Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ISU-ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu:
Aditya Agung Nugraha, M.E

Oleh
1. Taufiq Hidayatullah (4119145)
2. Feri Hidayatullah (4119168)
3. M. Bahrurrizqi (4119208)

Kelas : E

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT atas segala berkat rahmat dan
karunia-Nya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita
mampu menjadi umatnya yang dapat meneladaninya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi
Studi Islam yang berjudul “Isu-isu Kontemporer Dalam Studi Islam”.
Penulismenyadari didalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannya
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis minta kritik dan saran guna
perbaikan dan peningkatan kualitas pembuatan penulisan makalah dimasa yang
akan datang. Harapan penulis, semoga makalah ini dapat memberikanmanfaat
bagi pembaca.

Pekalongan, 10 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 1
1.3 Tujuan Makalah................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................... 2
2.1 Aliran-Aliran Pemikiran Islam Modern............................................... 2
2.2 Aliran-Aliran Pemikiran Pluralisme.................................................... 5
2.3 Aliran-Aliran Pemikiran Multikularisme.............................................10
2.4 Aliran-Aliran Pemikiran Demokrasi....................................................13
BAB 3PENUTUP...............................................................................................19
3.1 Simpulan .............................................................................................19
3.2 Saran....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan islam di Indonesia memiliki jalan yang cukup berliku,
sementara islm di nusantara ini memiliki banyak problematika, dan dari sini
islam hadir dengan membawa wajah tatanan baru dalam masyarakat yang
tidak terbentur dengan realitas social, budaya, tatanan politik dan tradisi
keagamaan.
Dalam perkembanganya upaya reaktualisasi diharapkan dapat
menjawab problematika kemasyarakatan dan sebagai pendekatan agama yang
rahmatan lil’alamin. Islam dinamis yang diharapkan mampu mengatasi
masalah-masalah kontemporer yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia,
semisal terorisme, liberalisme, pluralisme, dan gender, yang akan dibahas
dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Islam Modern dalam Studi Islam?
2. Bagaimana pemikiran pluralisme dalam Studi Islam?
3. Bagaimana pemikiran multikulturalisme dalam Studi Islam?
4. Bagaimana pemikiran demokrasi dalam Studi Islam?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui pemikiran islam modern dalam studi islam?
2. Untuk mengetahui pemikiran pluralism dalam studi islam?
3. Untuk mengetahui pemikiran multikulturalisme dalam studi islam?
4. Untuk mengetahui pemikiran demokrasi dalam studi islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aliran-Aliran Pemikiran Islam Modern


Kata modern, modernisme, dan modernisasi berasal dari barat.
Modernism mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk
mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi semua itu menjadi
sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang di
timbulkan oleh ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Sedangkan
modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat
untuk bisa hidup sesuai tuntutan hidup masa kini. Pikiran dan aliran itu
muncul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M, suatu masa yang terkenal
dalam sejarah Eropa sebagai “The Age of Reason” atau “Enlightenment”,
yakni masa pemujaan akal.
Sedangkan pemikiran dalam Islam lahir jauh sesudah munculnya Islam,
setelah melalui sejarah yang panjang. Hal tersebut berangkat dari kepentingan-
kepentingan sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pada masa Rasulullah
SAW, kaum muslim tidak mengalami masalah berat ketika berhadapan
dengan masalah seperti akidah, ibadah dan muamalah, karena masalah yang
ada dapat langsung dirujuk kepada Nabi Muhammad SAW. 1 Namun, setelah
Rasulullah SAW wafat, kaum muslim mulai menghadapi berbagai masalah.
Masalah yang muncul palinng awal adalah, siapakah pengganti rasul yang
akan menjadi pemimpin umat? Pengganti Muhammad SAW sebagai
Rasulullah tidak mungkin ada, karena telah diketahui beliau adalah nabi akhir
zaman. Akan tetapi, pengganti beliau sebagai kepala negara yang membuat
banyak perbedaan pendapat dari kalangan sahabat, dan keputusan yang
diambil tidak dapat memuaskan semua pihak. Dari sinilah muncul cikal bakal
munculnya pemikiran-pemikiran baru dari kalangan sahabat. Jawaban dari

