Anda di halaman 1dari 8

Symphony of SenSe

-Syifa Ahliya-

“Tak ada yang lebih tabah, dari hujan bulan Juni. Dirahasiakannya rintik rindunya. Kepada
pohon berbunga itu”-Sapardi Djoko Damono.

**

“Kamu mungkin tak akan pernah tahu. Apa yang selalu aku harap dan nantikan di malam hari.
Ku tatap bintang-bintang, penduduk langit yang selalu Nampak ceria setiap malam tiba. Ku
alihkan pandanganku pada pohon-pohon rindang, yang bergoyang tertiup angin. Orkestra alam,
bersahutan dengan merdu. Semuanya terasa damai. Tapi, ada satu hal yang aku tidak mengerti.
Mengapa air mata ini selalu jatuh saat malam tiba. Dan aku menyadari satu hal, bahwa ada yang
hilang dari hidupku. Yaitu kehadiranmu.”

**

“Kamu janji kan?” lensa matanya mencembung. Lapisan tipis, mulai terpeta disana.
Bocah lelaki dihadapannya tak kuasa melihat sahabat kecilnya ini menangis. “Ayas, kamu kenal
aku kan? Kita udah lama jadi sahabat. Aku nggak pernah sedikit pun bohong sama kamu, kan?”
bocah lelaki berkulit sawo matang itu pun tersenyum dengan tulus.

“Tapi, kalau nggak ada kamu, nanti aku cerita-cerita lagi sama siapa?” gadis manis itu,
kembali mengungkapkan kekhawatirannya. “kamu cerita aja sama benda mati, mungkin kamu
nggak percaya, tapi, itu nyata. Mereka bisa buat hati kamu tenang”. “Mana mungkin.”. “aku
serius, yas…”

“kakak, ayo cepat! Papa dan mama sudah menunggu!” seruan dengan nada tergesa dari
halaman depan , meyakinkan kedua insan ini, bahwa perpisahan yang selalu mereka takutkan
belakangan ini, sudah ada di depan mata. Jarak antara mereka, akan terhapus. Tak ada, tentu tak
akan ada lagi kebersamaan seperti dulu. Semuanya sudah berbeda, hidupnya, bagai berakhir
begitu saja. Dunia memang tidak adil, gugatnya.

**

Pohon ikut berdendang,

Angin tak bisa lagi dihadang,

Sedangkan, baginya, semua keindahan alam ini tidak berarti.


“Hayu atuh bangun! Kamu teh jangan tidur mulu. Katanya mau bantuin teteh kerja di
kebun teh Pak Darmo?” Ina, perempuan berkulit putih itu membangunkan adiknya, yang paling
susah jika dibangunkan dalam tidur nyenyaknya. Tubuhnya, menggeliat malas. “Males ah teh.
Besok aja ya, mulai kerjanya.” Katanya membantah. “Kamu mah dari kemarin juga, bilangnya
kaya gitu mulu. Hayu ah! Pokoknya mah, kamu harus kerja.” Ina, sebagai kakak sulung yang
bertanggung jawab, menarik paksa lengan adik bungsu satu-satunya itu. Dengan muka kesal,
adiknya mengambil handuk, dan bersiap untuk mandi.

Udara di luar benar-benar sejuk. Sebetulnya, setiap hari pun seperti ini. Tapi, entah
mengapa, Intan (adik Ina) merasa, hari ini betul-betul berbeda dari biasanya. kerikil-kerikil kecil
di sepanjang jalan setapak yang ia lewati, tersenyum ramah menyapanya. Dengan anggun, Intan
pun balas tersenyum kepada mereka.

Inilah kebiasaan Intan sedari dulu, ia selalu menceritakan isi hatinya kepada benda-benda
mati disekitarnya. Walau ia hanya bercerita dalam hati, tapi, sejauh yang ia rasa selama ini, hal
itu membuatnya tenang. Mungkin, awalnya pendapat ini berasal dari sebuah sugesti. “Dasar gila
emang ya kamu. Kerikil, disenyumin.” Intan hanya membalas tanggapan kakaknya dengan
seringaian lebar.

