Anda di halaman 1dari 14

A.

Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan

tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2003). Trauma

servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla

spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis

dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal. Dislokasi

servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal

merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal lepas. Fraktur servikal adalah

terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis

akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga

dsb ( Sjamsuhidayat, 2007). Fraktur tulang leher merupakan suatu keadaan darurat

medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera

saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat

penting untuk menjaga leher .Fraktur ini sering terjadi pada anak karena kondisi

tulang masih sangat rawan untuk tumbuh dan berkembang. Fraktur tulang leher

sangat berbahaya karena bisa mengganggu sistem saraf yang terdapat pada vertebra.

Hal ini bias mengakibatkan gangguan-gangguan neurologis. Bahkan fraktur pada

tulang leher bisa menyebabkan seorang anak mengalami lumpuh.


B. Etiologi
Penyebab fraktur antara lain adalah menurut Soeharto Reksoprojo dan
Barbara C. Long dibagi menjadi 4 yaitu :
1. Benturan atau cidera (jatuh pada kecelakaan)
2. Fraktur patologik yaitu kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau
osteoporosis.
3. Patah karena keletihan.
4. Patah tulang karena otot tidak dapat mengobservasi energi, seperti karena berjalan
kaki terlalu jauh
(Barbara C. Long, 1996 : 375)
1. Faktor Presipitasi dan Predisposisi Frakture Servical

a. Faktor Presipitasi

1) Kekerasan Langsung

Kekerasan secara langsung menyebabakan tulang patah pada titik terjadinya

kekerasan atau kekuatan kekuatan yang tiba-tiba dan yang dapat berupa

pukulan, penghancuran, penekukan, penarikan berlebihan. Bila terkena

kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan

lunaknyapun juga rusak.

2) Kekerasan Tidak Langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabakan tulang patah di tempat yang jauh

dari tempat terjadinya kecelakaan atau kekerasan, dan biasanya yang patah

adalah bagian yang lemah jalur hantaman vektor kekerasan.

3) Kekerasan Akibat Tarikan Otot

Patah tulang oleh karena tarikan otot yang jarang terjadinya.

b. Faktor Predisposisi

1) Faktor ekstrinsik adalah gaya dari luar yang bereaksi pada tulang serta

tergantung dari besarnya, waktu atau lamanya dan arah gaya tersebut dapat

menyebabkan patah tulang.


2) Faktor instrinsik adalah beberapa sifat penting dari tulang yang menentukan

daya tahan timbulnya fraktur , yaitu kapasitas absorbsi dari sendi, daya

elastisitas, daya terhadap kelelahan dan aktivitas atau kepadatan, usia lanjut

(Ivones, 2011)

B. Patofisiologi

Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan


metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka
atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar.
Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup

menyebabkan patah, maka sel-sel tulang akan mati. Perdarahan biasanya terjadi

disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut.

Jaringan lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat

timbul setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mati berakumulasi menyebabkan

peningkatan aliran darah di tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa

sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin (hematom fraktur) dan

berfungsi sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel baru. Aktifitas osteoblas segera

terangsang dan membentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin di

reabsorbsi dan sel-sel tulang baru secara perlahan lahan mengalami remodeling

untuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan

mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan beberapa minggu sampai

beberapa bulan (Corwin 2001).


