Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

ILMU KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM


TUBERKULOSIS PARU

Disusun Oleh:
Elfira Christie
01073170111

Penguji:
dr. Titis Dewi Wahyuni, SpP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 10 SEPTEMBER – 17 NOVEMBER 2018
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
• Nama : Tn. S
• Kelamin : Laki-laki
• Umur : 53 tahun
• Status Perkawinan : Menikah
• Agama : Islam
• No. Rekam Medis : RSUS 00-59-49-51
• Status Pembayaran : BPJS 3

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Kamis, 27 September 2018 di
bangsal ISO lantai 3 Rumah Sakit Umum Siloam.

• Keluhan Utama
Sesak napas yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

• Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUS pada Rabu, 26 September 2018 dengan keluhan sesak
napas yang memberat sejak 1 minggu SMRS. Pasien mengalami sesak napas sejak 5
bulan sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya pasien merasa sesak namun tidak
mengganggu aktivitas, namun 1 minggu yang lalu terasa semakin sesak dan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak yang dirasakan semakin berat saat melakukan
aktivitas. Pasien juga mengalami batuk lama sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Batuk yang dirasakan terus-menerus dan mengeluarkan dahak. Dahak berwarna putih
bening dan tidak ada darah, jumlah 1 sendok teh setiap kali batuk. Pasien mengeluhkan
nyeri dada namun muncul hanya pada saat batuk yang keras. Pasien mengaku ada
demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasakan terus-
menerus dan pasien belum minum obat untuk mengurangi demamnya. Pasien juga

2
mengaku menggigil dan berkeringat pada malam hari. Pasien berkeringat di malam hari
tanpa didahului aktivitas. Pasien mengaku ada mual namun tidak ada muntah. Pasien
mengeluhkan penurunan nafsu makan dan memiliki riwayat penurunan berat badan
sebanyak 20 kg dalam 5 bulan terakhir. Pasien menyangkal adanya nyeri kepala dan
nyeri perut. BAB dan BAK dalam batas normal.

• Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki keluhan serupa sebelumnya. Tidak ada riwayat TB, hipertensi,
DM, asma, dan alergi.

• Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah menjalani pengobatan TB sebelumnya dan meminum obat-obatan
rutin.

• Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok sejak usia 20 tahun namun sudah berhenti sejak 5 tahun yang lalu.
Pasien merokok 1 bungkus/hari. Pasien memiliki index brinkman: 12 x 28 = 336
(perokok sedang). Pasien mengaku tidak pernah minum alkohol dan menggunakan
obat-obatan terlarang.

• Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berasal dari kalangan sosial ekonomi menengah.

• Riwayat Diet
Pola makan pasien teratur 3x sehari yang berisi nasi dan lauk pauk. Pasien mengalami
penurunan nafsu makan sejak 5 bulan terakhir.

• Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

3
III. Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan Umum
o Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
o Kesadaran : Compos Mentis
o GCS : 15 (E4M6V5)

• Tanda-Tanda Vital
o Tekanan darah : 100/70 mmHg
o Pernapasan : 29 x/menit
o Nadi : 106 x/menit
o Suhu : 36,7°C
o SpO2 : 88%

• Antropometri
o Berat badan : 42 kg
o Tinggi badan : 155 cm
o BMI : 17,48 (underweight)

• Pemeriksaan Khusus
Kepala Normosefali
Wajah Normofasialis
Leher Pembesaran KGB (-), tidak ada deviasi trakea, JVP tidak
meningkat.
Mata Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 2mm/2mm, RCL +/+, RCTL +/+. Pergerakan bola
mata baik ke segala arah.
THT Darah dan sekret dari lubang telinga dan hidung (-), faring
hiperemis (-), atrofi papil lidah (-), lidah terlihat lebih merah
(-)

4
Thorax • Inspeksi: Bentuk dada tidak simetris, ginekomastia (-),
bekas luka operasi (-), retraksi (-), memar (-).
• Palpasi: Pengembangan dada simetris kanan dan kiri, tactile
vocal fremitus simetris pada kedua lapang paru.
• Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru bagian superior dan
medial, redup pada kedua lapang paru bagian basal
• Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+ menurun, ronki
basah kasar (+/+) pada kedua lobus superior, wheezing (-
/-).
Jantung • Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
• Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, tidak teraba adanya
thrill atau heave.
• Perkusi : batas jantung tidak dilakukan
• Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen • Inspeksi: distensi (-), bekas luka (-), massa (-), spider naevi
(-), caput medusa (-), striae (-)
• Auskultasi: Bising usus (+)
• Perkusi: Shifting dullness (-)
• Palpasi: Nyeri tekan (-)
Ekstremitas • Look : Deformitas (-), sianosis (-), ruam (-), clubbing (-),
koilonychia (-), leukonychia (-), asterixis (-), palmar
erythema (-)
• Feel : Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-), nadi
teraba kuat simetris, edema (-/-)