Beberapa langkah lagi, mereka hampir sampai di perkebunan yang mereka tuju. Dari
kejauhan, sudah terlihat beberapa petani, sedang sibuk bekerja. Intan menghentikan langkahnya
seketika, Ina menatap heran pada adiknya yang lagi-lagi bertingkah aneh. “Aku nanti ngapain
teh?” Intan menggaruk tengkuknya. “Ngapain aja boleh. Udah hayu ah, kesana dulu. Lagian,
kamu kan baru, jadi harus lapor dulu ke Pak Darmo. Terus, nantinya, kamu bakalan kerja, sesuai
yang Pak Darmo perintahin ke kamu, tan.” Intan mengangguk mengerti.

“Teteh mau kerja dulu, sok kamu ke sana.” Ina menunjuk ke kediaman Pak Darmo, yang
kebetulan memang tidak jauh dari kebun teh itu. Jika dilihat-lihat, rumah Pak Darmo , adalah
rumah terluas yang ada di Desa Pacitan ini. “Aduh, geuning sepi pisan ya?” Intan menatap
sekeliling, tak ada orang sama sekali di rumah bercat putih itu. Hanya desiran angin yang
terdengar, menyapa lembut pipi ranumnya.

“I don’t care! But, I just want to leave this boring village. I miss my lovely Birmingham.
I don’t want to live here, mom!” Intan malah dikagetkan, oleh suara seorang laki-laki yang
tengah berdebat dengan ibunya, sepertinya. Intan rasa, mereka orang asing. Intak tak pernah
melihat mereka di sini. “Itu siapa ya?” Tanya Intan bermonolog dengan dirinya sendiri.

“But dear, it’s your father’s command. Instead, in Birmingham, is not safe anymore.”
Balas suara seorang wanita paruh baya, yang tingginya tidak jauh berbeda dengan anak lelakinya
itu. “MOM. YOU DON’T UNDERSTAND. It’s, ough! This village is disgusting.” Lelaki
tersebut memandang jijik, kepada pot-pot kecil, yang dialokasikan di rumah putih itu. “Please
David, please listen to me.” Ibunya, memandang lelaki itu dengan tatapan memohon. Si anak
lelaki terdiam. Ia tahu, sebetulnya, sang ibu pun –mungkin- tidak ingin tinggal di sini. Tapi, apa
daya. Tak ada seorang pun yang bisa merubah keadaan.

Tanpa sengaja, karena terlalu asik mendengarkan-walaupun ia hanya mengerti sedikit


dari beberapa kalimat yang baru saja ia dengar- Intan tak sengaja menginjak kaleng kosong, yang
berada tidak jauh dari pijakan kakinya. Alhasil, kedua manusia yang tengah berargumentasi di
teras sana, kompak menatap Intan, dengan tatapan tajam.

“Who are you?” Tanya sang anak lelaki. “and, what do you want, poor and stupid girl?”
ada nada tajam yang terselip dari omongan lelaki itu. Berbeda dengan David, Ibu David (Merry)
malah terdiam. Entah, entah apa yang sedang ia pikirkan. Nampaknya, ia sangat kaget, ketika
melihat Intan. Merry memaksa otaknya berpikir keras. Iya, ia merasa ada suatu firasat aneh,
ketika ia melihat wajah Intan. Merry terus melamunkan atau lebih tepatnya, mengingat sesuatu
yang ia rasa tak asing lagi baginya.

Intan mengerti, jelas. Walau ia tidak melanjutkan Sekolah Menengah Atasnya, tapi, ia
selalu membaca majalah-majalah bekas, yang diberikan oleh tetangganya kepadanya. Dan di
majalah itu, ada suatu bab khusus yang membahas tentang kosa kata dalam bahasa Inggris.

Sekali lagi, mungkin perlu ditekankan. Intan mengerti jelas, apa yang lelaki tadi katakan
kepadanya. Dengan pandangan menghina, ia memanggilnya ‘poor girl’? ralat, yang lebih
menyakitkan adalah ketika ia dipanggil ‘stupid girl’. “Tidak tahu saja ia, bahwa aku selalu
menjadi juara umum di SMP dulu” batin Intan sakratis. Luka kecil tergores di sana. Dalam lubuk
hatinya. Selama ini, belum pernah ada yang menghinanya serendahan itu.

