Anda di halaman 1dari 9

Nama : Muhammad Gathan Gufran

NPM : 2003101010285
Kelas :E
Mata Kuliah : Sosiologi
Program Studi : Ilmu Hukum

RESUME SOSIOLOGI

Sumber Bacaan : - Pengantar Sosiologi (Karya Kamanto Sunarto)

- Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan (Karya Ahmad Syani)


- Gender Dalam Hukum Adat (Ni Nyoman Suketi, Fakultas
Hukum Universitas Udayana)
1. Institusi Sosial
Istilah institusi berasal dari kata institution yang menunjukkan pada pengertian
tentang suatu yang telag mapan. Dalam pengertian sosiologi, instirusi dapat diartikan
sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Selain itu dapat
dilihat dalam sejumlah institusi utama, yaitu institusi keluarga, Pendidikan, ekonomi,
agama dan politik.
a. Institusi Keluarga
Keluarga adalah unit social terkecil dalam masyarakat. Selain itu keluarga juga
merupakan institusi pertama yang dimasuki seorang manusia Ketika dilahirkan.
Pada umumnya keluarga terbentuk melalui ikatan perkawinan yang sah menurut
agama, adat dan pemerintah . dalam keluarga dikenal adanya system
konsanguinal dan konjugal. Sistem keluarga konsanguinal menekankan
pentingnya ikatan darah seperti ikatan anak dan orang tua dan dianggap lebih
penting dari pada hubungan suami dan istri. Sedangkan sistem keluarga konjugal
lebih menekankan pentingnya hubungan perkawinan suami dan istri dari pada
hubungan orangtua dan anak. Tujuan dari institusi keluarga adalah untuk
mendapatkan keturunan, meningkatkan derajat dan status social baik pria
maupun wanita, untuk mendekatkan Kembali hubungan kerabat yang sudah
renggang dan agar harta warisan tidak jatuh ke orang lain. Selain itu fungsi dari
keluarga sendiri meliputi :
- Fungsi reproduksi, yaitu dalam keluarga anak-anak merupakan wujud dari
cinta kasih dan tanggung jawab suami dan istri meneruskan keturunannya.
- Fungsi sosialisasi, artinya keluarga berperan dalam membentu kepribadian
anak agar sesuai dengan harapan kedua orang tua dan masyarakat. Keluarga
merupakan tempat sosialisasi primer dari seorang anak sehingga harus mampu
menerapkan nilai dan norma masyarakat melalui keteladanan orang tua.
- Fungsi afeksi, artinya didalam keluarga sangat diperlukan kehangatan dan
rasa kasih saying serta perhatian dari orang tua terhadap anaknya. Apabila
fungsi ini gagal diberikan maka anak cenderung akan sulit untuk dikendalikan
bahkan dapat terjerumus dalam kejahatan.
- Fungsi ekonomi, yaitu orang tua mempunyai kewajiban untuk membiayai
seluruh anggota keluarga dan memastikan bahwa kebutuhan didalam rumah
dapat tercukupi.
- Fungsi proteksi, yaitu menjamin khususnya anak dapat terlindungi agar anak
merasa nyaman dan aman hidup ditengah tengah keluarganya.
b. Institusi Pendidikan
Pendidikan formal merupakan inti utama dalam sosiologi. Pendidikan formal
berfungsi untuk menciptakan atau melahirkan kedewasaan peserta didik. Dengan
kata lain fungsi Pendidikan adalah untuk mempersiapkan anggota masyarakat
untuk mencari nafkah, mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan
pribadi dan bagi kepentingan masyarakat, melestarikan kebudayaan, serta
menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi. Institusi
Pendidikan formal dimulai dari prasekolah sampai kejenjang perguruan tinggi,
baik Pendidikan bersifat umum maupun khusus (sekolah luar biasa).
c. Institusi ekonomi
Pada hakikatnya tujuan yang hendak dicapai oleh Lembaga ekonomi adalah
terpenuhinya kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup masyarakat yang
melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa yang
bersifat langka. Selain itu fungsi dari Lembaga ekonomi adalah memberikan
pedoman untuk mendapatkan bahan pangan, memberikan pedoman untuk
melakukan pertukaran barang/barter, pedoman tentag harga jual beli barang,
menggunakan tenaga kerja, pedoman cara memberikan upah, dan pedoman
tentang cara pemutusan hubungan kerja serta memberikan identitas bagi
masyarakat.
d. Institusi agama
Menurut Durkheim agama merupakan sistem terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal suci, dan kepercayaan
tersebut dapat mempersatukan semua orang yang beriman dalam suatu
komunitas moral yang dapat disebut dengan umat. Sedangkan fungsi agama
menurut Durkheim adalah sebagai penggerak kita dan membantu kita untuk
hidup.
e. Institusi politik
Sosiologi mempelajari institusi politiksebagai perangkat aturan dan status yang
mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang.

