Anda di halaman 1dari 9

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PENCALONAN PEREMPUAN

DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH


DI KABUPATEN TANAH DATAR

A. Latar Belakang Masalah


Sistem sosial yang mendudukkan posisi laki-laki di atas posisi
perempuan akan menyebabkan laki-laki memiliki sikap yang negatif
terhadap konsep kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan laki-laki
menganggap perempuan tidak pantas untuk disejajarkan dengan laki-laki
dalam segala bidang kehidupan. Perempuan harus patuh pada setiap
kemauan laki-laki, karena perempuan hanyalah bagian dari laki-laki
(Prasetyo 1997, 47). Sebaliknya, perempuan akan memiliki sikap yang
positif terhadap konsep kesetaraan gender. Sikap positif tersebut terjadi
karena yang paling menjadi korban dalam sistem patriarkhis adalah kaum
perempuan, sehingga mereka akan mendukung konsep kesetaraan
gender tersebut.
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 3 menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak”. Konsep kesetaraan yang dinyatakan secara ideal tersebut masih
amat jauh dari realitanya. Karena kenyataan di dalam masyarakat terlihat
banyak persoalan, antara lain masih amat rendahnya tingkat upah yang
diberikan pada pekerja perempuan, masih amat rendahnya tingkat
keterampilan perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan di sektor
publik, serta adanya persoalan kekerasan yang selalu mengancam dan
ditimpakan pada perempuan, dan banyak lagi yang lainnya (Faruk 1997,
5).
Bagi beberapa kalangan perempuan, hal tersebut diatas justru
menjadi motivasi dan cambukan bagi mereka untuk terus berkarya
mewujudkan cita-citanya. Bahkan di Indonesia sendiri, sejak abad ke-19
telah muncul sejumlah sarjana Muslim Indonesia yang secara intensif

1
2

menyuarakan perlunya rekonstruksi khazanah Islam dalam perspektif


baru yang berpihak pada kesetaraan gender. Bahkan pada masa tersebut
mulai muncul ormas-ormas Islam yang digagas oleh feminis-fiminis
Muslim guna membebaskan perempuan dari domestifikasi, subordinasi,
dan diskriminasi yang selama ini membelenggu ruang gerak perempuan.
Ormas-ormas tersebut di antaranya: Muhammadiyah-Aisyiyah sebagai
ideologi perempuan untuk pendidikan dan ruang publik, NU-Muslimat-
Fatayat sebagai pemberdayaan perempuan dalam politik, Pesistri untuk
mengembalikan muslimat pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, Perempuan PUI
sebagai pemberdayaan perempuan untuk memahami berbagai masalah,
Muslimat Nahdlatul Wathan sebagai upaya memajukan perempaun
Lombok, dan Muslimat Al-Washliyahuntuk perempuan dan dakwah sosial
(Jamhari 2003, 34).
Peranan perempuan dalam masyarakat kerap kali masih menjadi
pokok persoalan, dimana kecenderungan penilaian bahwa normativitas
Islam menghambat ruang gerak perempuan dalam masyarakat. Hal ini
didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi perempuan adalah
di dalam rumah, sedangkan untuk di luar rumah tidak diperbolehkan,
karena banyak terjadi kemudharatan.
Realitas kehidupan kaum perempuan terlihat masih berada di
pinggir-pinggir sosial. Mereka dalam masyarakatnya sering dipandang
sebagai makhluk kelas dua (second class), sering kali hak-hak mereka
hanya dibatasi pada wilayah-wilayah kehidupan yang sangat ekslusif dan
marjinal (Arani 2002, 11). Hal ini dapat ditemukan secara nyata pada
peran-peran mereka, baik dalam sektor domestik maupun publik. Para
pemerhati kajian perempuan mengemukakan bahwa posisi-posisi
perempuan demikian itu disamping karena faktor ideologi dan budaya
yang memihak kepada laki-laki, boleh juga dijustifikasi oleh kaum
agamawan (Muhammad 2007, 23-24).
3

Ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya subordinasi dan


segregasi terhadap perempuan. Tiga asumsi teologis yang dikenal dalam
Yahudi, Kristen, dan Islam yang menyebabkan superioritas laki-laki atas
perempuan. Pertama, makhluk utama Tuhan adalah lak-laki, bukan
perempuan, karena perempuan diyakini tercipta dari tulang rusuk adam,
sehingga secara ontologis perempuan adalah makhluk derivatif dan
nomor dua. Kedua, perempuan adalah penyebab kejatuhan laki-laki dari
surga. Ketiga, perempuan tidak hanya diciptakan dari laki-laki tetapi juga
untuk laki-laki (Hasyim 2001, 48).
Persoalan perempuan merupakan hal yang selalu menarik dan
aktual untuk dikaji dan telah berlangsung hampir seusia dengan lahirnya
kebudayaan Islam. Hingga kini, perbedaan laki-laki dan perempuan
ternyata masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi subtansi
kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat (Bustamin,
Salam 2004, 1).
Berangkat dari hal tersebut, pada masa modern ini, dimana peran
perempuan dalam ranah publik mulai terbuka, sedikit demi sedikit telah
membuka jalan bagi kaum perempuan untuk ikut serta dalam berbagai
aktivitas sosial maupun politik. Di mana perempuan sudah tidak hanya
menjadi pengikut dari kaum lelaki, tetapi sudah mulai menunjukkan
eksistensinya dengan memimpin sebuah organisasi sendiri yang
anggotanya tidak hanya kaum perempuan saja, tetapi juga terdapat kaum
laki-laki sebagai pihak yang dipimpin oleh perempuan.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa wanita sebagai pemimpin
tidak jarang menghadapi banyak hambatan yang berasal dari sikap
budaya masyarakat yang keberatan, mengingat bahwa laki-laki berfungsi
sebagai pelindung bagi perempuan. Selain itu, banyak anggapan yang
mengatakan bahwa jika perempuan menjadi seorang pemimpin, maka
akan mendapatkan banyak tantangan, baik itu dari faktor fisiknya
maupun psikologisnya. Perempuan dibebani tugas kontrak untuk
4