1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 67

2
masalah awal akhirnya tercapai dengan kesepakatan, yaitu ronggak
kepemimpinan diserahkan kepada Abu Bakar.
Sekurang-kurangnya sejak setelah mengalami masa kemunduran dalam
segala bidang sejak jatuhnya kekhilafahan Bani Abbassiyah di Baghdad pada
1258 M, pemikiran modern Islam muncul dikalangan para pemikir Islam yang
menaruh perhatian pada kebangkitan Islam. Pada saat munculnya para pemikir
Islam, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke
puncaknya, baik dalam bidang agama, non-agama maupun dalam bidang
kebudayaan lainnya. Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan
inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran
orang barat (Eropa) pada abads elanjutnya.
Modernisasi Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans
Barat muncul dengan gerakan menyingkirkan agama, maka pembaharuan
dalam Islam adalah kebalikannya, yaitu memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran
Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali
prinsip-prinsip Islam yang telah dilalaikan umatnya. Oleh karena itu,
pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju ke depan untuk
melawan segala kebodohan dan kemelaratan, tetapi juga untuk kemajuan
ajaran-ajaran agama Islam.2
Faktor Lahirnya Pemikiran Modern dalam Islam
Lahirnya pemikiran modern dalam Islam ini dilatarbelakangi oleh dua
faktor, yakni factor eksternal yang berasal dari luar Islam sendiri dan faktor
Internal yang berasal dari masalah-maslah yang ada di Islam sendiri. Adapun
kedua factor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor Eksternal
a. Imperialisme Barat
Imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi akibat disintegrasi
atau perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam yang jauh sebelum
kehancuran peradaban Islam pada pertengahan abad ke-13 M., yaitu

2
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 50

3
ketika munculnya dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari
pemerintahan pusat kekhalifahan Bani Abbasiyah.
Setelah runtuhnya peradaban Islam, perpecahan yang terjadi di
tubuh umat Islam bertambah parah dengan maraknya pemberontakan-
pemberontakan terhadap pemerintahan pusat Islam yang mengakibatkan
pudarnya kekuatan politik Islam dan lepasnya daerah-daerah yang
sebelumnya menjadi bagian dari kekuasaan Islam.
Karena lemahnya politik Islam disertai dengan motivasi pencarian
daerah baru sebagai pasar bagi perdagangan di dunia Timur yang
sebagian besar penduduknya adalah umat Islam, Barat, sejak abad ke-
16 M. menduduki daerah-daerah yang disinggahinya untuk dijadikan
daerah penjajahan. Spanyol akhirnya menjajah Filipina, Inggris
menjajah India, Malaysia dan banyak negara-negara di Afrika. Karena
imperialisme inilah, lahir para pemikir yang berusaha membangunkan
umat Islam dan mengajak mereka untuk bangkit melawan penjajahan.
b. Kontak dengan Modernisme di Barat
Sejak abad ke-16 M. barat mengalami suatu babak sejarahnya
yang baru, yaitu masa modern dengan lahirnya para pemikir modern
yang menyuarakan kemauan ilmu pengetahuan dan berhasil
menumbangkan kekuasaan gereja (Agama). Karena keberhasilannya
inilah dicapai peradaban Barat yang hingga kini masih mendominasi
dunia.
Sementara itu, dunia Islam pada waktu itu, sedang berada dalam
masa kemundurannya, karena interaksinya dengan modernisme di Barat
mulai menyadari pentingnya kemajuan dan mengilhami mereka untuk
memikirkan bagaimana kembali memajukan Islam.
2. Faktor Internal
a. Kemunduran Pemikiran Islam
Kemunduran pemikiran Islam terjadi setelah ditutupnya pintu
ijtihad karena pertikaian yang terjadi di antara sesame umat Islam
dalam masalah khilafiyah dengan pembatasan Madzhab fikih pada