2. Perilaku Menyimpang
Penyimpangan merupakan perilaku yang dianggap oleh sebagain orang sebagai hal
yang tercela dan tidak baik atau diluar batas toleransi dari masyarakat. Setiap orang
selalu berubaha untuk berperilaku yang baik dan tidak menyimpang. Tetapi ada
beberapa dalam masyarakat yang memiliki perilaku menyimpang misalnya seperti
seorang perempuan yang berperilaku seperti seorang laki-laki ataupun sebaliknya.
Tidak hanya itu, ada juga laki-laki yang gemar memakai pakaian seperti perempuan
begitu juga sebaliknya.
Pada umumnya kita cenderung bersifat konformis. Berbagai studi menyebutkan
bahwa manusia sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain. Salah satunya ialah studi
Muzafer Sherif, yang membuktikan bahwa dalam situasi kelompok orang cenderung
membentuk norma social. Menurut para ahli sosiologi penyimpangan bukan suatu
yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan
melalui definisi social. Penyimpangan terjadi karena adanya perbedaan pergaulan
dan dipelajari melalui proses ahli budaya.
Merton mengidentifikasikan lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi
tertentu, empat diantaranya berperilaku peran dalam menghadapi situasi tersebut
merupakan perilaku menyimpang. Adapun lima tipe tersebut adalah:
- Konformitas, merupakan cara yang paling banyak dilakukan, perilaku peran
seseorang mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan
tersebut.
- Inovasi, merupakan cara yang mana perilaku peran mengikuti tujuan yang
ditentukan masyarakay tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat.
- Ritualisme, merupakan perilaku seseorang meninggalkan tujuan bidaya namun
masih tetap berpegang teguh pada cara yang telah digariskan oleh masyarakat.
- Retreatism, yaitu perilaku seseorang yang tidak mengikuti tujuan budaya dan
juga tidak mengikuti cara untuk meraih tujuan budaya.
- Pemberontakan, dalam adaptasi ini orang tidak lagi mengakui struktur social
yang ada dan berupaya menciptakan struktur social yang lain.

3. Stratifikasi social
Stratifikasi social merupakan pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status
yang dimilikinya. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya kita jumpai
adanya berbagai macam starifikasi. Anggota masyarakat dibeda-bedakan pula
berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai macam
stratifikasi lain. Dalam sosiologi kita mengenal pembedaan antara stratifikasi
tertutup dan stratifikasi terbuka. Keterbukaan suatu sistem stratifikasi diukur dari
rendah tidaknta dan sering tidaknta seseorang yang mempunyai status tertentu
memperoleh status dalam strata yang lebih tinggi.
Barber memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep stratifikasi.
Salah satu di antaranya ialah konsep rentang, yang mengacu pada perbedaan antara
kelas teratas dengan kelas terbawah. Konsep terkait lainnya ialah konsep bentuk,
yang mengacu pada proporsi orang yang terletak di kelas social yang berlainan.