5
IV. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Laboratorium (26 September 2018)

HEMATOLOGY
Full Blood Count
Result Reference Range
Haemoglobin 11.2 g/dL 13.20 – 17.30
Hematocrit 35.20 % 40.00 – 52.00
Erythrocyte 4.82 x 106/µL 4.40 – 5.90
White Blood Cell 7.27 x 103/µL 3.80 – 10.60
Platelet Count 391 x 103/µL 150.00 – 440.00
Differential Count
Basophil 0% 0–1
Eosinophil 0% 1–3
Band Neutrophil 3% 2–6
Segment Neutrophil 83 % 50 – 70
Lymphocyte 7% 25 – 40
Monocyte 7% 2–8
MCV, MCH, MCHC
MCV 73.00 80.00 – 100.00
MCH 23.20 pg 26.00 – 34.00
MCHC 31.80 g/dL 32.00 – 36.00

BIOCHEMISTRY
SGOT – SGPT
SGOT (AST) 20 U/L 5 – 34
SGPT (ALT) 16 U/L 0 – 55
Ureum 44.0 mg/dL < 50.00
Creatinine 1 mg/dL 0.5 – 1.3
eGFR 85.5 mL/mnt/1.73 m2 ≥ 60 Normal

6
Blood Random Glucose
Blood Random Glucose 108.0 mg/dL < 200.0

Electrolyte (Na, K, Cl)


Sodium (Na) 133 mmol/L 137 – 145
Potasium (K) 4.2 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 95 mmol/L 98 – 107

Blood Gas Analysis


Setelah terkoreksi dengan O2 3 lpm
pH 7.44 7.35 – 7.45
pO2 148 mmHg 83 – 108
pCO2 35.7 mmHg 35 – 48
HCO3 (-) 23.9 mmol/L 21 – 28
Total CO2 25 mmol/L 24 – 30
Base Excess (BE) 0.4 mmol/L (-) 2.4 – (+) 2.3
O2 Saturation 99.4 % 95 - 98

Electrolyte Blood Gas


Sodium 135 mmol/L
Potasium 3.34 mmol/L
Calcium 0.60 mmol/L
Hematocrit 31 %

7
• Xray Thorax PA (26/9/2018)

Penemuan:
o Posisi asimetris
o Paru: perselubungan inhomogen pada lapangan atas dan tengah paru kanan
dengan cavitas multiple. Infiltrat pada lapangan paru kiri dengan cavitas pada
lapangan atas paru kiri. Perselubungan pada lateral lapangan paru bilateral.
o Sinus kostofrenikus: bilateral tumpul
o Mediastinum: normal
o Trakea dan bronkus: normal
o Hilus: normal
o Jantung: CTR <50%
o Aorta: elongasi dan kalsifikasi
o Vertebra thorakal dan tulang-tulang lainnya: mild dextroscoliosis vertebra
thoracalis
o Jaringan lunak: normal
o Abdomen yang tervisualisasi: normal
o Leher yang tervisualisasi: normal

8
Kesan:
o TB paru aktif
o Efusi pleura bilateral
o Aorta elongasi dan kalsifikasi

• AFB Direct Smear III


Specimen : Sputum 3
Prosedur : Z. Neelsen Stain
Result :
Sputum assessment : good quality sputum
Leukosit : 100/lpf
Epithel : <10/lpf
Acid Fast Bacillus : (3+)

V. Resume
Pasien, Tn. S berusia 53 tahun datang ke IGD RSUS dengan keluhan sesak nafas yang
memberat sejak 1 minggu SMRS. Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 5 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya, pasien sesak tetapi tidak mengganggu aktivitas, namun 1
minggu yang lalu terasa semakin sesak dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Terdapat
juga batuk kronis sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuknya terus-menerus dan
berdahak. Dahak berwarna putih dan tidak ada darah, jumlah 1 sendok teh setiap kali batuk.
Pasien juga mengaku ada nyeri dada, namun muncul hanya pada saat batuk keras. Pasien
mengalami demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit yang bersifat terus-
menerus dan pasien belum mengkonsumsi obat untuk mengurangi demam. Pasien juga
menggigil dan berkeringat pada malam hari yang tidak didahului aktivitas. Pasien
mengatakan ada mual, tetapi tidak muntah. Selain itu, ada penurunan nafsu makan dan
terdapat penurunan berat badan sebanyak 20 kg dalam 5 bulan terakhir. Pasien merokok 1
bungkus sehari sejak usia 20 tahun, namun sudah berhenti sejak 5 tahun yang lalu. (IB=336
→ perokok sedang)