“Saya hanya ingin bertemu Pak Darmo.” Kata Intan langsung, karena ia tahu, apabila ia
melawan perkataan ‘lelaki sok’ itu, bukanlah suatu hal yang menguntungkan baginya. “I think
that, you will steal my grandpa’s gold.” Lelaki menyebalkan itu, tersenyum miring. ‘Untuk apa
di Indonesia ada perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, jika aku diperlakukan seperti ini.
Huh, sabar Intan. Sabaaarr.’ Batinnya menggebu-gebu.

“Saya ada urusan penting.” Jawab Intan tak acuh, dingin. “Mom, where’s he?” lelaki
tengil itu, bertanya kepada mamanya, yang ternyata sedari tadi masih terbuai dalam ayal
khayalnya. “MOM! Do you listen me?” . “David! Don’t speak loudly like that. That’s not polite
you see!”. “It’s not my fault. But, it’s yours. Now, I think, you must serve this hell girl.” Katanya
semakin menjadi-jadi. “Dia cari kakek, mom. Apa mom nggak dengar? She’s your business.”
David, meninggalkan teras dan berjalan dengan santai ke dalam rumah.

“CUKUP! Lelaki berwajah tomcat!” Intan sudah tak tahan lagi menahan amarahnya. Ini
benar-benar keterlaluan. Stupid, poor, and the last, dia mengatai Intan ‘hell girl’, Intan tidak
terima. David yang hendak masuk rumah, menghentikan langkahnya. Dan terdiam sebentar.
Lalu, ia berbalik badan. Menatap Intan dengan tajam. “Can you repeat it?” . “Aku bilang cukup!
Apa kamu tuli, hah? Ohiya,aku lupa, orang bule pantes aja tuli, setiap hari aja kupingnya dijilatin
Anjing. Binatang yang haram dan menjijikan.” Kata Intan sangat tajam. Matanya, menatap
tajam, tepat di mata David. Ia menantang cucuk Pak Darmo yang satu itu ternyata. Intan sama
sekali tidak takut. Lagi pula buat apa takut? Dia bukan Tuhan.

“Don’t Insult my dog!” David memberikan penekanan di setiap kata yang ia ucapkan, hal
ini membuat amarah Intan semakin memuncak. Bisa-bisanya dia membela seekor anjing. “Aku
nggak habis pikir, ada ya orang yang membanggakan binatang haram sebegitunya. Iyuh,” . “Gue
juga nggak habis pikir. Gue kira, orang kampung kayak lo, nggak ngerti bahasa inggris. Pinter
juga lo.” . “ohiya, gue lupa. You say that, you seek my grandpa. Do you really want to meet
him?” david tersenyum miring untuk yang keberapa kalinya. Intan tahu, ini pasti ada rencana lain
dibalik senyumannya yang misterius itu.

“You must,kiss my foot! If you don’t, I won’t tell you where my grandpa is.” Ia
tersenyum bangga, dengan penuh kemenangan. Oh shit! Ini benar-benar jebakan. Intan harus
bagaimana. Tapi, Intan pun butuh pekerjaan ini. Teh Ina pasti bakalan ngomel lagi. Tapi, apa itu
bukanlah suatu hal yang gila? Berlutut di hadapannya? Cih, seperti manusia yang tidak punya
harga diri saja.

“Brave?” Tanya nya lagi. Intan semakin bingung. Mengapa ada manusia sekejam ini?
Hati Intan berontak. Seluruh organ tubuhnya, meneriakkan kata-kata permintaan tolong. Entah
pada siapa, yang ia harap, dapat menyelamatkannya sekarang juga. Kalau bisa, membawanya
pergi jauh dari tempat itu.

“Mom, kakek bilang, kepulangannya dari Jakarta dipercepat. Besok pun, ia mungkin
akan pulang.” Seorang anak remaja, berusia –sekitar- 14 tahun, tiba-tiba muncul dari dalam
rumah. Oh tunggu, apa tadi ia bilang? ‘kakek akan pulang dari Jakarta esok hari’, itu tandanya,
Pak Darmo tidak ada di rumah. Ah, sial. Intan menggerutu lagi. Ternyata, ia dikerjai oleh lelaki
menyebalkan ini. “HAHAHAHA, you’re lucky then. You don’t kiss my foot yet. Oke, you know
what? My grandpa is out there, not here.” Dia tertawa bangga. Intan memandangnya jengkel.
Benar-benar jengkel. Tangan Intan terkepal, mungkin, jika tidak ia tahan, ia siap meluncurkan
pukulannya kepada pemuda itu.

