Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

PYOPNEUMOTHORAKS KIRI

ec ABSES PARU KIRI

OLEH:
dr. Gheni Alphali Gustion
dr. Puji Yunisyah Rahayu
dr. Yeri Estu Risunang

Pembimbing :

dr. Zuldi Afki, Sp.P

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ROKAN HULU
2019
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. TP
Umur : 27-02-1997 / 22 tahun
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Kristen

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Alamat : Sei Kuning, Tandun, Rokan Hulu

Masuk RS : 02 Oktober 2019

Tanggal Pemeriksaan : 02 Oktober 2019

I. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 02 Oktober 2019

Keluhan Utama : Sesak napas semakin memberat sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

 + 1 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas, sesak yang timbul tidak
dipengaruhi kegiatan maupun perubahan posisi. Sesak tidak berkurang saat
beristirahat. Pasien mengeluhkan batuk(+) demam (+), demam dirasakan naik
turun, menggigil (-), berkeringat (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri pada
dada kirinya seperti ditusuk-tusuk dan menjalar sampai ke dada belakang,
mual (+), muntah (+), nyeri perut (+), lemas (+), nafsu makan berkurang,
BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan.
 + 1 minggu SMRS pasien sudah berobat ke RS Tandun dan dirujuk ke RSUD
Pasir Pengaraian dengan diagnosis appendicitis akut Di RSUD Pasir
pengaraian pasien didiagnosis Abses paru namun pengobatan tidak selesai
karena pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS).
 + 1 bulan SMRS pasien sudah mengeluhkan batuk berdahak. Pasien mengaku
batuk berdahak tidak dipengaruhi aktifitas, cuaca, dan tidak mengenal waktu
tertentu. Dahak berwarna kuning, berbau namun sulit untuk keluar. Pasien
mengeluhkan demam yang hilang timbul, menggigil (-), dirasakan penurunan
berat badan (+), keringat malam (-), mual (+), muntah (-), nyeri perut(-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat atopi seperti rhinitis alergi, asma dan urtikaria (-)
- Riwayat TB atau sedang mengkonsumsi obat 6 bulan (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
- Riwayat atopi seperti rhinitis alergi, asma dan urtikaria (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat TB dan minum obat selama 6 bulan (-)
- Riwayat kanker (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:


- Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, saat ini aktivitas terbatas di
rumah.
- Rumah mempunyai pencahayaan dan ventilasi yang cukup.
- Kebiasaan merokok (-) dan kebiasaan minum alkohol (-).
- Tetangga tidak ada yang mempunyai keluhan serupa.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Berat Badan : 45 Kg

Tinggi Badan : 155 cm

Status Gizi : Normal IMT(kg/m2): 18,75

Warna Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis.


Tanda Vital : TD : 137/86 mmHg Suhu : 38.5oC

Nadi : 68x/i Pernafasan : 32x/i

Status Generalis

Kepala : Normochepali

Rambut : Hitam & putih, lebat, distribusi merata

Wajah : Muka simetris, raut wajah ekspresif, nyeri tekan sinus


frontalis - ,

(-) nyeri tekan sinus maksilaris (-)

Mata : Palpebra oedem (-), Alis mata hitam, distribusi merata, bulu
mata

hitam. Pupil bulat isokor, conjungtiva anemis -/-, Sklera


Ikterik -/-, Reflek cahaya langsung +/+, Reflek cahaya tidak
langsung +/+

Hidung : Bentuk normal, deviasi septum -/-, mukosa konka hiperemis


-/-, oedem -/-, secret -/-, nafas cuping hidung -/-

Bibir : Lembab, warna merah, tidak pucat, tidak sianosis.

Mulut : Lidah simetris kiri dan kanan, deviasi (-), tremor (-),
hiperemis (-), terdapat karies, dan kalkulus pada molar 1 bawah kanan dan
kiri .

papil lidah tidak atrofi, lidah tidak kotor

Tenggorokan : Tonsil tenang T1-T1, uvula simetris ditengah, faring tidak

hiperemis.

Telinga : Normotia kiri dan kanan. Nyeri tarik -/-, nyeri tekan tragus
-/-,

serumen +/+, membrane tymphani intak +/+

Leher : Bentuk normal, trakea ditengah massa (-)

KGB submentalis, submandibularis, cervikalis anterior,


supraklavikularis, retroaurikularis tak teraba besar

JVP 5±2 cmH2O


Thoraks

Paru :

Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis

Retraksi suprasternal dan intercostae (-)

Palpasi : Vokal Fremitus sinistra lebih lemah dibanding vocal fremitus


dextra. Gerakan dinding hemihoraks sinistra tertinggal
dibanding hemitoraks dextra

Perkusi :Hemitoraks dextra sonor, hemitoraks sinistra redup setinggi


costae VII

Auskultasi :Hemitoraks dextra suara nafas vesikuler, hemitoraks sinistra


suara nafas melemah s/d menghilang, rhonki -/+, wheezing -/-

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tak teraba

Perkusi : Batas jantung sebelah kanan ICS VI garis midclavicula dextra

Batas jantung sebelah kiri sulit dinilai

Batas atas jantung sulit dinilai

Kesan : Batas jantung tergeser ke kanan

Auskultasi : S1S2 Reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Abdomen tampak datar.

