data hasil pengujian dari mesin penyosoh biji hotong pada berbagai
tingkat kadar air biji hotong dapat dilihat pada Tabel 6. Dari Tabel 6, perubahan
kadar air biji hotong berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas mesin penyosoh
kulit biji hotong, rendemen penyosohan, efektifitas kipas penyosoh, susut
tercecer, dan kualitas penyosohan buru hotong. Contoh perhitungan performansi
mesin penyosoh buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 20.

Tabel 6. Karakteristik teknik mesin penyosoh biji hotong


Kriteria Kadar air 11.1% Kadar air 8.5% Kadar air 6.2%
Kapasitas penyosohan (kg/jam) 44.86 40.90 32.15
Rendemen (%) 60.17 62.80 68.97
Efektifitas kipas (%) 14.95 15.29 14.56
Susut tercecer (%) 6.58 3.51 5.83
Persentase biji Tersosoh (%) 91.86 92.97 93.00
Persentase biji tak tersosoh (%) 1.00 1.93 3.03
Persentase biji pecah (%) 7.14 5.11 3.97

a. Kapasitas Penyosohan Buru Hotong


Kapasitas penyosohan adalah banyaknya bahan yang disosoh per
satuan waktu (jam). Semakin banyak bahan yang tersosoh dalam waktu
yang relatif singkat menunjukkan bahwa kapasitas yang dicapai semakin
tinggi, dan sebaliknya semakin sedikit bahan yang tersosoh dalam waktu
yang lama berarti kapasitas penyosohan yang dicapai akan rendah. Analisa
sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji
hotong berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas penyosohan pada
penyosohan biji hotong menggunakan mesin penyosoh pada taraf nyata
0.05.
Peningkatan kadar air bahan menunjukkan peningkatan pada
kapasitas penyosohan. Kapasitas penyosohan yang tertinggi adalah pada
kadar air 11.1% yakni sebesar 44.86 kg/jam. Kapasitas penyosohan yang
terendah adalah pada kadar air 6.2% yakni sebesar 32.15 kg/jam,
sedangkan pada kadar air 8.5% mempunyai kapasitas penyosoh sebesar
40.90 kg/jam. Peningkatan kapasitas penyosohan pada tingkat kadar air
yang meningkat dapat disebabkan karena faktor bahan. Kadar air bahan
diturunkan dengan cara pengeringan menyebabkan ukuran bahan tersebut
menjadi lebih kecil dibandingkan jika tidak dikeringkan. Kadar air yang
lebih tinggi dapat menyebabkan biji hotong mudah tersosoh karena dengan
ukuran biji yang besar maka memungkinkan terjadinya gesekan antara biji
dengan biji, biji dengan roller, dan biji dengan plat dan begitu juga
sebaliknya jika kadar air lebih rendah maka proses penyosohan semakin
lambat, oleh karena itu kapasitas penyosohan semakin menurun pula.
Hubungan antara kadar air dengan kapasitas penyosohan dapat dilihat pada
Gambar 15. Pengukuran kapasitas penyosohan buru hotong dapat dilihat
pada Lampiran 11.

50
45
Kapasitas Penyosohan

40
35
(Kg/jam)

30
25
20
15
10
5
0
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 15. Hubungan antara kadar air dengan kapasitas penyosohan

b. Rendemen Penyosohan Buru Hotong


Rendemen penyosohan biji bersih hasil penyosohan diperoleh
dengan cara membagi berat biji hasil penyosohan dengan berat awal bahan
yang disosoh kemudian dikali dengan 100%. Rendemen ini merupakan
hasil dari 3 (tiga) kali proses penyosohan dengan cara pengulangan pada
proses penyosohan. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap
rendemen penyosohan pada penyosohan biji hotong menggunakan mesin
penyosoh pada taraf nyata 0.05.
Data hasil pengujian mesin penyosoh biji hotong ini menunjukkan
bahwa peningkatan kapasitas mesin pada proses penyosohan
mengakibatkan rendemen penyosohan mengalami penurunan.
Rendemen tertinggi diperoleh ketika kadar airnya rendah yakni
pada kadar air 6.2% sebesar 68.97% dan rendemen terkecil diperoleh
ketika kadar air 11.1% sebesar 60.17%, sedangkan pada kadar air 8.5%
maka diperoleh rendemen 62.80%. Hal ini disebabkan karena ketika pada
kadar air tinggi akan mengakibatkan biji hotong saling menempel dan
menempel pada roller dan menempel pada rumah penyosoh akibatnya biji
hotong yang keluar akan sedikit karena tertahan pada rumah penyosoh
sehingga rendemen penyosohan akan semakin menurun. biji hotong
banyak yang keluar melalui celah yang ada pada rumah penyosoh. Begitu
juga sebaliknya, kadar air rendah akan mengakibatkan biji tidak saling
menempel dan juga tidak menempel pada roller dan tidak menempel pada
rumah penyosoh, sehingga biji hotong akan sedikit tertahan pada rumah
penyosoh, akibatnya rendemen yang dihasilkan akan tinggi karena banyak
biji hotong yang keluar melalui lubang pengeluaran. Hubungan antara
kadar air dengan peningkatan rendemen dapat dilihat pada Gambar 16.
Pengukuran rendemen penyosohan buru hotong dapat dilihat pada
Lampiran 11.
70

Rendemen Penyosohan (%)


68
66
64
62
60
58
56
54
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 16. Hubungan rendemen penyosohan dengan kadar air

c. Efektifitas Kipas Penyosohan Buru Hotong


Setelah melalui proses penyosohan di dalam rumah penyosoh, kulit
biji yang telah tersosoh, debu dan kotoran masih bercampur dengan biji
yang telah tersosoh, untuk memisahkan kulit biji dan kotoran tersebut
supaya mendapatkan hasil penyosohan yang bersih, maka diperlukan suatu
aliran udara dengan kecepatan tertentu sehingga kulit biji dan kotoran
dapat dipisahkan dengan biji yang tersosoh. Hal ini menggunakan prinsip
bahwa aliran udara dapat menghisap sekaligus menghembuskan kulit biji
dan kotoran. Aliran udara penghisap sekaligus penghembus ini dapat
dihasilkan oleh blower (kipas) tipe sentrifugal berbentuk siput.
Efektifitas kipas sangat rendah, efektifitas kipas diperoleh dengan
cara membagi jumlah dedak yang dapat dihisap oleh kipas dengan jumlah
dedak keseluruhan yang dihasilkan dari proses penyosohan ini. Efektifitas
kipas yang rendah diakibatkan oleh adanya celah pada pada blower dan
panjang selang yang menghubungkan antara lubang pengeluaran biji
hotong dengan lubang pengeluaran dedak terlalu panjang serta diameter
selang yang terlalu lebar. Adanya celah pada blower mengakibatkan dedak
keluar melalui celah kipas sehingga dedak berhamburan keluar dan
menyebabkan keadaan sekitar mesin penyosoh kotor. Panjang selang yang
terlalu panjang mengakibatkan penghisapan dedak menuju saluran
pengeluaran dedak sangat sulit karena energi yang dibutuhkannya sangat
besar, akibatnya banyak dedak hotong keluar bersama-sama dengan biji
hotong sosoh melalui saluran pengeluaran biji hotong sosoh. Diameter
yang terlalu lebar akan mengakibatkan kecepatan hisap semakin
berkurang, sehingga kemampuan menghisap dedak berkurang pula,
dengan demikian dedak akan keluar bersama-sama dengan biji hotong
sosoh. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan
kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap efektifitas kipas
penyosohan pada penyosohan biji hotong menggunakan mesin penyosoh
pada taraf nyata 0.05. Pengukuran efektifitas kipas dapat dilihat pada
Lampiran 12.
Perbedaan kadar air berpengaruh terhadap efektifitas kipas hal ini
dapat dilihat pada Gambar 17, yakni bahwa pada kadar air 8.5% diperoleh
efisien yang paling tinggi dibandingkan dengan kadar air yang lainnya,
yakni sebesar 15.29%, pada kadar air 6.2% diperoleh efektifitas kipas
sebesar 14.56%, sedangkan pada kadar air 11.1% diperoleh efektifitas
sebesar 14.95%. Ini menunjukkan bahwa dengan kandungan kadar air
yang tinggi menyebabkan efektifitas kipas yang rendah, ini disebabkan
karena dedak biji hotong tersebut juga mempunyai kadar air yang tinggi
sehingga kipas kurang mampu menghisap dedak, akibatnya dedak akan
keluar bersama-sama dengan biji hotong sosoh melalui saluran biji hotong
sosoh, dan bila kadar air terlalu rendah maka dedak biji banyak yang
keluar melalui celah akibatnya dedak yang keluar melalui kipas sedikit
yang menagkibatkan efektifitas kipas terlalui rendah.
15.4

15.2

Efektifitas Kipas (%)


15

14.8

14.6

14.4

14.2

14
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 17. Hubungan efektifitas kipas dengan kadar air

d. Susut Tercecer Penyosohan Buru Hotong


Susut tercecer biji hotong hasil penyosohan diperoleh dengan cara
membagi berat biji yang tercecer pada penyosohan dengan berat biji yang
disosoh kemudian dikali dengan 100%. Susut tercecer ini diperoleh
dengan cara mengambil biji yang tercecer ketika waktu penyosohan
berlangsung dan biji tidak tertampung pada tempat penampung. Hubungan
antara susut tercecer dengan kadar air dapat dilihat pada Gambar 4.
Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air
biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap susut tercecer penyosohan
pada taraf nyata 0.05.
Biji tercecer terjadi karena ketika penyosohan biji hotong ada yang
keluar dari celah mesin dan ada pula yang keluar dari tempat
penampungan. Gambar 18 menunjukkan bahwa susut tercecer terendah
terjadi pada kadar air 8.5% sebesar 3.51%, sedangkan susut tercecer
terbesar terjadi pada kadar air 11.1% sebesar 6.58%. Susut tercecer pada
kadar air 6.2% sebesar 5.83%. Hal ini disebabkan karena dengan kadar air
yang tinggi yaitu 11.1% maka menghasilkan kapasitas yang tinggi
sehingga biji banyak yang keluar dari penampungan penyosoh dan keluar
dari celah yang ada pada rumah penyosoh, akibatnya susut tercecer juga
akan semakin besar, begitu juga dengan kadar air yang rendah yaitu 6.2%
juga menyebabkan susut tercecer yang cukup besar pula. Pengukuran
persentase susut tercecer dapat dilihat pada Lampiran 13.

7
6

Susut Tercecer (%)


5
4
3
2
1
0
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 18. Hubungan susut tercecer dengan kadar air

e. Kualitas Penyosohan Buru Hotong


Biji yang tersosoh dengan baik adalah biji yang telah bersih dari
kulitnya, warna hasil penyosohan kuning terang. Kualitas penyosohan
yang baik adalah persentasi biji utuh dan tersosoh setinggi mungkin, biji
tidak tersosoh dan biji pecah serendah mungkin. Kualitas penyosohan
dapat dilihat pada Gambar 19. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata
terhadap kualitas penyosohan pada taraf nyata 0.05.

Gambar 19. Kualitas penyosohan buru hotong

Persentase biji tersosoh tertinggi diperoleh pada saat penyosohan


pada kadar air 6.2% sebesar 93.00% dan mempunyai persentase biji pecah
yang paling rendah yaitu sebesar 3.97%, namun persentase biji tidak
tersosoh paling tinggi sebesar 3.03%. Hal ini disebabkan karena dengan
kadar air yang rendah maka biji yang mempunyai kadar air yang rendah
akan memerlukan waktu yang cukup lama dalam penyosohan sehingga biji
yang akan tersosoh kemungkinan besar akan banyak, tetapi kelemahan
penyosohan dengan kadar air yang cukup rendah akan menyebabkan biji
sulit tersosoh karena kulit dengan biji melekat sangat kuat. Gambar
hubungan antara kadar air dengan kualitas penyosohan dapat dilihat pada
Gambar 20.
Kualitas Penyosohan

100
80 Biji Tersosoh

60 Biji Tidak Tersosoh


(%)

40 Biji Pecah
20
0
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 20. Hubungan kualitas penyosohan dengan kadar air

Persentase biji tersosoh terendah diperoleh pada saat penyosohan


pada kadar air 11.1% sebesar 91.86% dan mempunyai persentase biji
pecah yang paling tinggi yakni sebesar 7.14%. Persentase biji tidak
tersosoh pada kadar air 11.1% merupakan persentase yang paling rendah
dibandingkan pada kadar air yang lainnya yaitu sebesar 1.00%. Hal ini
disebabkan karena dengan kadar air yang tinggi maka biji akan
memerlukan waktu yang cukup cepat untuk disosoh sehingga biji yang
akan tersosoh kemungkinan akan sedikit, tetapi kelebihannya penyosohan
dengan kadar air yang cukup tinggi akan menyebabkan biji yang tidak
tersosoh sedikit.
Persentase biji tersosoh pada kadar air 8.5% adalah sebesar
92.97%, sedangkan persentase biji tidak tersosoh sebesar 1.93% dan
persentase biji pecah sebesar 5.11%. Pengukuran persentase kualitas
penyosohan dapat dilihat pada Lampiran 13.
Rata-rata biji hotong yang tersosoh dapat dilihat bahwa besarnya
daiatas 90% tetapi dibawah 100%, jadi bila dibandingkan dengan kualitas
sosohan beras maka biji sosoh buru hotong ini termasuk kualitas B yaitu
dengan syarat biji yang tersosoh diatas 90%. Beras sosoh yang termasuk
kualitas yang paling bagus yaitu tidak ada beras yang tidak tersosoh atau
dengan kata lain bahwa beras tersosoh 100%. Ini digolongkan pada
Kualitas A.

