Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 2

Nama : Diana Marchella

1. Kekuasaan Kehakiman

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman, Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 juga dijelaskan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu UU No.48 tahun 2009 merupakan induk dan kerangka
umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan dan menjadi pedoman bagi lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. sedangkan
masing-masing peradilan masih diatur dalam undang-undang tersendiri. 1 Keempat lembaga
peradilan tersebut berada di bawah MA, dalam hal teknis dan non teknis yudisialnya. Adapun
strata keempat lembaga tersebut adalah:2

a. Lingkungan peradilan umum yang terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi ebagai pengadilan tingkat banding dan pada
tingkat kasasi di MA.
b. Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding dan pada
tingkat kasasi di MA.
c. Lingkungan peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat
pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan pada
tingkat kasasi di MA.
1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Edisi Revisi), Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2013,
Hlm. 19

2
Yulia, Hukum Acara Perdata, Banda Aceh: Unimal Press, 2018, Hlm. 6
d. Lingkungan peradilan tata usaha negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara
sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai
pengadilan tingkat banding dan pada tingkat kasasi di MA.

Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009,


penyelenggaraan peradilan dimaksudkan untuk menegakkan hukum dan keadilan, hal ini berarti
pengadilan sebagai tempat dimana proses peradilan dijalankan demi menegakkan hukum dan
keadilan wajib mengadili menurut hukum dan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar
kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya diserahkan
kepada badan-badan peradilan, merupakan salah satu cri khas negara hukum. 3 Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang diserahkan kepada badan-badan peradilan negara menegaskan bahwa
dilarang adanya segala bentuk campur tangan dalam urusan peradilan yang dilakukan oleh
badan-badan diluar badan peradilan seperti peradilan swapraja dan adat yang telah dihapus
dengan UUDar.1/1951. Adapun tujuan dari kebebasan hakim dalam mengadili adalah agar
pengadilan dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya yakni dalam memberikan
keputusan yang semata-mata bersasarkan kebenaran dan keadilan. Selain itu dalam memeriksa
dan memutus suatu perkara, hakim harus menjunjung tinggi asas objektivitas atau tidak
memihaknya pengadilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009. Oleh karena
itu hakim harus objektif dan tidak boleh memihak dalam menangani suatu perkara demi
menjamin asas ini. Lalu sesuai dengan fungsi pengadilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan, pengadilan wajib mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang, maka
semua manusia harus dipandang dan diperlakukan sama. Asas ini dikenal dengan asas equality
before the law. Dalam hukum acara perdata juga terdapat suatu konsep keadilan yang dikenal
dengan asas audi et alteram partem, yang artinya kedua belah pihak harus didengan bersama-
sama, jangan hanya mendengar satu pihak saja.4

Dalam lingkungan peradilan, pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi


peradilan umum dan peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada
umumnya, baik menyangkut perkara perdata maupun pidana, sedangkan peradilan khusu
mengadili perkara atau golongan rakyat tertentu.5 Seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 UU
3
Keputusan Simposium UI tahun 1966 tentang Negara Hukum, dalam Sudikno, Op.Cit., Hlm.20
4
Elisabeth Nurhaini, “Konsep Keadilan Dalam Sistem Peradilan Perdata”, Mimbar Hukum, Vol.21, No.2, 2009,
Hlm. 357
5
Sudikno, Op.Cit., Hlm. 21
No.48 Tahun 2009, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum dan peradilan khusus, yang terdiri dari lingkungan peradilan agama, militer,
serta tata usaha negara. Pengadilan Agama memiliki kewenangan mengadili perkara-perkara
perdata yang kedua belah pihaknya beragama islam dan menurut hukum islam. Pengadilan
Militer memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pidana yang tertuduhnya berstatus
anggota ABRI. Serta Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili perkara tata usaha
negara yang tergugatnya adalah pemerintah atau pejabat TUN dan orang perorangan atau badan
hukum sebagai pihak penggugat. Dalam lingkungan peradilan umum juga terdapat beberapa
pengadilan khusus (spesialisasi), yaitu Pengadilan Ekonomi (Pasal 35 UU No.1 tahun 1961 jo
UU No.7/ Drt/ 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi), Pengadilan Anak (UU No.3 Tahun 1997),
Pengadilan Niaga (UU No.37 Tahun 2004) , dan pengadilan Hak Asasi Manusia.

Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Negara Tertinggi (Pasal 20 UU No.48 Tahun


2009). Dengan demikian masing-masing lingkungan peradilan tidak memiliki badan pengadilan
tertinggi yang berdiri sendiri, karena puncaknya ada di MA. Sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi, MA melakukan pengawasan tertinggi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan
dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara. MA berwenang memutus permohonan
kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 6 Untuk mencegah kekeliruan dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara, diadakan pemerikaaan dalam dua tingkat, ayitu peradilan
dalam tingkat pertama (original jurisdiction) dan peradilan dalam tingkat banding (appellate
jurisdiction), yang mengulang pemeriksaan perkara yang telah diputus oleh pengadilan dalam
peradilan tingkat pertama.7

Susunan persidangan untuk semua pengadilan pada asasnya terjadiri dari majelis yang
sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim (Pasal 11 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009).
Selanjutnya di samping itu ada panitera yang bertugas menyelenggarakan administrasi perkara
serta mengikuti semua sidang serta musyawarahpengadilan dengan mencatat secara teliti semua
hal yang dibicarakan (Pasal 58 dan 59 UU No. 2 Tahun 1986). Selanjutnya juga terdapat tugas
yang dinamakan jurusita (deurwaarder) dan jurusita pengganti (Pasal 39 UU No.2 Tahun 1986).
Tugas dari jurusita adalah melaksanakan perintah dari ketua sidang dan menyampaikan
6
Yulia, Op.Cit., Hlm. 9
7
Sudikno, Op.Cit., Hlm. 33
pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, pemberitahuan putusan pengadilan, panggilan-
panggilan resmi para tergugat dan penggugat dalam perkara perdata dan para saksi serta
melakukan penyitaan-penyitaan atas perintah hakim.8