Auskultasi : bising usus positif normal

Perkusi : Tymphani pada seluruh lapang abdomen

Palpasi : Perut supel, nyeri tekan (+) regio epigastrium, benjolan (+) lunak,
terfiksir, nyeri (+) regio epigastrium. Hepatomegali (-)

Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), oedem (-)


III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium:
a. Darah :
25/09/19 02/10/2019

Darah Rutin: Darah rutin

Hb 11,5 gr/dl Hb 12 gr/dl

Ht 32,2 % Ht 36 %

Leukosit 13.000/ul Leukosit 18.720/ul

Trombosit 206.000/mm3 332.000/ul

2. FOTO THORAKS
a. Thoraks PA (26 September 2019)

Interpretasi: Tampak perselubungan homogen pada bagian basal paru sisnistra


setinggi costa VII yang menutupi sinus, diafragma, serta batas jantung sinistra
disertai hiperlusen avaskuler pada bagian atasnya yang memberikan gambaran air
fluid level. Kesan: Abses Paru, DD: Hidropneumothoraks sinistra.

3. Thoraks Lateral Kanan- Left Lateral Dekubitus (26 September 2019)


Interpretasi: Tampak perselubungan homogen yang berbatas tegas di lobus medius
dan inferior dengan kavitas berdinding tebal serta air fluid level di dalamnya. Pada
posisi dekubitus tampak air-fluid level. Kesan: Abses Paru Kiri.

IV. RESUME
Pasien perempuan, 22 tahun datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari SMRS.
Sesak tidak dipengaruhi aktivitas. Sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit
pasien mengalami batuk berdahak. Batuk dialaminya sepanjang waktu. Pasien
mengaku demam hilang timbul dan meriang, mual,muntah berisi apa yang dimakan,
nafsu makan menurun sehingga berat badan pasien dirasakan berkurang, nyeri pada
ulu hati. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada dada kanannya seperti ditusuk-tusuk
dan menjalar sampai ke dada belakang. Pasien sudah berobat ke RS Tandun dan
dirujuk ke RSUD Pasir Pengaraian dengan diagnosis appendicitis akut. Di RSUD
Pasir pengaraian pasien didiagnosis Abses paru namun pengobatan tidak selesai
karena pasien Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital pasien dalam batas normal.
Pada mata didapatkan konjungtiva anemis. Pada gigi terdapat karies, gangren radiks
dan kalkulus pada molar kanan dan kiri. Pada hemithoraks sinistra terdapat fremitus
vokal menurun, redup, suara dasar vesikuler menurun, rhales (+), tidak ada
wheezing. Pada abdomen, nyeri tekan (+) regio epigastrium, terdapat benjolan lunak,
terfiksir, nyeri(+).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan Hb=11,5 gr%,
Leukosit 13.000/ul. Pada foto thoraks PA didapatkan kesan Abses Paru, DD:
Hidropneumothoraks sinistra. Pada foto thoraks LLD didapat kesan abses paru
sinistra.
V. Diagnosa Kerja
Abses paru kiri

VI. Diagnosa Banding


- Pyopneumothoraks kiri
- Hidropneumotoraks kiri

VII. Penatalaksanaan :
1. Non Farmakologi:
- Tirah baring
- O2 3L/menit nasal kanul
- Fisioterapi : Postural drainage
- Edukasi :
o Anjuran untuk menutup mulut jika batuk dan tidak membuang
dahak sembarangan.
o Makan makanan yang sehat terutama yang mengandung
karbohidrat, serat dan protein.
o Memperhatikan kebersihan gigi dan mulut.

2. Farmakologi :
- IVFD RL 1 kolf/ 12 jam
- Inj. Solvinex 2x 1 amp (bromhexin HCl 4mg/2ml)
- Inj. Simpenem 2x1 vial (meropenem 1 gr)
- Infus Metronidazole 3x1 (500mg/100ml)
- Infus Levofloxacin 1x750 mg
- N-Ace 2x1 (Acetylcysteine 200 mg)
- Inj. Ranitidin 2x1 amp (50mg/2ml)
- Inj. Ondancentron 2x1 amp (4mg/2ml)
- Inj. Ketorolac 2x1amp (30mg/ml)
- Domperidon 3x10 mg
- Sucralfat syr 3x1

VIII. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad malam

Ad functionam : Dubia ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam


IX. Follow Up

Rabu, 2 Oktober 2019

S : Sesak napas (+), batuk berdahak (+), mual (+), muntah (+), demam (+),
nyeri dada kiri (+), lemas (+)

O:
TD : 109/74 mmHg
RR : 26 x/mnt
Sat O2: 96%
HR : 94x/mnt
T : 37,8 C

Pem. Toraks paru :


Hemithorak Kanan

- Inspeksi : Dalam batas normal


- Palpasi : Fremitus taktil dan vocal simetris
- Perkusi : Terdengar sonor
- Auskultasi : Vesikuler +, Rhonki -, Whezing -

Hemithorak Kiri
- Inspeksi : Tertinggal saat inspirasi dan ekspirasi
- Palpasi : Fremitus melemah
- Perkusi : Mulai redup pada ICS VII
- Auskultasi : Vesikuler melemah, rhonki +, wheezing -
-
A : Abses paru kiri + Dispepsia

P:

Dilakukan Pemasangan thoraks tube


O2 3L/mnt nasal canul
IVFD RL 1 kolf/ 12 jam
Inj Meropenem 3 x 1
Inf Cravox 1 x 750 cc
Inf metrodinazole 3 x 500
Inj ranitidin 2 x 1
Inj ondansentron 2 x 1