C. UJI PERFORMANSI MESIN PENEPUNG BURU HOTONG


Data hasil pengujian dari mesin penepungan biji hotong pada berbagai
tingkat kadar air biji hotong dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7, perubahan
kadar air biji hotong berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas mesin penepung
buru hotong, rendemen penepungan, susut tercecer, dan kualitas penyosohan buru
hotong. Contoh perhitungan performansi mesin penepung buru hotong dapat
dilihat pada Lampiran 21.

Tabel 7. Karakteristik teknik mesin penepung biji hotong


Kriteria Kadar air 11.1% Kadar air 8.5% Kadar air 6.2%
Kapasitas penepungan (kg/jam) 6.618 7.928 7.282
Rendemen penepungan (%) 88.52 86.6 84.64
Susut tercecer (%) 11.48 13.4 15.36
Modulus Kehalusan 1.25 1.63 1.29
Ukuran Tepung (inchi) 0.014 0.016 0.015

a. Kapasitas Penepungan Buru Hotong


Kapasitas penepungan menunjukkan kemampuan alat penepung,
yaitu kemampuan menepung sejumlah bahan dalam waktu tertentu.
Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air
biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas penepungan biji
hotong pada taraf nyata 0.05.
Tabel 7 menunjukkan bahwa hubungan antara kadar air dengan
kapasitas penepungan adalah apabila kadar air biji hotong terlalu basah
dan terlalu kering maka menghasilkan kapasitas yang rendah yakni pada
kadar air 6.6% menghasilkan kapasitas mesin penepung sebesar
7.282kg/jam dan pada kadar air 11.1% menghasilkan kapasitas
6.618kg/jam, dan apabila kadar air biji hotong sebesar 8.5% menghasilkan
kapasitas mesin yang paling bagus dibandingkan dengan kadar air yang
lainnya yaitu menghasilkan kapasitas mesin sebesar 7.928kg/jam. Hal ini
disebabkan karena apabila kadar air yang terlalu tinggi maka biji yang
menjadi tepung akan banyak menempel pada pisau akibatnya akan
memerlukan waktu yang lama untuk menepungkan biji hotong, oleh sebab
itu kapasitas yang dihasilkan akan rendah. Begitu juga pada kadar air yang
rendah, penepungan akan memerlukan waktu yang lama karena banyak
biji tepung yang tidak saling menempel akibatnya pisau akan kesulitan
dalam menepungkan biji hotong. Hubungan kadar air dengan kapasitas
mesin penepung dapat dilihat pada Gambar 21. Pengukuran kapasitas
penepungan dapat dilihat pada Lampiran 14.

8.50
Kapasitas Penepungan (%)

8.00

7.50

7.00

6.50

6.00

5.50
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 21. Hubungan kadar air dengan kapasitas mesin penepung biji
Hotong
b. Rendemen Penepungan Buru Hotong
Rendemen menunjukkan persen hasil, yaitu perbandingan berat
akhir dan berat awal penepungan dikalikan dengan 100. Rendemen ini
menunjukkan pula persen tepung yang hilang selama proses penepungan.
Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air
biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen tepung pada
penepungan biji hotong menggunakan mesin penepung pada taraf nyata
0.05.
Tabel 7 menunjukkan bahwa hubungan kadar air dengan rendemen
tepung pada penepungan biji hotong menggunakan mesin penepung adalah
semakin tinggi kadar air biji hotong maka rendemen yang dihasilkan
semakin tinggi, begitu pula sebaliknya, apabila kadar air biji hotong
semakin rendah maka rendemen yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini
disebabkan karena apabila kadar air terlalu tinggi maka penepungan akan
lebih mudah terjadi, sebab sifat biji hotong adalah liat. Proses ini juga
terlihat pada Gambar 22.

89
Rendemen Penepungan (%)

88
87
86
85
84
83
82
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 22. Hubungan kadar air dengan rendemen penepungan biji hotong

Gambar diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar airnya


maka semakin tinggi rendemen tepung pada proses penepungan biji
hotong. Rendemen yang dihasilkan pada kadar air 6.2% merupakan
rendemen yang paling rendah yaitu sebesar 84.64%, sedangkan pada kadar
air 8.5%, rendemen penepungannya sebesar 86.6%. Rendemen sebesar
88.52% merupakan rendemen penepungan pada kadar air 11.1% yang
merupakan rendemen penepungan buru hotong yang paling besar.
Pengukuran rendemen penepungan dapat dilihat pada Lampiran 14.

c. Susut Tercecer Penepungan Buru Hotong


Besarnya susut tercecer biji hotong hasil penepungan diperoleh
dengan cara membagi berat biji yang tercecer pada proses penepungan
dengan berat tepung kemudian dikali dengan 100%. Susut tercecer ini
diperoleh dengan cara mengambil tepung yang tercecer ketika waktu
penepungan berlangsung dan tepung tidak tertampung pada tempat
penampung. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap susut
tercecer tepung pada penepungan biji hotong menggunakan mesin
penepung pada taraf nyata 0.05.
Tepung tercecer terjadi karena ketika penepungan terjadi banyak
tepung yang menempel pada rumah penepung dan pisau mesin penepung
dan ada pula yang keluar dari tempat penampungan. Gambar 23
menunjukkan bahwa susut tercecer terendah terjadi pada kadar air 11.1%
sebesar 11.48%, sedangkan susut tercecer terbesar terjadi pada kadar air
6.2% sebesar 15.36%. Susut tercecer pada kadar air 8.5% sebesar 13.4%.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila kadar air sangat tinggi maka susut
tercecer akan kecil karena dengan kadar air yang tinggi maka proses
penepungan akan lebih mudah terjadi karena sifat prinsip mesin penepung
adalah dengan cara pemotongan dan cocok untuk bahan yang liat. Begitu
juga sebaliknya, kadar air yang rendah akan menimbulkan susut tercecer
yang tinggi, hal ini disebabkan karena proses penepungan sulit terjadi
sebab biji hotong terlalu kering akibatnya pisau yang memotong biji yang
kering sulit untuk mengecilkan ukuran biji tersebut. Pengukuran susut
tercecer penepungan dapat dilihat pada Lampiran 14.
18
16
14

Susut Tercecer (%)


12
10
8
6
4
2
0
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 23. Hubungan antara kadar air dengan susut tercecer pada
proses penepungan

d. Derajat Kehalusan Penepungan Buru Hotong


Derajat kehalusan (fineness modulus) merupakan bilangan yang
mewakili ukuran rata-rata partikel bahan hasil penepungan, dengan
menggunakan test pengayakan Tyler maka dapat diketahui derajat
kehalusannya dengan menggunakan jumlah masing-masing fraksi yang
tertahan pada tiap ayakan dikalikan dengan menggunakan faktor
pengalinya dan dibagi 100. pengukuran berat tepung buru hotong yang
tertampung pada tiap mesh pada ayakan tyler pada bebagai kadar air dapat
dilihat pada Lampiran 15. Lampiran tersebut menunjukkan bahwa yang
lolos pada mesh 60 pada perlakuan kadar air 6.2%, 8.5% dan 11.1%
adalah berturut-turut sebesar 17.44%, 20.77% dan 21.78%. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas tepung ini sangat rendah karena tepung yang
lolos pada mesh 60 di bawah 90%, dimana angka 90% ini syarat sebagai
tepung tapioka dapat dipasarkan, untuk itu perlu penanganan khusus pada
penepungan hotong agar diperoleh kualitas tepung yang bagus.
pada kadar air 6.2% mempunyai derajat kehalusan yang rendah
yakni 1.29, begitu juga pada kadar air yang rendah yakni pada kadar air
11.1% maka derajat kehalusannya sebesar 1.25. Derajat kehalusan pada
kadar air 8.5% adalah sebesar 1.63. Perbedaan kadar air biji hotong
berpengaruh sangat nyata terhadap derajat kehalusan tepung pada taraf
nyata 0.05. Pengukuran persentase berat tepung buru hotong yang
tertampung pada tiap mesh pada ayakan tyler pada bebagai kadar air dapat
dilihat pada Lampiran 16.
Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara derajat
kehalusan yang satu dengan yang lainnya pada proses penepungan dengan
perbedaan kadar air. Kadar air 11.1% dan 6.2% merupakan kadar air yang
cocok untuk memperoleh derajat kehalusan yang bagus, karena
menghasilkan kehalusan tepung yang cukup baik. Ini disebabkan karena
dengan kadar air yang rendah maka pisau penepung akan lebih mudah
memecahkan biji hotong hingga halus dan dengan kadar air yang tinggi
maka kehalusan tepung akan diperoleh karena sifat biji hotong adalah liat
sehingga hotong akan menempel pada pisau akibatnya pisau akan
menghaluskan biji hotong menjadi tepung yang halus. Gambar kualitas
penepungan buru hotong dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Kualitas tepung buru hotong sosoh berdasarkan meshnya

Hasil test pengayakan tyler menunjukkan bahwa tepung biji hotong


yang dihasilkan oleh mesin penepung biji hotong tertahan pada fraksi
halus dan sedang, yaitu mulai ayakan 28 mesh sampai pan. Hubungan
kadar air buru hotong terhadap derajat kehalusan tepung biji hotong dapat
dilihat pada Gambar 25. Pengukuran derajat kehalusan tepung biji hotong
dapat dilihat pada Lampiran 17.
1.80
1.60
1.40

Derajat Kehalusan
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 25. Hubungan antara kadar air dengan derajat kehalusan


tepung biji hotong

e. Ukuran Partikel Tepung Buru Hotong


Ukuran partikel tepung dapat menunjukkan kehalusan tepung,
semakin kecil ukuran tepung maka semakin halus tepung tersebut, dan
sebaliknya, bila ukuran tepung semakin besar maka tingkat kehalusan
tepung semakin kasar. Ukuran partikel ini dapat diperoleh dengan rumus D
= 0.0041 x (2)FM dimana D adalah ukuran partikel tepung, sedangkan FM
adalah derajat kehalusan.
Gambar 26 menunjukkan bahwa pada kadar air sebesar 6.2%
mempunyai ukuran partikel tepung buru hotong sebesar 0.015 inchi,
sedangkan pada kadar air 8.5% menghasilkan ukuran rata-rata tepung biji
hotong sebesar 0.016 inchi. Ukuran rata-rata tepung pada kadar air 11.1%
adalah sebesar 0.014 inchi. Jadi, penepungan dengan kadar air 11.1%
mempunyai kehalusan tepung yang paling bagus karena ukuran rata-rata
partikel tepungnya paling rendah. Perbedaan kadar air biji hotong
berpengaruh sangat nyata terhadap ukuran partikel tepung pada taraf nyata
0.05. Hubungan kadar air Buru hotong dengan ukuran partikel tepung
dapat dilihat pada Gambar 23. Pengukuran ukuran partikel tepung biji
hotong Lampiran 17.
0.0165

Ukuran Partikel Tepung (inchi)


