Anda di halaman 1dari 26

BAHAN AJAR

HUKUM PIDANA KHUSUS

2 sks

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

1
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini Kamis tanggal 16 bulan Februari tahun 2017 Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum
Pidana Khusus Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum telah diverifikasi oleh Ketua
Jurusan/ Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Semarang, 16 Februari 2017

Ketua Jurusan/ Ketua Prodi ...... Tim Penulis

.......................... Indung Wijayanto, S.H., M.H.

NIP NIP. 198207132008121002

2
PRAKATA

Bahan ajar ini disusun untuk memberikan pengetahuan mengenai pengertian


hukum pidana khusus. Bahan ajar ini juga membahas hal-hal yang diatur dalam
beberapa undang-undang yang termasuk dalam hukum pidana khusus, yaitu Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kekhususan
yuridis dan kelemahan yuridis yang ada dalam Undang-Undang tersebut juga diuraikan
dalam bahan ajar ini

Bahan ajar ini terdiri dari lima bab. Bab pertama membahas mengenai pengertian
hukum pidana khusus. Bab selanjutnya membahas undang-undang di luar KUHP yang
termasuk hukum pidana khusus. Bab kedua membahas mengenai Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 j.o Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dilanjutkan Bab ketiga menguraikan hal-hal yang diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dibahas secara lengkap di dalam Bab keempat.

Mahasiswa, melalui buku ini, diharapkan dapat muncul ketertarikan untuk


mempelajari undang-undang di luar KUHP terutama yang termasuk dalam hukum
pidana khusus, serta mengembangkannya dalam kajian keilmuan yang lebih mendalam.
Bahan ajar ini menerima masukan dalam rangka mengembangkan dan
menyempurnakan materi yang terdapat dalam bahan ajar ini. Semoga bahan ajar ini
dapat memberikan manfaat bagi dosen dan mahasiswa yang mempelajari hukum
pidana khusus.

Selamat Membaca!
Tim Penulis

3
DAFTAR ISI
Lembar verifikasi ii
Prakata iii
Daftar Isi iv
v

Daftar Tabel vi
Bab I Pengertian Hukum Pidana Khusus 6
Deskripsi Singkat 6
Capaian Pembelajaran Pertemuan 6
A. Pengertian Hukum Pidana Khusus 7
B. Dasar Hukum dari Hukum Pidana Khusus 7
C. Alasan Dibuatnya Undang-Undang Khusus 8
D. Rangkuman 8
Pertanyaan 12
Bab II Tindak Pidana Korupsi 9
Deskripsi Singkat 9
Capaian Pembelajaran Pertemuan 9
A. Pengertian Korupsi 9
B. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi 9
C. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi 10
D. Kekhususan Yuridis dan Kelemahan Yuridis UU No. 31 Tahun 12
1999 j.o. UU No. 20 Tahun 2001
E. Rangkuman 13
Pertanyaan 13
Bab III Tindak Pidana Pencucian Uang 14
Deskripsi Singkat 14
Capaian Pembelajaran Pertemuan 14
A. Pengertian Tindak 14
Pidana Pencucian Uang
B. Predicate 15
Crime/Predicate Offense dan Jenisnya
C. Tindak Pidana 15
Pencucian Uang dalam UU No. 8 Tahun 2010
D. Kekhususan Yuridis 16
dan Kelemahan Yuridis UU No. 8 Tahun 2010
E. Rangkuman 17
Pertanyaan 17
Bab IV Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat 18
Deskripsi Singkat 18
Capaian Pembelajaran Pertemuan 18
A. Ruang Lingkup 18
Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000
B. Jenis Pelanggaran 19
HAM Berat dalam UU No. 26 Tahun 2000
C. Kekhususan Yuridis 20
dan Kelemahan Yuridis UU No. 26 Tahun 2000
D. Rangkuman 20
Pertanyaan 21

4
Bab V Tindak Pidana Terorisme 22
Deskripsi Singkat 22
Capaian Pembelajaran Pertemuan 22
A. Pengertian Tindak 22
Pidana Terorisme
B. Tindak Pidana Politik 22
dan Tindak Pidana Terorisme
C. Ruang Lingkup 23
Berlakunya UU No. 15 Tahun 2003
D. Tindak Pidana 23
Terorisme dalam UU No. 15 Tahun 2003
E. Kekhususan Yuridis 24
dan Kelemahan Yuridis UU No. 15 Tahun 2003
F. Rangkuman 25
Pertanyaan 25
Daftar Pustaka 26

5
BAB I
PENGERTIAN HUKUM PIDANA KHUSUS

Deskripsi Singkat
Bab ini membahas tentang pengertian hukum pidana khusus yang meliputi pengertian,
dasar hukum dari hukum pidana khusus, alasan dibuatnya undang-undang khusus.

