Anda di halaman 1dari 12

PERTEMUAN 9

HUBUNGAN KORBAN DENGAN KEJAHATAN

A. HUBUNGAN KORBAN DENGAN KEJAHATAN DAN PERADILAN


PIDANA
1. Hubungan Korban dengan Kejahatan
Pada umumnya dikatakan hubungan korban dengan kejahatan
adalah pihak yang menjadi korban sebagai akibat kejahatan.Tentu
ada asap pasti ada api. Pihak tersebut menjadi korban karena ada
pihak lain yang melakukan kejahatan. Memang demikianlah
pendapat yang kuat selama ini yang didukung fakta yang
ada,meskipun dalam praktik ada dinamika yang berkembang.
Uraian tersebut menegaskan yang bersangkutan sebagai
korban”murni”dari kejahatan.Artinya korban memang korban yang
sebenar-benarnya /senyatanya. Korban tidak bersalah hanya
semata-mata hanya sebagai korban. Mengapa menjadi
korban,kemungkinan penyebabnya;kealpaan,
ketidaktahuan,kurang hati-hati,kelemahan korban atau mungkin
kesialan korban.Dapat juga terjadi akibat kelalaian negara untuk
melindungi warganya.Perkembangan global,factor
ekonomi,politik,sosiologis,ataupun factor-faktor negatif yang
lain,memungkinkan adanya korban yang tidak “murni”.Disini korban
tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan,bahkan
sekaligus menjadi pelakunya.Lebih mendalam tentang masalah
ini.Hentig seperti dikutip ( Rena Yulia,2010:81) beranggapan
bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah:
a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh sikorban untuk
terjadi
b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan sikorban
untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar
c. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja
sama antara si pelaku dan si korban

44 | P a g e
d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bia
tidak ada provokasi si korban.

Selanjutnya hubungan korban dan pelaku dapat dilihat dari


tingkat kesalahannya. Menurut Mendelsohn (ibid:80), berdasarkan
derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 (lima) macam,yaitu

a. Yang sama sekali tidak bersalah


b. Yang jadi korban karena kelalaiannya
c. Yang sama salahnya dengan pelaku
d. Yang lebih bersalah daripada pelaku
e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini
pelaku dibebaskan)

Sejenis hubungan ini atau hubungan orang-orang dekat pelaku


ataupun korban seperti teman,sahabat,pacar,rekan bisnis dan
sebagainya.Ada lagi hubungan berdasarkan hubungan dengan
sasaran tindakan pelaku ( G.widiartana,2009:22), yaitu sebagai berikut
:

a. Korban langsung, yaitu mereka yang secara langsung


menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku
b. Koraban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak
secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku,tetapi
juga mengalami penderitaan atau nestapa. Pada kasus
pembunuhan damenghidupi istri dan anak-
anaknya,meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban
langsung.Sedangkan istri dan anaknya itu merupakan
korban tidak langsung.

Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar korban merupakan


korban yang murni atau senyatanya.Korban-korban dimaksud terjadi
dalam tindak pidana misalnya terorisme,pencurilaian ( biasa
pemberatan dan kekerasan), dan tindak pidana lain yang sering terjadi
dimasyarakat. Korban disin dalam posisi pasif tidak menjadi factor-
faktor penyebab terjadinya tindak pidana. Pihak pelaku yang
menghendaki penuh kejahatannya dan korban yang menjadi sasaran

45 | P a g e
atau tujuan kejahatan tersebut. Menurut Mendelsohn, derajat
kesalahan korban adalah “yang sama sekali tindak bersalah.”

Kehidupan banyak dinamika antara korban dan kejahtan,akibat


dorongan ekonomi,politis dan psikis. Idealnya selalu berkurang jumlah
korban dan pelaku.Jika terjadi semakin bertambah korban, maka yang
terpenting adalah pemberian hak dan perlindungan terhadap korban
semaksimal mungkin.Demikian pula bila pelaku bertambah, hendaklah
diperlakukan sesuai hak-haknya.Selanjutnya bila menjadi terpidana
atau narapidana hendaknya diterapkan system pemasyrakatan. Juga
tidak kalah pentingnya bagi pelaku untuk dapat memberi ganti kerugian
atau restitusi kepada korban.

