Anda di halaman 1dari 43

BUKU PANDUAN MENTORING

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MURIA KUDUS

Tim Mentoring FORMI UMK

“Mewujudkan dan Membentuk Generasi yang Unggul,


Berprestasi dan Intelektual Menuju Kampus
Berakhlakul Karimah”
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

Segala puji hanya kepada Allah SWT, Rabb yang


memiliki segala-galanya Sholawat serta Salam
senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Semoga kita termasuk
generasi penerus risalah hingga akhir hayat.
Fenomena yang terjadi sekarang ini, sungguh
memprihatinkan. Banyak pemuda yang
melakukan kekerasan, pemakaian narkoba, seks
bebas dan lainnya. Bahkan pembunuhan terhadap
sesama kerap terjadi pula. Hal itu ternyata
dikarenakan kurangnya pembinaan akhlak yang
baik dan terarah. Padahal pembinaan akhlak
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
dilakukan. Karena melihat perkembangan zaman,
maraknya teknologi sehingga diri ini apabila
tidak dibentengi dengan iman dan taqwa yang
kuat maka akan mudah jatuh diri ini.
Menghadapi hal itu, Mentoring Pendidikan
Agarna Islam berusaha menjadi salah satu sarana
untuk pembinaan akhlak tersebut. Pembinaan ini
2
akan dilakukan oleh para pamentor yang
berkompeten dalam membantu dan membimbing
para mentis. Penerbitan buku ini, disusun atas
kerjasama semua pihak, baik dari dosen
pengampu agama yang bersangkutan dan tim
mentoring. Buku ini digunakan untuk membantu
pementor dalam manjalankan amanahnya.
Semoga buku panduan ini membawa manfaat
bagi pementor dan mentis dalam upaya
"Mewujudkan dan Membentuk Generasi yang
Unggul, Berprestasi dan Intelektual Menuju
Kampus Berakhlakul Karimah”.

Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh

Tim Mentoring FORMI UMK

3
SEJARAH MENTORING PAI UMK

Mentoring berasal dari kata Mentor berarti


pendamping. Menurut istilah pembinaan. Jadi
mentoring adalah rangkaian kegiatan pembinaan
sebagai sarana pemberian materi tambahan pada
mata kuliah Agama Islam di Universitas Muria
Kudus yang terdiri dari pementor dan peserta
mentoring (Mentis). Mentoring juga istilah keren
dari Ngaji Bareng (NgaBar). Bahasa ini
digunakan agar lebih menjadikan ngaji bareng
lebih membumi dan tidak terkesan konvensional.
Setiap pementor mengampu 1 kelompok
berjumlah 10-15 orang. Adapun pembagian
kelompok disesuaikan dengan program studi,
kelas masing-masing. Kegiatan ini dilakukan
setiap pekan sekali.
Bentuk dan Kedudukan Mentoring PAI
1. Mentoring PAI adalah sarana untuk
melakukan pendampingan kepada para
mahasiswa muslim.
2. Membantu dosen PAI sebagai asisten dalam
hal suplemen agama Islam yang lain.

4
I. Cinta Lingkungan Prespektif Islam

A. Pendahuluan
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh
alam; manusia, hewan maupun lingkungan.
Manusia sebagai makhluk yang diberi
kepercayaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebagai khalifat fi al-ardl, mestinyalah sebisa
mungkin memberi rahmat terhadap semua
elemen di sekitarnya.
Salah satu manifestasi (wujud) rahmat itu,
yakni senantiasa menjaga kebersihan dan
kelestarian alam kita.
Masalah kebersihan dan menjaga lingkungan,
ini sangat diperhatikan oleh Islam. Bahkan
sebuah ajaran bahwa ‘’kebersihan itu
sebagian dari iman’’ sudah sangat kita hafal
sejak kecil.
Terkait masalah kebersihan, antara lain
ditunjukkan dalam perintah bahwa seorang
Muslim diwajibkan bersih dan suci dari
kotoran, baik kotoran yang terdapat dalam diri
manusia maupun lingkungan sekitar.

5
Dan Islam sebagai agama rahmat, telah
memberikan panduan bagi penganutnya
dalam hal ibadah, muamalah, dan lain
sebagainya.
Di bawah ini, akan kita ulas ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Islam terkait
bagaimana mencintai lingkungan, cara
bersuci, bersih-bersih menurut aturan yang
sudah diajarkan Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

B. Bersuci dari Najis


1. Alat Bersuci
a. Air
Air yang bisa digunakan untuk bersuci
adalah air belum terikat dengan nama
yang melekat, tidak berubah baik
warna, bau, maupun rasanya, dan
belum pernah digunakan untuk
berwudlu maupun membersihkan
najis; air mutlak.