Kamis , 3 Oktober 2019

S : Sesak napas (+), batuk berdahak (+), mual (+), muntah (+), demam (+), lemas
(+), nyeri post pemasangan wsd (+)
O:
TD : 103/61 mmHg
RR : 26 x/mnt
Sat O2: 96%
HR : 94x/mnt
T : 37, 7 C

Pem. Toraks paru :


Hemithorak Kanan

- Inspeksi : Dalam batas normal


- Palpasi : Fremitus taktil dan vocal simetris
- Perkusi : Terdengar sonor
- Auskultasi : Vesikuler +, Rhonki -, Whezing -

Hemithorak Kiri
- Inspeksi : Tertinggal saat inspirasi dan ekspirasi
- Palpasi : Fremitus melemah
- Perkusi : Mulai redup pada ICS VII
- Auskultasi : Vesikuler melemah, rhonki +, wheezing –
- WSD : Bubble (-), Cairan ±1000 cc (Pus kecoklatan ), Undulasi (+)

A : Pyopneumothoraks kiri ec abses paru kiri + Dispepsia

P:

Rontgen ulang
Pasang O2 3L/mnt nasal canul
IVFD RL 1 kolf/ 12 jam
Inj Meropenem 3 x 1
Infus Cravox 1 x 750 cc
Infus metrodinazole 3x500mg
Inj ranitidin 2x1
Inj ondansentron 2x1

Jumat, 4 Oktober 2019

S : Sesak napas (+), batuk (↓), mual (+), muntah (+), demam (-), lemas (+),
nyeri post pemasangan wsd (+), nafsu makan (-)

O:
TD : 106/78 mmHg
RR : 24 x/mnt
Sat O2: 96%
HR : 94x/mnt
T : 36,6 oC
Pem. Toraks paru :
Hemithorak Kanan

- Inspeksi : Dalam batas normal


- Palpasi : Fremitus taktil dan vocal simetris
- Perkusi : Terdengar sonor
- Auskultasi : Vesikuler +, Rhonki -, Whezing -

Hemithorak Kiri
- Inspeksi : Tertinggal saat inspirasi dan ekspirasi
- Palpasi : Fremitus melemah
- Perkusi : Mulai redup pada ICS VII
- Auskultasi : Vesikuler melemah, rhonki +, wheezing –
- WSD : Bubble (-), Cairan 100cc (pus kecoklatan), Undulasi (+)

A : Pyopneumothoraks kiri ec abses paru kiri + Dispepsia

P:

O2 3L/mnt nasal canul


IVFD RL 1 kolf/ 12 jam
Inj Meropenem 3 x 1
Inf Cravox 1 x 750 mg
Inf metrodinazole 3 x 1
Inj ranitidin 2 x 1
Inj ondansentron 2 x 1

Sabtu, 5 Oktober 2019

S : Sesak napas (+), batuk (↓), mual (+), muntah (+), demam (-), lemas (+), nyeri
post pemasangan wsd (+), nafsu makan (-)

O:
TD : 110/70 mmHg
RR : 24 x/mnt
Sat O2: 96%
HR : 82x/mnt
T : 36,6 C

Pem. Toraks paru :


Hemithorak Kanan

- Inspeksi : Dalam batas normal


- Palpasi : Fremitus taktil dan vocal simetris
- Perkusi : Terdengar sonor
- Auskultasi : Vesikuler +, Rhonki -, Whezing -

Hemithorak Kiri
- Inspeksi : Tertinggal saat inspirasi dan ekspirasi
- Palpasi : Fremitus melemah
- Perkusi : Mulai redup pada ICS VII
- Auskultasi : Vesikuler melemah, rhonki +, wheezing –
- WSD : Bubble (-), Cairan ( - ), Undulasi (-)

A : Pyopneumothoraks kiri ec abses paru kiri + Dispepsia

P:

Irigasi WSD
O2 3L/mnt nasal canul
IVFD RL 1 kolf/ 12 jam
Inj Meropenem 3 x 1
Inf Cravox 1 x 750 mg
Inf metrodinazole 3 x 1
Inj ranitidin 2 x 1
Inj ondansentron 2 x 1

Senin, 7 Oktober 2019

S : Sesak napas (+), batuk (↓), mual (↓), muntah (-), demam (-), lemas (+), nyeri
post pemasangan wsd (↓), nafsu makan (+)

O:
TD : 80/60 mmHg
RR : 24 x/mnt
Sat O2: 96%
HR : 136x/mnt
T : 37,6 C

Pem. Toraks paru :


Hemithorak Kanan

- Inspeksi : Dalam batas normal


- Palpasi : Fremitus taktil dan vocal simetris
- Perkusi : Terdengar sonor
- Auskultasi : Vesikuler +, Rhonki -, Whezing -

Hemithorak Kiri
- Inspeksi : Tertinggal saat inspirasi dan ekspirasi
- Palpasi : Fremitus melemah
- Perkusi : Mulai redup pada ICS VII
- Auskultasi : Vesikuler melemah, rhonki +, wheezing –
- WSD : Bubble (-), Cairan ( - ), Undulasi (-)

A : Pyopneumothoraks kiri ec abses paru kiri + Dispepsia


P:

