Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia teletak pada jalur strategis dunia.


Indonesia berada dalam jalur perlintasan antara dua benua dan dua samudra, yaitu
benua Asia di sebelah utara dan Australia di sebelah selatan, serta samudra Hindia
dan samudra Pasifik. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berada dalam
bentang wilayah 6º LU sampai 11º LS dan 92º sampai 142º BT, terdiri atas lebih
kurang 17.504 pulau besar dan kecil. Bahkan tiga perempat wilayah Indonesia
adalah laut dengan luas 5,9 juta km2 dengan panjang garis pantai 95.161 km2.
Indonesia menyatakan sebagai negara yang menganut prinsip negara kepulauan.
Hal itu membuat perairan menjadi Negara Kesaruan Republik Indonesia dan bukan
menjadi negara yang bebas pada Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957. Deklarasi
Djuanda menjadi cikal-bakal terbentuknya UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan
Indonesia. Pada konvensi hukum laut (UNCLOS) ke-III yang diselenggarakan oleh
dewan PBB tahun 1982 menetapkan Deklarasi Djuanda dan ditegaskan kembali
melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982 yang
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara yang maritim atau negara
kepulauan (Ramdhan dan Arifin, 2013).Sebagai negara maritim dan negara
kepulauan terbesar di dunia, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki
kekayaan sumberdaya laut yang melimpah, baik kekayaan yang belum dieksplorasi
maupun yang sudah dieksplorasi.
Kekayaan bahari yang dimiliki sejatinya dapat dimanfaatkan dan dikelolah
dengan baik sehingga dapat memberikan sumbangsi perekonomian kepada
masyarakat dan negara. Dalam bidang bahari, terdapat berbagai sektor yang dapat
dikembangkan, yaitu 1) hasil perikanan; 2) industri bioteknologi; 3) industri
pengolahan; 4) industri maritim; 5) energi; 6) transportasi laut; 7) perdagangan; 8)
wisata bahari; 9) infrastruktur laut; 10) energi; serta 11) jasa lingkungan. Dengan
modal potensi maritim tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tumpuan pembangunan
nasional yang berkelanjutan sehingga Indonesia dapat menjadi negara dengan poros
maritim dunia.
Visi kemaritiman dalam mengelola negara sebenarnya sudah digagas sejak era
presiden Sukarno dan Suharto, kemudian dilanjutkan oleh penerusnya. Hal itu
mengingat bahwa Indonesia berada dalam kawasan strategis di antara persimpangan
jalur maritim dan pertemuan berbagai jalur pelayaran internasional. Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilalui memiliki empat jalur lalu lintas palayaran
dunia dari tujuh jalur yang cukup ramai. Keempat jalur tersebut yaitu Selat Malaka,
Selat Makassar-Lombok, Selat Ombai-Wetar, dan Selat Sunda. Selain itu, terdapat
juga tiga jalur lalu lintas perairan yang cukup ramai, yaitu Selat Gibraltar di antara
Maroko dan Spanyol, Terusan Suez di Mesir, dan Terusan Panama di negara
Panama (Sitohang, 2008:30).
Pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, konsep Indonesia sebagai poros
maritim kembali digalakkan. Hal itu sesuai dengan visi pembangunan
“Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Madiri, dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong Royong”. Pandangan tersebut kembali memunculkan semangat
kemaritiman dengan memanfaatkan potensi kelautan Indonesia. Visi tersebut
dirumuskan menjadi tujuh misi, yaitu 1) mewujudkan masyarakat yang maju dan
demokratis berlandaskan hukum, 2) mewujudkan kualitas bangsa yang maju, tinggi,
dan sejahtera, 3) mewujudkan masyarakat yang memiliki daya saing, 4)
mewujudkan warga masyarakat yang memiliki rasa kepribadian tinggi dalam
berkebudayaan, 5) mewujudkan keamanan nasional yang dapat menjaga
kedaulatan, kemandirian ekonomi dengan sumber daya maritim, serta
merepresentasikan sebagai negara maritim, 6) mewujudkan politik luar negeri yang
bebas-aktif serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim, dan 7) mewujudkan
menjadi negara maritim yang maju, kuat, mandiri, dan berbasis kepentingan negara.
Berdasarkan tujuh misi Presiden Joko Widodo terdapat tiga misi pada baris terakhir
yang berhubungan dengan kemaritiman dan posisi Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai negara kepulauan atau maritim.
Menurut Sukma (2014), gagasan poros maritim dapat diserap dalam tiga makna
penting. Pertama ̧ gagasan poros maritim yang dicanangkan dalam misi Presiden
Joko Widodo dapat dimaknai sebagai cita-cita Indonesia yang dibangun untuk
kembali menjadi negara maritim yang telah menjadi identitas bangsa. Pandangan
ini mencerminkan kekuatan maritim Indonesia yang sejahtera, berwibawa, dan
bersatu. Hal itu dapat diwujudkan dengan potensi lautnya dan sumber daya
kerakyatan yang kuat. Kedua, poros maritim yang dicanangkan juga dapat menjadi
sebuah pandangan/doktrin/cita-cita bersama. Pemerintah menyerukan dan mengajak
masyarakat Indonesia untuk kembali membangkitkan semangat sebagai negara
maritim. Hal itu akan menggerakkan Indonesia sebagai ‘Poros Maritim Dunia’.
Ketiga, Presiden Joko Widodo bertujuan untuk melaksanakan gagasan poros
maritim dengan membuat agenda konkret dalam masa bakti pemerintahannya ke
depan. Agenda yang telah disusun dengan memperhatikan misi sebagai negara
maritim memberikan capaian dalam kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.
Pemerintah mengambil peran dalam setiap momen internasional guna
mewujudkan gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Pada tahun 2009,
Indonesia menjadi tuan rumah World Ocean Conference (WOC) di Manado. Selain
itu, Indonesia juga menjadipenyelenggara dalam kegiatan yang diselenggarakan
oleh PBB, UNEP, serta berbagai lembaga internasional seperti WWF (Setneg,
2009). Acara-acara tersebut merupakan suatu acara yang prestisius yang
memberikan perhatian khusus terhadap sumberdaya yang ada, terutama sumber
daya kelautan. Dalam agenda tersebut, Indonesia mengambil momentum untuk
mampu menjalin kerjasama internasional agar dapat meningkatkan,
