Anda di halaman 1dari 4

6.

Hukum Acara Pidana Khusus: Korupsi Kesehatan

Melalui website ini diharapkan masyarakat dapat mmengetahui dan mengakses berbagai
ketentuan hukum acara pidana. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya mengenai hukum acara pidana dan proses perubahan dan penegakan hukum
di Indonesia. Sektor kesehatan merupakan urusan publik yang tidak lepas dari praktek korupsi. Korupsi
pada sektor kesehatan melibatkan aparat dan pejabat tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Pada tingkat
rendah menyentuh pada kepala dinas kesehatan (Dinkes) pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Sedangkan pada tingkat tinggi melibatkan pejabat pada kantor kementerian kesehatan dan lembaga
lainnya pada tingkat nasional seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun anggota DPR
yang membidangi kesehatan.

Hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) hingga tahun 2008, kasus korupsi pada
sektor kesehatan telah menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 128 miliar. Kasus-kasus tersebut
melibatkan para pejabat tingkat lokal seperti level Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) dan DPRD serta
direktur rumah sakit, sedangkan korupsi pada tingkat tinggi belum terungkap ketika itu. Modus korupsi
yang dominan masih berputar dalam pengadaan barang dan jasa dengan modus mark up yang
menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 103 miliar, sisanya adalah modus penyuapan.

Pada tingkat pejabat dinas kesehatan lokal, salah satu kasus korupsi dilakukan oleh dr. Laode
Budiono MPH, Kepala DinKes Pemkab Brebes atas dugaan korupsi dana Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) tahun 2009/2010 senilai Rp 150 juta. Dana Jamkesmas senilai Rp 150 juta itu digunakan
untuk kepentingan pribadi. Laode yang juga mantan Direktur RSUD Brebes itu ditahan di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Brebes sejak Rabu (19/10/2008). Penahanan dilakukan atas beberapa
pertimbangan dan sesuai asal 21 KUHP, di antaranya : dikhawatirkan melarikan diri, dikhawatirkan
menghilangkan barang bukti dan tersangka menggulangi perbuatannya. Sementara dr. Laode Budiono
membantah tindakannya masuk korupsi karena hanya meminjam uang Rp 150 juta dari dana Jamkesmas
di Puskesmas Jatibarang (Cybernews).

Kasus lainnya pada tingkat lokal terjadi di Nias Selatan (Nisel) yang melibatkan Mantan Kepala
Dinas (Kadis) Kesehatan setempat, Rahmat Al Yakin Dachi. Pengadaan obat-obatan generik pada Dinas
Kesehatan (Dinkes) Nisel tahun 2007 dengan nilai kontrak Rp 3,7 miliar seharusnya melalui proses
lelang, namun terdakwa bersama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia Lelang
menetapkan PT Septa Sarianda sebagai rekanan melalui Penunjukan Langsung (PL), seolah-olah sebagai
pemenang lelang. Pihak panitia lelang tidak menetapkan daftar harga sesuai SK Menkes
No.521/Menkes/SK/IV/2007 tentang Harga Obat Generik sehingga dalam pengadaan 203 jenis obat
generik tersebut, PT Septa Sarianda melakukannya di atas harga resmi sebagaimana ditetapkan dalam
SK Menkes tersebut. Pihak Pemkab Nisel membayar pengadaan obat-obatan generik tersebut kepada P
Damanik sebesar Rp 3,2 miliar. Namun hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) Sumut menemukan kerugian negara (Pemkab Nisel) sebesar Rp 2,07 miliar.

Dalam perkara ini, penyidik menyita uang sebesar Rp 1,7 miliar yang tersimpan di rekening
Pemkab Nisel untuk negara. Terdakwa divonis satu tahun enam bulan (18 bulan) penjara karena
melanggar Pasal 3 dan Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tipikor Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terdakwa juga divonis untuk membayar denda senilai Rp 50 juta
subsider satu bulan kurungan.

Korupsi Skala Besar

Salah satu kasus korupsi skala besar pada tingkat pemerintah pusat adalah kasus korupsi alat
kesehatan pada Kemenko Kesra pada 2009 yang melibatkan terdakwa Sutedjo Yuwono. Soetedjo
Yuwono adalah Sekretaris ketika Aburizal Bakrie menjadi Menko Kesra. Kasus ini ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sarat dengan korupsi yakni penunjukan langsung proyek alat
kesehatan itu. PT Bersaudara adalah perusahaan yang menjadi rekanan pada proyek tersebut. Soetedjo
Yuwono didakwa melakukan korupsi dalam proyek pengadaan alat kesehatan untuk penanggulangan
wabah flu burung tahun 2006. Terdakwa melaksanakan pengadaan peralatan rumah sakit untuk
penanggulangan flu burung tahun anggaran 2006 pada Kemenko Kesra bertentangan dengan Keppres
tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

Perbuatan korupsi Sutedjo secara sendiri atau bersama-sama dengan orang lain yang
diantaranya adalah Ngatiyo Ngayoko (Pejabat Pembuat Komitmen Kemenko Kesra), Daan Ahmadi
(Direktur Utama PT Bersaudara) dan M Riza Husni (Direktur Keuangan PT Bersaudara). Soetedjo didakwa
dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dakwaan
subsider Pasal 3 UU yang sama. Terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatannya
selaku kuasa pengguna anggara DIPA APBN-P Kemenko Kesra tahun 2006.

