Anda di halaman 1dari 9

2.

2 Konsep Dasar Pre-Eklamsia


2.2.1 Pengertian Pre-Eklamsia
Pre-eklampsia didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan darah ≥140/90mmHg) yang
baru terjadi pada kehamilan > 20 minggu disertai adanya gangguan organ seperti proteinuria
≥+1 secara dipstick atau ≥ 300mg dalam 24 jam, serum kreatinin > 1,1 mg/dl, oedema paru,
trombosit < 100.000/µL, peningkatan fungsi liver lebih dari 2 kali, nyeri kepala dan
gangguan penglihatan. Sedangkan pre-eklamsia berat adalah penungkatan tekanan darah
≥160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu disertai proteinuria ≥+1 secara dipstick
atau ≥300mg dalam 24 jam, serum kreatinin > 1,1 mg/dl, oedema paru, trombosit <
100.000/µL, peningkatan fungsi liver lebih dari 2 kali, nyeri kepala dan gangguan
penglihatan (POGI, 2016; Daliman, 2019).

2.2.2 Patofisiologi Pre-Eklamsia


Nidasi yang sempurna terjadi apabila invasi dari pembuluh darah trofoblas menembus
sampai myometrium agar terjadi remodeling pada arteri spiralis. Pengaruh remodeling dan
progesterone akan membuat pembuluh darah berdilatasi sehingga membuka sirkulasi
maternal ke placenta. Bila nidasi tidak mencapai myometrium maka tidak terjadi remodeling
sehingga arteri spiralis menjadi kaku dan vasokontriksi yang akan mengakibatkan tekanan
darah ibu meningkat. Selain itu kegagalan remodeling arteri spiralis menyebabkan iskemia
dan terjadi gangguan perfusi pada placenta. Hal ini memicu vasokontriksi pada pembuluh
darah dan reaksi inflamasi. Vasokontriksi memicu peningkatan tekanan darah dan
proteinuria, reaksi inflamasi memicu terjadi perubahan system imun seperti gangguan pada
NK (Natural Killer) cell ibu dan banyaknya sel Th1, sel Th1 yang banyak dijumpai pada
keadaan pre eklamsia. Akibat lain dari kegagalan remodeling adalah terbentuknya radikal
bebas pada sel trofoblas sehingga terjadi kerusakan sel endotel yang juga ditemukan pada
keadaan pre eklamsia (Syahriana, 2018).

2.2.3 Faktor resiko Pre-Eklamsia


1. Umur > 40 tahun
2. Nulipara
3. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
4. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
5. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
6. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
7. Kehamilan multiple
8. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
9. Hipertensi kronik
10. Penyakit Ginjal
11. Sindrom antifosfolipid (APS)
12. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
13. Obesitas sebelum hamil BMI > 30 (POGI, 2016; ACOG, 2020)

2.2.4 Tanda dan Gejala Pre-eklamsia


1. Pembengkakan wajah atau tungkai
Protein yang dikeluarkan dalam jumlah berlebih dalam urine menunjukkan adanya
kerusakan ginjal yang juga bermanifestasi pada oedema di wajah dan tangan
2. Sakit kepala dan penglihatan kabur
Sering terjadi pada ibu dengan pre eklamsia karena terjadi vasokontriksi pada
pembuluh darah di otak sehingga terbentuk oedema cerebral dan spasme pada
pembuluh darah retina.
3. Tekanan darah tinggi
Kegagalan remodeling pada arteri spiralis menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh
darah sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.
4. Mual dan muntah (pada paruh kedua kehamilan)
5. Nyeri ulu hati
6. Produksi urine yang berkurang
Gangguan pada ginjal yang merupakan pengaruh dari pre eklamsia juga berpengaruh
pada jumlah produksi urine yaitu 500cc/24 jam dengan frekuensi buang air kecil
antara 3-4 kali/ hari (ACOG, 2016; Lim, 2018)

2.2.5 Komplikasi
Komplikasi pada ibu meliputi :

1. Eklamsia
2. HELLP Syndrome (20%)
3. solusio placenta (4%)
4. kelainan pembekuan darah (10%)
5. ablasio retina, oedema paru (5%)
6. gagal jantung hingga kematian.
Sedangkan komplikasi untuk janin meliputi :

1. IUGR (10%-25%)
2. Kelahiran premature (15%-60%)
3. Oligohidramnion, kematian perinatal (1%-2%) (POGI, 2016; Daliman, 2019)

2.2.6 Pencegahan Pre-Eklamsia


Menurut WHO (2014) dan POGI (2016) ada 2 macam pencegahan yang dapat
dilakukan :

1. Pencegahan primer
Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit dengan mengontrol factor
resiko pre eklamsia. Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat
dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan
untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan usaha untuk memutus proses terjadinya penyakit
yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kegawatdaruratan. Hal-hal yang
perlu dilakukan adalah skrining Pre Eklamsia dengan pendekatan pada ibu hamil usia
kehamilan 16-24 minggu dan terdapat ≥ 2 pada keadaan berikut:
a. Umur ≤ 20 tahun / ≥ 35 tahun, riwayat penyakit lama (PE, HT kronis, DM,
penyakit ginjal, penyakit jantung)
b. BMI > 30 (obesitas)
c. MAP( {Sistolik + 2 diastolik} / 3 ) > 90
d. ROT(perbandingan diastolik posisi telentang (supine) dengan miring kiri (left
lateral reccumbent) > 15 mmHg

Pada keadaan tersebut perlu dilakukan:

a. Istirahat di rumah 4 jam/hari atau 2X15 menit


b. Pemberian aspirin dosis rendah 60-80 mg/hari
Aspirin dosis rendah 60 mg per hari diberikan pada awal kehamilan pada pasien
dengan resiko tinggi. Hal ini secara selektif mengurangi produksi tromboksan.
Aspirin dosis rendah diketahui dapat menghambat siklooksigenase pada platelet
dengan mencegah pembentukan tromboksan A2 tanpa mengganggu prostasiklin.
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi
pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis rendah sebagai
prevensi pre-eklamsia sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20
minggu.
c. Suplementasi kalsium 1,5-2 gr/hari
Suplementasi kalsium direkomendasikan terutama pada wanita dengan asupan
kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium
direkomendasikan sebagai prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan risiko
tinggi terjadinya pre-eklamsia. Penelitian yang dilakukan Hofmeyr, dkk (2010)
pada wanita yang pre-eklamsia mendapatkan dosis 1 mg/hari sebagai dosis
rekomendasi sebagai prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi.
d. Suplementasi Antioksidan
Vitamin E dan C dan suplemen dengan magnesium, zinc, minyak ikan, dan diet
rendah garam telah dicoba namun manfaatnya masih terbatas. Pada beberapa
penelitian pemberian vitamin C dan E dosis tinggi tidak menurunkan risiko
hipertensi dalam kehamilan, pre-eklamsia dan eklamsia.

2.2.6 Manajemen Pre-Eklamsia


Manajemen kehamilan dengan Pre-eklamsia menurut HKFM (Himpunan Kedokteran
Fetomaternal) dan POGI (2016) terbagi menjadi dua, yaitu Manajemen aktif dan Manajemen
ekspektatif.

1. Manajemen aktif
Manajemen aktif / agresif dilakukan jika usia kehamilan >37 minggu, kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
2. Manajemen ekspektatif
Manajemen ekspektatif / konservatif dilakukan jika usia kehamilan <37 minggu,
maka kehamilan selama mungkin dipertahankan dengan memberikan terapi
medikamentosa dengan syarat kondisi ibu dan janin yang stabil. Manajemen
ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal,
sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti
penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan
ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata – rata lebih besar pada
manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih
banyak.
Bagan 1. Manajemen ekspektatif Pre-eklamsia tanpa gejala berat
Bagan 2. Manajemen ekspektatif Pre-eklamsia Berat
 Manajemen Farmakologi

Pre eklamsia Pre eklamsia berat Eklamsia


Primer Rujuk ke poliklinik - Pasang infus, - Pasang infus
berikan MgSO4 - Berikan MgSO4, O2,
loading dose miringkan kepala
- Rujuk - Rujuk
Sekunde - Observasi TTV, - Opname - Pasang infus, kateter,
r keluhan - Pasang infus, inj. MgSO4
subjektif keteter, inj MgSO4 - Pasang O2,
- Lakukan sesuai prosedur, miringkan kepala
pemeriksaan - Berikan anti - Sediakan spatel
laboratorium, hipertensi - Berikan anti
NST dan USG - Berikan diuretic hipertensi
- Bila tetap PE, bila oedema paru - Terminasi setelah
terminasi UK - Terminasi UK ≥ 34 stabil
37 minggu minggu
- Bila terapi
konservatif
gagal,UK < 34
minggu, rujuk ke
RS tersier

Protap pemberian MgSO4:

1. Informed consent yang berisi penjelasan tentang prosedur, tujuan, efek samping
tindakan yang akan diberikan pada pasien dan keluarga serta meminta persetujuan
2. Memeriksa syarat pemberian MgSO4:
a. Harus tersedia antidotum kalsium glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc)
b. Refleks patella + kuat
c. Frekuensi napas ≥ 16x/menit
d. Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya atau > 30 ml/jam
3. Menyiapkan alat dan obat
4. Mencuci tangan
5. Memasang infus dan dower cateter
6. Memberikan dosis awal dan maintenance
a. Alternative 1 (untuk layanan primer, sekunder, tersier)
- Loading dose
 Injeksi MgSO4 20% 4g (20cc) iv selama 5 – 10 menit
 Injeksi MgSO4 40% 10g (25cc) im pelan (5 menit), masing – masing pada
bokong kanan dan kiri berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan 1mL
(Lidokain 2%) untuk mengurangi ketidaknyamanan
- Maintenance Dose
Injeksi MgSO4 40% 5g (12,5cc) im pelan (5 menit), pada bokong bergantian
setiap 6 jam hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir

b. Alternatif 2 (untuk layanan sekunder dan tersier)

 Injeksi MgSO4 20% 4g (20cc) iv selama 5 – 10 menit


 Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, disarankan menggunakan
syringe / infusion pump

c. Bila terdapat kejang berulang setelah pemberian MgSO4

Berikan MgSO4 20% 2g (10cc) iv selama 10 menit, dapat diulang 2 kali. Jika
masih kejang kembali beri diazepam

 Non farmakologi (Aalamii, 2016; Peracoli, 2019)


a. Miring kiri
b. Istirahat 4 jam/hari
c. Latihan pernafasan
d. Suplemen omega 3

Anda mungkin juga menyukai