mengandung, melahirkandan menyusui, sehingga hal tersebut dapat


mengurangi keleluasan perempuan untuk aktif terus dalam berbagai
bidang. Disamping itu, banyak pula yang mengatakan bahwa perempuan
adalah makhluk yang lemah dan mudah menyerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam memimpin sebuah organisasi
atau kelompok, seseorang harus memiliki kemampuan memimpin yang
baik, baik laki-laki maupun seorang perempuan. Beberapa sifat-sifat
kepemimpinan yang dikehendaki oleh masyarakat luas, yaitu sikap
demokratis, penuh vitalitas, memiliki keramahtamahan, penuh antusias,
simpatik, terpercaya, dan penuh daya juang (Kayo 2005, 25).
Dalam Al-Qur’an sendiri sudah dijelaskan dalam beberapa ayat
yang menyebutkan bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan
adalah sama. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang
kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah QS. At-
Taubah ayat 71:
  
    
    
     
      
 
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah,
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah :
71)
Ayat tersebut menegaskan bahwa tugas-tugas kemanusiaan tidak
hanya dibebankan kepada laki-laki semata, akan tetapi juga kepada
seorang perempuan. Ayat ini sekaligus menjadi dasar pentingnya
keterlibatan perempuan dalam aktivitas sosial dalam rangka amar ma’ruf
5

dan nahi mungkar. Namun, penafsiran ulama-ulama abad klasik dan


pertengahan berpendapat bahwa laki-laki lebih unggul dari pada
perempuan. Penafsiran tersebut muncul karena dua hal.
1. Belum adanya pemahaman tentang sex dan gender ketika mufasir-
mufasir tersebut hidup.
2. Pandangan Al-Qur’an tentang kesetaraan manusia tidak ditentukan
oleh jenis kelamin maupun suku bangsa, akan tetapi ditegaskan
bahwa kemuliaan manusia berawal dari taqwanya (Hamidah 2011,
28).
Keunggulan dan kemuliaan manusia bukanlah karena suatu
kondrat, melainkan berkat usahanya menjadikan dirinya menjadi
manusia yang bertaqwa. Dengan demikian, baik laki-laki maupun
perempuan, memiliki kesempatan yang sama di hadapan Allah SWT, Dan
sudah tentu Allah SWT tidak memuliakan laki-laki karena jenis
kelaminnya, begitu pula tidak merendahkan perempuan karena jenis
kelaminnya (Hamidah 2011, 29).
Islam sendiri tidak pernah melarang perempuan menjadi seorang
pemimpin, imam, atau khalifah. Karena tugas kepemimpinan bersifat
universal, berlaku bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Inti dari
kepemimpinan adalah sunnatullah akan kewajiban manusia untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT.
Dalam sejarah kenabian, Ratu Bilqis menjadi salah satu sejarah
yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dia adalah seorang perempuan yang
terseleksi oleh sejarah dan menunjukkan kepada dunia bahwa
perempuan mempunyai kemampuan dan kesamaan peran dalam
memajukan dan mengemban tugas kepemimpinan. Ratu Bilqis menjadi
ikon sejarah yang cukup penting untuk menjelaskan posisi dan peran
kepemimpinan kaum perempuan dalam memajukan dan turut serta
dalam pembangunan. Ratu Bilqis menjadi pemimpin di negeri Saba’ yang
6

