01
02 PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Dalam rangka mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk membentuk Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, menyusun buku Panduan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Buku panduan ini berisikan informasi umum mengenai Peraturan Daerah, Tahapan Pembentukan Peraturan
Daerah, Penyusunan Naskah Akademik dan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah.
Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi para pihak dalam menyusun Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
03
04 PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
DAFTAR ISI
1. UMUM 9
1.1 PENDAHULUAN 9
1.2 PERATURAN DAERAH 12
1.2.1 Kedudukan Peraturan Daerah 13
1.2.2 Fungsi Peraturan Daerah 14
1.2.3 Landasan Pembentukan Peraturan Daerah 14
1.2.4 Asas dan Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah 15
1.2.5 Kewenangan Pembentukan Perda 17
05
2.4.2 Penandatanganan 36
2.4.3 Penomoran 36
2.5 PENGUNDANGAN 36
2.6 PENYEBARLUASAN 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tahapan Penyusunan Propemperda 26
Gambar 2. Alur Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan
Pemerintah Daerah 30
Gambar 3. Diagram Alur Pembahasan Rancangan Perda 35
Gambar 4. Alur Penyusunan Naskah Akademik di Lingkungan
Pemerintah Daerah 57
07
08 PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
BAB 1 UMUM
1.1 PENDAHULUAN
Saat jumlah penduduk masih sedikit, sampah tidak menjadi masalah. Namun, seiring
dengan meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk serta perubahan gaya hidup,
timbulan sampah menjadi semakin banyak baik jumlah maupun variasinya, sehingga
menimbulkan masalah yang membahayakan bagi kesehatan dan lingkungan jika tidak
dikelola dengan baik. Selain itu, akibat jumlah penduduk yang semakin banyak dan
ketersediaan lahan yang semakin berkurang, Pemerintah Daerah semakin kesulitan
mendapatkan lahan untuk pengolahan sampah, seperti: tempat penampungan sementara
(TPS), tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), dan tempat pemrosesan akhir (TPA)
sampah.
09
Pemerintah daerah dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan
akhir (end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke TPA sampah
tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Akibatnya, TPA sampah tidak mampu
menampung timbulan sampah, sehingga akhirnya sampah bertumpuk sembarangan,
mencemari lingkungan dan berpotensi melepaskan gas metana (CH4) ke udara yang dapat
meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan
global. Paradigma pengelolaan sampah bertumpu pada pendekatan akhir tersebut, sudah
saatnya ditinggalkan dan diganti paradigma baru, yaitu mengurangi sampah mulai dari
sumber dan memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi
dan dapat dimanfaatkan, misalnya untuk energi, kompos/pupuk, atau untuk bahan baku
industri. Hal tersebut dilakukan melalui kegiatan pengurangan dan penanganan sampah,
dimana Pengurangan sampah meliputi: kegiatan pembatasan, penggunaan kembali,
dan pendauran ulang, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi: pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Pengelolaan sampah
sudah seharusnya dilakukan dengan pendekatan komprehensif mulai dari hulu1 sampai
ke hilir2.
Pendekatan pengelolaan sampah selama ini lebih mengedepankan tugas dan tanggung
jawab pemerintah daerah dalam pelaksanaannya. Namun sejalan dengan penerapan UU
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pengelolaan sampah tidak hanya
menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah melainkan juga menjadi kewajiban
masyarakat, termasuk pelaku usaha. Oleh karena itu, pemerintah daerah bersama-sama
masyarakat dan pelaku usaha perlu mengubah paradigma pengelolaan sampah melalui
kegiatan pengurangan dan penanganan sampah, agar sampah menjadi berkurang sebelum
akhirnya diproses secara aman di TPA. Perubahan paradigm pengelolaan sampah tersebut
membawa konsekuensi hukum kepada pemerintah daerah yang diberikan tugas dan
wewenang UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah untuk memenuhi hak
masyarakat dan memfasilitasi kewajiban masyarakat dalam melaksanakan pengurangan
dan penanganan sampah dengan cara 3R, yaitu Reduce (mengurangi timbulan), Reuse
(menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang).
1 sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah
2 yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, kemudian dikembalikan ke media lingkungan
secara aman
11
sampah yang dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Untuk memberikan kepastian
hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah serta hak dan
kewajiban masyarakat dan pelaku usaha, diperlukan dasar hukum yang mengatur secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir, sehingga penyelenggaraan pengelolaan
sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.
Untuk membantu pemerintah daerah dalam menyusun rancangan peraturan daerah
yang mengatur tentang pengelolaan sampah, strategi yang dilakukan oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) c/q Direktorat Jenderal Cipta
Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (Direktorat
Pengembangan PLP) antara lain dengan memfasilitasi penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah melalui kegiatan Bantuan Teknis (Bantek), dengan
tujuan percepatan terbentuknya peraturan daerah tentang pengelolaan sampah.
Dalam rangka kelancaran penyelenggaraan Bantek, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat membuat Panduan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah.
Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Hal ini bermakna bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan
negara kekuasaan (machtstaat). Dengan demikian, penyelenggaraan kekuasaan negara
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum sebagai landasan untuk menjalankan program
pembangunan nasional. Ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut adalah sebagai
bentuk titah konstitusi kepada seluruh rakyat Indonesia terutama para pejabat di tataran
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah untuk dapat memposisikan hukum sebagai
titik tolak dalam bertingkah laku dan merumuskan kebijakan publik.
13
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat, diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Peraturan daerah menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 dibedakan menjadi peraturan
daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Lingkup berlakunya peraturan
daerah terbatas pada daerah bersangkutan, sedangkan lingkup berlakunya peraturan
menteri mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, maka dalam hirarki
peraturan perundang-undangan, peraturan menteri berada di atas peraturan daerah.3
Dalam pembentukan peraturan daerah paling sedikit memuat 3 (tiga) landasan yaitu:
a. Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau ideologi
Negara;
3 Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia RI, “Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah”
15
f. Kejelasan Rumusan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan, seluruh lapisan
masyarakat perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengetahui dan
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan
agar peraturan yang terbentuk menjadi populis dan efektif.
Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah
setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai
dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam:
a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa ”Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 65
ayat (2) huruf b, Pasal 154 ayat (1) huruf a, Pasal 236 ayat (2), dan Pasal 242 (1)),
yang masing-masing pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 65 ayat (2) huruf b, ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”
Pasal 154 ayat (1) huruf a, ”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk
Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”
Pasal 236 ayat (2), ”Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah ”
Pasal 242 ayat (1), “Rancangan Perda Yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk
ditetapkan menjadi Perda”
Berdasarkan penyelenggaraan pemerintahan daerah, persampahan merupakan sub
urusan dari urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang. Urusan
tersebut termasuk urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana
17
ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, maka wajib diselenggarakan semua daerah. Meskipun
demikian, bukan berarti pemerintah pusat dan Provinsi tidak memiliki kewenangan
dalam penyelenggaraan sub urusan persampahan. Pembagian kewenangan sub urusan
persampahan sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat
a. Penetapan pengembangan sistem pengelolaan persampahan secara
nasional.
b. Pengembangan sistem pengelolaan persampahan lintas Daerah provinsi dan
sistem pengelolaan persampahan untuk kepentingan strategis nasional
2. Daerah Provinsi
Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional
3. Daerah Kabupaten/Kota
Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan dalam daerah kabupaten/
kota
Pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan sub urusan persampahan tersebut
di atas, memberikan makna penyelenggaraan pengelolaan persampahan tidak hanya
menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawab daerah kabupaten/kota melainkan juga
menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawab daerah provinsi dan pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat telah menetapkan kebijakan dan strategi nasional melalui Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP).
Secara khusus, negara memberikan tugas dan wewenang kepada Pemerintah (Pusat)
dan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam pengelolaan sampah sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU No. 18 Tahun 2008.
Selengkapnya pembagian tugas dan wewenang tersebut sebagai berikut:
1. Tugas
Pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya
pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan
pengelolaan sampah, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.