6
b. Debu
Debu difungsikan sebagai alat bersuci
(wudlu dan mandi) lantaran ketiadaan
air atau karena tidak diperbolehkannya
air mengenai tubuh menurut dokter.
c. Proses Penyamakan Kulit Bangkai
Kulit bangkai hewan selain babi dan
anjing, bisa disucikan dengan cara di-
samak. Yaitu proses menghilangkan
lendir, daging yang masih menempel
pada kulit bangkai dengan
menggunakan sesuatu yang rasanya
pahit.
d. Batu
Dalam bersuci dari kencing dan berak,
diperbolehkan menggunakan batu atau
benda padat yang kering dan bisa
menghilangkan kotoran seperti tissu
kering dan lainnya yang dianggap
mencukupi. Namun begitu, alangkah
lebih baik jika setelah itu tetap
dibersihkan dengan air.

7
2. Najis dan Macam - macamnya
Najis adalah suatu perkara yang mencegah
keabsahan salat. Najis dibagi menjadi tiga
bagian:
a) Mughalladhoh
Adalah najisnya anjing dan babi atau
hewan yang terlahir dari anjing atau
babi dengan hewan suci.
b) Mukhaffafah
Adalah air kencing bayi laki-laki yang
belum genap berumur 2 tahun, dan
untuk sumber kekuatannya hanya
minum ASI.
c) Mutawassithah
Yaitu semua najis selain najis
mukhaffafah dan mughalladhah,
seperti: kotoran manusia, kotoran
hewan, darah, nanah, dll.

8
3. Cara mensucikan
a) Mughalladhoh
Cara menyucikannya yaitu
menghilangkan bentuk najisnya
dengan air mutlak, kemudian disiram
sampai 7 kali, salah satunya dicampuri
dengan debu.
b) Mukhaffafah
Cara menyucikannya dengan
meghilangkan bentuk najisnya,
kemudian minimal menyipratinya
dengan air mutlak.
c) Mutawassithah
Cara menyucikannya dengan
menghilangkan bentuk najisnya,
kemudian menyiramnya dengan air
mutlak.

C. Bersuci dari Hadas Kecil (Wudlu)


1. Pengertian
Menghilangkan hadas kecil menggunakan
air mutlak dengan cara-cara tertentu.

9
2. Ketentuan dalam Wudlu
a) Syarat Wudlu
Syarat adalah sesuatu yang sahnya
sebuah ibadah tergantung padanya,
dan tidak masuk pada substansi
ibadah. Adapun syarat wudlu adalah:
Islam, tamyiz, tidak dalam masa haidl
dan nifas, tidak adanya penghalang
sampainya air ke anggota tubuh yang
dibasuh, mengetahui fardlunya wudlu,
menggunakan air mutlak, dan air
harus mengalir dalam membasuh
anggota wudlu.
b) Fardlunya Wudlu
1) Niat. Wajib dilafalkan di dalam
hati bersamaan dengan membasuh
wajah dan sunnah dilafalkan
dalam lisan sebelum membasuh
wajah. Adapun niat wudlu adalah:

‫ﻧ ََﻮﯾْ ُﺖ ُاﻟﻮﺿُ ْﻮ َء ِﻟ َﺮﻓْﻊ ِ اﳊ َﺪَ ِث ا ْﺻﻐَﺮ ِ ّ ِ ﺗﻌﺎﱃ‬

10
2) Membasuh seluruh wajah. Adapun
batas wajah adalah (vertical) dari
tempat tumbuhnya rambut kening
sampai dagu paling bawah dan
(horizontal) dari telinga sampai
telinga.
3) Membasuh seluruh tangan, mulai
dari ujung jari sampai siku.
4) Mengusap air di sebagian kepala.
5) Membasuh telapak kaki sampai
mata kaki.
6) Tartib (berurutan) sebagaimana
urutan di atas.

3. Hal yang Membatalkan Wudlu


Ada beberapa hal yang membatalkan
wudlu, yakni:
a) Keluarnya cairan, angin atau benda
padat dari kemaluan dan dubur.
b) Hilangnya akal. Bisa disebabkan
karena gila, pingsan, mabuk, tidur
posisi duduk dengan tidak merapatkan
pantatnya.

11
c) Bersentuhannya kulit antara laki-laki
dengan perempuan yang sudah baligh
dan bukan mahram tanpa adanya
penghalang.
d) Menyentuh kemaluan atau dubur
menggunakan telapak tangan.
4. Hal yang Diharamkan Ketika Tidak
(Memiliki) Wudlu
a) Tidak diperbolehkan salat.
b) Tidak diperbolehkan thawaf.
c) Tidak diperbolehkan memegang dan
atau membawa mushaf (al-Quran).