4
imam yang empat saja, yaitu madzhab Maliki, Syafi’i, Hanafi dan
Hambali. Sementara itu, bidang teologi didominasi oleh pemikiran
Asy’ariyah dan bidang tasawwuf didominasi oleh pemikiran imam Al-
Ghozali.
Penutupan pintu ijtihad ini telah menimbulkan efek negatif yang
sangat besar dimana umat Islam tidak lagi memiliki etos keilmuan yang
tinggi dan akal tidak diberdayakan dengan maksimal sehingga yang
dihasilkan oleh umat Islam hanya sekedar pengulangan-pengulangan
tulisan yang telah ada sebelumnya tanpa inovasi-inovasi yang
diperlukan sesuai dengan kemajuan zaman.
Berkenaan dengan kemunduran pemikiran Islam ini, para pemikir
Islam pada zaman modern dengan ide-ide pembaharuannya
menyuarakan pentingnya dibukakan kembali pintu ijtihad.
b. Bercampurnya Ajaran Islam Dengan Unsur-unsur Di Luarnya
Selain kemunduran pemikiran Islam, yang menjadi faktor
lahirnya pemikiran modern dalam Islam adalah bercampurnya ajaran
Islam dengan unsur-unsur di luarnya.
Pada masa abad ke-19 M., umat Islam banyak yang tidak
mengenal agamanya dengan baik sehingga banyak unsure di luar Islam
dianggap sebagai agama. Maka tercampurlah agama Islam dengan
unsur-unsur asing yang terwujud dalam bid’ah, Khurafat dan
Takhayyul.
Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa factor
eksternal yang paling utama dalam mempengaruhi munculnya
pemikiran modern dala Islam, sedangkan faktor internal telah ada
sebelum masa modern Islam yang telah lebih dulu melatar belakangi
lahirnya pemikiran-pemikiran modern dalam Islam, karena pemikiran
modern dalam Islam tidak lain adalah kelanjutan pemikiran

5
pembaharuan yang telah ada sebelumnya atau pemikiran pembaharuan
pada masa klasik.3

2.2 Aliran-Aliran Pemikiran Pluralisme


2.2.1 Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, lebih dari
satu, atau pluralizing sama dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari
satu, atau lebih dari dua yang mempunyai dualis, sedangkan pluralisme
sama dengan keadaan atau paham dalam masyarakat yang majemuk
bersangkutan dengan system social politiknya sebagai budaya yang
berbeda-beda dalam satu masyarakat. Dalam istilah lain pluralisme
adalah sama dengan doktrin yang menyatakan bahwa kekuasaan,
pemerintahan di suatu Negara harus dibagi bagikan antara berbagai
gelombang karyawan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu
golongan.4
2.2.2 BeberapaPandanganTentangPluralismedalam Islam
Islam memandang pluralism sebagai sikap saling menghargai dan
toleransi terhadap agama lain, namun bukan berarti semua agama adalah
sama artinya tidak menganggap bahwa dalam Tuhan yang kami sembah
adalah Tuhan yang kalian baca; agama lain, sembah. Namun demikian
Islam tetap mengakui adanya pluralisme agama, yaitu dengan mengakui
perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakumdinukumwaliyadin),
disini pluralism diorientasikan untuk menghilangkan konflik, perbedaan
dan identitas agama-agama yang ada. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang menunjukkan pada nilai-nilai pluralisme, sebagaimana al-Qur’an
sampaikan;

3
Hermanto, Faktor Munculnya Pemikiran Modern dalam Islam,  diakses dari
http://kang2eman.blogspot.com/2016/12/pemikiran-modern-dalam-islam.html, pada
tanggal 30 Maret 2020
4
M. Syaiful Rahman, ”Islam Dan Pluralisme”. Fikrah. Vol.2. No.1, Juni 2014, hal.
405.