Capaian Pembelajaran Pertemuan (Sub-CPMK)


1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian hukum pidana khusus
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar hukum pidana khusus
3. Mahasiswa mampu menjelaskan alasan dibuatnya undang-undang khusus

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA KHUSUS


Hukum pidana khusus adalah sebuah undang-undang yang di dalamnya, dalam
satu buku, mengatur aturan materiil maupun aturan formil. Menurut Sudharto, 6igra pidana
khusus adalah aturan 6igra yang berlaku bagi orang-orang tertentu atau hanya mengatur
mengenai perbuatan tertentu. Sedangkan, 6igra pidana umum adalah aturan 6igra yang
berlaku bagi semua orang atau berlaku secara umum. Pompe menyatakan bahwa 6igra
pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri. Dikatakan mempunyai tujuan dan
fungsi sendiri karena hukum pidana khusus mengatur mengenai orang-orang tertentu atau
mengatur perbuatan-perbuatan tertentu. Hukum pidana khusus mempunyai kekhususan
yang menyimpang dari hukum pidana umum, baik dari segi hukum pidana materil maupun
hukum pidana formilnya.
Berdasarkan pengertian hukum pidana khusus tersebut di atas, maka tidak semua
undang-undang pidana di luar KUHP masuk lingkup hukum pidana khusus. Untuk dapat
dikatakan sebagai hukum pidana khusus, undang-undang di luar KUHP harus memiliki
ketiga syarat berikut:
1. dalam satu buku, mengatur aturan materiil maupun aturan formil;
2. mengatur mengenai orang-orang tertentu atau mengatur perbuatan-perbuatan
tertentu; dan

6
3. menyimpang dari hukum pidana umum, baik dari hukum pidana materiil maupun
hukum pidana formil.

B. DASAR HUKUM DARI HUKUM PIDANA KHUSUS


Dasar hukum diberlakukannya hukum pidana khusus adalah Pasal 103 KUHP. Pasal
103 KUHP menjadi jembatan undang-undang di luar KUHP dengan Bab I-Bab VIII Aturan
Umum KUHP. Pasal 103 KUHP mengandung tiga makna, yaitu:
1. jika undang-undang pidana di luar KUHP tidak menentukan lain, maka Bab I-VIII Buku I
KUHP berlaku untuk undang-undang tersebut.
2. undang-undang pidana di luar KUHP, pengaturannya, dapat menyimpang dari Ketentuan
Umum KUHP
3. Jika undang-undang pidana di luar KUHP mengatur menyimpang dari Ketentuan Umum
KUHP maka yang berlaku adalah undang-undang tersebut (Asas Lex Specialis Derogat
Lex Generalis)

C. ALASAN DIBUATNYA UNDANG-UNDANG KHUSUS


Ada tiga alasan dibuat undang-undang khusus, yaitu:
1. Adanya kriminalisasi dan dekriminalisasi di masyarakat.
Kriminalisasi adalah perbuatan yang dulunya bukan suatu tindak pidana, sekarang menjadi
tindak pidana. Dekriminalisasi yaitu perbuatan yang dulunya merupakan suatu tindak
pidana, sekarang bukan lagi suatu tindak pidana.
2. Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan
perkembangan masyarakat.
Manusia, sebagai subjek hukum, selalu mengalami perkembangan karena sifat manusia
adalah dinamis. Hukum harus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat,
misalnya perkembangan teknologi. Untuk mewadahi perkembangan teknologi yang terjadi
saat ini maka dibuatlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
3. Adanya keadaan mendesak sehingga perlu segera penanganan dengan membentuk
sebuah perundang-undangan khusus. Karena jika diserahkan pada aturan hukum yang
telah ada akan mengalami kesulitan dan lama.
Pada saat terjadi peristiwa Bom Bali I, Indonesia belum memiliki undang-undang terorisme.
Apabila perkara tersebut diserahkan pada aturan hukum yang ada, yaitu KUHP dan