mengembangkan, serta melestarikan sumber daya kelautan Indonesia. Selain itu,
pada 19 April 2016, Presiden Joko Widodo juga menyuarakan bahwa Indonesia
sebagai negara poros maritim dunia pada sidang International Maritime
Organization) IMO di London, Inggris. Presiden Joko Widodo menegaskan
kesungguhan tekat, komitmen, dan pandangan visioner Indonesia sebagai poros
maritim dunia. Penyampaian itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo
dihadapan duta besar dan pejabat tinggi perwakilan dari 171 negara (setkab, 2016).
Hal yang berkaitan dengan laut dan lautan tidak saja hanya dari aspek duniawi
saja, tetapi juga tercantum dalam agama. Sebagai contoh, dalam kitab suci agama
Islam (Al-Quran) terdapat 13 ayat yang menyampaikan tentang daratan, sedangkan
32 ayat menyebutkan tentang laut. Ayat tersebut memiliki kesamaan dengan
perhitungan yang dilakukan oleh ahli sains, yakni sekitar 71% wilayah bumi adalah
air (samudra, laut, sungai, danau, dan sebagainya), sedangkan 29% adalah tanah
(Djamil, 2004). Berdasarkan hal itu telah terpaparkan bahwa lautan lebih unggul
daripada daratan.
Menjadikan Indonesia kembali bersemangat dan berjaya di laut, bukan tidak
mungkin untuk diwujudkan. Sejarah nusantara menunjukkan bahwa pelaut
Indonesia selalu berjaya. Hal itu dapat ditelusuri dalam kisah kerajaan Sriwijaya
dan kerajaan Majapahit yang mampu memiliki kekuatan maritim untuk menguasai
perdagangan di nusantara hingga mancanegara. Selain itu, kekuatan kedua kerajaan
tersebut mampu melegitimasi kekuasaan yang disegani oleh kerajaan lain
(Prasetyono, 2008: 350). Kerajaan Sriwijaya mampu menguasai perdagangan,
pelayaran, kekuasaan.
Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit, muncul kerajaan Malaka pada pertengahan
abad ke-15 sebagai kota perdagangan dan kerajaan maritim termashur yang berada
di Semenanjung Melayu. Kerajaan Malaka yang memiliki letak strategis menjadi
tempat berkumpulnya para pedagang dari penjuru Nusantara hingga mancanegara
(Cina, Eropa, Asia Timur). Setelah jatuhnya kerajaan Malaka, muncul kembali
beberapa kerajaan maritim di nusantara, yaitu kerajaan Demak, Banten, Jepara,
Palembang, Jambi, Ternate, dan Tidore. Berdasarkan kisah sejarah kerajaan di
nusantara menunjukkan semangat dan kegigihan masyarakat Indonesia sebagai
negara maritim. Bahkan menurut Robert Dick-Read (2008), kegigihan dan
semangat pelaut Indonesia dalam mengarungi lautan Hindia dalam melancarkan
perdagangan hingga ke Afrika dan Madagaskar.
Tradisi dan keberanian leluhur Bangsa Indonesia yang menjelajah laut hingga ke
mancanegara tidak berlanjut ke anak cucunya karena orientasi mereka beralih ke
daratan. Fenomena tersebut tidak lepas dari campur tangan bangsa Belanda ketika
mendarat di Nusantara. Belanda telah menyadari kemampuan mengelola maritim
yang dimiliki masyarakat. Hal itu membuat Belanda membuat doktrin untuk
menjauhkan masyarakat dari laut menuju daratan, bahkan hingga ke pegunungan.
Pada saat itulah sektor pertanian dan daratan menjadi berkembang. Hal itu
membuat Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Maka dari itu, pentingnya
memandang laut sebagai aset strategis sebagai sumber kehidupan harus tetap dijaga
dan digalakkan. Sebagaimana Hamengkubuwono X, (2014) menyampaikan bahwa
keperkasaan, kegigihan, keberanian, dan kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia
sebagai pelaut dapat menjadi pelecut semangat bagi berikutnya. Bentuk
implementasinya, bukan hanya sekadar berlayar, tetapi bagaimana bangsa
Indonesia dapat memanfaatkannya demi kesejahteraan pembangunan bangsa.
Suku Bajo adalah suku yang diantara puluhan suku yang ada di Indonesia yang
memiliki keunikan tersendiri. Sebutan Bajo sebenarnya dipakai untuk orang-orang
yang menggunakan perahu sebagai tempat tinggal. Konon mereka berasal dari Laut
Cina Selatan. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden. Namun, saat
ini, Suku Bajo yang masih tinggal di atas perahu sudah berkurang. Sebagian besar
menetap, walaupun masih di atas laut. Permukiman Suku Bajo memang cukup
banyak di sekitar Pulau Sulawesi, antara lain perairan Manado, Kendari, Kepulauan
Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, perairan Makassar, dan Kepulauan Wakatobi
(Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko). Meskipun tersebar berjauhan, mereka
masih masih menjalin hubungan yang sama.
(http://repositori.kemdikbud.go.id/11153/1/REVITALISASI%20SEMANGAT%20BAHARI
%20UNTUK%20MENYONGSONG%20INDONESIA.pdf)
Berdasarkan data di Desa Bolano Kecamatan Bolano Lambunu tahun 2007, jumlah
Suku sebanyak 894 orang atau 120 KK. Selain Suku Bajo, juga terdapat Suku lain,
yaitu: Suku Bugis, Kaili, Gorontalo, dan beberapa suku lainnya. Matapencaharian
suku-suku tersebut, berdagang, PNS, dan lain-lain. Sedangkan Suku Bajo lebih
dominan sebagai nelayan. Walaupun ada beberapa warga Suku Bajo yang telah
menjadi PNS, Aparat Kecamatan dan Guru. Namun bagi mereka laut tidak begitu
saja dilupakan. Akibat interaksi tersebut, ada beberapa warga Suku Bajo yang
menikah dengan suku-suku lain di komunitas daratan.
Menurut peneliti bahwa pada penelitian yang akan dilakukan kali ini, sangat
berguna untuk pengetahuan bagi masyarakat luas khususnya pada kalangan
pendidikan yang bisa dijadikan bahan ajaran, untuk dikemudian hari karena masing
kurangya penelitian yang bersifat sastra apalagi pada Sastra Maritim pada Suku
Bajo sehingga peneliti merasa tertantang untuk meneliti dan menjadikanya sebagai
judul penelitian
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang diangkut dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana representasi bentuk sastra maritim dalam Suku Bajo?
2. Bagaimana representasi pesan sastra maritim pada Suku Bajo?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasrkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan representatif sastra maritim pada suku bajo.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.