2. Wewenang
a. Pemerintah (Pusat)
Dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, pemerintah pusat mempunyai
kewenangan sebagai berikut: (1) menetapkan kebijakan dan strategi
nasional pengelolaan sampah; (2) menetapkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria pengelolaan sampah; (3) memfasilitasi dan mengembangkan
kerja sama antardaerah, kemitraan, dan jejaring dalam pengelolaan sampah;
(4) menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja
pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah; (5) menetapkan kebijakan
penyelesaian perselisihan antardaerah dalam pengelolaan sampah.
b. Pemerintah Provinsi
Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan provinsi
mempunyai kewenangan sebagai berikut: (1) menetapkan kebijakan dan
strategi dalam pengelolaan sampah sesuai dengan kebijakan Pemerintah;
(2) memfasilitasi kerja sama antardaerah dalam satu provinsi, kemitraan,
19
dan jejaring dalam pengelolaan sampah; (3) menyelenggarakan koordinasi,
pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/kota dalam pengelolaan
sampah; (4) memfasilitasi penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah
antarkabupaten/antarkota dalam 1 (satu) provinsi.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan kabupaten/
kota mempunyai kewenangan sebagai berikut: (1) menetapkan kebijakan dan
strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi;
(2) menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota, antara
lain, berupa penyediaan tempat penampungan sampah, alat angkut sampah,
tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, dan/
atau tempat pemrosesan akhir sampah sesuai norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah; (3) melakukan pembinaan
dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak
lain; (4) menetapkan lokasi tempat penampungan sementara (TPS), tempat
pengolahan sampah terpadu (TPST) dan/atau tempat pemrosesan akhir (TPA)
sampah merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (5) melakukan pemantauan
dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20 (dua puluh) tahun
terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan
terbuka yang telah ditutup; (6) menyusun dan menyelenggarakan sistem
tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.
Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut di atas, pemerintahan kabupaten/kota
mendapatkan wewenang atribusi yaitu pemberian wewenang oleh pembuat undang-
undang atau pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh
Undang-Undang sebagaimana termuat dalam Pasal 1 UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Tidak ada wewenang tanpa tanggung jawab, karena itu
pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab pemerintahan kabupaten/kota untuk
melaksanakan tugas yang diberikan UU No. 18 Tahun 2008. Tugas dan wewenang
penyelenggaraan pengelolaan sampah diberikan kepada pemerintah kabupaten/
kota, yaitu Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dan perangkat daerah selaku unsur
21
Pasal 14
Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda berhubungan dengan
pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya.
Pasal 15
Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak
dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Berdasarkan uraian di atas, pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah diperlukan dalam rangka:
(a) kepastian hukum bagi masyarakat mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah
yang baik dan berwawasan lingkungan;
(b) ketertiban dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah;
(c) kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota
dalam pengelolaan sampah;
(d) kejelasan hak dan kewajiban masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan
sampah.
Pasal 1 angka 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan bahwa Pembentukan Perda
adalah pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pengundangan dan penyebarluasan.
Usulan pembentukan produk hukum daerah (dalam hal ini adalah Peraturan Daerah)
dapat berasal dari dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif (Pemerintah Daerah) dan atas
usulan legislatif (DPRD). Proses dalam tiap-tiap tahapan tersebut sebagai berikut:
2.1 PERENCANAAN
Tahapan perencanaan penyusunan peraturan daerah menurut Pasal 10 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah, sebagai berikut: (1) penyusunan Program Pembentukan Perda (PropemPerda);
(2) perencanaan penyusunan Rancangan Perda kumulatif terbuka; (3) perencanaan
penyusunan Rancangan Perda di luar Propemperda.
Secara umum tahapan penyusunan Propemperda ada 4 (empat) tahap (lihat Gambar 1
dibawah), yaitu:
1. Penyusunan Daftar Rancangan Perda
Pada tahap penyusunan daftar Rancangan Perda, baik eksekutif maupun legislatif
masing-masing dapat menyusun usulan Rancangan Perda yang akan disusun
selama 1 tahun ke depan. Untuk penyusunan Propemperda yang berasal dari
eksekutif, dikoordinasikan oleh pimpinan perangkat daerah yang membidangi
hukum, sedangkan untuk penyusunan Propemperda yang berasal dari DPRD,
25
koordinasinya dilakukan oleh Badan Pembentukan Perda (Bapemperda).
Penyusunan daftar Rancangan Perda tersebut didasarkan pada:
- Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
- Rencana pembangunan daerah;
- Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
- Aspirasi masyarakat daerah.
2. Penyusunan Daftar Urutan Berdasarkan Skala Prioritas
Setelah daftar Rancangan Perda disusun pada nomor 1 diatas, tahap selanjutnya
adalah penyusunan daftar urutan yang ditetapkan berdasarkan skala prioritas.
Penetapan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda dilakukan oleh
Bapemperda dan perangkat daerah yang membidangi hukum berdasarkan kriteria:
- Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
- Rencana pembangunan daerah;
- Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
- Aspirasi masyarakat daerah.
3. Penyepakatan Hasil Penyusunan Propemperda
Hasil penyusunan Propemperda antara DPRD dan pemerintah daerah disepakati
menjadi Propemda.
4. Penetapan Propemperda
Propemperda yang telah disepakati bersama kemudian ditetapkan dalam rapat
paripurna DPRD dengan keputusan DPRD.
Rancangan Perda kumulatif terbuka merupakan Rancangan Perda di luar daftar prioritas
pada Propemperda yang dalam keadaan tertentu dapat diajukan penyusunannya. Adapun
yang dapat dimuat dalam daftar kumulatif terbuka adalah Rancangan Perda:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. APBD
Dalam keadaan tertentu, penyusunan Rancangan Perda di luar daftar Propemperda dapat
dilakukan dengan alasan sebagai berikut:
a. Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. Menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;
c. Mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu
Rancangan Perda yang disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD yang
khusus menangani bidang pembentukan Perda dan unit yang menangani bidang
hukum pada pemerintah daerah;
d. Akibat pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Perda provinsi dan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk Perda kabupaten/kota; dan
e. Perintah dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah
PropemPerda ditetapkan.
2.2 PENYUSUNAN
Tahap penyusunan Rancangan Perda merupakan tahap penyiapan sebelum sebuah
Rancangan Perda dibahas bersama antara DPRD dan pemerintah daerah. Penyusunan
ini dilakukan berdasarkan daftar Rancangan Perda pada PropemPerda dan usulannya
dapat berasal dari eksekutif maupun legislatif. Secara umum, untuk menyusun sebuah
Rancangan Perda, pertama-tama diawali oleh penyusunan naskah akademik. Dari naskah
akademik inilah, suatu Rancangan Perda nantinya akan dirumuskan.
27
2.2.1 Penyusunan Naskah Akademik
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah, naskah akademik merupakan dokumen yang harus disertakan
dalam pengajuan Rancangan Perda dan menjadi pedoman dalam penyusunan Rancangan
Perda. Naskah akademik paling sedikit memuat pokok pikiran dan materi muatan yang
akan diatur dalam Perda.
Untuk penyusunan Rancangan Perda yang diusulkan oleh pihak eksekutif, naskah
akademik disusun/disiapkan oleh pimpinan perangkat daerah pemrakarsa dengan
mengikutsertakan perangkat daerah yang membidangi masalah hukum (Bagian Hukum
kabupaten/kota). Sedangkan untuk Rancangan Perda yang disulkan oleh legislatif,
penyusunan naskah akademiknya dikoordinasikan oleh Bapemperda.
29
Penyusunan Penjelasan atau Keterangan
dan/atau Nasakah Akademik
Untuk penyusunan Rancangan Perda di lingkungan DPRD, beberapa hal yang diatur
sebagai berikut:
1. Rancangan Perda dapat diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi,
atau BapemPerda berdasarkan daftar pada PropemPerda. Rancangan tersebut
disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai dengan penjelasan
atau keterangan dan/atau naskah akademik.
2. Sekretariat DPRD memberikan nomor pokok kepada Rancangan Perda yang
disampaikan.
3. Dalam hal Rancangan Perda disertai penjelasan atau keterangan, maka di
dalamnya memuat:
a. Pokok pikiran dan materi muatan yang diatur
b. Daftar nama; dan
c. Tanda tangan pengusul
4. Dalam hal Rancangan Perda disertai naskah akademik, maka naskah akademik
tersebut harus telah terlebih dahulu melalui pengkajian dan penyelarasan, serta
memuat:
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. Jangkauan dan arah pengaturan
5. Pimpinan DPRD menyampaikan Rancangan Perda kepada Bapemperda untuk
dilakukan pengkajian dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Perda.