7
KUHAP, maka proses penanganannya akan lama dan mengalami kesulitan. Berdasarkan
hal tersebut, maka Presiden membentuk Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
Respon atas tuntutan perkembangan masyarakat dengan membuat aturan baru dalam
bidang Hukum Pidana dapat dituangkan dalam beberapa bentuk/model pengaturan, yaitu:
1. Membentuk undang-undang baru, lengkap dengan aturan materiil dan formilnya
2. Merubah dan/atau menambah pasal-pasal yang ada dalam KUHP
3. Menambah dan memasukkan bab baru dlm KUHP

D. RANGKUMAN
Hukum pidana khusus adalah undang-undang yang dalam satu buku mengatur aturan
materiil maupun aturan formil, mengatur mengenai orang-orang tertentu atau mengatur
perbuatan-perbuatan tertentu, dan menyimpang dari hukum pidana umum. . Pasal 103 KUHP
menjadi jembatan undang-undang di luar KUHP dengan Bab I-Bab VIII Aturan Umum KUHP.
Alasan dibuat undang-undang khusus, yaitu adanya kriminalisasi dan dekriminalisasi di
masyarakat, undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma
dan perkembangan masyarakat, atau adanya keadaan mendesak sehingga perlu segera
penanganan dengan membentuk sebuah perundang-undangan khusus

Pertanyaan/Diskusi
1. Apakah yang dimaksud dengan hukum pidana khusus?
2. Sebutkan tiga makna yang terkandung dalam Pasal 103 KUHP ?
3. Apakah yang dimaksud dengan dekriminalisasi dan kriminalisasi ? Berikan contohnya
masing-masing satu !
4. Ada tiga bentuk/model pengaturan dalam membuat aturan baru di bidang Hukum Pidana
sebagai respon atas tuntutan perkembangan masyarakat. Sebutkan !

8
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI

Deskripsi Singkat
Bab ini membahas mengenai tindak pidana korupsi yang meliputi pengertian korupsi,
sejarah pengaturan tindak pidana korupsi, jenis-jenis tindak pidana korupsi, serta kekhususan
yuridis dan kelemahan yuridis UU No. 31 Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun 2001 20.

Capaian Pembelajaran Pertemuan (Sub-CPMK)


1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian korupsi
2. Mahasiswa mampu menjelaskan sejarah pengaturan tindak pidana korupsi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan jenis-jenis tindak pidana korupsi
4. Mahasiswa mampu menjelaskan kekhususan yuridis dan kelemahan yuridis UU No. 31
Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun 2001

A. PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang berarti kebusukan,
kerusakan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian. Kemudian turun ke banyak bahasa seperti dalam bahasa Inggris yaitu corruption,
corrupt, dalam bahasa Perancis yaitu corruption, dan dalam bahasa Belanda yaitu corruptie,
korruptie. Dari bahasa Belanda inilah, istilah kata korupsi digunakan di Indonesia.
Kamus Hukum Bahasa Indonesia mengartikan korupsi sebagai perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Definisi Yuridis dari tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi yg dirumuskan
oleh pembentuk undang-undang, yang memberi batas-batas dalam pemidanaan terhadap
perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun
2001.

B. SEJARAH PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI


1. KUHP

Ada dalam Pasal 209 dan 210 mengenai pemberian suap. Pasal 387 dan Pasal 388
mengatur mengenai perbuatan curang pada saat pemborongan. Pasal 415 mengatur

9
mengenai penggelapan. Pasal 416 mengatur mengenai pemalsuan buku pemeriksaan
administrasi. Pasal 417 mengatur mengenai perusakan atau penggelapan akta atau dan surat.
Pasal 418-420 mengenai penerima suap. Pasal 423, 425, dan 435 mengatur mengenai
perbuatan menguntungkan diri sendiri secra tidak sah.

2. Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.


a. Korupsi pertama kali menjadi istilah hukum. Korupsi diartikan perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian negara
b. Peraturan di atas dilengkapi :
1) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda
2) Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/011/1957 memberi dasar hukum kepada
Penguasa Militer untuk mensita dan merampas barang-barang dari seseorang yang
diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Pada saat UU Keadaan Bahaya
No. 74 Tahun 1957 berlaku, peraturan-peraturan dari Penguasa Militer diganti.
3. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT/PEPERPU/013/1958 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta
Benda.

Korupsi dibedakan jadi 2, yaitu (1) perbuatan korupsi pidana (ukurannya adalah dengan
atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran), (2) perbuatan korupsi lainnya
(ukurannya adalah dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum) untuk
daerah yg dikuasai Angkatan Laut dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat
Angkatan Laut No. PRT/ZI/7

4. UU No. 24/prp/1960

Perbuatan korupsi lainnya dihapus

5. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tipikor


a. Dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran diganti dengan
melawan hukum
b. Ada delik materiil (Pasal 1 ayat (1) & delik formil (Pasal 1 ayat (1) b)
6. UU No. 31 Tahun 1999
Tindan pidana korupsi dirumuskan sebagai delik formil
7. UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
a. Perumusan Pasal langsung menyebutkan unsurnya, tidak lagi mengacu pada KUHP
b. Mencabut Pasal KUHP, yaitu 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418-420, 423, 425,
435.
c. Menambah Aturan Peralihan

C. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI

Pengaturan Tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun
2001 dibagi dua, yaitu tindak pidana korupsi (Pasal.2-20) dan tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi (Pasal 21-24)

10
Penggolongan tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun 2001

1. Kerugian Negara. Pasal 2 dan Pasal 3

2. Suap-menyuap. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan
b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, d dan Pasal 13

3. Penggelapan dalam jabatan. Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, c

4. Pemerasan. Pasal 12 huruf e, g, f

5. Perbuatan curang. Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, d, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 12 huruf h

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan. Pasal 12 huruf i

7. Gratifikasi. Pasal 12 B j.o Pasal 12 C

Pasal 12 B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan
mengenai:

1. Batasan pengertian gratifikasi yg dianggap sebagai “pemberian suap”; dan

2. Jenis-jenis gratifikasi

Gratifikasi yang dianggap sebagai “pemberian suap”, yaitu apabila gratifikasi itu:

a. Diberikan kepada “pegawai negeri” atau “penyelenggara negara”

b. Berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya

1. Jenis Gratifikasi:

1. Gratifikasi yang bernilai Rp 10.000.000, 00 atau lebih

2. Gratifikasi yang bernilai kurang dari Rp 10.000.000,00

Dilihat dari Pasal 12 B dan Pasal 12 C ayat (1), maka untuk dapat dipidananya si penerima
gratifikasi harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Penerima harus berkualifikasi sebagai “pegawai negeri” atau “penyelenggara negara”

2. Menerima “gratifikasi” dari seseorang yang merupakan “pemberian suap” menurut Pasal 12
B ayat (1), yaitu apabila pemberian itu “berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya

3. Si penerima tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi

D. KEKHUSUSAN YURIDIS DAN KELEMAHAN YURIDIS UU NO. 31 TAHUN 1999 j.o. UU


NO. 20 TAHUN 2001

11
Hal Khusus/Menyimpang dalam UU No. 31 Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun 2001, yaitu:

1. sanksi minimal khusus;

2. korporasi sebagai pelaku tindak pidana;

3. percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana korupsi Pasal. 2, 3, 5 sampai
14 ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut;

4. pidana tambahan selain Pasal 10 KUHP berupa:

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana di mana tipikor dilakukan, begitu pula dari barang
yang menggantikan barang – barang tersebut.;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.

5. sistem pembuktian terbalik terbatas/berimbang;

6. KPK dapat bertindak sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut umum

7. Alat bukti petunjuk, slain yg diatur Ps. 184 (1) KUHAP:

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat 12igra atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.

8. Perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa (12igran in absentia)

Kelemahan Yuridis Materiil UU No. 31 Tahun 1999 j.o UU No. 20 Tahun 2001, yaitu:

1. Tidak adanya penetapan kualifikasi yuridis dari TPK berupa kejahatan atau pelanggaran;

2. Tidak adanya aturan/pedoman khusus pemidanaan untuk pidana minimal khusus

3. Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar
oleh korporasi

4. Tidak adanya pidana pokok khusus untuk korporasi (kecuali denda)

12
5. Tidak adanya aturan/pedoman khusus untuk menerapkan sanksi pidana yang dirumuskan
dengan sistem kumulasi

6. Tidak adanya ketentuan khusus yang merumuskan pengertian dari istilah “permufakatan
jahat”

7. Tidak adanya pemidanaan terhadap pemberi gratifikasi

8. Perbuatan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 a sama tapi pidananya

E. RANGKUMAN

Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Sejarah pengaturan tindak
pidana korupsi adalah KUHP, Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, Peraturan
Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT/PEPERPU/013/1958, UU No. 24/prp/1960,
UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun 2001. Korupsi digolongkan
menjadi tujuh buah. UU No. 31 Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun 2001 memiliki kekhususan
yang menyimpang dari Ketentuan Umum KUHP, namun juga memiliki kelemahan yuridis.

PERTANYAAN/DISKUSI

1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi ?


2. Jelaskan sejarah pengaturan korupsi !
3. Sebutkan 7 jenis-jenis korupsi !
4. Sebutkan 5 kekhususan UU No. 31 Tahun 1999 j.o. UU No. 20 Tahun 2001

13
BAB III

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Deskripsi Singkat

Bab ini membahas tindak pidana pencucian uang dalam UU No. 8 Tahun 2010 yang
meliputi pengertian tindak pidana pencucian uang, predicate crime/predicate offense dan
jenisnya, pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam UU No. 8 Tahun 2010, kekhususan
yuridis dan kelemahan yuridis UU No. 8 Tahun 2010.

Capaian Pembelajaran Pertemuan (Sub-CPMK)


1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian tindak pidana pencucian uang.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan predicate crime/predicate offense dan jenisnya,
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam UU No.
8 Tahun 2010
4. Mahasiswa mampu menjelaskan kekhususan yuridis dan kelemahan yuridis UU No. 8
Tahun 2010

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


Billy Steel istilah: “Money Laundry” berasal dari bisnis/perusahaan-perusahaan
Laundromats (tempat cuci otomat) milik Mafia Al capone di Chicago, AS. Mereka menginginkan
agar uang yg mereka peroleh secara 14igrant terlihat sebagai uang yang halal.
the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 mewajibkan para
anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan
dengan narkotika dan money laundering. RI telah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun
1997. Tindak pidana pencucian uang perlu diatur karena uang diibaratkan darah yang menjaga
kelangsungan hidup manusia. Bagaimana jika aliran darah tersebut dihentikan ?
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money
laundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul kejahatan.
Black’s Law Dictionary merumuskan money laundering sebagai “Term used describe
investment or other transfer of money flowing from racketsteering, drug transaction, and other
illegal sources into legitimate channels so that original sources cannot be traced”.
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 memberikan istilah Pencucian Uang yaitu
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayar, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dengan maksud menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Menurut UU No. 8 Tahun 2010, pencucian Uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2010.

14
B. PREDICATE CRIME/PREDICATE OFFENSE DAN JENISNYA

Pencucian uang sebagai bentuk kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan
lanjutan.

Predicate crime adalah kejahatan utama yang menghasilkan harta kekayaan yang
digunakan untuk tindak pidana pencucian uang. Predicate crime meliputi 26 bentuk kejahatan.
Pada mulanya kejahatan utama tersebut hanya untuk perdagangan narkotika dan obat-obat
sejenisnya. 26 bentuk predicate crime tersebut, yaitu korupsi, penyuapan, narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan 15igrant, di bidang perbankan, di
bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan,
pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang
lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan
pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai
terorisme juga disamakan predicate crime

C. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UU NO. 8 TAHUN 2010

Tindak Pidana Pencucian Uang yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 dibagi 2, yaitu
Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3-5) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak
Pidana Pencucian Uang (Pasal 11-16).

Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pasal 3 sampai Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010,
sebagai berikut:

Pasal 3:

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,membelanjakan, membayarkan,


menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Pasal 4:

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

15
Pasal 5:

Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,

sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang
melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil
Pengendali Korporasi. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila :

a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;

c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan

d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Jika korporasidan/atau personil pengendali korporasi tidak mampu bayar denda maka diganti
pidana perampasan harta kekayaan yang nilainya sama dengan putusan denda. Jika harta
korporasi tidak mencukupi untuk bayar denda maka diganti kurungan pengganti denda bagi
personil pengendali korporasi.

Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pidana tambahan untuk korporasi, yaitu:


a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara

D. KEKHUSUSAN YURIDIS DAN KELEMAHAN YURIDIS UU NO. 8 TAHUN 2010

Kekhususan yuridis UU No. 8 Tahun 2010 adalah:

1. korporasi sebagai subjek hukum

2. kurungan pengganti denda max 1 tahun 4 bulan

3. percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana


Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama

16
4. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.

5. perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa

6. sistem pembuktian terbalik

7. Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang


ini (UU 8 Tahun 2010), diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

Kelemahan UU No. 8 Tahun 2010 ialah:

1. Orang yang melakukan kejahatan warungan dapat terjerat UU No. 8 Tahun 2010, padahal
undang-undang tersebut ini dimaksudkan untuk kejahatan berskala besar

2. Tidak ada kualifikasi delik kejahatan dan pelanggaran

3. Tidak adanya pidana pokok khusus untuk korporasi (kecuali denda)

E. RANGKUMAN
Tindak Pencucian Uang adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
kejahatan. Pencucian uang sebagai bentuk kejahatan yang bersifat follow up crime atau
kejahatan lanjutan. Dalam UU No. 8 Tahun 2010 sudah ada pengaturan bagaimana jika
korporasi tidak membayar denda.

PERTANYAAN/DISKUSI

1. Jelaskan definisi Tindak Pidana Pencucian Uang


2. Apakah yang dimaksud dengan predicate crime ? Berikan 6 contohnya !
3. Jelaskan pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 2010 mengenai korporasi yang tidak
mampu membayar denda !
4. Sebutkan 5 kekhususan UU No. 8 Tahun 2010 !

17
BAB IV

TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAM BERAT

Deskripsi Singkat

Bab ini membahas tentang Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat, meliputi Ruang
Lingkup Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000, Jenis Pelanggaran HAM Berat dalam UU No. 26
Tahun 2000, serta Kekhususan Yuridis dan Kelemahan Yuridis UU No. 26 Tahun 2000.

Capaian Pembelajaran Pertemuan (Sub-CPMK)

2. Mahasiswa mampu menjelaskan Ruang Lingkup Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000


3. Mahasiswa mampu menjelaskan Jenis Pelanggaran HAM Berat dalam UU No. 26 Tahun
2000
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Kekhususan Yuridis dan Kelemahan Yuridis UU No. 26
Tahun 2000

A. Ruang Lingkup Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000

Penghargaan dan Penghormatan HAM dengan Perlindungan Hukum karena Negara


Indonesia adalah Negara Hukum/Rechstaat Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945) bukan
negara berdasar kekuasaan belaka (Machstaat). Ciri negara hukum menurut Julius
Stahl adalah Pembagian Kekuasaan, Perlindungan HAM, dan Pemerintahan
berdasarkan UUD.

Pengaturan HAM di Indonesia:

1. UUD NRI 1945 (Ps. 27-34)

2. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 ttg HAM

3. UU No. 39 / 1999 tentang HAM

4. UU No. 26 /2000 tentang Pengadilan HAM

Pengadilan HAM dibentuk sebagai amanat Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang
berbunyi “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia di lingkungan Pengadilan Umum”

Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM, yaitu:

1. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat.


2. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar
batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia

18
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat
kejahatan dilakukan

B. JENIS PELANGGARAN HAM BERAT DALAM UU NO. 26 TAHUN 2000

Ada 2 jenis pelanggaran HAM berat dalam UU No. 26 Tahun 2000, yaitu kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan dalam Statuta Roma
terdapat 4 jenis pelanggaran HAM berat ialah The crime of genocide, Crime against
humanity, War Crimes, dan The Crime of Aggression.