6
‫وا ِم ْن ُه ْم ۖ َوقُولُ ٓو ۟ا َءا َمنَّا‬
۟ ‫سنُ إِاَّل ٱلَّ ِذينَ ظَلَ ُم‬ َ ‫ب إِاَّل بِٱلَّتِى ِه َى أَ ْح‬ ِ َ‫َواَل ت ٰ َُج ِدلُ ٓو ۟ا أَ ْه َل ٱ ْل ِك ٰت‬
َ‫سلِ ُمون‬ ْ ‫ى أُن ِز َل إِلَ ْينَا َوأُن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم َوإِ ٰلَ ُهنَا َوإِ ٰلَ ُه ُك ْم ٰ َو ِح ٌد َونَ ْحنُ لَهۥُ ُم‬ ٓ ‫بِٱلَّ ِذ‬

Artinya:
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di
antara mereka, dan katakanlah kami telah beriman kepada kitab-
kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu;dan kami hanya
kepada-Nya berserahdiri.” Qs. Al-Ankabut (29); 46.

Selanjutnya, dalam bukunya Anggukan retmis kaki pak kyai Emha


Ainun Najib sampaikan bahwa di tengah pluralitas sosial dan agama di
era modern saat ini merupakan lahan kita untuk menguji dan
memperkembangkan kekuatan keislaman kita. Karena pemenang didapat
dari seleksi ketat antar kompotitor siapa yang konsisten dengan keimanan
dan berpegang teguh pada ketaqwaannya, maka dialah pemenangnya.

ِ ‫وا ٱ ْل َخ ْي ٰ َر‬
‫ت ۚ إِلَى‬ ْ ‫م أُ َّمةً ٰ َو ِح َدةً َو ٰلَ ِكن لِّيَ ْبلُ َو ُك ْم فِى َمٓا َءاتَ ٰى ُك ْم ۖ فَٱ‬tْ ‫َولَ ْو شَٓا َء ٱهَّلل ُ لَ َج َعلَ ُك‬
۟ ُ‫ستَبِق‬

َ‫ٱهَّلل ِ َم ْر ِج ُع ُك ْم َج ِمي ًعا فَيُنَبِّئُ ُكم بِ َما ُكنتُ ْم فِي ِه ت َْختَلِفُون‬


Artinya:
“…. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-
Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allahlah Kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al.Maidah (5); 48)

Disamping itu pluralism harus dipahami sebagai pertalian sejati


kebinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralism adalah

7
suatu keharusan bagi keselamatan manusia, melalui mekanisme dan
pengimbangan masing-masing pemeluk agama dan menceritakan secara
obyektif dan transparan tentang histores agama yang dianutnya.(QS. Al-
Baqarah 2:251), kehidupan beragama di masyarakat sering
memunculkan berbagai persoalan yang bersumber dari
ketidakseimbangan pengetahuan agama, termasuk budaya sehingga
agama sering dijadikan kambing hitam sebagai pemicu kebencian.
Padahal fitroh agama masing-masing mengajarkan kebaikan dan
kemanusiaan, sepertidalam, (QS. AlMaidah,5:48). Sayyed Husein Nasr
“dalam sebuah pengantarnya “Islam Filsafat Perenial” dijelaskan” sebuah
agama tidak bisa dibatasi olehnya, melainkan oleh apa yang tidak
dicakup olehnya, setiap agama pada hakekatnya suatu totalitas.
Jhon Hick dam Lorens Bagus katakan ”dalam pandangan
femenologis, termenologi pluralisme agama adalah sebuah realitas,
bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta
kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama. Bagi
Sayyed Husen Nasr agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka
ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang
misterius. Lebih jauh Masdar F. Mas’udi “sebagai jati diri manusia agama
dapat ditinjau dari tiga aspek. Pertama, agama sebagai kesadaran azali
yang bersumber pada bisikan ilahiyah dalam nurani setiap manusia.
Kedua, agama sebagai konsep ajaran atau doktrin yang bersumber pada
wahyu kenabian. Dan ketiga, agama sebagai wujud aktualisasi dan
pelembagaan dari yang kedua.5
2.2.3 Pemikiran Tokoh Pluralisme
1. Gus Dur
Menurut Abdurrahman Wahid, pluralism merupakan suatu
pandangan untuk menerima perbedaan sebagai sunnatulah agar saling
mengenal, menghindari perpecahan, mengembangkan kerja sama
dengan menanamkan rasa saling penegertian, saling memiliki dan

