Anda di halaman 1dari 66

PENGELOLAAN REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN DI

RUMAH SAKIT

Tinjauan Terhadap Manajemen Unit Kerja, Hukum Kesehatan dan

Pengkodean sistem Genitourinari, Reproduksi dan Neoplasma

LAPORAN PRAKTIK LAPANGAN


SEMESTER IV TAHUN AKADEMIK 2019/2020

Disusun Oleh :
KELOMPOK 25
1. Siti Nurhayati 180205133
2. Sri Atun Amba Wani 180205134
3. Tika Novianti 180205135
4. Tristianti Nur Khasanah 180205136
5. Uki Diah hafira 180205137

PRODI D3 REKAM MEDIK DAN INFORMASI KESEHATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DUTA BANGSA (UDB)
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Siti Nurhayati 180205133


Sri Atun Amba Wani 180205134
Tika Novianti 180205135
Tristianti Nur Khasanah 180205136
Uki Diah hafira 180205137

Mata Kuliah : Praktik Lapangan


Semester : IV / Tahun Akademik 2019/2020
Judul : Pengelolaan Rekam Medis Dan Informasi Kesehatan Di Rumah
Sakit Tinjauan Terhadap Manajemen Unit Kerja, Hukum
Kesehatan dan Pengkodean sistem Genitourinari, Reproduksi dan
Neoplasma

Mengesahkan,

Ketua Program Studi D3 RMIK Pembimbing Akademik


Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Duta Bangsa Surakarta

(Linda Widyaningrum, SKM., MPH) (Riska Rosita, S.KM., MPH)

Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Duta Bangsa Surakarta

(Warsi Maryati, S.KM., MPH)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayahnya yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan laporan tentang Pengelolaan Rekam Medis dan Informasi Kesehatan

Tinjauan Terhadap Manajemen Unit Kerja, Hukum Kesehatan dan Pengkodean

sistem Genitourinari, Reproduksi dan Neoplasma. Pada kesempatan ini dengan

segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Drs. Singgih Purnomo,M.M selaku Rektor Universitas Duta Bangsa Surakarta

2.Warsi Maryati, S.KM., MPH selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Duta Bangsa Surakarta

3.Riska Rosita, S.KM., MPH selaku pembimbing akademik Universitas Duta

Bangsa Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kata

sempurna., sehingga banyak terdapat kekurangan bahkan kesalahan dari segi isi

maupun penulisannya. Dalam hal ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

sifatnya membangun dalam penyusunan laporan yang dapat digunakan sebagai

pedoman di masa yang akan datang.

Surakarta, Agustus 2020

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan menurut UU RI No. 36 tahun 2009 adalah keadaan

sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis. Pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2009) adalah setiap

upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam

suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan

perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat. Setiap orang yang

melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak

langsung di rumah sakit.

Menurut UU RI No. 44 Tahun 2009 Rumah sakit adalah suatu

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap,rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit mempunyai tugas

memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam Permenkes

RI No 340 Tahun 2010 Bab II Pasal 3 tentang Penetapan Kelas,

1
2

dijelaskan bahwa rumah sakit harus mempunyai kemampuan pelayanan

sekurang-kurangnya pelayanan medik umum,gawat darurat,pelayanan

keperawatan, rawat jalan, rawat inap,operasi atau bedah,pelayanan medik

spesialis dasar, penunjang medik, farmasi, gizi, sterilisasi, rekam medis,

pelayanan administrasi dan manajemen,penyuluhan kesehatan

masyarakat, pemulasaran jenazah, laundry dan ambulance, pemeliharaan

sarana rumah sakit,serta pengolahan limbah.Salah satu pelayanan

kesehatan yang harus ada di rumah sakit adalah rekam medis.

Menurut Permenkes 269/Menkes/Per/III/2008, rekam medis

adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas

pasien, hasil pemeriksaan,pengobatan yang telah diberikan serta

tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

Kegunaan rekam medis secara umum adalah sebagai alat komunikasi,

dasar perencanaan pengobatan atau perawatan,bukti tertulis segala

tindakan pelayanan,melindungi kepentingan hukum,alat penelitian dan

pendidikan,sumber data pelaporan dan kebijakan,serta sebagai dasar

perhitungan biaya.Dalam rekam medis tersebut terdapat sangat

membantu dalam memberikan informasi guna memudahkan

pengambilan keputusan manajemen sarana pelayanan kesehatan.

Berkas rekam medis di era program Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN) yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya digunakan untuk sumber

pembiayaan, di mana Sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional


3

menggunakan sistem Case-Mix yang lebih dikenal dengan istilah

Indonesian Case Base Group’s (INA CBG’s) yaitu sistem pembiayaan

berdasarkan tarif pengelompokan diagnosis yang mempunyai

kedekatan secara klinis dan homogenitas sumber daya yang digunakan

dalam pengobatan. Selain digunakan sebagai sumber pembiayaan di

dalam rekam medis terdapat formulir Informed Consent.

Persetujuan tindakan kedokteran merupakan pelaksanaan dari

fungsinya sebagai pemenuhan hukum kesehatan. Berdasarkan Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran merupakan persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan

penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran

gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.Ketersediaan informasi

persetujuan tindakan menjadi penting karena manfaatnya yang

berhubungan dengan aspek legal/ hukum.

Berdasarkan Permenkes No. 585 / Menkes / Per / IX/ 1989

Informed consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien

atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang

akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informasi didalam Informed

Consent mengenai pengungkapan dan penjelasan kepada pasien dalam

bahasa yang dapat dimengerti oleh pasiennya tentang penegakkan

diagnosis, sifat dan prosedur atau tindakan medik yang diusulkan,

kemungkinan timbulnya resiko,manfaat dari tindakan medis,dan


4

alternatif dari tindakan medis tersebut, serta harus didokumentasikan.

Informed consent dapat digunakan sebagai bukti hukum jika terjadi

kejadian yang tidak diinginkan.Untuk meningkatkan pelayanan yang

lebih baik rumah sakit harus memiliki acuan dalam pelaksanaan

kegiatan sebagai kegiatan kerja seperti Standar Operasional Prosedur

(SOP) dan juga dengan mempersiapkan manajemen unit kerja yang

baik agar meningkatnya mutu pelayanan di rumah sakit.

Menurut Wilson (2012),Manajemen adalah sebagai sebuah

rangkaian tindakan yang dilakukan oleh para anggota organisasi dalam

upaya mencapai sasaran organisasi.Proses merupakan suatu rangkaian

aktivitas yang dijalankan dengan sistematis.Unit Rekam Medis

merupakan salah satu unit tersibuk dan memerlukan kinerja yang tinggi

(dan teliti) dari para petugasnya.Meskipun petugas rekam medis tidak

secara langsung terlibat dalam pelayanan klinis pasien, tetapi informasi

yang tercatat pada rekam medis merupakan bagian penting dalam

pelayanan kesehatan.

Dalam pengelolaan rekam medis juga terdapat bagian penting

yaitu coding dan indexing yang bertugas meneliti dan mengkode

diagnosa penyakit dengan ICD-10 (International Statistikal

Classification of Disease and Releated Health Problems Tenth

Revision) dan mengkode tindakan penyakit dengan ICD-9-CM (The

International Classification of Disease Ninth Revision Clinical

Modification). Dalam ICD-10 terdapat 22 bab yang mana setiap babnya


5

membahas sistem yang berbeda-beda,contohnya seperti sistem

Genitourinari, Reproduksi dan Neoplasma.

Oleh karena itu, Manajemen Unit Kerja,Hukum Kesehatan dan

Pengkodean sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya dan tidak

dapat dipisahkan demi menunjang pelayanan kesehatan yang efektif

yaitu cepat dan tepat dalam memberikan pelayanan kesehatan,serta

efisien dimana pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang

dikehendaki oleh pasien

Dari uraian diatas, maka penulis mengambil judul “Pengelolaan

Rekam Medis Dan Informasi Kesehatan Di Rumah Sakit Tinjauan

Terhadap Manajemen Unit Kerja, Hukum Kesehatan dan Pengkodean

sistem Genitourinari, Reproduksi dan Neoplasma”

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Pengelolaan rekam medis dan informasi kesehatan

ditinjau dari Manajemen Unit Kerja, Hukum Kesehatan dan Pengkodean

sistem Genitourinari, Reproduksi dan Neoplasma?


6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Rumah Sakit

Menurut WHO (2010), rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi

soaial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna

(komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit

(preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi

tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.

Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang

dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan peorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

Rumah Sakit mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu

dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat. Tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya pelayanan

kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan

penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan

peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan. Untuk

menyelenggarakan fungsinya, maka rumah sakit menyelenggarakan kegiatan:

1. Pelayanan medis.

2. Pelayanan dan asuhan keperawatan.

3. Pelayanan penunjang medis dan nonmedis.

4. Pelayanan kesehatan kemasyarakatan dan rujukan.

5. Pendidikan, penelitian dan pengembangan.


7

6. Administrasi umum dan keuangan.

Pengaturan penyelenggaraan rumah sakit menurut UU RI pasal 23 Nomor 44 tahun

2009, rumah sakit bertujuan untuk:

a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.

d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, sumber daya manusia rumah

sakit dan rumah sakit.

Sedangkan menurut UU RI No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, fungsi rumah

sakit adalah:

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

3. Penyelenggaaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka

peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta pengaplikasian teknologi

dalam bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

B. Rekam Medis

1. Pengertian Rekam Medis


8

Rekam medis adalah siapa,apa,dimana,dan bagaimana perawatan pasien

selama dirumah sakit,untuk melengkapi rekam medis harus memiliki data yang

cukup tertulis dalam rangkaian kegiatan guna menghasilkan suatu

diagnosis,jaminan, pengobatan dan hasil akhir.

Menurut Permenkes RI No.269/MENKES/PER/III/2008 rekam medis

adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,

pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan

kepada pasien.

Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam

tentang identitas,anamnese penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala

pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan

baik yang dirawat inap, rawat jalan, maupun yang mendapatkan pelayanan

gawat darurat.

Catatan medis adalah catatan yang berisikan segala data mengenai pasien

mulai dari sebelum dia dilakukan, saat lahir, tumbuh menjadi dewasa, hingga

akhir hidupnya. Data ini dibuat bilamana pasien mengunjungi instansi

pelayanan kesehatan baik sebagai pasien berobat jalan maupun sebagai pasien

rawat inap (Rustyanto, 2012).

2. Kegunaan Rekam Medis

Kegunaan rekam medis secara umum menurut Rustyanto (2012), antara lain:

a. Sebagai alat komunikasi antara dokter dengan tenaga ahlinya yang ikut

ambil bagian didalam memberikan pelayanan pengobatan, perawatan

kepada pasien.

b. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau perawatan yang harus

diberikan kepada seorang pasien.


9

c. Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan

penyakit, dan pengobatan selama pasien berkunjung atau dirawat di rumah

sakit.

d. Sebagai bahan yang berguna untuk analisa, penelitian, dan evaluasi

terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.

e. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter

dan tenaga kesehatan lainnya.

f. Menyediakan data-data khususnya yang sangat berguna untuk penelitian

dan pendidikan.

g. Sebagai dasar didalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik

pasien.

h. Menjadi sumber ingatan yang harus di dokumentasikan, serta sebagai

bahan pertanggungjawaban dan laporan.

3. Tujuan Rekam Medis

Tujuan dibuatnya rekam medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib

administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah

sakit. Tanpa dukungan suatu sistem pengelolaan rekam medis baik dan benar

tertib administrasi di rumah sakit tidak akan berhasil sebagaimana yang

diharapkan. Sedangkan tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang

menentukan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Pembuatan rekam medis di rumah sakit bertujuan untuk mendapatkan

catatan atau dokumen yang akurat dan adekuat dari pasien,mengenai kehidupan

dan riwayat kesehatan, riwayat penyakit di masa lalu dan sekarang, juga

pengobatan yang telah diberikan sebagai upaya peningkatan pelayanan

kesehatan. Rekam medis dibuat untuk tertib administrasi di rumah sakit yang
10

merupakan salah satu faktor penentu dalam rangka upaya peningkatan pelayanan

kesehatan (Rustiyanto, 2012).

4. Nilai Rekam Medis

Menurut Rustyanto (2012), nilai rekam medis adalah sebagai berikut:

a. Bagi Pasien

1) Menyediakan bukti asuhan keperawatan/tindakan medis yang diterima

oleh pasien.

2) Menyediakan data bagi pasien jika pasien datang untuk yang kedua kali

dan seterusnya.

3) Menyediakan data yang dapat melindungi kepentingan hukum pasien

dalam kasus-kasus kompensasi pekerja kecelakaan pribadi atau

malpraktek.

b. Bagi fasilitas layanan kesehatan

1) Memiliki data yang dipakai untuk pekerja profesional kesehatan.

2) Sebagai bukti atas biaya pembayaran pelayanan medis pasien.

3) Mengevaluasi penggunaan sumber daya.

c. Bagi pemberi pelayanan

1) Menyediakan informasi untuk membantu seluruh tenaga profesional dalam

merawat pasien.

2) Membantu dokter dalam menyediakan data perawatan yang bersifat

berkesinambungan pada berbagai tingkatan pelayanan kesehatan.

3) Menyediakan data-data untuk penelitian dan pendidikan

C. Manajemen Unit Kerja

Menurut Wilson (2012), Manajemen adalah sebagai sebuah rangkaian

tindakan yang dilakukan oleh para anggota organisasi dalam upaya mencapai
11

sasaran organisasi. Proses merupakan suatu rangkaian aktivitas yang

dijalankan dengan sistematis. Unit Rekam Medis merupakan salah satu unit

tersibuk dan memerlukan kinerja yang tinggi (dan teliti) dari para petugasnya.

Meskipun petugas rekam medis tidak secara langsung terlibat dalam

pelayanan klinis pasien, tetapi informasi yang tercatat pada rekam medis

merupakan bagian penting dalam pelayanan kesehatan.Oleh karena itu,

petugas Unit Rekam Medis yang profesional sangat diperlukan dalam

melakukan pelayanan rekam medis ini di rumah sakit.Namun terkadang

pentingnya pekerjaan ini tidak dipahami oleh petugas medis,staf administrasi

dan karyawan lainnya,dan oleh karenanya petugas serta penanggungjawab

Unit Rekam Medis sering merasa terisolasi (Miharti, 2010).

Untuk menunjang profesionalsime dalam bekerja sangat di perlukan

ruangan dan tempat yang nyaman maka dalam manajemen rekam medis sangat

penting di lakukannya penataan ruang yang baik untuk memudahkan pekerjaan

petugas. Penataan ruang harus dilakukan berdasarkan aspek ergonomis dan

antropometri petugas agar tidak menimbulkan risiko K3.

1. Definisi Ergonomi dan Antropometri

Ergonomi dapat diartikan sebagai ilmu yang menyangkut tentang

keselamatan, kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah, di sekolah dan

tempat manapun yang menuntut manusia berinteraksi dengan lingkungan

sekitar dengan tujuan utama untuk manusia dapat menyesuaikan dengan

lingkungan sekitarnya (Norfiza dan Infi, 2011 : 49)

Istilah "ergonomi“ berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan

nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-

aspek manusia dalam ligkunggan kerja ditinjau secara anatomi, fisiologi,

psikologi, manajemen dan desain perancangan Ergonomi berkenaan pula


12

dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia

di tempat kerja. Di dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem dimana

manusia, fasilitas kerja dan lingkungannya saling berinteraksi dengan tujuan

utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan manusianya.

Ergonomi disebut juga "Human Factors". Ergonomi juga digunakan

oleh berbagai macam ahli profesional pada bidangnya misalnya: ahli anatomi,

arsitektur, perancangan produk ndustri, fisika, fisioterapi, terapi pekerjaan,

psikologi dan teknik industri. (Definisi diatas adalah berdasar pada

International Ergonomics Association). Selain itu ergonomi juga dapat

diterapkan untuk bidang fisiologi, psikologi, perancangan, analisis, sintesis,

evaluasi proses kerja dan produk bagi wiraswastawan, manajer, pemerintahan,

militer, dosen dan mahasiswa. (Nurmianto, 1991).

Antropometri berasal dari anthro yang memiliki arti manusia dan

metri yang memiliki arti ukuran. Antropometri adalah sebuah studi tentang

pengukuran tubuh dimensi manusia dari tulang, otot dan jaringan adiposa

ataulemak .

Menurut (Wignjosoebroto, 2008), antropometri adalah studi yang

berkaitandengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Bidang antropometri

meliputi berbagai ukuran tubuh manusia seperti berat badan, posisi ketika

berdiri, ketikamerentangkan tangan, lingkar tubuh, panjang tungkai, dan

sebagainya.

Antropometri merupakan bagian dari ergonomi yang secara khusus

mempelajari ukuran tubuh yang meliputi dimensi linear, serta, isi dan juga

meliputi daerah ukuran, kekuatan, kecepatan dan aspek lain dari gerakan

tubuh.Secara devinitif antropometri dapat dinyatakan sebagai suatu studi yang

berkaitan dengan ukuran dimensi tubuh manusia meliputi daerah ukuran,

kekuatan,kecepatan dan aspek lain dari gerakan tubuh manusia. Data


13

antropometri digunakan untuk berbagai keperluan, seperti perancangan stasiun

kerja, fasilitas kerja, dan desain produk agar diperoleh ukuran-ukuran yang

sesuai dan layak dengan dimensi anggota tubuh manusia yang akan

menggunakannnya.

