Anda di halaman 1dari 6

Pembangunan Ekonomi Inklusif Dan Reduksi

Ketimpangan
 
I. Pendahuluan
Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi antar individu maupun
wilayah saat ini masih dialami oleh Indonesia dan  negara-negara lain di dunia. Fenomena
kemiskinan dan ketidakadilan global ditunjukkan dengan adanya 20% populasi dunia yang
mampu menikmati lebih dari 70% pendapatan dunia, atau dengan kata lain sebanyak 80%
populasi dunia hanya mampu menikmati kurang dari 30% pendapatan dunia. Oxfam (2017)
dalam hasil surveinya menyebutkan bahwa meski terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup
baik di Indonesia, namun pertumbuhan ekonomi tersebut tidak mampu mengurangi
ketimpangan. Meskipun dalam satu tahun terakhir secara umum terjadi penurunan
ketimpangan, namun fenomena ketimpangan tersebut masih terjadi hampir merata di seluruh
Indonesia. DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Gorontalo, dan Papua adalah contoh dari wilayah di
Indonesia yang memiliki ketimpangan tertinggi dengan nilai indeks Gini ratio mencapai
sekitar 0,43.
Kemiskinan dan ketimpangan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam
kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Biasanya daerah yang memiliki sumber daya
dan faktor produksi akan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
lain yang tidak memiliki. Todaro (2003) berpendapat bahwa ketimpangan yang ekstrim akan
menimbulkan berbagai dampak antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial
dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil.
Pemerintah menginginkan agar masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi segera
terselesaikan agar tidak merembet ke masalah sosial dan stabilitas nasional. Berbagai
kebijakan telah diterapkan oleh Pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah
satu langkah yang ditempuh adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi agar terus
meningkat sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pemerintah memberikan berbagai dorongan
(stimulus) agar kegiatan perekonomian semakin bertambah sehingga menciptakan
penambahan produksi barang dan jasa oleh masyarakat. Hal ini selanjutnya diharapkan akan
berdampak terhadap penambahan kesempatan kerja yang akan berakibat pada meningkatnya
pendapatan per kapita masyarakat. 
Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa pertumbuhan saja belum cukup untuk
menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Hal ini disebabkan karena
pertumbuhan ekonomi biasanya hanya mementingkan pertumbuhan Gross Domestic
Product (GDP) suatu negara tetapi kurang memerhatikan masalah penyerapan tenaga kerja,
pengurangan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang
terjadi justru menambah jumlah penduduk miskin dan memperlebar ketimpangan pendapatan
antar individu. Menurut Eric Maskin (penerima penghargaan Nobel Ekonomi, 2007)
mengukur hasil pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi semata akan meniadakan
terjadinya pemerataan dalam masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan.  
II. Ekonomi Inklusif
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak yang terjebak dalam
ekonomi ekslusif yaitu keinginan untuk mengejar taraf perekonomian negara-negara maju
dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama dengan memacu
pertumbuhan ekonomi sektor sekunder (industri manufaktur) dan tersier (industri jasa).
Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi tetapi
hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Disisi lain yakni di sektor primer, terutama sektor
pertanian, kurang mendapatkan perhatian padahal sektor tersebut banyak sekali menyerap
tenaga kerja. Akibatnya terjadilah ketimpangan pendapatan antar penduduk yang bekerja
pada sektor pertanian dengan sektor manufaktur dan jasa. Hal ini terbukti dengan data
pertumbuhan ekonomi dari BPS pada tahun 2011 sebesar 6,2% menjadi 5,0%  pada tahun
2016, sedang Indeks Gini tetap berada pada kisaran 0,41 sampai dengan awal tahun 2016.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak secara
otomatis mereduksi ketimpangan ekonomi sosial. Demikian juga apabila dilihat dari
konstribusi pertumbuhan ekonomi juga masih menunjukkan adanya ketimpangan. Kontribusi
PDB Jawa dan Sumatera sebesar 80,4% (2016) sedangkan wilayah lainnya yaitu Kalimantan
(7,7%), Sulawesi (6,2%), Papua (2,5%) dan Bali Nusa Tenggara (3,5%). Dari data tersebut
tampak sekali adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun namun kondisi
tersebut juga dibarengi dengan peningkatan kesenjangan kekayaan antarpenduduk,
peningkatan Indeks Gini dan pengurangan kesenjangan antar wilayah. Dampak dari kondisi
tersebut masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin tertinggal jauh oleh masyarakat
kelas menengah dan atas.
Menurut Prof. Roemer, tingginya ketimpangan (ataupun tren perubahannya) dalam
masyarakat dapat disebabkan oleh: 1). Ketimpangan dalam usaha,  kerja keras,
dan talent individu; 2). Ketimpangan dalam opportunity (kesempatan); dan 3). Kebijakan. 
