Dengan demikian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
penyebaran tindak terorisme di ASEAN dan untuk mengetahui respon ASEAN terhadap
tindak terorisme yang terjadi di beberapa negara ASEAN. Metode yang digunakan adalah
metode deskritif dengan pendekatan kuantitatif.
Beberapa peran atau upaya yang dilakukan oleh ASEAN dalam menanggulangi
tindak pidana terorisme di kawasan Asia Tenggara , yaitu dengan pembentukan ASEAN
Regional Forum (ARF) dan ASEAN Convention On Counter Terrorism.
ABSTRACT
Terrorist attacks that occurred in various countries, especially after the September 11
tragedy is not a new problem for Southeast Asian countries. The issue of terrorism that has
been the concern of individual countries has now become a common concern for Southeast
Asian countries because of the situation in the international order that faces a complex of
security. ASEAN as an institution representing the Southeast Asia Region issued the ASEAN
Convention on Counter Terrorism in 2007 as Responding to the threat of terrorism faced by
the ASEAN region.
The formulation of the problem in this research is how the spread of acts of terrorism
in the ASEAN region ?,
Therefore, the purpose of this research is to know the spread of terrorism in ASEAN
and to know the response of ASEAN to acts of terrorism that happened in some ASEAN
countries. The method used is descriptive method with quantitative approach.
Dalam penyusunan proposal ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan proposal ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan proposal selanjutnya.
Akhir kata semoga proposal ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Penyusun
DAFTAR ISI
ABSTRAK....................................................................................................................................
ABSTRACT..................................................................................................................................
KATA PENGATAR........................................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................................
BAB I (PENDAHULUAN)..............................................................................................................
A. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI TERORISME
2.2 MOTIF-MOTIF TERORISME
2.3 PERKEMBANGAN TERORISME DI ASEAN
A. Terorisme di Filipina
B. Terorisme di Thailand
C. Terorisme di Indonesia
B. KEANGKA BERPIKIR
BAB IV PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Masuknya pengaruh aksi dan taktik terorisme di kawasan Asia Tenggara tak lepas dari
peristiwa 9/11.Kelompok Al-Qaeda sebagai pihak yang dianggap yang bertanggung jawab
atas peristiwa 9/11 dan telah ditetapkan sebagai kelompok teroris internasional yang telah
menyebarkan jaringannya hingga ke kawasan Asia Tenggara. Amerika Serikat gencar
mengkampanyekan Global War on Terror dengan maksud agar seluruh negara di dunia
mulai tanggap dan sadar akan adanya bentuk ancaman global baru. Berbagai pemberontakan
yang dilakukan di negara-negara Asia Tenggara oleh kelompok-kelompok perwakilan
etnis maupun agama, khususnya agama Islam dimanfaatkan oleh kelompok teroris
internasional seperti Al-Qaeda untuk menyebarkan jaringannya di Asia Tenggara.
Sejumlah serangan-serangan atas aksi terorisme yang terjadi di negara-negara kawasan
Asia Tenggara merupakan realisasi dari serangkaian rencana-171 rencana para pelaku
aksi terorisme yang dipengaruhi oleh kelompok Al-Qaeda. Seperti pada tahun 2001
Moro Liberation Front melakukan pemberontakan yang menyebabkan terbunuhnya
wisatawan asing di Flipina Selatan, peristiwa Bom Bali yang di Indonesia pada tahun
2002, pengemboman pangkalan militer Filipina di Zamoanga pada tahun 2002, dan
pengeboman Bandara di Davao City pada tahun 2003 yang disinyalir dilakukan oleh
kelompok New People’s Army(NPA), Jemaah Islamiyah, MILF, dan Abu Sayyaf Group
(Yani,2012: 2). Bagaimana ASEAN merespons masalah-masalah semacam ini? Jika melihat
konteks historisnya, ancaman ekstrimisme dan radikalisme yang berujung pada aksi-aksi
teror mulai mendapat tanggapan besar dari ASEAN pasca peristiwa 11 September di Amerika
Serikat (AS) dan bom Bali 12 Oktober (Emmers 2003). Beberapa pengamat melihat Asia
Tenggara sebagai ‘front kedua’ dalam proyek global melawan terorisme yang diusung oleh
Amerika Serikat (lihat Choiruzzad, 2003; Gunaratna, 2002). Respons terhadap terorisme
tersebut mencapai puncaknya pada November 2001 saat para pemimpin ASEAN
mendeklarasikan perang terhadap terorisme. Namun demikian, terlihat bahwa deklarasi
tersebut tidak berasal dari konsensus nyata di antara negara-negara anggota. Adanya
kepentingan domestik yang berbeda-beda antara Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura
membuat pencapaian kesepakatan regional dan perumusan langkah-langkah nyata tidak
berjalan dengan baik (Emmers 2003). Di sisi lain, dimensi politik domestik juga sangat kental
dalam respons ini. Sebagai contoh, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan
Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo dengan cepat mendukung perang Amerika
melawan terorisme dan menggunakannya untuk keuntungan politik. Mahathir mengambil
keuntungan 11 September untuk mendiskreditkan Partai Islam se-Malaysia dengan
menggambarkannya sebagai partai militan Islam. Arroyo yang menggambarkan Abu Sayyaf
sebagai gerakan teroris internasional bersedia menerima bantuan militer AS untuk menumpas
anggotanya di Pulau Basilan. Singapura, yang semenjak pasca perang dingin sudah menjadi
bagian dari sekutu AS (Hafiz ed. 2006), memberikan kontribusi langsung untuk mendukung
proyek tersebut.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap pengetahuan dan
pemikiran dalam ilmu pengetahuan sosial dan politik mengenai perkembangan tindak
terorisme di kawasan ASEAN dan khususnya mendalami tentang kasus terorisme
yang belakangan ini kerap sering terjadi di beberapa negara ASEAN, khususnya
Indonesia.