9
Pada pemeriksaan umum, pasien tampak sakit sedang dengan laju napas 29x/menit, nadi
106 x/menit, SpO2 88% dan memiliki IMT 17,48 yang menunjukkan pasien underweight.
Pemeriksaan fisik mata ditemukan konjungtiva anemis dan pada pemeriksaan thorax,
bentuk dada tidak simetris, terdapat redup pada kedua lapang paru bagian basal, disertai
dengan suara nafas vesikuler yang menurun, ronki basah kasar (+/+) pada kedua lobus
superior.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia mikrositik hipokrom dengan Hb 11.2


g/dL, neutrophil segment 83% dan limfosit 7%, ESR meningkat 79 mm/jam, hyponatremia
(133 mmol/L) dan hipokloremia (95 mmol/L). Pada rontgen thorax ditemukan
perselubungan inhomogen pada lapangan atas dan tengah paru kanan dengan cavitas
multiple. Infiltrat pada lapangan paru kiri dengan cavitas pada lapangan atas paru kiri.
Perselubungan pada lateral lapangan paru bilateral. Kedua sinus kostrofrenikus juga
tumpul. Hal tersebut menunjukkan adanya TB paru aktif, serta efusi pleura bilateral dengan
elongasi aorta dan kalsifikasi. Pada pemeriksaan BTA, ditemukan BTA positif (3+).

VI. Daftar Masalah


1. TB paru kasus baru
2. Efusi pleura minimal

VII. Follow Up
28 September 2018
S: sesak berkurang, batuk (+), demam (-), nafsu makan meningkat.

O: KU: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis


TD 120/80, S 36.6˚C, N 89x/menit, RR 20x/menit, CA +/+
Thorax:
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru bagian superior dan medial, redup pada kedua
lapang paru bagian basal.
Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+ menurun, ronki basah kasar (+/+) pada kedua
lobus superior, wheezing (-/-)

10
A:
1. TB paru kasus baru
2. Efusi pleura minimal

P:
Ceftazidime 3 x 2 gr IV
Rifampicin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 1000 mg PO

29 September 2018
S: sesak hilang, batuk (+), demam (-), nafsu makan baik.

O: KU: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis


TD 110/70, S 36.7˚C, N 85x/menit, RR 20x/menit, CA +/+
Thorax:
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru bagian superior dan medial, redup pada kedua
lapang paru bagian basal.
Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+ menurun, ronki basah kasar (+/+) pada kedua
lobus superior, wheezing (-/-)

A:
3. TB paru kasus baru
4. Efusi pleura minimal

P:
Ceftazidime 3 x 2 gr IV
Rifampicin 1 x 450 mg PO
Isoniazid 1 x 300 mg PO

11
Pirazinamid 1 x 1000 mg PO
Etambutol 1 x 1000 mg PO

VIII. Pengkajian dan Analisa Kasus

1. TB paru kasus baru


Atas dasar: Anamnesis:
- Sesak napas yang memberat 1 minggu SMRS
- Batuk berdahak 5 bulan SMRS
- Demam + keringat malam 2 minggu SMRS
- Penurunan nafsu makan 5 bulan terakhir
- Penurunan berat badan sebanyak 20 kg dalam 5 bulan
terakhir
Pemeriksaan Fisik:
- Nadi 106 x/menit, RR 29x/menit, SpO2 88%
- Auskultasi: ronki basah kasar (+/+) pada kedua lobus
superior
Pemeriksaan Penunjang:
- Laboratorium: leukosit 7.27 x 103/µL (normal)
- X-ray: TB paru aktif
- BTA (+)
Yang dipikirkan: Tuberkulosis paru kasus baru, BTA (+), lesi luas
Rencana Diagnostik: Pemeriksaan HIV
Rencana Pengobatan: 2 RHZE / 4 RH

➢ Tuberkulosis Paru

• Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit pada paru-paru yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.1

12
• Epidemiologi
Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita
tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Insidens kasus
TB secara global tahun 2015 menurut WHO adalah 10,4 juta dan di Indonesia tahun
2016 adalah 360.565 kasus.2 Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis
pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana
prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang
muncul. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus
TB setelah India dan China.1

• Patogenesis

A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
2.
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya

13
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut,
yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal,
anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan:
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang
pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.1

B. Tuberkulosis Post-primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer
mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized
tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang
terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen
apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu

14
sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut: 1
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti
tersebut akan menjadi:
- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped). Perkembangan sarang tuberkolosis postprimer dan
perjalanan penyembuhannya dapat dilihat pada gambar 1.