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama, dengan cara:

1. membunuh anggota kelompok;

2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota


kelompok;

3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan


secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam


kelompok; atau

5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :

1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau

19
10. kejahatan apartheid

C. KEKHUSUSAN YURIDIS DAN KELEMAHAN YURIDIS UU NO. 26 TAHUN 2000

Kekhususan Yuridis UU No. 26 Tahun 2000 sebagai berikut:

1. Jangka waktu penahanan yang lebih lama dibandingkan dengan yang ada dalam KUHAP

2. Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum

3. Komnas HAM sebagai penyelidik

4. Berlaku retroaktif

5. Menganut sanksi pidana minimal khusus

6. Menganut Pidana penjara maksimal khusus 25 tahun

7. Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan


pelanggaransebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana
yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38,
Pasal 39, dan Pasal 40.

8. Pertanggungjawaban komando

9. Majelis Hakim berjumlah 5 orang

10. Tidak mengenal daluwarsa

Kelemahan Yuridis UU No. 26 Tahun 2000 adalah:

1. Tidak ada kualifikasi delik sebagai kejahatan atau pelanggaran

2. Tidak adanya aturan/pedoman khusus pemidanaan untuk pidana minimal khusus

3. Tidak ada pembatasan berlaku retroaktifnya

4. Tidak ada pengaturan mengenai pengertian mufakat jahat

5. UU ini tidak memberikan ganti rugi kepada korban untuk tindakan tertentu. Jika
sebelumnya korban tidak mampu membiayai tindakan tertentu, misal biaya perawatan, baik
fisik maupun psikis, di rumah sakit , lalu siapa yang membiayai ? (biar lebih jelas lihat
penjelasan Pasal 35). Namun setelah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2006, kelemahan
ini teratasi.

D. RANGKUMAN

20
Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM, yaitu memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat serta memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang
berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga
negara Indonesi. Ada 2 jenis pelanggaran HAM berat dalam UU No. 26 Tahun 2000, yaitu
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

PERTANYAAN/DISKUSI

1. Sebutkan 2 ruang lingkup kewenangan pengadilan HAM !


2. Sebutkan 4 jenis Pelanggaran HAM dalam Statuta Roma !
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan genocida !
4. Sebutkan 5 kekhususan yuridis UU No. 26 Tahun 2000 !

21
BAB V

TINDAK PIDANA TERORISME

Deskripsi Singkat

Bab ini membahas tindak pidana terorisme. Sub bahasannya meliputi Pengertian
Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Politik dan Tindak Pidana Terorisme, Ruang Lingkup
Berlakunya UU No. 15 Tahun 2003, Tindak Pidana Terorisme dalam UU No. 15 Tahun 2003,
serta Kekhususan Yuridis dan Kelemahan Yuridis UU No. 15 Tahun 2003.

Capaian Pembelajaran Pertemuan (Sub-CPMK)

1. Mahasiswa mampu menjelaskan Pengertian Tindak Pidana Terorisme


2. Mahasiswa mampu menjelaskan Tindak Pidana Politik dan Tindak Pidana Terorisme
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Ruang Lingkup Berlakunya UU No. 15 Tahun 2003
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Tindak Pidana Terorisme dalam UU No. 15 Tahun 2003
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Kekhususan Yuridis dan Kelemahan Yuridis UU No. 15
Tahun 2003

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA TERORISME

Oxford Dictionary mengartikan terror adalah great fear. Terrorisme berarti use of
violance and intimidation. Terrorist ialah supporter of terrorism or participant in terrorism.

Perpu No. 1 Tahun 2002 (sudah ditetapkan jadi UU No. 15 Tahun 2003) mengartikan
tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sesuai ketentuan dalam Perpu No. 1 Tahun 2002.

B. TINDAK PIDANA POLITIK DAN TINDAK PIDANA TERORISME

Hukum Pidana politik merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur kejahatan-


kejahatan politik, misal menghianati rahasia negara, intervensi, pemberontakan, sabotase.

Hazewinkel Suringa: “penjahat politik tergolong pelaku yang berdasarkan keyakinan. Pada
kejahatan pelaku berkeyakinan bahwa pandangannya tentang hukum dari kenegaraan lebih
tepat daripada pandangan negara yang sedang berlaku.” Ia tidak mengakui sahnya tertib
hukum yang berlaku sehingga harus diubah/diganti sama sekali sesuai dengan idealnya.

22
Konferensi internasional tentang hukum pidana mengartikan kejahatan politik sebagai kejahatan
yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara
tersebut.