31
6. Hasil pengkajian Rancangan Perda kemudian disampaikan oleh Bapemperda
kepada pimpinan DPRD untuk selanjutnya dibahas dalam rapat paripurna DPRD.
Sebelum dilakukan pembahasan di rapat paripurna, pimpinan DPRD harus
menyampaikan hasil pengkajian tersebut kepada anggota DPRD paling lama 7
(tujuh) hari sebelumnya.
7. Mekanisme rapat paripurna DPRD tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengusul memberikan penjelasan;
b. Fraksi dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan; dan
c. Pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota DPRD
lainnya.
8. Rapat paripurna DPRD tersebut kemudian memutuskan usulan Rancangan Perda.
Putusan yang dihasilkan dapat berupa:
• Persetujuan;
• Persetujuan dengan pengubahan; atau
• Penolakan.
9. Apabila keputusan diatas berupa persetujuan dengan pengubahan, maka
pimpinan DPRD menugaskan komisi, gabungan komisi, Bapemperda atau panitia
khusus untuk melakukan penyempurnaan.
10. Setelah penyempurnaan dilakukan, maka hasilnya disampaikan kembali kepada
pimpinan DPRD.
2.3 PEMBAHASAN
Rancangan Perda yang telah disusun pada tahap penyusunan selanjutnya dibahas oleh
DPRD dan pemerintah daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pembahasan
Rancangan Perda yang berasal dari Kepala Daerah disampaikan melalui surat pengantar
Kepala Daerah kepada pimpinan DPRD. Sedangkan pembahasan Rancangan Perda
yang disusun oleh DPRD disampaikan melalui surat pengantar pimpinan DPRD kepada
Kepala Daerah. Surat pengantar tersebut paling sedikit berisikan latar belakang dan
tujuan dari penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan materi pokok yang diatur
yang menggambarkan keseluruhan substansi Rancangan Perda. Untuk Rancangan Perda
yang disusun berdasarkan naskah akademik, maka pada surat pengantar penyampaian
33
2. Pembicaraan tingkat II, meliputi:
a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan:
1) penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/
pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan;
dan
2) Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat
paripurna.
b. Pendapat akhir Kepala Daerah.
Rancangan Perda apabila disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah, selanjutnya
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi
Perda. Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Apabila Rancangan Perda tidak mendapat
persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah, maka Rancangan Perda tersebut
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD masa itu.
Rancangan Perda dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah.
Penarikan kembali Rancangan Perda oleh Kepala
Daerah, disampaikan dengan surat Kepala Daerah
disertai dengan alasan penarikan. Begitu pula
apabila DPRD ingin melakukan penarikan kembali
Rancangan Perda, maka dilakukan dengan
keputusan pimpinan DPRD disertai juga dengan
alasan penarikan. Rancangan Perda yang sedang
dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah.
Penarikan kembali Rancangan Perda hanya dapat
dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang
dihadiri oleh Kepala Daerah. Rancangan Perda
yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi
pada masa sidang yang sama.
2.4 PENETAPAN
2.4.1 Pemberian Nomor Register
Setelah ada persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah terkait Rancangan
Perda yang dibahas bersama, tahap selanjutnya adalah pengesahan atau penetapan
Rancangan Perda. Namun demikian, sebelum Rancangan Perda ditetapkan menjadi suatu
Perda, Kepala Daerah kabupaten/kota wajib untuk menyampaikan Rancangan Perda
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung
35
sejak menerima Rancangan Perda dari pimpinan DPRD untuk mendapatkan nomor
register (noreg) Perda. Setelah itu, noreg Rancangan Perda akan diberikan oleh gubernur
paling lama 7 (tujuh) hari sejak Rancangan Perda tersebut diterima.
2.4.2 Penandatanganan
Rancangan Perda yang telah mendapatkan noreg kemudian disahkan oleh Kepala
Daerah dengan cara membubuhkan tanda tangan pada naskah Rancangan Perda.
Penandatanganan ini harus dilakukan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu maksimal
30 hari terhitung sejak tanggal Rancangan Perda tersebut disetujui bersama oleh DPRD
dan Kepala Daerah. Jika Kepala Daerah tidak menandatangani Rancangan Perda tersebut
sesuai waktu yang ditetapkan, maka Rancangan Perda tersebut otomatis menjadi Perda
dan wajib untuk diundangkan ke dalam lembaran daerah.
Penandatanganan dapat dilakukan oleh pelaksana tugas, pelaksana harian atau pejabat
Kepala Daerah jika Kepala Daerah berhalangan sementara atau tetap. Penandatanganan
tersebut dibuat 4 (empat) rangkap, kemudian naskah aslinya didokumentasikan oleh: (1)
DPRD; (2) Sekretaris Daerah; (3) perangkat daerah yang membidangi hukum; dan (4)
perangkat daerah pemrakarsa.
2.4.3 Penomoran
2.5 PENGUNDANGAN
AUTENTIFIKASI
Autentifikasi adalah salinan produk hukum daerah sesuai dengan aslinya. Setiap Perda yang
sudah ditandatangani dan diberikan penomoran selanjutnya harus dilakukan autentifikasi.
Autentifikasi Perda kabupaten/kota dilakukan oleh kepala bagian hukum kabupaten/kota.
2.6 PENYEBARLUASAN
37
Untuk penyebarluasan pada tahapan Penyusunan Propemperda, pelaksanaannya
dilakukan bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD yang dikoordinasikan oleh
Bapemperda. Penyebarluasan pada tahapan penyusunan naskah akademik dan
penyusunan Rancangan Perda yang berasal dari inisiatif legislatif, dilaksanakan oleh alat
kelengkapan DPRD, sedangkan untuk yang berasal dari inisiatif eksekutif dilaksanakan
oleh Sekretaris Daerah bersama dengan perangkat daerah pemrakarsa.
Bagi Perda yang telah diundangkan maka penyebarluasan dilakukan bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD. Naskah Perda yang disebarluaskan tersebut harus
merupakan salinan naskah Perda yang telah diautentifikasi dan diundangkan dalam
Lembaran Daerah dan Tambahan Lembaran Daerah. Secara khusus, Kepala Daerah
memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan, bagi yang
tidak melakukan, terdapat sanksi secara administratif berupa teguran tertulis.
3.1 UMUM
Pengertian naskah akademik menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan undang-undang,
rancangan peraturan daerah provinsi, atau rancangan peraturan daerah kabupaten/kota
sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Atas dasar
pengertian tersebut, naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah, adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap masalah persampahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan persampahan dalam rancangan peraturan daerah sebagai
solusi terhadap permasalahan persampahan dan dasar hukum baik bagi pemerintah
daerah maupun masyarakat.
41
Secara umum naskah akademik Rancangan Perda tentang Pengelolaan Sampah memuat
gagasan pengaturan atau materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah yang telah ditinjau secara sistemik-holistik-futuristik dari berbagai aspek ilmu
yang terkait dilengkapi dengan referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, atas
hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma yang akan
dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan beberapa alternatif, yang
disajikan dalam bentuk uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmu hukum dan bidang ilmu yang terkait dengan persampahan.
3.2 SISTEMATIKA
Untuk memudahkan dalam penyusunan naskah akademik, negara melalui UU No. 12
Tahun 2011 memberikan pedoman Penyusunan Naskah Akademik dengan sistematika
sebagai berikut:
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN
DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Uraian singkat setiap bagian diatas yang telah disesuaikan untuk naskah akademik
Rancangan Perda tentang pengelolaan sampah adalah sebagai berikut:
43
d. Apakah pengelola prasarana dan sarana sudah tersedia dan
sesuai peraturan perundang-undangan?
e. Apakah keuangan daerah dan ekonomi masyarakat mampu
membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah?
f. Bagaimana peran masyarakat dalam penyelenggaraan
pengelolaan sampah?
2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti
membenarkan pelibatan daerah dalam penyelesaian masalah
sampah tersebut?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah?
D. Metode
Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan penelitian, sehingga digunakan metode penyusunan naskah
akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian
lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif
dan metode yuridis empiris (dikenal juga dengan penelitian sosiolegal).