C. Manisfestasi Klinik
Rasa Nyeri yang langsung dan menjadi lebih hebat karena berjalan dan tekanan pada
daerah yang terkena
1. Hilangnya fungsi pada daerah yang cidera.
2. Tampak deformitas bila dibandingkan dengan bagian yang normal.
3. Daerah yang cidera kurang kuat pada daerah yang bergerak
4. Gerakan menimbulkan detik (crepitasi).
5. Edema setempat (kurang jelas/tidak jelas dalam beberapa janin).
6. Shock terutama bila terjadi perdarahan hebat dari daerah area luka terbuka.
(Barbara C. Long, 1996 : 357).
Pada umumnya pasien fraktur baik terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh, immobilisasi dapat
dilaksanakan dengan cara :
1. Fraktur tertutup atau eksternal
a. Gibs
b. Bidai
c. Penggendongan atau brace
d. Penggendongan atau brace dengan gibs
e. Traksi
2. Fraktur terbuka atau interna
a. Pemasangan plaste logam, pen, skrup
Pencangkokan tulang dengan pelat
Tahapan Penyembuhan Fraktur
1. Fase hematon : 72 jam, darah berada di sekitar fraktur. Darah tidak diserap tetapi
berubah membentuk granulase.
2. Fibrocartilago : 3 hari 2 minggu, osteogenensis dipercepat dengan faktor
osteoblast.
3. Callus : 3 – 10 hari, diameter lebih besar dari tulang, tetapi belum ada kekuatan.
4. Osifikasi / union stage : 3-10 minggu, dapat dilihat dengan sinar X
5. Konsolidasi : Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan.
(Brunner and Suddart, hal : 2266)

C. Penatalaksanaan Medis
1. Konservatif
a. Proteksi
Misal : dengan mitela untuk fraktur clavikula.
b. Immobilisasi tanpa reposisi Misal pemasangan gibs atau bidai pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.
Reposisi tertutup atau fiksasi dengan gibs

Misal pada fraktur supra candy lain, smith, fragmen distal di kembalikan pada
kedudukan semula terhadap fragmen progsimal dan dipertahankan dalam
kedudukan yang lebih stabil dalam gibs.
c. Traksi
Dapat untuk reposisi perlahan dan fiksasi sehingga sembuh atau dipasang gibs.
Macam-macam traksi adalah :
1) Traksi kulit buck
Paling sederhana dan tepat bila dipasang pada anak muda untuk jangka
waktu pendek.
Indikasi : untuk mengistirahatkan lutut pasea trauma sebelum lutut
tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut.
2) Tranksi Kulit Bryan
Digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami patah tulang paha,
tidak dilakukan pada anak-anak dari 3 tahun dan BB  30 kg (dapat
mengalami kerusakan pada kulit).
3) Traksi jangka seimbang
4) Dipakai untuk patah tulang pada corpus femoralis dewasa, fraksi ini berupa
satu pin rangka yang ditempatkan transversal (melintang melalui femur
distal dan tibia proksimal).
Untuk menangani semua fraktur femur fraksi longitudinal diberikan dengan menempatkan
pin dengan posisi transversal melalui tibia dan fibula diatas lutut.
2. Operasi
a. Reposisi tertutup
Fiksasi eksterna : Setelah posisi baik, berdasarkan kontrol mikro intra operasi
maka dipasang alat fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna dapat model sederhana
seperti kongerademen juded, screw dengan bore cement.
b. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna. Misal
reposisi tertutup diikuti pemasangan parsel pins / pinning dan immobilisasi
gibs.
c. Reposisi terbuka dan fiksasi internal  open reduktion and internal fixation
(ORIF).
Indikasi ORIF :
1) Fraktur yang tidak bisa sembuh / bahaya avasolar neerosis tinggi.
2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup  misal : Fr. Dislokasi
3) Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan  misal : Fr.
Antebrachil, Fr. Pergelangan kaki.
4) Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi.
a) Exacional arthropreisty
Membuang fragmen dan pemasanga endoprosthesis moore atau yang
lainnya.
b) Excisi exasi caput femur dan pemasangan endoprosthesis moore atau
yang lainnya.
3. Pada fraktur pelvis penatalaksanaan yang baik yaitu dengan tirah baring untuk
menambah digiditas, sampai nyeri dan ketidaknyamanan menghilang.
4. Proses penyembuhan tulang :
Tingkatan penyembuhan tulang :
a. Hematoma formation (pembentukan hematon)

Pembuluh darah cidera, maka terjadi perdarahan pada daerah fraktur daerah
menumpuk dan mengeraskan ujung-ujung tulang yang patah.

D. Komplikasi

1. Komplikasi Dini
Terdiri dari :
1) Yaitu vaskuler diantaranya compartemen sindrom dan trauma vaskuler,
neurologis yaitu lesi medula spinalis atau saraf perifer.
2) Sistemik yaitu emboli lemak.