Soetedjo telah memenangkan PT Bersaudara sebagai pelaksana proyek pengadaan dengan


metode penunjukan langsung. Proyek pengadaan alat kesehatan senilai Rp 98,6 miliar itu telah
mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp 36,2 miliar. Kerugian berasal dari
penggelembungan harga alat-alat kesehatan yang dibeli Kemenko Kesra. Pembayaran bersih yang
diterima PT Bersaudara untuk 2006 sebesar Rp 88,3 miliar. Dari pembayaran tersebut yang
dipergunakan oleh PT Bersaudara untuk realisasi pengadaan hanya sebesar Rp 48,054 miliar.

Pada kasus pengadaan alat kesehatan tahun 2007, KPK menetapkan seorang mantan pejabat di
Kementerian Kesehatan bernama Rustam Syarifuddin Pakaya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Penetapan Rustam sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan pengembangan kasus korupsi pengadaan
alat kesehatan untuk penanggulangan flu burung pada 2006. Akibat perbuatannya, Rustam dijerat Pasal
2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus korupsi tingkat pemerintah pusat lainnya yang ditangani Kejaksaan Agung adalah kasus
dugaan korupsi di Kementerian Kesehatan dalam pengadaan alat bantu belajar mengajar pendidikan
dokter/dokter spesialis di rumah sakit dengan nilai proyek Rp 417 miliar. Kasus korupsi pelaksanaan
pekerjaan pengadaan alat bantu belajar mengajar pendidikan dokter/dokter spesialis di rumah sakit
pendidikan dan rumah sakit rujukan pada Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia di Kemkes terjadi pada 2010. Ada 3 orang yang menjadi tersangka pada kasus tersebut
berdasarkan surat penetapan tersangka ditandatangani sejak 20 Oktober 2011 yakni Widianto Aim
(Ketua Panitia Pengadaan), Syamsul Bahri (Pejabat Pembuat Komitmen) dan Bantu Marpaung (Direktur
PT Buana Ramosari Gemilang). Syamsul berperan sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dan
Widianto sebagai ketua panitia pengadaan melakukan korupsi dengan pemenang tender, Bantu
Marpaung.

Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih yang saat ini masih menjaabt tak
lepas dari isu korupsi. Adalah Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) yang
melaporkan Endang dan Nazaruddin ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (16/6/2011)
atas dugaan korupsi Pengadaan Alat Bantu Belajar Mengajar (ABBM) Pendidikan dokter/dokter Spesialis
di Rumah Sakit (RS) Pendidikan dan RS Rujukan Tahun 2010 pada Kementerian Kesehatan. Proyek ini
berasal dari APBN Perubahan 2010 lalu yang diduga melibatkan para mafia anggaran di DPR yang diatur
oleh Muh Nazaruddin (anggota Fraksi Partai Demokrat) dan kawan-kawan. KP3I menganggap pengadaan
ABBM tersebut sarat rekayasa dan korupsi dengan potensi kerugian negara yang sangat besar.

Dampak Korupsi

Para pejabat korup pada sektor kesehatan telah mencederai upaya pembangunan kesehatan
yang oleh Notoatmodjo bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Notoadmodjo,
2010:53). Mengapa? Karena anggaran untuk membangun sektor kesehatan justru digunakan untuk
memperkaya diri dan kelompoknya dan mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan alat
kesehatan dan pelayanan kesehatan.

Dampak korupsi pada sektor kesehatan dapat mengakibatkan menurunnya derajat kesehatan
masyarakat yang berimbas pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator IPM seperti angka
kematian bayi dan angka harapan hidup sangat terkait dengan pendanaan sektor kesehatan. Apabila
terjadi korupsi pada sektor kesehatan, maka akan berimbas penurunan angka harapan hidup dan
menaikkan angka kematian bayi. Dampak korupsi lebih jauh adalah naik dan tingginya harga obat-
obatan dan rendahnya kualitas alat kesehatan pada rumah sakit dan puskesmas serta sarana kesehatan
masyarakat lainnya.

Terjadinya kasus-kasus korupsi pada sektor kesehatan yang melibatkan pejabat pada
kementerian kesehatan dan dinas kesehatan lokal menunjukkan rendahnya transparansi dan
akuntabilitas serta kepatuhan pada hukum. Besarnya diskresi atau kewenangan pejabat dan rendahnya
etika pejabat sektor kesehatan menyebabkan menguatnya dan meningkatnya kesempatan melakukan
praktek korupsi disektor kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai