Anda di halaman 1dari 7

TUTOR 1

1. Pilkada serentak tidak juga ditunda

2. Presiden tidak mengeluarkan kebijakan darurat dalam bentuk Perpu

ketika terjadi keadaan darurat di Korea Selatan, Presiden boleh menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang berlaku hanya dalam keadaan darurat.
Ketika situasi kembali normal, maka undang-undang yang tadinya diubah jadi perpu,
kembali berlaku. Bagaimana dengan Indonesia? Pasal 12 UUD 1945 menjadi norma
terkait dengan keadaan bahaya. Sementara Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan sebuah
keadaan genting atau istilah yang dipakai adalah kegentingan yang memaksa.

Dikatakan Daniel, substansi perpu terdapat dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri atas
tiga ayat. Ayat pertama, dalam hal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ayat kedua,
peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Ayat ketiga, jika tidak mendapat
persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

“Saya kira, saya akan fokus pada Pasal 22 saja. Walaupun mainstream para ahli hukum
saat ini selalu memisahkan Pasal 22 dengan Pasal 12. Jadi Pasal 12 itu ada yang
mengklasifikan dalam keadaan perang. Sedangkan Pasal 22 fokus pada emergency law,”
ucap Daniel yang membawakan materi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) dalam Desain Hukum Tata Negara Darurat”.
Daniel melanjutkan, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, semua Presiden tanpa
kecuali menggunakan kewenangan sesuai Pasal 22 UUD 1945. Bahkan ada dua pejabat
Presiden yang menggunakan kewenangan tersebut. Pertama adalah pejabat Presiden
Juanda yang menetapkan 24 perpu. Kedua adalah pejabat Presiden Asaat Datuk Mudo di
masa Konstitusi RIS menetapkan 6 perpu.
Kewenangan Menetapkan Perpu

Daniel juga mencermati kewenangan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-


undang. Sedangkan dalam Pasal 22 UUD 1945 disebutkan Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, ada kepentingan negara
sehingga Presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan perpu.

“Dengan demikian ada nomenklatur membentuk dan menetapkan, sebagai dua hal yang
berbeda. Karena selama ini perpu itu sudah dihierarkikan. Kedudukan perpu pernah
sejajar dengan undang-undang, pernah di bawah undang-undang dan sekarang kedudukan
perpu kembali sejajar dengan undang-undang,” imbuh Daniel.

Urgensi

Penentuan keadaan bahaya yang dapat menimbulkan kegentingan memaksa memerlukan


analisis kontekstual terhadap fenomena/kejadian yang sedang terjadi. Analisis ini dapat
ditinjau dari 3 (kondisi) yakni: (1) Adanya unsur ancaman yang membahayakan
(dangerous threat); (2) Adanya unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable
necessity); (3) Adanya unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia. (Jimly
Asshiddiqie, 2010)

Dari segi ancaman yang membahayakan, bisa dipertimbangkan terkait penyebaran virus
corona yang sudah bersifat masif dan cepat (pandemi). Bersifat meluas dan cepat, karena
sudah menjangkau 115 negara dengan 125.964 dinyatakan positif serta 4.634 dinyatakan
telah meninggal. Tren ini pun juga terjadi di Indonesia. Fakta ini pun dimungkinkan
masih menjadi fenomena gunung es, yang mana menunjukkan bahwa kasus yang belum
terlihat justru lebih besar.

Hal ini karena sifat penyebaran virus korona yang tak terlihat, bersifat tidak langsung
(ada masa inkubasi virus), mudah diantar via sentuhan. Oleh karenanya, diperlukan
penanganan yang bersifat responsif, terpadu, serta memberikan kepastian bagi rakyat.

Dari unsur kebutuhan yang mengharuskan, bisa dipertimbangkan terkait ketersediaan


payung hukum yang dapat dijadikan landasan yang kuat bagi banyak pihak serta sektor.
Memang, penanganan terhadap corona membutuhkan penanganan yang bersifat lintas
sektor (antarkementerian dan daerah), terpadu, dan dimungkinkan untuk melanggar
ketentuan UU yang sudah ada atau bahkan mengurangi HAM yang bersifat derogable
right.
Hal ini seperti apa yang telah diterapkan di beberapa negara lain, seperti kebijakan
penutupan ruang publik untuk sementara waktu (lockdown) yang berpotensi mereduksi
hak atas kebebasan berkumpul. Guna mengakomodasi metode penanganan ini, payung
hukum setingkat undang-undang menarik untuk diterapkan karena lebih memberikan
kekuatan serta keleluasaan kepada pemerintah.

Dari segi keterbatasan waktu, mengingat kondisi faktual penyebaran virus corona
yang sudah bersifat masif dan cepat, maka membutuhkan tindakan yang cepat
pula. Pilihan untuk mengakomodasi metode penangan menggunakan payung
hukum undang-undang tidaklah efektif dilakukan karena membutuhkan proses
yang tidak sebentar. Oleh karenanya, pilihan penetapan Perpu menjadi hal yang
relevan dilakukan. Terlebih lagi, berdasarkan uraian di atas, unsur-unsur objektif
pengeluaran Perpu sudahlah terpenuhi.

Berbagai uraian di atas menyimpulkan bahwa terdapat urgensi yang cukup bagi Presiden
untuk menetapkan keadaan bahaya yang dapat menimbulkan kegentingan memaksa
dengan mengeluarkan Perpu. Namun kembali lagi, pilihan metode penanganan terhadap
penyebaran virus corona menjadi diskresi dari Presiden. Yang terpenting, apapun pilihan
kebijakan yang dirumuskan, sepatutnya harus memberikan keselamatan sebesar-besarnya
kepada rakyat.

