Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
B. SKENARIO
1. SKENARIO
Bagian QC sedang merancang prosedur uji mutu disolusi terhadap produk jadi tablet teofilin
200 mg. Uji disolusi dilakukan tahap S1.
Untuk melengkapi dokumen tersebut, buatlah:
1. Prosedur penetapan kadar terdisolusi menggunakan spektrofotometer Uv Vis!
2. Prosedur uji disolusi sesuai ketentuan Farmakope Indonesia Edisi VI!
Kriteria penerimaan hasil uji disolusi sesuai ketentuan Farmakope Indonesia Edisi VI !
2. TEORI DASAR
Prinsip
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke
dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu
obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh.
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia
zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan
pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya
ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
(Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari
permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial
(Amir, 2007).
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan
utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat
aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang
terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi
media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses
pelarutan persatuan waktu.
Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun
1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai berikut :
Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya
suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara
konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu.
(Shargel, 1988).
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan
jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan di
sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat
menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum
difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat memberikan
kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara konkret.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien
difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan
ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk
obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat
aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat
aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya.
(Tjay, 2002)
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang tidak
teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun
umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang.
(Tjay, 2002)
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah
menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas,
dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan
obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan
ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat
bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan
dengan laju larut obat dalam tablet.
(Voigt, 1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet
melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung
dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu,
dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau
tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi.
(Voigt, 1995).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh
dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in
vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan,
melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian
pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya
biaya yang diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang
“nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia
yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in
vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk
mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor
formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi
bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji
disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro.
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan
dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis.
(Shargel, 1988)
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari
satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator
kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch”
satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan
melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang
sama dan dapat diulangi.
(Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan
sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang
dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya
ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat
aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi
(suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi
dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik.
(Voigt, 1995).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting
dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan
wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah
berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan
merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu
yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk .
(Voigt, 1995)
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana
tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada
tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan
difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi
sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu
kecepatan.
(Ansel, 1989).
C. ALAT DAN BAHAN
I. ALAT :
Dissolution tester
Spektrofotometer UV-Vis
Alat gelas
II. BAHAN :
Tablet teofilin 200 mg
Akuades
Teofilin (baku sekunder)
D. CARA KERJA
Pembuatan kurva baku teofilin
Larutan induk 2: diambil 1,0 mL larutan induk 1 kemudian ditambah akuades hingga 100
mL.
Penentuan λmak: 2,0 mL larutan induk 2 dimasukkan dalam labu takar 10,0 mL dan
ditambahkan akuades hingga 10 Ml
Pembuatan seri kadar: Larutan induk 2 diambil 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0; dan 8,0 mL,
masing-masing diencerkan dengan akuades hingga 5 mL. Seri larutan ini diukur serapannya
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum. Persamaan regresi linier
diperoleh dengan membuat plot antara kadar teofilin dengan serapan yang diperoleh.
Uji disolusi
Uji disolusi menggunakan alat disolusi model USP apparatus 2 dengan pengaduk dayung
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Serapan larutan sampel dibaca pada panjang gelombang 272 nm (panjang gelombang
maksimum).
Analisis Data
- Tentukan persamaan kurva baku teofilin!
- Tentukan parameter disolusi Q45!
- Tentukan keberterimaan hasil uji disolusi (Q45) tablet teofilin sesuai dengan
persyaratan disolusi di Farmakope Indonesia
E. LEMBAR KERJA
LEMBAR KERJA PRAKTIKUM FTS SOLID
GOLONGAN/KELOMPOK C2/E
Chart Title
0.9
0.8 y = 49.911x + 0.0475
R² = 0.9939
0.7
0.6
Axis Title
0.5
0.4 Series1
0.3 Linear (Series1)
0.2
0.1
0
0 0.005 0.01 0.015 0.02
Axis Title
= 0.00856 x 20 x 900
= 154/150 Mg X
100%
=102,67%
2 348 0,463 20 x = 0.00832 x 20 x 900
= 149/150 Mg X
100%
=99,33%
3 348 0,480 20 x = 0.00866 x 20 x 900
=155/150 Mg X
100%
=103,33%
4 349 0,485 20 x = 0.0087 x 20 x 900
= 156/150 Mg X
100%
=104%
5 349 0,45 20 x = 0.00806 x 20 x 900
= 145/150 Mg X
100%
=96,67%
6 349 0,500 20 x = 0.00906 x 20 x900
= 163,08/150 Mg X
100%
=108,72%
Tentukan jumlah terdisolusi teofilin menit ke-45 (Q45) pada masing-masing tablet!