Berdasarkan pernyataan diatas perlu digaris bawahi bahwa upaya mengatasi ketimpangan
lebih diutamakan untuk mengatasi ketimpangan kesempatan dalam berusaha, bukan
mengatasi ketimpangan dalam memperoleh pendapatan (outcome) dan konsumsi.
Pemerintah sejatinya telah mengusahakan agar ekonomi Indonesia tidak hanya
tumbuh dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang
ekspansif diharapkan menjadi pendorong pembangunan inklusif yaitu pembangunan ekonomi
yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan dan
kesenjangan. Presiden RI ke 6 dalam Regional Meeting and Stakedolder Consultation on
the Post-2015 De velopment Agenda yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali Desember 2012
yang lalu, menyampaikan pendapat bahwa Indonesia dan negara-negara lain harus
menjalankan 'Pembangunan Inklusif' agar dunia berhasil dalam mengurangi kemiskinan dan
ketidakadilan global. Beliau juga menyebutkan bahwa pembangunan inklusif adalah
pembangunan yang berkualitas, yaitu pembangunan yang memperhitungkan pertumbuhan
(pro-growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan
memperhatikan lingkungan (pro-environment).
III. Ekonomi Inklusif untuk Mereduksi Ketimpangan
Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan ekonomi inklusif di
Indonesia, dengan berbagai kebijakan yang mendukung berkembangnya ekonomi inklusif. 
Kementerian Keuangan sebagai bagian dari pemerintah dan pengelola keuangan negara
mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengarahkan berbagai kebijakan fiskal yang
mendukung ekonomi inklusif. Sebagaimana disebutkan oleh Musgrave and Musgrave (1989),
peran keuangan negara mencakup fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi-fungsi
tersebut selanjutnya diimplementasikan dalam berbagai kebijakan fiskal. Sebagai contoh:
pemerintah dapat menggunakan fungsi distribusi untuk mengarahkan pendapatan pajak yang
dipungut dari orang-orang mampu sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin.
Melalui kebijakan fiskal, pemerintah dapat memastikan bahwa anggaran negara
dialokasikan lebih maksimum untuk mengatasi ketimpangan dalam memperoleh kesempatan
pada sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini bertujuan agar semua warga negara, tanpa
dibatasi oleh status sosial ekonomi dan letak geografi, dapat memperoleh kesamaan
kesempatan dalam bidang pendidikan dan layanan kesehatan. Dampak selanjutnya yang
diharapkan adalah terjadinya peningkatan pembangungan manusia Indonesia secara merata.
United Nation Development Program (UNDP) memantau pembangunan manusia setiap
negara dengan menerbitkan Human Development Index (HDI) untuk mengatagorikan setiap
negara menjadi negara terbelakang, berkembang, dan maju. Dalam penilaian tahun 2014,
Indonesia menduduki peringkat 108 dari 187 negara dan dikategorikan negara berkembang.
Di kawasan ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan
Thailand. Dengan pembangunan ekonomi inklusif terutama pada sektor kesehatan dan
pendidikan diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekaligus indeks
pembangunan manusia.
Arah kebijakan fiskal lainnya mereduksi ketimpangan adalah mengarusutamakan
pembangunan infrastruktur. Dalam APBN 2017 pemerintah telah menganggarkan Rp346,6
triliun untuk pembangunan infrastruktur. Nilai ini jauh lebih besar dari anggaran tahun-tahun
sebelumnya. Sebagaimana diketahui infrastruktur sangat bermanfaat bagi pertumbuhan
ekonomi terutama dalam menciptakan konektifitas antar daerah dan mempermudah aktivitas
perekonomian. Infrastruktur yang tersedia dengan baik akan membuka kesempatan bagi
semua lapisan masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi. Selain itu, proses
pembangunan infrastruktur memerlukan banyak tenaga kerja dan membuka lapangan usaha
baru yang menunjang pembangunan infrastruktur tersebut, sehingga dapat mengangkat taraf
kehidupan masyarakat. Infrastruktur yang memadai juga akan menjadi penarik investasi yang
bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebagai negara agraris, saat ini sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih diserap
oleh sektor pertanian. Menurut data BPS, pada tahun 2014 jumlah tenaga kerja sektor
pertanian mencapai 35,54 juta orang. Sektor ini merupakan penyerap tenaga kerja terbesar
dengan persentase dari seluruh tenaga kerja mencapai 34,55%. Bila disandingkan dengan
data kemiskinan pada tahun yang sama, maka sebanyak 17,7 juta orang adalah penduduk
miskin yang tinggal di desa dan kemungkinan besar adalah para petani. Berdasarkan data-
data di atas maka selayaknya bila pemerintah mengarahkan kebijakan anggarannya agar lebih
berpihak kepada sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian tentu bukan hanya
menbangun infrastrukturnya saja seperti waduk dan saluran irigasi. Namun perlu juga
dibangun SDM sektor pertanian, agar sektor pertanian terus mengalami inovasi produk.
Membangun sektor pertanian secara intensif berarti telah mendukung pembangunan ekonomi
inklusif. Selain itu, membangun sektor pertanian juga mendukung ketahanan pangan
nasional.
Negara Berkembang Dorong Pertumbuhan Ekonomi Global 2018

