ketika terjadi keadaan darurat di Korea Selatan, Presiden boleh menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang berlaku hanya dalam keadaan darurat.
Ketika situasi kembali normal, maka undang-undang yang tadinya diubah jadi perpu,
kembali berlaku. Bagaimana dengan Indonesia? Pasal 12 UUD 1945 menjadi norma
terkait dengan keadaan bahaya. Sementara Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan sebuah
keadaan genting atau istilah yang dipakai adalah kegentingan yang memaksa.
Dikatakan Daniel, substansi perpu terdapat dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri atas
tiga ayat. Ayat pertama, dalam hal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ayat kedua,
peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Ayat ketiga, jika tidak mendapat
persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
“Saya kira, saya akan fokus pada Pasal 22 saja. Walaupun mainstream para ahli hukum
saat ini selalu memisahkan Pasal 22 dengan Pasal 12. Jadi Pasal 12 itu ada yang
mengklasifikan dalam keadaan perang. Sedangkan Pasal 22 fokus pada emergency law,”
ucap Daniel yang membawakan materi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) dalam Desain Hukum Tata Negara Darurat”.
Daniel melanjutkan, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, semua Presiden tanpa
kecuali menggunakan kewenangan sesuai Pasal 22 UUD 1945. Bahkan ada dua pejabat
Presiden yang menggunakan kewenangan tersebut. Pertama adalah pejabat Presiden
Juanda yang menetapkan 24 perpu. Kedua adalah pejabat Presiden Asaat Datuk Mudo di
masa Konstitusi RIS menetapkan 6 perpu.
Kewenangan Menetapkan Perpu
“Dengan demikian ada nomenklatur membentuk dan menetapkan, sebagai dua hal yang
berbeda. Karena selama ini perpu itu sudah dihierarkikan. Kedudukan perpu pernah
sejajar dengan undang-undang, pernah di bawah undang-undang dan sekarang kedudukan
perpu kembali sejajar dengan undang-undang,” imbuh Daniel.
Urgensi
Dari segi ancaman yang membahayakan, bisa dipertimbangkan terkait penyebaran virus
corona yang sudah bersifat masif dan cepat (pandemi). Bersifat meluas dan cepat, karena
sudah menjangkau 115 negara dengan 125.964 dinyatakan positif serta 4.634 dinyatakan
telah meninggal. Tren ini pun juga terjadi di Indonesia. Fakta ini pun dimungkinkan
masih menjadi fenomena gunung es, yang mana menunjukkan bahwa kasus yang belum
terlihat justru lebih besar.
Hal ini karena sifat penyebaran virus korona yang tak terlihat, bersifat tidak langsung
(ada masa inkubasi virus), mudah diantar via sentuhan. Oleh karenanya, diperlukan
penanganan yang bersifat responsif, terpadu, serta memberikan kepastian bagi rakyat.
Dari segi keterbatasan waktu, mengingat kondisi faktual penyebaran virus corona
yang sudah bersifat masif dan cepat, maka membutuhkan tindakan yang cepat
pula. Pilihan untuk mengakomodasi metode penangan menggunakan payung
hukum undang-undang tidaklah efektif dilakukan karena membutuhkan proses
yang tidak sebentar. Oleh karenanya, pilihan penetapan Perpu menjadi hal yang
relevan dilakukan. Terlebih lagi, berdasarkan uraian di atas, unsur-unsur objektif
pengeluaran Perpu sudahlah terpenuhi.
Berbagai uraian di atas menyimpulkan bahwa terdapat urgensi yang cukup bagi Presiden
untuk menetapkan keadaan bahaya yang dapat menimbulkan kegentingan memaksa
dengan mengeluarkan Perpu. Namun kembali lagi, pilihan metode penanganan terhadap
penyebaran virus corona menjadi diskresi dari Presiden. Yang terpenting, apapun pilihan
kebijakan yang dirumuskan, sepatutnya harus memberikan keselamatan sebesar-besarnya
kepada rakyat.
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan perundang-
undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase “…peraturan yang ditetapkan
oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah
satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah
berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui keberadaannya.
NAMUNNNN…..
Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
4. Bupati Pulau Natura menolak melaksanakan Peraturan Menteri tersebut, sehingga
tetap membuka layanan kesehatan seluruhnya pada RS Daerah dan Puskesmas.
Kedudukan dan wewenang gubernur tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara
keseluruhan dimana pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan
negara Indonesia. Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika
subsistem yang ada terintegrasi, saling mendukung , dan tidak berlawanan serta
terkoordinasi dalam sistem pemerintahan berdasar UUD 1945. Pemahaman terhadap ini
memberi landasan terhadap pentingnya penataan hubungan kewenangan dan
kelembagaan antar level pemerintahan di pusat, di provinsi, dan di kabupaten/kota. Pasal
18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 amandemen kedua menyatakan bahwa pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
5. Provinsi Bahari dengan status Zona Merah COVID-19, yang dikepalai Gubernur
Rhoma Rhisma mengeluarkan Peraturan Gubernur yang berisi larangan mobilisasi
orang dari luar Provinsi Bahari untuk masuk.
Pelaksanaan pengawasan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan
Daerah Dan Peraturan Kepala Daerah, (selanjutnya di singkat Permendagri No. 53 Tahun
2007) dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri jika tidak ditemukan Peraturan Daerah itu bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka
Peraturan Daerah tersebut diberlakukan, namun apabila Peraturan Daerah tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk
membatalkan Peraturan Daerah dimaksud.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa frasa "perda provinsi dan" yang
tercantum dalam Pasal 251 Ayat 7, serta Pasal 251 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ini merupakan putusan MK atas uji materi
Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan perda oleh gubernur dan menteri. Dalam
putusan itu juga MK menyatakan, demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945
menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan perda menjadi ranah kewenangan
konstitusional MahkamahAgung.
Padahal, kewenangan pemerintah pusat di atas sudah dicabut dan dikubur oleh MK pada Juni
2017. MK menyatakan Pemerintah Pusat tidak berwewenang membatalkan perda, baik perda
kota, kabupaten atau provinsi. Dalam putusan itu, MK memberikan lima alasan:
3. Eksekutif bisa membatalkan Perda menyimpangi logika dan bangunan negara hukum
Indonesia sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menegasikan peran dan fungsi
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A
ayat (1) UUD 1945.
7. Ketua KPU pusat yang telah terinfeksi COVID-19 mengeluarkan Peraturan KPU yang
berisi penundaan tahapan lanjutan dari Pilkada serentak.
8. Hal ini menimbulkan protes dan gugatan dari Partai Politik karena menganggap KPU
melanggar UU Pemilu karena tidak ada kewenangan KPU melakukan penundaan,
meskipun penyelenggara Pemilu terancam kesehatan dan nyawa
9. Partai Politik juga mendalilkan bahwa ini adalah hak konstitusional dalam negara
demokrasi dan juga menyatakan sebagai hak politik yang dijamin UU HAM dan UU
Pemilu