D. Bersuci dari Hadas Besar (Mandi)


1. Pengertian
Menghilangkan hadas besar dengan cara
mengalirkan air mutlak ke seluruh
anggota tubuh, dengan niat tertentu.
2. Hal yang Mewajibkan Mandi
a) Masuknya kelamin laki-laki ke farji
(kemaluan atau dubur).
b) Keluarnya sperma.
c) Haidl (wajib mandi ketika sudah suci).
d) Nifas (wajib mandi ketika sudah suci).
12
e) Melahirkan, meskipun (misalnya)
yang dikeluarkan masih berupa
segumpal darah atau daging.
3. Ketentuan dalam Mandi
Syarat mandi sama persis dengan syarat
wudlu. Adapun fardlunya mandi adalah:
a. Niat, dilafalkan di dalam hati, seperti:

‫ﻧ ََﻮﯾْ ُﺖ اﻟﻐ ُْﺴ َﻞ ِﻟ َﺮﻓْﻊ ِ اﳊ َﺪَ ِث ا ْﻛ َ ِﱪ‬


b. Mengalirkan air ke seluruh anggota
tubuh.
4. Hal yang Diharamkan Ketika Masih
(Sedang) Hadas Besar
a) Tidak diperbolehkan salat.
b) Tidak diperbolehkan thawaf.
c) Tidak diperbolehkan memegang dan/
atau membawa mushaf (al-Quran).
d) Tidak diperbolehkan berhenti di dalam
masjid.
e) Tidak diperbolehkan membaca al-
Quran dengan niat membacanya: jika
diniatkan untuk berzikir, maka
diperbolehkan.

13
II. Menjadi Hamba yang Taat Beribadah I

A. Pendahuluan
Salat adalah ibadah rutin harian, yang
wajib didirikan oleh setiap umat Islam,
sebagai bukti ketaatan kepada Allah. Dalam
sehari semalam, ada lima waktu salat yang
wajib didirikan; Dhuhur, Ashar, Maghrib,
Isyak, dan Shubuh. Salat lima waktu bagi
seorang Muslim ibarat manusia adalah
kepalanya. Seseorang yang tidak mendirikan
salat, ibarat ia hidup tanpa kepala.
Di beberapa literatur dijelaskan, barang siapa
salat dengan benar sesuai ketentuan yang ada,
maka ia termasuk hamba yang taat. Selain itu,
salat juga –disebutkan- sebagai penjaga diri
manusia agar tidak mudah berbuat keji dan
munkar dalam kehidupan sehari-hari. Semoga
kita senantiasa diberi fadlal dan kekuatan oleh
Allah agar senantiasa mampu menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Amin.

14
B. Pengertian Salat
Salat adalah perbuatan dan ucapan, yang
diawali dengan niat bersamaan takbiratul
ikhram dan diakhiri dengan salam.

C. Ketentuan dalam Salat


1. Syarat Wajib
a. Islam. Di hukum dunia, salat tidak
wajib bagi non Muslim asli, dan tetap
ada hukuman di akhirat. Dan bagi
orang yang murtad, tetap wajib salat
dengan cara masuk Islam lagi.
b. Baligh. Bagi wanita, telah haidl atau
mencapai umur 15 tahun, sedang bagi
laki-laki usia 15 tahun atau sudah
keluar sperma (bermimpi keluar
sperma).
c. Berakal. Orang yang hilang akal saat
tiba (datang) waktu salat dan belum
ada kesempatan melakukannya, maka
tidak ada kewajiban baginya.
d. Suci dari haidl dan nifas

15
2. Syarat Sah Salat
a. Islam.
b. Tamyiz.
c. Masuk waktu salat.
d. Mengetahui fardlu-nya salat.
e. Suci dari dua hadas (kecil dan besar).
f. Suci dari kotoran pada baju, badan dan
tempat salatnya.
g. Menutup aurat. Aurat laki-laki dalam
salat minimal menutupi anggota tubuh
antara pusar dan lutut. Aurat
perempuan dalam salat adalah seluruh
badan, kecuali wajah dan dua telapak
tangan.
h. Menghadap kiblat.
3. Rukun Salat
a. Niat.
b. Membaca fatihah.
c. Ruku’ beserta thuma’ninah.
d. I’tidal beserta thuma’ninah.
e. Sujud beserta thuma’ninah.
f. Duduk antara dua sujud beserta
thuma’ninah.
g. Tasyahud akhir.
16
h. Duduk tasyahud akhir.
i. Membaca salawat dan salam kepada
Baginda Nabi.
j. Tartib (berurutan) sebagaimana urutan
di atas.

D. Hal yang Membatalkan Salat


1. Niat membatalkan salat.
2. Ragu antara membatalakan atau
meneruskan salat.
3. Melakukan banyak gerakan secara
berurutan.
4. Bicara yang memahamkan, kendati hanya
dengan satu atau dua huruf saja.
5. Makan dan minum.
6. Sengaja menambahi rukun.
7. Melakukan hal yang membatalkan wudlu.