Perekonomian dunia dipekirakan akan tumbuh 3,1 persen pada 2018, sedikit
lebih tinggi dari 3 persen tahun lalau dan menandai tahun pertama sejak Resesi Besar
2008 bahwa ekonomi dunia akan mencapai potensi pertumbuhan secara penuh, Bank
Dunia mengatakan dalam laporan rutin.
Dalam laporan ekonomi yang dirilis dua kali dalam setahun, Bank Dunia
memperingatkan bahwa kemajuan ekonomi tahun ini hanya sementara, kecuali para
pemerintah mengadopsi kebijakan yang berfokus pada peningkatan partisipasi tenaga
kerja.
Laju pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan moderat menjadi 3 persen pada 2019
dan 2,9 persen pada 2020, menurut laporan tersebut.Pertumbuhan akan lebih banyak
didorong oleh perekonomian negara berkembang, khususnya negara-negara
pengekspor komoditi. Laju pertumbuhan ekonomi untuk kelompok negara ini akan
naik menjadi 4,5 persen pada 2018 dan rata-rata 4,7 persen pada 2019 dan 2020, kata
Bank Dunia.
Sebaliknya, pertumbuhan di negara-negara maju diproyeksikan akan melambat
menjadi 2,2 persen pada 2018, dari 2,3 persen tahun lalu karena bank sentral di
negara-negara tersebut akan bertahap mencabut bantuan setelah masa krisis dan
investasi mulai melandai.
“Dalam jangka panjang, penurunan potensi pertumbuhan – cara untuk mengukur
seberapa cepat ekonomi bisa berkembang ketika tenaga kerja dan modal dikerahkan
penuh – mengancam keuntungan untuk meningkatkan standar hidup dan mengurangi
kemiskinan di seluruh dunia,” Bank Dunia mengatakan dalam Prospek Ekonomi
Global Januari 2018.
Kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, menurut Bank Dunia,
adalah Asia Timur dan kawasan Pasifik, dengan ekonomi China diharapkan tumbuh
6,4 persen tahun ini, sebelum melambat menjadi 6,3 persen tahun depan.
Pertumbuhan PDB India diharapkan mencapai 7,3 persen 2018, sebelum
sedikit menguat di 2019/2020 menjadi 7,5 persen, kata Bank Dunia.
Di negara-negara yang lebih miskin di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah
dan Asia, pertumbuhan ekonomi diharapkan akan mencapai 5,4 persen pada 2018,
karena harga komoditi menguat, walau tidak sekuat proyeksi sebelumnya.
Bank Dunia memperkirakan harga minyak dunia akan berkisar 58 dolar per barel
2018, merangkak naik menjadi 59 dolar per barel 2019.
Ini Penyebab Pertumbuhan Investasi Kuartal II 2018 Melambat

Liputan6.com, Jakarta - Aliran investasi yang masuk ke Indonesia pada kuartal ke II 2018
hanya tumbuh 5,87 persen. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan kuartal ke I 2018
yang sebesar 7,95 persen.