0.0160

0.0155

0.0150

0.0145

0.0140

0.0135

0.0130
6.20% 8.50% 11.10%
Kadar Air

Gambar 26. Hubungan antara kadar air dengan ukuran partikel tepung

Berdasarkan pertimbangan kadar air biji hotong yang digunakan,


pengoperasian mesin penyosoh dan penepung biji hotong akan lebih optimal pada
saat kadar air biji hotong sebesar 11.1%. Dalam kondisi operasional dengan
menggunakan kadar air biji hotong 11.1%, mesin penyosoh dapat menghasilkan
kapasitas yang lebih tinggi (44.86kg/jam), persentase biji tak tersosoh paling
sedikit (1%), efektifitas kipas yang cukup tinggi (14.95%), dan persentase biji
tersosoh yang cukup besar (91.86%). Dalam kondisi operasional dengan
menggunakan kadar air biji hotong 11.1%, mesin penepung dapat menghasilkan
rendemen paling tinggi (88.52%), susut tercecer paling rendah (11.48%), derajat
kehalusan paling kecil (1.25), dan ukuran partikel tepung paling kecil (0.014
inchi).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Posisi biji dalam setiap malai
berpengaruh terhadap kandungan gizi biji hotong, malai bagian tengah
mengandung kadar protein dan karbohidrat yang lebih tinggi dan kadar
abu dan kadar air lebih rendah dibandingkan dengan bagian ujung dan
pangkal malai, sedangkan kadar Lemak tertinggi terdapat pada bagian
ujung malai. Dimensi biji hotong pada bagian pangkal lebih besar
dibandingkan pada bagian tengah dan ujung. Massa jenis rata-rata biji
hotong paling besar terletak pada bagian tengah. Berdasarkan
pertimbangan posisi malai, konsumsi hotong sebagai bahan pangan
akan lebih bagus pada posisi malai bagian tengah.
2. Kadar air berpengaruh terhadap
kapasitas, rendemen, susut tercecer, dan kualitas selama proses
penyosohan.
• Kapasitas penyosohan tertinggi adalah pada kadar air
11.1% yaitu sebesar 26.32 kg/jam.
• Rendemen tertinggi, persentase biji tersosoh tertinggi,
dan persentase biji pecah yang paling rendah terjadi pada saat
penyosohan dengan kadar air 6.2%, yaitu berturut-turut sebesar
68.97%, 93% dan 3.97%.
3. Kadar air berpengaruh terhadap
kapasitas, rendemen, susut tercecer, dan kualitas selama proses
penepungan.
• Rendemen tertinggi, susut tercecer penepungan yang
paling rendah, derajat kehalusan dan ukuran partikel tepung
terkecil terjadi pada saat penepungan dengan kadar air 11.1%, yaitu
berturut-turut sebesar 88.52%, 11.48%, 1.25 dan 0.014 inchi.
• Kapasitas penepungan tertinggi terjadi pada saat
penepungan dengan kadar air 8.5% sebesar 7.282 kg/jam.
4. Berdasarkan pertimbangan kadar air
biji hotong yang digunakan, pengoperasian mesin penyosoh dan
penepung biji hotong akan lebih optimal pada saat kadar air biji hotong
sebesar 11.1%.
B. SARAN
1. Blower dan selang untuk menyerap
sampah perlu dikaji lagi karena menghasilkan efisiensi yang rendah
dan perlu perbaikan pada rumah penyosoh karena biji hotong dan
dedak ada yang keluar lewat celah yang ada pada rumah penyosoh.
2. Mesin penepung buru hotong perlu
dimodifikasi lagi terutama pada putaran pisau penepung perlu
ditambah rpmnya sehingga dapat diperoleh kapasitas dan kualitas
penepungan yang baik.
3. Mesin penyosoh dan penepung buru
hotong perlu dikembangkan lagi agar diperoleh performansi
penyosohan dan penepungan yang bagus.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, K., Atjeng M. Syarief, Ervan A, Nugroho, Darmawan Subekti. 1989.


Teknik Pengolahan Hasil Pertanian Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB,
Bogor.

Albin, R., Drake, c. 1971. Sorghum grain can be improved. In The Grain Sorghum
Research and Utilization Conference. Grain Sorghum Producers
Association, Texas.

Anonim. 2005. Hotong : Budidaya, Analisis Untung Rugi dan kandungan Gizi.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Namlea, Pemda Kabupaten Buru.

Araullo, E. V., D. B. Padua and M. Graham. 1976. Rice Post Harvest Technology.
International development Research Centre, Jakarta.

Arifudin, R. 1993. Pembuatan Tepung Ikan. Sub Balai Penelitian Laut Slipi,
Jakarta.

As’ady, A. S. 1986. Rancangan dan Uji Teknis Prototipe Alat Penepung Ikan
Semi Mekanis. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.

Brennan, J. G., J. R. Butters, N. D. Cowwel and A. E. V. Lilly. 1969. Food


Engginering Operations. Elsevier Publishing Co., New York.

Curay . 1951. Di Dalam Mohsenin, N. N. 1970. Physical Properties of Plant and


Animal Materials. Gordon and Breach Science Publisher, Inc., New York.

Daywin, F. J., Moelyarno D., dan R. G. Sitompul. 1990. Motor Bakar Internal dan
Tenaga di Bidang Pertanian. JICA-IPB, Bogor.

Esmay, M., Soemangat, Eriyatno Allan Philips. 1979. rice Post Production in The
Tropica. The University Press Hawai, Honolulu.

Grist, D. H. 1975. rice. 5 th ed, Lungmans, London.

Gunarto, B. 1978. Rice Milling in Indonesia, its Problem in 1978. Directorate of


Food Crop Economics. Departement of Agriculture, Jakarta.
Hadiwiyoto, S., Hardiman, dan Soehardi, 1980. Penanganan Lepas Panen I.
Bagian Proyek Pengadaan Buku, Departemen Pendidikan Kebudayaan RI.
Jakarta.

Hall, C. W., dan D. C. Davis. 1978. Processing Equipment for Agricultural


Product 2nd edition. The AVI Pub. Company, Inc., Westport, Conecticut.

Handerson, S. M. and R. L. Perry. 1978. Agricultural Process Engineering. The


AVI Publishing Company Inc. Westport, Connectcut, USA.

Hardjosentono, M., Wiyono, Elon Rachman, I. Y. Badra dan Dadang Tarmana.


1978. Mesin-Mesin Pertanian. CV Yasaguna, Jakarta.

Hunt, D. 1983. Farm Power and Machinery Management. 8th edition. Iowa State
University Press, Ames, Iowa.

Ismayandi. 1985. Desain dan Uji Teknis Alat Penggiling Jagung. Skripsi. Fateta,
IPB, Bogor.

Kharisun, A. 2003. Uji Performansi Perontok Hotong (Setaria italica (L.) Beauv)
pada Berbagai Ukuran Puli II. Skripsi. Fakultas teknologi Pertanian IPB,
Bogor.

Kurniawan, K. L. 1977. Mempelajari Pengaruh Varietas, Kadar Air, dan waktu


Sosoh Terhadap Rendemen dan Mutu Sorgum Sosoh. Tesis. Departemen
Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta-IPB, Bogor.

Kusmiarso, B. 1987. Pengkajian Performansi Teknik pada Proses Penggilingan


Tepung Sekam dengan Penggiling Pisau. Fateta, IPB, Bogor.

Leniger, H. A., dan W. A. Baverloo. 1975. Food Process Engineering. D. Reidel


Publishing Company, Dordreht, Holland.
Loncin, M. dan R. L. Merson. 1979. Food Engineering Principles and Selected
Applications. Academic Press, New York, Toronto, London.

Mohsenin, N. N. 1970. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon


and Breach Science Piblisher, Inc., New York.

Okristian, J. 1999. Proses Produksi Tepung Terigu di PT. Bogasari Fluor Mills.
Laporan Praktek Lapang. Jurusan Teknik Pertanian, IPB, Bogor.

Pamudji, H. 1983. Mempelajari Pengaruh Kecepatan Gigi dan Intensitas Gilingan


serta Bentuk Pemukul terhadap Kebutuhan Tenaga dan Mutu Hasil
Gilingan Jagung pada Hammer Mill. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
Pratomo, Moedjijarto. 1975. Teknik Pengolahan Hasil Pertanian. Pedoman
Kuliah. Departemen Mekanisasi Pertanian. Fakultas Mekanisasi Teknologi
Hasil Pertanian, IPB, Bogor.

Purwadaria, H. K. 1980. Pengolahan Sorgum Terutama pada Penyosohannya.


IPB, Bogor.

Rokhani. 1989. Uji Performansi Pengering Tipe Rak pada Pengeringan Jahe dan
Kunyit serta Pengaruh Perlakuan Bahan Terhadap Mutu yang Dihasilkan.
Fateta, IPB, Bogor.
Rokhani, H., Sutrisno, dan Sam Herodian. 2003. Teknologi Pengolahan Hermada
dalam Rangka Diversivikasi Usaha Tani Hotong. Makalah Lokakarya
Pengembangan Hotong-Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta.
Hotel Indonesia. Jakarta 6 – 7 Oktober 2003.

Soesarsono, W. 1977. Teknik Pengolahan dan Penyimpanan Hasil Panen.


Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta-IPB, Bogor.

Suwelo, I. S. 1980. Laporan Kemajuan Penelitian Pemuliaan Jagung, Sorgum dan


Gandum. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar timbangan analitik dan timbangan biasa

Timbangan analitik
Timbangan biasa

Lampiran 2. Gambar gelas ukur, oven dan ayakan tyler

Gelas ukur
Oven

Ayakan tyler
Lampiran 3. Analisa proksimat untuk mengetahui kandungan gizi buru hotong