17
III. Menjadi Hamba yang Taat Beribadah
II

A. Pendahuluan
Setelah salat, puasa adalah ibadah yang
setiap tahun dikerjakan bagi seluruh umat
Muslim. Puasa juga sebagai pembuktian
ketakwaan dan ketaatan seorang hamba
(Muslim) kepada Allah. Di saat dalam
kesibukan yang melelahkan, seorang yang
beriman tetap teguh menahan lapar dan
dahaga untuk tetap berpuasa.
Sebagaimana ibadah-ibadah lain, puasa juga
mempunyai aturan yang sudah ditentukan
oleh syariat. Di bawah ini akan sedikit
dibahas tentang ketentuan-ketentuan puasa.

B. Pengertian Puasa
1. Shiyam, menurut bahasa berarti menahan.
Menurut syara’, adalah menahan diri dari
hal (perkara) yang membatalkan, mulai
dari terbit fajar hingga terbenamnya
matahari dengan niat tertentu.

18
2. Dasar wajib puasa, firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kalian
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
3. Hikmah puasa antara lain menahan hawa
nafsu, memberikan pelajaran bagi orang
kaya untuk merasakan lapar sehingga
menumbuhkan rasa kasih sayang kepada
fakir miskin, dan menjaga diri dari
maksiat.
C. Ketentuan Puasa
1. Syarat Sah Puasa:
a. Islam.
b. Berakal.
c. Bersih dari haid/ nifas.
d. Mengetahui waktu diperbolehkannya
berpuasa.
2. Syarat Wajib Puasa:
a. Islam.
b. Mukallaf.
c. Mampu mengerjakan puasa.
d. Mukim.
19
3. Rukun Puasa:
a. Niat. Untuk puasa wajib, waktu niat
adalah mulai terbenamnya matahari
hingga menjelang terbit fajar. Sedang
untuk puasa sunah, niat boleh
dilakukan sebelum matahari
tergelincir (sebelum masuk waktu
dhuhur), dengan syarat belum
melakukan perkara yang meniadakan
puasa (makan, minum, dll).
Niat Puasa Ramadan:
‫ﻧ ََﻮﯾْ ُﺖ َﺻ ْﻮ َم )َ ٍﺪ َﻋ ْﻦ َادَا ِء ﻓَ ْﺮ ِض َﺷﻬْ ِﺮ َر َﻣﻀَ ِﺎن َﻫ ِﺬ ِﻩ‬
‫ ِ ﺗَ َﻌ َﺎﱃ‬2 ِ ‫ﻨَ ِﺔ‬5‫ﺴ‬2 ‫اﻟ‬
Sebagai catatan, niat untuk puasa
Ramadan harus dilakukan setiap
malam selama Ramadan. Niat dibaca
dalam hati, sedang mengucapkannya
dengan lisan hukumnya sunnah.

20
b. Menghindari hal (perkara) yang
membatalkan puasa, kecuali jika lupa
atau dipaksa atau karena kebodohan
yang diampuni oleh syari’at (jahil
ma’dzur; baru masuk Islam atau jauh
dari Ulama’).

D. Perkara yang Membatalkan Puasa


1. Masuknya benda padat atau cair ke dalam
tubuh melalui rongga yang terbuka
(manfadz maftuh) seperti mulut, hidung,
telinga dan kemaluan dengan disengaja,
mengetahui keharamannya dan atas
kehendak sendiri.
2. Keluar dari Islam (murtad).
3. Haid, nifas dan melahirkan.
4. Gila (meskipun hanya sebentar).
5. Pingsan sehari penuh.
6. Bersetubuh dengan sengaja dan
mengetahui keharamannya.
7. Keluar mani karena persentuhan kulit.
8. Onani.
9. Muntah dengan sengaja.

21
E. Masalah-masalah yang Berkaitan dengan
Puasa:
1. Berhubungan Badan.
Apabila seorang laki-laki berhubungan
badan dengan istrinya pada siang hari saat
Ramadan dengan sengaja, tanpa dipaksa
dan mengetahui keharamannya, maka
puasanya batal. Ia (suami) berdosa, dan
wajib menahan diri dari hal-hal yang
membatalkan puasa sampai Maghrib. Ia
juga wajib mengganti (qadla’) puasanya,
serta wajib membayar kafarat.

Adapun kafarat itu bisa berupa:


a. Memerdekakan budak.
b. (Jika tidak mampu) wajib berpuasa
dua bulan berturut-turut.
c. (Jika tidak mampu) wajib memberi
makan kepada 60 orang miskin,
masing-masing berupa 1 mud (sekitar
6 ons) dari makanan pokok.

22
2. Hukum Menelan Dahak.
Jika dahak telah mencapai area luar (had
dhahir), maka tidak boleh ditelan. Jika
ditelan maka membatalkan puasa.
Adapun jika dahak masih berada di area
dalam (had bathin), maka tidak wajib
dikeluarkan. Jika ditelan, tidak
membatalkan puasa. Area luar menurut
Imam Nawawi adalah makhraj huruf ha’
(‫)ﺡ‬. Di bawah itu masuk area dalam.