Berdasarkan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1979, ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan
politik, namun untuk kejahatan politik tertentu pelakunya dapat diekstradisikan sepanjang ada
perjanjian antarnegara RI dengan negara yang bersangkutan.

Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 dikecualikan dari tindak
pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan
motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.

C. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UU NO. 15 TAHUN 2003

Lingkup berlakunya terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme di
wilayah Indonesia. Perpu juga berlaku terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan:

1. terhadap warga negara di luar wilayah negara Indonesia


2. terhadap fasilitas negara RI di luar negeri;
3. dengan kekerasan / ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah RI melakukan
sesuatu / tidak melakukan sesuatu;
4. untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu;
5. di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang
terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu
dilakukan; atau
6. oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia.

Negara lain mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan


penuntutan apabila:

1. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan;


2. kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan;
3. kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
4. kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas pemerintah dari negara yang
bersangkutan di luar negeri termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman
pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan;
5. kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa negara yang
bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
6. kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara
yang bersangkutan; atau
7. kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat
udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara yang bersangkutan pada saat
kejahatan itu dilakukan.

23
D. TINDAK PIDANA TERORISME DALAM UU NO. 15 TAHUN 2003

Tindak Pidana Terorisme dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 dibagi 2, yaitu Tindak Pidana
Terorisme (Pasal 6 - Pasal 19) dan Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Terorisme (Pasal 20- Pasal 24).

Pasal 6 dan 7 mengatur setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan menimbulkan /bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional

Pasal 8 mengatur Tindak Pidana Terorisme yang berkaitan dengan lalu lintas udara
atau pesawat udara

Pasal 9 mengatur perbuatan secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, atau


mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan
peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak
pidana terorisme.

Pasal 10 mengatur Tindak Pidana Terorisme yang menggunakan senjata kimia,


senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya,

Pasal 11 mengatur penyedia atau pengumpul dana untuk melakukan tindak pidana
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.

Pasal 12 mengatur penyedia atau pengumpul dana yang digunakan untuk Tindak
Pidana yang berkaitan dengan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi,
mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya

Pasal 13 mengatur perbuatan memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku


tindak pidana terorisme.

Pasal 14 mengenai merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk


melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12

E. KEKHUSUSAN YURIDIS DAN KELEMAHAN YURIDIS UU NO. 15 TAHUN 2003

Kekhususan UU No. 15 Tahun 2003 j.o Perpu No. 1 Tahun 2002 adalah:

1. Sanksi minimal khusus

2. Berlaku retroaktif untuk kasus tertentu

3. Korporasi sebagai subjek hukum

24
4. Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan
penahanan paling lama 6 bulan

5. jangka waktu penangkapan selama 7 x 24 jam

6. Alat bukti elektronik

7. Sidang in absentia jika terdakwa sudah dipanggil secara sah dan patut

Kelemahan Yuridis UU No. 15 Tahun 2003 j.o Perpu No. 1 Tahun 2002 ialah:

1. Tidak ada kualifikasi delik sebagai kejahatan atau pelanggaran

2. Tidak adanya aturan/pedoman khusus pemidanaan untuk pidana minimal khusus

3. Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar
oleh korporasi

4. Tidak adanya ketentuan khusus yg merumuskan pengertian dari istilah “permufakatan


jahat”

5. Tidak ada pembatasan berlaku surutnya

F. RANGKUMAN

Tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik agar pelakunya dapat
diekstradisikan. Untuk kejahatan terorisme tertentu, Negara lain mempunyai yurisdiksi dan
menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan. Tindak Pidana Terorisme dalam Perpu
No. 1 Tahun 2002 dibagi 2, yaitu Tindak Pidana Terorisme (Pasal 6 - Pasal 19) dan Tindak
Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme (Pasal 20- Pasal 24).

PERTANYAAN/DISKUSI

1. Apakah definisi dari terorisme ?


2. Jelaskan ruang lingkup berlakunya UU No. 15 Tahun 2003 !
3. Mengapa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik ?
4. Sebutkan 5 kelemahan yuridis UU No. 15 Tahun 2003

25
Daftar Pustaka

Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.


Sudarto, 2009, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

26

Anda mungkin juga menyukai