Diluar itu,ada kondisi tertentu di antara korban dan


pelaku.Dalam hal ini”hubungan korban dan pelaku merupakan dwi
tunggal”( Romli Atmasasmita,1992:7).Lebih lanjut dinyatakan
bahwa”korban dan pelaku adalah tunggal atau satu,dalam pengertian
bahwa pelaku adalah korban dan korban pemakai atau drug
users.Jenis pelanggaran hukum tersebut tidak dapat membedakan
secara tegas antara siapa korban dan siapa pelaku.

2. Hubungan Korban dengan Peradilan Pidana


a. Sebagai korban
Bila sebagai korban, hak-haknya tercantum di dalam
KUHAP dan Perundang-undangan lain.Rincian hak-hak dan
mekanisme perlindungan dapat disimak pada uraian Bab 4
buku ini. Korban bukan bagian yang terpisahkan dalam
proses peradilan pidana. Kenyataannya perhaatian terhadap
korban sebelum era reformasi sangat kecil ( minimal ).
Sesudah reformasi bermunculan perundang-undangan yang
mengatur hak-hak dan perlindungan korban.
Pada saat ini secara formal hak,perlindungan dan
mekanisme sudah diatur. Namun yang lebih penting adalah
aplikasi dan implementasinya. Untuk mewujudkan secara

46 | P a g e
proporsional,profession dan akuntabel, diperlukan
keseriusan para pihak berikut :
1) Korban
Tidak dapat disangkal bahwa korban mengetahui
hak-haknya dan tata cara memperoleh pemenuhan
hak tersebut. Untuk itu pemahaman terhadap
ketentuan yang berlaku mutlak diperlukan. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah sosialisasi oleh
pihak-pihak terkait proses perlindungan korban
sendiri. Setelah mengetahui hak-hak tersebut, yang
lebih penting lagi adalah keberanian untuk
mengajukan permohonan. Tanpa ada kemauan dan
keberanian, pasti akan sia-sia meskipun hal-hal
tersebut sudah diatur dan ada lembaga yang
bertanggung jawab.Selain korban,perlu diberdayakan
kepedulian dan kesadaran hokum dari pihak yang
keluarga atau ahli warisnya.Mengenai yang dimaksud
keluarga adalah”orang yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus keatas kebawah dan garis
ketiga, menyamping sampai derajat ketiga, atau yang
mempunyai hubungan perkawinan atau orang yang
menjadi tanggungan saksi dan/atau korban.” (Pasal 1
butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 )
2) LPSKyang berlaku mutlak diperlukan.
Menurut Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2008. LPSK adalah lembaga yang bertugas
dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan
hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan
Korban.Uraian LPSK dan kaitan dengan tugas
wewenang dan prosedur perlindungan dapat disimak
pada Bab 4 buku ini.
3) Penegak Hukum
47 | P a g e
Penyidik Polri,Jaksa Penuntut Umum,Jaksa Agung,
Hakim dan Pengadilan sangat berperan dalam
pemenuhan hak dan perlindungan korban dan/atau
saksi. Tugas dan tanggung jawab penegak hokum,
selain berdasarkan masing-masing ketentuan
lembaga penegak hokum serta KUHAP,juga
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 tahun
2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2008. Keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab dapat diraih melalui kerjasama terutama
dengan LPSK. Komitmen yang kuat untuk
melaksanakan semua ketentuan yang ada sangat
diharapkan masyarakat. Memang hal itu harus
dilakukan sesuai cita profesi,sumpah jabatan dan
perintah undang-undang.
4) Masyarakat
Masyarakat dalam arti luas termasuk LSM,
mempunyai peran yang tidak kecil, antara lain ikut
mendorong terpenuhinya hak dan perlindungan
korban dan/atau saksi. Melalui sosialisasi dapat
meningkatkan pemahaman dan kesadaran hokum
korban.Demikian pula masyarakat berperan
mengawasi dan mengawal terselenggaranya
perlindungan secara objektif,transparan dan
akuntabel