4. Perilaku Kolektif
Perilaku yang tidak berpedoman pada instirusi yang terdapat dalam masyarakat
dalam sosiologi dinamakan perilaku kolektif, yaitu perilaku yang dilakukan Bersama
sejumlah orang, tidak bersifat rutin, dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan
tertentu. Perilaku menyimpang yang merupakan tindakan Bersama sejumlah orang
dan berperilaku tidak rutin. Perilaku kolektif ini di picu oleh suatu rangsangan yang
sama dan dapat terdiri atas suatu peristiwa, benda atau ide.
Perilaku kolektif selalu melibatkan perilaku sejumlah orang yang berkerumun.
Menurut Le Bon istilah kerumunan berarti sekumpulan orang yang mempunyai ciri
baru yang berbeda sama sekali dengan ciri individu yang membentuknya. Suatu
kerumunan mempunyai ciri baru yang semula tidak dijumpai pada masing-masing
anggotanya.
Gerakan social merupakan perilaku kolektif yang ditandai kepentingan Bersama dan
tujuan jangka Panjang, yaitu untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat
atau institusi yang ada didalamnya. Ciri lain Gerakan social ialah pengguna cara
yang berbeda di luar institusi yang ada.
Sejumlah sosiologi lain berpendapat bahwa perubahan social memerlukan
pengerahan sumber daya manusia maupun alam. Tanpa adanya pengerahan sumber
daya suatu gerakan social tidak akan terjadi, meskipun tingkat deprivasi tinggi.
5. Perubahan Sosial
Pemikirian para tokoh sosiologi klasik mengenai perubahan social dapat
digolongkan ke dalam beberapa pola. Pola pertama ialah pola linier, pola siklus, pola
ketiga, penggabungan antara pola pertama dan pola kedua. Giddens mengemukakan
bahwa proses peningkatan kesaling tergantungan masyarakat dunia yang
dinamakannya globalisasi ditandai kesenjangan besar antara kejayaan dan tingkat
hidup masyarakat-masyarakat industry dan masyarakat dunia ketiga. Selain itu ia
mencatat tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri baru dan semakin
meningkatnya komunikasi antar negara sebagai dampak teknologi komunikasi yang
semakin canggih.
Masalah globalisasi diulas pula oleh Waters yang berpandangan bahwa globalisasi
berlangsung di tiga bidang kehidupan, yaitu prekonomian, politik dan budaya. Teori-
teori modern yang terkenal ialah teori medernisasi, teori ketergantungan, dan teori
mengenai sistem dunia.

6. Gender
Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laku-laki dan perempuan tidak tergantung
pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan
kepribadian antar masyarakat maupun antar individu, menurut Mead merupakan
proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang ditentukan oleh kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan. Konsep gender menyangkut perbedaan psikologis,
social dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Gender mengacu pada
pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar atau tidak, bahwa diri seseorang
tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu bukan dalam jenis kelamin lain. Konsep
gender tidak mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan,
melainkan pada perbedaan psikologis, social dan budaya yang dikaitkan masyarakat
antara laki-laki dan perempuan. Gender tidak bersifat biologis melainkan
dikontruksikan secara social. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari
melalui sosialisasi. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi
dalam sosiologi dinamakan sosialisasi gender.
7. Hukum dan gender
a. Isu Jender Dalam hukum Adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan Dan
Hukum Waris)
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh
Indonesian dengan corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai
hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian
besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat
itu berlaku. Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain
hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris.
Dalam tulisan ini yang akan dibahas dalam kaitan isu gender adalah hukum
kekeluargaan, perkawinan dan waris.
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai
hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan
bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang
lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan. Di Indonesia pada
dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni :
1) Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis laki-laki ( ayah ), sistem ini dianut di Tapanuli,
Lampung, Bali dan lalin-lain.
2) Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis perempuan ( ibu ), sistem ini dianut di Sumatra Barat
(daerah terpencil).
3) Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari garis laki-laki ( ayah ) dan perempuan ( ibu ), sistem ini dianut
Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya).
b. Isu Jender Dalam Perundang-Undangan
Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum
Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya
kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat
dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya
terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini jelas dapat diketahui dari
produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di
dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan.
Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang
tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu
sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa
batas jumlah wanita yang boleh dikawin Dalam membahas masalah diskriminasi
terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan
Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan
konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin,
yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun
lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar
persamaan antara pria dan wanita. Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas
maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat
peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang
Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya. Salah satu produk
peraturan perundang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan adalah U U
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini sudah berlaku kurang
lebih 30 tahun dan banyak mengandung kelemahan karena bersifat diskriminatif
dan bias gender terhadap perempuan. Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal,
dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat
diskriminatif terhadap perempuan. Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain :
1. Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.
2. Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun
bagi laki-laki.
3. Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120
hari dan janda cerai 90 hari.
4. Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu
rumah tangga.
5. Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan istri sangat lemah dan
sub-ordinasi.
6. Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri/wanita diposisikan lemah dan
subordinasi.
7. Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.
Mencermati ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah jelas telah terjadi
ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender terhadap perempuan karena
perempuan selalu diposisikan pada posisi yang lemah dan sub-ordinasi sehingga
tetap terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Di samping itu undang-undang yang bias gender adalah undang-undang
perpajakan di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa perempuan yang
telah bersuami tidak sebagai wajib pajak. Akan tetapi kalau diperhatikan
kenyataannya banyak perempuan dalam hal ini istri yang berpenghasilan lebih
banyak dari pada suami dan ini juga akibat adanya pengaruh budaya patriarki.
Oleh karena demikian dalam hukum pajakpun telah terjadi ketidakadilan hukum
dan ketidak adilan gender di dalamnya

Anda mungkin juga menyukai