Anda di halaman 1dari 3

Symphony Of Sense (Part 3): Masa Lalu Intan

-Syifa Ahliya-

**

“Sebenarnya apa kak?” Tanya Intan semakin penasaran, memotong ucapan Ina.

“Diam atuh! Dengerin dulu!” Protes Ina.

“Waktu itu……..”

“Ina, Ayas, mama sama papa berencana mau pindah ke Jakarta. Kami mau memperbaiki
pemasukan ekonomi kami.” Ucap wanita itu lirih. Saat itu, dia memanggil anak-anaknya yang sedang
bermain, menghadapnya, diruang tamu (tentu saja ruang tamu yang ala kadarnya, dengan kursi yang
sudah reot). Kedua putri nya itu tersenyum senang mendengar kabar yang diberikan oleh wanita yang
mereka panggil mama itu.

“Asik, Ina mau jadi orang Jakarta. Kamu juga, yas. Kamu seneng kan, yas?” Kata Ina (yang kala
itu berumur 12 tahun) dengan wajah penuh ceria, kepada adiknya yang belum mengerti apa-apa, karena
adik bungsunya itu, baru berumur 4 tahun. Sang ibu menggeleng pelan. Ina heran melihat ekspresi ibunya
yang Nampak tak ada rona bahagia sedikitpun.

“Ina, kalian tidak akan ikut dengan kami.” Jawab wanita itu pelan, namun bibirnya membentuk
sebuah lengkungan kecil. Entah apa itu maksudnya. Tapi, senyuman itu, terlihat tak bersahabat. “Maksud
mama?” Tanya Ina terkejut. “Kalian akan kami titipkan ke nenek kalian yang berada di desa sebelah
(Desa Pacitan. Sedangkan rumah Ina dan Ayas saat itu adalah Desa Klenteng). “APA?” Ina berteriak
kaget, membuat Ayas sampai terjungkal dari kursinya saking kagetnya mendengar teriakan kakaknya itu.
Tapi, nampaknya, tak ada yang menyadari kehadiran Ayas saat itu.

“Iya sayang, nggak apa-apa kan?” Tanya wanita itu lagi. Suaranya semakin dibuat-buat. “Tapi
kenapa atuh?” Tanya Ina penasaran. “Karena kalian teh, masih terlalu kecil buat ikut dengan kami.
Jakarta itu keras, nak. Kalian tak akan bisa bertahan hidup disana.”. “Mama sama papa juga nggak akan
bisa bertahan hidup kalau gitu mah?” . “Kami sudah dewasa.” Jawab wanita itu dingin.

“Pa, ini nggak bener kan? Geuning papa tega ninggalin kita berdua di desa ini?” Tanya Ina
kepada lelaki bertubuh tegap yang sedari tadi hanya diam saja, menyudutkan dirinya. “Eee…”. “Tentu
saja benar sayang.” Sela wanita itu lagi. Sepertinya, sang lelaki tak tega berbicara kepada anaknya.
Apalagi, ia melihat ekspresi Ina yang penuh dengan kekecewaan.

“Mama sama papa jahat! Kenapa sih mama sama papa tega ninggalin kita? Apa nggak ada sedikit
aja kasih sayang buat kita di hati kalian?” Tanya Ina dengan nada tinggi. Emosinya kian meluap-luap. Ia
menatap tajam kedua orang tuanya itu. Ditatap seperti itu, membangkitkan gejolak amarah pada diri
wanita dihadapannya itu. Matanya balas menatap Ina dengan nyalang.
“Bicara apa kamu barusan? Coba ulangi lagi! Dasar anak durhaka! Tak tahu diri! Sudah syukur
kami membesarkanmu! Dan sekarang, berani-beraninya kamu berbicara selancang itu.” Setelah
menyelesaikan omongannya, ia menampar Ina dengan keras. Emosinya sudah tak terkendali lagi. Lelaki
bertubuh tegap itu menatap adegan tersebut dengan tak percaya. Ia menampar istrinya, dengan pukulan
yang lebih keras lagi dari yang ia berikan kepada Ina.