Komponen Pangkal Tengah Ujung


Portein 13.28 13.16 13.43
13.08 13.56 13.28
Total 13.18 13.36 13.36
±0.14 ±0.28 ±0.11
Karbohidrat 67.39 67.97 67.34
67.78 67.85 67.63
Total 67.59 67.91 67.49
±0.28 ±0.09 ±0.21
Lemak 3.88 4.06 4.12
3.55 3.61 3.96
Total 3.72 3.84 4.04
±0.23 ±0.32 ±0.11
Kadar air 11.87 11.78 11.77
11.82 11.85 11.91
Total 11.85 11.82 11.84
±0.04 ±0.05 ±0.10
Abu 3.58 3.03 3.34
3.77 3.13 3.22
Total 3.68 3.08 3.28
±0.13 ±0.07 ±0.08
Lampiran 4. Dimensi biji tiap bagian malai hotong
Sampel Panjang Biji (mm) Lebar Biji (mm) Tebal Biji (mm) Diameter Biji (mm)
Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung
1 1.65 1.46 1.66 1.33 1.17 1.25 0.86 0.94 1.02 1.24 1.17 1.28
2 1.61 1.57 1.65 1.33 1.39 1.22 0.90 0.92 1.01 1.28 1.26 1.27
3 1.48 1.62 1.52 1.16 1.41 1.19 1.00 1.00 0.90 1.21 1.32 1.18
4 1.48 1.58 1.51 1.22 1.34 1.20 0.87 0.88 0.99 1.16 1.23 1.22
5 1.62 1.64 1.47 1.21 1.32 1.31 0.96 1.07 0.99 1.23 1.32 1.24
6 1.65 1.66 1.46 1.34 1.41 1.29 1.21 0.89 1.01 1.39 1.28 1.24
7 1.69 1.66 1.46 1.10 1.27 1.28 1.00 0.92 0.91 1.23 1.25 1.19
8 1.63 1.68 1.54 1.28 1.37 1.23 0.82 1.07 0.94 1.20 1.35 1.21
9 1.51 1.60 1.55 1.29 1.04 1.23 1.07 0.94 0.96 1.28 1.16 1.22
10 1.45 1.58 1.31 1.39 1.29 1.14 1.01 0.95 0.99 1.27 1.25 1.14
11 1.75 1.52 1.64 1.28 1.26 1.33 1.01 1.01 0.87 1.31 1.25 1.24
12 1.56 1.68 1.61 1.27 1.34 1.35 0.86 0.92 1.00 1.19 1.27 1.30
13 1.23 1.75 1.58 1.18 1.37 1.22 1.13 0.84 1.02 1.18 1.26 1.25
14 1.59 1.44 1.28 1.29 1.21 1.18 0.96 1.07 0.87 1.25 1.23 1.10
15 1.54 1.34 1.76 1.26 1.18 1.24 0.98 0.98 0.88 1.24 1.16 1.24
16 1.41 1.47 1.62 1.27 1.21 1.34 1.08 0.94 0.87 1.25 1.19 1.24
17 1.63 1.42 1.55 1.30 1.21 1.35 0.90 0.85 0.93 1.24 1.13 1.25
18 1.52 1.47 1.54 1.28 1.26 1.26 0.94 0.99 0.96 1.22 1.22 1.23
19 1.68 1.55 1.60 1.21 1.31 1.25 0.98 0.81 0.91 1.26 1.18 1.22
20 1.66 1.38 1.57 1.32 1.05 1.24 1.05 1.01 0.95 1.32 1.14 1.23
21 1.68 1.53 1.66 1.32 1.29 1.32 0.90 0.96 0.96 1.26 1.24 1.28
22 1.70 1.44 1.63 1.26 1.29 1.25 0.95 0.89 0.92 1.27 1.18 1.23
23 1.65 1.62 1.46 1.21 1.19 1.18 0.86 1.02 0.91 1.20 1.25 1.16
24 1.72 1.69 1.65 1.29 1.10 1.31 1.10 0.85 1.00 1.35 1.16 1.29
25 1.62 1.68 1.49 1.36 1.21 1.22 0.96 1.03 0.90 1.28 1.28 1.22
Rata- 1.59 1.56 1.55 1.27 1.26 1.26 0.97 0.95 0.95 1.25 1.23 1.23
rata ±0.12 ±0.11 ±0.11 ±0.07 ±0.1 ±0.06 ±0.10 ±0.07 ±0.05 ±0.05 ±0.06 ±0.05
Lampiran 5. Kadar air dan berat 1000 biji
Sampel Kadar Air (%) Berat 1000 Biji (gram)
Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung
1 15.10 15.25 15.42 1.13 1.32 1.21
2 15.00 15.40 15.41 1.12 1.30 1.23
3 15.08 15.28 15.60 1.14 1.30 1.27
4 15.04 15.26 15.46 1.14 1.32 1.27
5 15.02 15.40 15.48 1.16 1.33 1.26
6 15.20 15.38 15.44 1.13 1.20 1.21
7 15.00 15.40 15.42 1.14 1.20 1.19
8 15.02 15.40 15.42 1.13 1.18 1.23
9 15.02 15.32 15.40 1.13 1.17 1.21
10 15.10 15.34 15.41 1.12 1.19 1.19
11 15.00 15.35 15.40 1.11 1.17 1.20
12 15.02 15.30 15.40 1.11 1.20 1.21
13 15.00 15.40 15.40 1.12 1.20 1.21
14 15.04 15.30 15.42 1.13 1.20 1.23
15 15.00 15.32 15.42 1.12 1.20 1.22
16 15.04 15.36 15.41 1.14 1.17 1.22
17 15.02 15.36 15.40 1.15 1.10 1.22
18 15.05 15.30 15.42 1.14 1.12 1.22
19 15.00 15.28 15.44 1.14 1.15 1.22
20 15.15 15.40 15.41 1.15 1.10 1.22
21 15.00 15.24 15.44 1.14 1.27 1.20
22 15.02 15.30 15.40 1.14 1.27 1.19
23 15.00 15.25 15.42 1.14 1.24 1.20
24 15.02 15.28 15.42 1.16 1.24 1.19
25 15.00 15.25 15.40 1.15 1.24 1.80
Rata-rata 15.04 15.32 15.43 1.14 1.22 1.24
±0.05 ±0.06 ±0.04 ±0.01 ±0.07 ±0.12
Lampiran 6. Karakteristik malai buru hotong

Sampel Kadar Air Berat 1000 Panjang Lebar Biji Tebal Biji Diameter Panjang Berat Berat Biji Persentase Massa
(%) Biji (gram) Biji (mm) (mm) (mm) Biji (mm) Malai (cm) Malai Tiap Malai Berat Biji Jenis
(gram) (gram) per Berat (gram/ml)
Malai (%)
1 15.26 1.22 1.59 1.25 0.94 1.23 13.7 3.32 2.72 81.93 0.64
2 15.27 1.22 1.61 1.31 0.94 1.27 18.5 5.85 4.72 80.68 0.64
3 15.32 1.24 1.54 1.26 0.97 1.24 21.4 8.26 6.44 77.97 0.65
4 15.25 1.24 1.52 1.25 0.91 1.20 15.7 3.89 3.04 78.15 0.64
5 15.30 1.25 1.58 1.28 1.01 1.26 12.3 2.79 2.39 85.66 0.64
6 15.34 1.18 1.59 1.35 1.04 1.30 15.4 3.15 2.55 80.95 0.64
7 15.27 1.18 1.60 1.22 0.94 1.22 14.6 3.63 2.90 79.89 0.65
8 15.28 1.18 1.62 1.29 0.94 1.25 19.2 3.99 3.16 79.20 0.65
9 15.25 1.18 1.55 1.19 0.99 1.22 15.6 2.49 1.99 79.92 0.63
10 15.28 1.17 1.45 1.27 0.98 1.22 12.0 1.92 1.47 76.56 0.64
11 15.25 1.16 1.64 1.29 0.96 1.27 22.1 5.23 3.83 73.23 0.64
12 15.24 1.17 1.62 1.32 0.93 1.25 19.3 5.02 4.10 81.67 0.64
13 15.27 1.18 1.52 1.26 1.00 1.23 11.9 2.42 2.05 84.71 0.63
14 15.25 1.19 1.44 1.23 0.97 1.19 11.1 1.39 1.15 82.73 0.65
15 15.25 1.19 1.55 1.23 0.95 1.21 17.5 5.52 4.43 80.25 0.64
16 15.27 1.18 1.50 1.27 0.96 1.23 22.2 7.40 6.00 81.08 0.64
17 15.26 1.16 1.53 1.29 0.89 1.21 11.8 2.62 2.07 79.01 0.64
18 15.26 1.17 1.51 1.27 0.96 1.22 10.7 1.77 1.44 81.36 0.64
19 15.24 1.17 1.61 1.26 0.90 1.22 13.1 2.87 2.32 80.84 0.64
20 15.32 1.16 1.54 1.20 1.00 1.23 18.8 5.73 4.53 79.06 0.65
21 15.23 1.20 1.62 1.31 0.94 1.26 20.1 8.39 6.59 78.55 0.65
22 15.24 1.20 1.59 1.27 0.92 1.23 17.1 4.57 3.58 78.34 0.65
23 15.22 1.19 1.58 1.19 0.93 1.20 12.5 2.63 2.14 81.37 0.64
24 15.24 1.19 1.69 1.23 0.98 1.27 14.6 3.57 2.94 82.35 0.64
25 15.22 1.19 1.60 1.26 0.96 1.26 16.6 5.95 4.83 81.18 0.64
Rata-rata 15.26 1.19 1.57 1.26 0.96 1.24 15.91 4.17 3.34 80.27 0.64
±0.03 ±0.03 ±0.06 ±0.04 ±0.04 ±0.03 ±3.58 ±1.96 ±1.54 ±2.53 ±0.01
Lampiran 7. Massa jenis tiap bagian malai hotong
Sampel Berat 1000 ml Biji (gram) Volume (ml) Massa Jenis (g/ml)
Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung
1 634.30 659.83 625.84 1000 0.6343 0.6598 0.6258
2 635.61 650.94 635.40 1000 0.6356 0.6509 0.6354
3 630.07 672.72 644.95 1000 0.6301 0.6727 0.6449
4 637.89 641.75 635.51 1000 0.6379 0.6417 0.6355
5 642.11 650.27 640.62 1000 0.6421 0.6503 0.6406
6 644.92 632.63 653.16 1000 0.6449 0.6326 0.6532
7 670.08 660.84 609.69 1000 0.6701 0.6608 0.6097
8 637.68 651.49 653.20 1000 0.6377 0.6515 0.6532
9 626.49 660.84 617.98 1000 0.6265 0.6608 0.6180
10 647.40 641.14 637.63 1000 0.6474 0.6411 0.6376
11 651.70 633.08 632.93 1000 0.6517 0.6331 0.6329
12 641.50 639.53 636.65 1000 0.6415 0.6395 0.6366
13 624.86 654.07 621.91 1000 0.6249 0.6541 0.6219
14 644.43 655.11 635.62 1000 0.6444 0.6551 0.6356
15 624.59 648.45 643.29 1000 0.6246 0.6485 0.6433
16 641.21 653.57 621.33 1000 0.6412 0.6536 0.6213
17 635.95 651.59 629.55 1000 0.6359 0.6516 0.6295
18 645.98 632.78 642.87 1000 0.6460 0.6328 0.6429
19 627.52 645.60 640.18 1000 0.6275 0.6456 0.6402
20 636.49 659.17 649.43 1000 0.6365 0.6592 0.6494
21 643.11 673.44 620.76 1000 0.6431 0.6734 0.6208
22 648.77 660.94 641.90 1000 0.6488 0.6609 0.6419
23 635.67 660.84 627.62 1000 0.6357 0.6608 0.6276
24 648.96 627.78 629.40 1000 0.6490 0.6278 0.6294
25 630.93 655.52 623.96 1000 0.6309 0.6555 0.6240
Rata-rata 639.53 650.96 634.05 1000 0.6395 0.651 0.6341
±10.08 ±11.98 ±11.20 ±0.01 ±0.01 ±0.01
Lampiran 8. Pengukuran kadar air awal dan kadar air pengeringan buru hotong dengan menggunakan oven dan pengering tipe rak
Pengukuran kadar air awal menggunakan oven
Kriteria Kadar Air Awal
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rata-rata
Bo (g) 10.00 10.00 10.00 10.00
Btaw (g) 8.08 8.06 8.07 8.07
∆ B (g) 1.92 1.94 1.93 1.93
Kabb (%) 19.2 19.4 19.3 19.3
Kabk (%) 23.8 24.1 23.9 23.9

Pengukuran kadar air buru hotong dengan menggunakan pengering tipe rak
Kriteria Kadar Air I Kadar Air II Kadar Air III
Sampel Sampel Sampel Rata- Sampel Sampel Sampel Rata- Sampel Sampel Sampel Rata-
1 2 3 rata 1 2 3 rata 1 2 3 rata
Kaawal 19.3 19.3 19.3
Btaw (g) 8.07 8.07 8.07
Bo (g) 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00
Btak (g) 8.58 8.61 8.60 8.60 8.82 8.81 8.84 8.82 9.07 9.08 9.08 9.08
∆ B (g) 0.53 0.75 1.01
Kabb (%) 6.2 8.5 11.1
Kabk (%) 6.6 9.3 12.5
Lampiran 9. Persentase berat biji per berat malai tiap bagian buru hotong
Sampel Berat Tiap Bagian Malai (gram) Berat Biji Tiap Bagian Malai (gram) Persentase Berat Biji per Berat Malai (%)
Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung Pangkal Tengah Ujung
1 1.02 1.48 0.82 0.78 1.23 0.71 76.47 83.11 86.59
2 2.14 2.35 1.36 1.60 1.99 1.12 74.77 84.68 82.35
3 2.12 3.38 2.76 1.51 2.64 2.30 71.23 78.11 83.33
4 1.45 1.40 1.04 1.10 1.11 0.83 75.86 79.29 79.81
5 0.80 1.16 0.83 0.66 1.02 0.70 82.50 87.93 84.34
6 1.02 1.19 0.94 0.84 0.99 0.70 82.35 83.19 74.47
7 0.99 1.40 1.24 0.77 1.14 1.00 77.78 81.43 80.65
8 1.03 1.66 1.30 0.76 1.36 1.04 73.79 81.93 80.00
9 0.82 1.02 0.65 0.67 0.82 0.50 81.71 80.39 76.92
10 0.45 0.87 0.60 0.31 0.69 0.47 68.89 79.31 78.33
11 1.31 1.81 2.11 0.91 1.32 1.59 69.47 72.93 75.36
12 1.16 2.41 1.45 0.84 2.02 1.23 72.41 83.82 84.83
13 0.82 1.13 0.46 0.71 0.96 0.38 86.59 84.96 82.61
14 0.43 0.49 0.47 0.34 0.40 0.41 79.07 81.63 87.23
15 1.95 1.87 1.69 1.48 1.52 1.43 75.90 81.28 84.62
16 1.97 3.05 2.38 1.53 2.51 1.95 77.66 82.30 81.93
17 0.87 0.97 0.78 0.70 0.76 0.61 80.46 78.35 78.21
18 0.63 0.63 0.51 0.49 0.53 0.42 77.78 84.13 82.35
19 1.06 1.06 0.75 0.85 0.83 0.63 80.19 78.30 84.00
20 1.90 1.99 1.84 1.37 1.65 1.51 72.11 82.91 82.07
21 3.06 2.63 2.69 2.33 2.10 2.16 76.14 79.85 80.30
22 1.86 1.81 0.90 1.48 1.41 0.68 79.57 77.90 75.56
23 0.67 1.08 0.88 0.53 0.92 0.70 79.10 85.19 79.55
24 1.06 1.36 1.15 0.85 1.11 0.98 80.19 81.62 85.22
25 1.74 2.53 1.67 1.37 2.09 1.37 78.74 82.61 82.04
Rata-rata 1.29 1.63 1.25 0.99 1.32 1.02 77.23 81.49 81.31
±0.64 ±0.75 ±0.68 ±0.48 ±0.60 ±0.55 ±4.30 ±3.10 ±3.47
Lampiran 10. Perontokan dengan tenaga manusia