1.4.1Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan tentang sastra


maritim serta sumbangan pengetahuan tentang Suku Bajo yang bisa
dimanfaatkan.
1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat barmanfaat bagi:

1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan dalam


menganalisis sastra maritim dalam Suku Bajo sehingga dapat di
implementasikan dalam dunia pendidikan.
2. Bagi mahasiswa dan siswa, penelitian ini dapat menjadi referensi dalam menkaji
sastra maritim khususnya pada Suku Bajo.
3. Bagi guru/dosen, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam hal
memberikan pembelajaran mengenai sastra.

1.5 Batasan istilah

Batasan istilah dimaksudkan agar tidak menjadi kesalapahaman presepsi antara


penelitian dan pembaca, maka penulis memberikan batasan istilah dalam penelitian
ini.

1. Representasi adalah keterwakilan dari suatu perbuatan atau keadaan


tertentu,sebagai penjelas yang ada.
2. Satra adalah karya tulis yang di dalamnya ada ilmu budaya dan juga lingustik
yang ada didalamnya.
3. Maritim adalah bentuk wilayah yang daerah teritorialnya berada di lautan
dengan mengandug keunikan sastra yang ada.
4. Suku Bajo adalah suku yang di dalnya banyak mengandung keunikan sastra
yang ada.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian yang Relevan

Sebelum mengadakan penelitian, peneliti melakukan observasi untuk menemukan


tulisan atau pustaka yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan
peneliti.Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini diantaranya.