2. Komplikasi Lanjut

Lokal : Yaitu kekuatan sendi / kontraktor, disuse atropi otot, malunion, infeted
non union, gangguan pertumbuhan oestoporosis post trauma.
E. Pengkajian Fokus
1. Demografi
a. Umur
Biasanya terjadi pada usila (fraktur patologik), anak-anak hiperaktif.
b. Jenis Kelamin
Pada wanita insiden lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis karena
penurunan kalsium setelah menopause, sedang pada laki-laki rentang karena
mobilitas tinggi, anak hiperaktif.
c. Pekerjaan
Sering terjadi pada seseorang dengan pekerjaan yang membutuhkan
keseimbangan dan masalah gerakan (tukang, sopir, pembalap).
2. Keluhan Utama
Nyeri terus menerus dan menambah berat sampai fragmen tulang bengkak.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat terjadinya trauma baik langsung / tidak langsung, bagaimana posisi
saat terjadi, keadaan setelah terjadi hingga dibawa rumah sakit.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat trauma baik fisik pada masa lalu, riwayat artritis, osteomielitis.
Penggunaan kortikosteroid yang lama.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Ada riwayat keluarga yang menderita sarcoma tulang, osteoporosis, DM.
Pola kesehatan fungsional Gordon yang mungkin mengalami masalah :
d. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Cara pasien dalam memelihara kesehatan, kebiasaan mengkonsumsi obat-obat
tertentu, kebiasaan ke rumah sakit / ke panti pijat untuk berobat.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien akan mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan ADL
dan mungkin memerlukan alat bantu dalam aktivitas.
f. Pola istirahat tidur
Apakah dampak fraktur terhadap pemenuhan istirahat tidur.
g. Pola persepsi sensori dan kognitif
Biasanya akan mengalami nyeri pada cidera, pengurangan sensasi rasa pada
bagian proksimal / distal dan fraktur.
(Doengoes E. Marilyne, 2000 : 763)
4. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri pada lokasi fraktur terutama pada saat digerakkan
b. Pembengkakan
c. Pemendekan ekstremitas yang sakit
d. Paralisis (kehilangan daya gerak)
e. Angulasi ekstremitas yang sakit
f. Krepitasi
g. Spasme otot
h. Parastesi (penurunan sensasi)
i. Pusat dan tidak ada daya ingat, nadi ada bagian distal pada lokasi fraktur bila
aliran darah arteri terganggu oleh fraktur.
(Barbara C. Long, 1997 : 267)
5. Data Penunjang
a. Pemeriksaan rontgen
Untuk menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma pada pemeriksaan
radiologi minimal 2 proyeksi yaitu anterior, posterior dan lateral.
b. Scan tulang, tomogram, CT-Scan / MRI
Untuk memperlihatkan fraktur juga dapat mengidentifikasi berdasarkan
jaringan lunak.
c. Artenogram
Dilakukan apabila adanya kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah kapiler
- Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan atau peningkatan leukosit akibat respon setelah trauma).
- Kreatinin meningkat : trauma obat meningkat, beban kreatinin untuk klien
ginjal meningkat.
- Kadar kalsium serum : untuk mengetahui penyebab fraktur /
mempengaruhi kadar kalsium, Hb.
F. Pathway
G. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul

1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas


jaringan, kerusakan serabut saraf, spasme otot.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan kerangka
neuromoskuler, pembatasan gerak.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan barier pertahanan tubuh sekunder
terhadap terputusnya kontinuitas jaringan.
4. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan atau interupsi
aliran darah, cilera vaskuler langsung, edema berlebih.
5. Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan gangguan status
metabolik, serkulasi dan sensori, penurunan aktifitas.
6. Kurang pengetahuan kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang mengingat salah interprestasi, kurang informasi.
H. Fokus Intervensi dan Rasionalnya
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan, kerusakan serabut saraf, spasme otot.
Tujuan : nyeri berkurang / hilang
KH : - Nyeri berkurang TD : 120/80 mmHg N : 70-100 x / menit
reguler
- Pasien lebih rileks RR : 16-24 x / menit reguler
- Mengatakan nyeri berkurang / skala nyeri berkurang.
Intervensi :