45
Pada naskah akademik Rancangan Perda tentang Pengelolaan Sampah,
sub bab Metode sebaiknya memuat:
1. Metodologi
Metodologi adalah seperangkat langkah dan cara sistematis yang
dikembangkan dan dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan dan
target/hasil keluaran kegiatan. Metodologi menggambarkan alur
pikir penyusunan naskah akademik yang menunjukkan adanya
hubungan antara rumusan masalah, pengumpulan data, analisis
data dan sasaran akhir tersusunnya Rancangan Perda tentang
Pengelolaan Sampah di daerah kajian.
2. Jenis Penelitian yang Digunakan
Jenis penelitian yang akan digunakan perlu disebutkan dengan
pasti, apakah akan menggunakan metode yuridis normatif atau
metode yuridis empiris.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Perda tentang Pengelolaan Sampah dilakukan dengan
pendekatan-pendekatan sebagai berikut :
a. Studi literatur;
b. Survei lapangan; dan/atau
c. Observasi.
Studi literatur dilakukan terhadap referensi-referensi bahan hukum,
teknis, kelembagaan dan lain-lain.
47
4. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis Data dilakukan dengan metode deskriptif yuridis
dan kualitatif, melalui proses interpretasi, penalaran konseptual
dan kontekstualitasnya dengan masalah yang dikaji.
Hasil survei lapangan dan observasi disandingkan dengan hasil
desk study, teori, peraturan dan kebijakan-kebijakan yang kemudian
dirumuskan untuk menjawab segala permasalahan yang dihadapi
dalam hal pengelolaan sampah dalam kehidupan masyarakat di
daerah kajian yang akhirnya dapat disimpulkan untuk menjawab
segala permasalahan dengan sasaran akhir adalah muatan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah yang
akan dibentuk.
A. Kajian Teoritis
Kajian teoritis terdiri dari teori-teori yang mendukung dan dapat
menjadi pisau analisis dalam evaluasi dan analisis permasalahan yang
ada. Teori-teori ini antara lain:
1. Teori-teori terkait aspek hukum
Teori-teori hukum sekurang-kurangnya tentang:
• Kedudukan peraturan daerah dalam hierarkhi peraturan
perundang-undangan;
• Fungsi peraturan daerah;
49
Hasil survei lapangan, observasi, kondisi dan permasalahaan yang
diuraikan dalam sub bab ini, sekurang-kurangnya memuat kajian
tentang hal-hal berikut ini :
1. Kondisi geografis, kependudukan, ekonomi, sosial budaya dan
kearifan lokal;
2. Identifikasi peraturan perundang-undangan terkait di daerah kajian
(perda dan perkada);
3. Kebijakan dan strategi pengelolaan sampah;
4. Kondisi eksisting pengelolaan sampah yang ada;
5. Jumlah dan kondisi sarana dan prasarana yang tersedia (TPS, TPS
3R, TPST, TPA, dll);
6. Lembaga pengelola yang ada (pemerintah dan masyarakat);
7. Pembiayaan/data-data keuangan (tarif, retribusi, APBD, dll)
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur
dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah
terhadap aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kehidupan
masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah
dan masyarakat.
Hasil kajian dan analisis yang diuraikan dalam sub bab ini sekurang-
kurangnya mengenai:
1. dampak terhadap kehidupan masyarakat dan beban keuangan
daerah dalam pemenuhan prasarana dan sarana persampahan
sesuai kondisi ideal menurut teori.
51
menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan
atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan
yuridis dari pembentukan rancangan perda. Proses evaluasi dan analisis
peraturan perundang-undangan yang terkait dilakukan dengan tahapan-
tahapan sebagai berikut:
1. Inventarisasi dan identifikasi peraturan perundangan-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sampah, baik secara vertikal maupun
horisontal.
2. Inventarisasi perintah/amanat (materi muatan) yang perlu diatur
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang terkait
pengelolaan sampah.
3. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan
yang terkait objek pengaturan dan lainnya, baik secara horisontal
maupun vertikal (misalnya tentang penyelenggaraan pemerintahan,
ketataruangan, bangunan gedung, keuangan daerah, kelembagaan,
bentuk pelibatan masyarakat) untuk menghindari tumpang tindih dan/
atau pertentangan pengaturan.
Hasil kajian tersebut secara garis besar akan menjadi kelanjutan dari isi
pada Bab IV (terutama pada landasan yuridis) dan akan menjadi acuan
dalam menentukan materi muatan yang akan diatur dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
53
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
55
2. Rekomendasi skala prioritas penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah dalam Program Pembentukan
Peraturan Daerah (Program Legislasi Daerah).
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
KONSEP RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
57
58 PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
BAB 4 PENYUSUNAN RANCANGAN
PERDA PENGELOLAAN SAMPAH
UU No. 12 Tahun 2011 menguraikan bahwa Judul Rancangan Peraturan Daerah memuat
keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama
Rancangan Peraturan Daerah. Nama Rancangan Peraturan Daerah dibuat secara singkat
dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya
telah dan mencerminkan isi Rancangan Peraturan Daerah.
UU No. 18 Tahun 2008 secara tegas membatasi kewenangan daerah dalam mengatur
isi/muatan Rancangan Peraturan Daerah sub urusan persampahan hanya pada jenis
sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, bukan pada jenis
sampah spesifik. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) yaitu
“Pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab Pemerintah” dan “Ketentuan
59
lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan pemerintah”. Selain itu, Pasal 2 ayat (5) juga menyatakan
tentang peranan Pemerintah Pusat untuk mengatur sampah spesifik jenis lainnya melalui
peraturan menteri di bidang lingkungan hidup.
Kewenangan daerah kabupaten/kota untuk sub urusan persampahan menurut UU No. 23
Tahun 2014 adalah Pengembangan Sistem dan Pengelolaan Persampahan dalam Daerah
kabupaten/ kota. Hal ini berarti Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka menyelenggarakan
urusan pemerintahan sub urusan persampahan diberi kewenangan untuk mengatur:
a. Pengembangan Sistem; dan
b. Pengelolaan Persampahan.
Jelas dari batasan isi dan kewenangan sebagaimana telah diuraikan diatas, nama/judul
Rancangan Peraturan Daerah dalam rangka menyelenggarakan tugas pembantuan sub
urusan persampahan adalah “Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga”.
Adapun ketika daerah ingin memberikan judul “Pengelolaan Sampah” maka pada ruang
lingkup harus membatasi bahwa sampah yang diatur dengan Rancangan Perda tersebut
terbatas pada Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
4.1.2 Pembukaan
Pembukaan Peraturan Daerah menurut ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011, terdiri
atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Pada pembukaan tiap jenis Rancangan Peraturan Daerah dicantumkan Frasa
Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
yang diletakkan di tengah marjin.
WALIKOTA TANJUNGPINANG,
c. Konsiderans Menimbang
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Pokok pikiran
pada konsiderans Rancangan Peraturan Daerah menurut UU No. 12 Tahun 2011,
memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang penulisannya ditempatkan
secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang memuat sebagai berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah dibentuk dengan mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di berbagai aspek dalam hal pengelolaan sampah.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
61
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah
ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
e. Diktum.
Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan; dan
c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan.
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku
kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
63
Contoh:
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Batang tubuh Peraturan Daerah memuat semua materi muatan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal. Pada umumnya
materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
Batasan pengertian atau definisi yang termuat dalam Ketentuan Umum menurut
UU No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut:
a. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan
atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor
urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri
dengan tanda baca titik.
b. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau
istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal
selanjutnya.
c. Apabila rumusan definisi dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, atau Peraturan Menteri dirumuskan kembali dalam
Peraturan Daerah, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan
definisi dengan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
d. Rumusan batasan pengertian dari Peraturan Daerah dapat berbeda dengan
rumusan dalam Peraturan Daerah yang ada karena disesuaikan dengan
kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
e. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah
itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu,
kata atau istilah itu diberi definisi.
65
f. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam
ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan
pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan
rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan
lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
g. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi
untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian
atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena
itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan
pengertian ganda.
h. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi
batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik
digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.
i. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
1. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih
dahulu dari yang berlingkup khusus;
2. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang
diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
3. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.
Materi pokok selain yang disebutkan diatas, dapat ditambahkan sesuai dengan
kebutuhan daerah dalam rangka menampung kondisi khusus daerah. Analisis
kebutuhan akan materi pokok tersebut diuraikan dalam Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
3. Ketentuan Pidana
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau
norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang
memuat norma larangan Dalam merumuskan Ketentuan Pidana, perlu dihindari,
kualifikasi pidana yang sudah diatur dalam Undang-Undang.