O2 3L/mnt nasal canul


IVFD RL 1 kolf/ 12 jam
Inj Meropenem 3 x 1
Inf Cravox 1 x 750 mg
Inf metrodinazole 3 x 1
Inj ranitidin 2 x 1
Inj ondansentron 2 x 1

Selasa, 8 Oktober 2019

S : Sesak napas (↓), nyeri post pemasangan wsd (↓), lemas (+), batuk (-), mual (-),
muntah (-), demam (-), nafsu makan (+)

O:
TD : 90/70 mmHg
RR : 22 x/mnt
Sat O2: 96%
HR : 115x/mnt
T : 37,6 C

Pem. Toraks paru :


Hemithorak Kanan

- Inspeksi : Dalam batas normal


- Palpasi : Fremitus taktil dan vocal simetris
- Perkusi : Terdengar sonor
- Auskultasi : Vesikuler +, Rhonki -, Whezing -

Hemithorak Kiri
- Inspeksi : Tertinggal saat inspirasi dan ekspirasi
- Palpasi : Fremitus melemah
- Perkusi : Mulai redup pada ICS VII
- Auskultasi : Vesikuler melemah, rhonki +, wheezing –
- WSD : Bubble (-), Cairan ( 500 cc bewarna kuning ), Undulasi (+)

A : Pyopneumothoraks kiri ec abses paru kiri

P:

O2 3L/mnt nasal canul


IVFD RL 1 kolf/ 12 jam
Inj Meropenem 3 x 1gram
Inf Cravox 1 x 750 cc
Inf Metrodinazole 3 x 1
Inj Pantoprazole 1 x 1 (40mg)
Inj ondansentron 2 x 1
Sukrafat syrup 2 x c1
Interlac 2 x 1 sachet (probiotik)
Pasien dirujuk ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru untuk penanganan lebih lanjut.

TINJAUAN PUSTAKA

Piopneumotoraks ialah terdapatnya gas atau udara di dalam pleura


(pneumothoraks) disertai cairan yang terinfeksi di pleura (empiema).1
Piopneumothoraks diakibatkan oleh infeksi, yang berasal dari mikroorganisme yang
membentuk gas atau dari robekan septik jaringan paru atau esofagus ke arah rongga
pleura. Kebanyakan adalah dari robekan abses subpleura dan sering membuat fistula
bronkopleura.1,2 Jenis kuman yang sering terdapat adalah Staphylococcus aureus,
Klebsiela pneumonia, Mycobacterium tuberkulosis dan lain-lain.2
Etiologi piopneumotoraks biasanya berasal dari paru seperti pneumonia,
abses paru, adanya fistula bronkopleura, bronkiektasis, tuberkulosis paru,
aktinomikosis paru, dan dari luar paru seperti trauma toraks, pembedahan toraks,
torakosentesis pada efusi pleura, abses sub-phrenik dan abses hati amuba.1,2
Patofisologi dari empiema itu sendiri yaitu akibat invasi kuman piogenik ke pleura.
Hal ini menyebabkan timbuk keradangan akut yang diikuti dengan pembentukan
eksudat serous. Dengan bertambahnya sel-sel PMN, baik yang hidup ataupun yang
mati dan peningkatan kadar protein didalam cairan pleura, maka cairan pleura
menjadi keruh dan kental. Endapan fibrin akan membentuk kantung- kantung yang
akhirnya akan melokalisasi nanah tersebut.2

I. PNEUMOTHORAKS
I.I. Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.3
Gambar 1: Pneumotoraks sinistra
I.II. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu:3,4
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks
tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut,
misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan
cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya
tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada
pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk
menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu:3,5
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat
laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.
Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih
ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif.
Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka
terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan
tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar
nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi
tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam
keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi
dinding dada yang terluka (sucking wound).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang
bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus
serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel
yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi
dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura
ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka


pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:3,4
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian
kecil paru (< 50% volume paru).

Gambar 2: Pneumotoraks parsialis


2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar
paru (> 50% volume paru).

Gambar 3: Pneumotoraks totalis

I.III. Penghitungan Luas Pneumotoraks


Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan
jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang
bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :2,5
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus.
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio
diameter kubus adalah :
83 512
______ ________
= = ± 50 %
103 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah
dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian
dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh.
% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
__________________
= x 10
3

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks.

(L) hemitorak – (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

I.IV. Gejala klinis


Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah:3,4
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks


tersebut:
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain
serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.

I.V. Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan:5,6
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

I.VI. Pemeriksaan Penunjang


1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain:7
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru
yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat
ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum
lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu
daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang
mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat
tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Gambar 4: Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang


ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.

3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder.

Gambar 5: CT-scan toraks


I.VII. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :5,6,7
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan
O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap
(2)
12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks
yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan
udara luar dengan cara:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara
yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang
tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura,
jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian
dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini
selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar
dari ujung infuse set yang berada di dalam botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga
pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem
penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang
telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada
linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu
dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga
pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan
pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya.
Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2
cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan
agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang
maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka
sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu
dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila
tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa
belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat
pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.
Gambar 6: water sealed drainage (WSD)
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari
lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengemb ang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan
atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

I.VIII. Pengobatan Tambahan


Pengobatan tambahan pada pasien pneumotoraks adalah sebagai berikut:3,8
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator.
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema.