2. Manfaat praktis
Memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang perkembangan terorisme
kepada masyarakat khususnya masyarakat di wilayah ASEAN yang diharapkan
dapat meningkat kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas
tindak pidana terorisme.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Prancis. Diakhir abad ke-19, awal
abad ke-20 dan menjelang PD-II, terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya,
dalam rejim Stalin pada tahun 1930-an yang juga disebut ”pemerintahan teror”. Di era perang
dingin, teror dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.
Kata Terorisme sendiri berasal dari Bahasa Prancis le terreur yang semula dipergunakan
untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan
kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh
melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk
menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak
awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan
yang anti pemerintah.
Namun, istilah ”terorisme” sendiri pada 1970-an dikenakan pada beragam fenomena:
dari bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan.
Beberapa pemerintahan bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai ”teroris” dan aksi-aksi
mereka disebut ”terorisme”. Istilah ”terorisme” jelas berkonotasi peyoratif, seperti istilah
”genosida” atau ”tirani”. Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi
membuka peluang penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan
politis.
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan
terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk
mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi
dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan
terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu
tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah barang
tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah
berlaku.
Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan
yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap
orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut kamus Webster's New School and Office Dictionary, terrorism is the use of
violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by teror,
pelakunya disebut terrorist. Selanjutnya sebagai kata kerja terrorize is to fill with dread or
terror'; terrify; ti intimidate or coerce by terror or by threats of terror.
Menurut ensiklopeddia Indonesia tahun 2000, terorisme adalah kekerasan atau
ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptkan suasana
ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap
suatu aksi maupun tuntutan.
RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka
di AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajian menyimpulkan bahwa setiap tindakan
kaum terorris adalah tindakan kriminal.
Definisi konsepsi pemahaman lainnya menyatakah bahwa :
(1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai
tindakan kriminal, juga situasi diberlakukannya hukum perang
(2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian penyerangan
terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme
(3) meskipun dimensi politik aksi teroris tidak boleh dinilai, aksi terorisme itu dapat saja
mengklaim tuntutanan bersifat politis
a. Ciri-ciri terorisme
Menurut beberapa literatur dan reference termasuk surat kabar dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri terorisme adalah :
1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2. Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai
tujuan.
3. Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan
HAM.
4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa
takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
5. Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan,
pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.
b. Bentuk-bentuk Terorisme.
Dilihar dari cara-cara yang digunakan :
1) Teror Fisik yaitu teror untuk menimbulkan ketakutan, kegelisahan memalui sasaran pisik
jasmani dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan penyiksaan
dsb, sehingga nyata-nyata dapat dilihat secara pisik akibat tindakan teror.
2) Teror Mental, yaitu teror dengan menggunakan segala macam cara yang bisa menimbulkan
ketakutan dan kegelisahan tanpa harus menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai
sasaran) yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tekanan batin yang luar biasa
akibatnya bisa gila, bunuh diri, putus asa dsb.
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1) Teror Nasinal, yaitu teror yang ditujukan kepada pihak-pihak yang ada pada suatu wilayah dan
kekuasaan negara tertentu, yang dapat berupa : pemberontakan bersenjata, pengacauan
stabilitas nasional, dan gangguan keamanan nasional.
2) Teror Internasional. Tindakan teror yang diktujukan kepada bangsa atau negara lain diluar
kawasan negara yang didiami oleh teroris, dengan bentuk :
a) Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam bentuk penjajahan, invansi, intervensi,
agresi dan perang terbuka.
b) Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam bentuk pembajakan, gangguan
keamanan internasional, sabotase, tindakan nekat dan berani mati, pasukan bunuh diri, dsb.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Global Terrorism Database, Indonesia merupakan
jumlah kasus terbanyak ketiga dengan urutan pertama Filipian yang merupakan negara
dengan serangan teroris terbanyak di Asia Tenggara sejak tahun 1970an hingga tahun 2013
A. Terorisme di Filipina
Di tinjau dari grafik di atas jumlah kasus aksi teror di Filipina meninggkat tajam dari
tahun 2011-2013 .
Tahun 2011 : 89 kasus dengan korban hingga kurang lebih 200 jiwa
Tahun 2012 : 247 kasus dengan korban hingga kurang lebih 400 jiwa
Tahun 2013 : 652 kasus dengan korban hingga kurang lebih 650 jiwa
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, mengapa justru terjadi peningkatan kasus
terorisme di Filipina, apakah konvensi ACCT belum sepenuhnya diimplementasian dengan
benar di Filipina, atau apakah memang ACC masih kurang efektif bagi penanganan kasus
terorisme di Filipina. Peningkatan kasus terorisme di Filipina hingga akhir 2013 ini
menjadikan konvensi ini untuk perlu ditinjau kembali.
B. Terorisme di thailand
Dengan total 30 aksi teror dan korban 1334 orang di tahun 2004, maka sejak tragedi
tahun 2004 pemerintah Thailand menindak lanjut dalam penanganan konflik di Selatan
Thailand selalu memiliki pola yang sama, di antaranya adalah Militer dan Kepolisian
Thailand selalu dilengkapi oleh senjata kelas berat, Militer dan Polisi selalu bersifat
represif kepada massa yang merupakan Muslim, tidak adanya kejelasan sanksi bagi
pelaku yang melakukan pembunuhan massal baik di peristiwa Krue Se maupun Tak Bai,
tindakan diskriminatif kepada masyarakat Muslim.
C. Terorisme di Indonesia
Penjelasan munculnya terorisme di Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yakni
struktural dan agensial.
Dari segi struktural, kita dapat mengatakan bahwa satu dari sekian penyebab
kemunculan terorisme di Indonesia adalah globalisasi yang mendapat sambutab
begitu luas di Indonesia. Negeri ini cepat sekali mengalami modernisasi ekonomi,
budaya, dan politik. Berbagai modernisasi tersebut kerap kali dianggap sama seperti
westernisasi , di mana kemudian memicu reaksi penolakan semu, seperti salah
satunya berupa bangkitnya Islam politik tipe tertentu yang kemudian disebut revivalis,
radikal, atau fundamentalis, yang menjadi landasan ideologi kelompok kekerasan,
Jemaah Islamiyah (JI) misalnya.Pada level nasional, terdapat sejarah berupa represi
atau penekanan Islam politik yang memuncak di era Soeharto di mana sebuah
“konsensus kebangsaan” berbasiskan nasionalisme dipaksakan kepada rakyat yang
mayoritas beragama Islam oleh sebuah rezim otoriter yang tidak ragu menggunakan
kekerasan pada rakyatnya sendiri. Rezim ini dipandang menindas dan sangat dekat
dengan Barat sehingga berdasarkan pemikiran Islam radikal dapat dikatakan sebagai
murtad (keluar dari agama/ aturan agama).Para pemimpin ini kemudian kembali ke
Indonesia sejak Indonesia menjalani transisi yang tertatih-tatih menuju demokrasi.
Kondisi transisi menuju demokrasi ini memberi ruang bergerak yang besar bagi
mereka yang ingin membangkitkan kembali gerakan politik Islam radikal yang telah
lama ditekan dan pada akhirnya menemukan ekspresi tertingginya dalam gerakan
jihad yang lebih ekstrim, yang kemudian sering disebut sebagai “radikalisasi.”Dari
sini, analisis mengenai penyebab munculnya teroris di Indonesia bergerak menuju
level agensial: terorisme muncul di Indonesia karena adanya individu-individu yang
terdeterminasi untuk melakukan t ipe jihad tertentu melalui upaya bom bunuh diri.
Tampaknya kasus bom bunuh diri sangat marak dilakukan oleh para terorisme di
indonesia. Berikut ini adalah data statistik kasus aksi bom bunuh diri di indonesia
sejak tahun 1999-2014 :
Sumber : http://duljonmaster.blogspot.com/2014/03/kebijakan-pemerintah-indonesia-
dalam.html
Dari data di atas tercatat aksi bom teror dari tahun 1999-2001 meningkat tajam hingga
81 kasus di tahun 2001 dan menurun tajam dari tahun 2002-2009 di titik terendah di
tahun 2009 hanya 1 kasus aksi bom teror di Indonesia. Meningkat lagi kasus aksi bom
teror 2010 tercatat 6 kasus aksi bom teror, di tahun 2011 tercatat 7 kasus aksi bom
teror dan tahun 2012 tercatat 14 kasus aksi bom teror. Terhintung jumlah kasus aksi
bom teror di Indonesia tercatat 231 kasus di tahun 1999-2012.
B.Kerangka berpikir
Peneliti merumuskan kerangka berpikir sebagai berikut : adanya analisis menggunakan data
tabel,grafik dan teori. Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep,kontruksi, defenisi
untuk menerangkan suatu fenomenal social secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antara konsep.
BAB III METODOLGI PENELITIAN
Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Pustaka, dalam penelitian
ini data didukung dari website, buku-buku, literature, kamus, artikel-artikel dalam
majalah, jurnal ilmiah,dll