67
hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Daerah yang lama (bila
ada) terhadap Peraturan Daerah yang baru, dengan bertujuan untuk: (a) menghindari
terjadinya kekosongan hukum; (b) menjamin kepastian hukum; (c) memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan yang
termuat dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah; (d) mengatur hal-
hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
5. Ketentuan Penutup
Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan
pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau beberapa
pasal terakhir. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
(a) penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Daerah;
(b) nama singkat Peraturan Daerah (bila diperlukan); (c) status Peraturan Daerah
yang sudah ada; (d) saat mulai berlaku Peraturan Daerah.
4.1.4 Penutup
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Daerah yang memuat: (a) rumusan perintah
pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah Kabupaten/
Kota, Berita Daerah Kabupaten/Kota; (b) penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Daerah; (c) pengundangan atau Penetapan Peraturan Daerah; (d) akhir bagian
penutup.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran
Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bangka Tengah.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
Penjelasan Peraturan Daerah memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi
dan ditulis dengan huruf kapital.
69
Contoh:
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah,
tidak perlu diberikan penjelasan.
a. Pengayoman
Bahwa setiap materi Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
71
i. Ketertiban dan Kepastian Hukum
Bahwa setiap materi Peraturan Perundang-undangan harus menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Bahwa setiap materi Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan
masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, yang berbunyi sebagai berikut:
“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.
73
c. sebagai media hukum bagi Kepala Daerah dalam rangka mewujudkan komitmen
dan/atau aspirasi atau keinginan atau harapan yang disampaikan kepada dan/atau
dari masyarakat dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah
dan melaksanakan kebijakan nasional. Hal tersebut terlepas dari anggaran. Besar
kecil anggaran ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rayat Daerah (DPRD), karena
anggaran menjadi wewenang DPRD berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD. Sehubungan itu, penyelenggaraan pengelolaan sampah
selain ditentukan oleh komitmen Kepala Daerah, peran aktif masyarakat, dan juga
ditentukan oleh DPRD berkaitan dengan anggaran.
Peraturan daerah dapat memuat materi muatan mengenai ketentuan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Ayat (2) Pasal 15
menyatakan bahwa materi muatan yang berupa sanksi pidana dalam Peraturan Daerah
berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Sedangkan pada Pasal 15 ayat (3),
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain itu, Pasal 250 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah mengatur bahwa “Materi muatan Peraturan Daerah dilarang bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau
kesusilaan”.
Adapun yang dimaksud dengan “Bertentangan dengan kepentingan umum” meliputi:
a. Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
dan/atau
e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan
gender.
Prinsip utama yang dipegang teguh dalam pembentukan suatu Peraturan Daerah adalah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Artinya, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih
tinggi secara hierarkhi dalam perundang-undangan.
Agar prinsip utama pembentukan suatu Peraturan Daerah tidak dilanggar maka perlu
dilakukan harmonisasi perintah/delegasi kewenangan tentang materi muatan yang harus
75
diatur, yang dapat diatur dan yang dibutuhkan untuk diatur oleh daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan agar dapat menampung dan menjawab
segala permasalahan tentang pengelolaan sampah di daerah.
Dalam buku panduan ini dilakukan harmonisasi tahap awal, yaitu berupa harmonisasi
secara vertikal terhadap peraturan perundang-undangan khusus di bidang pengelolaan
persampahan sebagaimana diuraikan di atas.
Berikut ini adalah materi muatan pokok yang perlu diatur dalam Rancangan Perda tentang
Pengelolaan Sampah yang dibagi kedalam:
1. Perintah Tegas
a. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
• Pasal 11 ayat (2) “tata cara penggunaan hak setiap orang”
• Pasal 12 ayat (2) “tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga”
• Pasal 17 ayat (3) “tata cara memperoleh izin”
• Pasal 18 ayat (2) “jenis usaha pengelolaan sampah yang mendapatkan
izin dan tata cara pengumuman kepada masyarakat”
• Pasal 22 ayat (2) “penanganan sampah”
• Pasal 24 ayat (3) “Pembiayaan”
• Pasal 25 ayat (4) “pemberian kompensasi oleh pemerintah daerah”
• Pasal 28 ayat (3) “bentuk dan tata cara peran masyarakat”
• Pasal 29 ayat (3) “larangan” (larangan membuang sampah tidak pada
tempat yang telah ditentukan dan disediakan, melakukan penanganan
sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir
(TPA), dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis pengelolaan sampah.
• Pasal 31 ayat (3) “pengawasan pengelolaan sampah”
• Pasal 32 ayat (3) “penerapan sanksi administratif ”
77
• Pasal 9, memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Kabupaten/
Kota sebagai berikut:
a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah
berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi;
b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/
kota sesuai dengan norma, standar,prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan
sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain;
d. menetapkan lokasi tempat penampungan sementara (TPS),
tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), dan/atau tempat
pemrosesan akhir sampah (TPA) merupakan bagian dari rencana
tata ruang wilayah (RTRW);
e. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6
(enam) bulan selama 20 (dua puluh) tahun terhadap tempat
pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka
yang telah ditutup;
f. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat
pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.
• Pasal 13 memberikan perintah kepada Pengelola kawasan permukiman,
kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas
umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya untuk menyediakan fasilitas
pemilahan sampah.
• Pasal 14 memberikan perintah kepada setiap produsen untuk
mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan
pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau
produknya.
• Pasal 15 memberikan perintah kepada produsen untuk mengelola
kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau
sulit terurai oleh proses alam.
79
Tugas sebagai operator, diatur dengan pasal-pasal sebagai berikut:
• Pasal 17 ayat (1) (c) “ turut melakukan pemilahan sampah”
• Pasal 17 ayat (4) “menyediakan sarana pemilahan sampah skala kabupaten/
kota
• Pasal 18 ayat (1) (b) “turut melakukan pengumpulan sampah”
• Pasal 18 ayat (3) “menyediakan TPS dan/atau TPS 3R pda wilayah permukiman”
• Pasal 19 ayat (1) “melakukan pengangkutan sampah” yang dijelaskan kembali
dalam pasal 19 ayat (2) (b) bahwa “pemerintah kabupaten kota melakukan
pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3Rke TPA atau TPST”
• Pasal 21 ayat (2) (c) “turut mengolah sampah” yang dijelaskan kembali dalam
Pasal 21 ayat (4) bahwa “Pemerintah kabupaten/kota menyediakan fasilitas
pengolahan sampah pada wilayah permukiman yang berupa: TPS 3R, stasiun
peralihan antara, TPA dan/atau TPST.
• Pasal 22 ayat (2) “melakukan pemrosesan akhir sampah”
• Pasal 23 ayat (1) “kewajiban pemerintah kabupaten/kota menyediakan dan
mengoperasikan TPA”
• Pasal 26 ayat (1) “membentuk kelembagaan pengelola sampah, bermitra
dengan badan usaha, dan bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota
lainnya” artinya dari pengaturan ini ada perintah secara tidak tegas kepada
pemerintah kabupaten kota untuk mengatur lembaga pengelola sampah
sebagai lembaga yang menjalankan tugas dan tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota sebagai operator pengelolaan sampah sebagaimana diatur
dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas.
• Pasal ini juga memerintahkan secara tidak tegas untuk mengatur kemitraan
dengan badan usaha dan kerjasama dengan kabupaten/kota lain.
• Pasal 29 ayat (1) “memungut retribusi kepada setiap orang atas jasa pelayanan
yang diberikan”. Artinya pasal ini memerintahkan secara tidak tegas dan
memayungi pemerintah kabupaten kota untuk mengatur pemungutan
retribusi, namun untuk tata cara perhitungan tarif retribusi menurut Pasal 29
Peraturan Menteri PU No. 3 Tahun 2013 juga mengatur lebih teknis tugas pemerintah
kabupaten/kota dalam menyediakan prasana dan sarana pengelolaan sampah.
Peraturan Menteri ini membagi batas dan wilayah dimana pemerintah kabupaten/
kota harus menyediakan prasarana dan sarana persampahan.
Penyediaan prasarana dan sarana pemilahan, pewadahan, pengumpulan, dan
pengolahan sampah selain dilakukan oleh Pemerintah daerah juga dilakukan oleh
pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya.
81
Dari penjelasan di atas, hasil harmonisasi secara vertikal materi muatan yang perlu diatur
dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah, adalah sebagai berikut:
1. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah;
2. Hak dan Kewajiban;
3. Perizinan:
4. Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah;
5. Pembiayaan dan Kompensasi;
6. Peran Masyarakat;
7. Lembaga Pengelola;
8. Kerjasama dan Kemitraan;
9. Retribusi;
10. Pengawasan;
11. Sistem Informasi;
12. Larangan;
13. Sanksi Administratif
Materi muatan sebagaimana disebutkan di atas tersebut tidak membatasi apabila memang
dari hasil penelitian atau pengkajian kondisi daerah atau hasil penelitian hukum dalam
Naskah Akademik menyimpulkan perlunya menambahkan materi muatan yang akan
diatur sebagai solusi terhadap suatu masalah dan menampung kebutuhan pengaturan
masyarakat daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
Dibawah ini dirangkum materi muatan Rancangan Perda Pengelolaan Sampah berdasarkan
amanat dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012,
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 16 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 3 Tahun 2013, baik yang secara tegas maupun tidak tegas memerintahkan
untuk diatur dalam perda, yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan pengelolaan
sampah di daerah, dalam tabel berikut ini:
85
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
3. Kewajiban Pasal 12 ayat (2) UU No. 18 Tahun 1. Kewajiban orang dalam
2008 pengelolaan sampah secara
“Ketentuan lebih lanjut mengenai umum;
tata cara pelaksanaan kewajiban 2. Kewajiban pelaku usaha
pengelolaan sampah rumah dalam pengelolaan sampah
tangga dan sampah sejenis secara umum.
sampah rumah tangga
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan peraturan
daerah”
87
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
administratif yang memuat
data akta pendirian
perusahaan, nama
penanggung jawab kegiatan,
nama perusahaan, alamat
perusahaan, bidang usaha
dan/atau kegiatan, nomor
telepon perusahaan, wakil
perusahaan yang dapat
dihubungi, dan sertifikat
kompetensi dan/atau sertifikat
pelatihan.
c. apabila kegiatan pengelolaan
sampah merupakan wajib
analisis mengenai dampak
lingkungan hidup (Amdal)
atau upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan
hidup (UKL-UPL),
permohonan izin dilengkapi
dengan izin lingkungan
d. Izin pengangkutan sampah
berlaku selama 1 (satu) tahun
dan dapat diperpanjang. Izin
pengolahan dan pemrosesan
akhir sampah berlaku selama
5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang. Izin pengelolaan
sampah berakhir apabila masa
berlakunya berakhir, badan
usaha pemegang izin
89
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
Penanganan Sampah • Tata cara pengurangan
sampah yang
Pasal 22 ayat (2) UU No. 18 Tahun pelaksanaan nya sesuai
2008 peraturan perundang-
“Ketentuan lebih lanjut mengenai undangan;
penanganan sampah diatur • Kegiatan Pemerintah
dengan atau berdasarkan Kabupaten/Kota dalam
peraturan pemerintah atau Pengurangan Sampah
dengan peraturan daerah sesuai
dengan kewenangannya” 3. Penanganan Sampah:
a. Jenis kegiatan
Penjabaran menurut Permen LH penanganan sampah;
No. 16 Tahun 2011: b. Pembagian jenis sampah
1. Dalam penyelenggaraan dalam kegiatan
penanganan sampah rumah pemilahan sampah;
tangga dan sampah sejenis c. Kewajiban setiap orang,
sampah rumah tangga, produsen, pengelola
gubernur atau bupati/walikota kawasan, pengelola
menetapkan kebijakan dan fasilitas umum dan sosial
strategi penanganan sampah serta fasilitas lainnya
rumah tangga dan sampah dalam pemilahan
sejenis sampah rumah tangga. sampah;
2. Khusus bagi pemerintah d. Persyaratan sarana
kabupaten/kota, selain pemilahan dan
menetapkan kebijakan dan pewadahan sampah;
strategi kabupaten/kota dalam e. Pendelegasian untuk
penanganan sampah rumah mengatur lebih lanjut
tangga dan sampah sejenis mengenai petunjuk
sampah rumah tangga, juga teknis dan pelaksanaan
menyusun dokumen rencana pemilahan sampah
induk dan studi kelayakan dengan peraturan
penanganan sampah rumah bupati/walikota;
91
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
pengelompokan n. Teknis pemrosesan
sampah paling sedikit sampah
menjadi 5 (lima) jenis o. Pemilihan teknologi dan
sampah; lokasi pemrosesan akhir
• sarana pemilahan sampah yang
sampah disediakan pelaksanaannya sesuai
oleh pengelola dengan peraturan
kawasan dan perundang-undangan;
pemerintah p. Kewajiban Pemerintah
kabupaten/kota. Daerah dalam
• pemilahan sampah melakukan penutupan
menggunakan sarana atau rehabilitasi TPA
yang memenuhi yang tidak memenuhi
persyaratan, jumlah persyaratan sesuai
sarana sesuai dengan peraturan perundang-
jenis pengelompokan undangan.
sampah, diberi simbol
atau tanda dan bahan,
bentuk, dan warna
wadah.
b. Pengumpulan
• Pengumpulan sampah
dilakukan dalam
bentuk: pengambilan
dan pemindahan
sampah dari sumber
sampah ke tempat
penampungan
sementara (TPS) atau
tempat pengolahan
sampah terpadu (TPST)
.
93
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
luas lokasi dan
kapasitas sesuai
kebutuhan, lokasi yang
mudah diakses, tidak
mencemari lingkungan,
jadual pengumpulan
dan pengangkutan.
c. Pengangkutan
• Pengangkutan sampah
dilakukan dalam
bentuk membawa
sampah dari sumber
dan/atau dari TPS atau
dari TPST menuju ke
TPA.
• Pengangkutan sampah
dari TPS dan/atau TPS
3R ke TPA atau TPST
dilakukan oleh
pemerintah
kabupaten/kota
dengan menyediakan
alat angkut sampah
terpilah paling sedikit 5
jenis sampah dan tidak
mencemari lingkungan.
• Pemerintah
kabupaten/kota dalam
pengangkutan sampah
dapat menyediakan
stasiun peralihan
antara.
95
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
berupa TPS 3R, stasiun
peralihan antara, TPA,
dan/atau TPST.
• Apabila dua atau lebih
kabupaten/kota
melakukan pengolahan
sampah bersama dan
memerlukan
pengangkutan sampah
lintas kabupaten/kota,
pemerintah
kabupaten/kota dapat
mengusulkan kepada
pemerintah provinsi
untuk menyediakan
stasiun peralihan antara
dan alat angkut.
e. Pemrosesan akhir
sampah.
• Pemrosesan akhir
sampah dilakukan
dalam bentuk
pengembalian sampah
dan/atau residu hasil
pengolahan
sebelumnya ke media
lingkungan secara
aman.
• Pemrosesan akhir
sampah dilakukan oleh
pemerintah
kabupaten/kota
97
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
• Pemerintah
kabupaten/kota dalam
menyediakan TPA
melengkapi fasilitas
dasar, fasilitas
perlindungan
lingkungan, fasilitas
operasi, dan fasilitas
penunjang.
• Apabila TPA tidak
dioperasikan sesuai
dengan persyaratan
teknis, harus dilakukan
penutupan dan/atau
rehabilitasi. Penyediaan
fasilitas pengolahan
dan pemrosesan akhir
sampah dilakukan
melalui tahapan
perencanaan,
pembangunan,
pengoperasian dan
pemeliharaan.
Pembangunan fasilitas
pengolahan dan
pemrosesan akhir
meliputi kegiatan
konstruksi, supervisi,
dan uji coba.
99
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
Pasal 21 ayat (2) (c) “turut
mengolah sampah” yang
dijelaskan kembali Pasal 21 ayat
(4) bahwa "Pemerintah
kabupaten/kota menyediakan
fasilitas pengolahan sampah pada
wilayah permukiman yang berupa:
TPS 3R, stasiun peralihan antara,
TPA dan/atau TPST.