Hak menguji (judicial review) sebagai hak hakim untuk menguji undang-undang tidak
dikenal dalam UUD 1945. MA hanya memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 20 ayat 2 UU No.48 Tahun
2009). Sementara yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD dalam tingkat
pertama dan terakhir adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 29 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009). MK
juga berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

2. Kompetensi Pengadilan

Dalam hal mengajukan gugatan ke pengadilan terdapat aspek kompetensi yang harus
diperhatikan. Kompetensi pengadilan diartikan sebagai kewenangan mengadili suatu pengadilan,
yang artinya suatu pengadilan baru dapat memutus suatu perkara apabila perkara tersebut sesuai
dengan kompetensinya atau kewenangannya. Dalam perkara perdata, kompetensi pengadilan
terbagi dalam dua jenis, yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Istilah lain yang
digunakan untuk kompetensi absolut ialah kekuasaan kehakiman atribusi (atributie van
rechtsmacht) dan kekuasaan kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht) untuk
kompetensi relatif.9

Kompetensi absolut ialah kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa dan mengadili
jenis perkara tertentu yang didasarkan kepada objek atau materi pokok perkaranya. Atau dalam
kata lain berdasarkan pada pembagian wewenang dan pembebanan tugas (yurisdiksi). Sehingga
perkara tertentu tersebut secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.
Misalnya badan peradilan umum kompetensi absolutnya ialah memeriksa dan mengadili perkara-
perkara pidana dan perdata pada umumnya, sedangkan pengadilan Tata Usaha Negara
berwenang memeriksan dan mengadili sengketa-sengketa berkaitan dengan keputusan Tata

8
Yulia, Op.Cit., Hlm. 10
9
Ibid, Hlm. 8
Usaha Negara.10 Sehingga apabila ditinjau dari aspek kompetensi absolut, maka kewenangan
dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari:

1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara

Mengenai kompetensi absolut pengadilan juga didasarkan oleh beberapa hal sebagai
berikut:

1. Didasarkan pada lingkungan kewenangan


2. Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu
3. Kewenangan tertentu tersebut, menciptakan terjadinga kewenangan absolut atau
yurisdiksi absolut pada masing-masing lingkungan sesuai dengan subjek atau
materinya
4. Oleh karena itu masing-masing lingkungan hanya berwenang mengadili sebatas
kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya

Kompetensi relatif adalah kewenangan mengadili/memeriksa perkara dari suatu


Pengadilan Negeri berdasarkan pembagian daerah hukumnya. Sehingga kewenangan pengadilan
untuk mengadili suatu perkara didasarkan  pada tempat/lokasi/domisili para pihak yang
bersengketa atau didasarkan pada dimana objek yang disengketakan berada. Kompetensi relatif
mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat
tinggal tergugat. Sehingga gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri ditempat tergugat
tinggal. Asasnya adalah “yang berwenang adalah pengadilan negeri yang dalam daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.11 Asas ini dikenal dengan Actor sequitur forum rei,
yaitu gugatan diajukan di Pengadilan dimana tergugat berdomisili. Penegakkan asas ini bertujuan
untuk melindungi tergugat karena siapapun sebenarnya tidak dilarang untuk menggugat
seseorang, tetapi kepentingan tergugat harus dilindungi dengan cara melakukan pemeriksaan di
Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, bukan ditempat tinggal penggugat agar tidak menimbulkan
kesulitan terhadap tergugat apabila tempat tinggal penggugat jauh dari tempat tinggal tergugat.
10
Bambang Sugeng A.S dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi, Jakarta: kencana,
2012, Hlm. 18
11
Ibid, Hlm. 19
Apabila tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya atau tempat tinggalnya yang nyata tidak
dikenali, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat
sebenarnya (Pasal 118 ayat (1) HIR, 142 ayat (1) RBg). 12 Selain itu juga terdapat asas lain untuk
menentukan kompetensi relatif pengadilan yaitu Forum rei sitae, dimana gugatan diajukan di
mana benda tetap yang menjadi objek sengketa itu berada. Selain itu dalam kasus dimana
tergugat lebih dari satu orang, maka gugatan dapat diajukan di pengadilan salah satu tempat
tinggal tergugat. Gugatan juga dapat diajukan di salah satu pengadilan yang dipilih/disepakati
seperti dalam arbitrase.

Dalam hal ini kedudukan daerah hukum menjadi penentu batas kompetensi relatif
mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri. Meskipun perkara yang disengketakan masuk dalam
yurisdiksi absolut lingkungan peradilan umum dan secara absolut Pengadilan Negeri berwenang
mengadilinya, namun kewenangan absolut itu dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif,
karena jika perkara yang terjadi di luar daerah hukumnya secara relatif Pengadilan Negeri
tersebut tidak berwenang mengadilinya. Jika pelampauan daerah hukum tersebut terjadi, berarti
Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangannya.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


Bambang Sugeng A.S dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi,
Jakarta: kencana, 2012.
Elisabeth Nurhaini, “Konsep Keadilan Dalam Sistem Peradilan Perdata”, Mimbar Hukum,
Vol.21, No.2, 2009.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Edisi Revisi), Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2013.
Yulia, Hukum Acara Perdata, Banda Aceh: Unimal Press, 2018.

12
Yulia, Op.Cit., Hlm. 9

Anda mungkin juga menyukai