1. Penelitian tentang “Representasi Budaya Martinental-Maritime Dalam Sastra Lisan


Minangkabau Kaba Anggun Nantongga”.oleh Mina Elfira (2014) skripsi Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya,Universitas Indonesia,Jakarta.Penelitian ini
mendiskripsikan bahwa dalam suku Minang Kabau tepatnya di desa Kaba Anggun
Nante Tongga yang berada di pesisir dengan kehidupan sosial, serta budaya
masyarakat penghasilnya. Dengan mengunakan pendekatan sosiologi
sastra,makalah memperlihatkanbahwa kebudayaan adalah ranah sharing codesyang
implementasinya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi tempat, sebagaimana
terlihat pada sastra lisan pesisir KAT. Perbedaan lokasi menjadikan perbedaan
dalam mengimplementasikan konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi
salah satu ideologi adat Minangkabau.

2. Penelitian tentang “Representasi Wujud Budaya di Masyarakat Multikulturalisme


Dalam Novel Burung-burung Arntau Karya Y.B Mangunwijaya”oleh Erma Lestari
(2017) skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Merdeka
Malang,,Malang.Penelitian ini mendiskripsikan Representasi wujud budaya di
masyarakat multikulturalisme dalam novel Burung-Burung Rantau karya Y.B
Mangunwijaya. Novel tersebut dipilih karena isi cerita yang disajikan sangat
menarik memberikan makna yang segar atas keadaan multikulturalisme di
Indonesia.

3. “Representasi,Parodisasi, dan Kontekstualisme Tujuh Puluh Karya Yanusa Nugroho


: Pendekatan Posmodernisme Linda Hutcheon” oleh Yustri Agung
Prastiyono,Yacub Fahmilda ( 2019 ) skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan,Universitas Gajah Mada.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
bangunan cerpen Tujuh Puluhan dari unsur peristiwa sejarah dan fiksi beserta
fungsinya. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji kontekstualisasi cerpen Tujuh
Puluhan yang berlatar waktu era Orde Baru. Cerpen karya Yanusa Nugroho tersebut
terbit pada puncak aksi demonstrasi mahasiswa dipenghujung Kabinet Kerja
bertugas. Terbitnya Tujuh Puluhan berlatar waktu era Orde Baru pada era Kabinet
Kerja menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana bangunan fakta
sejarah dan fiksi dalam Tujuh Puluhan beserta fungsinya. Kedua, bagaimana
kontekstualisasi peristiwa nasional era Orde Baru pada era Kabinet Kerja beserta
kritik pengarang melalui karya sastra.

4. “Representasi Tradisi Lempar Nasi di Desa Jleper Terhadap Prekspektif Islam”oleh


Fela Izzul Islamiyah, Ashif Az Zhafi ( 2019 ) Fakultas Hukum Islam dan Pranata
Sosial Islam,Institud Agama Islam Negri Bogor.Penelitian ini medeskripsikan
tentang Sedekah bumi merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Jleper setelah panen hasil bumi secara serentak. Tujuan dilakukannya acara
Sedekah Bumi ini adalah untuk menghormati leluhur dan bentuk rasa syukur
kepada Allah atas karunia yang telah diberikan kepada masyarakat Desa Jleper.
Berdasarkan tradisi tersebut akan dikaitkan dengan perspektif hukum islam. Tujuan
dari penelitian ini untuk mengetahui representasi bentuk kesyukuran atas karunia
hasil bumi di Desa Jleper Kecamatan Mijen Kabupaten Demak Provinsi Jawa
Tengah.

Dari keempat penelitian di atas, tergambar dengan jelas letak perbedaan antara
penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti
laksanakan,walaupun bentuk kajianya sama yakni menggunakan pendekatan
sosiologis sastra. Adapun yang menjadi titik fokus penelitian ini adalah untuk
mendiskripsikan segala bentuk representatif sosial kehidupan masyarakat yang
berada pada Suku Bajo.

2.2 Kajian Pustaka

Sebuah penelitian,baik itu berupa jenis penelitian kualitatif ataupun kuantitatif,


harus mempunyai landasan teori yang jelas, karena dalam penggunaan suatu teori dalam
penelitian atau penulisan karya ilmiah merupakan suatu hal yang sangat penting dan
mtlak untuk dipenuhi. Dengan landasan teori yang ada, dapat dijadikan sebuah sarana
ataupun panduan ketika seorang peneliti menjelaskan penelitianya lebih-lebih lagi
dalam penyusunan hasi penelitianya, yakni dalam sebuah tuisan yang berupa karya
ilmiah. Adapun penelitian ini secara garis besar mengumpulkan tiga teori bdisiplin
ilmu, yakni teori sastra, sosiologi murni, dan sosiologis sastra.

2.2.1 Representasi

Menrut KKBI (2008:1167) kata “representasi”berarti : 1) perbuatan mewakili; 2)


keadaan diwakili; 3) apa yang diwakili. Representasi pada dasarnya berarti
keterwakilan.Artinya adanya suatu yang dijadikan sebgai wakil untuk perbuatan atau
keadaan tertentu. Bedara ( 2012:56) mengemukakan bahwa representasi penting dalam
hal apakah seorang,sekelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana
mestinya dan bagaiman representasi tersebut ditampilkan. Senada dengan pendapat
tersebut jorgensens dan philips (2007:86) mengemukakan bahwa representasi berarti
bagaiman suatu dapat diwakili oleh wakil ketika fisik tidak ada.Representasi bisa
berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dalam nada (nyanyian).