“Pembiayaan penyelenggaraan
pengelolaan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga bersumber
dari :
a. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah
(APBD);dan/atau
b. sumber lain yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
101
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
diakibatkan oleh :
• pencemaran air;
• pencemaran udara;
• pencemaran tanah;
• longsor;
• kebakaran
• ledakan gas metan;
dan/atau
• hal lain yang
menimbulkan dampak
negatif.
d. Kompensasi dapat berbentuk
relokasi penduduk, pemulihan
lingkungan, biaya kesehatan
dan pengobatan, penyediaan
fasilitas sanitasi dan kesehatan,
dan/atau kompensasi dalam
bentuk lain;
e. Kompensasi harus
dianggarkan dalam APBD.
8. Peran Serta Masyarakat Pasal 28 ayat (3) UU No. 18 Tahun 1. Bentuk-bentuk peran
2008 masyarakat;
“Ketentuan lebih lanjut mengenai 2. Peran pelaku usaha dalam
bentuk dan tata cara peran pengelolaan sampah;
masyarakat diatur dengan 3. Pengaduan masyarakat
peraturan pemerintah dan/atau dalam pengelolaan sampah;
peraturan daerah” 4. Pendelegasian untuk
mengatur lebih lanjut
Penjabaran menurut Permen LH mengenai petunjuk tata cara
No. 16 Tahun 2011: dan kelembagaan
Masyarakat dapat berperan dalam penanganan pengaduan
103
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
9. Lembaga Pengelola PP No. 81 Tahun 2012 1. Penyelenggaraan
Pasal 26 ayat (1) (a) pengelolaan sampah oleh
“Dalam melakukan kegiatan lembaga pengelola;
pengangkutan, pengolahan, dan 2. Pemisahan lembaga
pemrosesan akhir sampah, pengelola regulator dan
pemerintah kabupaten/kota dapat : operator
membentuk kelembagaan 3. Kewenangan pemerintah
pengelola sampah; dalam membentuk lembaga
pengelola;
4. Pendelegasian ketentuan
lebih lanjut mengenai
lembaga pengelola sampah
dengan peraturan
bupati/walikota
10. Kerjasama dan PP No. 81 Tahun 2012 1. Kerjasama dan kemitraan
kemitraan Pasal 26 ayat (1) (b) dan (c) secara umum;
“Dalam melakukan kegiatan 2. Pelaksanaan kerjasama dan
pengangkutan, pengolahan, dan kemitraan sesuai dengan
pemrosesan akhir sampah, peraturan perundang-
pemerintah kabupaten/kota dapat: undangan;
b. bermitra dengan badan
usaha atau masyarakat; Note :
dan/atau Pengaturan tentang kerjasama
c. bekerjasama dengan antar daerah penjabarannya
pemerintah sudah diatur dalam Peraturan
kabupaten/kota lain. Pemerintah No. 50 Tahun
2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerjasama
Daerah
105
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
e. peningkatan kompetensi
pengelola sampah.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara
perhitungan tarif retribusi
berdasarkan jenis,
karakteristik, dan volume
sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan peraturan menteri
yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di
bidang dalam negeri.
12. Pengawasan Pasal 31 ayat (3) UU No. 18 Tahun 1. Bentuk pengawasan
2008 2. Kegiatan pengawasan dalam
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah
pengawasan pengelolaan sampah
diatur dengan peraturan daerah”
107
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
sampah sejenis sampah
rumah tangga yang
diperlukan dalam rangka
pengelolaan sampah.
(3) Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
terhubung sebagai satu
jejaring sistem informasi
pengelolaan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga yang
dikoordinasikan oleh
menteri yang
menyelengarakan urusan
pemerintahan di bidang
perlindungan dan
pengelolaan lingkungan
hidup.
(4) Informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
harus dapat diakses oleh
setiap orang.
14. Larangan Pasal 29 ayat (3) dan (4) UU No. Setiap orang dilarang :
18 Tahun 2008 a......
(3) Ketentuan lebih lanjut b......
mengenai larangan : diatur c.......
dengan perda Pengaturan larangan dapat
kabupaten/kota disesuaikan dengan kebutuhan,
(4) Peraturan daerah kearifan lokal dan peraturan
kabupaten/kota sebagaimana perundang-undangan di daerah
dimaksud pada ayat (3) dapat masing-masing berdasarkan hasil
menetapkan sanksi pidana kajian naskah akademik.
109
Muatan Yang Pengaturan dalam Rancangan Perda
No Sumber Hukum tentang Pengelolaan Sampah
Diperintahkan
Undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan
Sampah); dan/atau
c. membakar sampah yang tidak
sesuai dengan persyaratan
teknis pengelolaan sampah
(Membakar sampah yang
tidak sesuai dengan
persyaratan teknis pengelolaan
sampah dapat meningkatkan
emisi gas rumah kaca dan
memberikan kontribusi
terhadap pemanasan global).
15. Sanksi Administratif Pasal 32 ayat (3) UU No. 18 tahun 1. Pejabat yang berwenang
2008 dalam menerapkan sanksi
“Ketentuan lebih lanjut mengenai 2. Pendelegasian untuk
penerapan sanksi administratif mengatur lebih lanjut
diatur dengan perda mengenai tata cara dan
kabupaten/kota” mekanisme penerapan
Penjabaran menurut Permen LH sanksi administratif dengan
No. 16 Tahun 2011: peraturan bupati/walikota
a. Penerapan sanksi administratif 3. Sanksi Pidana (bila
dilakukan oleh diperlukan)
bupati/walikota kepada
pengelola sampah rumah
tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga yang
melanggar ketentuan dan
persyaratan yang ditetapkan
dalam izin.
b. Sanksi administratif yang
dapat diterapkan oleh
111
112 PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
LAMPIRAN CONTOH RANCANGAN PERDA TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
Menimbang : a.
bahwa lingkungan hidup merupakan ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa sebagai amanat yang harus kita jaga dan lestarikan
dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk
melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah
Indonesia demi mencapai cita-cita bangsa Indonesia yaitu
memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia;
[Bagian diatas merupakan contoh pertimbangan unsur
filosofis. Isinya dapat disesuaikan, yang intinya merupakan
pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang
meliputi suasana kebathinan penyusun, yang bersumber
dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945]
b. bahwa dalam rangka mewujudkan Kabupaten/ Kota …….
yang sehat dan bersih dari sampah yang dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan
lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan sampah secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir;
[Bagian diatas merupakan contoh pertimbangan unsur
sosiologis. Isinya dapat disesuaikan dengan kondisi
pengelolaan sampah yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Perda Pengelolaan Sampah]
c. bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 47 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah;
[Bagian diatas merupakan contoh pertimbangan unsur
yuridis.]
113
d. bahwa pengelolaan sampah berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota ………. Nomor…. Tahun ……, sudah tidak
sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi saat ini
sehingga perlu dilakukan penggantian/perubahan.
[Bagian diatas merupakan contoh pertimbangan unsur
yuridis apabila kabupaten/kota yang sebelumnya sudah
mempunyai Perda tentang Pengelolaan Sampah atau perda
lainnya yang berkaitan dengan Pengelolaan Sampah tapi
ingin diganti atau dirubah.]
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, maka perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Dan
BUPATI/WALIKOTA KABUPATEN/KOTA………………
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
115
2. Daerah adalah Kabupaten/Kota ……………..
3. Pemerintah Daerah adalah……….
4. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten /Kota …………
5. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat.
6. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari
dalam rumah tangga yang tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
7. ……….
[Bagian diatas merupakan contoh Ketentuan Umum. Isinya disesuaikan dengan
materi muatan yang diatur dalam Perda yang dibentuk oleh masing-masing
daerah. Ketentuan Umum memuat batasan atau definisi dari subjek dan objek
yang diatur, istilah, singkatan atau akronim yang digunakan secara berulang-
ulang dalam Perda. Apabila terdapat definisi/istilah yang sudah diatur oleh
peraturan perundang-undangan, sebaiknya definisi/istilah tersebut diadopsi
secara langsung.]
BAB II
ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
Pasal 5
Pasal 6
117
[Isikan bagian ini dengan kewenangan pemerintah daerah. Lihat kajian dalam
naskah akademik untuk mengetahuinya. Lihat Tabel 4-1 nomor 1 untuk lebih
jelas.]
Pasal 7
(1) Untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah sesuai tugas dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6, pemerintah daerah harus
membuat dokumen perencanaan daerah tentang pengelolaan sampah yang
memuat target pengurangan dan penanganan sampah dalam pengelolaan sampah.