I.IX. Rehabilitasi
Rehabilitasi pada pasien pneumotoraks adalah sebagai berikut:7,8
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin
terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,
sesak napas.
II. EMPYEMA

II.1. Definisi

Empyema berasal dari bahasa Yunani empyein yang artinya menghasilkan


nanah (supurasi). Definisi empyema yang paling sering digunakan adalah
pengumpulan nanah di dalam rongga di sekitar paru (rongga pleura).9,10

II.II. Etiologi

Empyema dapat disebabkan oleh infeksi dari paru dan infeksi dari luar paru.
Infeksi yang berasal dari dalam paru antara lain disebabkan karena pneumonia, abses
paru, fistel bronkopleura, bronkiektasis, dan tuberculosis paru. Infeksi dari luar paru
antara lain disebabkan karena trauma otak, pembedahan otak, torakosentesis, abses
hati karena amuba. Empyema dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif
(Klebsiella, Bacteroides, E. coli), S. aureus , S. pyogenes , bakteri anaerob ,
polimikroba.9,10

II.III. Klasifikasi

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, empyema thoraks dapat dibagi dua


yaitu empyema akut dan empiema kronis. Empiema akut terjadi sekunder akibat
infeksi ditempat lain. Terjadinya peradangan akut yang diikuti pembentukan eksudat.
Batas tegas antara empyema akut dan kronis sukar ditentukan. Empyema disebut
kronis, bila prosesnya berlangsung lebih dari 3 bulan.9
Berdasarkan American Thoracis Society membagi empyema thoraks menjadi
tiga stadium antara lain stadium eksudat, stadium fibropurulen, stadium organisasi.
Stadium eksudat terjadi saat cairan pleura yang steril di dalam rongga pleura
merespon proses inflamasi di pleura. Inflamasi di pleura menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura. Stadium ini terjadi selama 24
hingga 72 jam . Stadium Fibropurulen terjadi saat cairan pleura menjadi lebih kental
dan fibrin tumbuh di permukaan pleura yang bisa melokulasi pus dan secara
perlahan-lahan membatasi gerak dari paru. Cairan ini berisi leukosit
polimorfonuklear, bakteri dan debris seluler. Stadium ini berakhir setelah 7 sampai
10 hari dan sering membutuhkan penanganan lanjut seperti torakostomi dan
pemasangan tube. Stadium organisasi terjadi saat kantong-kantong nanah yang
terlokulasi akhirnya dapat mengembang menjadi rongga abses berdinding tebal, atau
sebagai eksudat yang berorganisasi, paru dapat kolaps dan kelilingi oleh bungkusan
tebal yang tidak elastik yang terbentuk dari proliferasi fibroblast. Stadium ini dapat
terjadi selama 2 sampai 4 minggu setelah gejala awal.10,11

II.IV. Patogenesis

Terjadinya empyema thorak dapat melalui tiga jalan antara lain melalui
perkontinuitatum, hematogen, dan dari infeksi dari luar dinding thorak. Terjadinya
empyema melalui perkontinuitatum dapat terjadi pada komplikasi penyakit
pneumonia dan abses paru, oleh karena kuman menjalar dan menembus pleura
viseralis. Terjadinya empyema dapat juga secara hematogen , kuman dari fokus lain
sampai di pleura visceralis. Empiema terjadi dapat berasal dari infeksi dari luar
dinding thorak yang menjalar ke dalam rongga pleura, misalnya pada trauma thorak,
abses dinding thorak.9
Terjadinya empyema akibat invasi basil piogenik ke pleura, timbul
peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous dengan banyak
sel-sel PMN baik yang hidup ataupun mati dan meningkatnya kadar protein, maka
cairan menjadi keruh dan kental. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk
kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus
bronkus timbul fistel bronko pleura, atau menembus dinding thorak dan keluar
melalui kulit disebut empyema nasessitatis. Stadium ini masih disebut empyema akut
yang lama-lama akan menjadi kronis (batas tak jelas). 9,11
Empyema merupakan suatu proses luas, yang terdiri atas serangkaian daerah
berkotak-kotak yang melibatkan sebagian besar dari satu atau kedua rongga pleura.
Dapat pula terjadi perubahan pleura parietal. Jika nanah yang tertimbun tersebut
tidak disalurkan keluar,maka akan menembus dinding dada ke dalam parenkim paru
dan menimbulkan fistula. Kantung-kantung nanah yang terkotak-kotak akhirnya
berkembang menjadi rongga-rongga abses berdinding tebal, atau dengan terjadinya
pengorganisasian eksudat maka paru dapat menjadi kolaps serta dikelilingi oleh
sampul tebal yang tidak elastis.9

II.V. Manifestasi klinis


Perjalanan klinis dibagi menjadi dua stadium, yaitu akut dan kronis.
Empyema akut memiliki gejala yang mirip dengan pneumonia bakteria, yaitu panas
tinggi, nyeri pleuritik, anemia. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel
bronkopleura dan empyema necessitasis. Batas tegas antara empyema akut dan
kronis sukar ditentukan, disebut kronik apabila berjalan sudah lebih dari tiga bulan.
Penderita mengeluh badan lemah dan kesehatan penderita tampak mundur. Penderita
yang diobati dengan tidak memadai atau dengan antibiotik yang tidak tepat dapat
mempunyai interval beberapa hari antara fase pneumonia klinik dan bukti adanya
empyema. Kebanyakan penderita menderita demam yang bersifat remiten, takikardi,
dispneu, sianosis, batuk-batuk.9,10