5
Ibid., hlm. 406-409

8
bersifat inklusif, tidak membatasi pergaulan dengan siapapun, namun
tetap meyakini kebenaran agama sendiri dengan tidak
mempersamakan keyakinan secara total. 2) Pluraritas merupakan
sunnatullah. Pluralisme dalam hukum Islam memiliki dasar yang kuat
dari segi normatif dan historis. Islam sejak awal telah mengakui
pluralitas dalam kehidupan masyarakat. Sikap menghargai dan toleran
kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai
bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun, hal itu hanya sebatas
pada segi muamalah, tidak termasuk dalam hal aqidah/iman. Dalam
perspektif hukum Islam pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
pluralism memiliki keserasian, yaitu tentang konsep Tauhid. Gus Dur
tidak memcampuradukkan konsep ke-Tauhidan agama-agama lain
dalam Islam serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan
mengembangkan rasa toleransi, rasa saling pengertian dan
menghormati hak-hak orang lain dari berbagai kalangan.

2. Dr. Nur Kholis Majid


Realitas yang plural sesungguhnya merupakan realitas yang
dinamis. Dan itu sudah menjadi sunnatullah yang tak terbantahkan.
Dalam pandangan masyarakat yang optimis, kemajemukan bukan
ancaman, tapi ia merupakan kenyataan yang sekaligus tantangan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan adalah seorang Nurcholis Madjid yang
selalu ingin melihat bahwa kemajemukan dalam perspektif Islam
sudah menjadi keharusan historis yang niscaya. Karenanya, pemikiran
Islam mesti bersikap inklusif dan toleran, tapi sekaligus kritis.
Nurcholish tampak menggunakan pola pemikiran neo-modernisme
dalam keseluruhan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya. Pola
pemikiran Islam neomodemisme ini, seperti yang dikatakan Fachry
Ali dan Bachtiar Effendi (Fachry Ali dan Bachtiar Efendi,1992:175).
Dengan demikian, karakteristik pola pemikiran neo-modemisme
adalah pengembangan suatu metodologi sistematis yang mampu

9
melakukan panafsiran Islam secara menyeluruh dan selaras dengan
kebutuhan kontemporer, sikap tidak mengalah kepada Barat, tetapi
juga tidak menafikannya, dan apresiatif disertai sikap kritis untuk mau
mengkaji warissan-warisan sejarah keagamaannya sendiri. Dengan
dua pendekatan ini, Nurcholish bermaksud untuk memberikan
interpretasi doktrin Islam agar sesuai dengan kemajuan jaman, dan
dengan demikian, doktrinnya pun tetap relevan dalam segala
perubahan ruang dan waktu. Sifat ini merupakan karakteristik utama
kaum neo-modernisme yang bertujuan membangun suatu Islam
peradaban.
3. Abdul Mukti Ali
Saat menjadi Menteri Agama RI (1971-1978) Prof. Mukti Ali
menggagas model kerukunan antar-umat beragama untuk menciptakan
harmonisasi kehidupan nasional. Terapi yang digagas Mukti Ali dan
diimplementasikan melalui Departemen Agama tersebut, secara
mendasar dilandasi oleh prinsip keadilan Islam yang mempercayai
tiga hal penting, yakni ; kebebasan hati nurani secara mutlak,
persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam
pergaulan yang kokoh. Yang lebih menonjol adalah konsepnya
tentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau
setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada
forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa bulan
sebelum ia diangkat menjadi menteri.6

2.3 Aliran-Aliran Pemikiran Multikulturalisme


2.3.1 Definisi Multikulturalisme
Kata kebudayaan berasal dari sansekerta, budhaiyah ialah bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan atau culture
adalah segala hasil dari segala cipta karsa dan rasa. Menurut DR. M.