3. Menelan Ludah
Menelan ludah tidak membatalkan puasa
dengan 3 syarat:
a. Murni (tidak tercampur benda lain).
b. Suci.
c. Ludah berada di dalam mulut.
Menelan ludah yang sudah berada di
bibir luar, membatalkan puasa.

4. Masuknya Air Mandi ke Dalam tubuh


Air yang masuk sebab mandi sunnah atau
mandi wajib, tidak membatalkan puasa,
kecuali jika disengaja. Demikian juga
23
halnya jika mandi dilakukan dengan
menyelam. Jika bukan mandi sunnah dan
bukan mandi wajib, seperti mandi agar
tubuh terasa segar, maka batal puasanya,
baik disengaja atau tidak.

5. Muntah atau Mulut Berdarah


Orang yang muntah atau mulutnya
berdarah, wajib berkumur agar semua
bagian mulutnya suci. Apabila ia
menelan ludah tanpa berkumur terlebih
dahulu, maka batallah puasanya.

F. Konsekuensi Tidak Berpuasa atau


Membatalkan Puasa Ramadan
1. Wajib Qadla’ dan Membayar Denda:
a. Jika tidak berpuasa demi orang lain,
seperti perempuan hamil atau
menyusui yang tidak berpuasa karena
mengkhawatirkan kondisi janin atau
bayinya.
b. Jika mengakhirkan qadla’ puasanya
hingga datang Ramadan berikutnya
tanpa uzur.
24
2. Wajib Qadla’ Tanpa Denda:
a. Bagi orang yang tidak berniat puasa di
malam hari.
b. Orang yang membatalkan puasanya
dengan selain jima’ (bersetubuh).
c. Perempuan hamil atau ibu menyusui
yang tidak berpuasa karena
mengkhawatirkan kondisi dirinya atau
mengkhawatirkan kondisi diri dan
anaknya.

3. Wajib Denda Tanpa Qadla’:


a. Bagi orang lanjut usia yang tidak
mampu berpuasa.
b. Orang sakit yang tak mampu berpuasa
dan tidak punya harapan sembuh.

4. Tidak Wajib Qadla’ dan Tidak Wajib


Denda: orang yang kehilangan akal (gila).
Denda yang dimaksud di sini
adalah Fidyah. Adapun fidyah yang mesti
dikeluarkan sebesar 1 mud (sekitar 6 ons)
per hari, berupa makanan pokok di daerah
setempat.
25
IV. Mengikuti Sunnah Nabi dan Sahabat

A. Pendahuluan
Semasa Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, jika
terjadi perbedaan pendapat di antara kaum
Muslimin (Sahabat), langsung bisa
diselesaikan karena bisa langsung
menanyakan dan meminta solusi kepada
Rasulullah.
Tetapi sepeninggal Rasulullah, penyelesaian
seperti itu tentu tidak bisa ditemukan lagi.
Perbedaan pendapat, pertentangan dan
permusuhan antara satu dengan lainnya, tak
dapat dielakkan.
Namun sesungguhnya, pada mulanya,
pertentangan atau persengketaan yang muncul
adalah akibat ‘imamah, bukan persoalan
akidah. Dari situ, kemudian merambah ke
wilayah agama. Terutama tentang hukum
orang Muslim yang berbuat doa besar dan
statusnya ketika ia mati, apakah mukmin atau
kafir.

26
Dari situ, pembicaraan tentang akidah pada
masa berikutnya, meluas pada persoalan
Tuhan dan manusia. Terutama terkait
perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan.
Demikian juga tentang sifat-sifat Tuhan,
keadilan Tuhan, melihat Tuhan, dan
kemakhlukan al-Quran.
Terjadinya perbedaan dan pertentangan-
pertentangan yang sangat tajam, lahirlah dua
kelompok moderat yang berusaha
mengompromikan keduanya. Kelompok ini
kemudian dinamakan Ahlus Sunnah wa al-
Jamaah (Aswaja).
Dua kelompok itu adalah:
a. Al-Asy’ari, yang didirikan oleh Imam
Abul Hasan Al-Asy’ari (lahir di
Bashrah, 260 H dan wafat di Baghdad
324 H).
b. Maturidiyah. Didirikan oleh Imam
Abu Manshur Al-Maturidi (lahir di
Samarkand, wafat 333 H).