2. Perancangan Manajemen Ruang Desain Meja dan Kursi

Dalam rekam medis pekerjaan sejauh mungkin harus dilakukan

dengan duduk, Bekerja dalam sikap duduk akan mengurangi kelelahan pada

kaki, terhindar dari sikap-sikap tidak alamiah dan mengurangi pemakaian

energi yang tidak diperlukan. Pemakaian kursi dan meja yang tepat tidak

menyebabkan keluhan-keluhan pada petugas Rekam Medis.

a. Metode pengukuran tempat duduk

1) Tinggi tempat duduk (Panjang lengan bawah)

Diukur dari lantai sampai pada permukaan atas bagian depan

alas duduk. Diukur dari siku sampai ujung jari tengah sebagai

jari yang paling panjang. Kriteria : Tinggi alas duduk harus

sedikit lebih pendek dari panjang lekuk lutut sampai ke

telapak kaki.

2) Panjang alas duduk (Panjang pantat lekuk lutut)

Diukur dari pertemuan garis proyeksi permukaan depan

sandaran duduk dengan permukaan atas alas duduk. Jarak

horizontal diukur dari bagian belakang pantat sampai lekuk

lutut. Kriteria : harus sedikit lebih pendek dari jarak lekuk

lutut sampai garis punggung.

3) Lebar tempat duduk (Lebar Pinggul)


14

4) Diukur dari garis tengah alas duduk melintang. Diukur dari

pinggul kiri sampai pinggul kanan dan diambil paling lebar

dalam keadaan berdiri. Kriteria : harus lebih besar dari

lebar panggul.

5) Sandaran pinggang (Tinggi pinggul duduk)

Diukur dari tulang pinggul yang paling atas sampai alas

duduk. Kriteria : bagian atas sandaran pinggang tidak melebihi

tepi bawah ujung tulang belikat dan bagian bawahnya setinggi

garis pinggul.

6) Sandaran tangan (Lebar Pinggul, Tinggi siku duduk dan

Panjang lengan bawah)

Diukur dari pinggul kiri sampai pinggul kanan dan diambil

paling lebar dalam keadaan berdiri. Diukur dari siku sampai

alas duduk dalam posisi sikap duduk tegak.

Diukur dari siku sampai ujung jari tengah sebagai jari yang

paling panjang.

Kriteria :

a) Jarak antara tepi dalam kedua sandaran tangan lebih

lebar dari lebar pinggul dan tidak melebihi lebar bahu.

b) Tinggi sandaran tangan adalah setinggi siku.

c) Panjang sandaran tangan adalah sepanjang lengan

bawah.

7) Sudut Alas Duduk


15

Kriteria : Alas duduk harus sedemikian rupa memberikan

kemudahan pada pekerja untuk melaksanakan pemilihan-

pemilihan gerakan dan posisi.

b. Metode Pengukuran Meja Kerja

1) Tinggi meja kerja (Tinggi Siku)

Diukur dari lengan yang berada dalam posisi vertical sampai

alas kaki dalam keadaan berdiri tegak. Kriteria : tinggi

permukaan atas meja kerja dibuat setinggi siku dan disesuaikan

dengan sikap tubuh sewaktu bekerja. Pada pekerjaan –

pekerjaan yang lebih membutuhkan ketelitian tinggi meja

adalah 20-30 cm lebih tinggi dari tinggi siku. Pada pekerjaan –

pekerjaan yang memerlukan penekanan dengan tangan, tinggi

meja adalah 10-30 cm lebih rendah dari tinggi siku. Untuk

sikap duduk : tinggi meja adalah 68-74 cm diukur dari

permukaan daun meja

2) Tebal daun meja ( Tinggi lutut duduk)

Diukur dari lutut sampai alas kaki dalam posisi sikap tegak.

Kriteria : tebal daun meja dibuat sedemikian rupa sehingga

dapat memberikan kebebasan bergerak pada kaki.

3) Permukaan meja

Kriteria : rata dan tidak menyilaukan.

4) Lebar meja (Panjang lengan atas dan bawah)

Diukur dari pemakaian ke arah depan. Diukur dari ketiak

sampai siku. Diukur dari siku sampai ujung jari tengah sebagai
16

jari yang paling panjang. Kriteria : tidak melebihi jarak

jangkauan tangan

3. Perhitungan Antropometri Meja dan kursi menggunakan Standar Deviasi dan

Percentil

Data anthropometri yang telah dikumpulkan kemudian dihitung

dengan menggunkan Standar Deviasi. Standar deviasi adalah salah satu nilai

statistik yang digunakan untuk menentukan bagaimana persebaran data dalam

suatu sampel, dan seberapa dekat elemen data-data yang ada dengan mean dari

sampel tersebut. Berikut Rumus Standar Deviasi :

Rumus Standar deviasi :

SD =

Keterangan :

SD = Standar Deviasi

x² = Jumlah Semua deviasi setelah dikuadratkan

n = Jumlah data

x = rata-rata

Data anthropometri yang telah di peroleh kemudian dihitung

persentilnya, persentil yang dihitung adalah persentil 5, 50, dan 95 karena

persentil tersebut yang biasa digunakan dalam tahap perencanaan. Data

antropometri yang menggunakan persentil 5 yaitu siku hingga ujung jari. Data

antropometri yang menggunakan persentil 50 antara tinggi plopiteal, sandaran

punggung tinggi, pantat plopiteal, perpanjangan tangan ke depan, tinggi siku

duduk dan telapak kaki panjang. Sedangkan untuk persentil 95 digunakan


17

pada data antropometri lebar pinggul dan lebar bahu. Penggunaan persentil

disesuaikan dengan kebutuhan bagian yang dirancang. Berikut Rumus

Percentil 5% :

Rumus Percentil 5 % :

P = ẍ - 1,645

Keterangan :

P = Percentil

X = Rata - rata

 = Hasil dari Standar Deviasi yang sudah di hitung

D. Hukum Kesehatan

1. Pengertian hukum kesehatan

Menurut Van Der Mijn (2019), mengungkapakan bahwa hukum kesehatan

diratikan sebagai hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan

kesehatan, meliputi: penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha

negara. Oleh karenanya perlu juga diberlakukan sebuah aturan yang dapat

menjamin oleh pihak-pihak yang bersangkutan.Aturan aturan tersebut disebut

dengan hukum kesehatan hukum kesehatan merupakan aturan yang berlaku pada

penyelenggaraan kesehatan baik ditinjau dari pelayananan kesehatan, penyediaan

kesehatan, tenaga kesehatan, dan sarana kesehatan.Tenaga kesehatan adalah

individu atau orang yang telah mengabdikan dirinya sendiri dalam bidang

kesehatan serta memiliki kemampuan dan ketrampilan yang didapat melalui

pendidikan di bidang kesehatan yang nantinya akan memiliki kewenangan untuk

melakukan segala upaya yang berhubungan dengan kesehatan.


18

2. Hal-hal dalam aspek hukum kesehatan

Ada beberapa hal yang perlu dipahami dari rekam medis ditinjau dari

aspek hukumnya. Secara benar oleh semua pihak, baik manajer, profesional,

maupun pasien. Hal-hal yang penting itu ialah :

a. Kepemilikan Rekam Medis

Kalau dilihat bahwa rekam medik dibuat oleh dan utamanya untuk

menunjang kepentingan health care provider maka tentunta berkas

tersebut milik health care provider walaupun pasien juga bisa ikut

memanfatkannya. Kepemilikan tersebut sebetulnya tidak hanya terbatas

pada berkasnya saja, tetapi juga isinya sebab rekam medik tanpa isi sama

saja dengan kertas kosong yang tidak ada artinya sama sekali. (Firdaus,

2012).

b. Sifat Data / Isi Data Rekam Medis

Sebagaimana diterangkan pada bagian penjelasan dari UU No. 36

tahun 2009 pasal 53 tentang kesehatan bahwa pasien berhak atas rahasia

kedokteran. Adapun hal-hal yang harus dirahasiakan itu menurut

Peraturan Pemerintah Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran

meliputi segala sesuatu yang diketahui selama melakukan pekerjaan

dilapangan kedokteran dan segala sesuatu yang diketahui itu ialah segala

fakta yang didapat pada pemeriksaan, interpretasi untuk menegakkan

diagnosis dan melakukan pengobatan.Hal ini meliputi anamnesa, jasmani,

pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran, fakta yang dikumpulkan oleh

pembantu-pembantunya dan sebagainya. (Firdaus, 2012).

c. Pemanfaatan Data / Isi Rekam Medis


19

Pada hakikatnya rekam medik merupakan sumber data yang dapat

dimanfaatkan untuk berbagai macam kepentingan. Mengingat data

tersebut bersifat konfindensial maka dalam hal penarikan, pemaparan

ataupun penggunaan data untuk berbagai macam kepentingan perlu

memperhatikan aspek hukumny (Firdaus, 2012).

d. Pelepasan Data dan Informasi

Pihak yang terlibat dalam pelepasan data atau informasi rekam

medis adalah diklat, instalasi rekam medis, dokter atau tenaga medis, dan

petugas ruangan. Pelepasan data dan informasi ini sangat dibutuhkan oleh

beberapa pihak, antara lain bagi perusahaan asuransi, proses lembaga

peradilan, dan untuk media (pers, radio dan televisi).