Sampel Ulangan Waktu (s) Biji+Sampah Biji Sampah Biji Kapasitas Rendemen Susut
(gram) Terontokkan (gram) Tercecer (kg/Jam) (%) Tercecer
(gram) (gram) (%)
I 1 623 102.04 70.71 23.57 7.76 0.59 69.30 9.89
2 599 98.12 68.10 22.89 7.13 0.59 69.40 9.48
3 644 101.95 73.27 23.42 5.26 0.59 71.87 6.70
4 614 100.67 71.36 23.04 6.27 0.59 70.89 8.08
5 618 99.64 71.76 22.99 4.89 0.58 72.02 6.38
Rata-rata 619.60 100.48 71.04 23.18 6.26 0.59 70.70 8.10
±16.32 ±1.65 ±1.89 ±0.30 ±1.21 ±0.004 ±1.30 ±1.58
II 1 960 99.71 71.72 22.87 5.12 0.52 71.93 6.66
2 704 99.75 72.20 22.76 4.79 0.51 72.38 6.22
3 707 100.20 72.39 23.31 4.50 0.51 72.25 5.85
4 746 101.49 74.74 23.52 3.23 0.49 73.64 4.14
5 692 99.95 72.84 23.01 4.10 0.52 72.88 5.33
Rata-rata 761.80 100.22 72.78 23.09 4.35 0.51 72.62 5.64
±112.64 ±0.74 ±1.17 ±0.32 ±0.73 ±0.01 ±0.67 ±0.97
III 1 857 100.01 75.54 23.30 1.17 0.42 75.53 1.53
2 908 100.93 76.73 23.04 1.16 0.40 76.02 1.49
3 922 102.40 77.65 23.55 1.20 0.40 75.83 1.52
4 876 99.76 75.65 22.95 1.16 0.41 75.84 1.51
5 891 101.48 77.11 23.18 1.19 0.41 75.99 1.52
Rata-rata 890.80 100.92 76.54 23.20 1.18 0.41 75.84 1.51
±25.65 ±1.08 ±0.92 ±0.24 ±0.02 ±0.01 ±0.19 ±0.02
Lampiran 11. Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan pada berbagai kadar air
Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 6.2%
Sampel Ulangan Bo (gram) Bt (gram) t (detik) Kapasitas (kg/Jam) Rendemen (%)

I 1 500.0 398.2 51 35.29 79.64


2 398.2 365.6 44 32.58 73.12
3 365.6 344.4 40 32.90 68.88
Total 135 33.59 68.88
II 1 500.0 389.9 47 38.30 77.98
2 389.9 357.4 43 32.64 71.48
3 357.4 340.6 39 32.99 68.12
Total 129 34.64 68.12
III 1 500.0 410 54 33.33 82.00
2 410.0 369.1 49 30.12 73.82
3 369.1 355.6 47 28.27 71.12
Total 150 30.57 71.12
IV 1 500.0 390.3 49 36.73 78.06
2 390.3 360.8 46 30.55 72.16
3 360.8 345.6 42 30.93 69.12
Total 137 32.74 69.12
V 1 500.0 387.9 47 38.30 77.58
2 387.9 354.4 43 32.48 70.88
3 354.4 338.1 40 31.90 67.62
Total 130 34.23 67.62
Rata-Rata Total 32.15 68.97
Lampiran 11. (Lanjutan)
Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 8.5%
Sampel Ulangan Bo (gram) Bt (gram) t (detik) Kapasitas (kg/Jam) Rendemen (%)

I 1 500.0 367.3 42 42.85 73.46


2 367.3 329.7 32 41.32 65.94
3 329.7 312.8 30 39.56 62.56
Total 104 41.24 62.56
II 1 500.0 363.2 43 41.86 72.64
2 363.2 330.3 32 40.86 66.06
3 330.3 315.3 31 38.36 63.06
Total 106 40.36 63.06
III 1 500.0 366.4 44 40.91 73.28
2 366.4 335.3 33 39.97 67.06
3 335.3 313.3 30 40.26 62.66
Total 107 40.38 62.66
IV 1 500.0 375.2 42 42.86 75.04
2 375.2 344.7 33 40.93 68.94
3 344.7 313.4 31 40.03 62.68
Total 106 41.27 62.68
V 1 500.0 362.8 42 42.86 72.56
2 362.8 344.9 32 40.82 68.98
3 344.9 315.2 31 40.05 63.04
Total 105 41.24 63.04
Rata-rata total 40.90 62.80
Lampiran 11. (Lanjutan)
Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 11.1%
Sampel Ulangan Bo (gram) Bt (gram t (detik) Kapasitas (kg/Jam) Rendemen (%)

I 1 500.0 352.1 39 46.15 70.42


2 352.1 300.6 29 43.71 60.12
Total 68 44.93 60.12
II 1 500.0 349.6 39 46.15 69.92
2 349.6 300.7 28 44.95 60.14
Total 67 45.55 60.14
III 1 500.0 360 41 43.90 72.00
2 360.0 301.2 30 43.20 60.24
Total 71 43.55 60.24
IV 1 500.0 361.1 38 47.37 72.22
2 361.1 300.9 30 43.33 60.18
Total 68 45.35 60.18
V 1 500.0 39 46.15 70.34
2 351.7 29 43.66 60.16
Total 68 44.91 60.16
Rata-Rata Total 44.86 60.17
Lampiran 12. Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan pada berbagai kadar air
Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 6.2%
Sampel Ulangan Bt (gram) Bso Bsk Biji Ŋ Kualitas enyosohan (gr)
(gram) (gram) Tercecer Kipas Tersosoh Tidak Pecah
(gram) (%) tersosoh
I 1 398.2 75.61 12.87 13.32 14.55 239.76 154.60 3.82
2 365.6 26.34 4.46 1.80 14.48 310.56 49.14 5.90
3 344.4 17.60 3.02 0.58 14.65 317.92 13.50 12.98
119.55 20.35 15.70 14.55 317.92 13.50 12.98
II 1 389.9 72.51 12.45 25.14 14.65 232.50 153.20 4.17
2 357.4 26.42 4.51 1.57 14.58 303.90 47.39 6.11
3 340.6 13.45 2.31 1.04 14.66 314.44 11.89 14.27
112.38 19.27 27.75 14.64 314.44 11.89 14.27
III 1 410.0 75.38 12.83 1.79 14.54 246.94 158.4 4.68
2 369.1 24.04 4.09 12.77 14.54 309.86 50.97 8.27
3 355.6 6.28 1.07 6.15 14.56 331.99 9.32 14.29
105.70 17.99 20.71 14.54 331.99 9.32 14.29
IV 1 390.3 76.28 12.93 20.49 14.49 233.01 156.20 1.05
2 360.8 26.39 4.50 1.39 14.57 310.79 43.69 6.32
3 345.6 11.44 1.94 1.82 14.50 322.96 9.37 13.27
114.11 19.37 23.70 14.51 322.96 9.37 13.27
V 1 387.9 78.64 13.40 20.06 14.56 232.04 151.8 4.03
2 354.4 25.06 4.25 4.19 14.50 301.13 47.81 5.46
3 338.1 11.08 1.88 3.34 14.51 316.33 8.08 13.69
114.78 19.53 27.59 14.54 316.33 8.08 13.69
Rata-Rata Total 113.30 19.30 23.10 14.56 320.73 10.43 13.70
Lampiran 12. (Lanjutan)
Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 8.5%
Sampel Ulangan Bt Bso Bsk Biji Ŋ Kualitas Penyosohan (gr)
(gram) (gram) (gram) Tercecer Kipas Tersosoh Tidak Pecah
(gram) (%) tersosoh
I 1 367.3 107.90 19.66 5.14 15.41 239.59 121.02 6.69
2 329.7 27.42 4.92 5.26 15.21 283.51 37.85 8.34
3 312.8 13.52 2.42 0.96 15.18 292.19 5.94 14.67
Total 148.84 27.00 11.36 15.27 292.19 5.94 14.67
II 1 363.2 113.84 19.33 3.63 14.52 220.06 135.65 7.49
2 330.3 22.48 4.02 6.40 15.17 281.81 35.67 12.82
3 315.3 10.32 1.86 2.82 15.27 291.71 5.83 17.76
Total 146.64 25.21 12.85 14.99 291.71 5.83 17.76
III 1 366.4 105.71 20.00 7.89 15.91 245.05 113.34 7.51
2 335.3 25.05 4.62 1.43 15.57 287.52 34.43 13.35
3 313.3 16.39 2.86 2.75 14.86 289.87 6.39 17.04
Total 147.15 27.48 12.07 14.86 289.87 6.39 17.04
IV 1 375.2 104.88 19.23 0.60 15.49 245.05 141.26 7.62
2 344.7 21.88 4.03 4.59 15.55 287.52 43.54 11.82
3 313.4 16.51 3.03 11.76 15.51 289.87 6.46 14.79
Total 143.27 26.29 16.95 15.52 289.87 6.46 14.79
V 1 362.8 114.51 20.52 2.17 15.20 240.79 114.83 7.18
2 344.9 14.90 2.69 0.31 15.29 288.16 46.42 10.32
3 315.2 20.76 3.72 5.22 15.20 293.64 5.64 15.92
Total 150.17 26.93 7.70 15.23 293.64 5.64 15.92
Rata-rata Total 147.21 26.58 12.19 15.29 291.46 6.052 16.036
Lampiran 12. (Lanjutan)
Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 11.1%
Sampel Ulangan Bt Bso Bsk Biji Ŋ Kualitas Penyosohan (gr)
(gram) (gram) (gram) Tercecer Kipas Tersosoh Tidak Pecah
(gram) (%) tersosoh
I 1 352.1 115.35 20.36 12.19 15.00 231.19 112.67 8.24
2 300.6 29.68 5.30 16.52 15.15 279.05 4.54 17.01
Total 145.03 25.66 28.71 15.08 279.05 4.54 17.01
II 1 349.6 123.97 21.05 5.38 14.52 234.13 106.52 8.95
2 300.7 29.84 5.29 13.77 15.06 275.08 2.80 22.82
Total 153.81 26.34 19.15 14.79 275.08 2.80 22.82
III 1 360.0 108.41 19.34 12.25 15.14 237.10 113.76 9.14
2 301.2 41.76 7.22 9.82 14.74 277.77 2.53 20.90
Total 150.17 26.56 22.07 14.94 277.77 2.53 20.90
IV 1 361.1 116.13 20.16 2.61 14.79 235.54 116.06 9.50
2 300.9 38.85 6.93 14.42 15.14 275.41 2.38 23.11
Total 154.98 27.09 17.03 14.96 275.41 2.38 23.11
V 1 351.7 114.17 20.14 13.99 15.00 233.46 107.94 10.30
2 300.0 36.25 6.39 9.06 14.99 273.66 2.82 23.52
Total 150.42 26.53 23.05 14.99 273.66 2.82 23.52
Rata-Rata Total 150.88 26.44 22.00 14.95 276.19 3.01 21.47
Lampiran 13. Persentase susut tercecer dan kualitas penyosohan pada berbagai kadar air
Persentase susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 6.2%
Sampel Ulangan Susut Tercecer (%) Persentase Kualitas Penyosohan (%)
Tersosoh Tidak tersosoh Pecah
1 3.24 60.21 38.83 0.96
I 2 0.49 84.95 13.44 1.61
3 0.17 92.31 3.92 3.77
Total 3.90 92.31 3.92 3.77
1 6.06 59.63 39.30 1.07
II 2 0.44 85.03 13.26 1.71
3 0.30 92.32 3.49 4.19
Total 6.80 92.32 3.49 4.19
1 0.43 60.23 38.63 1.14
III 2 3.34 83.95 13.81 2.24
3 1.70 93.36 2.62 4.02
Total 5.47 93.36 2.62 4.02
1 4.99 59.70 40.03 0.27
IV 2 0.38 86.14 12.11 1.75
3 0.52 93.45 2.71 3.84
Total 5.89 93.45 2.71 3.84
1 4.92 59.82 39.14 1.04
V 2 1.17 84.97 13.49 1.54
3 0.98 93.56 2.39 4.05
Total 7.07 93.56 2.39 4.05
Rata-rata total 5.83 93.00 3.03 3.97
Lampiran 13. (Lanjutan)
Persentase susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 8.5%
Sampel Ulangan Susut Tercecer (%) Persentase Kualitas Penyosohan (%)
Tersosoh Tidak tersosoh Pecah
1 1.38 65.23 32.95 1.82
I 2 1.57 85.99 11.48 2.53
3 0.03 93.41 1.90 4.69
Total 2.98 93.41 1.90 4.69
1 0.99 60.59 37.35 2.06
II 2 1.90 85.32 10.8 3.88
3 0.89 92.52 1.85 5.63
Total 3.78 92.52 1.85 5.63
1 2.11 66.88 31.07 2.05
III 2 0.42 85.75 10.27 3.98
3 0.87 92.52 2.04 5.44
Total 3.40 92.52 2.04 5.44
1 0.16 60.32 37.65 2.03
IV 2 1.31 83.94 12.63 3.43
3 3.62 93.22 2.06 4.72
Total 5.09 93.22 2.06 4.72
1 0.60 66.37 31.65 1.98
V 2 0.09 83.55 13.46 2.99
3 1.63 93.16 1.79 5.05
Total 2.32 93.16 1.79 5.05
Rata-rata total 3.51 92.966 1.928 5.106
Lampiran 13. (Lanjutan)
Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 11.1%
Sampel Ulangan Susut Tercecer (%) Persentase Kualitas Penyosohan (%)
Tersosoh Tidak Tersosoh Pecah
1 3.35 65.66 32.00 2.34
I 2 5.21 92.83 1.51 5.66
3
Total 8.56 92.83 1.51 5.66
1 1.52 66.97 30.50 2.56
II 2 4.38 91.48 0.93 7.59
3
Total 5.90 91.48 0.93 7.59
1 3.29 65.86 31.6 2.54
III 2 3.12 92.22 0.84 6.94
3
Total 6.41 92.22 0.84 6.94
1 0.72 65.23 32.10 2.63
IV 2 4.57 91.53 0.79 7.68
3
Total 5.29 91.53 0.79 7.68
1 3.83 66.38 30.70 2.93
V 2 2.93 91.22 0.94 7.84
3
Total 6.76 91.22 0.94 7.84
Rata-rata total 6.58 91.86 1.00 7.14
Lampiran 14. Pengukuran kapasitas, rendemen dan susut tercecer pada
penepungan biji hotong pada berbagai kadar air
berat susut
Kadar Waktu tepung berat Kapasitas Rendemen tercecer
air (detik) (g) tercecer (g) (kg/jam) (%) (%)
276 440 60 6.52 88.0 12.0
283 436 64 6.36 87.2 12.8
269 448 52 6.69 89.6 10.4
259 447 53 6.95 89.4 10.6
11.1% 274 442 58 6.57 88.4 11.6
8.5% 230 432 68 7.83 86.4 13.6
218 438 62 8.27 87.6 12.4
228 435 65 7.89 87.0 13.0
233 432 68 7.73 86.4 13.6
227 428 72 7.93 85.6 14.4
246 423 77 7.32 84.6 15.4
258 416 84 6.98 83.2 16.8
243 428 72 7.41 85.6 14.4
247 424 76 7.29 84.8 15.2
6.2% 243 425 75 7.41 85.0 15.0
Lampiran 15. Berat tepung buru hotong yang tertampung pada tiap mesh pada
ayakan tyler pada bebagai kadar air