15
Gambar 1 Skema perkembangan sarang tuberkolosis postprimer dan perjalanan
penyembuhannya
Dikutip dari (1)

• Klasifikasi
Tuberkulosis paru dibagi atas: 1
1. Tuberkulosis paru BTA (+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif,
atau
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif, atau
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif

2. Tuberkulosis paru BTA (-)

16
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, tapi biakan M.
tuberculosis positif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, tapi gambaran
klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 2 kali menunjukkan BTA negatif, tapi gambaran
radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif, disertai salah satu: hasil
pemeriksaan HIV positif atau HIV negatif tapi tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian antibiotik spektrum luas

• Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
bakteriologi, radiologi, dan penunjang lainnya.1

➢ Gejala Klinik
Gejala klinik dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu yaitu gejala respiratorik
dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
• batuk ≥ 2 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.
2. Gejala Sistemik
• demam
• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun

17
➢ Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak ditemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

➢ Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteri untuk menemukan kuman tuberkulosis sangat penting
dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Bahan yang dipakai dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses, dan
biopsi.

o Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak sebanyak 3x yaitu:
- Sewaktu (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi (keesokan harinya)
- Sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi)

o Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara:
• Mikroskopik
• Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:

18
- Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun
Gabbett
- Mikroskopik fluoresens:pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan


ialah bila:
2 kali positif, 1 kali negatif → BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali, kemudian
▪ bila 1 kali positif, 2 kali negatif → BTA positif
▪ bila 3 kali negatf → BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala
IUATLD.

Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and


Lung Disease):
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan kuman:


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional
ialah dengan cara :
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media: Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis
pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi

19
MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin
maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat
pigmen yang timbul

➢ Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif):
o Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction
dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
o Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

➢ Pemeriksaan Penunjang

20
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat yaitu polymerase chain
reaction (PCR), enzym linked immunosorbent assay (ELISA), mycodot, uji
peroksidase anti peroksidase (PAP), immunochromatographic tuberculosis
(ICT), BACTEC.
Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya adalah:
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan
histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi,
yaitu:
- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka)
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi.

21
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila
kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi
HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

22
Gambar 2. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
Dikutip dari (1)

23
Gambar 3. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
Dikutip dari (1)

• Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
• Rifampisin
• INH
• Pirazinamid
• Streptomisin

24
• Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
• Kanamisin
• Kuinolon
• Obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
• Derivat rifampisin dan INH

Kemasan:
- Obat tunggal
Obat disajikan secara terpisah masing-masing rifampisin, INH, pirazinamid,
dan etambutol.
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Obat Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMaks Dosis (mg) / berat
(Mg/Kg (mg) badan (kg)
BB/Hari) Harian (mg/ Intermitten (mg/Kg/BB/kali) < 40 40- >60
kgBB 60
/ hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
Sesuai
S 15-18 15 15 1000 750 1000
BB

Dikutip dari (1)

- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari:
• 4 obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg, dan
• 3 obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg dan pirazinamid 400 mg
Tabel 2. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH

25
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Dikutip dari (1)

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis
tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi
dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 2.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi

Tabel 3. Ringkasan Panduan OAT


Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan
I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau
BTA - , lesi 2 RHZE / 6 HE
luas *2RHZE / 4R3H3

26
II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil Bila streptomisin alergi,
-Gagal pengobatan uji resistensi atau 2RHZES / dapat diganti kanamisin
1RHZE / 5 RHE
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi minimal 6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi
(minimal OAT yang sensitif) +
obat lini 2 (pengobatan minimal
18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini
2 atau H seumur hidup

Dikutip dari (1)

• HIV-TB
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB
pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang
rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan

27
tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko
tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang
memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.
Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Gambaran TB-HIV