Pelepasan data dan informasi ini tidak bisa terlepas dari peraturan

yang ada dan berlaku, karena dokumen rekam medis tidak bisa keluar dari

wilayah instalasi pelayanan kesehatan tersebut. Dokumen rekam medis

hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan pihak perusahaan

asuransi, proses peradilandan untuk media, mereka hanya menerima

resume dari berkas rekam medis tersebut.

Konfidensial medis merupakan rahasia kedokteran yang menjadi hak

pasien yang wajib dihormati. Indonesia mempunyai kedudukan konfidensial

medis yang diatur dalam PP No.10 tahun 1966 tentang kewajiban untuk

menyimpan rahasia kedokteran. Pasal 53 UU Kesehatan RI tahun 1992

beserta penjelasannya bahwa rahasia kedokteran merupakan hak pasien yang

wajib dihormati, jika dilanggar bisa dikenakan sanksi hukum yaitu sanksi

pidana, perdata dan administrasi.


20

Rahasia kedokteran harus dijaga oleh semua tenaga kesehatan baik medis

maupun non medis, meliputi:

1) Tenaga kesehatan terdiri dari :

a) Tenaga medis.

b) Tenaga keperawatan.

c) Tenaga kefarmasian.

d) Tenaga kesehatan masyarakat.

e) Tenaga gizi.

f) Tenaga keterapian fisik.

g) Tenaga keteknisian medis.

2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.

3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.

4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten

apoteker.

5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiologi kesehatan,

entomology kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluh kesehatan,

administrator kesehatan dan sanitarian.

6) Tenaga gizi meliputi nutrionis dan dietisien.

7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapi

wicara.

8) Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi

gigi, teknisi elektromedis, analisis kesehatan, refraksionis optisien,

otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.


21

Pemberian informasi medis kepada pihak lain diberikan jika :

1) Ada ijin dari yang berhak.

2) Keadaan darurat.

3) Peraturan Perundang-undangan.

4) Perintah jabatan yang bersah.

e. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

Menurut Permenkes No 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 1 ayat (1)

persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) adalah persetujuan

yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat

penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran

gigi yang akan dilakukan terhadap pasien yang meliputi :

1) Diagnosis.

2) Tindakan yang diusulkan atau direncanakan.

3) Prosedur alternatif jika ada.

4) Kepentingan atau manfaat dari tindakan medis tersebut.

5) Prosedur pelaksanaan atau cara kerja dokter dalam tindakan medis

tersebut.

6) Resiko yang terjadi bila tidak dilakukan tindakan medis tersebut

7) Resiko atau efek samping dalam tindakan tersebut.

8) Konfirmasi pemahaman pasien terhadap informasi yang disampaikan

sehingga mampu mengambil keputusan

9) Kesukarelaan pasien dalam memberi ijin.

10) Prognosis.
22

Adapun jenis persetujuan pasien terhadap tindakan medis yang akan

diberikan dibagi menjadi tiga yaitu :

1) Implied Constructive Consent (keadaan biasa), yaitu persetujuan

tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh

masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya

pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan atau hecting luka

terbuka.

2) Expressed Consent (persetujuan langsung bisa lisan/tertulis bersifat

khusus), yaitu persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis,

bila yang akan dilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan

biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku, tindakan

pembedahan/operasi ataupun pengobatan/tindakan invasive.

3) Implied Imergency Consent (keadaan gawat darurat), yaitu bila pasien

dalam kondisi gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan

tindakan segera untuk menyelamatkan nyawa pasien sementara pasien

dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus

syok anafilaktik, sesak napas, henti napas ataupun henti jantung.

Rekam medis digunakan sebagai pedoman atau perlindungan

hukum yang mengikat karena di dalamnya terdapat segala catatan

tentang tindakan, pelayanan, terapi, waktu terapi, tanda tangan dokter

yang merawat, tanda tangan pasien yang bersangkutan, dan lain-lain.

Catatan ini juga menyediakan data yang dapat melindungi kepentingan

hukum pasien dalam kasus-kasus kompensasi pekerja, kecelakaan

pribadi, atau malpraktek.


23

Pernyataan mengenai informed consent atau persetujuan tindakan

kedokteran sendiri telah dinyatakan secara jelas dalam Ketentuan Umum

Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:

290/Menkes/Per/III/2008. Di dalam ketentuan itu dinyatakan bahwa

persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh

pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap

mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan

terhadap pasien. Pasal 1 ayat 3 tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis

berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan

oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.

Informed consent berisikan dua hak pasien yang essensiil dalam

relasinya dengan dokter. Hak tersebut adalah hak atas informasi dan hak

atas persetujuan atau consent. Penjelasan informasi mengenai tindakan

yang akan dilakukan pada pasien harus diberikan secara jelas dan

diberikan langsung pada pasien baik pasein meminta atau tidak (Peraturan

Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 7 ayat (1)).

Mengenai hak atas persetujuan terdapat dalam Peraturan Menteri

Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 2, “Semua tindakan

kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan”.

Tujuan adanya Informed Consent ini sendiri adalah untuk melindungi,

baik untuk pasien sendiri maupun untuk petugas kesehatan.

Amir A dan Muchtar R, menyatakan bahwa dengan adanya surat izin

tindakan medis maka dokter yang melakukan pemeriksaan, pengobatan

dan tindakan medis merasa lebih aman terhadap kemungkinan tuntutan


24

penderita maupun keluarga terhadap hal-hal yang tidak diingini.

Sedangkan selanjutnya Persetujuan Tindakan Kedokteran merupakan

bentuk perlindungan terhadap pasien dari segala tindakan medik yang

mungkin tidak diinginkannya (Purnomo B,2001)

Pada saat pasien mendatangi dokter untuk meminta bantuan perawatan

terhadap keluhan yang dirasakan, maka sejak saat itu terjadi hubungan

antara dua pihak yang berdasar atas saling percaya (Samil RS, 2001).

Perlidungan terhadap tenaga kesehatan atau dokter yang melakukan

tindakan medik tetapi menghadapi akibat yang tidak terduga serta

dianggap merugikan pihak lain, maka tindakan medik yang bermasalah itu

memperoleh perlindungan berdasarkan “risk of treatment” dan “eror of

judgement”. Peristiwa “risk of treatment” adalah kejadian yang tidak

dapat dihindarkan walupun sudah berusaha pecegahan sedapat mungkin

dan bertidak dengan hati-hati risiko tersebut. Peristiwa “ error of

judgement”adalah sebagai manusia tidak akan terhindari dari kesalahan

yang wajar , maka bisa saja diagnosa atau terapi yang ditegakkan ternyata

keliru dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian tidak ada seorangpun

yang bisa menjamin hasil akhir dari tindakan medis yang diberikan

seorang dokter kepada pasien.

Melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan kedokteran

merupakan salah satu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya

tuntutan malpraktek pidana karena kecerobohan. Dalam hal dokter tidak

memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar profesi, dan kemudian

mengakibatkan cacat atau meninggalnya pasien, maka dokter ini telah

melakukan pelanggaran terhadap hak pasien untuk memperoleh pelayanan


25

yang manusiawi tersebut, sehingga pasien berhak menuntut kepada dokter

yang bersangkutan.

Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan

kedokteran yang mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara

lisan diperlukan pada tindakan kedokteran yang tidak mengandung resiko

tinggi. Umumnya disebutkan bahwa contoh tindakan yang berisiko tinggi

adalah tindakan invasif (tertentu) atau tindakan bedah yang secara

langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh. Persetujuan tertulis

dibutuhkan pada keadaan sebagai berikut:

1) Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko

atau efek samping yang bermakna.

2) Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.

3) Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang

bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi

dan sosial pasien.

4) Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian


26

Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara

tersirat tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari

sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan

biasa atau sudah diketahui umum. Misalnya pasien yang datang ke praktek

lalu dokter melakukan pemeriksaan dasar seperti pemeriksaan tekanan darah

dan palpasi jantung secara umum maka secara tersirat pasien sudah

menyetujui apa yang dilakukan oleh dokter. Tindakan ini dianggap layak

dilakukan dokter walaupun tanda memberikan informasi sebelumnya juga

dalam keadaan pasien yang membutuhkan perawatan ataupun tindakan medis

dengan segera misalnya pasien dalam keadaan tidak sadar sementara situasi

gawat dan darurat maka dokter dapat mengambil tindakan segera walaupun

tidak memberikan penjelasan ataupun informasi kepada pasien ataupun

keluarganya karena dalam hal ini yang dibicarakan adalah waktu. Hal ini

sesuai dengan yang tercantum dalam PerMenKes No. 585 tahun 1989 pasal 11

yang berbunyi “Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi

oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau

darurat yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingannya, tidak

diperlukan persetujuan dari siapapun” tapi seperti yang telah dijelaskan pada

Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak

diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat

(3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah

pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal

dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin

kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini

berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan


27

gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan

penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

f. Kerahasiaan Dokumen Rekam Medis

Rekam medis bersifat rahasia, artinya tidak semua orang bisa membaca

dan mengetahuinya. Dalam pasal 10 (ayat 1) Permenkes RI No

269/Menkes/Per/III/2008 tentang rekam medis mengatakan bahwa

informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat

pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya

oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola, dan

pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Akan tetapi kerahasiaan rekam

medis menurut Permenkes sebagaimana tersebut diatas tidak mutlak

bersifat rahasia. Meskipun tetap ada kewajiban bagi dokter, dokter gigi,

tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan rumah sakit

untuk menjaga kerahasiaan rekam medis, kewajiban tersebut ada batasnya.

Yang wajib dijaga kerahasiaannya adalah informasi tentang identitas,

diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat

pengobatan.Informasi-informasi tersebut bisa dibuka atas permintaan

pasien sendiri, atau demi kepentingan kesehatan pasien selain itu, informasi

tadi bisa dibuka atas permintaan aparat penegak hokum asalkan mendapat

perintah dari pengadilan. Bisa juga karena permintaan instansi atau lembaga

lain dan untuk kepentingan penelitian, pendidikan atau audit medis.

Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat

pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:

1) Untuk kepentingan kesehatan pasien


28

2) Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka

penegakan hukum atas perintah pengadilan.

3) Permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri.

4) Permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-

undangan.

5) Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis

sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.

Pemeriksaan rekam medis untuk tujuan di atas, harus

dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan

(Pasal 10 ayat (3) Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008).

Tanpa adanya izin tertulis dari pasien, dokter/dokter gigi tidak boleh

memberikan penjelasan tentang rekam medis kepada publik.Setiap

dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

seorang pasien, bahkan juga setelah seseorang pasien itu telah

meninggal dunia.

Bab IV butir 2 Keputusan Dirjen Pelayanan Medik Nomor:

78/Yan.Med/RS.UM.DIK/YMU/I/1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Penyelenggaraan Rekam Medik atau Medical Record di rumah sakit,

maka dibuat ketentuan sebagai berikut :

1) Hanya petugas rekam medis yang diijinkan masuk ruang

penyimpanan berkas rekam medis.

2) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi rekam medis untuk

badan-badan atau perorangan, kecuali yang telah ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan yang telah berlaku.

3) Selama penderita dirawat, rekam medis menjadi tanggung jawab

perawat ruangan dan menjaga kerahasiaannya (Firdaus, 2011).


29

E. ICD 10 dan ICD 9-CM

1. International Statistical Classification of Diseases and Related Health

Problem Tenth Revision (ICD-10)

a. Pengertian ICD-10

International Statistical Classification of Diseases and Related Health

Problem Tenth Revision (ICD-10) adalah Klasifikasi Internasional

mengenai penyakit dan masalah yang terkait adalah suatu klasifikasi

penyakit, merupakan suatu sistem kategori mengelmpokan suatu penyakit

menurut kriteria yang telah disepakati (WHO, 2010).

b. Struktur (ICD-10)

Menurut Depkes RI (2008) struktur ICD-10 terdiri dari atas 3 volume yaitu:

1) Volume 1 berisikan list 3 karakter, list tabulasi morfologi dan special

tabulasi. Daftar alfanumerik dari penyakit dan kelompok, catatan

exclusion dan inclusion dan beberapa cara pemberian kode.

2) Volume 2 petunjuk penggunaan ICD-10 terdiri dari petunjuk

pemberian kode data kesakitan, petunjuk pemberian kode data

kematian dan petunjuk penyajian statistik.

3) Volume 3 berisi indeks alphabetik dari kondisi yang terdapat pada

tabulasi berisi indeks diagnosa dan cedera, indeks penyebab luar cedera

dan indeks obat-obatan dan bahan kimia.

Menurut Hatta (2010) bahwa ICD-10 terdiri atas tiga volume:

Volume I, berisi :

1) Pengantar.

2) Pernyataan.
30

3) Pusat-pusat kolaborasi WHO untuk klasifikasi penyakit.

4) Laporan konferensi Internasional yang menyetujui Revisi ICD-10

5) Daftar kategori tiga karakter.

6) Daftar tabulasi penyakit dan daftar kategori termasuk sub kategori empat

karakter.

7) Daftar morfologi neoplasma.

8) Daftar tabulasi khusus morbiditas dan mortalitas

9) Definisi-definisi.

10) Regulasi-regulasi nomenklatur.

Volume II adalah buku petunjuk penggunaan, berisi :

1) Pengantar.

2) Penjelasan tentang International Statistical Classification of Disease

and Related Health Problems.

3) Cara penggunaan ICD-10.

4) Aturan dan petunjuk pengcodean Mortalitas dan Morbiditas.

5) Presentasi Statistik.

6) Riwayat perkembangan ICD.

Volume III, berisi :

1) Pengantar.

2) Susunan Indeks secara umum.

3) Sesi I : Indeks abjad Penyakit, bentuk Cidera.

4) Sesi II : Penyebab Luar Cidera.

5) Sesi III : Tabel Obat dan Zat Kimia.

6) Perbaikan terhadap Volume I


c. Pedoman Sederhana Penggunaan ICD 10

Beberapa petunjuk sederhana dalam menggunakan ICD 10 untuk

mendapatkan kode penyakit dengan tepat, antara lain: (Depkes,1999)

Identifikasi tipe pernyataan yang akan dikode dan buka volume 3

alphabetical index (kamus). Lihat leadterm. Untuk penyakit dan cidera

biasanya kata benda untuk kondisi patalogis. Walaupun begitu, kondisi di

ekspresikan sebagai kata sifat (adjective) atau eponym (menggunakan

nama penemu) yang terdapat dalam indeks sebagai leadterm.

Baca secara seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul

dibawah leadterm. Baca istilah yang terdapat dalam tanda kurung “()”

sesudah leadterm (kata dalam tanda kurung = modifier), itu tidak

mempengaruhi nomer kode. Istilah lainnya yang terletak dibawah

leadterm (dengan tanda minus atau idem atau ident) dapat mempengaruhi

nomer kode, sehingga semua kata-kata diagnostik harus diperhitungkan.

Ikutin secara hati-hati setiap petunjuk silang (cross references) dan lihat

“see” dan “see also” yang terdapat dalam indeks.

Lihat tabular list (volume 1) untuk melihat kode yang tepat. Lihat

kode tiga karakter di indeks dengan tanda minus pada posisi keempat

yang berarti bahwa isian untuk kode keempat adalah dalam volume 1 dan

merupakan posisi karakter tambahan yang tidak ada dalam indeks

(volume 3). Ikuti pedoman “inclusions” dan “exclusions” pada kode


32

yang dipilih atau dibagian bawah suatu bab (capture), blok atau judul

kategori.

2. ICD 9-CM

a. Pengertian ICD-9- CM

International Classification of Disease 9thRevision Clinical

Modification (ICD 9-CM) merupakan sistem pengklasifikasian

prosedur tindakan operasi dan non operasi berdasarkan kriteria atau

kategori tertentu (Hatta, 2010).

b. Struktur ICD-9-CM

1) Volume 1 : Tabular List of Procedures

2) Volume 2 : Index to Procedure

Struktur ICD-9-CM sebagai berikut:

a) Daftar table yang berisi daftar numeric dari penyakit kode

nomor dalam bentuk tabel.

b) Sebuah indeks abjad ke entri penyakit.

c) Sistem klasifikasi untuk bedah, diagnostik, dan terapi (indeks

abjad dan daftar tabel) (Shofari.2002)

c. Kegunaan ICD-9-CM

Kegunaan ICD-9-CM sebagai berikut :

1) Untuk mengode tindakan medis.