b. Korban sebagai saksi


Korban adakalnya bertindak atau dijadika sebagai saksi di
pengadilan.Saksi demikian biasanya merupakan saksi yang
memberikan ( a charge ), yang menguatkan tuntutan dan
putusan pengadilan. Pengertian saksi menurut Pasal 1
angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
adalah :

48 | P a g e
“ Orang yang dapat memberikan keteranga guna
kepentingan penyelidikan,penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia
alami sendiri”
Adapun sesuai Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah :
“Orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiiri, ia lihat, dan ia
alami sendiri.”
Rumusan pengertian saksi di atas sepintas terlihat sama,
namun apabila disim, sepertak terdapat perbedaan di antara
keduanya, seperti :
1) Disebutkannya memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan ( Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2008 ), sedangkan KUHAP tidak menyebutkan
2) Pemeriksaan di siding pengadilan ( Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 ), sedangkan KUHAP
menyebutkan Peradilan
3) Dan/atau ia mengalami sendiri ( Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 ), KUHAP hanya menyebut dan
ia alami sendiri.

Tentang hak,kewajiban dan perlindungan saksi telah


tercantum dalam perundang-undangan yang terkait
dengan perlindungan saksi dan korban ( lihat uraian Bab
4 buku ini ). Selain itu KUHAP mengatur perihal saksi
demikian yang pada intinya :
1) Yang pertama –tama di dengar keterangan adalah
korban yang menjadi saksi ( Pasal 160 ayat (1) b )
2) Tidak boleh diajukan pertanyaan yang menjerat
kepada terdakwa maupun saksi ( Pasal 166 )
3) Saksi dapat mengundurkan diri sebagai saksi ( Pasal
168 KUHAP) apabila :
49 | P a g e
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis
lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan
karena perkawinan dan anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga
4) Boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa
sumpah ( Pasal 171 ) ialah :
a) Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan
belum pernah kawin
b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
kadang-kadang ingatannya baik kembali.
5) Hakim Ketua Sidang dapat mendengar keterangan
saksi tanpa hadirnya terdakwa ( vide Pasal 173 )
Korban yang menjadi saksi atau saksi korban
didengar keterangannnya lebih dahulu ( pertama-
tama ), hal ini penting karena :
1) Saksi Korban adalah saksi utama yang dapat
menjelaskan permasalahan yang sebenar-
benarnya. Saksi ini dapat juga disebut sebagi
saksi mahkota ( kroen getuide )
2) Sebagai saksi korban tentu tidak berlebihan dan
wajar untuk memberi keterangan lebih awal, agar
tidak direpotkan dan tidak terpengaruh dengan
keterangan saksi lain.
3) Sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan
hak korban.Bahkan dimungkinkan untuk tidak
memberikan kesaksian di
persidangan,kesaksiannya dapat dibacakan dari
BAP yang ada ( vide Pasal 162 KUHAP dan

50 | P a g e
Undang-undang Nomor 13 tahun 2006, Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 )

KUHAP memberi jalan bagi korban ( menjadi saksi )


untuk mengajaukan tuntutan ganti kerugian ( Pasal
98 ayat (1) ), yaitu :