Intan berlalu pergi, tanpa mempedulikan lagi bagaimana reaksi kakaknya, ketika
mendapati ia, tak bertemu dengan Pak Darmo. Namun, sebetulnya, ada satu hal yang tidak Intan
mengerti.

“Ada apa dengan ibu, si lelaki sialan itu?”

**

“Malam, malam, dan selalu, malam kembali datang. Aku benci malam. Aku benci ketika
matahari mempersilahkan tahtanya, untuk diduduki dengan bintang-bintang penghias itu. Aku
benci ketika langit biru, dengan bijaksana, undur diri dari angkasa. Dan digantikan oleh langit
hitam pekat. Aku benci, karena, malam selalu membuatku merasa, bahwa penantianku semakin
panjang.”

**

“Kamu nanti kapan temuin aku lagi disini? Kapan kita bakalan sering main bareng, cerita
bareng kaya dulu lagi. Apa kamu nggak bakalan kangen sama aku?” gadis kecil berambut
panjang ini, menunduk pilu. Air matanya tak bisa lagi ia tahan. Padahal, ia sudah membuat
komitmen sebelumnya, dengan air matanya. Tapi, ternyata, butiiran bening itu, mengingkari
janjinya. “Aku akan kembali. Menemanimu, bermain, dan aku janji, senyuman ini, akan kembali
aku persembahkan, buat menghapus kesedihanmu. Tapi, aku mohon, jangan menangis lagi.
Karena nanti, tak akan ada aku, yang bisa menghapus kembali air matamu, Ayas.”. “Iya, tapi aku
takut kamu bohong.”. “Aku nggak akan bohong. Aku berjanji, bintang-bintang di angkasa, akan
menjadi saksi kepulanganku ke sini.” Bocah lelaki berkulit sawo matang itu, perlahan
menghapus air mata peri kecilnya. Membuat senyuman manis itu, kembali lagi terpeta di sana.

**

Sinar mentari menyusup, melewati celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Menyoroti
wajah gadis manis yang masih meringkuk diatas ranjangnya. Suara tuk tuk kecil dari jendela,
membangunkannya perlahan. Seekor burung kutilang, mematuk matuk jendela dengan paruhnya.
Gadis ini tersadar. Ia ikat rambutnya yang ia biarkan tergerai semalaman. Perlahan, ia mendekat
ke arah satu-satunya cermin –yang kelihatannya sudah kusam- yang ada di kamarnya. Ia terkejut.
Matanya basah. Apa semalam ia habis menangis? Tapi, kapan? Ia berpikir sejenak. Tak lama
tersadar, pasti akibat mimpi itu. Ahhhh, mengingatnya saja, membuat dadanya semakin sesak.

“Tumben, tan udah bangun.” Ina memasuki kamar Intan, tanpa mengetuk terlebih dahulu.
“Teteh, aku nggak mau kerja di kebun teh nya Pak Darmo. Aku mau cari kerjaan lain saja.” Kata
Intan ketus. “Kemarin kamu kenapa langsung pulang atuh, tan?”. “Males.” Jawab Intan tak acuh.
“Terus kamu mau kerja apa?” Tanya Ina sedikit khawatir. “TKW aja sekalian. Toh yang jadi
TKW banyak duit. Lagi pula, lumayan aku bisa pergi jauh dari sini. Siapa tahu, suatu hari, aku
bisa….mmm –Intan menggigit bibirnya-…aku….ketemu, dia.” Ina mengerti kemana maksud
perkataan Intan barusan. “Kamu nggak usah berharap sama temen kecil mu itu lagi, tan. Dia
pembohong.” Kata Ina mencoba menasihati, namun kata-kata itu, Intan rasa adalah sebuah
hinaan.