Kadar mesh
air 3/8 4 8 14 28 48 100 pan
0 0 0 0 14.58 332.28 90.50 2.64
0 0 0 0 12.73 327.78 92.96 2.53
0 0 0 0 15.59 335.82 94.30 2.29
0 0 0 0 14.93 331.18 98.30 2.59
11.1% 0 0 0 0 14.06 332.03 93.84 2.07
0 0 0 0 63.89 278.73 85.66 3.72
8.5% 0 0 0 0 68.58 277.04 89.19 3.19
0 0 0 0 55.90 286.93 88.57 3.61
0 0 0 0 55.86 286.16 86.31 3.67
0 0 0 0 55.98 286.16 82.30 3.56
0 0 0 0 23.71 329.01 68.87 1.41
0 0 0 0 26.42 320.82 67.56 1.20
0 0 0 0 25.38 326.78 74.34 1.50
0 0 0 0 24.30 322.79 75.13 1.78
6.2% 0 0 0 0 24.65 323.09 75.82 1.44
Lampiran 16. Persentase berat tepung buru hotong yang tertampung pada tiap
mesh pada ayakan tyler pada bebagai kadar air

Kadar Mesh Mesh Mesh Mesh Mesh Mesh Mesh


air 0.38 4 8 14 28 48 100 pan
11.1% 0 0 0 0 3.31 75.52 20.57 0.60
0 0 0 0 2.92 75.18 21.32 0.58
0 0 0 0 3.48 74.96 21.05 0.51
0 0 0 0 3.34 74.09 21.99 0.58
0 0 0 0 3.18 75.12 21.23 0.47
7.5% 0 0 0 0 14.79 64.52 19.83 0.86
0 0 0 0 15.66 63.25 20.36 0.73
0 0 0 0 12.85 65.96 20.36 0.83
0 0 0 0 12.93 66.24 19.98 0.85
0 0 0 0 13.08 66.86 19.23 0.83
0 0 0 0 5.61 77.78 16.28 0.33
0 0 0 0 6.35 77.12 16.24 0.29
0 0 0 0 5.93 76.35 17.37 0.35
0 0 0 0 5.73 76.13 17.72 0.42
6.2% 0 0 0 0 5.80 76.02 17.84 0.34
Lampiran 17. Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong
Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong pada kadar air 11.1%
ukuran
lubang %bahan dikalikan dengan Ukuran
sampel mesh (inchi) tertinggal pengali FM FM rata-rata
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
I
28 0.0232 3.31 9.93
48 0.0116 75.52 151.04
100 0.0058 20.57 20.57
pan 0 0.60 0
total 100.00 181.54 1.8154 0.01443
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
II
28 0.0232 2.92 8.76
48 0.0116 75.18 150.36
100 0.0058 21.32 21.32
pan 0 0.58 0
total 100.00 180.44 1.8044 0.014321
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
III
28 0.0232 3.48 10.44
48 0.0116 74.96 149.92
100 0.0058 21.05 21.05
pan 0 0.51 0
total 100.00 181.41 1.8141 0.014417
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
IV
28 0.0232 3.34 10.02
48 0.0116 74.09 148.18
100 0.0058 21.99 21.99
pan 0 0.58 0
total 100.00 180.19 1.8019 0.014296
0.375 0.371 0 0
4 0.185 0 0
8 0.093 0 0
14 0.046 0 0
V
28 0.0232 3.18 9.54
48 0.0116 75.12 150.24
100 0.0058 21.23 21.23
pan 0 0.47 0
total 100 181.01 1.8101 0.014377
Lampiran 17. (Lanjutan)
Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong pada kadar air 8.5%
ukuran
lubang %bahan dikalikan dengan Ukuran
sampel mesh (inchi) tertinggal pengali FM FM rata-rata
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
I
28 0.0232 14.79 44.37
48 0.0116 64.52 129.04
100 0.0058 19.83 19.83
pan 0 0.86 0
total 100.00 193.24 1.9324 0.015649
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
II
28 0.0232 15.66 46.98
48 0.0116 63.25 126.5
100 0.0058 20.36 20.36
pan 0 0.73 0
total 100.00 193.84 1.9384 0.015714
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
III
28 0.0232 12.85 38.55
48 0.0116 65.96 131.92
100 0.0058 20.36 20.36
pan 0 0.83 0
total 100.00 190.83 1.9083 0.01539
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
IV
28 0.0232 12.93 38.79
48 0.0116 66.24 132.48
100 0.0058 19.98 19.98
pan 0 0.85 0
total 100.00 191.25 1.9125 0.015435
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
V
28 0.0232 13.08 39.24
48 0.0116 66.86 133.72
100 0.0058 19.23 19.23
pan 0 0.83 0
total 100.00 192.19 1.9219 0.015536
Lampiran 17. (Lanjutan)
Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong pada kadar air 6.2%
ukuran
lubang %bahan dikalikan dengan Ukuran
sampel mesh (inchi) tertinggal pengali FM FM rata-rata
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
I
28 0.0232 5.61 16.83
48 0.0116 77.78 155.56
100 0.0058 16.28 16.28
pan 0 0.33 0
total 100.00 188.67 1.8867 0.015161
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
II
28 0.0232 6.35 19.05
48 0.0116 77.12 154.24
100 0.0058 16.24 16.24
pan 0 0.29 0
total 100.00 189.53 1.8953 0.015252
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
III
28 0.0232 5.93 17.79
48 0.0116 76.35 152.7
100 0.0058 17.37 17.37
pan 0 0.35 0
total 100.00 187.86 1.8786 0.015076
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
IV
28 0.0232 5.73 17.19
48 0.0116 76.13 152.26
100 0.0058 17.72 17.72
pan 0 0.42 0
total 100.00 187.17 1.8717 0.015005
0.375 0.3710 0 0
4 0.1850 0 0
8 0.0930 0 0
14 0.0460 0 0
V
28 0.0232 5.8 17.4
48 0.0116 76.02 152.04
100 0.0058 17.84 17.84
pan 0 0.34 0
total 100.00 187.28 1.8728 0.015016
Lampiran 18. Analisis keragaman dengan menggunakan anova single factor
dengan taraf nyata 0.05
1. Analisa Keragaman Kandungan Gizi
a. Protein
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
2 26.36 13.18 0.02
Tengah
2 26.72 13.36 0.08
Ujung
2 26.71 13.355 0.01125

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.042033 2 0.021017 0.566742 0.618312 9.552094
Within Groups 0.11125 3 0.037083

Total 0.153283 5

Karena F<Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kadar protein pada tiap
bagian malai biji hotong tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

b. Kadar air
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
2 23.69 11.845 0.00125
Tengah
2 23.63 11.815 0.00245
Ujung
2 23.68 11.84 0.0098

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.001033 2 0.000517 0.114815 0.895267 9.552094
Within Groups 0.0135 3 0.0045

Total 0.014533 5

Karena F<Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kandungan kadar air pada
tiap. Bagian malai biji hotong tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
c. Kadar abu
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
2 7.35 3.675 0.01805
Tengah
2 6.16 3.08 0.005
Ujung
2 6.56 3.28 0.0072

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.3667 2 0.18335 18.18347 0.021037 9.552094
Within Groups 0.03025 3 0.010083

Total 0.39695 5

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kadar abu pada tiap bagian malai
biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

d. Kadar Lemak
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
2 7.43 3.715 0.05445
Tengah
2 7.67 3.835 0.10125
Ujung
2 8.08 4.04 0.0128

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.108033 2 0.054017 0.961721 0.47564 9.552094
Within Groups 0.1685 3 0.056167

Total 0.276533 5

Karena F<Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kandungan kadar lemak


pada tiap bagian malai biji hotong tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
e. Kadar Karbohidrat
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
2 135.17 67.585 0.07605
Tengah
2 135.82 67.91 0.0072
Ujung
2 134.97 67.485 0.04205

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.1975 2 0.09875 2.364326 0.241839 9.552094
Within Groups 0.1253 3 0.041767

Total 0.3228 5

Karena F<Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kadar karbohidrat pada tiap
bagian malai biji hotong tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

2. Analisa Keragaman Dimensi Biji Hotong


Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
25 31.31 1.2524 0.002786
Tengah
25 30.73 1.2292 0.003491
Ujung
25 30.67 1.2268 0.002123

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.009995 2 0.004997 1.784904 0.175158 3.123907
Within Groups 0.201584 72 0.0028

Total 0.211579 74

Karena F<Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa dimensi biji hotong pada
tiap bagian malai biji hotong tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
3. Analisa Keragaman Berat 1000 Biji Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
25 28.38 1.1352 0.000184
Tengah
25 30.38 1.2152 0.004443
Ujung
25 31.02 1.2408 0.014074

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.151723 2 0.075861 12.1694 2.8E-05 3.123907
Within Groups 0.448832 72 0.006234