 Kaji dengan pendekatan P, Q, R, S, T


R : membantu tentukan nyeri dan intervensi selanjutnya.
 Asalkan teknik relaksasi napas dalam. Masase sekitar nyeri
R : Nyeri berkurang.
 Monitor TTU
R : Ketahui adanya peningkatan TTV sebagai salah satu indikasi nyeri.
 Bantu pasien untuk dapatkan posisi yang nyaman
R : Meningkatkan kenyamanan
 Kolaborasi pemberian analgetik
R : mengurangi nyeri
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler,
pembatasan gerak.
Tujuan : dapat melakukan fisik seoptimal mungkin.
KH : dapat melakukan ADL secara mandiri
Intervensi :
 Kaji immobilitas pasien
R : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri sendiri tentang keterbatasan
fisik.
 Dorong partisipasi klien pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
R : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi.

 Bantu pasien untuk rentang gerak aktif dan pasif.


R : Meningkatkan aliran darah ke otot tulang dan meningkatkan tonus otot.
 Bantu / dorong untuk perawatan diri.
R : Meningkat sirkulasi dan kebersihan diri.
 Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
R : untuk membuat program latihan mobilisasi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan barrier pertahanan tubuh sekunder
terhadap terputusnya kontinuitas jaringan.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
KH : S : 36,5, 37,5 0C TD : 120 / 80 mmHg
RR : 16 – 24 x . menit reguler N : 60 – 100 x / menit reguler

- Mencapai penyembuhan luka yang optimal


- Tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi :
 Kaji tanda-tanda infeksi
R : Mengetahui adanya infeksi seperti adanya PU pada luka
 Monitor TTV
R : Mengetahui adanya tanda-tanda infeksi seperti peningkatan suhu
 Berikan perawatan luka anti septik
R : Mengurangi resiko terjadinya infeksi
 Kolaborasi pemberian antibiotik
R : Mengurangi terjadinya infeksi
4. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan / interupsi aliran
darah, cidera vaskuler langsung, edema berlebihan.
Tujuan : Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
KH :
- Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit
hangat, sensasi normal, sensasi biasa.
- TD : 120 – 130 / 70 – 80 mmHg RR : 16-24 x / menit
- N : 70 – 100 x / menit t : 36,5 0C – 37 0C
Intervensi :
 Auskultasi : Frekuensi dan irama jantung
R : Mengetahui adanya bunyi dan irama tambahan
 Observasi penurunan status mental
R : mengetahui tingkat kesadaran pasien
 Observasi warna, suhu kulit, membran mukosa
R : mengetahui derajat gangguan perfusi jaringan
 Evaluasi ekstrimitas ada tidaknya kualitas nadi, nyeri tekan, edema
R : mengetahui keoptimalan fungsi jantung
 Hangatnya ekstrimitas yang dingin
R : penyesuaian suhu
5. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan gangguan status
metabolik, sirkulasi dan sensori, penurunan aktivitas.
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan lebih lanjut
KH :
- Menyatakan ketidaknyamanan hilang
- Menunjukkan perilaku teknik untuk mencegah kerusakan kulit lebih lanjut.
- Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi :
 Inspeksi kulit terhadap perubahan warna turgor dan vaskuler
R : Mendadak area sirkulasi buruk / kerusakan dapat menimbulkan
 Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R : Untuk mencegah terjadinya kerusakan kulit lebih luas
6. Kurang pengetahuan kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang mengingat, salah interpretasi, kurang informasi.
Tujuan : Agar pengetahuan pasien bertambah tentang kondisi, prognosis dan
pengobatan.
KH :
- Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, pengobatan.
- Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan adanya
tindakan.
Intervensi :

 Beri pengetahuan metode mobilitas dan ambulasi sesuai interupsi dengan terapi
fisik bila diindikasikan.
R : Agar pasien mengerti dan mencegah terjadinya kontraktur.
 Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukannya mandiri dan
memerlukan bantuan.
R : Mengurangi tingkat kebingungan pasien.

Anda mungkin juga menyukai