33

2) Untuk informasi mordibitas dan mortalitas.

3) Indeks operasi.

4) Pola layanan kesehatan (PORMIKI,2010)

d. BAB ICD-9-CM

Pada ICD-9-CM terdapat 17 bab. Yaitu :

I 01-05 Operasi pada sistem syaraf

II 06-07 Operasi pada sistem endokrin

III 08-16 Operasi pada mata

IV 18-20 Operasi pada telinga

V 21-29 OPerasi pada hidung, mulut, dan faring

VI 30-34 Operasi pada sistem pernapasan

VII 35-39 Operasi pada sistem kardiovaskular

VIII 40-41 Operasi pada sistem limfa

IX 42-54 Operasi pada sistem pencernaan

X 55-59 Operasi pada sistem urinaria

XI 60-64 Operasi pada sistem organ genital laki-laki

XII 65-71 Operasi pada organ genital wanita

XIII 72-75 Prosedur obstetric

XIV 76-84 Operasi pada sistem muskuloskeletal

XV 85-86 Operasi pada sistem integumentari

XVI 87-99 Prosedur terapi


34

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Topik 1 Mananjemen Unit Kerja

1. Resume Webinar

ANTROPOMETRI DAN DESAIN PRODUK

a. Definisi

1) Ergonomi adalah ilmu yang sistematis yang memanfaatkan

informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan

manusia untuk merancang system kerja.

2) Antropometri adalah ilmu yang digunakan untuk

menciptakan kondisi kerja yang ergonomis dan berkaitan

dengan pengukuran dimensi tubuh manusia.

b. Bagian Atropometri

1) Atropometri statis

Dimensi yang diukur secara lurus pada permukaan tubuh dan

posisi diam.

2) Atropometri dinamis

Dimensi yang diukur dalam berbagai posisi tubuh yang

sedang bergerak.

c. Pedoman pengukuran data atropometri

1) Posisi duduk samping

a) Tinggi duduk tegak.

b) Tinggi bahu duduk.


35

c) Tinggi mata duduk.

d) Tinggi popliteal.

e) Pantat popliteal.

f) Pantat ke lutut.

g) Tinggi genggam tangan

h) Tebal perut

i) Tinggi lutut.

j) Jarak dari siku k ujung jari

k) Tinggi pegangan tangan pada posisi tangan vertical

keatas dan berdiri tegak

2) Posisi berdiri

a) Tinggi siku berdiri.

b) Panjang lengan bawah.

c) Tinggi mata berdiri.

d) Tinggi badan tegak.

e) Tinggi bahu berdiri.

f) Tebal badan.

g) Lebar pinggul.

h) Lebar bahu.

d. Prinsip desain sarana kerja di faskes.

1) Desain kursi kerja

a) Tinggi alas duduk dapat disetel antara 38-48cm.


36

b) Topangan pinggang dapat disetel keatas kebawah

dan bergerak 8-12cm diatas alas duduk.

c) Dalamnya topangan pinggang 35-38cm dai ujung

depan alas duduk.

d) Dalamnya alas duduk 36cm.

e) Kursi harus stabil.

f) Kursi harus memungkinkan cukup kebebasan bagi

gerakan pemakai.

2) Desain meja kerja

Ukuran meja kerja untuk bekerja dengan posisi duduk :

a) Tinggi meja 54-58cm diukur dari permukaan daun

meja –ke lantai.

b) Tebal daun meja dibuat sesuai untuk memberikan

kebebasan bergerak pada kaki.

c) Permukaan meja rata dan tidak menyilaukan dan

pilih warna yang nyaman.

d) Lebar meja diukur dari pekerjaan kearah depan

dengan ukuran >80cm

2. Studi kasus

Dilakukan pengukuran antropometri pada empat responden untuk

membuat meja dan kursi kerja. Berikut ini merupakan hasil

perhitungan desain meja dan kursi.

Responden :
37

A = Siti Nurhayati
B = Sri Atun Ambawani
C = Tika Novianti
D = Tristianti Nur Khasanah
E = Uki Diah Shafira
a. Desain kursi

Tabel 3.1 Perhitungan Desain Kursi

Responden Rata-
Antropometri E ∑X ∑X2
A B C D rata
Pj lengan bawah 30 27 27 37 27 148 29,6 21.904
Pj pantat lekuk lutut 50 54 54 52 48 258 51,6 66.564
Lb pinggul 38 30 36 37 31 172 34,4 29.584
Tg pinggul duduk 23 23 25 30 20 108 21,6 11.664
Tg siku duduk 27 27 23 25 27 129 25,8 16.641

1) Tinggi tempat duduk (panjang lengan bawah)


Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 29,6 – 1,645. 0,592


=
= 29,6 – 0,97

= = 28,63 cm

= 0,29 m
=
38

= 59,2 cm

= 0,592 m

Jadi, ukuran tinggi kursi tempat duduk adalah 0,29 meter.


2) Panjang alas duduk (panjang pantat lekuk lutut)

Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 51,6 – 1,645. 1,032


=
= 51,6 – 1,69

= = 49,91 cm

= 0,50 m
=

= 103,2 cm

= 1,032 m
39

Jadi, ukuran panjang alas duduk adalah 0,50 meter.


3) Lebar tempat duduk (lebar pinggul)

Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 34,4 – 1,645. 0,688


=
= 34,4 – 1,13

= = 33,27 cm

= 0,33 m
=

= 68,8 cm

= 0,688 m

Jadi, ukuran lebar tempat duduk adalah 0,33 meter.


4) Sandaran pinggang (tinggi pinggul duduk)

Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 21,6 – 1,645. 0,432


40

=
= 21,6 – 0,71

= 20,89 cm
=

= 0,21 m

= 43,2 cm

= 0,432 m

Jadi, ukuran sandaran pinggang adalah 0,31 meter.


5) Sandaran tangan (tinggi siku duduk)

Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 25,8– 1,645. 0,516


=
= 25,8 – 0,84

= = 24,96 cm

= 0,25 m
41

= 51,6 cm

= 0,516 m

Jadi, ukuran sandaran tangan adalah 0,25 meter.


b. Desain meja

Tabel 3.2 Perhitungan Desain Meja


Responden Rata-
Antropometri E ∑X ∑X2
A B C D rata
Tg siku 95 99 81 95 106 476 95,2 226.576
Tg lutut duduk 40 45 44 46 40 215 43 46.225
Pj lengan atas 30 34 32 32 34 162 32,4 26.244
Pj lengan bawah 30 27 27 37 27 148 29,6 21.904

1) Tinggi meja kerja (tinggi siku)

Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 95,2 – 1,645. 1,904


=
= 95,2 – 3,13

= = 92,07 cm
42

= 0,92 m

= 190,4 cm

= 1,904 m

Jadi, ukuran tinggi meja adalah 0,92 meter.


2) Tebal daun meja (tinggi lutut duduk)

Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 43– 1,645. 0,86


=
= 43 – 1,41

= = 41,59 cm

= 0,42 m
=

=
43

= 86 cm

= 0,86 m

Jadi, ukuran tebal daun meja adalah 0,42 meter.


3) Lebar meja (panjang lengan atas dan panjang lengan bawah)

Standar deviasi Persentil 5%

= = ẍ - 1,645

= 32,4– 1,645. 0,648


=
= 32,4 – 1,06

= = 31,34 cm

= 0,31 m
=

= 64,8 cm

= 0,648 m

Standar deviasi Persentil 5%


44

= = ẍ - 1,645

= 29,6 – 1,645. 0,592


=
= 29,6 – 0,97

= = 28,63 cm

= 0,29 m
=

= 59,2 cm

= 0,592 m

Lebar meja = 0,31 m + 0,29 m


= 0,60 m
Jadi, ukuran lebar meja adalah 0,60 meter.

B. Topik 2 Hukum Kesehatan

1. Resume Jurnal

a. Nama Peneliti

Indra Darian Wicaksana dan Ambar Budhisulistyawati

b. Tempat dan waktu penelitian

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


45

(1 januari - juni 2019)

c. Tujuan penelitian

Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum dari

penanganan medis gawat darurat tanpa menggunakan

informed consent

d. Metode penelitian

Metode yang digunakan penulis adalah metode

kepustakaan, yang bersifat yuridis normatif. Penelitian

hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori

atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi dengan sifat penelitian deskriptif

e. Hasil penelitian

Dalam mengambil tindakan seorang dokter harus

mengutamakan keselamatan jiwa (life saving) terlebih

dahulu. Alasan karena tidak adanya keluarga yang

mendampingi ataupun terlambat datangnya keluarga untuk

menerima informed consent dapat dikesampingkan untuk

menyelamatkan jiwa pasien.

Meskipun syarat-syarat dalam Pasal 1320 yang berisi

menyebutkan empat syarat sahnya suatu perjanjian, tidak

terpenuhi namun perjanjian antara pasien gawat darurat dan

dokter tetap terjadi dan sudah sesuai dengan Pasal 1233

KUHPerdata yang menjelaskan perikatan itu lahir karena


46

Undang-undang. Undang-undang yang dimaksudkan disini

adalah Pasal 1354 KUHPerdata yang mengatur mengenai

zaakwarneming dan Pasal 4 ayat (1) Permenkes No.

290/MENKES/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan

Kedokteran. Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan

yang mendesak seperti dalam keadaan darurat maka dokter

dapat melakukan tindakan medis untuk penyelamatan jiwa

pasien atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa

persetujuan pasien terlebih dahulu. Informed consent tetap

diberikan kepada pasien setelah dilakukannya tindakan

medis, baik pada keluarga pasien atau pun kepada pasien

itu sendiri.

f. Saran Penelitian

Akibat hukum mengenai penanganan pasien gawat darurat

tanpa menggunakan informed consent hendaknya dokter

tetap bertugas menangani pasien sesuai standar operasional

kedokteran yang telah diterapkan di Indonesia. Tidak

adanya informed consent tidak menjadikan dokter lepas

tanggung jawab apabila terjadi kesalahan kesalahan dalam

penanganan medis yang diberikan. Meskipun sudah

dilindungi oleh berbagai undang-undang namun tetap


47

terdapat akibat hukum apabila dokter tidak melakukan

peyalanan medis sesuai aturan yang berlaku.

2. Korelasi antara isi jurnal dengan teori yang ada (Hasil penelitian di

jurnal)

Hubungan isi jurnal dengan teori yang ada dalam jurnal

adalah Informed consent pada dasarnya adalah suatu

persetujuan yang menimbulkan kontrak yang biasa disebut

dengan kontrak terapetik, sehingga dokter dapat melakukan

tindakan medis terhadap pasien. Dengan adanya informed

consent maka dapat menjamin terlaksananya hubungan

hukum antara pasien dengan dokter atas dasar saling

memenuhi hak dan kewajiban masing masing pihak yang

dapat dipertanggungjawabkan. Dalam keadaan gawat

darurat tentunya penanganan medis dengan keadaan biasa

berbeda.

Menurut Permenkes No 290/Menkes/Per/III/2008

Pasal 1 ayat (1) persetujuan tindakan kedokteran (informed

consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau

keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara

lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran

gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Apabila dipandang dari sudut medikolegal, maka

penanganan dan pelayanan medis terhadap pasien gawat


48

darurat berbeda dengan dengan pasien biasa. Pada pasien

biasa, maka pasien akan harus lah melewati hal-hal

administrasi tertentu. Pada tahap ini adanya informed

consent menghadirkan atau mencegah terjadinya penipuan

atau paksaan sebagai pembatas otorisasi dokter terhadap

kepentingan pasien. (M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir,

2009:73)

Kontrak Terapetik dalam hukum keperdataan

menyangkut hukum perikatan yang ada dalam KUHP pasal

1320 yang memuat 4 syarat. Perjanjian yang tidak

memenuhi ke 4 syarat tersebut tidak akan diakui oleh

hukum, meskipun diakui pihak-pihak yang bersangkutan,

ke empat syarat tersebut harus dipenuhi. Perjanjian

tindakan kedokteran harus memenuhi syarat sahnya

perjanjian, agar perjanjian tersebut diakui oleh hukum dan

sah secara hukum yaitu :

1) Kesepkatan pihak

2) Para pihak yang cakap

3) Adanya suatu objek

4) Adanya suatu sebab yang halal

Syarat tersebut merupakan suatu syarat dimana suatu

kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang

sesuai hukum yang berlaku pasal 1335 KUH Perdata juga


49

menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa

sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau

terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dapat disimpulkan bahwa perjanjian tindakan

medis tanpa menggunakan informed consent dalam

keadaan gawat darurat dapat dianggap tidak sah menurut

hukum perikatan. Hal tersebut dikarenakan terdapat syarat

yang tidak terpenuhi sehingga tidak sesuai dengan Pasal

1320 KUHPerdata, karena sebelumnya pasien tidak

memberikan persetujuan untuk penanganan medis.

Sehingga tidak terjadi persetujuan dan tidak adanya

kontrak terapetik yang terjadi antara dokter dan pasien.

Tidak juga sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata, yang

menyatakan persetujuan harus dilakukan dengan penuh

kesadaran dan tanpa paksaan penuh dan tidak ada

kekhilafan, menyebabkan persetujuan tidak mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat dan seorang dokter

memiliki kewajiban untuk memberikan setiap informasi

seputar kesehatan tentang pasien dan setiap tindakan yang

akan dilakukan olehnya.

Disisi lain, timbul hubungan hukum yang

menurut Pasal 1354 KUHPerdata perbuatan sukarela

menolong orang lain. Dalam keadaan tersebut, timbul


50

perikatan antara kedua belah pihak namun tanpa suatu

persetujuan pasien. Tindakan medis oleh dokter dapat

digolongkan menjadi zaakwarneming, dimana dokter

secara sukarela menolong pasien. Dalam mengambil

tindakan seorang dokter harus mengutamakan

keselamatan jiwa (life saving) terlebih dahulu. Alasannya

karena tidak adanya keluarga yang mendampingi ataupun

terlambat datangnya keluarga untuk menerima informed

consent dapat dikesampingkan untuk menyelamatkan jiwa

pasien. Meskipun sebenarnya setiap tindakan kedokteran

haruslah mendapat persetujuan pasien terlebih dahulu

Dalam kasus ini persetujuan pasien terhadap

tindakan medis termasuk dalam Implied Imergency

Consent (keadaan gawat darurat), yaitu bila pasien dalam

kondisi gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan

tindakan segera untuk menyelamatkan nyawa pasien

sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat

persetujuan segera.

Perikatan yang timbul antara pasien dan dokter

tanpa menggunakan informed consent, tidak

memenuhi unsur pasal 1320 dan 1321

KUHPerdata. Perikatan yang timbul antara pasien

dan dokter tanpa menggunakan informed consent


51

timbul karena ada undang-undang yang mengatur.

Pasal 1233 KUHPerdata menjelaskan, “Perikatan,

lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-

undang.” Dapat dikatakan perjanjian antara pasien

dan dokter pada penanganan gawat darurat timbul

dikarenakan undang-undang yang mengatur, yaitu

Permenkes No. 280 tahun 2008 dan Pasal 45

Undang-Undang No 29 Tahun 2004. Dalam

Permenkes tersebut pasien yang mengalami gawat

darurat harus segera mendapatkan perolongan

medis/tindakan medis dan mengenai informed

consent dapat dilakukan setelah dilakukannya

tindakan medis, perikatan yang timbul antara

pasien dan dokter tanpa menggunakan informed

consent, tidak memenuhi unsur pasal 1320 dan

1321 KUHPerdata. Perikatan yang timbul antara

pasien dan dokter tanpa menggunakan informed

consent timbul karena ada undang-undang yang

mengatur. Pasal 1233 KUHPerdata menjelaskan,

“Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau

karena undang-undang.” Dapat dikatakan

perjanjian antara pasien dan dokter pada

penanganan gawat darurat timbul dikarenakan


52

undang-undang yang mengatur, yaitu Permenkes

No. 280 tahun 2008 dan Pasal 45 Undang-Undang

No 29 Tahun 2004. Dalam Permenkes tersebut

pasien yang mengalami gawat darurat harus segera

mendapatkan perolongan medis/tindakan medis

dan mengenai informed consent dapat dilakukan

setelah dilakukannya tindakan medis.

3. Perbandingan Isi Jurnal dengan Teori

a. Kesesuaian dengan teori

Timbul hubungan hukum yang menurut Pasal 1354

KUHPerdata perbuatan sukarela menolong orang lain.

Dalam keadaan tersebut, timbul perikatan antara kedua

belah pihak namun tanpa suatu persetujuan pasien.

Tindakan medis oleh dokter dapat digolongkan menjadi

zaakwarneming, dimana dokter secara sukarela menolong

pasien, isi jurnal tersebut sesuai dengan teori salah satu

Jenis persetujuan pasien terhadap tindakan medis yaitu

Implied Imergency Consent (keadaan gawat darurat), yaitu

bila pasien dalam kondisi gawat darurat sedangkan dokter

perlu melakukan tindakan segera untuk menyelamatkan

nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa

membuat persetujuan segera.