Total 0.600555 74

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa berat 1000 biji hotong
pada tiap bagian malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

4. Analisa Keragaman Massa Jenis Biji Hotong


Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
25 15.9882 0.639528 0.000102
Tengah
25 16.27392 0.650957 0.000143
Ujung
25 15.85136 0.634054 0.000125

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.003719 2 0.001859 15.05394 3.45E-06 3.123907
Within Groups 0.008893 72 0.000124

Total 0.012612 74

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa massa jenis pada tiap
bagian malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
5. Analisa Keragaman Berat Malai Biji Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
25 32.33 1.2932 0.413214
Tengah
25 40.73 1.6292 0.560274
Ujung
25 31.27 1.2508 0.456141

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 2.149003 2 1.074501 2.254783 0.112254 3.123907
Within Groups 34.31111 72 0.476543

Total 36.46011 74

Karena F<Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa berat malai pada tiap
bagian tidak malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

6. Analisa Keragaman Berat Malai per Berat Biji Hotong


Groups Count Sum Average Variance
Pangkal 25 1930.71 77.22839 18.48533
Tengah 25 2037.131 81.48523 9.608182
Ujung 25 2032.635 81.30541 12.04225

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 289.7929 2 144.8965 10.83048 7.72E-05 3.1239
Within Groups 963.2582 72 13.37859

Total 1253.051 74

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa berat malai per berat biji
pada tiap bagian malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
7. Analisa Keragaman berat Biji tiap Malai Biji Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Pangkal
25 24.78 0.9912 0.227794
Tengah
25 33.12 1.3248 0.364376
Ujung
25 25.42 1.0168 0.304356

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 1.723403 2 0.861701 2.883467 0.062424 3.123907
Within Groups 21.51663 72 0.298842

Total 23.24003 74

Karena F<Fcrit maka sapat disimpulkan bahwa berat malai pada tiap
bagian malai biji hotong tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

8. Analisa Keragaman Uji Performansi Mesin Penyosoh Buru Hotong


a. Analisa Keragaman Kapasitas Mesin Penyosoh Buru Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 165.77 33.154 2.60113
Ka 8.5%
5 204.49 40.898 0.23252
Ka 11.1%
5 224.29 44.858 0.60992

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 354.3913 2 177.1956 154.3709 2.74E-09 3.885294
Within Groups 13.77428 12 1.147857

Total 368.1655 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas mesin penyosoh


buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata
0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
b. Analisa Keragaman Rendemen Mesin Penyosoh Buru Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 344.86 68.972 1.79952
Ka 8.5%
5 314 62.8 0.0542
Ka 11.1%
5 300.84 60.168 0.00212

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 204.219 2 102.1095 165.0619 1.86E-09 3.885294
Within Groups 7.42336 12 0.618613

Total 211.6424 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa Rendemen mesin


penyosoh Buru Hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada
taraf nyata 0.05.

c. Analisa Keragaman Efisiensi Kipas Mesin Penyosoh Buru Hotong


Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 72.78 14.556 0.00243
Ka 8.5%
5 75.87 15.174 0.06613
Ka 11.1%
5 74.76 14.952 0.01107

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 0.98004 2 0.49002 18.46113 0.000218 3.885294
Within Groups 0.31852 12 0.026543

Total 1.29856 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa efisiensi kipas mesin


penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada
taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
d. Analisa keragaman Susut Tercecer Mesin Penyosoh Buru Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 29.13 5.826 1.58413
Ka 8.5%
5 18.76 3.752 0.64237
Ka 11.1%
5 32.92 6.584 1.52703

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 21.49377 2 10.74689 8.589424 0.004838 3.885294
Within Groups 15.01412 12 1.251177

Total 36.50789 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa susut tercecer mesin


penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada
taraf nyata 0.05.

e. Analisa Kualitas Penyosohan Mesin Penyosoh Buru Hotong


e. 1. Analisa Keragaman Biji Tersosoh Mesin Penyosoh Buru Hotong

Groups Count Sum Average Variance


Ka 6.2%
5 465 93 0.39605
Ka 8.5%
5 464.83 92.966 0.17428
Ka 11.1%
5 459.28 91.856 0.43333

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 4.236653 2 2.118327 6.331806 0.013266 3.885294
Within Groups 4.01464 12 0.334553

Total 8.251293 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa biji tersosoh mesin


penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada
taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
e. 2. Analisa Keragaman Biji Tak Tersosoh Mesin Penyosoh Buru Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 15.13 3.026 0.42093
Ka 8.5%
5 9.64 1.928 0.01397
Ka 11.1%
5 5.01 1.002 0.08457

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 10.26609 2 5.133047 29.64394 2.28E-05 3.885294
Within Groups 2.07788 12 0.173157

Total 12.34397 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa biji tak tersosoh mesin
penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada
taraf nyata 0.05.

e. 3. Analisa Keragaman Biji Pecah Mesin Penyosoh Buru Hotong


Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 19.87 3.974 0.02853
Ka 8.5%
5 25.53 5.106 0.17783
Ka 11.1%
5 35.71 7.142 0.80362

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 25.77157 2 12.88579 38.27537 6.19E-06 3.885294
Within Groups 4.03992 12 0.33666

Total 29.81149 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa biji pecah mesin penyosoh
buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata
0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
9. Analisa Keragaman Uji Performansi Mesin Penepung Biji Hotong
a. Analisa Keragaman Kapasitas Mesin Penyosoh
Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 36.41 7.282 0.03137
Ka 7.5%
5 39.64 7.928 0.04012
Ka 10.1%
5 33.09 6.618 0.04847

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between 1.04E-
Groups 4.29052 2 2.14526 53.64938 06 3.885294
Within Groups 0.47984 12 0.039987

Total 4.77036 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas mesin penepung


buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata
0.05.

b. Analisa Keragaman Rendemen Buru Hotong


Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 423.2 84.64 0.788
Ka 8.5%
5 433 86.6 0.56
Ka 11.1%
5 442.6 88.52 0.992

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between 6.24E-
Groups 37.63733 2 18.81867 24.1265 05 3.885294
Within Groups 9.36 12 0.78

Total 46.99733 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa rendemen tepung pada


penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan
perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
c. Analisa Keragaman Susut Tercecer Buru Hotong
Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
5 76.8 15.36 0.788
Ka 7.5%
5 67 13.4 0.56
Ka 10.1%
5 57.4 11.48 0.992

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between 6.24E-
Groups 37.63733 2 18.81867 24.1265 05 3.885294
Within Groups 9.36 12 0.78

Total 46.99733 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa susut tercecer tepung pada
penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan
perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.

d. Analisa Keragaman Modulus Kehalusan Buru Hotong


Groups Count Sum Average Variance
Ka 6.2%
25 32.33 1.2932 0.413214
Ka 7.5%
25 40.73 1.6292 0.560274
Ka 10.1%
25 31.27 1.2508 0.456141

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between 4.67E-
Groups 0.03472 2 0.01736 140.7568 09 3.885294
Within Groups 0.00148 12 0.000123

Total 0.0362 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa modulus kehalusan tepung


pada penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan
perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan)
e. Analisa Keragaman Ukuran Tepung Buru Hotong
Groups Count Sum Average Variance
3.43E-
Ka 6.2%
5 0.071841 0.014368 09
1.89E-
Ka 8.5%
5 0.077724 0.015545 08
1.09E-
Ka 11.1%
5 0.07551 0.015102 08

Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Between 3.53E- 1.77E- 2.26E-
Groups 06 2 06 159.6011 09 3.885294
1.33E- 1.11E-
Within Groups 07 12 08

3.66E-
Total 06 14

Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa ukuran tepung pada


penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan
perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 19. Contoh perhitungan pada karakteristik fisik buru hotong
1. Massa Jenis Buru Hotong
m
ρ=
v
623.96
ρ= =0.624 gr/ml
1000
dimana : ρ = massa jenis (gr/ml),
m = massa (gr),
v = volume (ml).

2. prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai


mb
R=
mm
1.37
R= = 82.04%
1.67
dimana : R = prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai (%),
mb = berat biji hotong (gr),
mm = berat malai hotong (gr).

3. Diameter biji hotong


D = (a x b x c)1/3
D = (1.59 x 1.25 x 0.94)1/3 = 1.23 mm
Dimana : D = diameter geometris rata-rata biji hotong (mm),
a, b, c = rata-rata proyeksi panjang, lebar, dan tebal biji
dengan pengambilan sampel sebanyak 25 biji (mm).
4. Kadar Air
Kaawal = (Berat kering/Berat awal) x 100%
= (1.93/10) x 100%
= 19.3%
Berat bahan kering = 10 – 1.93 = 8.07 g
Kaakhir = ((Berat bahan pengeringan – berat bahan kering)/Berat bahan
pengering) x 100%
= ((8.60 – 8.07)/8.60) x 100% = 6.2%
Lampiran 20. Contoh perhitungan performansi mesin penyosoh buru hotong
1. Kapasitas penyosohan
Wpk
Kps = × 3600
t
500
Kps = × 3600 = 42.85%
42 x1000
dimana : Kps = kapasitas penyosohan (kg/jam),
Wpk = berat biji hotong pecah kulit (kg),
t = waktu penyosohan (detik).

2. Rendemen penyosohan
Wpk
ηp = × 100%
Wp
312.8
ηp = × 100% = 62.56%
500
dimana : ηp = rendemen penyosohan (%),
Wpk = berat biji hotong pecah kulit(kg),
Wp = berat biji hotong yang dimasukkan ke penyosohan (kg).

3. Efektifitas kipas penyosoh


Wkout
ηk = × 100%
Wkin
19.66
ηk = × 100% = 15.41%
107.90
dimana : ηk = efektifitas kipas (%),
Wkout = berat dedak yang keluar menuju kipas (g),
Wkin = berat dedak keseluruhan (g).

4. Susut tercecer
WbTc
Sts = x100%
WbTs
5.14
Sts = x100% = 1.38%
367.3
Lampiran 20. (Lanjutan)
dimana : Sts = susut tercecer penyosohan (%),
WbTc = berat biji tercecer (g),
WbTs = berat biji tersosoh keseluruhan (g).

5. Kualitas penyosohan
a. Persentase biji hotong tersosoh
Wbtk
%btk = x100%
WbTs
292.19
%btk = x100% = 93.41%
312.8
dimana : %btk = persentase biji tersosoh (%),
Wbtk = berat biji terkupas (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).

b. Persentase biji hotong tidak tersosoh


Wbttk
%bttk = x100%
WbTs
5.94
%bttk = x100% = 1.9%
312.8
dimana : %bttk = persentase biji tak tersosoh (%),
Wbttk = berat biji tak tersosoh (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).

c. Persentase biji hotong pecah


Wbp
%bpk = x100%
WbTs
14.67
%bpk = x100% = 4.69%
312.8
dimana : %bpk = persentase biji tersosoh (%),
Wbp = berat biji pecah (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).
Lampiran 21. Contoh perhitungan performansi mesin penepung buru hotong
1. Kapasitas penepungan
Wpk
Kpt = × 3600
t
500
Kpt = × 3600 = 6.52 Kg/jam
276 x1000
dimana : Kpt = kapasitas penepungan (kg/jam),
Wpk = berat biji hotong yang ditepungkan (kg),
t = waktu penepungan (detik).

2. Rendemen penepungan
Wt
ηt = × 100%
Wpk
440
ηt = × 100% = 88.00%
500
dimana :
ηt = efektivitas penepungan (%),
Wt = berat tepung hasil penepungan (kg),
Wpk = berat biji hotong yang dimasukkan ke mesin penepung (kg).

3. Susut tercecer penepungan


WtTc
Stp = x100%
WtTs
60
Stp = x100% = 12.00%
500
dimana : Stp = susut tercecer penepungan (%),
WtTc = berat tepung tercecer (g),
WtTs = berat tepung keseluruhan (g).
Lampiran 21. (Lanjutan)
4. Derajat Kehalusan

FM =
∑ wmeshxpengalinya
∑ wmesh
0 + 0 + 0 + 0 + 9.93 + 151.04 + 20.57 + 0
FM = = 1.8154
0 + 0 + 0 + 0 + 3.31 + 75.52 + 20.57 + 0.60
dimana : FM = derajat kehalusan
wmesh = berat tepung yang tertampung pada tiap mesh (g)

5. Ukuran partikel tepung


D = 0.0041 x (2)FM
D = 0.0041 x (2)1.8154 = 0.01443
dimana :
D = ukuran rata-rata partikel bahan (inchi),
FM = modulus kehalusan (tanpa satuan).
SKRIPSI

UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG


BIJI BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)

Oleh :
SUTANTO
F14102021

2006
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sutanto. F14102021. Uji Performansi Mesin Penyosoh dan Penepung Biji
Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv). Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Rokhani
Hasbullah, MSi. 2006.