0,475−0,0475
X1 = X 20
49.911
= 0.00856
0,463−0,0475
X2 = 49.911
= 0.00832
0,48−0,0475
X3 = 49.911
= 0.00866
0,485−0,0475
X4 = 49.911
= 0.0087
0,45−0,0475
X5 = 49.911
= 0.00806
0,5−0,0475
X6 =
49.911
= 0.00906
Presentasi Disolusi
0.154
% Disolusi = 𝑥
150
F. PEMBAHASAN
G.
Pada praktikum kali ini pada percobaan ke-5 mata praktikum formulasi dan
teknologi sediaan solida yang berjudul “Uji Disolusi Tablet Teofilin” bertujuan agar
mahasiswa mampu memahami prosedur uji disolusi sediaan tablet teofilin, Mahasiswa
mampu menentukan parameter disolusi berdasarkan hasil uji disolusi sediaan tablet teofilin ,
Mahasiswa mampu menentukan keberterimaan hasil uji disolusi tablet teofilin berdasarkan
persyaratan farmakope.
Disolusi adalah salah satu proses biofarmasetik yang harus dialami oleh suatu zat
aktif obat dalam tubuh pada saat obat digunakan dalam terapi. Tujuan dari proses disolusi
yitu untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan cairan
tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan obat ketika digunakan.
Prinsip disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan
padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan
suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut
sebelum diserap ke dalam tubuh.
Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu tablet
yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan dipecah, mengalami
disintegrasi menjadi granul-granul yangkecil yang terdiri dari zat-zat aktif dan zat-zat
tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan
larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung di mana tablet tersebut harus bekerja.
Dalam pengujian disolusi obat dilakukan secara in vitro. Dalam pengujian secara in
vitro dilakukan dengan menggunakan dua sasaran yaitu :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju
penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Shargel,
1988).
Uji disolusi secara in vitro memiliki banyak tujuan yang menguntungkan seperti :
a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam
model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan
suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat
disolusi dan absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu
untuk produk akhir.
d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk
sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat
aktif yang baru.
g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu
keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan
sistem (Ansel, 1989)
Pada praktikum kali ini kami menggunakan alat dan bahan seperti berikut. Alat yang
paling utama digunakan dalam pengujian disolusi yaitu dissolution tester. Dissolution tester
adalah Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan
yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang yang berbentuk
silinder dan dipanaskan dengan tangas air pada suhu 37 0C.
Bahan yang digunakan dalam praktikum uji disolusi ini yaitu tablet teofilin 200mg
yang akan dijadikan sebagai sampel yang akan diuji waktu disolusinya dan aquadest.
Aquadest digunakan sebagai media disolusi karena air merupakan cairan penyusun utama
dalam tubuh manusia, sehingga digunakan perumpamaan sebagai obat yang terdisolusi
didalam tubuh.
Pada praktikum kali ini yang pertama yang dilakukan dalam melakukan uji disolusi
yaitu pembuatan kurva baku teofilin. Pembuatan kurva baku teofilin dilakukan dengan cara
sebagai berikut membuat larutan induk 1 dengan mengambil 100 mg teofilin ditimbang
seksama, kemudian dilarutkan dalam 10 ml etanol, dan ditambah akuades hingga 50 mL.
selanjutnya yaitu dilanjutkan dengan membuat larutan induk 2 dengan cara mengambil 1,0
mL larutan induk 1 kemudian ditambah akuades hingga 100 mL.
Pada perhitungan serapan sampel disolusi dilakukan maka diperoleh hasil yang
didapatkan pada uji disolusi yaitu pada tablet ke-1 memiliki bobot sebesar 351 mg dengan
serapan yang diperoleh sebesar 0,475 ; pada tablet ke-2 memiliki bobot sebesar 348 mg
dengan serapan sebesar 0,463 ; pada tablet ke-3 memiliki bobot sebesar 348 mg dengan
serapan sebesar 0,480 ; pada tablet ke-4 memiliki bobot sebesar 349 mg dengan serapan yang
diperoleh sebesar 0,485 ; pada tablet ke-5 memiliki bobot sebesar 349 mg dengan serapan
yang diperoleh sebesar 0,45 ; pada tablet ke-6 memiliki bobot sebesar 349 mg dengan
serapan yang diperoleh sebesar 0,500.
Kemudian kita lanjut pada perhitungan % disolusi pada masing – masing ke enam
tablet tersebut. Sebelum menghitung % disolusi kami menghitung kadar pada masing masing
keenam tablet tersebut. pehitungan kadar dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi
linier yang telah didapatkan pada langkah sebelumnya. Perhitungan kadar dengan
𝑦−𝑎
menggunkan rumus X = 𝑏 . Selanjutnya diperoleh kadar pada tablet 1 = 0,00856 ; tablet 2 =
0,00832 ; tablet 3 = 0,0087 ; tablet 4 = 0,0087 ; tablet 5 = 0,00806 ; tablet 6 = 0,00906
Kemudian kita masuk untuk menghitung nilai Q pada masing-masing tablet. Harga
Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket.
Dalam menghitung nilai Q menggunakan factor pengenceran sebanyak 20 kali. Nilai Q
didapatkan dengan menggunakan rumus Q45 = X . Faktor Pengenceran . Volume Pelarut.
Nilai Q yang didapatkan pada tablet ke-1 yaitu 154,8mg ; pada tablet ke-2 yaitu 149 mg ;
pada tablet ke-3 yaitu 155 mg ; pada tablet ke-4 yaitu 156 mg ; pada tablet ke-5 yaitu 145 mg
; pada tablet ke-6 yaitu 163,08 mg.
Adapun faktor-faktor yng mempengaruhi uji disolusi suatu obat. Factor tersebut
meliputi :
1) Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
2) Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.
3) Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan
pipet volume.
4) Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.
5) Suhu yang dipakai tidak tepat.
H. KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini yang berjudul “Uji Disolusi Tablet Teofilin” bertujuan agar
mahasiswa mampu memahami prosedur uji disolusi sediaan tablet teofilin ; Mahasiswa
mampu menentukan parameter disolusi berdasarkan hasil uji disolusi sediaan tablet teofilin ;
Mahasiswa mampu menentukan keberterimaan hasil uji disolusi tablet teofilin berdasarkan
persyaratan farmakope.
Kesimpulannya :
1. Mahasiswa telah mampu memahami prosedur uji disolusi sediaan tablet teofilin ;
Mahasiswa mampu menentukan parameter disolusi berdasarkan hasil uji disolusi
sediaan tablet teofilin ; Mahasiswa mampu menentukan keberterimaan hasil uji
disolusi tablet teofilin berdasarkan persyaratan farmakope.
2. Dari ke 6 tablet yang kita uji diperoleh hasil uji disolusi nya setelah melakukan
beberpa tahap seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan diatas hasil nya Dari
hasil yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa nilai % disolusi dari tiap sampel
diatas 85% dan mendekati 100%, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil uji disolusi
dianggap baik dan masuk ke dalam kriteria hasil uji, karena menurut Farmakope
Indonesia Edisi VI, kriteria penerimaan uji disolusi tablet teofilin pada tiap sampel
unit sediaan tersebut yaitu memenuhi syarat karena tidak kurang dari 85%, dan hasil
dari semuanya atau semua tablet lebih dari 85% maka memenuhi syarat dan tidak
lanjut ke tahap selanjutnya untuk level s1 tidak kurang dari q+5% maka q nya 80%
+5 % maka 85%.
I. DAFTAR PUSTAKA
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru. Jakarta.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah
Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti Sjamsiah, Apt. Airlangga
University Press. Surabaya.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT. Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia:Jakarta