6
Ishak M dan Ryan Zuliyanto, ”Ilmu Sosial Budaya Dasar” (STIKOM El Rahma
,Yogyakarta,2018), hlm.11-13

10
Hatta, kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dari defnisi di
atas dapat disimpulkan bahwa kebudayan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan rasa manusia untuk
memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semua
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut E.B. Taylor
(Bapak Antropologi Budaya) mendefnikan Budaya sebagai:
”Keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan atau
kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh anggota-anggota suatu
masyarakat.” Multikulturalisme adalah keberanekaragaman dari budaya
yang ada di suatu negara.7
2.3.2 Islam Multikultural
Multukulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain
secara sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik,
jender, bahasa, ataupun agama.
Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa
lepas dari konteks multicultural sebagaimana yang dibaca dalam sejarah
masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. Selanjutnya,
menjadikan Islam multicultural sebagai topic atau wacana masih menarik
dan perlu disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan.
Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan
yang sering konflik, Islam multicultural menghendaki terwujudnya
masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran.
Kedua, realitas yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis,
suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak,
terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan
hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Robert N. Bellah,
sosiolog agama dari Amerika Serikat, mengatakan bahwa melalui Nabi
Muhammad Saw di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban

7
Mujiburrahman,“ISLAM MULTIKULTURAL: Hikmah, Tujuan, dan
Keanekaragaman dalam Islam”. ADDIN. Vol.7 No.1, Februari 2013, hal. 68-69.

11
multikultural yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga
melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab.
Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama
menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk
membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama
diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga
konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman.
2.3.3 Hikmah dan Tujuan Multikulturalisme
Hikmah dan tujuan-tujuan multikulturalisme dapat dilihat dari
ajaran-ajaran agama Islam yang termuat dalam al-Qur’an, antara lain
adalah sebagai berikut,
a. Sebagai symbol atau tanda kebesaran Tuhan
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah dia
menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi)
manusia yang berkembang biak” (Q.S. ar-Rum [30]: 20).
b. Sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesame ummat
manusia
“Hai manusia, sesungguhnya kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguuhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).
c. Sebagai ujian dan sarana manusia dalam berlomba menuju kebaikan
dan prestasi
“…untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu

12
diberitahukannya kepadaku apa yang telah kamu perselisihkan itu”
(Q.S. al-Maidah [5]: 48).
d. Sebagai motivasi beriman dan beramal sholeh
“Dan (ingatlah), ketika musa memohon air untuk kaumnya, lalu
Allah berfrman: “pukullah batu itu dengan tongkatmu” Lalu
memancarlah dari padanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap
suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing makan dan
minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu
berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 60).
2.3.4 Keanekaragaman dalam Islam
Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme,
Samsul Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai pandangan
Islam tentang Multikulturalisme. Rizal membahas multikulturalisme
dalam dua arah pembicaraan, yaitu: multikulturalisme dari komunitas
Muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain
(Multikulturalisme Eksternal).
a. Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal di
kalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu
majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa
dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang
paling primitif. Kemajemukan internal ini mencakup antara lain:
bidang pengelompokan sosial; bidang fiqh; bidang teologi, bidang
tasawuf dan di masa modern seperti politik kepartaian.
b. Multikulturalisme Eksternal
Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-
keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam
kehidupan masyarakat Muslim. Lebih dari itu, multikulturalisme juga
menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman
budaya dan agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat

13
Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui
proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi
keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya
tradisi keagamaan Islam.8

2.4 Aliran-AliranPemikiranDemokrasi
2.4.1 Definisi Demokrasi
Secara etimologi, demokrasi terdiri dari dua kata Yunani, yaitu
“demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti
kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata tersebut memiliki arti
suatu keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan
berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan
oleh rakyat.
Sedangkan secara istilah demokrasi dapat dipahami dari beberapa
pengertian yang diungkap para ahli sebagai berikut : (a) Joseph A.
Schmeter mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif
atas suara rakyat, (b) Sidney Hook mengatakan bahwa demokrasi adalah
bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang
penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.9
2.4.2 Islam dan Demokrasi
Di tengah proses demokratisasi global, banyak kalangan ahli
demokrasi, diantaranya Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin
Lipset, menyimpulkan bahwa dunia Islam tidak mempunyai prospek
untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi
yang cukup handal. Hal senada juga diungkapkan oleh Samuel P.
8
Ibid., hlm. 70-75
9
Supiana, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 320

14
Huntington yang meragukan ajaran Islam sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Karena alasan inilah dunia Islam dipandang tidak menjadi
bagian dari proses demokratisasi dunia. Dengan nada sinis pemikir
muslim kelahiran Sudan, Abdel Wahab Efendi pernah berucap, “Angin
demokratisasi memang berhembus keseluruh penjuru dunia, namun tak
ada satu pun daun yang dihembusnya sampai ke dunia Muslim”. Dengan
demikian terdapat pesimisme yang besar di kalangan pakar terkait
dengan masa depan demokrasi di dunia Islam.
Berbeda dengan kalangan pesimis di atas, menurut Ahmad S.
Mousalli, pakar ilmu politik Universitas Amerika di Beirut, ulama Islam
baik klasik, pertengahan maupun modern, memiliki pandangan yang
sepadan dengan perkembangan pemikiran Barat tentang demokrasi,
pluralism dan HAM. Menurutnya, ketika spirit Enlightenment dengan
doktrin hukum alam (natural law)-nya telah menginspirasikan lahirnya
konsep-konsep Barat tentang Demokrasi, Pluralisme, dan HAM, akibat
pengaruh yang sama kalangan ulama muslim menjadikan doktrin-doktrin
tersebut di bawah sinaran otoritas teks yang berasal dari Alquran dan
Sunnah Muhammad Saw.
Hasil pelacakan dari kedua sumber tersebut adalah, ada beberapa
nash (al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw) yang berbicara
tentang prinsip-prinsip dan sistem pemerintahan/kenegaraan. Diantaranya
adalah:
1) Asy-Syura (42): 38

t‫صاَل ةَ َوأَ ْم ُر ُه ْمشُو َر ٰىبَ ْينَ ُه ْم َو ِم َّما َرزَ ْقنَا ُه ْميُ ْنفِقُو‬
َّ ‫ست ََجابُوالِ َربِّ ِه ْم َوأَقَا ُمواال‬
ْ ‫َوالَّ ِذينَا‬
َ‫ن‬

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)


seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka

15
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka.” (QS. Asy-Syura : 38)
2) Ali Imran (3):159

‫وا ِمنْ َح ْولِ َك‬ ۟ ‫ض‬ ُّ َ‫ب ٱَلنف‬ِ ‫فَبِ َما َر ْح َم ٍة ِّمنَ ٱهَّلل ِ لِنتَ لَ ُه ْم ۖ َولَ ْو ُكنتَ فَظًّا َغلِيظَ ٱ ْلقَ ْل‬
‫ستَ ْغفِ ْر لَ ُه ْم َوشَا ِو ْر ُه ْم فِى ٱأْل َ ْم ِر ۖ فَإ ِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّك ْل َعلَى‬
ْ ‫ۖ فَٱعْفُ َع ْن ُه ْم َوٱ‬
َ‫ٱهَّلل ِ ۚ إِنَّ ٱهَّلل َ يُ ِح ُّب ٱ ْل ُمت ََو ِّكلِين‬
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” (Qs. Ali-Imran:159)
3) At-Taubah (9):1

‫ين‬ ْ ‫سولِ ِٓۦهإِلَىٱلَّ ِذينَ ٰ َع َهدتُّم ِّمنَٱ ْل ُم‬


tَ ‫ش ِر ِك‬ ُ ‫بَ َرٓا َءةٌ ِّمنَٱللَّ ِه َو َر‬
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan
Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang
kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka).”(Qs.At-Taubah:1)

Secara garis besar wacana Islam dan Demokrasi dapat


dikelompokkan menjadi tiga kelompok pemikiran: pertama, Islam dan
Demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa
disubordinatkan dengandemokrasi. Islam merupakan sistem politik yang
mandiri (self-Sufficient).
Hubungan keduanya bersifat saling menguntungkan secara
eksklusif (mutually exclusive). Islam dipandang sebagai sistem politik

16
alternative terhadap demokrasi. Dengan demikian Islam dan demokrasi
adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep Barat
tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi.
Sementara Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) tidak saja
mengatur persoalan keimanan (‘akidah) dan ibadah, melainkan mengatur
segala aspek kehidupan umat manusia. Pandangan ini didukung oleh
kalangan cendekiawan Muslim
seperti Sayyid Qutb, SyekhFadhallah Nuri, Thabathaibai, al-Sya’rawi
dan Ali Benhadj, Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi.
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi
didefinisikan secara procedural seperti dipahami dan dipraktikan di
Negara-negara Barat. Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-
prinsip demokrasi dalam Islam. Para ilmuwan menyimpulkan tiga prinsip
umum ketatanegaraan atau pemerintahan Islam, yaitu: (1) prinsip
musyawarah (shura), (2) prinsip keadilan (al-’adl), dan (3) prinsi
pegaliterianisme (musawah). Prinsip demokrasi dalam umumnya sistem
pemerintahan dapat dipadankan dengan prinsip musyawarah yang
ditawarkan Islam. (Khoeruddin Nasution,2007:200).
Tetapi juga mengakui adanya perbedaan antara Islam dan
Demokrasi. Sebaliknya Islam merupakan system politik demokratis kalau
demokrasi didefinisikan secara substansif, yakni kedaulatan di tangan
rakyat dan Negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini.
Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini, demokrasi adalah
konsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian
penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Di antara tokoh dari
kelompok ini adalah Al-Maududi, Rasyid alGhanaoushi, Abdul Fattah
Morou dan Taufiq Asy-Syawi. Di Indonesia diwakili oleh Moh.Natsir
dan Jalaluddin Rahmat.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan
mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan Negara-

17
negara maju. Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya karena
prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan
ijma (consensus). Seperti dinyatakan oleh pakar ilmu politik R. William
Liddle dan Saeful Mujani, di Indonesia pandangan yang ketiga
tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian
integral system pemerintahan Indonesia dan Negara-negara muslim
lainnya. Di antara tokoh Muslim yang mendukung pandangan ini adalah:
Fahmi Huwaidi, Al-’Aqqad, M. Husain Haekal, Zakaria Abdul Mun’im
Ibrahim, Hamid Enayat, Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Di Indonesia diwakili oleh Nurcholish Madjid, Amin Rais, Munawir
Syadzali, Ahmad Syafi’I Ma’arif, dan Abdurrahman Wahid.10

10
Ibid., hlm. 323-326

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa islam yang
sesungguhnya bukanlah sekedar menyembah tuhan. Tuhan bukan lah berhala
yang hanya untuk disembah semata, akan tetapi tuhan adalah dzat yang nyata
yang menciptakan segala seisi jagad raya dan mengatur segala yang ada.
Dan islam bukanlah agama primitive, akan tetapi islam adalah agama yang
maju dan bisa mengatasi masalah-masalah yang terjadi seiring perkembangan
zaman hingga sekarang, akan tetapi masih dalam konteks fikih yang tauhid dan
tidak menyimpang dari ajaran-ajaran islam yang sesungguhnya.
3.2 Saran
Kami selaku penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan selalu
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

19
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan


Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang
Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada
M, Ishak dan Ryan Zuliyanto. 2018. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Makalah
Supiana. Metodologi Studi Islam. 2012. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama RI
Rahman, M. Syaiful. 2014. “ Islam Dan Pluralisme”. Fikrah. Vol.2 (1) : 405
Mujiburrahman. 2013. “ISLAM MULTIKULTURAL: Hikmah, Tujuan, dan
Keanekaragaman dalam Islam”. ADDIN. Vol.7 (1) : 68-69
http://kang2eman.blogspot.com/2016/12/pemikiran-modern-dalam islam.html . Diakses
pada hari Senin, tanggal 30 Maret 2020, Pukul 13.00 WIB

20

Anda mungkin juga menyukai