Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Hipertensi

2.1.1. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan Etiologi

a. Hipertensi Esensial (Primer)

Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang sampai saat

ini belum diketahui penyebabnya secara pasti. Adapun faktor yang

mempengaruhi terjadinya hipertensi esensial, yakni faktor genetik,

psikologis, lingkungan, serta diet. Pada tahap awal terjadinya

hipertensi esensial, curah jantung meningkat sedangkan tahanan

perifer normal. Hal ini disebabkan adanya peningkatan aktivitas

simpatik. Selanjutnya, curah jantung kembali normal sedangkan

tahanan perifer meningkat yang disebabkan oleh refleks

autoregulasi. Hipertensi esensial berjalan tanpa gejala dan baru

timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target

(Kotchen., 2012).

b. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebab

dan patofisiologinya diketahui. Penyebab hipertensi sekunder

diakibatkan oleh beberapa hal berikut, yakni hipertensi renal

(kelainan parenkim ginjal, pembuluh darah ginjal, adanya tumor,

retensi natrium, dan peningkatan pembuluh darah ginjal), hipertensi

akibat penyakit endokrin (akromegali, hipertiroidisme,


hipotiroidisme, sindrom metabolik, pheokromositoma), hipertensi

akibat pengaruh obat-obatan, hipertensi akibat kelainan neurologis

(peningkatan tekanan intrakranial, guillain-barre syndrome, dan

stroke), hipertensi disertai obstructive sleep apnea (OSA),

hipertensi akibat kelainan pembuluh aorta (koarktasio aorta), serta

hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan (preeklamsia dan

eklamsia) (Chiong., 2008; Kotchen., 2012).

2.1.2. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan Derajat Hipertensi

Klasifikasi hipertensi berdasarkan derajat hipertensi dapat dibagi

dalam beberapa kategori menurut 2 klasifikasi. Pertama, dari Seventh

Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), dan

kedua dari European Society of Cardiology (ESC) and European

Society of Hypertension (ESH) guidelines tahun 2013. Untuk

pembagian hipertensi berdasarkan klasifikasinya dibagi berdasarkan

tabel dibawah ini :

Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi berdasarkan Derajat Hipertensi menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Darah
Normal <120 dan < 80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 ≥160 atau ≥100
Hipertensi Sistolik ≥140 dan <90
Terisolasi

Sumber : (Kotchen., 2012; Chobanian., 2003)


Tabel 2.2
Klasifikasi Hipertensi berdasarkan Derajat Hipertensi menurut ESC and
ESH Guidelines tahun 2013

Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Darah
Optimal <120 dan <80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Prehipertensi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi Stadium 1 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi Stadium 2 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi Stadium 3 ≥180 dan/atau ≥110
Hipertensi Sistolik ≥140 dan <90
Terisolasi

Sumber : Mancia., 2013

2.1.3. Klasifikasi Hipertensi Lainnya

a. Krisis Hipertensi (Emergency Hypertension)

Krisis Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan

darah sistolik > 180 mmHg dan tekanan darah diastolik > 120

mmHg. Menurut klasifikasi JNC 7, Krisis Hipertensi tidak ikut

disertakan dalam 3 stadium klasifikasi Hipertensi. Akan tetapi,

Krisis Hipertensi merupakan keadaan yang khusus dan bersifat

gawat darurat sehingga memerlukan tatalaksana yang lebih

agresif. Hal ini disebabkan karena Krisis Hipertensi disertai

dengan kerusakan organ target sehingga harus ditanggulangi

segera dalam waktu 1 jam. Kerusakan organ target meliputi

ensefalopati, perdarahan intrakranial, UAP (Unstable Angina

Pectoris), infark miokard akut, gagal jantung kiri akut dengan atau

tanpa edema paru, diseksi atau aneurisma aorta, gagal ginjal, dan

eklamsia (pada ibu hamil) (Firdaus., 2013).


b. Hipertensi Urgensi (Urgency Hypertension)

Hipertensi Urgensi merupakan suatu keadaan yang mirip

dengan krisis hipertensi (tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan

tekanan darah diastolik > 120 mmHg), akan tetapi tanpa disertai

kerusakan organ target. Hipertensi Urgensi tidak dimasukkan juga

ke dalam klasifikasi JNC 7, akan tetapi juga merupakan suatu

keadaan yang khusus dimana tekanan darah ini harus diturunkan

dalam waktu 24 jam dengan pemberian obat antihipertensi

(Firdaus., 2013).