Melambatnya laju investasi ini dikatakan Institude for Development of Economic and
Finance (Indef) karena masih ragunya investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia

Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan, banyak pihak yang mensinyalir melambatnya
pertumbuhan investasi ini dikarenakan tahun politik yang sedang dihadapi Indonesia. Namun,
sebenarnya bukan sepenuhnya karena hal itu.

"Jadi ada beberapa hambatan bagi investor itu. Pertama terbesar itu perizinan, kedua soal
suku bunga dan ke tiga mengenai kondisi infrastruktur," kata Enny di kantornya, Rabu
(8/8/2018).

Menurunnya investasi tersebut merupakan indikasi awal respons dunia usaha mengenai
kebijakan pemerintah. Apalagi dari Indeks Tendensi Bisnis (ITB) yang dikeluarkan Bank
Indonesia untuk kuartal III 2018 mengalami penurunan jika dibandigkan ITB kuartal II, yaitu
dari 112,82 menjadi 106,05.

Terbukti, ditegaskan Enny, pertumbuhan lima sektor industri prioritas pemerintah seperti
industri makanan dan minuman, indistri otomotif serta tekstil dan pakaian jadi turun jika
dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

"Jadi masalahnya itu pemerintah harus lebih menekanka lebih kepada pemrintah daerah
mengenain deregulasi ini. Ini harus bener-bener dijalankan sampai ke daerah, sehingga
realisasi investasi itu cepa," paparnya.

Dilihat dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebenarnya banyak investor
yang tertarik menanamkan modalnya. Namun begitu menghadapi perizinan, invetsasi mereka
menjadi tertunda. 

RI Perlu Dongkrak Investasi dan Belanja Pemerintah

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi kuartal II 2018


sebesar 5,27 persen. Angka ini turut berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi semester I
2018 sebesar 5,17 persen.

Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto mengatakan, pencapaian pertumbuhan ini cukup bagus
mengingat pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2018. 

Namun demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar pertumbuhan ekonomi pada
kuartal selanjutnya dapat ditingkatkan. Pertama, belanja pemerintah harus digalakkan
sehingga tidak menumpuk di kuartal IV. 
"Kita semua pasti berharap angka 5,27 persen itu tercapai di triwulan selanjutnya. Tentunya
untuk menjaga ke sana seperti saya sampaikan inflasi terkendali sehingga konsumsi rumah
tangga masih bagus," ujar Suhariyanto pada Senin 6 Agustus 2018. 

"Realisasi pencairan atau serapan dari konsumsi belanja pemerintah harus terus digalakkan,
jangan numpuk di triwulan keempat. Tapi, perlu menyebar rata dari triwulan satu hingga
triwulan keempat," tambah dia.

Selain belanja, sektor lain yang harus digenjot oleh pemerintah untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yaitu meningkatkan investasi. Sebab, pada kuartal II 2018, investasi
hanya mencapai 5,87 persen secara year on year (yoy).

"Untuk menggerakkan investasi kita harus memberi kepercayaan kepada investor bahwa
ekonomi kita tumbuh bagus, situasi politik juga stabil dan tentunya kita tetap menjaga
kesatuan supaya tidak ada isu-isu miring,” ujar dia.

"Kemarin OSS (online single submission) merupakan terobosan supaya investor bisa
mendapatkan izin lebih mudah. Itu tujuan ke sana," tambah Kecuk. 

Sementara itu, faktor yang perlu diwaspadai ke depan ialah ketergantungan Indonesia
terhadap impor. Nilai impor Indonesia secara kumulatif periode Januari-Juni 2018 mencapai
USD 89,04 miliar atau naik 23,10 persen dari Januari-Juni 2017. 

"Kita lihat lagi iramanya, karena salah satu kendala kita waspadai adalah kenaikan impor
yang lebih tinggi. Di manapun kalau impornya lebih tinggi jadi faktor pengurang dan agak
mengerek ke bawah dan itu perlu menjadi perhatian," ujar dia.

Anda mungkin juga menyukai