27
B. Berakidah Aswaja

1. Konsep Akidah Asy’ari


Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan
tengah (tawasuth) ai antara kelompok-
kelompok keagamaan yang berkembang pada
masa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan
Qadariyah yang dikembangkan oleh
Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan
manusia, keduanya saling berseberangan.
Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa
seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh
Allah dan manusia tidak memiliki peranan
apapun. Sedang kelompok Qadariyah
memandang bahwa perbuatan manusia
diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas
dari Allah. Dengan begitu, bagi jabariyah
kekuasaan Allah adalah mutlak dan bagi
Qadariyah kekuasaan Allah terbatas.
Sikap tawasuth ditunjukan oleh
Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya).
Menurut Asy’ari, perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah, namun manusia
memiliki peranan dalam perbuatannya.
28
Kasb memiliki makna kebersamaan
kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan.
Kasb juga memiliki makna keaktifan dan
bahwa manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut, akidah
Asy’ariyah menjadikan manusia selalu
berusaha secara kreatif dalam kehidupannya,
akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhanlah
yang menentukan semuanya. Dalam konteks
kehidupan sekarang, akidah Asy’ariyah,
paling memungkinkan dijadikan landasan
memajukan bangsa. Dari persoalan-persoalan
kemanusiaan kekinian, seperti HAM,
kesehatan, gender, otonomi daerah dan
sebagainya.
Sikap tasamuh (toleransi) ditunjukan oleh
Asy’ariyah dengan antara lain ditunjukan
dalam konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi
Mu’tazilah, Tuhan wajib berlaku adil dalam
memperlakukan makhluk-Nya. Tuhan wajib
memasukkan orang baik kedalam surga dan
memasukkan orang jahat ke dalam neraka.
Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah. Alasannya,
29
kewajiban berarti telah terjadi pembatasan
terhadap kekuasaan Tuhan, padahal Tuhan
memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang
membatasi kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Meskipun dalam Al-Quran Allah berjanji
akan memasukkan orang yang baik ke dalam
surga dan orang yang jahat ke dalam neraka,
namun tidak berarti kekuasaan Allah
terbatasi. Segala keputusan tetap ada pada
kekuasaan Allah.
Jika dalam paham Mu’tazilah posisi akal
di atas wahyu, Asy’ariyah berpendapat wahyu
di atas akal. Moderasi ditunjukan oleh
Asy’ariyah. Ia berpendapat bahwa meskipun
wahyu di atas akal, namun akal tetap
diperlukan dalam memahami wahyu. Jika
akal tidak mampu memahami wahyu, maka
akal harus tunduk dan mengikuti wahyu.
Karena kemampuan akal terbatas, maka tidak
semua yang terdapat dalam wahyu dapat
dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan
sesuai pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy’ariyah
rasionalis tidak ditolak. Kerja-kerja rasional
30
dihormati sebagai penerjemahan dan
penafsiran wahyu dalam kerangka untuk
menentukan langkah-langkah ke dalam
pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni
bagaimana pesan-pesan wahyu dapat
diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah
pengejawentahan dari pesan al-Quran bahwa
risalah islam adalah rahmatan li al-‘alamin.
Namun, agar aspek-aspek rasionalis itu tidak
menyimpang dari wahyu, maka manusia
harus mengembalikan seluruh kerja rasio di
bawah kontrol wahyu.
Masalah adanya sifat Allah, Mu’tazilah
hanya mengikuti sifat wujud Allah.
Sementara, Asy’ariyah berpendapat bahwa
Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak
sama dengan dzat-Nya, akan tetapi adalah
qadim dan azali.
Allah mengetahui, misalnya, bukan
dengan pengetahuan-Nya, akan tetapi dengan
sifat ilmu-Nya. Dalam memahami sifat Allah
qadim ini, Asy’ariyah berpendapat bahwa
kalam, satu misal, adalah sifat Allah yang
qadim dan azali, karena itu al-Quran sebagai
31
kalam Allah adalah qadim, al-Quran bukan
makhluk. Jadi ia tidak diciptakan.