Infeksi dini Infeksi lanjut


(CD4>200/mm3) (CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di Tipikal primer TB milier /
puncak interstisial
Adenopati hilus/ Tidak ada Ada
mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada

Dikutip dari (1)


Pengobatan OAT pada TB-HIV:
- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepa
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan
efek toksik berat pada kulit

28
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.
- Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik
yang serius pada hati
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain
dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi
obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat
penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi
obat rendah dalam serum
- Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan
sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 5)
Tabel 5. Pengobatan TB-HIV

Dikutip dari (1)

Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan adanya
tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan secepatnya setelah
terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc 1600/200 1
kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300 mg 2 kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari) sebagai
pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP adalah
d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP

29
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan setelah
pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan
-
terjadinya efek toksik OAT
- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
sebagai buffer antasida
- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan inhibitor
protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin
sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang
direkomendasikan
Jenis ART
Tabel 6. Obat ART

Golongan Obat Dosis


Nukleosida RTI (NsRTI)
· Abakavir (ABC) 300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari
· Didanosin (ddl) 250 mg 1x/hari (BB<60 Kg)
· Lamivudin (3TC) 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari
· Stavudin (d4T) 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 Kg)
· Zidovudin (ZDV) 300 mg 2x/hari
Nukleotida RTI
· TDF 300 mg 1x/hari
Non nukleosid RTI (NNRTI)
· Efavirenz (EFV) 600 mg 1x/hari
· Nevirapine (NVP) 200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari
Protease inhibitor (PI)
· Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100 mg 2x/hari
· Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg 2x/hari

30
· Nelfinavir (NFV) 1250 mg 2x/hari
· Saquinavir/ritonavir (SQV/r) 1000mg/ 100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1x/hari
· Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml.

Dikutip dari (1)

• Kriteria Sembuh dan Evaluasi


Pasien dapat dinyatakan sembuh apabila sudah tidak mengalami gejala,
pemeriksaan fisik sudah kembali normal, serta pada pemeriksaan penunjang BTA
negatif pada 2x pemeriksaan yaitu pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan
serta telah mendapatkan pengobatan yang adekuat. Pada foto toraks, gambaran
serial tetap sama/perbaikan. Pada biakan hasilnya negatif. Setelah pasien
dinyatakan sembuh, maka evaluasi dapat dilakukan minimal selama 2 tahun. yang
dievaluasi adalah BTA dan foto toraks. Apabila ada gejala, pemeriksaan BTA
dilakukan pada bulan ke 3,6,12,24 setelah dinyatakan sembuh. Foto toraks
dilakukan apabila dicurigai adanya kekambuhan yaitu pada bulan 6,12,24.1

• Kriteria Rawat Inap


Indikasi pasien TB paru untuk dirawat inap yaitu dengan kondisi:
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumothoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat
Atau TB luar paru: TB paru milier, meningitis TB

31
2. Efusi Pleura minimal
Atas dasar: Anamnesis:
- Sesak napas yang memberat 1 minggu SMRS
- Batuk berdahak 5 bulan SMRS
- Demam + keringat malam 2 minggu SMRS
- Nyeri dada saat batuk keras
- Penurunan nafsu makan 5 bulan terakhir
- Penurunan berat badan sebanyak 20 kg dalam 5 bulan
terakhir
Pemeriksaan Fisik:
- Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru bagian superior dan
medial, redup pada kedua lapang paru bagian basal
Pemeriksaan Penunjang:
- Laboratorium: leukosit 7.27 x 103/µL (normal)
- X-ray: Efusi pleura bilateral
Yang dipikirkan: Efusi pleura bilateral et causa tuberkulosis paru
Rencana Diagnostik: Analisa cairan pleura
Rencana Pengobatan: 2 RHZE / 4 RH

➢ Efusi Pleura

• Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang diakibatkan
oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura dan merupakan
komplikasi dari berbagai penyakit. Efusi pleura dibedakan menjadi eksudat dan
transudat berdasarkan penyebabnya. Efusi pleura terjadi apabila produksi mengingkat
minimal 30 kali normal yang melewati kapasitas maksimum ekskresi atau adanya
gangguan absorbsi. Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyebab efusi pleura pada dewasa
terbanyak di Indonesia.3