“Teteh teh nggak boleh atuh bicara seperti itu. Sampai sekarang pun, Intan masih percaya
kalau dia pasti bakal kembali.”. “Coba atuh sekarang? Ada nggak buktinya? Toh, itu cuman
masa lalu kamu, tan.”. “Dia itu bukan cuman sekedar masa lalu Intan, teh! Dia dunia Intan.”
Amarah Intan, sudah di luar batas normal. “Euleuh-euleuh, kamu lebay pisan.” Ina menggeleng
kecil, mendengar penuturan adiknya. “Teteh nggak ngerti, selama ini teteh cuman ngasih tahu
aku, ngasih aku motivasi. Tapi, teteh sama sekali nggak tahu kan perasaan aku teh seperti apa?”
sial! Lagi-lagi, air matanya mengalir lagi. Dan sama seperti sebelumnya, air mata itu, selalu
untuk orang yang sama.

“Intan, masa lalu itu, cuman sebagai sisipan yang Tuhan kasih, buat melengkapi hidup
kita. Yang harus kamu pikirkan itu, adalah masa depan, bukan masa lalu. Masa lalu itu nggak
penting. Toh, dia cuman bisa buat kamu nangis seperti ini, kan? Apa kamu nggak lelah?” .
“Terserah apa kata teteh. Aku nggak mau dengar.” Intan berlari keluar rumah, berlari, berlari,
dan terus berlari. Ia tak peduli kemana kakinya, membawanya melangkah. Sungguh, ia tak
peduli. Yang ia yakini adalah satu, menyendiri, adalah hal paling baik saat ini.

Mungkin kalian bertanya, mengapa kedua kakak beradik ini hidup hanya berdua? Ya,
mereka tak punya siapa-siapa lagi. Mereka hanya tinggal bersama nenek mereka. Orang tua? Ah,
mereka mungkin tidak peduli dengan kedua kata itu. Ayah dan bunda mereka telah tega
mengusir mereka berdua dari rumah. Entah apa maksudnya (saya juga tidak tahu). Keduanya
memutuskan untuk pergi ke Pacitan. Tempat di mana nenek mereka tinggal. Dan sekarang,
nenek yang mereka miliki satu-satunya itu, dititipkan di panti jompo. Karena, mereka tak punya
cukup uang untuk membeli makanan.

Telapak kaki Intan terus berlari, menyusuri sebuah jalan setapak yang lebih kecil. Jalan
itu, tidak berbelok. Hanya terus lurus, dan entah ujungnya dimana. Intan menyibak semak
belukar yang menghalangi langkahnya, di depannya, terlihat sebuah sungai dengan air yang –
benar-benar- masih bebas dari kata pencemaran. Sungai Pacitan ini, yang selalu membuat hati
Intan tenang. Karena, gemericik alirannya, menghadirkan gemuruh-gemuruh kedamaian bagi
siapapun yang mendengarnya.

“aaaaaaaaaaaaa” teriak Intan setibanya di sana. “hiks…hiks, harus berapa lama lagi aku
nunggu kamu? Aku capek tahu gak, capeeeeeekkkkkk…..” intan mengeluarkan semua
amarahnya, dihadapan aliran sungai, dan batu-batu besar yang ada di sana. “Kenapa? Kenapa
kalian hanya diam? Kenapa tak ada satu pun yang menjawab pertanyaanku?” gugatnya, kepada
benda-benda tak bernyawa itu. “Dia bilang, jika aku bercerita dengan benda mati seperti kalian,
hatiku akan tenang. Tapi apa buktinya? Hah, lagi pula, aku bodoh sekali mempercayai
perkataannya yang tak bermutu itu.” Intan terduduk lemas. Ia sembunyikan mukanya, di kedua
telapak tangannya. Hatinya benar-benar membutuhkan penenang saat ini. Rasanya, ribuan
bongkahan batu besar dijejali dengan paksa ke dalam dirinya.

“haha, Crazy.” Intan diam sesaat. Mencoba menajamkan pendengarannya. Jika tak salah
dengar, seperti ada yang berbicara. Intan mengalihkan pandangan ke sekeliling, tak ada seorang
pun dibelakangnya. “I’m here, crazy.” Ya, Intan tahu sekarang, suara siapa itu. Tidak salah lagi.

“Ngapain kamu?” Tanya Intan dingin. “I’m walking alone. I just wanna know, the nature
in this village. My mom says, it’s very good. And I want to prove it. But then, I find a crazy girl,
near the river.” Katanya, tapi tidak menatap Intan. “Bisa nggak sih pake bahasa Indonesia aja?
Kamu lagi ada di Indo, bukan di luar kota!” cerca Intan tajam. “Nggak bisa! I love Birmingham
–my country- more than this disgusting village.” Intan bangkit dari duduknya. Mendekat
perlahan, ke arah lelaki yang sangat mengganggunya dari kemarin. Dan menatapnya tajam.

“You-are-so-damn” kata Intan sinis. “You more.” Balas David tak kalah sinis. “Aku
mohon kamu pergi sekarang juga.”. “Oke, I will go. But I want to ask something to you.” Dahi
Intan berkerut, mendengar perkataan David. Sesuatu apa yang akan lelaki di hadapannya ini
tanyakan. “Do you really crazy and stupid girl? Gue heran, apa gunanya cerita sama benda mati.
Mereka nggak guna.” . “Aku diberi tahu oleh seseorang, itu lebih baik, dari pada kita bercerita
kepada manusia yang mungkin tidak bisa menjaga rahasia.” Balas Intan yakin. “That person is
stupid then, same with you.” Tanpa berkata-kata lagi, David meninggalkan tempat itu.

“Jangan menghina dia.” BUGG! Intan mendorong lelaki –yang telah berjalan
meninggalkannya- itu. Hingga membuat lelaki itu tersungkur, jatuh terperosok, di tanah yang
becek. Seluruh badannya, sekarang di dominasi dengan nuansa kecoklatan. “Sial! Apaan sih
lo?”. “Aku nggak akan biarkan siapapun menghina dia.”. “But, that’s the fact. You are same with
him. And now, LOOK! Semua badan gue kotor. Tahu nggak lo? Biaya perawatan kulit gue tuh
mahal! Lo pun nggak akan sanggup untuk bayar itu.”

“Aku kasih tahu ya ke kamu. Jadi orang, jangann sombong. Karena sebetulnya, kekayaan
yang kamu punya itu hanya titipan dari Tuhan. Actually, you’re nothing.”. “Argh, that’s up to
you. Lama-lama gue bisa gila.” David dengan segera benar-benar meninggalkan sungai itu.
Sungai yang mempertemukannya dengan makhluk yang paling aneh sedunia, menurutnya. David
berlari sangat kencang, ia harus menyelamatkan kulitnya. Ia tak akan membiarkan secuil kuman
pun hidup di tubuhnya. Apa lagi, sampai kuman itu menjadikan kulitnya, tempat bersalin(?)

“Sombong banget sih manusia itu. Kenapa aku harus bertemu orang seperti dia.” Kata
Intan kesal. Ia pun, berniat untuk pulang. Namun tak sengaja, kaki nya menginjak sesuatu. Intan
memungut sesuatu itu. Kalung putih, diukir dengan gambar elang. Sang elang tengah melebarkan
sayapnya dengan perkasa. Sepertinya, itu termasuk kalung yang mahal.

Tidak, bukan dari segi mahalnya yang Intan lihat. Seketika, hati Intan berdegup saat
melihat kalung itu. Pikirannya bercabang tak menentu. Ribuan pertanyaan terselip dalam
otaknya. Ia merasa mengenal kalung itu. Bahkan, bukan hanya ‘merasa’, tapi ia tahu pasti, siapa
yang pernah mengenakan kalung yang sama seperti yang ada di genggamannya saat ini. “Is this
David’s?” Tanya nya entah pada siapa. “Tapi….tapi aku tahu betul, kalung ini benar-benar mirip
dengan yang punya…..” Intan memegang dadanya. Sesak itu kembali menyelubungi dirinya.
Ada rasa tidak percaya terhadap pernyataan yang baru saja ia hadapi. Setetes butiran tipis,
kembali mengaliri pipi ranumnya. Entah mengapa, euphoria itu datang lagi menyergapnya. Dan
menimbulkan kegalauan yang akut.

“Tapi, tapi, hhh…tapi aku tahu persis, ini kalung milik Eko.” Intan mendekap kalung itu erat.
Dan mencoba menelaah, apa arti dibalik semua ini
**

Anda mungkin juga menyukai