“Diam kamu! Berani-beraninya kamu menampar anakku!” kata si-Lelaki tak terima. “Bagus! Ini
semua salahmu, salahmu yang….”. “Cukup Isti! Cukup! Kalau kamu masih berbicara lagi, aku tak akan
segan untuk menamparmu lebih keras dari yang tadi. Isti menatap Bagus tak percaya. Ternyata, suaminya
itu lebih memihak kepada anak durhaka ini. Pikirnya.

Bagus mengalihkan perhatiannya kepada Ina yang sekarang sedang tersungkur di lantai itu, dan
terisak pelan. Ina masih saja memegang pipinya yang memerah. Sedangkan Ayas, hanya diam saja
melihat adegan itu. “Kamu tidak lihat didepan kita ada anak kecil Isti? Kamu tidak lihat?” bentak Bagus
keras. Ina masih shock dengan perlakuan ibunya tadi. Tega-teganya ia menampar anaknya sendiri.
Padahal apa salahnya? Ia hanya ingin ikut ke Jakarta. Apa itu salah besar?

“Ayas, main yuk!” panggilan seorang anak laki-laki menyeruak diantara pertengkaran itu. Ayas
yang mendengar panggilan itu teruntuk dirinya, sangat bahagia kelihatannya. Ia langsung bangkit dan
menghampiri teman kecilnya itu, dengan semangat 45. Bagus bernapas lega, melihat kepergian Ayas. Ia
lalu duduk, dan mengusap Ina lembut. “Kamu nggak apa-apa sayang?” Tanya Bagus selembut mungkin.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Ina. Yang terdengar hanya sebuah isakan, yang membuat Bagus
semakin merasa bersalah.

Tak lama kemudian, Ina menatap lelaki yang ia panggil papa itu. Matanya menelusuri setiap
lekuk wajah papanya. Ia mencari sebuah kehangatan disana. Dengan wajah memelas, ia memandang
papanya seperti bicara “Apa salahku?”. Bagus hanya membalas tatapan Ina dengan sebuah senyum getir.
Senyum yang dipaksakan. Saat itu, ia menghakimi dirinya. Salahnya, yang menyetujui ucapan istrinya
tadi malam. Ini semua salahnya, yang tak pernah bisa membela anak-anaknya dihadapan istrinya.
Salahnya, yang kurang memperhatikan perasaan anak-anaknya.

“Bagus, sudahlah! Tak usah kau pedulikan lagi anak sialan itu.” Ucap wanita itu dingin. “DIAM
KAU ISTI!” bentak Bagus, yang emosinya masih belum reda. “Pa, kenapa?” ucap Ina lirih, tiba-tiba.
“Kenapa aku tak boleh ikut?” Tanya Ina sekali lagi. Bagus menutup mata. Menghembuskan nafasnya
yang terdengar berat. Jawaban apa yang harus ia berikan kepada putrinya, yang mulai memasuki masa
remajanya ini. Tak mungkin ia harus mengatakan yang sebenarnya. Tak mungkin. Itu benar-benar tak
mungkin.

“Tak ada apa-apa, nak. Betul yang dikatakan ibumu, Jakarta itu keras. Dan sekarang, nenekmu di
Desa Pacitan lebih membutuhkan kalian. Hanya itu saja.” Ucap Bagus akhirnya. Ina tidak puas, sangat
tidak puas dengan jawaban yang diberikan bagus. Yang rasanya, ada yang aneh dengan jawaban itu.
Entah, tapi Ina yakin ini bukanlah alasan yang sebenarnya. Tapi, apa yang bisa ia perbuat?
Menyanggahnya? Mungkin, itu hanya akan menambah rumit perdebatan ini. Pada akhirnya, ia hanya
tersenyum pasrah, menerima keadaan.

**
“Dan kenapa mama begitu tega memperlakukan teteh seperti itu?” Tanya Intan disela-sela cerita yang
dituturkan Ina. Ina hanya tersenyum kecil. Apakah, ia juga akan membongkar hal ini kepada adiknya itu?
Bagaimana dengan reaksi adiknya itu setelah ia mengetahui hal yang sesungguhnya? Dan pada akhirnya,
Ina hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Teteh pun nggak tahu, tan.”

Anda mungkin juga menyukai