2.2. Epidemiologi Hipertensi

2.2.1. Distribusi Penderita Hipertensi berdasarkan Orang atau Ras

Orang berkulit hitam memiliki prevalensi hipertensi yang lebih

tinggi dibandingkan orang berkulit putih. Menurut data dari National

Health Interview Survey (NHIS) dan National Center for Health

Statistics (NCHS) tahun 2008, prevalensi orang berkulit hitam yang

berada di daerah Afrika maupun Amerika mencapai 31,8%, sedangkan

prevalensi untuk orang berkulit putih mencapai 23,3% (Madhur.,

2013).

2.2.2. Distribusi Penderita Hipertensi berdasarkan Waktu

Menurut literatur review yang ditulis oleh Krishnan (2013),

kecenderungan (trend) prevalensi yang menderita hipertensi

mengalami peningkatan di wilayah Asia Tenggara. Di India,

prevalensi hipertensi meningkat dari 12% pada tahun 1990, menjadi


30% pada tahun 2008. Sedangkan di Indonesia, prevalensi hipertensi

pada orang dewasa meningkat dari 8% pada tahun 1995 menjadi 32%

pada tahun 2008.

2.3. Faktor Risiko Hipertensi

2.3.1. Faktor Risiko yang Tidak Bisa Diubah

a. Usia

Tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia

karena pembuluh darah arteri secara perlahan kehilangan

elastisitasnya untuk bisa berfungsi secara normal. Pada laki-laki,

hipertensi terjadi pada usia > 55 tahun. Sedangkan pada wanita,

hipertensi terjadi pada usia > 65 tahun dan risikonya meningkat

setelah mengalami masa menopause (Kotchen., 2012).

Penelitian dari Rahajeng (2009), menyebutkan bahwa

kelompok usia 25-34 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi

sebanyak 1,56 kali dibandingkan usia 18-24 tahun dan mengalami

peningkatan secara bermakna seiring bertambahnya usia hingga

pada usia ≥ 75 tahun dengan risiko terkena hipertensi menjadi

11,53 kali.

b. Genetik

Pada 70-80% kasus hipertensi di dunia, didapatkan riwayat

hipertensi dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan

dari kedua orang tua, maka terdapat dugaan risiko terkena


hipertensi esensial lebih besar dibandingkan hipertensi sekunder

(Kotchen., 2012).

c. Jenis Kelamin

Penelitian Rahajeng (2009) menyebutkan, kelompok laki-laki

lebih berisiko mengalami hipertensi 1,25 kali dibandingkan

perempuan. Akan tetapi, hal ini memiliki hasil yang tidak

bermakna pada jenis kelamin sehingga dapat disimpulkan bahwa

baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki risiko

menderita hipertensi.

2.3.2. Faktor Risiko yang Dapat Diubah

a. Konsumsi Garam Berlebih

Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam

patogenesis timbulnya hipertensi. Hal ini diduga melalui asupan

makanan yang mengandung kadar natrium yang tinggi. Menurut

literatur review yang dikemukakan oleh Blaustein (2011),

Endogenous Ouabrain (EO) diduga memiliki peran penting dalam

regulasi natrium dalam darah serta aktivitas simpatis di sistem saraf

pusat. Jika kadar natrium di dalam darah meningkat, maka EO

menginduksi jalur dalam memediasi aktivitas saraf simpatis, Na+

pump ligand, sekresi hormon aldosteron, serta Angiotensin II. Di

samping itu, EO juga menjadi growth factor yang secara langsung

berperan dalam remodeling struktur pembuluh arteri serta

penyempitan lumen pembuluh arteri.


b. Obesitas

Hipertensi yang berhubungan dengan obesitas mempunyai

karakteristik adanya ekspansi volume plasma, peningkatan cardiac

output, resistensi insulin, peningkatan aktivitas sistem saraf

simpatis, retensi natrium, serta disregulasi hormon aldosteron

dalam mengatur reabsorpsi natrium di ginjal. Hal ini menandakan

bahwa perubahan vasokonstriksi pembuluh darah pada orang

obesitas berperan penting dalam patofisiologi timbulnya hipertensi

beserta komplikasinya (Lilyasari., 2007). Menurut literature review

yang ditulis oleh Lilyasari (2007), Endotelin-1 diduga berperan

dalam hipertensi yang berhubungan dengan obesitas. Namun, hal

ini masih kontroversial sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut

mengenai hubungan Endotelin-1 terhadap hipertensi dengan

obesitas.