RINGKASAN

Pola konsumsi dan produksi nasional sampai sekarang sangat ditekankan


pada beras. Ketergantungan kita pada beras akan merupakan suatu bahaya besar.
Usaha-usaha diversivikasi pertanian serta usaha penganekaragaman bahan pangan
sebagai sumber energi perlu segera dikembangkan, terutama penganekaragaman
bahan pangan lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Salah satu contohnya
adalah tanaman hotong (Setaria italica (L) beauv.), sejenis tanaman sorgum dari
pulau Buru (Maluku).
Beberapa permasalahan dalam penanganan pascapanen buru hotong adalah
karakteristik biji/malai yang berbeda dengan padi baik ukuran maupun
karakteristik fisik bahan lainnya seperti massa jenis dan kadar air bahan, sehingga
pemilihan alat/mesin yang digunakan untuk perontokan maupun penggilingan
hotong perlu pengkajian khusus. Penanganan pascapanen hotong meliputi
kegiatan panen, pengeringan malai, perontokan, pembersihan, penyosohan,
penepungan, dan penyimpanan.
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kadar air
terhadap penyosohan dan penepungan buru hotong. Secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan mutu biji hotong, mengetahui
kinerja mesin penyosoh dan penepung hotong.
Penelitian ini dilakukan dari Februari sampai Mei 2006. Penelitian ini
dilakukan di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants), Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan untuk
penelitian adalah malai tanaman buru hotong, gas dan bahan-bahan kimia untuk
uji proksimat (K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3 dan HCl). Peralatan yang
dipergunakan selama penelitian adalah mesin penyosoh, mesin penepung,
pengering tipe rak, stop watch, timbangan dan meteran, fasilitas bengkel, oven,
tabung erlenmeyer, desikator, cawan, labu soxhlet dan labu lemak, gelas ukur, kat
dan timbangan analitik. Kegiatan penelitian meliputi penelitian pendahuluan
diantaranya adalah untuk mengetahui karakteristik biji hotong dan kemudian
dilakukan pengeringan sebagai perlakuan kadar air yakni 10.1%, 7.5%, dan 6.6%,
penelitian utama yang bertujuan untuk mengetahui kinerja mesin penyosoh dan
penepung biji hotong, pengolahan data, dan pembuatan laporan.
Dimensi butir biji hotong adalah (1.57 x 1.26 x 0.96) mm dan panjang
malai rata-rata sebesar (15.91 ± 3.58) cm dan diameter biji hotong sebesar (1.24 ±
0.03) mm. Pengamatan tentang sifat fisik bahan menunjukkan bahwa massa jenis
rata-rata biji hotong adalah (0.64 ± 0.01) g/ml. Berat 1000 biji pada biji hotong
sebesar (1.19 ± 0.03) g. Berat malai pada biji hotong mempunyai massa sebesar
(4.17 ± 1.96) g, sedangkan persentase berat biji per malai sebesar (80.27 ±
2.53)%. Biji hotong memiliki kadar protein (13.30 ± 0.18)% dan karbohidrat
(67.66 ± 0.19)%, lemak (3.86 ± 0.22)% dan kadar abu (3.35 ± 0.10)% serta kadar
(11.83 ± 0.61)%. Kandungan energi yang terdapat dalam hotong adalah 359
kal/100 gr. Malai hotong pada bagian tengah memiliki massa jenis dan kandungan
gizi paling tinggi dibandingkan dengan bagian ujung dan pangkal, sedangkan
diameter biji pada bagian pangkal malai lebih besar dari pada bagian ujung dan
tengah malai.
Biji hotong mempunyai sifat bahan liat. Bahan liat akan lebih mudah
tersosoh jika bahan dalam keadaan kering, begitu juga sebaliknya jika kadar air
terlalu tinggi akan sulit tersosoh, sedangkan untuk menghasilkan bahan tepung
yang halus maka diperlukan kadar air yang tinggi namun akan mengakibatkan
kapasitas yang rendah.
Kadar air berpengaruh terhadap penyosohan biji hotong dalam hal
kapasitas, rendemen, susut tercecer, efektifitas kipas dan kualitas penyosohan.
Semakin tinggi kadar air biji hotong maka kapasitas penyosohan menjadi
meningkat, kapasitas penyosohan tertinggi diperoleh pada kadar air 11.1% sebesar
26.32 kg/jam. Kapasitas penyosohan terendah diperoleh pada kadar air 6.2%
sebesar 13.25 kg/jam. Besarnya rendemen penyosohan pada kadar air 11.1%,
8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 60.17%, 62.80% dan 68.97%. Besarnya
susut tercecer penyosohan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut
sebesar 6.58%, 3.51% dan 5.83%. Persentase biji tersosoh tertinggi dan persentase
biji pecah terendah diperoleh pada saat penyosohan pada kadar air 6.2%yaitu
berturut-turut sebesar 93.00% sebesar 3.97%.
Kadar air berpengaruh terhadap penepungan biji hotong dalam hal
kapasitas, rendemen, susut tercecer, dan kualitas penepungan. Kapasitas
penepungan tertinggi diperoleh pada kadar air 8.5% sebesar 7.282 kg/jam.
Kapasitas penepungan terendah diperoleh pada kadar air 11.1% sebesar 6.618
kg/jam. Besarnya rendemen penepungan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2%
berturut-turut sebesar 88.52%, 86.60% dan 84.64%. Besarnya susut tercecer
penepungan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 11.48%,
13.40% dan 15.36%. Modulus kehalusan tertinggi pada proses penepungan buru
hotong adalah pada kadar air 8.5% sebesar 1.63 dan terendah sebesar 1.25 pada
kadar air 11.1%. Ukuran partikel yang dihasilkan dalam proses penepungan pada
kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 0.014 inchi, 0.016 inchi
dan 0.015 inchi.
Berdasarkan pertimbangan kadar air biji hotong yang digunakan,
pengoperasian mesin penyosoh dan penepung biji hotong akan lebih optimal pada
saat kadar air biji hotong sebesar 11.1%. Mesin penyosoh dan penepung buru
hotong perlu dikembangkan agar diperoleh performansi penyosohan dan
penepungan yang bagus.
UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG BIJI
BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
SUTANTO
F14102021

2006
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG BIJI


BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
SUTANTO
F14102021
Dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1984
Di Pekalongan
Tanggal Lulus :
Bogor, Agustus 2006

Disetujui oleh :

Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi


Dosen Pembimbing

Mengetahui :

Dr. Ir. Wawan Hermawan, M. S.


Ketua Departemen Teknik Pertanian
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan, pada tanggal 15 Februari 1984. Penulis


adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Satimbul dan Ibu
Chotijah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Bojong Wetan pada
tahun 1996, kemudian penulis melanjutkan pendidikan lanjutan pada SLTPN 1
Bojong, dan lulus pada tahun 1999, pada tahun yang sama penulis
melanjutkanpendidikan lanjutan tingkat atas di SMUN 1 Kajen kabupaten
Pekalongan dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002, penulis masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Program Studi Teknik Pertanian,
Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Pada tahun 2005, penulis mengambil Sub Program Studi (SPS) Teknik
Biosistem. Penulis melaksanakan Praktek Lapangan dengan judul “Mempelajari
Teknik Pengolahan Pascapanen pada Pembuatan Gula di Pabrik Gula Madukismo
Yogyakarta”, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Uji Performansi Mesin Penyosoh dan
Penepung Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv)”.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan
yakni Himpunan Mahasiswa Pekalongan (HIMAPEKA), Koperasi Mahasiswa
IPB (KOPMA), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM
FATETA), Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA), Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Kerokhanian ISLAM Teknik
Pertanian IPB (Rohis TEP). Pengalaman kerja penulis adalah magang kerja di
Dinas Pertanian Sukoharjo, sebagai staf guru bantu matematika pada SDN 1
Bengle Ciampea Bogor, dan sebagai staf pengajar untuk mata pelajaran
matematika pada lembaga bimbingan belajar College Education.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT atas karunia-Nya yang
begitu besar kepada penulis, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini. Tugas akhir ini berjudul “Kajian Teknik Penyosohan dan
Penepungan Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv)”.
Penyelesaian tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Departemen Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan, bantuan dana penelitian, arahan dan nasehatnya selama
masa studi, penelitian dan penyelesaian tugas akhir.
2. Dr. Ir. Dyah Wulandani, MSi dan Dr. Ir. Dewa Made Subrata, MAgr
selaku dosen penguji atas nasehat dan masukannya terhadap skripsi
penulis.
3. Staf di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants), bapak Basri,
bapak Hendra, bapak Ujang, bapak Tolib dan ibu Iin serta staf AP4.
4. Yang penulis sayangi bapak, mamak, dan adik-adikku atas segala kasih
sayang, doa, nasehat, dan dukungan moril dan material yang tiada
terhitung kepada penulis.
5. Ibu Reggy, Ibu Waysima, Pak Impron, dan Pak Dinarwan yang telah
banyak membantu penulis selama masa studi.
6. Teman-teman TEP’39 yang selalu setia dengan penulis.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas bantuan
dan dukungannya.
Mengingat keterbatasan penulis, kritik dan saran membangun sangat
penulis harapkan dari pembaca, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua
pihak yang membutuhkannya.
Juni 2006

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
RINGKASAN ........................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iv
RIWAYAT HIDUP................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ........................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Tujuan ............................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 4
A. Tanaman Buru Hotong ................................................... 4
B. Teknik Budidaya Buru Hotong ...................................... 6
C. Penanganan Pascapanen Buru Hotong ........................... 8
D. Mesin Penyosoh Biji-Bijian ............................................ 14
E. Mesin Penepung Biji-bijian ........................................... 17
III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 21
A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................ 21
B. Bahan dan Alat ............................................................... 21
C. Metode Penelitian .......................................................... 22
IV. MESIN PENYOSOH BIJI BURU HOTONG ...................... 30
A. Prinsip Kerja Mesin ....................................................... 30
B. Mekanisme Kerja Mesin ................................................ 31
C. Konstruksi Mesin ........................................................... 32
V. MESIN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG ...................... 38
A. Prinsip Kerja Mesin ....................................................... 38
B. Mekanisme Kerja Mesin ................................................ 39
C. Konstruksi Mesin ........................................................... 40
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 45
A. Karakteristik Fisiko-Kimia Buru Hotong ...................... 45
1. Kandungan Gizi Biji Buru Hotong ................................. 45
2. Dimensi Butir Biji Hotong .............................................. 46
3. Massa Jenis Biji Hotong ................................................. 47
4. Perontokan secara manual ............................................... 49
5. Pengeringan ..................................................................... 50
B. Uji Performansi Mesin Penyosoh Buru Hotong ............ 52
a. Kapasitas Penyosohan Buru Hotong .................. 52
b. Rendemen Penyosohan Buru Hotong ................. 53
c. Efektifitas Kipas Penyosohan Buru Hotong ....... 55
d. Susut Tercecer Penyosohan Buru Hotong .......... 57
e. Kualitas Penyosohan Penyosohan Buru Hotong . 58
C. Uji Performansi Mesin Penepung Buru Hotong ............. 60
a. Kapasitas Penepungan Buru Hotong ............... 60
b. Rendemen Penepungan Buru Hotong .............. 62
c. Susut Tercecer Penepungan Buru Hotong ....... 63
d. Derajat Kehalusan Penepungan Buru Hotong 64
e. Ukuran Partikel Tepung Buru Hotong ............ 66
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 68
A. KESIMPULAN ............................................................... 68
B. SARAN ........................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 70
LAMPIRAN ......................................................................................... 73
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan gizi biji buru hotong dibandingkan dengan biji


hermada dan beras........................................................................ 5

Tabel 2. Kandungan gizi buru hotong ........................................................ 45

Tabel 3. Dimensi buru hotong ................................................................... 47

Tabel 4. Massa jenis dan persentase berat biji hotong per malai hotong .. 48

Tabel 5. Perontokan buru hotong secara manual ...................................... 50

Tabel 6. Karakteristik teknik mesin penyosoh biji hotong ........................ 52

Tabel 7. Karakteristik teknik mesin penepung biji hotong ........................ 60

Anda mungkin juga menyukai