II.VI. Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda sebagai berikut yaitu bentuk


thorak asimetrik, bagian yang sakit tampak lebih menonjol, pergerakan napas pada
sisi yang sakit tertinggal, perkusi redup, bising napas pada bagian yang sakit
melemah sampai hilang. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan leukositosis dan
pergeseran ke kiri seperti pada infeksi akut umumnya.10
Pada foto thorak PA dan lateral, didapatkan gambaran opasitas yang
menunjukan cairan. jantung dan mediastinum terdorong kearah yang sehat, bila
nanahnya cukup banyak sel iga pada sisi yang sakit melebar,dan juga tampak
penebalan pleura.10,11

Gambar : Foto rontgen pada pasien empyema.


Diagnosa pasti dapat ditegakan dengan melakukan aspirasi pleura,
selanjutrnya nanah dipakai sebagai bahan untuk pemerksaan bakteriologi, amuba,
jamur, kultur dan tes kepekaan antibiotik.10
Biopsi pleura dapat dilakukan bersamaan dengan pungsi. Jaringan yang
didapat dikirimkan untuk pemeriksaan patologi anatomi dan mikroskopis. Pada
pemeriksaan patologi anatomi didapatkan gambaran endapan sentrifugasi padat
dengan sel-sel radang yang terdiri dari leukosit, PMN dan histiosit, kesan pleuritis
supuratif.10

Gambaran Patologi anatomi pada biopsi pleura pasien empyema.

II.VII. Penatalaksanaan

Prinsip penanggulangan empyema thoraks adalah : 12,13

a. Pengosongan rongga pleura


Prinsip ini seperti yang dilakukan pada abses dengan tujuan mencegah efek
toksik dengan cara membersihkan rongga pleura dari nanah dan jaringan-
jaringan yang mati. Pengosongan pleura dilakukan dengan cara:
1. Closed drainage = tube thoracostomy = water sealed drainage (WSD)
dengan indikasi antara lain nanah sangat kental dan sukar diaspirasi,
nanah terus terbentuk setelah 2 minggu, terjadinya piopneumothoraks.
Gambar water sealed drainage

2. Open drainage Karena drainase ini menggunakan kateter thoraks yang


besar, maka diperlukan pemotongan tulang iga. Drainase terbuka ini
dikerjakan pada empyema menahun karena pengobatan yang diberikan
terlambat, pengobatan tidak adekuat atau mungkin sebab lain seperti
drainase yang kurang bersih.

gambar open window thoracostomy


b. Pemberian antibiotik yang sesuai

Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosis


harus adekuat. Pemilihan antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan gram dari
hapusan nanah. Pengobatan selanjutnya bergantung dari hasil kultur dan uji
kepekaan.
Obat-obatan yang biasanya digunakan antara lain :10,14
1. Ampicillin 500 mg dan Sulbactam 500 mg
2. Amoxcilin 250-500 mg dan Clavulanat 125 mg
3. Piperacillin 2- 4 gram dan Tazobactam 250-500 mg
4. Vankomisin (vankokin,vancoled,lyphocin) dapat secara intra vena, dengan
dosis 1 gram dalam 200 ml NaCl 0,9% per 12 jam.
5. Eritromicin oral 2 – 4 kali per hari 250-500 mg.

c. Penutupan rongga pleura


Pada empyema menahun, seringkali rongga empyema tidak menutup karena
penebalan dan kekakuan pleura. Bila hal ini terjadi, maka dilakukan
pembedahan, yaitu : 13,14
1. Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar yaitu : mengelupas jaringan pleura
yang menebal. Indikasi dekortikasi ialah drainase tidak berjalan baik,
karena kantung-kantung yang berisi nanah, sukar dicapai oleh drain,
empyema totalis yang mengalami organisasi pada pleura visceralis.
2. Torakoplasti
Tindakan ini dilakukan apabila empyema tidak dapat sembuh karena
adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi.
Pada kasus ini pembedahan dilakukan dengan memotong iga
subperiosteal dengan tujuan untuk memperluas ruang gerak paru.

d. Pengobatan kausal
Pengobatan kausal ditujukan pada penyakit-penyakit yang menyebabkan
terjadinya empyema. Dapat diberikan pengobatan spesifik, untuk amebiasis,
tuberculosis, dan sebagainya.

II.VIII. Penanggulangan Empyema

Penanggulangan empyema tergantung dari fase empyema:10,12,13


a. Fase I (fase eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai tujuan
diagnostik terapi dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran cairan
tersebut dapat dicapai pengembangan paru yang sempurna.
b. Fase II (fase fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan
drainase terbuka (reseksi iga open window ). Dengan cara ini nanah yang ada
dapat dikeluarkan dan perawatan luka dapat dipertahankan. Drainase terbuka
juga bertujuan untuk menunggu keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi
lebih tenang sehingga intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan.
c. Fase III (fase organisasi)
Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas mengembang
atau dilakukan obliterasi rongga pleura dengan cara dinding dada
dikolapskan (torakoplasti) dengan mengangkat iga-iga sesuai dengan
besarnya rongga empyema.

II.IX. Prognosis

Prognosis empyema kurang baik, terutama pada usia lanjut, dimana sistem
imunitasnya sudah melemah, atau pada penyakit dasar yang berat dan karena
terlambat dalam pemberian obat. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, dan
sepsis.11,12
PEMBAHASAN

Piopneumotoraks ialah terdapatnya gas atau udara di dalam pleura


(pneumothoraks) yang disertai cairan yang terinfeksi berupa nanah di pleura
(empiema).1 Piopneumotoraks dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan teori, pasien
Piopneumotoraks memiliki gejala klinis berupa gejala respiratorik dan gejala
sistemik. Gejala respiratorik dapat berupa batuk berdahak, batuk berdarah dan nyeri
dada, sesak napas dan sianosis. Pada gejala yang cukup berat seperti batuk dengan
nanah yang banyak, berbau dan bercampur darah. Gejala respiratorik ini bervariasi
mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
Gejala sistemik dapat berupa demam, malaise, anoreksia dan berat badan menurun. 1,2
Berdasarkan anamnesis pada pasien ini ditemukan sesak napas, batuk berdahak ±1
bulan, tetapi tidak ditemukan batuk berdarah. Demam hilang timbul, mual, muntah
hebat dan anoreksia, pasien juga mengeluhkan nyeri pada dada kirinya seperti
ditusuk-tusuk dan menjalar sampai ke dada belakang yang memungkinkan adanya
keterlibatan pleura.3
Pasien mengeluhkan sesak napas yang memberat 1 minggu, dirasakan terus
menerus disertai dengan batuk berdahak. Batuk dirasakan sejak 1 bulan dan tidak
berkurang, batuk berdahak dengan warna kuning, tetapi pasien tidak pernah
mengeluhkan batuk berdarah. Berdasarkan teori, batuk pada piopneumotoraks terjadi
karena adanya respon pertahanan dari tubuh untuk mengeluarkan benda asing
dikarenakan infeksi terus menerus berkembang dalam paru dan disertai dengan
adanya perlawanan dari sistem pertahanan tubuh menyebabkan semakin
bertambahnya mukosa yang diproduksi pada saluran napas. Mukosa yang semakin
banyak menyebabkan terjadinya penyempitan pada saluran napas sehingga pasien
cenderung mengeluhkan sesak napas.3,4
Etiologi piopneumotoraks biasanya berasal dari paru seperti pneumonia,
abses paru, adanya fistula bronkopleura, bronkiektasis, tuberkulosis paru,
aktinomikosis paru, dan dari luar paru seperti trauma toraks, pembedahan toraks,
torakosentesis pada efusi pleura, abses subphrenik dan abses hati.2 Berdasarkan hasil
pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien, maka pada pasien ini didiagnosis
dengan Pyopneumothoraks kiri ec abses paru kiri, hal ini dikarenakan
pyopneumothoraks pada pasien diduga terjadi akibat komplikasi dari abses paru
yang berasal dari karies gigi pasien sehingga menyebabkan invasi kuman piogenik
ke pleura. Abses paru yang drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur ke
segmen lain dengan kecenderungan penyebaran infeksi staphylococcus, sedang yang
rupture ke rongga pleura dapat menjadi piotoraks (empiema) maupun
piopneumotoraks.2,9
Lekositosis pada piopneumotoraks dapat mencapai 20.000 – 30.000/µm.
Anemia ditemukan pada 80% kasus. Pemeriksaan mikrobiologik sering ditemukan
campuran infeksi kuman anaerob dan aerob. Bakteri gram negatif yang sering
ditemukan adalah Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.9,10 Pada pasien
ditemukan batuk berwarna kuning yang berbau amis, tetapi tidak diketahui jenis
bakteri secara pasti karena tidak dilakukan pemeriksaan kultur bakteri. Nilai Hb pada
pasien 11,5 gr/dl dan leukosit sedikit meningkat dengan nilai 13.000/ul.
Pemeriksaan radiologik sebagai pemeriksaan penunjang abses paru juga
dapat dilakukan untuk melihat lokasi dan bentuk lesi. Pemeriksaan radiologik yang
akan digunakan antara lain foto polos, Computerized Tomography Scan (CT-Scan),
Ultrasonografi (USG) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pada pemeriksaan
foto polos sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk abses paru.
Sedangkan pada CT-Scan dapat menunjukkan lesi yang tidak terlihat pada
pemeriksaan foto polos dan dapat membantu menentukan lokasi dinding dalam dan
luar kavitas abses. Pemeriksaan radiologik lain seperti ultrasonografi (USG) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang dilakukan.2,7 Pada pasien ini hanya
dilakukan pemeriksaan rontgen thorak posisi AP dan LLD dikarenakan keterbatasan
pemeriksaan penunjang diagnostik Pada pasien ini, Tampak perselubungan
konsolidasi di lobus medius dan inferior dengan kavitas berdinding tebal serta air
fluid level di dalamnya. Pada posisi dekubitus juga tampak air-fluid level dengan
kesan abses paru kiri.
Piopneumothoraks yang disebabkan oleh abses paru dapat ditatalaksana
dengan dilakukan tindakan non operatif dan atau tindakan operatif.8,12 Bila dicurigai
adanya keterlibatan Stafilococcus aureus maka antibiotik pilihan utamanya adalah
sefalosporin generasi pertama atau kedua ataupun klindamisin. Jika adanya
ditemukan bakteri gram negative maka aminoglikosida ataupun sefalosporin menjadi
pilihan. Antibiotik pada abses paru dapat diberikan selama 2-4 minggu. Tindakan
bedah jarang sekali digunakan, namun tindakan ini dapat menjadi tindakan
penyelamat pada kondisi khusus. Drainase transtorakal dengan menggunakan tuba
perkutaneus dapat menghindari dilakukannya torakostomi. Torakostomi sebaiknya
dilakukan pada anak yang tidak resonsif dengan pengobatan antibiotik, juga
dianjurkan pada abses yang telah berlangsung lebih dari 3 bulan, anak dengan
8,12
hemoptisis yang mengancam jiwa serta nekrosis paru masif. Pada pasien ini
diberikan terapi antibiotik injeksi Simpenem 2x1 vial (meropenem 1 gr), infus
Metronidazole 3x1 (500mg/100ml) dan Infus Levofloxacin 1x750 mg. Meropenem
merupakan antibiotik golongan beta laktam yang memiliki aktifitas spektrum yang
luas yang termasuk terhadap infeksi gram positif dan gram negatif, aerobik dan
anaerobik.15 Metronidazole merupakan golongan nitroimidazole yang digunakan
untuk mengobati beberapa jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob dan
protozoa seperti uretritis dan vaginitis karena Trichomonas vaginalis, amoebiasis di
usus dan hati.16 Levofloxacin adalah antibiotik fluorokuinolon generasi ketiga
spektrum luas yang bekerja pada bakteri gram-positif dan gram-negatif serta patogen
atipikal terutama pada infeksi traktus respiratorius.17 Pasien juga diberikan Injeksi
solvinex 2x 1 amp (bromhexin HCl 4mg/2ml) dan N-Ace 2x1 (Acetylcysteine 200
mg) yang bekerja sebagai mukolitik yang dapat mengencerkan dahak pada saluran
pernapasan sehingga mengurangi batuk dan sesak napas pada pasien. Pada pasien ini
juga dilakukan pemasangan thoraks tube, didapatkan bubble (-), cairan 1000cc (pus
kecoklatan), undulasi (+) yang menunjukkan adanya infeksi.
Pasien juga mengalami sindrom dispepsia, hal ini didasari dari anamnesis
pasien yang mengeluhkan mual dan muntah setiap kali selesai makan, berisi
makanan disertai penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan
epigastrium (+). Pasien diberikan injeksi ranitidin 50 mg/12 jam, injeksi
ondansentrone 2x1 amp (4mg/2ml) dan sukrafat syrup 2xc1, injeksi ketorolac
2x1amp (30mg/ml), domperidon tablet 3x10 mg untuk mengatasi keluhannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gupta A, Dutt N, Patel N. The different treatment modalities of