1) Sebelum penuntut umum mengajukan requisitor


2) Selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan dalam hal penuntut umum tidak hadir

c. Korban sebagai Tersangka atau Terdakwa


Adakalnya korban juga dapat menjadi tersangka ataupun
sebagai korban dan juga sebagai terdakwa. Untuk
menjelaskan perihal iini kiranya dapat dipaparkan sebagai
beerikut :
1) Korban dan pelaku adalah tunggal
2) Pelaku berpura-pura sebagai korban dalam kasus
demikian dapat terjadi pelaku tunggal ataupun
penyertaan dan bantuan ( Pasal 55 atau Pasal 56
KUHP) pelaku lebh dari1 orang
3) Pelaku kejahatan karena hasil rekayasa
a) Penegak hokum
b) Pihak-pihak tertentu termasuk penguasa dengan
laporan atau pengaduan yang tidak benar kepada
penegak hokum
4) Pelaku kejahatan karena salah tangkap dan proses
hokum lain, sehingga menjadi korban kesewenangan
ataupun ketidak profesionaan penegak hukum.

Kasus hukum yang menarikhal dimuka, adalah permohonan uji materi


kepada Mahkamah Konstitusi ( MK ) oleh Komjen SD.Permohonan uji
materi ini terkait ketentuan Pasal10 ayat (2) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2006, dimana Komjen SD mersaa sebagai saksi(pelapor ) tetapi
ditetapkan juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat

51 | P a g e
dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah
dan menyakinkan bersalah,tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan.”,25 September 2010),antara lain sebagai berikut :

“Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait dengan


Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Lembaga
PerlindunganSaksi dan Korban yang diajukan mantan Kepala Badan
Resersedan Kriminal Kepolisian Negara RI.Komjen SD.MK menilai
tidak ada persoalan konstitusionalitasnorma dalam Pasal 10 ayat
(2)undang-undang itu yang dipersoalkan SD. Hal ini adalah pilihan,
kebijakan hokum yang diambil pembentuk undang-undang Putusa MK
itu dibacakan dalam siding yang dipimpin Ketua MK Mahfud M.D,
jumat (24/9) di Jakarta.

SD menyoal Pasal 10 ayat (2) Undang-undang LPSK,MK menolak


empat dalil yang dikemukakan SD dan kuasa hukumnya.Dalil tersebut
diantaranya ketentuan itu hak dinilai bertentangan dengan prinsip
partisipasi dalam Pemerintahan,kepastian hokum yang
adil,menghilangkan hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ketakutan, serta membatasi hak dengan asasi manusia dengan
mencegah orang melakukan tuntutan yang adil.Menurut MK,Pasal10
ayat(2) mengandung makna, negara tidak mengabaikan terhadap
partisipasiwarga yang berkontribusi dalam pengungkapan kasus
pidana. Negara memberikan penghargaan berupa pengurangan
hukuman.

Mk juga menilai pasal itu memberikan perlindungan hokum untuk


saksi,korban dan pelapor.

Dalil lain dari SD dan kuasa hukumnya juga tidak diterima MK Pasal itu
dinilai tidak menyebabkan hilangnya rasa aman dan ancaman
ketakutan.Sebuah kewajaran berdasar keadilan jika saksi yang juga
tersangka tetap dituntut. Kesaksian tidak menghapus tanggung jawab
pidana.”

52 | P a g e
Biasanya penegak hukum kurang saksama menangani kasus
atau tidak professional,kemungkinan rekayasa juga ada.Ada yang
berbeda dengan poin 3) terhadap poin 4) ini dilakukan penegak hokum
kemungkinan besar tidak sengaja.Selain perundang-undangan
perlindungan saksi dan korban,ketentuan Pasal 9 undang-undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dijadikan
acuan,pada pokoknya mengatur:

1) Setiap orang yang ditangkap,ditahan,dituntut/diadili tanpa alasan


berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkannya,berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitasi.
2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan
tersebut,dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian,
rehabilitasi dan pembayaran ganti kerugian diatur dalam undang-
undang.