dengan kepemimpinannya dia meraih berbagai kemajuan, kesejahteraan,


kemakmuran, dan kemajuan materi (Mubin 2008, 75-76).
Selain itu, ketika penulis melakukan observasi awal di Kabupaten
Tanah Datar, penulis mendapatkan pemahaman responden yang serupa
dengan pemaparan diatas, bahwasannya dalam dunia kepemimpinan,
perempuan tidak diperbolehkan untuk ikut terjun kedalamnya.
Perempuan lebih pantas untuk bekerja di dalam rumah, mendidik
seorang anak dan melayani suami. Dalam sebuah hadist Rasulullah Saw
telah bersabda:
Dari Abu Bakrah dia berkata : "Allah telah memeliharaku dengan
sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Saw. Saat Kisra hancur, beliau
bertanya: "Siapa yang mereka angkat sebagai raja?" para sahabat
menjawab, "Puterinya." Beliau lalu bersabda: "Tidak akan beruntung
suatu kaum yang menyerahkan perkaranya kepada seorang wanita."
Hadis di atas sering kali dipahami bahwa kepemimpinan hanya
untuk kaum laki-laki dan menegaskan bahwa perempuan harus mengakui
kepemimpinan dari laki-laki (Shihab 1996, 313). Meski banyak pendapat
yang mengatakan hadist larangan kepempimpinan perempuan itu dinilai
sahih, ternyata masih dapat didiskusikan. Ada kelompok yang
menggunakan hadis tersebut sebagai argumen untuk menggusur kaum
perempuan dari dunia kepemimpinan. Ada pula kelompok yang menolak
terhadap pemakaian hadis tersebut dengan alasan bahwa perempuan
berhak terjun kedunia kepemimpinan.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa berkepentingan
untuk mengkaji pemahaman masyarakat terhadap kepemimpinan
seorang perempuan. Oleh karena itu, penulis mengangkat dengan judul
penelitian yaitu: “Pandangan masyarakat terhadap pencalonan
perempuan dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Tanah
Datar”
B. Batasan Masalah
7

Berdasarkan identifikasi masalah yang peneliti sampaikan, maka


peneliti batasi masalah dalam penelitian ini kepada: Bagaimana
pandangan masyarakat terhadap pencalonan perempuan dalam
pemilihan kepala daerah menurut perspektif hukum positif dan hukum
islam di Kabupaten Tanah Datar?

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap pencalonan perempuan
dalam pemilihan kepala daerah menurut perspektif hukum positif dan
hukum islam di Kabupaten Tanah Datar?
2. Apa yang mendorong terbentuknya pola pikir masyarakat dalam
memandang pencalonan perempuan dalam pemilihan kepala daerah
menurut perspektif hukum positif dan hukum islam di Kabupaten
Tanah Datar?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan
yang di ajukan di atas, yaitu:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pandangan masyarakat
terhadap pencalonan perempuan dalam pemilihan kepala daerah
menurut perspektif hukum positif dan hukum islam di Kabupaten
Tanah Datar.
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis terbentuknya pola pikir
masyarakat dalam memandang pencalonan perempuan dalam
pemilihan kepala daerah menurut perspektif hukum positif dan
hukum islam di Kabupaten Tanah Datar.
E. Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara teoritis dan secara
praktis, yaitu sebagai berikut:
8

1. Secara teoritis
Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mempraktikkan,
memahami dan mengembangkan peren perumpuan dalam dunia
politik sesuai dengan pembelajaran yang sudah peneliti dapatkan
selama perkuliahan.
2. Secara praktis
Adapun kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan peneliti yang terkait pada
peran perempuan dalam dunia politik.
b. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya yang berkaitan dengan peren perempuan dalam dunia
politik.

F. Defenisi Operasional
Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil
maksud dan memberikan pengertian serta batasan-batasan dari masing-
masing istilah yang terdapat dalam judul. Serta untuk mengarahkan
permasalah agar lebih terfokus, maka perlu adanya penjelasan mengenai
penegasan istilah.
Hal ini sangat diperlukan agar terjadi kesamaan dalam penafsiran
dan terhindar dari kesalahan pengertian pada pokok pembahasan ini.
Penegasan istilah yang berkaitan dengan judul dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
1. Pandangan Masyarakat
Pandangan merupakan stimulus yang diindera oleh individu,
diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu
tersebut dapat menyadari dan mengerti tentang apa yang diinderanya
(Tony, Buzan 2004, 251). Masyarakat disebut dengan society, yang
berarti suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soekanto
9

1993, 466). Sedangkan pandangan masyarakat dapat diartikan


sebagai stimulus atau pola pikir yang berkembang didalam suatu
kebudayaan.
2. Kepala Daerah
Kepala daerah adalah seorang yang diberikan amanah atau
tugas oleh seorang pemerintah pusat untuk menjalankan suatu
pemerintahan di daerah.
3. Kabupaten Tanah Datar
Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu kabupaten yang
berada dalam Provinsi Sumatra Barat, Indonesia, dengan ibu kota.
Kabupaten ini merupakan kabupaten terkecil kedua untuk luas
wilayahnya di Sumatra Barat, yaitu 133.600 Ha (1.336 km2).
Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah agraris, lebih 70%
penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman
pangan, perkebunan, perikanan, maupun peternakan. Kabupaten
Tanah Datar merupakan Tujuh Kabupaten Terbaik di Indonesia dari
400 kabupaten yang ada. Penghargaan ini diberikan pada tahun 2003
oleh Lembaga International Partnership dan Kedutaan Inggris.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menobatkan Kabupaten
Tanah Datar sebagai satu dari empat daerah paling berprestasi dan
berhasil melaksanakan otonomi daerah

Anda mungkin juga menyukai