3. Menteri Sehat Bugar, atas dorongan organisasi dokter akhirnya mengeluarkan


Peraturan Menteri yang membatasi layanan kesehatan pada semua level, sehingga
penyakit kronis lain tidak terlayani dengan baik.

Peraturan menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya saya sebut sebagai UU
No. 12/2011) tidak diatur dalam ketentuan Pasal ayat (1). Namun
demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.
12/2011, yang menegaskan:
 
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.” (cetak tebal oleh penjawab)

Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan perundang-
undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase “…peraturan yang ditetapkan
oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah
satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah
berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui keberadaannya.

Kembali pada persoalan keberadaan dan kekuatan mengikat peraturan perundang-


undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, termasuk Peraturan
Menteri, Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 juga
menegaskan adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar
kewenangan”.
 
Istilah “kewenangan” dalam ketentuan tersebut, tentu saja bukan kewenangan
membentuk peraturan melainkan kewenangan pada ranah lain. Misalnya, Menteri
melaksanakan kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang merupakan kekuasaan
Presiden. Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut tetap
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal dalam doktrin tidak
dikenal jenis peraturan perundang-undangan demikian.

Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah berlakunya UU No.


12/2011, baik yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi maupun yang dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan
tertentu yang ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat
mengikat umum dan dapat dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila
dianggap bertentangan dengan undang-undang. Sekedar menegaskan kembali, kedudukan
Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/ atas kewenangan di bidang administrasi
negara perlu dikaji lebih lanjut.

NAMUNNNN…..

Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
4. Bupati Pulau Natura menolak melaksanakan Peraturan Menteri tersebut, sehingga
tetap membuka layanan kesehatan seluruhnya pada RS Daerah dan Puskesmas.

Kedudukan dan wewenang gubernur tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara
keseluruhan dimana pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan
negara Indonesia. Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika
subsistem yang ada terintegrasi, saling mendukung , dan tidak berlawanan serta
terkoordinasi dalam sistem pemerintahan berdasar UUD 1945. Pemahaman terhadap ini
memberi landasan terhadap pentingnya penataan hubungan kewenangan dan
kelembagaan antar level pemerintahan di pusat, di provinsi, dan di kabupaten/kota. Pasal
18  ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 amandemen kedua menyatakan bahwa pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Perlu diketahui dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap


penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota
dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.[5]
 
Kemudian salah satu tugas dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam
melaksanakan pembinaan dan pengawasan adalah melakukan pengawasan terhadap Perda
Kabupaten/Kota.[6]

5. Provinsi Bahari dengan status Zona Merah COVID-19, yang dikepalai Gubernur
Rhoma Rhisma mengeluarkan Peraturan Gubernur yang berisi larangan mobilisasi
orang dari luar Provinsi Bahari untuk masuk.

Peraturan Gubernur baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum


mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. PASAL 8 AYAT 1 UU 12/2011
 
Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan
menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan[10] dan diberikan otonomi yang seluas-
luasnya.
 
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis
globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[11]

6. Hal ini menimbulkan persoalan sosial dan ekonomi sehingga Presiden


memerintahkan perubahan kebijakan tersebut.

Pelaksanaan pengawasan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan
Daerah Dan Peraturan Kepala Daerah, (selanjutnya di singkat Permendagri No. 53 Tahun
2007) dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri jika tidak ditemukan Peraturan Daerah itu bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka
Peraturan Daerah tersebut diberlakukan, namun apabila Peraturan Daerah tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk
membatalkan Peraturan Daerah dimaksud.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa frasa "perda provinsi dan" yang
tercantum dalam Pasal 251 Ayat 7, serta Pasal 251 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ini merupakan putusan MK atas uji materi
Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan perda oleh gubernur dan menteri. Dalam
putusan itu juga MK menyatakan, demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945
menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan perda menjadi ranah kewenangan
konstitusional MahkamahAgung.

Padahal, kewenangan pemerintah pusat di atas sudah dicabut dan dikubur oleh MK pada Juni
2017. MK menyatakan Pemerintah Pusat tidak berwewenang membatalkan perda, baik perda
kota, kabupaten atau provinsi. Dalam putusan itu, MK memberikan lima alasan:

2. Menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perda


jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hirarki di bawah
UU. Maka sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya hanya
dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh lembaga lain.

3. Eksekutif bisa membatalkan Perda menyimpangi logika dan bangunan negara hukum
Indonesia sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menegasikan peran dan fungsi
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A
ayat (1) UUD 1945.

7. Ketua KPU pusat yang telah terinfeksi COVID-19 mengeluarkan Peraturan KPU yang
berisi penundaan tahapan lanjutan dari Pilkada serentak.

8. Hal ini menimbulkan protes dan gugatan dari Partai Politik karena menganggap KPU
melanggar UU Pemilu karena tidak ada kewenangan KPU melakukan penundaan,
meskipun penyelenggara Pemilu terancam kesehatan dan nyawa

9. Partai Politik juga mendalilkan bahwa ini adalah hak konstitusional dalam negara
demokrasi dan juga menyatakan sebagai hak politik yang dijamin UU HAM dan UU
Pemilu

Anda mungkin juga menyukai