Sesungguhnya yang diatur dalam Undang-undang Nomor 48 tahun


2009 diatas, bila disimak sudah ada sejak Undang-undang Nomor
14 tahun 1970,Undang-undang Nomor 35 tahun 1999,Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 48 tahun
2009.Meskipun kehadiran ketentuan tersebut sudah lama,ternyata
penerapannya yang tidak ada.Kenyataan ini mungkin disebabkan
memmang tidak ada kasus atau tidak ada pelanggaran.Mungkin
saja ada, namun korban tidak melapor juga tidak ada tindak lanjut
atau kecil responnya.Kasus salah tangkap dan seterusnya tersebut
yang terkenal adalah kasus Senkon dan Karta beberapa puluh
tahun lalu di Bekasi.

Berikutnya juga ada ditempat lain yang menimpa orang/pihak-


pihak tertentu. Bahkan rekayasaitu masih terjadi sampai
sekarang,misalnya kasus narkotika,pencurian dan sebagainay.
Berkaitan dengan rekayasakasus juga diakui oleh Kepala

53 | P a g e
Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya.Dinyatakan oleh Kapolda
Metro Jakarta Raya (Koran Tempo,24 November2010):

“Para reserse di seluruh jajaran Kepolisian di Ibukota diingatkan


untuk menegakkan hokum diatas relnya.Berangkatdari kasus suap
oleh Gayus Halomoan Tambunan, kepada para polisi di
RumahTahanan Markas Komando Brimob,Depok,mereka diminta
tidak coba-coba merekayasa kasus.Tidak ada lagi rekayasa
kasus,tidak ada lagi main-main dengan aturan kemudian
membelokkan kasus.”

Fakta diatas tidak hanya diPori,tetapi terjadi pula pada Jaksa


dan Hakim ( tertentu ),khususnya berkaitan dengan kasus Gayus
Halomoan Tambunan.Hal itu sebagaimana pernyataan ( kompas,23
November 2010 ) yang berbunyi antara lain :

“kami lanjut Marwan selain mendapat sanksi administrative,Jaksal


yag terindikasi melakukan tindak pidana juga akan diproses secara
hokum.Langkah itu telah dimulai dengan adanya sejumlah jaksa
yang diserahkan kepada Polisi,yang diduga memeras dan diduga
memalsukan rencana tuntutan saat menangani perkara korupsi
dengan terdakwa mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak,Gayus
Halomoan Tambunan,yang diadili di Pengadilan Negeri
Tangerang.”

Apbila terjadi rekayasa atau penyimpangan seperti diatas,yang


menjadi korban adalah masyarakat,bangsa dan negara.Bahkan
bukan hanya kerugian materii, tetapi juga immaterii. Diantaranya
adalah rusaknya moral/mental penegak hokum,runtuhnya
kepercayaan public, dan kerugian immaterii lainnya yang
pemulihannya memerlukan energy,komitmen dan waktuyang
sangat lama.

Menyikapi hal demikian,sangat tepat apabila komitmen yang


jelas dan tegas. Ketegasan pembinaan dan pengawasan bahkan
penghukuman tanpa pandang bulu kepada penegak hokum yang
melaksanakan perbuatan tercela atau tindak pidana. Upaya itu

54 | P a g e
dibarengi dengan reformasi birokrasi,yang sedikitnya dibidang
organisasi,manajemen,tata laksana,dan sumber daya manusia
penegak hukum.

SOAL DAN TUGAS :


1. APA TERMINOLOGI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA ?
2. APA HUBUNGANNYA KORBAN DENGAN PERADILAN
PIDANA ?
3. APA HUBUNGANNYA KORBAN DENGAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) ?
4. KENAPA KORBAN DAN SAKSI HARUS DILINDUNGI ?
5. BAGAIMANA PENEGAKAN KEADILAN DALAM KASUS
PIDANA ?
6. APAKAH SAUDARA PERNAH MERASAKAN MENJADI
KORBAN KEJAHATAN PIDANA ? DAN BAGAIMANA
PERSPEKTIF SAUDARA MENGENAI HAL TERSEBUT ?
7. APA MAKNA DAN FUNGSI LPSK DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI ?
8. TERANGKAN KASUS-KASUS YANG TERKAIT DENGAN
LPSK ?

55 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai