Anda di halaman 1dari 7

Kabar dari Langit

Oleh: Syifa Ahliya

Siang itu, tak ada suara lain yang mendominasi indra pendengaranku selain rinai-rinai
hujan yang menapaki bumi. Aku tengah berdiam di tepi jendela. Memandang dan meresapi
setiap titik air hujan yang berjatuhan. Tiba-tiba, dari luar terdengar derap-derap kaki melangkah
masuk dengan tergesa. Aku pun mengintipnya. Ingin tahu apa yang terjadi.

“Ya ampun, Arjuna? Humaira? Ada apa kalian kesini?” Tanya Ummi Salamah terkejut.
Di depan Ummi Salamah berdiri seorang wanita berjilbab dengan pipi yang kemerah-merahan.
Di sebelah wanita itu, terlihat seorang pemuda berkulit kuning langsat dengan potongan rambut
yang membuatnya berkarisma, tengah memandang suasana sekelilingnya dengan raut takjub,
matanya berbinar, tatapannya tajam. Sementara, di samping pemuda tersebut, berdiri seorang
lelaki bertubuh tegap yang memiliki wajah yang aneh. Entahlah. Yang aku tahu, wajahnya benar-
benar mengerikan. Seperti kulit yang terkelupas atau…terbakar?

“Assalamu’alaikum, ummi. Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu.” sapa wanita
berjilbab itu. Dia lantas memeluk Ummi Salamah erat. “Begini, ummi. Saya dan Humaira ada
keperluan genting di luar Jakarta. Ibu saya sedang sakit parah. Jadi, saya harus merawatnya.
Karena kondisi yang tidak memungkinkan, maka saya ingin menitipkan Venus di sini.
Kebetulan, ia sedang liburan semester.” Lelaki berwajah seram itu, menunjuk pemuda yang
masih saja terkagum-kagum dengan apa yang ia lihat. “Subhanallah. Jadi..dia Venus? Dia benar-
benar menjelma menjadi pemuda tampan. Saya sangat senang mendengarnya. Kalian tidak perlu
khawatir. Saya akan jaga dan rawat Venus.” Tergambar jelas binar bahagia dalam tatapan Ummi
Salamah.

Selepas menitipkan Venus, Ibu Humaira dan Pak Arjuna segera pamit, dengan alasan
tidak ingin mengulur waktu terlalu lama. Ummi Salamahpun mengantar Venus ke kamar yang
bisa ia tempati untuk satu setengah minggu ke depan. Kebetulan kamar itu kosong. Venus
terlihat begitu bahagia ketika mendapati kamarnya berada di lantai dua. Dari jendela kamarnya,
Venus bisa melihat pemandangan di halaman depan. Gerbang putih yang menjulang tinggi,
kolam kecil dengan air mancurnya, di sisi kiri, terlihat sekumpulan rapi bunga edelweiss yang
menari-nari diterpa angin. Sedang di sisi kanan halaman ada sekawanan alamanda dengan
keelokan mahkota kuningnya.

Sudah lama aku mengenal tempat ini. Lebih dari sepuluh tahun. Namun, kekagumanku
terhadapnya tak pernah padam. Mungkin itu juga yang terjadi pada Venus. Bagaimana tidak?
Tempat ini adalah panti asuhan termegah yang pernah aku tahu. Meskipun hanya bertingkat dua,
tetapi luasnya luar biasa. Lantainya terbuat dari marmer. Walau tingkat, tidak ada tangga untuk
naik ke lantai dua. Yang ada hanya lift. Panti ini memiliki sebuah ruangan semacam aula besar.
Ruangannya luas, dan dekorasinya benar-benar unik. Di aula itulah, anak-anak panti menuntut
ilmu. Dan kamar mandinya benar-benar nyaman. Ditambah lagi, dibeberapa kamar mandi, kita
bisa buang hajat sambil bermain PS atau menonton tv. Persediaan bukunya pun lengkap. Karena
panti ini memiliki perpustakaan yang besar. Dan yang paling menakjubkan, ada bioskop di sana.
Meskipun berukuran mini. Ada mesin pembuat popcorn juga di dalam bioskop itu. Oh iya, ada
satu yang terlewat, kolam renang indoor. Jika ruangan-ruangan tersebut saja ada, maka jangan
tanya bagaimana kondisi ruang tamu, ruang makan, dan kamar-kamarnya.