Penelitian Rahajeng (2009), menyebutkan bahwa orang

dengan status gizi kegemukan dan obesitas, memiliki risiko

menderita hipertensi 2,15-2,79 kali dibandingkan orang kurus dan

orang normal. Dengan demikian, obesitas merupakan salah satu

faktor risiko penting timbulnya hipertensi.

c. Alkohol

Menurut literatur review yang dikemukakan oleh Babatsikou

(2010), penggunaan alkohol dapat meningkatkan tekanan darah dan

hal ini terbukti bahwa hipertensi sulit dikontrol pada pasien yang

mengkonsumsi lebih dari 2 minuman alkohol. Di samping itu,


alkohol dapat menurunkan efek obat antihipertensi. Akan tetapi,

alkohol juga memiliki efek protektif pada pasien hipertensi jika

dikonsumsi dalam jumlah 20-30 gram/hari pada pria dan 10-20

gram/hari pada wanita.

d. Merokok

Merokok dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung

serta agregasi platelet yang menyebabkan timbulnya penyumbatan

pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah untuk

sementara waktu. Hal ini disebabkan oleh pengaruh zat nikotin

pada rokok dalam peredaran darah. Nikotin dapat menyebabkan

perubahan morfologi dan fungsi endotel pembuluh darah yang

ditandai dengan kerusakan pada endotel pembuluh darah,

proliferasi sel endotel, peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

serta agregasi platelet. Di samping itu, nikotin juga berikatan

dengan reseptor kolinergik nikotinik pada medulla adrenal

sehingga mensekresikan epinefrin yang memicu terjadinya

peningkatan tekanan darah (Rosyid., 2010).

e. Aktivitas fisik yang kurang

Kurangnya aktivitas fisik mengakibatkan asupan kalori yang

masuk ke dalam tubuh jauh lebih besar dibandingkan kalori yang

dikeluarkan dari tubuh untuk beraktifitas sehingga mengakibatkan

kegemukan yang meningkatkan risiko terjadinya hipertensi.

Penelitian dari Rahajeng (2009) menyebutkan bahwa melakukan

aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari secara teratur,


efektif mengurangi risiko relatif terjadinya hipertensi sebanyak 19-

30%.

2.4. Patogenesis Hipertensi

Pada hipertensi esensial, patogenesisnya bersifat multifaktorial dan

sangat kompleks. Faktor-faktor yang mempengaruhi patogenesis timbulnya

hipertensi esensial meliputi faktor genetik, asupan garam yang berlebih,

serta stimulasi tonus adrenergik berlebih (Madhur., 2013).

Secara umum, mekanisme terjadinya hipertensi dipengaruhi oleh 3

faktor, yakni peningkatan kadar natrium dalam intravaskuler, stimulasi saraf

simpatis autonom yang berlebih, serta disregulasi sistem renin-angiotensin-

aldosteron dalam pengaturan kadar natrium di ginjal. Di dalam

intravaskuler, peningkatan tekanan darah awal terjadi akibat respon terhadap

peningkatan cardiac output yang menyebabkan kadar natrium di dalam

darah meningkat. Pada normalnya, jika natrium diekskresikan sedikit di

ginjal, maka natrium akan dikeluarkan dari ginjal melalui urine atau feses

guna mencapai keseimbangan kadar natrium dalam darah. Pada penderita

hipertensi, keseimbangan dalam regulasi natrium mengalami kekacauan

sehingga konsentrasi natrium di darah meningkat dan memicu kontraksi otot

polos pembuluh darah untuk vasokonstriksi hingga berakibat timbulnya

peningkatan tekanan darah (Kotchen., 2012).

Peningkatan saraf simpatis otonom diakibatkan oleh peningkatan

aktivitas neuron adrenergik dalam memproduksi katekolamin. Katekolamin

berperan penting dalam regulasi tonus dan kontraksi pembuluh darah. Jika
terjadi upregulasi pada reseptor adrenergik, maka katekolamin akan

berikatan dengan reseptor adrenergik yang memicu konstriksi pembuluh

darah sehingga meningkatkan tekanan darah (Kotchen., 2012).

Sistem renin-angiotensin-aldosteron mempunyai peran penting dalam

regulasi tekanan darah arteri serta regulasi absorpsi-ekskresi natrium. Dalam

keadaan defisiensi natrium serta penurunan tekanan darah, renin akan

disintesis pada sel juxtaglomerulus di glomerulus ginjal untuk mengaktifkan

angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensin I kemudian

dikonversikan menjadi angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme-

kininase II (ACE-kininase II) setelah diaktivasi oleh bradikinin. Angiotensin

II akan berikatan dengan reseptor AT1 di membran sel untuk mensekresikan

hormon aldosteron. Aldosteron merupakan suatu hormon yang berfungsi

dalam reabsorpsi natrium dalam ginjal serta augmentasi kalium untuk

diekskresikan melalui ginjal (Kotchen., 2012). Pada keadaan hipertensi,

Aldostreron mengalami peningkatan sehingga reabsorpsi natrium menjadi

berlebih yang mengakibatkan terjadinya retensi natrium dan deplesi kalium

di dalam darah. Jika kondisi ini terjadi, maka akan terjadi kontraksi otot

polos pembuluh darah sehingga mengakibatkan peningkatan resistensi

pembuluh darah perifer dan berakibat timbulnya hipertensi (Kotchen., 2012;

Androgue., 2007)

2.5. Gejala Klinis Hipertensi

Hipertensi esensial seringkali berlangsung tanpa gejala dan baru

timbul setelah terjadi komplikasi pada organ sasaran seperti otak, jantung,
dan ginjal. Gejala umum yang dirasakan oleh penderita hipertensi esensial

bergantung dari tingkat tanda kerusakan organ yang mana terlebih dahulu

yang kena. Gejala atau keluhan yang ditimbulkan bisa mulai dari pusing,

sakit kepala, sulit tidur (insomnia), sesak nafas, rasa pegal di kedua bahu

atau tengkuk, ada sedikit nyeri di dada, mudah lelah atau lemas, hingga

mata yang berkunang-kunang. Sedangkan gejala yang dijumpai akibat

komplikasi dari hipertensi yang tidak tertangani dengan baik (hipertensi

sekunder) dapat berupa gangguan fungsi ginjal (gejala bisa berupa lemas,

mual dan muntah, dan sakit kepala), gangguan irama jantung (gejala berupa

nyeri dada, jantung yang berdebar, atau ada sesak nafas jika sudah

komplikasi yang berat), serta gangguan di otak (gejala berupa lemah

separuh tubuh atau ada kejang). Jika hipertensi sudah menimbulkan

komplikasi pada otak, maka dapat mengakibatkan kejang (ensepalopati) dan

penyempitan maupun perdarahan pada pembuluh darah arteri di otak

sehingga memicu terjadinya stroke dan epilepsi (Kotchen., 2012; Mancia.,

2013).

2.6. Penatalaksanaan Hipertensi

2.6.1. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Menurut rekomendasi dari JNC 7 and AHA-ASA lifestyle

modification, penatalaksanaan nonfarmakologi dalam penyakit

hipertensi adalah sebagai berikut (Madhur., 2013) :

a. Mengurangi berat badan dapat mencegah hipertensi (dengan

pengurangan tekanan darah Sistole antara 5-20 mmHg per 10 kg


penurunan berat badan). Di samping itu, asupan nutrisi buah,

sayur-sayuran, serta susu rendah lemak juga direkomendasikan

untuk mencegah hipertensi.

b. Batasi minum alkohol tidak lebih dari 30 mL per hari pada pria

dan 15 mL per hari pada wanita atau orang dengan berat badan

yang kurang.

c. Pertahankan intake kalium (sekitar 90 mmol/d) serta intake pada

kalsium dan magnesium, terutama pada kadar natriumnya agar

tidak terjadi hipertensi.

d. Berhenti merokok serta kurangi makan-makanan yang

mengandung kolesterol dan lemak jenuh yang tinggi untuk

mengurangi risiko timbulnya penyakit kardiovaskuler.

e. Tingkatkan aktivitas aerobik kurang lebih 30 menit setiap

harinya (dapat mengurangi tekanan darah sistole antara 4-9

mmHg).