53

b. Perbedaan dengan teori

Timbul hubungan hukum yang menurut Pasal

1354 KUHPerdata perbuatan sukarela menolong orang

lain. Dalam keadaan tersebut, timbul perikatan antara kedua

belah pihak namun tanpa suatu persetujuan pasien. Isi

jurnal tersebut tidak sesuai dengan Permenkes No

290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 1 ayat (1) persetujuan

tindakan kedokteran (informed consent) adalah persetujuan

yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah

mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan

terhadap pasien.

C. Kode diagnosa ICD 10 dan ICD 9 CM


1. ICD 10 dan ICD 9 CM
Kami mengambil kode diagnosa ICD 10 dan ICD 9 CM sebanyak 3
sistem yaitu sistem Genitorium, Sistem Reproduksi dan Sistem
Neoplasma. Berikut daftar kode diagnosa icd 10 dan icd 9 CM:

Tabel 3.3 Kode Diagnosa ICD 10 dan ICD 9 CM Sistem Genitorium


No Diagnosa dan Kode Kode ICD Langkah
Tindakan ICD 10 9 CM
1 Penyempitan uretra N35.1 62.69 Kode ICD 10 :
akibat infeksi
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman 597
dengan tindakan
orchidoplasty Lead term : Stricture

-urethra
54

--postinfective NEC N35.1

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 halaman 622

N35.1 Postinfective urethral stricture,not


elsewhere classified

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic halaman 399

Orchidoplasty 62.69

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list halaman 170

62.69 Other repair of testis

2 Perdarahan banyak N92.1 61.3 Kode ICD 10 :


diluar haid dengan
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman 422
tindakan
scrotectomy Lead term : Menometrorrhagia N92.1

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 halaman 639

N92.1 Excessive and frequent menstruation


with irregular cycle

Menometrorrhagia

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic halaman 447

Scrotectomy 61.3

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list halaman 168

61.3 Excision or destruction of lesion or tissue


of scrotum
3 Sistitis kronik N30.1 63.1 Kode ICD 10 :
55

disertai interstitial Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman 170


dengan tindakan
Lead term : Cystitis
varicocelectomy
-interstitial (chronic) N30.1

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 halaman 620

N30.1 Interstitial cystitis (chronic)

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic halaman 4867

Varicocelectomy 63.1

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list halaman 170

63.1 Excision of varicocele and hydrocele of


spermatic cord

Tabel 3.4 Kode Diagnosa ICD 10 dan ICD 9 CM Sistem Reproduksi


No Diagnosa dan Tindakan Kode Kode ICD Langkah
ICD 10 9 CM
1 Hiperplasi prostat dengan N40 70.21 Kode ICD 10 :
tindakan colposcopy
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman
332

Lead Term : Hyperplasia

-prostate N40

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 hal 624

N40 Hyperplasia of prostate


56

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic


halaman 303

Colposcopy 70.21

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list


halaman 182

70.21 Vaginoscopy

2 Prostatis dengan kode N41.9 60.0 Kode ICD 10 :


tindakan prostatocistotomy
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman
538

Lead Term : Prostatitis (congestive)


(suppurative) N41.9

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 hal 624

N41.9 Inflammatory disease of


prostate,unspecified

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic


halaman 407

Prostatocystotomy 60.0

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list


57

halaman 166

60.0 Incision of prostate

3 Priapisim dengan tindkan N48.3 68.9 Kode ICD 10 :


histerektomi
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman
534

Lead Term : Priapism N48.3

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 hal 626

N48.3 Priapism

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic


halaman 351

Hysterectomy 68.9

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list


halaman 680

68.9 Other and unspecified


hysterectomy

Tabel 3.5 Kode Diagnosa ICD 10 dan ICD 9 CM Sistem Neoplasma


No Diagnosa dan Tindakan Kode Kode ICD Langkah
ICD 10 9 CM
1 Hiperplasi prostat dengan N40 70.21 Kode ICD 10 :
tindakan colposcopy
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman
332
58

Lead Term : Hyperplasia

-prostate N40

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 hal 624

N40 Hyperplasia of prostate

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic


halaman 303

Colposcopy 70.21

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list


halaman 182

70.21 Vaginoscopy

2 Prostatis dengan kode N41.9 60.0 Kode ICD 10 :


tindakan prostatocistotomy
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman
538

Lead Term : Prostatitis (congestive)


(suppurative) N41.9

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 hal 624

N41.9 Inflammatory disease of


prostate,unspecified

Kode ICD 9 CM
59

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic


halaman 407

Prostatocystotomy 60.0

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list


halaman 166

60.0 Incision of prostate

3 Priapisim dengan tindkan N48.3 68.9 Kode ICD 10 :


histerektomi
Buka pada ICD 10 Volume 3 halaman
534

Lead Term : Priapism N48.3

Rujuk pada ICD 10 Volume 1 hal 626

N48.3 Priapism

Kode ICD 9 CM

Buka pada ICD 9 CM Alphabetic


halaman 351

Hysterectomy 68.9

Rujuk pada ICD 9 CM Tabular list


halaman 680

68.9 Other and unspecified


hysterectomy

BAB IV
PENUTUP
60

A. Kesimpulan

Berdasarkan pengelolaan rekam medis dan informasi Manajemen Unit

Kerja (MUK), Hukum Kesehatan dan ICD 10 dan ICD 9 CM pada Sistem

Genitourinary, Repoduksi dan Neoplasma dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Manajemen Unit Kerja (MUK) sangatlah penting dalam aspek

pelayanan kesehatan, untuk menunjang profesionalsime dalam

bekerja sangat di perlukan ruangan dan tempat yang nyaman maka

dalam manajemen rekam medis sangat penting di lakukannya

penataan ruang yang baik untuk memudahkan pekerjaan petugas.

Penataan ruang harus dilakukan berdasarkan aspek ergonomis dan

antropometri. Antropometri Meja dan kursi menggunakan Standar

Deviasi dan Percentil 5%.

2. Hukum kesehatan sangat penting sebagai tenaga kesehatan dan

Informed consent sangat lah penting dalam Hukum kesehatan, hukum

yang timbul dari hasil pengamatan jurnal penanganan pasien gawat

darurat tanpa menggunakan informed consent berpedoman kepada

standar yang ada. Hal ini berarti, isi jurnal dan teori sudah sesuai

seperti yang di tetapkan. apabila sudah dilakukan tindakan untuk

penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter

berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada

pasien atau kelurga terdekat.


61

3. Klasifikasi dan Kodefikasi Penyakit pada Laporan ini dilakukan

menggunakan ICD-10 sedangkan kode tindakan medis menggunakan

kode ICD-9 CM secara manual menggunakan buku ICD 10 dan ICD-

9 CM yang sudah sesuai. Pada Laporan ini terdapat tiga sistem

penyakit yaitu Sistem Geitoriu,Sistem Reproduks dan Sistem

Neoplasma.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan penulis selama membuat laporan , maka

penulis dapat memberikan saran sebagai berikut ini :

1. Sebaiknya materi lebih dijelaskan secara detail agar dalam

menyelesaikan laporan lebih mudah.

2. Sebaiknya dalam memberikan materi diberi pengarahan cara

mengerjakannya.
62

DAFTAR PUSTAKA

Amir A.(2001). Aspek Hukum Dari Persetujuan Tindakan Medis (informed

Consent) Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji dam Malik Medan

Budi, S. C. (2014). Manajemen Unit Kerja Rekam Medis. Yogyakarta.

Glosarium. (2014). Hukum Kesehatan Menurut Para Ahli. Hidayah, A. N. (2014).

Manajemen Unit Kerja. Bandung.

Infi, N. (2011). Perancangan Alat Belajar dan Bermain Yang Ergonomis di Taman

Kanak-Kanak Islam Permata Sari Pajang. Tehnik Industri.

Keputusan Dirjen Pelayanan Medik Nomor 78 Tahun 1991. Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penyelenggaraan Rekam Medik. Jakarta

Kusumawati, I. (2011). Perancangan Ulang Meja Kursi Baba Berdasarkan Aspek

Fungsi dan Kenyamanan Sesuai Kebutuhan Pengguna Perpustakaan .

Organization, W. H. (2010). International Statistical Classification of Disease

and Related Health Problems Tent Revision. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008. Tentang Pengertian Rekam

Medis. Jakarta
63

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008. Tentang Persetujuan

Tindakan Kedokteran Informed Consent. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis

Samil RS.(2001). Etika Kedokteran Indonesia, edisi kedua, Jakarta : Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Sampuro, B. (2011). Hukum Kesehatan. Jakarta.

Trisnadi, S. D. (2013). Hukum Kesehatan.Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai