ILMU
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
SEMESTER / KELAS : 4 / C
PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2020 / 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada Bapak Muhammad Nur, S. Fil. I., M.
Hum. yang sudah memberikan kami pembelajaran di mata kuliah Filsafat Ilmu dan
juga terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik. Kami
berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya lebih baik lagi.
Makalah ini berisikan tentang Problem Dikotomi Ilmu dan Model-Model
Integrasi Ilmu. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
Cover ...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 12
B. Saran ................................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Asyari dan Rusni Bil Makruf, “DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM: Akar Historis dan
Dikotomisasi Ilmu”, El- HiKMAH, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014. Hlm.5
2
umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan
bagi orang yang menuntut ilmu ditinggikan derajatnya di sisi Allah, bahkan tidak
sama orang yang mengetahui dan dengan orang yang tidak mengetahui.
Ilmu pengetahuan dan agama merupakan satu totalitas yang integral yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sesungguhnya Allah-lah yang
menciptakan akal bagi manusia untuk mengkaji dan menganalisis apa yang ada
dalam alam ini sebagai pelajaran dan bimbingan bagi manusia dalam
menjalankan kehidupannya di dunia.
Selanjutnya, Azra, sebagaimana dikutip Muhaimin, memberikan analisis
historis yang lebih jelas. Menurutnya, sebelum kehancuran teologi Mu’tazilah
pada masa Khalifah alMa’mun (198-218 H/813-833 M), mempelajari ilmu-ilmu
umum (kajian- kajian nalar empiris) ada dalam kurikulum madrasah. Akan tetapi,
dengan adanya pemakruhan atau bahkan lebih ironis lagi pengharaman
penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu umum yang dicurigai
itu dihapuskan dari kurikulum madrasah. Mereka yang berminat mempelajari
ilmuilmu umum dan yang mempunyai semangat keilmuan (ilmiah) untuk
membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah terpaksa harus belajar sendiri-sendiri
atau di bawah tanah, karena dipandang sebagai ilmu-ilmu subversif yang dapat
menggugat kemapanan doktrin Sunni, terutama dalam kalam dan fikih.
Adanya Madrasah at}-T}ibb (Sekolah Kedokteran) juga tidak dapat
mengembangkan ilmu kedokteran dengan bebas, karena sering digugat fuqaha,
misalnya tidak diperkenankan menggunakan organ-organ mayat sekalipun
dibedah untuk diselidiki. Demikian pula rumah sakit riset di Bagdad dan Kairo,
karena dibayangi legalisme fikih yang kaku, akhirnya berkosentrasi pada ilmu
kedokteran teoretis dan perawatan.
Paparan tersebut menunjukan bahwa dalam realitas sejarah pernah terjadi
disharmonisasi hubungan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sekuler)
yang mendorong terjadinya dikotomi antara ilmu pendidikan agama dan ilmu
pendidikan umum. Lahirnya dualisme pendidikan tersebut mengakibatkan
terjadinya kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang, seiring dengan
3
kemajuan Barat (Eropa) yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan
berusaha menguak misteri alam serta menaklukkan lautan dan daratan.
Faktor lain yang menyebabkan kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme
dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan
bermasyarakat melahirkan sikap esklusivisme. Gerakan Islam termasuk dalam
kategori gerakan esklusif tersebut. Ekslusif dalam arti kemunculan pemikiran
bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada pada agamanya semata, agama
orang lain semuanya salah. Agama orang lain sama sekali berbeda dan tidak
mempunyai keselamatan sedikit pun, sehingga tidak perlu ada dialog karena
tidak akan mencapai titik temu. Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya dan
mengisolasi diri dari yang lain, menolak untuk bekerja sama dalam memecahkan
permaslahan-permasalahan, dan terkadang suka menggunakan kekerasan dalam
menyelesaikan perbedaan dengan luar agamanya.
Realitas ini mengingatkan kepada kita bahwa sikap mengisolasi diri dari
sistem pemikiran ataupun kehidupan sosial ini ikut memengaruhi pola atau
sistem keilmuan dalam Islam itu sendiri. Padahal, seperti kita ketahui,
kecenderungan menutup diri membuat suatu disiplin ilmu, dalam hal ini sistem
keilmuan Islam, menjadi tidak utuh lagi, terbentuk secara parsial dan tercerai-
berai yang pada akhirnya membentuk ketidaksatabilan antara jasmani dan rohani.
4
C. Proses Dikotomi Ilmu di Indonesia
Proses pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari proses masuknya
Islam di Indonesia. Meskipun ada beberapa versi tentang kapan masuknya Islam
di Indonesia, namun dapat dipahami bahwa masuknya Islam tidak bisa lepas dari
para penyebar Islam dan perdagangan. Sehingga, akulturasi budaya dan agama
menjadi berjalin kelindan di antara keduanya. Dan, pendidikan Islam dalam
konteks ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat yang ada
pada saat itu.
Pesantren dalam hal ini merupakan manifestasi pendidikan Islam awal di
Indonesia. Keberadaan pesantren sejalan dengan dinamika pendidikan Islam di
Nusantara. Mengenai awal kemunculan pesantren ini, ada beberapa pandangan.
Abdurrahman Mas’ud, misalnya, memandang bahwa keberadaan pesantren tidak
lepas dari peran Walisongo, figur penyebar agama Islam di Jawa.
Pendidikan sekolah yang modern tersebut sangat berbeda dengan pendidikan
Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus
dari isi dan tujuanya. Pendidikan yang dikelolah oleh Belanda khususnya
berpusat pada pengetahuan umum dan keterampilan duniawi. Adapun lembaga
pendidkan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan keterampilan yang
berguna bagi pengamalan ajaran agama. Hal ini kemudian berimbas pada
kemunculan dikotomi kelembagaan dalam pendidikan Islam. Akibatnya, muncul
pula istilah sekolah-sekolah agama dan sekolah- sekolah umum. Dengan kata
lain, sekolah agama berbasis ilmu-ilmu “agama” dan sekolah umum berbasis
ilmu-ilmu “umum”.
Kemunculan dikotomi sekolah umum pada satu sisi dan sekolah madrasah
yang merupakan perwakilan sekolah agama pada sisi lain merupakan wujud
kongkret dikotomi dalam pendidikan Islam. Hal ini diperparah dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri
Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama pada
tahun 1975 yang mempersamakan kedudukan sekolah umum dengan madrasah
5
yang statunya masih sebagai sekolah agama. Dikotomi ini kemudian melahirkan
pola stratifikasi pendidikan, di mana pendidikan Islam lebih diposisikan pada
level yang lebih rendah. Hal ini berakibat pada lemahnya posisi tawar pendidikan
Islam. Sehingga, persepsi terhadap pendidikan Islam menjadi semakin buruk.
Asumsi ini pada satu sisi tidak hanya dilahirkan oleh masyarakat, namun juga
pemerintah. Payung pendidikan Islam melalui Departemen Agama serta merta
berdampak pada konsekuensi terhadap fasilitas dan anggaran. Sehingga,
kuantitas pendidikan madrasah (Islam) yang luar biasa tidak sebanding dengan
kualitas pengelolaan dan keluarannya.2
2
muhamad mustaqim. “Pengilmuan islam dan Problem dikotomi Pendidikan”. Jurnal
Penelitian, Vol. 9, No. 2, Agustus 2015. Hlm.260-264
6
2. Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI) Model yang
dikembangkan oleh Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI) muncul
pertama kali pada Mei 1977 dan merupakan satu usaha yang penting
dalam kegiatan integrasi keilmuan Islam di Malaysia karena untuk
pertamanya, para ilmuwan Muslim di Malaysia bergabung untuk, antara
lain, menghidupkan tradisi keilmuan yang berdasarkan pada ajaran Kitab
suci al-Qur’an. Tradisi keilmuan yang dikembangkan melalui model
ASASI ini pandangan bahwa ilmu tidak terpisah dari prinsip-prinsip
Islam. Model ASASI ingin mendukung dan mendorong pelibatan nilai-
nilai dan ajaran Islam dalam kegiatan penelitian ilmiah; menggalakkan
kajian keilmuan di kalangan masyarakat; dan menjadikan Al-Qur’an
sebagai sumber inspirasi dan petunjuk serta rujukan dalam kegiatan-
kegiatan keilmuan. ASASI mendukung cita-cita untuk mengembalikan
bahasa Arab, selaku bahasa Al-Qur’an, kepada kedudukannya yang hak
dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam, dan berusaha
7
menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan masyarakat
Islam dalam bidang sains dan teknologi.
9
7. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Tasawuf Pemikir yang terkenal
sebagai penggagas integrasi keilmuan Islam yang dianggap bertitik tolak
dari tasawwuf ialah Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang kemudian ia
istilahkan dengan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of
Knowledge). Gagasan ini pertama kali muncul pada saat konferendi
Makkah, di mana pada saat itu, Al-Attas menghimbau dan menjelaskan
gagasan "Islamisasi Ilmu Pengetahuan". Identifikasinya yang meyakinkan
dan sistematis mengenai krisis epistemologi umat Islam sekaligus
formulasi jawabannya dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan masa
kini yang secara filosofis berkaitan, benar-benar merupakan prestasi
inovatif dalam pemikiran Islam modern. Formulasi awal dan sistematis ini
merupakan bagian integral dan konsepsinya mengenai pendidikan dan
universitas Islam serta kandungan dan metode umumnya. Karena
kebaruan ide-ide yang dipresentasikan dalam kertas kerjanya di Makkah,
tema-tema gagasan ini diulas kembali dan dijelaskan panjang lebar pada
Konferensi Dunia yang Kedua mengenai Pendidikan Umat Islam pada
1980 di Islamabad. Dalam karya-karyanya, dia mencoba menghubungkan
deislamisasi dengan westernisasi, meskipun tidak secara keseluruhan. Dari
situ, dia kemudian menghubungkan program Islamisasi ilmu pengetahuan
masa kini dengan dewesternisasi. Predikat ilmu masa kini" sengaja
digunakan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam yang
berasal dari kebudayaan dan peradaban pada masa lalu, seperti Yunani dan
India, telah diislamkan.
8. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh Model ini digagas oleh Al-
marhum Ismail Raji al-Faruqi. Pada tahun 1982 ia menulis sebuah buku
berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan
diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought, Washinton.
Menjadikan Al-Faruqi sebagai penggagas model integrasi keilmuan
berbasis fiqh memang tidak mudah, lebih-lebih karena ia termasuk
10
pemikir Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi
Ilmu Pengetahuan. Masalahnya pemikiran integrasi keilmuan Islam Al-
Faruqi tidak berakar pada tradisi sains Islam yang pernah dikembangkan
oleh AlBiruni, Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain, melainkan berangkat dari
pemikiran ulama fiqh dalam menjadikan Al-Qur’an dan Assunnah sebagai
puncak kebenaran. Kaidah fiqh ialah kaedah penentuan hukum fiqh dalam
ibadah yang dirumuskan oleh para ahli fiqh Islam melalui deduksi Al-
Qur’an dan keseluruhan korpus al-Hadith. Pendekatan ini sama sekali
tidak menggunakan warisan sains Islam yang dipelopori oleh Ibn Sina, al-
Biruni dan sebagainya. Bagi al-Faruqi, “sains Islam” seperti itu tidak
Islami karena tidak bersumber dari teks Al-Qur’an dan Hadis.
3
Nur Jamal. “MODEL-MODEL INTEGRASI KEILMUAN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN
ISLAM”. Jurnal Penelitian, Vol. 2 No. 1 Juni 2017 ~ 82-101. Hlm.94-99.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dikotomi Ilmu adalah membedakan, memisahkan ilmu menjadi dua
kelompok atau dua bagian yang saling berbeda dan bertentangan. Isttilah
dikotomi ilmu dalam berbagai literatur sejarah berbeda-beda, untuk
membedakan ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum banyak digunakan istilah-
istilah diskursus yang berbeda, diantaranya digunakan kata “ilmu akhirat” dan
“ilmu dunia”.
Dalam perkembangannya, dikotomi keilmuan ini akan berimplikasi
terhadap model pemikiran. Di satu pihak, ada pendidikan yang hanya
memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai
keagamaan. Di sisi lain, ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah
agama yang terpisah dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Proses pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari proses
masuknya Islam di Indonesia. Meskipun ada beberapa versi tentang kapan
masuknya Islam di Indonesia, namun dapat dipahami bahwa masuknya Islam
tidak bisa lepas dari para penyebar Islam dan perdagangan. Sehingga,
akulturasi budaya dan agama menjadi berjalin kelindan di antara keduanya.
Dan, pendidikan Islam dalam konteks ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosial budaya masyarakat yang ada pada saat itu.
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13