pyopneumothorax – A study of 50 cases. Int J Med Sci Public Health.2013;
2(1):609-12.
2. Lin F, Chou CW, Chang C. Differentiating Pyopneumothorax and Peripheral
Lung Abscess: Am J Med Sci. 2004;327(6): 330-5.
3. Slobodan M, Marko S, Bojan M. Pneumothorax: Diagnosis And Treatment.
J Pak Med Assoc.2015; 10(3): 221–8.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumothoraks [internet]. 2017.
Tersedia dari: http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7865.
[diakses tanggal 11 November 2019]
5. Paul Z, Kioumis I,  Pitsiou G, Pneumothorax: From definition to diagnosis
and treatment. J Thorac Dis. 2014;6(4): 372–6.
6. Noppen M, Keukeleire T. Pneumothorax. Respiration. 2008; 76(2): 121–7.
7. Lesur O, Delorme N, Frogamet J, Bernadac P. Computed tomography in the
aetiological assessment of idiopathic spontaneous pneumothorax. Chest.
1990; 98(2): 341–7.
8. Henry M, Arnold T, Harvey J. Guidelines for the management of
spontaneous pneumothorax Thorax. 2003; 58(2): 1139–52.
9. Shepherd MP. The management of acute and chronic empyema thoracis. Br J
Clin Pract. 1979;33(1):307-22.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Empiema [internet]. 2018. Tersedia
dari: http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=9160 [diakses tanggal
11 November 2019]
11. Brims F. Empyema Thoracis : New insights into an old disease. European
Respiratory Review.2010;19(1):220-8.
12. Sahn, SA. Diagnosis and Management of Parapneumonic Effusions and
Empyema. Chicago Journal : Clinical Infectious Disease.2007;45(2):34-9.
13. Yu, H. Management of Pleural Effusion, Empyema and Lung Abscess.
Seminars In Interventional Radiology 2011;28;75-86.
14. Vardhan M. Empyema Thoracis-Study of Present Day Clinical & Etiological
Profile and Management Techniques. Inj. J. Tub. 1998;45(1):155-9.
15. Meropenem [internet]. 2017. Tersedia dari:
http://pionas.pom.go.id/monografi/meropenem. [Diakses tanggal 11
November 2019].
16. Metronidazol [internet]. 2017. Tersedia dari:
http://pionas.pom.go.id/monografi/metronidazol. [Diakses tanggal 11 November
2019].
17. Levofloksasin [internet]. 2017. Tersedia dari:
http://pionas.pom.go.id/monografi/levofloksasin. [Diakses tanggal 11 November
2019].

Anda mungkin juga menyukai