Representasi merujuk kepada konstruksi segala aspek realitas atau kenyataan


seperti masyarakat, objek, pariwisata, hingga identitas budaya.Representasi tidak hanya
melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan atau dikonstruksikan didalam sebuah
teks tetapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan presepsi oleh masyarakat
yang mengomsumsi nilai budaya yang direpresentasikan.

Pemaknaan pada sesuatu dapat sangat berbeda dalam budaya atau kelompok
masyarakat yang berlainan karena pada masing-masing budaya atau kelompok
masyarakat tersebut ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu.Masyarakat yang
berbeda dalam suatu kelompok budaya yang sama mengerti dan menggunakan nama
yang sama, yang telah melewati proses kesepakatan secara sosial. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa representasi merupakan suatu proses untuk memproduksi makna
dari konsep yang ada dipikiran kita melalui bahasa. Proses pemaknaan tersebut
tergantung pada kolompok masyarakat yang menjelaskan budaya tersebut.

2.2.2 Pengertian Sastra

Banyak sekali para ahli yang mendefinisikan pengertian mengenai sastra, Mursal
Ensten mendefinisikan “Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta
artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui
bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia
(kemanusiaan).” (1978:9). Di sisi lain Semi mengungkapkan  “Sastra adalah suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya.” (1988:8). Panuti Sudjiman mendefinisikan
“Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam bagian isi, dan ungkapannya.” (1986:68).
Plato dan Aristoteles mempunyai definisi tersendiri mengenai sastra, menurut Plato
“Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya
sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model
kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.” Sastra
sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.” diungkapkan
oleh Aristoteles. Menurut Engleton sendiri (1988:4), sastra yang disebutnya adalah
“Karya tulisan yang halus” (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa
harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan,
dipanjang tipiskan dan diterbitkan, dijadikan ganjil”.Dari beberapa definisi di atas,
maka dapat didefinisikansastra merupakan suatu bentuk karya seni baik berupa lisan
maupun tulisan yang berisi nilai-nilai dan unsur tertentu lainnya yang bersifat
imaginatif.

Berdasarkan asal usulnya, istilah kesusastraan berasal dari bahasa  sansekerta,


yakni susastra. Su berarti bagus  atau indah, sedangkan sastra berarti  buku,tulisan atau 
huruf. Berdasarkan kedua kata  itu, susastra di artikan tulisan yang indah.Istilah tersebut
kemudian mengalami perkembangan. Kesusastraan tidak hanya berupa tulisan, tetapi
ada pula yang berbentuk lisan. Karya semacam itu di namakan  dengan sastra lisan.
Oleh karena itu, sekarang  yang dinamakan dengan kesusastraan  meliputi karya sastra
lisan dan tertulis  dengan ciri khas nya  terdapat pada keindahan  bahasanya.

Dalam bahsa Yunani Literature, artinya huruf, tulisan. Kata itu pertama sekali
digunakan untuk tata bahasa dan puisi sebagai bahan perbandingan. Kata sastra dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta. Akar katanya Cas yang berarti
memberi petunjuk , mengarahkan, mengajarkan, mengajar. Akhiran Tra biasanya
menunjukan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau
pengajaran.Sedangkan dalam KKBI kata sastra dituliskan sebagai (1) bahasa ( kata-kata,
gaya bahasa) yang dipakai didalam kitab-kitab ( bukan bahasa sehari-hari). (2)
Kesusastraan, karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lainya memilki ciri
keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan di dalam isi dan ungkapanya;
ragam sastra yang dikenal umu adalah novel, cerita pendek,drama, epik dan lirik. (3)
Kitab Suci (Hindu); kitab ( ilmu pengetahuan). (4). Pustaka; Kitab primbon ( berisi
ramalan). (5) tulisan atau huruf.

Berdasarkan defenisi tersebut, beberapa ahli kemudian  menyebutkan  ciri-ciri karya


sastra  sebagai berikut:

1. Bahasanya indah atau tertata dengan baik.


2. Isinya menggambarkan manusia dengan berbagai persoalannya.
3. Gaya penyajiannya menarik sehingga berkesan di hati pembacanya

2.2.3 Pengertian Maritim


Kata maritim berasal dari bahasa Inggeris yaitu maritime, yang berarti navigasi,
maritime atau bahari. Dari kata ini kemudian lahir istilah maritime power yaitu negara
maritim atau negara samudera. Maritim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai berkenaan dengan laut berhubungan dengan pelayaran dan
perdagangan di laut. Dalam bahasa Inggeris, kata maritime untuk menunjukkan sifat
atau kualitas yang menyatakan penguasaan terhadap laut.Dilihat dari sisi tata bahasa,
kelautan adalah kata benda, maritim adalah kata sifat. Dengan demikian, kalau ingin
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang memanfaatkan laut, rasanya kata
maritim lebih tepat. Indonesia harus menjadi negara maritim, bukan hanya negara
kelautan. Argumentasinya adalah, negara maritim adalah negara yang mempunyai sifat
memanfaatkan laut untuk kejayaan negaranya, sedangkan negara kelautan lebih
menunjukkan kondisi fisiknya, yaitu negara yang berhubungan, dekat dengan atau
terdiri dari laut.

Dilihat dari arti kata secara luas, kata kelautan mungkin lebih cenderung
mengartikan laut sebagai wadah, yaitu sebagai hamparan air asin yang sangat luas yang
menutupi permukaan bumi, hanya melihat fisik laut dengan segala kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikian, istilah maritim sesungguhnya lebih
komprehensif, yaitu tidak hanya melihat laut secara fisik, wadah dan isi, tetapi juga
melihat laut dalam konteks geopolitik, terutama posisi Indonesia dalam persilangan
antara dua benua dan dua samudera serta merupakan wilayah laut yang sangat penting
bagi perdagangan dunia.Pemahaman maritim merupakan segala aktivitas pelayaran dan
perniagaan, perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran
niaga, sehingga dapat disimpulkan bahwa maritim adalah terminologi kelautan dan
maritim berkenaan dengan laut, yang berhubungan dengan pelayaran, dan perdagangan
di laut.
Pengertian kemaritiman yang selama ini diketahui oleh masyarakat umum
adalah menunjukkan kegiatan di laut yang berhubungan dengan pelayaran dan
perdagangan, sehingga kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi seperti
penangkapan ikan bukan merupakan kemaritiman.3Dalam arti lain, kemaritiman berarti
sempit ruang lingkupnya, karena berkenaan dengan pelayaran dan perdagangan laut.
Pengertian lain dari kemaritiman yang berdasarkan pada terminologi adalah mencakup
ruang dan wilayah permukaan laut, pelagik dan mesopelagik yang merupakan daerah
subur di mana pada daerah ini terdapat berbagai kegiatan seperti pariwisata, lalulintas,
pelayaran dan jasa-jasa kelautan. Sedangkan menurut pendekatan konsep ini, Indonesia
saat ini lebih tepat disebut sebagai negara kelautan, bukannya negara maritim, karena
selama ini Indonesia belum mampu sepenuhnya memanfaatkan laut secara maksimal.

Selain itu, arah pengembangan dan pembangunan yang dilakukan bukan


cerminan sebagai negara yang mempunyai jiwa dan pemikiran yang pandai untuk
memanfaatkan laut secara keseluruhan dan tidak hanya memanfaatkan fisiknya saja.

Empat Fakta paradigma pembangunan dengan adanya ketimpangan


pembangunan di sektor laut dan daratan serta keterpurukan ekonomi, di era Presiden
Joko Widodo, tercerahkan kembali untuk kembali menata laut demi kemakmuran
bangsa. Presiden Joko Widodo mengusung tema kemaritiman dengan “Poros Maritim
Dunia” dan “Tol Laut”. Memang sudah seharusnya, bangsa Indonesia untuk menata dan
membangun laut khususnya kemaritiman menjadi modal pembangunan menuju
kemakmuran bangsa.Namun sepertinya, jalan untuk mewujudkan hal tersebut masih
akan menemui berbagai persoalan. Mulai dari persoalan ego sektoral dalam upaya
penegakan hukum kemaritiman hingga persoalan sarana dan prasarana yang merupakan
pemenuhan infrstruktur yang memadai di Indonesia.

2.2.4 Sastra Maritim


Dilihat dari pengertian dari ke dua aspek diatas sudah sangat jelas apa yang
dimaksud dengan sastra maritim. Mursal Ensten (1978:9) mendefinisikan “Sastra atau
Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi
kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek
yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan). Panuti Sudjiman ( 1986:68)
mendefinisikan “Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam bagian isi, dan
ungkapannya.” Dalam dunia maritim penggunaan sastra menjadi salah satu hal yang
sangat diperhatikan kerna menyangkut dengan kearifan dan objek tertentu dari wilayah
tersebut dengan melihat antar hubungan antar sastra dan maritim yang sudah terlihat
dari sejarah maritim terbentuk yang dituangkan dalam tulisan-tulisan dengan
perkembangan maritim dari masa penjajahan hingga menjadi wilayah maritim yang
berdaulat denga kebebasanya. Pada Suku Bajo yang berada dekat dengan wilayah
maritim yang manjadikan wilayah maritim sebagai tenpat untuk bertahan hidup
sehingga menjadikan laut sebagai representasi dari Suku Bajo yang semua kegiatanya
dilakukan banyak pada wilayah laut ( Maritim ).