(2) Teknis penyusunan perencanaan daerah pengelolaan sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[Tambahkan pada bagian penjelasan ayat ini kalimat yang menjelaskan bahwa
yang dimaksud perencanaan daerah tentang pengelolaan sampah meliputi : (a)
Rencana Induk; (b) Studi Kelayakan; dan (c) Perencanaan Teknis dan Manajemen
Persampahan.]
BAB IV
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 8
Masyarakat berhak:
a. mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan
lingkungan;
b. berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan
pengawasan di bidang pengelolaan sampah;
c. memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai
penyelenggaraan pengelolaan sampah.
d. mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan
tempat pemrosesan akhir sampah;
e. memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik
dan berwawasan lingkungan
f. ……
g. ……
Pasal 9
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 10
119
BAB V
PERIZINAN
Pasal 11
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib memiliki
izin dari Bupati/Walikota.
(2) Kegiatan pengelolaan sampah yang wajib memiliki izin meliputi :
a. pendauran ulang;
b. pengumpulan;
c. pengangkutan;
d. pengolahan; dan
e. pemrosesan akhir.
(3) ……
(4) ……
Pasal 12
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
Bagian Kedua
Pengurangan Sampah
Pasal 14
Pasal 15
121
Bagian Ketiga
Penanganan Sampah
Pasal 16
Paragraf 1
Pemilahan sampah
Pasal 17
123
Paragraf 3
Pengangkutan Sampah
Pasal 20
Paragraf 4
Pengolahan Sampah
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
(1) Pengolahan sampah di TPS 3R harus memenuhi persyaratan teknis dan standar
prasarana dan sarana pengolahan sampah.
(2) Persyaratan teknis dan standar prasarana dan sarana pengolahan sampah di TPS
3R sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(3) ……
(4) ……
[Bagian diatas merupakan contoh pengaturan tentang pengolahan sampah. Silakan
mengatur di Daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan kabupaten/kota
masing-masing. Lihat Tabel 4-1 nomor 5 untuk lebih jelas. Teknologi pengolahan
sampah yang dipilih oleh daerah disesuaikan dengan kondisi daerah dan sebaiknya
dilakukan analisis terlebih dahulu dalam naskah akademik.]
125
Paragraf 5
Pemrosesan Akhir Sampah
Pasal 25
Pasal 26
Pemerintah Daerah wajib melakukan penutupan atau rehabilitasi jika TPA tidak
memenuhi kriteria sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VII
Bagian Kesatu
Pembiayaan
Pasal 27
Pasal 28
(1) Setiap orang yang menggunakan atau menerima manfaat jasa pelayanan
pengelolaan sampah wajib membayar jasa pengelolaan sampah.
(2) Besaran tarif yang dikenakan kepada setiap wajib bayar dihitung berdasarkan
kebutuhan biaya penyediaan jasa pengelolaan sampah yang diberikan menurut
kaidah manajemen usaha dan mempertimbangkan kemampuan secara ekonomi
dan aspek keadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif jasa pengelolaan sampah diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
(4) ……
(5) ……
Bagian Kedua
Kompensasi
Pasal 30
127
Pasal 31
(1) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), dapat berbentuk:
a. relokasi penduduk;
b. pemulihan kualitas lingkungan;
c. biaya kesehatan dan pengobatan;
d. penyediaan fasilitas sanitasi dan kesehatan; dan/atau
e. kompensasi dalam bentuk lain.
(2) Untuk memberikan jaminan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan perusahaan asuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kerjasama dengan perusahaan asuransi
diatur melalui Peraturan Bupati/Walikota.
(4) ……
(5) ……
Pasal 32
Tata cara pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. pengajuan surat pengaduan kepada Pemerintah Daerah;
b. pemerintah daerah melakukan investigasi atas kebenaran dan dampak negatif
pengelolaan sampah; dan
c. menetapkan bentuk kompensasi yang diberikan berdasarkan hasil investigasi dan
hasil kajian.
[Bagian diatas ini merupakan contoh pengaturan mengenai kompensasi. Ketentuan
yang ada disini perlu dikaji karna harus disesuaikan dengan kelembagaan, muatan
lokal, dan kearifan lokal daerah masing-masing. Silakan mengatur sesuai dengan
kebutuhan daerah]
BAB VIII
PERAN MASYARAKAT
Pasal 33
(1) Masyarakat dapat berperan aktif dalam pengolahan sampah dengan cara:
a. meningkatkan kemampuan, kemandirian, keberdayaan dan kemitraan
dalam pengelolaan sampah;
b. ……
c. ……
[pengaturan peran serta masyarakat yang diharapkan oleh daerah pembentuk
perda disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing]
Pasal 34
(1) Setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat
dampak negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan pengelolaan sampah dapat
menyampaikan pengaduan kepada ……..
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan dengan
cara……
(3) ……
(4) ……
[pengaturan mengenai tata cara pengaduan diatur sesuai dengan kelembagaan dan
muatan lokal daerah masing-masing]
BAB IX
RETRIBUSI
Pasal 35
129
BAB X
LEMBAGA PENGELOLA
Pasal 36
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga pengelola sampah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 diatur dengan peraturan bupati/walikota.
BAB XI
KERJASAMA
Bagian Kesatu
Kerjasama Antar Daerah
Pasal 38
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan pengelolaan sampah.
(2) Bentuk dan pola kerjasama antar daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 41
(1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah
dengan cara:
a. …..
b. ……
(2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. …..
b. ……
[Disesuaikan dengan bentuk pengawasan yang diharapkan oleh masing-masing
daerah]
131
BAB XIII
LARANGAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Larangan
Pasal 42
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 43
(1) Sanksi administratif dilakukan oleh Kepala Daerah terhadap pengelola sampah
yang melanggar ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam izin;
(2) Sanksi administratif sebagimana dimaksud pada ayat (1), yang diterapkan dapat
berupa:
a. ....
b. ....
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme penerapan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bupati/Walikota.
Pasal 44
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) ………
(2) ……
[Silahkan masing-masing daerah mengatur aturan peralihan sesuai dengan
kebutuhan daerah masing-masing]
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor ….. Tahun
……. tentang …………………….., dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
[Bagian diatas ini digunakan apabila sebelumnya terdapat Perda tentang
Pengelolaan Sampah yang lama yang ingin dicabut]
133
Pasal 47
Ditetapkan di ……….
BUPATI/WALIKOTA ……………..
NAMA BUPATI/WALIKOTA
Diundangkan di……..
pada tanggal………….
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA ………..,
………………………………….
NIP. ……………………………
ATAS
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
I. UMUM
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Asas ...... adalah ......
Huruf b
Asas ...... adalah ......
Huruf c
Asas ...... adalah ......
Pasal 3
Cukup jelas
137
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dokumen perencanaan daerah tentang pengelolaan
sampah meliputi:
a. Rencana Induk;
b. Studi Kelayakan; atau
c. Perencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembatasan timbulan sampah” adalah
upaya meminimalisasi timbulan sampah yang dilakukan sejak
sebelum dihasilkannya suatu produk dan/atau kemasan produk
sampai dengan saat berakhirnya kegunaan produk dan/atau
kemasan produk. Contoh implementasi pembatasan timbulan
sampah antara lain:
1. penggunaan barang dan/atau kemasan yang dapat di
daur ulang dan mudah terurai oleh proses alam;
2. membatasi penggunaan kantong plastik; dan/atau
3. menghindari penggunaan barang dan/atau kemasan
sekali pakai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendauran ulang sampah” adalah upaya
memanfaatkan sampah menjadi barang yang berguna setelah
melalui suatu proses pengolahan terlebih dahulu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan kembali sampah” adalah
upaya untuk mengguna ulang sampah sesuai dengan fungsi
yang sama atau fungsi yang berbeda dan/atau mengguna ulang
bagian dari sampah yang masih bermanfaat tanpa melalui suatu
proses pengolahan terlebih dahulu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
139
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
141
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
TIM PENYUSUN:
Marsaulina FMP
Dadang Suryana
Sabbath Marchend
Raminatha P. Uno
Siti Nursanti
Budiaf
FOTO:
Kementerian Pekerjaan Umum danPerumahan Rakyat
dan dari berbagai sumber
145