32
• Epidemiologi
Di Indonesia, belum ada data nasional yang menggambarkan prevalensi efusi pleura.
Namun, beberapa studi telah dilakukan oleh beberapa rumah sakit. Hasil catatan medis
di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2011 menunjukan jumlah prevalensi
penderita efusi pleura untuk wanita 34,6% dan laki-laki 65,4%.4 Efusi pleura
tuberkulosis merupakan TB ekstraparu terbanyak kedua setelah keterlibatan limfatik
dan merupakan penyebab tersering efusi pleura pada daerah yang endemik TB. Efusi
pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara-negara berkembang termasuk di
Indonesia. Indonesia menempati urutan ke-3 dari antara negara-negara dengan
prevalensi TB tertinggi, dimana penyebab utama efusi pleura adalah TB paru (30,26%)
dengan umur terbanyak adalah 21-30 tahun. Persentase efusi pleura TB pada pasien
imunokompromis lebih tinggi dibandingkan dengan pasien imunokompeten. 5,6

• Etiologi
Proses akumulasi cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh:3
1. Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi mikrovaskuler.
2. Penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskuler karena
hipoalbumin.
3. Peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah pleura.
4. Kelemahan drainase limfatik dari permukaan pleura karena terhalang oleh
tumor atau fibrosis.
5. Gangguan penyerapan kembali cairan pleura ke pembuluh getah bening
karena infiltrasi pada getah bening atau peningkatan tekanan vena sentral
pada tempat masuknya saluran limfe.
6. Perembesan cairan dari rongga peritoneum ke dalam rongga pleura

• Klasifikasi
Berdasarkan jenis cairan pleura, efusi pleura dibagi menjadi: 3,5
1. Transudatif

33
Terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi mikrovaskuler,
penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskuler, atau perembesan cairan
dari rongga peritoneum ke dalam rongga pleura. Efusi pleura tipe transudatif
mengandung kadar protein yang rendah dan kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) yang
rendah.
2. Eksudatif
Terjadi akibat peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah pleura, kegagalan
drainase limfatik oleh karena proliferasi sel-sel, atau proses inflamasi. Efusi pleura
tipe eksudatif mengandung kadar protein yang tinggi dan kadar Laktat Dehidrogenase
(LDH) yang tinggi.

Tabel 7. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

Keterangan Transudat Eksudat


Kadar protein cairan pleura <30 g/L >30 g/L
Rasio protein cairan <0,5 0,5
pleura/serum
Kadar LDH cairan pleura <2/3 batas atas serum LDH 2/3 batas atas serum LDH
(<200 u/L) (200 u/L)
Rasio LDH cairan <0,6 0,6
pleura/serum
Leukosit <1000/m3 >1000/m3
Berat jenis cairan pleura <1,016 >1,016
Tes Rivalta - +

Dikutip dari (3)

34
Tabel 8. Etiologi Efusi Pleura

Dikutip dari (3)

• Mekanisme Efusi Pleura Tuberkulosis


Efusi pleura TB dapat terjadi sebagai sekuele dari infeksi primer yang terjadi terjadi 6-
12 minggu sebelumnya atau reaktivasi dari TB. Infeksi primer lebih sering terjadi pada
anak-anak, sedangkan reaktivasi lebih sering terjadi pada orang dewasa. Efusi pleura
TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkejuan (kaseosa) subpleura pada paru sehingga
protein dan antigen tuberkulosa masuk ke rongga pleura. Protein dan antigen
tuberkulosa tersebut akan berinteraksi dengan limfosit T yang akan menghasilkan suatu
reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe 4). Limfosit akan melepaskan limfokin yang
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang
akan menghasilkan akumulasi cairan pleura dengan kadar protein tinggi. Maka itu akan
dihasilkan efusi yang bersifat eksudatif. Selain itu, inflamasi menyebabkan pleuritis
limfositik yang akan menyebabkan penurunan absorpsi cairan pleura dari rongga
pleura. Hal ini menyebabkan efusi yang bersifat transudatif. Maka itu, efusi pleura pada
efusi pleura TB dapat merupakan efusi eksudatif dan transudatif serta diakibatkan oleh
peningkatan produksi cairan pleura dan penurunan absorbsi cairan pleura.1,6,7

• Manifestasi Klinis
Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan
sering terdeteksi secara tidak sengaja pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk
tujuan tertentu. Namun jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka
akan memberikan gejala dan kelainan dari pemeriksaan fisik. Efusi pleura TB biasanya