2.2.5 Suku Bajo

Selama ini, ada beragam versi yang menerangkan asal-usul Suku Bajo. Versi
satu mengatakan dari Indonesia, versi lain mengatakan dari Filipina, Malaysia, dan
lainnya.Suku bajo merupakan salah satu suku terbesar di dunia karena hampir di semua
Negara terdapat suku bajo yang memiliki nama yang berbeda-beda. Di Indonesia nama
suku bajo yaitu bajau, bajao, bajo, bayo dan wajo.Di Malaysia disebut bajaw, Filipina
(sama), sedangkan di Eropa di sebut Bajau.Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina
Selatan. Versi lain menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia.
Mereka keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang ada di
semananjung Malaka Malaysia yang diperintahkan raja untuk mencari putrinya yang
kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai
ke PulauSulawesi. Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran
Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe.
Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi,
enggan kembali ke Johor.
Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak
abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomadenatau
manusia perahu (seanomedic). Suku Bajo tak bisa lepas dari laut sekalipun mereka
sudah menetap di darat. Ketergantungan mereka dengan laut sangat tinggi. Budaya dan
cara hidup mereka masih lekat dengan aroma laut. Bila Suku Bajo merawat laut dengan
baik dan mengemas budaya serta cara hidupnya secara menarik, tentu dapat menjadi
suguhan wisata yang dapat menjaring wisatawan mancanegara maupun domestik.

2.3 kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pemikiran peneliti dalam penelitian ini secara sederhana


digambarkan dalam bagan berikut.

Sastra Maritim

Suku Bajo?

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Representasi bentuk Sastra Maritim dalam Suku Bajo?


2. Bagaimana Representasi pesan Sastra Maritim dalam Suku Bajo?

Metodeologi Penelitian Landasan Teori

Representasi Sastra maritim


Kualitatif Teori Sosiologi Sastra

Temua
n
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran Peneliti
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini, metode yang digunakan adalah deskriptif dengan
pendekatan kualitatif.Rancangan kualitatif digunakan dalam analisis ini sebagai
upaya untuk mendeskripsikan informasi gejala atau kondisi sebagaimana
adanya.
Menurut Siswanto (2010:56-57) Penelitian sastra, sebagaimana penelitian
disiplin lain, bersandar pada metode yang sistematis. Hanya saja penelitian
sastra bersifat deskriptif, karena itu metodenya juga digolongkan ke dalam
metode deskriptif. Dengan metode deskriptif, seorang peneliti sastra dituntut
mengungkapkan fakta-fakta yang tampak atau data dengan cara memberi
deskripsi. Fakta atau merupakan sumber informasi yang menjadi basisanilasi.
Tetapi data harus diambil berdasar parameter yang jelas, Misalnya parameter
struktur. Untuk sampai ke pengambilan data yang akurat, dia harus melakukan
pengamatan yang cermat dengan bekal penguasaan konsep struktur secara baik.

3.2Objek Penilaian

Objek penilain merupakan hal yang paling penting dan harus ada dalam
suatu penilaian. Menurut Sudaryono ( dalam Siska 2013:18) menyatakan bahwa
objek adalah unsur yang dapat bersama-sama dengan sasaran penelitian
membentuk data. Objek penelitian dapat berupa individu, benda, bahasa,
maupun karya sastra budaya.

Berdasarkan paparan di atas, maka yang menjadi objek penelitian ini yakni
Sastra Maritim dalam Suku Bajo.
3.3 Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Data primer, yakni data yang berasal dari sumber asli atau pertama, Yang
menjadi data primer dalam penelitian ini yaitu Sastra Maritim dalam Suku
Bajo.
b. Data Sekunder, yaitu sumber data yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data dan sifatnya mendukung keperluan data primer.
Data sekunder ini diperoleh dari studi literatur berupa buku, skripsi,
dokumentasi, jurnal, internat dan laporan-laporan lainya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu; (1)
teknik dokumentasi, dan (2) teknik pencatatan, serta (3) wawancara melalui
wawancara. Ketiga teknik pengumpulan dat tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Teknik dokumentasi adalh pengumpulan data dengan car mengambil data
dari kehidupan sosial, dokumentas yang sesuai dengan masalah yang
diteliti.Untuk memperoleh data dari penelitian ini maka digunakan teknik
dokumentasi, yaitu besosialisasi, mendengarkan dan menyimak percakapan
serta kehidupan sehari-hari suku bajo.
2. Teknik pencatatan digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan agar
penelitian ini dapat dikaji secara mendalam, terhadap teori Sosiologis Sastra
dari berbagai bahan (literatur) sehingga menghasilkan temuan berdasarkan
tujuan penelitian.
3. Teknik wawancara digunakan untuk menentukan dan mengecek data serta
sumbet data untuk mencapai derajat kepercayaan (kredibilitas) dari sumber
data yang berbeda.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penenlitian kualitatif adalah “Human Instrumen” atau manusia
sebagai informasi maupun yang mencari data dan instrumen utama penelitian
kualitatif adalah penelitian itu sendiri sebagai ujung tombak pengumpul data
(instrumen) (Satori dan Komariah, 2017:90).
Berdasarkan pernyataan di atas, yang digunakan dalam penelitian ini
adalah instrumen tunggal yakni peneliti sendiri dengan menggunakan
beberapa instrumen , yaitu:
1. Alat tulis dan buku catatan yang berfungsi untuk mencatat data yang telah
diperoleh dan dianalisi.
2. Organisasi yang berfungsi sebagai sara untuk berkomunikasi dengan
masyarakat setempat tentang bahasa dan suku bajo.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti
konsep Milles dan Huberman (1992).
1. Tahap Reduksi Data
Tahap reduksi data yaitu pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan tranformasi dasar kata yang muncul.
Peneliti melakukan catatan-catatan tertulis, baik yang diperoleh dari buku,
internet, maupun arsip dari skripsi terdahulu yang dikumpulkan kemudian
diseleksi sehingga data yang yang diperoleh lebih terpercaya dan akurat.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif adalah teks
naratif.
3. Kesimpulan
Kesimpulan adalah pengambilan keputusan dari hasil reduksi data dan
penyajian data, kemudian berdasarkan proses analisis yang dilakukan
disimpulkan hasil dalam bentuk kalimat.
4. Tringulasi Data
Penarikan kesimpulan hanyalah tindakan menentukan keakuratan data
primer dengan rujukan kepada konsep tertentu sebagai parameter. Untuk
memperoleh keabsahan, data temuan harus diuji lagi agar makin terpercaya.
Adapun teknik yang digunakan dalam proses validasi dikenal dengan nama
tringulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Arum, Awiska Anggelina, 2019 Representasi Budaya Kaili dalam Lagu Hasan M.
Bahasyuan.
Purba, Antilan,2010 Sastra Indonesia Kontenporer.
Esten Mursal, 2000 Kesusastraan Pengantar Teori Sejarah Sastra
Kader, A, 2015 Pengelolah Kemaritiman Menuju Indonesia sebagai Poros Meritime.
https://journal.itltrisakti.ac.id/index.php/jmtranslog/article/view/75/118.
Efendi, Agig Nur.”Revitalitas Semangat Bahari Untuk Menyongsong indonesia
Sebagai Poros Maritim Duni Melalui Karya Sastra Melayu”.[ online] tersedia:
http://repositori.kemdikbud.go.id/11153/1/REVITALISASI%20SEMANGAT
%20BAHARI%20UNTUK%20MENYONGSONG%20INDONESIA.pdf. (Diakses
Tanggal 1 Maret 2021).
Lestari Erma.(2019).”Representasi Wujud Budaya di Masyarakat Multikulturalisme
Dalam Novel Burung-Burung Rantau Karya Y.B Mangun Wijaya.[ online ] Tersedia :
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/kembara/article/view/5176 ( Diakses
Tanggal 1 Maret 2021)
Islamiyah Fela Izzul, Ashif Az Zhafi (2019).” Representasi Tradisi Lempar Nasi di

Desa Jepler Terhadap Prespektif Isalam” [ online ] Tersedia :


http://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/view/748/0. (Diakses Tanggal
Maret (2021).

Sampeli, Yamran.(2011).“Perilaku Komunikasi Suku Bajo Dalam Berinteraksi


Dengan Komunitas Daratan di Desa Terapung Kecamatan Mawasangka
Kabupaten Buton”. [ online] tersedia:.
https://media.neliti.com/media/publications/93410-ID-none.pdf. ( Diakses
Tanggal 1 Maret 2021)
Fahmilda Yacub,Yusti Agung Prastiono (2019).”Presentasi,Parodisasi,dan
Kontekstualisasi Tujuh Puluh Karya Yanusa Nugroho”. [online ] Tersedia :
http://proceedings.upi.edu/index.php/riksabahasa/article/view/1112. ( Diakses
Tanggal 3 Maret( 2021)
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii

ABSTRAK............................................................................................................. iv

ABSTRAK............................................................................................................. v

UCAPAN TERIMAKASIH................................................................................. vi

DAFTAR ISI......................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR............................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................. 8
1.4.1 Manfaat Teoritis....................................................................... 8
1.4.2 Manfaat Praktis........................................................................ 8

1.5 Batasan Istilah........................................................................................ 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian yang Relevan.................................................................. 11

2.1 Kajian Pustaka..................................................................................13

2.2.1 Representasi........................................................................14

2.2.2 Pengertian Sastra.................................................................15

2.2.3 Pengertian Maritim..............................................................17


2.2.4 Sastra Maritim.....................................................................19

2.2.5 Suku Bajo ...........................................................................20

2.3 Kerangka Pemikiran...........................................................................21

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian..................................................................................23

3.2 Objek Penelitian................................................................................23

3.3 Sumber Data......................................................................................24

3.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................................24

3.5 Instrumen Penelitian...........................................................................25

3.6 Teknik Analisis Data...........................................................................26


REPRESENTASI SASTRA MARITIM PADA SUKU BAJO

ARDIANSYAH

PROPOSAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2021

Anda mungkin juga menyukai