Ada sekitar lebih dari sepuluh orang yang tinggal di sini. Kebanyakan dari mereka adalah
anak yatim piatu. Namun, ada juga anak-anak yang dibuang oleh orang tuanya dan dititipkan di
panti ini. Ummi Salamah sudah menjadi pengurus dan pengelola panti lebih dari duapuluh tahun.
Ada beberapa orang pelayan dan koki juga. Sehingga ummi tidak kerja seorang diri.

Awalnya, semua tidak begini. Tapi, segalanya berubah semenjak hari itu. Perubahan yang
paling kentara, terlihat pada halaman belakang. Halaman itu kosong, sepi, tak terurus, kontras
sekali jika dibandingkan dengan halaman depan. Meskipun mereka bilang aku tak punya akal,
aku juga bisa merasakan kepahitan akan kejadian tersebut. Sudahlah, mungkin memang tak ada
gunanya mengungkit apa yang telah berlalu.

Aku sudah berteman lama dengannya. Dia bilang, aku adalah satu-satunya kawan yang
mengerti segalanya tentang dia. Padahal, aku hanya jadi pendengar setianya ketika dia berceloteh
riang tentang jalan hidupnya. Aku pikir, semenjak hari itu dia sudah pergi. Tapi, tanpa alasan dia
kembali. Dia bilang, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sehingga membuatnya ingin tetap
tinggal di sini.
Malam ini, dia tengah memainkan grand piano putih kesayangannya. Ia sangat
menghayati bait-bait nada yang ia ciptakan. Namun, sesuatu menghentikan permainannya.
“Andai aja ya, saya teh bisa denger lagu indah tadi tiap malem. Aduhai tenang rasanya batin ini.”

“Siapa kamu? Bagaimana bisa masuk ke sini?” dia terlihat marah, khawatir, dan kaget.
“Nama saya Venus, neng. Saya dari Cikolot. Ai eneng sendiri teh siapa?” Venus melangkah
mendekati dia yang masih tak berkutik dari tempatnya. Karena dia tak kunjung menjawab,
Venus melanjutkan perkataannya, “Punten kalau saya nggak sopan masuk kamar eneng
sembarangan. Tapi tadi saya denger ada bunyi piano. Waktu saya cari sumbernya, kok terdengar
dari dalam perapian. Saya bingung, kenapa dari dalam perapian ada suara musik. Ketika saya
longok ke dalamnya, ternyata ada pintu. Yaudah saya masuk. Hebat ya, kamar eneng meuni
tersembunyi gini.”

Dia tiba-tiba bangun, sama sekali tak acuh dengan Venus. Boro-boro menanggapi
perkataan Venus, dia malah melangkah menuju tangga di sudut kamarnya. Ia meniti tangga itu
satu persatu. Venus heran melihatnya. Perlahan tapi pasti, Venus mengikuti dia. Tak peduli
dengan perlakuan dinginnya pada Venus.

Lagi-lagi Venus terkesima untuk kesekian kalinya ketika mendapati tangga itu
membawanya ke atap rumah. Venus melihat dia duduk, memandang langit dengan tatapan yang
tak bisa diartikan. Tanpa ragu, Venus pun duduk disebelahnya. “Lihat itu!” dia tiba-tiba berseru
sembari menunjuk langit malam yang sedang ramai oleh penghuninya. Venus mengikuti
perintahnya. “Bintang-bintang itu, membentuk rasi bintang orion.” Lanjutnya, rambut sebahunya
berkibar tertiup angin. “Aduh, kamu teh pinter pisan ya. Saya mah nggak ngerti sama yang
begituan.” Balas Venus, meringis malu. “Aku sering duduk di sini setiap malam atau pagi.
Menghayati lukisan Tuhan yang paling indah ini. Dari dulu sampai sekarang, rasa cintaku pada
langit tak pernah padam. Mungkin, itu terjadi karena orangtuaku menamaiku Langit.” Dia
menghela napas sejenak, lantas memandang Venus sekilas. “Sekarang, coba ceritakan tentang
dirimu.”

Venus sangat senang melihat sikap dingin Langit yang mulai mencair. Tanpa sungkan, ia
bercerita tentang bagaimana ia bisa di sini, tentang kehidupannya di desa, pekerjaan
orangtuanya, sekolahnya, asal-usulnya. Ia juga menceritakan perihal dirinya yang sering diledeki
teman-temannya karena memiliki ayah berwajah seram. Tapi, Venus tak peduli. Karena ia sangat
mencintai Yandanya itu. Ada satu teka-teki yang belum bisa dipecahkan Venus sampai saat ini.
Tentang namanya yang terlihat paling keren jika dibandingkan dengan teman-temannya di desa.
Hal terakhir itu, membuat Langit tertawa.

“Apakah orangtuamu akan datang ke sini lagi? Paling tidak, singgah untuk beberapa
waktu?” Kali ini Langit menatap Venus dengan serius. “Yaiya atuh. Kan mereka nanti
ngejemput saya. Paling semingguan lagi. Nanti Langit saya kenalin ke mereka, ya. Nggak ada
kata nggak. Dan inget, Langit nggak boleh judes sama mereka kayak ke saya tadi.” Langit
tersenyum kecil. Matanya penuh misteri. Dan kala menatap Langit, Venus tersentak. Ia seperti
menyadari sesuatu tentang mata itu.

Semenjak malam itu, Venus semakin dekat dengan Langit. Mereka sering menatap langit
pagi atau malam bersama. Terkadang, mereka sengaja bangun lebih awal hanya untuk melihat
matahari pagi di ufuk Timur yang mengintip malu-malu pada dunia.

Langit ternyata gadis yang ramah. Tapi, Venus tak pernah melihatnya keluar dari
kamarnya. Hal ini membuat Venus juga jarang bersosialisasi dengan penghuni panti yang
lainnya. Langit adalah gadis yang tidak menyukai keramaian dan sangat menikmati
kesendiriannya. Tapi, Venus tak pernah ambil pusing tentang hal itu. Karena bagi Venus, entah
mengapa dengan hanya duduk di sebelah Langit sembari memandang angkasa, meski tak ada
sepatah katapun yang terucap, tapi kesunyian itu telah menjelma menjadi kebahagiaan dan
kenyamanan yang berarti.

Pernah suatu hari, Venus ditegur oleh Ummi Salamah karena jarang terlihat bermain
dengan anak-anak panti lainnya, bahkan Ummi tak pernah melihat Venus mengunjungi
perpustakaan, kolam renang, bioskop, atau yang lainnya. Tapi, Venus hanya menjawab singkat
bahwa bahagia itu sederhana. Saat itu, Ummi Salamah hanya menggelengkan kepala tak
mengerti.

Kebersamaan Venus dengan Langit, membuat Venus tak menyadari bahwa liburannya
hampir usai. Tak terasa, sudah seminggu Venus mendiami panti tersebut. Dan hari itu, Venus
menyadari ada sesuatu yang tidak beres terjadi padanya. Tiba-tiba saja, ia tak bisa tidur nyenyak.
Karena bayangan Langit yang tak kunjung hilang dari benaknya. Tiba-tiba saja, jantungnya
berdegup tak beraturan, kala ia melihat perapian itu. Tiba-tiba saja, ada yang menggelitik
perutnya ketika entah dari mana tawa kecil Langit terngiang di gendang telinganya. Berulang
kali, Venus mendekap jantungnya untuk mengukur seberapa keras jantungnya berkontraksi
akibat senyum tulus Langit. “Aduh…apa atuh yang sedang terjadi pada diri saya?” tanyanya
gelisah pada dirinya.

Keesokan harinya, hujan kembali menyapa bumi. Venus tidak bisa lagi membendung
perasaannya yang terus meronta untuk diungkapkan. Dengan tekad kuat, Venus mencoba
memberanikan diri. Ia keluar dari kamarnya. Langkahnya agak sempoyongan. Keringat
bercucuran deras di wajahnya.

Degupan jantungnya semakin tak menentu, ketika ia berdiri di hadapan perapian itu.
Ingin rasanya mundur karena ia membayangkan penolakan yang akan terlontar dari Langit. Tapi,
perasaan itu nampaknya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Perlahan, Venus melongok
perapian tersebut. Mencoba masuk ke dalamnya, dan membuka pintu itu. Seperti apa yang biasa
ia lakukan.

Tapi, betapa terkejutnya Venus saat mendapati tidak ada pintu di sana. Yang ada hanya
perapian kosong. Venus menelan ludah tak percaya. Bagaimana bisa pintunya menghilang? Ia
sempat berpikir bahwa ini adalah perapian yang salah. Tapi, ia tahu persis letak perapian itu. Kali
ini, jantung Venus berkontraksi lebih keras dari biasanya. Otaknya ia pacu untuk berpikir cepat.
Venus terkulai lemas di depan perapian. Tatapannya kosong. Dadanya bergemuruh. Mata
tajamnya sendu. Tapi, hatinya terus menanyakan satu hal: dimana Langit?

Venus tersadar ketika sebuah suara menyerukan namanya. Venus tahu persis itu suara
Yanda dan Bundanya. Sepertinya, mereka datang untuk menjemput Venus. “Venus, sedang apa
kamu duduk di sini?” suara bariton itu menyapanya. Venus menatap Ummi Salamah, Ibu
Humaira, dan Pak Arjuna bergantian. Tatapannya menyiratkan ketidakmengertian yang
mendalam. “Ummi, ada apa sebenarnya?” suaranya bergetar. “Apa maksud kamu Venus?”
Ummi Salamah menjadi khawatir. “Dimana Langit?”. Mata Pak Arjuna, Ibu Humaira, dan Ummi
Salamah membesar. Mereka nampak kaget sekali mendengar dua kata yang terlontar dari mulut
Venus.

“Sadarlah, nak! Kami tidak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan.” Ibu Humaira
menanggapi. “Ummi, kenapa pintunya menghilang?” kata Venus lagi. Suaranya meninggi.
“Pintu apa, nak?” jawab Ummi Salamah gugup. “Pintu kamar Langit. Di sana. Di dalam perapian
itu, ada kamar Langit, kan? Setiap hari, Venus masuk ke sana, main sama Langit. Venus nggak
peduli dengan yang lainnya karena Venus sudah ada Langit. Tapi, kenapa hari ini perapian itu
kosong? Jawab Ummi, JAWAB!” Venus menatap Ummi tajam. Amarah terlukis jelas di
matanya.

“Yanda, ada apa sebetulnya?” Ibu Humaira memandang Pak Arjuna bingung, matanya
berkaca-kaca. “Mungkin, dia hanya ingin memberi kabar.” Pak Arjuna berbisik kecil. Tapi,
Venus mendengar itu. “Kabar apa Yanda?” Venus terus menuntut.

Pak Arjuna menghela napas berat. Ia memejamkan mata sejenak. “Venus, ayo ikut
Yanda!” Venus menatap Pak Arjuna bingung. “Kamu diam di sini aja. Ummi, tolong jaga
Humaira.” Setelahnya, Pak Arjuna menarik tangan Venus. Menuntunnya ke suatu tempat.

Hujan belum juga usai. Pak Arjuna mengajak Venus ke sebuah pemakaman yang tak jauh
dari panti. Venus menatap apa yang ada dihadapannya tak percaya. Yang membuat napasnya
tercekat adalah nama yang terukir di patok kuburan didepannya: “Cahaya Langit”

“Ini jawaban dari pertanyaan kamu, Venus. Langit ada di sana.” Pak Arjuna menunjuk
makam tersebut. “Ma-maksud Yanda? Nggak mungkin! Yanda pasti bercanda. Terus siapa yang
selama ini main sama Venus? Dia….nggak! ini sama sekali nggak masuk akal.” Venus
menggeleng tak percaya. Air matanya tak bisa ia bendung lagi. “Kenapa kamu begitu sedih?
Bukankah kamu baru mengenalnya seminggu ini?” Pak Arjuna memegang kedua pundak Venus.
“Karena aku teh sayang sama dia Yanda. Aku nyaman berada di dekat dia.” .

“Venus, ada sesuatu yang perlu kamu tahu. Panti itu...” Pak Arjuna menarik napas
dalam. “Dulunya, itu rumah kita. Dulunya, Yanda bukan supir angkot, Yanda adalah astronot.
Yanda bergabung dengan NASA. Itu sebabnya nama kamu Venus. Karenaan kecintaan Yanda
dengan luar angkasa. Dulunya, kita hidup bahagia. Tapi segalanya berubah. Hari itu, roket Yanda
baru landing dari Amerika. Yanda pulang untuk berlibur ke Indonesia. Tapi di bandara, Bunda
telepon sambil menangis. Ia bilang rumah kita kebakaran. Yanda bergegas pulang. Sesampainya
di sana, ternyata bukan rumah kita yang terbakar. Tapi rumah pohon yang ada di halaman
belakang. Dan yang membuat bunda menangis histeris adalah karena Langit ada di sana. Yanda
panik, saat itu Yanda langsung masuk ke dalam rumah pohon. Tak peduli dengan panasnya api.
Tapi, usaha Yanda sia-sia. Tuhan ingin bertemu dia lebih cepat. Dan wajah seram Yanda ini
akibat kejadian itu. Yanda trauma berat. Yanda berhenti bekerja di NASA. Yanda lebih memilih
pindah, berlari dari masa lalu, membangun hidup baru. Dan rumah itu, Yanda ikhlaskan untuk
dijadikan panti asuhan. Ummi Salamah adalah sahabat Bunda dan Yanda dulu. Ia bersedia
mengurusi panti itu.”

“Dan Venus, mungkin itu sebabnya kamu menyayangi Langit. Karena dia kakak kamu.
Dan sebelumnya, perapian itu adalah kamar Langit. Yanda sengaja menutupnya dan membuat
perapian disana.” Pak Arjuna menatap Venus serius. Saat itu, Venus menyadari bahwa mata
Langit sangat mirip dengan Yandanya. “Lalu, apa maksud dia menemuiku?”. “Sudah Yanda
bilang, mungkin dia ingin memberi kabar.”

Bukan, Langit datang bukan sekedar ingin memberi kabar. Dia tengah menunggu
orangtuanya mengunjunginya lagi. Dia tak suka Yanda dan Bunda berlari dari masa lalu begitu
saja. Dia juga tak suka Yanda dan Bundanya membohongi Venus terus menerus. Dia ingin
Venus tahu tentang dirinya, sebagai kakaknya. Kakak yang dulu sangat bahagia ketika tahu
bunda hamil lagi. Kakak yang selalu menanti-nanti kelahirannya. Satu alasan lagi, Langit juga
ingin melihat wajah adik yang belum sempat ia lihat karena ia terlalu cepat meninggalkan dunia.
Tapi, kini Langit sudah tenang di alam sana. Tak ada lagi yang menahannya untuk tinggal.
Arwahnya tak lagi gentayangan.

Perlahan, hujan mulai mereda. Sepertinya, aku juga harus pergi. Tanpa ragu, ku kepakkan
sayapku, siap untuk menjelajah cakrawala. Sebelum Langit pergi, ia menamaiku Putih. Aku
merasa beruntung, karena aku merpati putih yang bisa berkawan dengan manusia. Hingga
sekarang, namaku masih tetap Putih.

End.

Anda mungkin juga menyukai