35
bermanifestasi sebagai demam akut (85%) disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri
dada pleuritik (78%) tanpa peningkatan leukosit darah tepi. Biasanya nyeri dada
mendahului batuk. Penurunan berat badan, menggigil, keringat malam, sesak napas
(jika efusi besar), dan malaise juga dapat dijumpai. Sebagian besar efusi pleura TB
bersifat unilateral (95%), lebih sering di sisi kanan. Pada pemeriksaan fisik inspeksi
dada, dapat dilihat kelainan berupa bentuk dada yang tidak simetris, penonjolan pada
dada yang terlibat, sela iga melebar, dan pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat.
Pada palpasi, taktil fremitus melemah sampai menghilang pada daerah yang terlibat,
pada perkusi dijumpai redup pada daerah yang terlibat, dan pada auskultasi akan
dijumpai suara pernafasan vesikuler melemah sampai menghilang pada daerah yang
terlibat, serta suara gesekan pleura (pleural friction rub). Dari gambaran radiologis
efusi pleura TB, dapat dijumpai sudut kostofrenik yang menumpul, perselubungan
opak dengan tanda meniskus, maupun kelainan parenkim paru yang menunjukan tanda
TB paru (20%). Bila kelainan paru terjadi di lobus bawah maka efusi pleura terkait
dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru di lobus atas, maka
kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus lama. Efusi
pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.

• Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yaitu dapat dilakukan analisa cairan pleura. Efusi pleura yang
dicurigai akibat TB perlu dilakukan torasentesis untuk analisa cairan pleura. Jika
analisis cairan pleura non diagnostik, selanjutnya dilakukan biopsi pleura. Harus
dilakukan pula evaluasi diagnostik untuk TB paru.8,9

o Pemeriksaan rutin: Cairan pleura pada efusi pleura TB berwarna kuning


(80%), eksudatif, konsentrasi protein tinggi, level LDH tinggi, pH rendah,
glukosa rendah, dan sel darah putih meningkat dengan dominasi limfosit.

o Pengukuran tingkat Adenosine deaminase (ADA) adalah pemeriksaan yang


paling berguna pada pasien dengan kecurigaan sedang sampai tinggi efusi
pleura TB dengan pemeriksaan histologi dan kultur pleura yang negatif.

36
Cutoff yang digunakan untuk membantu diagnosis efusi pleura TB adalah>40
U/L. Pemeriksaan ADA lebih dipilih karena lebih mudah dan murah.
o Pengukuran level Gamma interferon juga merupakan pemeriksaan yang
berguna pada pasien dengan kecurigaan efusi pleura TB. sensitivitasnya
87% dan spesifisitasnya 97%.
o Pemeriksaan AFB pada cairan pleura hanya positif <10% kasus efusi pleura
TB, sedangkan kultur M.TB pada cairan pleura juga memiliki sensitivitas
yang rendah.
o Tes molekular: nucleic acid amplification (NAA) cairan pleura memiliki
sensitivitas yang rendah tetapi spesifisitas yang tinggi sehingga tidak sering
digunakan untuk membantu diagnosis. Xpert MTB/RIF assay merupakan
teknik PCR yang cepat dan dapat mendeteksi Mycobacterium
tuberculosis and resistensi rifampicin. Tetapi sensitivitasnya sangat rendah
pada pemeriksaan cairan pleura.
o Biopsi pleura: Analisis histologi yang menunjukan granuloma (80%) serta
nekrosis kaseosa dan kultur mycobactery (56%) merupakan Gold Standard
diangosis efusi pleura TB. Biopsi dilakukan dengan blind needle biopsy.
Hasil positif pada 54% kasus. AFB pada biopsi pleura hanya positif pada
25,8% kasus.

Diagnosis definitif efusi pleura TB dapat ditegakkan dengan ditemukannya bakteri


pada sputum, cairan pleura, atau biopsi pleura. Diagnosis juga dapat ditegakkan
dengan ditemukan granuloma klasik pada biopsi pleura dan diagnosis dapat dicurigai
bila ditemukan kenaikan tingkat adenosine deaminase (ADA) or interferon-gamma
(IFN-γ) pada cairan pleura.