2. Konsep Akidah Maturidi


Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah
memiliki keselarasan dengan aqidah
Asy’ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara
memahami agama yang tidak secara ekstrem
sebagaimana dalam kelompok Mu’tazilah.
Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa
Asy’ariyah fiqihnya menggunakan mazhab
Imam Syafi’I dan Imam Maliki, sedang
Maturidiyah menggunakan mazhab Imam
Hanafi.
Asy’ariyah berhadapan langsung dengan
kelompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah
menghadapi berbagai kelompok yang cukup
banyak. Diantara kelompok yang muncul
pada waktu itu adalah Mu’tazilah,
Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah. Juga
kelompok agama lain, seperti Yahudi, Majusi
dan Nasrani.
Sikap tawasuth yang ditunjukkan oleh
Maturidiyah adalah upaya pendamaian antara
32
al-naqli dan al-‘aqli (nash dan akal).
Maturidiyah berpendapat bahwa suatu
kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada
saat tidak terdapat nash (naql), sama juga
salah apabila kita larut tidak terkendali dalam
menggunakan rasio (‘aql). Menggunakan ‘aql
sama pentinya dengan menggunakan naql.
Sebab akal yang dimiliki oleh manusia juga
berasal dari Allah, karena itu dalam al-Qur’an
Allah memerintahkan umat Islam untuk
menggunakan akal dalam memahami tanda-
tanda (al-ayat) kekuasaan Allah terdapat di
alam raya. Dalam al-Qur’an misalnya ada
kalimat liqaumin yatafak-karun, liqaumin
ya’qilun, liqaumin yatadzakkarun, la’allakum
tasykurun, la’allakum tahtadun dan
sebagainya. Artinya bahwa penggunaan akal
itu, semuanya diperuntukkan agar manusia
memperteguh iman dan takwanya kepada
Allah SWT.
Yang sedikit membedakan dengan
Asy’ariyah adalah pendapat Maturidiyah
tentang posisi akal terhadap wahyu. Menurut
Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh.
33
Tapi jika terjadi perbedaan antara wahyu dan
akal, maka akal harus berperan
mentakwilkannya. Terhadap ayat-ayat tajsim
(Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa
makhluk) harus ditafsirkan dengan arti majazi
(kiasan). Contoh seperti lafal yadullah yang
arti aslinya “tangan Allah” ditakwil menjadi
“kekuasaan Allah”.
Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan
Asy’ariyah sama-sama menerimanya. Namun,
sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada di
luar zat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat,
tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya,
Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan
Zat-Nya, tetapi dengan pengetahuan (‘ilmu)-
Nya (ya’lamu bi ‘ilmihi).
Dalam persoalan “kekuasaan” dan
“kehendak” (qudrah dan iradah) Tuhan,
Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh
Tuhan sendiri. Jadi tidak Mutlak. Meskipun
demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau
terpaksa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
Misalnya Allah menjanjikan orang baik
34
masuk surga, orang jahat masuk neraka, maka
Allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi
dalam hal ini, manusia diberikan kebebasan
oleh Allah menggunakan daya untuk memilih
antara yang baik dan yang buruk. Itulah
keadilan Tuhan.
Karena manusia diberi kebebasan untuk
memilih dalam berbuat, maka-menurut
Maturidiyah-perbuatan itu tetap diciptakan
oleh Tuhan. Sehingga perbuatan manusia
sebagai perbuatan bersama antara manusia
dan Tuhan. Allah yang menciptakan dan
manusia meng-kasab-nya. Dengan begitu
manusia yang dikehendaki adalah manusia
yang selalu kreatif, tetapi kreativitas itu tidak
menjadikan makhluk sombong karena merasa
mampu menciptakan dan mewujudkan. Tetapi
manusia yang kreatif dan pandai bersyukur.
Karena kemampuannya melakukan sesuatu
tetap dalam ciptaan Allah.

3. Spirit Ajaran Asyariyah Dan Maturidiyah


Munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah
merupakan upaya pendamaian antara
35
kelompok Jabariyah yang fatlistik dan
Qadariyah (yang dilanjutkan oleh Mu’tazilah)
yang menagung-agungkan manusia sebagai
penentu seluruh kehidupannya.
Sikap moderatisme keduanya merupakan
ciri utama dari kaum Ahlus Sunnah wal-
Jama’ah dalam beraqidah. Sikap tawasuth ini
diperlukan dalam rangka untuk
merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar
yang selalu mengedepankan kebajikan secara
bijak. Yang prinsip bagi Aswaja adalah
berhasilnya nilai-nilai syariat Islam dijalankan
oleh masyarakat, sedang cara yang dilakukan
harus menyesuaikan dengan kondisi dan
situasi masyarakat setempat.
Aswaja menolak ajaran-ajaran aqidah
yang dimiliki oleh garis keras. Seperti
Mu’tazilah yang memaksakan ajarannya
kepada orang lain dengan cara keras. Apabila
orang lain tidak sepaham, dituduh musyrik
dan harus dihukum. Contoh, kasus mihnah.
Pada kasus itu, pemaksaan orang-orang
Mu’tazilah kepada kaum Muslimin untuk
mengakui bahwa al-Qur’an itu baru atau
36
hadits. Karena itu, apabila terdapat kelompok
garis keras, seperti FPI, yang suka
menyelesaikan persoalan kemungkaran publik
dengan kekerasan dan pemaksaan bahkan
dengan pengrusakan, itu bukanlah tabiat
kaum Aswaja an-Nahdliyah.
Ajaran Aswaja juga menolak kelompok-
kelompok yang menutup diri dari golongan
mayoritas kaum Muslimin (jama’atul
muslimin). Seperti yang ditunjukkan oleh
kelompok Syi’ah dan Khawarij. Sekarang
terdapat kelompok tertentu, seperti LDII, dan
sebagainya yang selalu menutup diri
mayoritas umat Islam, itu bukanlah tabiat
kaum Aswaja an-Nahdliyah. Sebab kaum
Aswaja adalah kaum yang selalu diikuti oleh
mayoritas dan dapat menerima masukan-
masukan dari dalam dan luar untuk mencapai
kebaikan yang lebih utama. Prinsipnya adalah
al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa al-
akhdzubi al-jadidi al-ashlah (melestarika hal
lama yang baik dan mengambil hal baru yang
lebih baik.

37
C. Bermazhab (Sayri’ah Aswaja An-
Nahdliyah)
Al-Qur’an dan al-Hadits diturunkan
secara berangsur-angsur. Tidak sekaligus.
Disampaikan kepada manusia menurut
kebutuhan, kepentingan, dan situasi serta
kondisi yang berbeda-beda. Ajaran Islam
yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-
Hadits di sampaikan di Makkah, Madinah dan
sekitarnya lebih lima belas abad lalu dengan
cara disebarluaskan dan diwariskan kepada
umat manusia dengan segala persamaan dan
perbedaannya untuk sepanjang zaman dengan
berbagai perubahan dan perkembangan.
Ketika Rasulullah SAW masih hidup,
umat manusia menerima ajaran langsung dari
beliau atau dari sahabat yang hadir ketika
beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah
Wafat, para sahabat termasuk empat
Khulafaurrasyidin: Abu Bakar, Umar,
Ustman, dan Ali menyebarluaskan ajaran
Islam kepada generasi berikutnya. Dengan
perkembangan zaman, dengan kondisi
masyarakat yang kian dinamis, banyak
38
persoalan baru yang dihadapi umat.
Seringkali hal yang muncul itu tidak terdapat
jawabannya secara tegas dalam al-Qurr’an
dan al-Hadits. Maka untuk mengetahui
hukum atau ketentuan persoalan baru itu
maka upaya berijtihad harus dilakukan.
Sesungguhnya ijtihad juga sudah
dilakukan sahabat ketiak Kanjeng Nabi
Muhammad SAW masih hidup. Yakni ketiak
sahabat menghadapi persoalan baru tapi tidak
mungkin dapat ditanyakan langsung kepada
Rasulullah. Seperti pernah dilakukan oleh
sahabat Muadz bin Jabal saat ditugasi
mengajarkan Islam ke Yaman. Dan pada
masa-masa sesudah kurun Sahabat, kegiatan
ijtihad makin banyak dilakukan oleh para
Ulama ahli Ijtihad (Mujathid).
Di antara tokoh yang mampu berijtihad
sejak generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya
kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan
hanya mampu berijtihad sendiri tetapi juga
menciptakan “pola pemahaman (manhaj)”
tersendiri terhadap sumber pokok hukum
39
Islam, al-Qur’an dan al-Hadits. Ini
dicerminkan dengan metode ijtihad yang
dirumuskan sendiri, menggunakan kaidah-
kaidah ushul fiqh, qawa’idul ahkam,
qawa’idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses
dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan
dilakukan sendiri. Itu menandakan bahwa
secara keilmuan dan pemahaman keagamaan
serta ilmu-ilmu penunjang lainnya telah
mereka miliki dan kuasai.
Pola pemahaman ajaran Islam melalui
ijtihad para mujtahid lazim disebut madzhab.
Penulisan Indonesia “mazhab”, berarti “jalan
pikiran dan dalan pemahaman” atau “pola
pemahaman”. Pola pemahaman dengan
metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga
diikuti oleh umat Islma yang tidak mampu
ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan
syarat-syarat yang dimiliki. Mereka lazim
disebut bermazhab atau menggunakan
mazhab.
Dengan sistem bermazhab ini, ajaran
Islam dapat terus dikembangkan,
disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah
40
kepada semua lapisan tingkatan umat Islam.
Dari yang paling awam sampai paling alim
sekalipun. Melalui sistem ini pula pewarisan
dan pengamalan ajaran Islam terpelihara
kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu
karena ajaran yang terkandung dalam al-
Qur’an dan al-Hadits dipahami, ditafsiri dan
diamalkan dengan pola pemahaman dan
metode ijtihad yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Walau begitu kualitas bermazhab yang
sudah ada harus terus ditingkatkan, yaitu
dengan peningkatan kemampuan dan
penguasaan ilmu agama Islam dengan segala
jenis dan cabang-cabangnya.
Ajakan kembali pada al-Qur’an dan al-
Hadits tentu tidak boleh diartikan memahami
kedua sumber hukum tersebut secara bebas
(liberal), tanpa metode dan prosedur serta
syarat-syarat yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.

41
D. Penutup
Kami haturkan banyak terima kasih atas
semua partisipasinya. Sehingga terbitlah buku
kecil ini. Semoga bermanfaat.

42
Supported by:
Lazisnu Kabupaten Kudus

Anda mungkin juga menyukai