Anda di halaman 1dari 7

BAB 3

PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN


BANGSA INDONESIA

1. Masa Kerajaan
Pada masa kerjaan pancasila belum dikenal oleh masyarakat, tetapi masyarakat
kerajaan sudah banyak melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara tidak sadar. Mereka
sudah mengenal adanya tuhan, mereka saling tolong menolong dan bermusyawarah.

2. Masa Kolonial
Pada masa ini masyarakat belum mengenal Pancasila, karena pada saat itu belum
mengenal rasa persatuan dan kesatuan sehingga mereka dijajah oleh bangsa asing.
Dimana Pancasila dianggap rendah bagi bangsa asing karena pada saat itu masyarakat
Indonesia belum mempunyai rasa persatuan dan kesatuan yang kokoh. Tapi nilai-nilai
Pancasila terlihat juga terlihat pada masa ini tanpa mereka sadari. Pancasila sudah
dirumuskan pada jaman ini pada tanggal 1 Juni 1945.

3. Masa Kemerdekaan
Pada masa ini masyarakat sudah mulai Pancasila dan mereka sudah mengamalkan
unsur-unsur dan prinsip-prinsip Pancasila karena Pancasila itu merupakan dasar negara
Indonesia.

4. Masa Orde Lama


a. Periode 1945-1950
Pada periode ini penerapan Pancasila dan pandangan hidup mengalami
beberapa masalah.Banyak gerakan-gerakan pemberontakan yang ingin
menggantikan pancasila dengan ideologi lainnya.
• Pemberontakan Partai Komunis indonesia (PKI) di Madiun.Pemberontakan
ini dipimpin oleh Muso dan didirikan pada 18 september 1948.Tujuannya
adalah mendirikan negara soviet indonesia yang berideologikan paham
komunis.
• Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam yang dipimpin oleh Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo yang didirikan pada 17 Agustus 1949.Pemberontakan
ini ditandai dengan didirikan Negara Islam Indonesia (NII). Tujuan
Pemberontakan ini adalah Menggantikan Pancasila dengan syariat
islam.Pemberontakan ini dapat diatasi dengan ditangkapnya SM
Kartosuwiryo bersama pengikutnya pada tanggal 4 Juni 1962.

b. Periode 1950-1959
Pada periode ini dasar negara masih tetap Pancasila, akan tetapi penerapan
lebih diarahkan pada ideologi liberalisme.
Pada periode ini indonesia mendapat tantangan berat yaitu Munculnya
pemberontakan Republik Maluku Selatan (RML), Pemerintah Revolusionel
Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) yang
ingin melepaskan diri dari NKRI.Hal ini menimbulkan krisis politik ekonomi dan
keamanan yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden
1959.Melalui Dekrit Presiden ini, pemerintah membubarkan konstituate.

c. Periode 1959-1966
Periode ini dikenal dengan periode demokrasi terpimpin.Demokrasi
dimaknai bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah
nilai-nilai pancasila yang berada pada kekuasaan pribadi Presiden.
Pada periode ini terjadi pemberontakan PKI pada tanggal 30 September
1965 yang dipimpin oleh D.N Adit.Tujuan pemberontakan ini adalah Kembali
mendirikan negara soviet Indonesia yang beridiologikan Komunis.
5. Masa Orde Baru
Babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa muncul sejalan dengan berakhirnya
pemerintahan Orde Lama. Sebuah kekuatan baru muncul dengan tekad melaksanakan
Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Semangat tersebut muncul
berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah
menyelewengkan Pancasila serta menyalahgunakan UUD 45 untuk kepentingan
kekuasaan. Dari embrio inilah dibangun suatu tatanan Pemerintahan yang disebut Ode
Baru. Nama itu dipilih untuk menunjukan bahwa orde ini merupakan tatanan hidup
berbangsa dan bernegara yang bertujuan mengoreksi pemerintahan masa lalu dengan janji
melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.
Dalam perspektif politik kemasyarakatan pemerintah Orde Baru melakukan
restrukturisasi kehidupan kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan organisasi
kekaryaan dengan nama Golongan Karya (Golkar) yang merupakan gabungan dari
berbagai macam organisasi masyarakat. Organisasi kekaryaan tersebut ikut pemilihan
umum dan memperoleh kemenangan lebih dari 60% dari popular vote. Kemenangan
tersebut di samping karena Golkar dijagokan oleh pemerintah,
Masyarakatpun sudah jenuh dengan permainan politik para elit yang dirasakan
tidak pernah mengerti kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Pada tahun-tahun berikutnya,
pemilu lebih merupakan seremoni dan pesta politik elit dari pada kompetisi politik.
Pemilu yang berlangsung secara rutin dan diatur serta diselenggarakan oleh negara
memihak kepentingan penguasa, sehingga sebagaimana diketahui partai yang berkuasa
selalu memperoleh kemenangan sekitar 60 persen dari jumlah pemilih dalam setiap
pemilihan umum.
Sejalan dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD
45 tidak banyak berbeda bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Kedua
pemerintahan selalu menempatkan Pancasila dan UUD 45 sebagai benda keramat dan
azimat yang sakti serta tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi
Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 45 sebagai landasan konstitusi berada di
tangan negara. Penafsiran yang berbeda terhadap kedua hal tersebut selalu diredam secara
represif, kalau perlu dengan mempergunakan kekerasan. Dengan demikian, jelaslah
bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran.
Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam
prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.
Dalam pada itu, penanaman nilai-nilai Pancasila dilakukan secara indoktrinatif
dan birokratis. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan
masyakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap
ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan
keteladanan serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur
bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai makna apapun.
Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan melalui metode
indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat,
semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila.
Cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat
fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yang
disebut penataran P4 atau PMP (Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya,
ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur
Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner
tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato dengan
selalu mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka
katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin
serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai
bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku
bagi para pemimpin.
Retorika persatuan kesatuan menyebabkan bangsa Indonesia yang sangat plural
diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan
yang unilateral. Seluruh tatanan diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal
menerima apa adanya. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk
didiskusikan secara intensif.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah, bahwa persatuan dan kesatuan bangsa yang
dibentuk secara unilateral tidak akan bertahan lama. Pendidikan ideologi yang hanya
dilakukan secara sepihak dan doktriner serta tanpa keteladanan selain tidak akan
memperkuat bangsa bahkan dapat merusak hati nurani dan moral generasi muda. Sebab,
pendidikan semacam itu hanya menyuburkan kemunafikan. Kalau hal itu sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan
kehendaknya.

6. Masa Reformasi
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai
dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara
Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap
yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya
secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif sehingga
kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun
akademis.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan
masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi nilai-nilai pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan
legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya sudah umum kita ketahui, karena
rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang
otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa
ini, Pancasila harus tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi
dasar dari penuntasan persoalan kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang
selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat penyelesaiannya, dinamika politik
lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik komunalisme yang
masih rawan. Kelihatannya, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah
pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif,
sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara.
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian
dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila pernah
dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru dengan
segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa lalu bahwa
mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap “Anti Pancasila“.
Jadi sulit untuk dielakkan jika ekarang ini muncul pendeskreditan atas Pancasila.
Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk berbicara
Pancasila dan merasa tidak perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang
berbicara Pancasila dianggap ingin kembali ke masa lalu. Anak muda menampakkan
kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan dengan Pancasila. Salah satunya
ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia M
Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta,
Senin, 3 Maret 2008 bahwa kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan
bangsa ternyata abai dengan Pancasila. Pernyataan ini didasarkan pada hasil survey yang
dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis tersebut pada 2006 bahwa sebanyak 80 persen
Mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian
sebagai acuan hidup dan hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila
tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk
“malu-malu” terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun
berbagai pernyataan dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-kata
Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap pernyataan
pejabatnya menyertakan kata – kata Pancasila Menarik sekali pertanyaan yang
dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim Reformasi ini masih memiliki konsistensi
dan komitmen terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa Rezim Reformasi tampaknya ogah
dan alergi bicara tentang Pancasila. Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri
mempraktikkan Pancasila. Rezim ini tidak ingin dinilai melakukan indoktrinasi Pancasila
dan tidak ingin menjadi seperti dua rezim sebelumnya yang menjadikan Pancasila sebagai
ideologi kekuasaan. untuk melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme Orde Lama dan
otoritarianisme Orde Baru Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan
kembali Pancasila dan menjadikannya sebagai wacana publik.
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila
tidak sepenuhnya benar. Pernyataan tegas dari negara mengenai Pancasila menurut
penulis dewasa ini adalah dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998 tentang
Pencabutan Ketetapan MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal 1 Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah
dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara
konsisten dalam kehidupan bernegara. Dokumen kenegaraan lainnya adalah Peraturan
Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari dokumen tersebut menyatakan bahwa
dalam rangka Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke depan perlu
secara bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
1945 tidak lagi diperdebatkan. Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada salah satu bagian pidatonya yang bertajuk "Menata
Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila" dalam rangka 61 tahun
hari lahir Pancasila meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan tentang
Pancasila sebagai dasar negara, karena berdasarkan Tap MPR No XVIII /MPR/1998,
telah menetapkan secara prinsip Pancasila sebagai dasar negara
Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen
masyarakat bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang
berbeda dari orde sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap
menempatkan Pancasila dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga keinginan
menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara atau lazim dinyatakan
dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian memunculkan masalah
yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu dalam kehidupan bernegara
ini.

Anda mungkin juga menyukai