37
Gambar 4. Algoritma Diagnosis Efusi Pleura

Dikutip dari (8)

• Indikasi dan Kontraindikasi


Pungsi pleura atau torakosentesis merupakan tindakan invasif dengan menginsersi
jarum melalui dinding toraks untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura.
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapeutik
yang sangat membantu untuk mengurangi sesak napas. Direkomendasikan bila
membutuhkan analisa cairan pleura, pasien mengalami sesak napas akibat efusi
pleura yang besar, efusi lebih tinggi dari sela iga III, atau terdapat pendorongan
mediastinum. Jika terdapat gejala sistemik berat (demam, malaise, nyeri dada
pleuritik) direkomendasikan torakosentesis terapeutik dan pemberian prednisone.
Tidak terdapat kontraindikasi absolut untuk torakosentesis, tetapi kontraindikasi

38
relatifnya antara lain gangguan pembekuan darah yang belum dikoreksi antara lain
trombosit <20.000 dan PT aPTT memanjang >1,5 kali normal, serta selulitis
dinding thoraks pada lokasi pungsi.2

• Terapi
Dikarenakan efusi pleura ini terjadi akibat TB, maka prinsip pengobatan sama seperti
pengobatan TB dengan OAT pada umumnya. Pengobatan ini menyebabkan cairan
efusi dapat diserap kembali, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat
dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan resolusi dengan sempurna, tapi kadang-
kadang dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik. Pengobatan TB dibagi dalam 2
fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar
bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan
untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit
obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri
yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil.8

Penggunaan kortikosteroid pada efusi pleura TB masih kontroversial. Prinsipnya


adalah efek antiinflamatorik kortikosteroid dapat mempercepat resorpsi cairan pleura
dan mencegah penebalan pleura. Pendekatan yang direkomendasikan pada pasien efusi
pleura TB adalah prednison 1mg/kgBB selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan
secara perlahan.2

Analisa kasus:
Pasien laki-laki, 53 tahun, datang dengan keluhan sesak memberat 1 minggu, batuk
berdahak 5 bulan, nyeri dada saat batuk keras, demam dan keringat malam 2 minggu, mual,
penurunan nafsu makan dan berat badan sebanyak 20 kg dalam 5 bulan terakhir. Keluhan
yang ada pada pasien sesuai dengan manifestasi klinis tuberkulosis paru, hanya saja pada
pasien ini tidak ada batuk darah. Dari anamnesis tersebut, didapatkan diagnosis banding
yaitu tuberkulosis paru dengan diagnosis banding kanker paru.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan laju napas pasien 29x/menit, nadi 106 x/menit,
spo2 88%, pada pasien didapatkan konjungtiva anemis, bentuk dada asimetris, redup pada
kedua lapang paru bagian basal, suara nafas vesikuler yang menurun, ronki basah kasar

39
pada kedua lobus superior. Pemeriksaan fisik yang didapatkan menyatakan pasien yang
sangat sesak dan penemuan sudah sesuai dengan tuberkulosis paru, namun dapat juga
disertai dengan infeksi sekunder. Pada pemeriksaan fisik juga dicurigai adanya efusi
pleura.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, leukosit normal (tidak ada
leukositosis), limfopenia, kadar ESR yang meningkat. Pada pemeriksaan x-ray thorax
didapatkan gambaran tb paru aktif dan efusi pleura bilateral, dan pada pemeriksaan BTA
didapatkan hasil BTA positif. Dengan demikian, diagnosis tuberkulosis paru dengan efusi
pleura dapat ditegakkan.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah Rifampicin 450 mg, Isoniazid 300
mg, Pirazinamid 1000 mg, Etambutol 1000 mg. Dosis terapi yang dipakai pada pasien ini
adalah dosis (mg) per range berat badan. Karena berat badan pasien sekarang yaitu 42 kg,
maka dosis OAT yang diberikan sudah sesuai. Pada pasien ini juga diberikan antibiotik
karena pasien ini memiliki infeksi sekunder.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia, 2006.


Available URL: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
2. FKUI. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2016.
3. Subagio Y. Kegawatdaruratan Repsirasi Dalam Praktek Klinik. Surakarta: UNS Press;
2017.
4. Tobing, E. M. S. Karakteristik Penderita Efusi Pleura di RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2011. E-Jurnal Fakultas Kedokteran USU. 2013;1(1). Ejurnal on-line. Melalui
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/ejurnalfk/articl e/view/1354 [02/04/14].
5. Light RW. Pleural diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2013.
6. Light RW. Update on tuberculous pleural effusion. Respirology 2010; 15:451.
7. Frye M, Huggins J. Tuberculous Pleural Effusion. Uptodate 2018.
8. Zhai K, Lu Y, Shi HZ. Tuberculous pleural effusion. J Thorac Dis 2016; 8:E486.
9. Jeon, D. Tuberculous Pleurisy: An Update. Tuberculosis and Respiratory Diseases 2014;
76(4):153.

41

Anda mungkin juga menyukai