2.6.2. Penatalaksanaan Farmakologis

Penatalaksanaan Farmakologis dalam penyakit hipertensi dapat

digolongkan sebagai berikut (Benowitz., 2010) :

a. Obat kelas Diuretik : Thiazide (Hydrochlorothiazide), Furosemid

(Loop Diuretik), Spironolactone, dan Eplerenone.

b. Simpatoplegik yang bekerja secara sentral : Clonidine, dan

Methyldopa.

c. Penghambat nervus simpatis terminal : Reserpine, dan

Guanethidine.
d. Alpha-blocker : Prazosin, Terazosin, dan Doxazosin.

e. Beta-blocker : Metoprolol, Carvedilol, Propranolol (bersifat

nonselektif), dan Atenolol.

f. Vasodilator : Verapamil, Diltiazem, Nifedipine, Amlodipine,

Hydralazine, dan Minoxidil.

g. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor : Captopril.

h. Penghambat reseptor Angiotensin : Losartan.

i. Penghambat renin : Aliskiren.

Berdasarkan JNC 7 dan guideline Istitute for Clinical Systems

Improvement (ICSI) tahun 2010 dalam rekomendasi penggunaan

obat antihipertensi, Thiazide lebih digunakan sebagai obat pertama

dalam kondisi risiko timbul komplikasi seperti gagal jantung,

iskemik jantung, penyakit gagal ginjal kronik, dan stroke. Akan

tetapi, guideline terbaru dari JNC 8 menyebutkan bahwa thiazid

tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi awal pada semua pasien

penderita hipertensi. Obat-obatan seperti ACE inhibitors,

Angiotensin receptor blockers (ARBs), serta Calcium channel

blockers (CCBs) lebih digunakan sebagai terapi dalam pengobatan

pasien penderita hipertensi (Madhur., 2013).

2.7. Komplikasi Hipertensi

a. Stroke

Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke.

Sebanyak 85% stroke disebabkan akibat infark trombus atau non-


trombus (non-hemorrhage) dan 15% disebabkan oleh perdarahan di otak

akibat pecahnya pembuluh darah atau trauma di kepala (hemorrhage).

Hipertensi yang dihubungkan dengan gangguan kognitif dan dementia

dapat menjadi konsekuensi timbulnya oklusi pembuluh arteri besar yang

menyuplai bagian yang mengatur fungsi kognitif di cerebrum. Jika

hipertensi ini menjadi semakin parah, maka akan menimbulkan

ensephalophaty hypertension sehingga dapat menimbulkan kematian

dalam beberapa jam (Kotchen., 2012).

b. Gangguan Jantung

Penyakit jantung merupakan penyebab komplikasi utama

sekaligus penyebab kematian pada pasien hipertensi. Jika hipertensi ini

mengarah ke jantung, maka disebut penyakit hipertensi jantung.

Hipertensi jantung diakibatkan oleh struktur dan fungsi dari ventrikel

kiri yang mengalami hipertrofi, disfungsi diastole, penyakit jantung

koroner, serta adanya abnormalitas aliran pembuluh darah arteri koroner

oleh karena aterosklerosis (Kotchen., 2012).

c. Gangguan Ginjal

Hipertensi juga menjadi komplikasi timbulnya gangguan ginjal

primer. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan kerusakan

glomerulus dalam ginjal sehingga ginjal tidak mampu membuang zat

yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk melalui aliran darah. Jika

ginjal tidak dapat berfungsi secata optimal, maka dapat menyebabkan

gagal ginjal kronik (GGK) (Kotchen., 2012).

Anda mungkin juga menyukai