Anda di halaman 1dari 22

RELEVANSI PENDIDIKAN KRITIS PAULO FREIRE DENGAN PENDIDIKAN ISLAM

Ainul Yaqin
Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum Panyepen Palenggaan Pamekasan
ainulyaqinsyakir@gmail.com

Abstract
Criticisms which always come up in Islamic Education is a doctrinal, dogmatic
learning model that gives no freedom to learners. It is theoretically on the basis
of the epistemology of Paulo Friere on oppressed people. According to him the
oppressed people who internalize themselves with those oppressing them and
adapted themselves with their way of thinking will bring a feeling of severe
threat. Islam prioritizes mankind, upholds democratic values and justice,
appreciates what men have done, teaches people how to speak truly and behave
properly, and loves the week and the oppressed. It is in this position that
freedom fits those values.
Keywords: Relevance, Paulo Friere, Islamic education.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa
dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Pendidikan selalu
menjadi tumpuan kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai
sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang
memanusiakan.1 Pendidikan memiliki tujuan mengembalikan jati diri manusia
yang sesungguhnya sebagai manusia yang merdeka, berhak untuk hidup, tidak
ditindas, tidak diperlakukan secara sewenang-wenang.2 Dalam pendidikan
Islam, pendidikan mengandung makna memelihara dan mengembangkan
fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil). Dengan demikian pendidikan bukanlah merupakan

1
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 4.
2
Moh Yamin, Menggugat Pendidikan di Indonesia: Belajar dari Paolo Freire dan Ki Hajar Dewantara
(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009), 135.
13 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

pengalihan atau transfer pengetahuan, melainkan membantu peserta didik


agar mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Pendidikan
sebagai proses memerdekakan peserta didik dengan cara yang manusiawi
sesuai dengan potensi atau fitrah yang dimiliki. Jika seorang murid dipaksa
untuk mengikuti kehendak guru, dimatikan pendapatnya atau menjalankan
perintah di bawah tekanan, berarti dia belum sepenuhnya merdeka sebagai
manusia, model-model pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan manusia-
manusia kaku yang berpandangan sempit.3
Dalam realitanya, praktek pendidikan yang terjadi lebih nampak
sebagai deseminasi doktrin atau alat hegemoni bagi kelas penguasa. Dimana
peserta didik senantiasa di-driill dan dilatih untuk menjadi penurut. Dalam
konteks ini, pendidikan tidak lagi menjadi proses pendewasaan manusia,
melainkan alat sebuah sistem penindasan. Bila kondisi pendidikan yang
demikian sama sekali menafikan keberadaan peserta didik sebagai seorang
manusia yang memiliki potensi untuk berfikir dan memiliki kesadaran, yang
mengakibatkan peserta didik tidak mempunyai kesadaran untuk maju. Pada
dekade 70-an Paulo Freire salah seorang penggagas pendidikan kritis
melontarkan kritik yang sangat mendasar. Salah satu kritik cukup tajam
menurut Friere, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi
sampai kini di banyak negera, termasuk Indonesia) adalah bahwa pendidikan
mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan
mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan
yang dikandungnya. Masalahnya adalah pendidikan selama ini hanya menjadi
ajang penindasan dan pembodohan gaya baru yang di bungkus rapi oleh
sekolah, pendidikan telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk
membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadaran bahwa ia

3
Immawati Dwi Setyowati, Pendidikan Humanistik, STAIN Purwokerto. (diakses 01-03-2014).
14 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

telah menderita dan tertindas, sistem ini berjalan karena adanya mazhab
pendidikan yang terpengaruh oleh pemikiran positivisme.4
Dalam mazhab positivisme, sistem pendidikan yang dikenal adalah
sistem “bank” (banking concept of educational), secara cermat Freire
menganalisa konsep pendidikan gaya bank yang memelihara, bahkan
mempertajam, kontradiksi guru dan murid. Pendidikan gaya bank adalah
konsep di mana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar daripadanya kelak
diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan
sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang
mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara
depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak
didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi,
sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang
akan dipetik hasilnya kelak. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru
memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan
dihafalkan.5
Dari sinilah pendidikan kritis hadir untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat untuk peduli dan kritis terhadap segala persoalan yang terjadi
dalam lingkungan mereka. Freire mengharapkan pendidikan kritis bisa
membenahi carut-marut kehidupan bangsa terutama pendidikan.6 Bagi Freire,
selaku tokoh penggagas pendidikan kritis. Pendidikan haruslah berorientasi
kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan akan
realitas bagi Freire tidak hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus

4
Positivisme, adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari
fakta-fakta yang Nampak, menurut positivisme tugas ilmu pendidikan dan filsafat hanya menyelidiki fakta-
fakta tanpa menyelidiki sabab-sebabnya. Baca Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam dan Pembebasan.
(Salatiga: Djambatan dan Pena, 2000), 4-6. Baca juga Mansour Fakih, Pendidikan Popular :Membangun
Kesadaran Kritis (Yogyakarta: Insist, 2010), xvii dan 47.
5
Ngainun Naim, Rekontruksi Pendidikan Nasional Membangun Paradigma yang Mencerahkan (Yogyakarta:
Teras, 2010), 116. Lihat juga Dhakiri, Paulo Freire, 8.
6
Yamin, Menggugat Pendidikan, 166.
15 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

kedua-duanya secara sinergis.7 Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan


kritis pada dasarnya merupakan salah satu paham dalam pendidikan yang
mengutamakan pemberdayaan peserta didik agar dapat berfikir kretif,
mandiri, dan produktif yang dapat membangun diri dan masyarakatnya
Pendidikan kritis yang ditawarkan Freire memberikan inspirasi tentang
muatan yang seharusnya ada dalam pendidikan, alur berfikir Freire sangat
relevan dengan pandangan pendidikan Islam. Islam sebagai sebuah agama
yang telah mengajarkan adanya penghargaan terhadap terhadap eksistensi
manusia yang merupakan makhluk beradab, berfikir, dan memiliki kesadaran
jauh sebelum Freire ada. Dalam konteks inilah, Islam memandang penting
kedudukan manusia dalam proses pembentukan dan aktualisasi dimensi
manusia yang berupa fitrah. Pendidikan Islam memiliki nilai positif dan
konstruktif dalam mendidik peserta didik menjadi mandiri dan mampu
mengembangkan potensinya secara optimal.

Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif deskriptif dengan jenis library
research. Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru
dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan
kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah yang
terkait dengan judul penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti berhadapan
langsung dengan teks atau data yang bukan dengan pengetahuan langsung
dari lapangan atau saksi mata tempat kejadian. Sumber data dalam proses
penelitian ini adalah dokumentasi, meliputi: 1). Sumber data primer adalah
sumber data yang utama (pokok) berupa karya-karya yang ditulis sendiri oleh
Paulo Freire, seperti buku Pendidikan Masyarakat kota, Politik Pendidikan
kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan, Pendidikan Kaum Tertindas,
Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi dan lain-lain; dan 2). Sumber

7
Paulo Freire, Politik Pendidikan kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan. Terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), ix.
16 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

data sekunder adalah sumber data yang mendukung data primer yang
membahas konsep pendidikan kritis dan konsep pendidikan Islam, misalnya
melalui dokumen atau karya orang lain yang secara intelektual tidak terjadi
kontak, tetapi ada kesamaan tema-tema pemikiran yang dikembangkannya,
seperti buku Pendidikan Madzhab Kritis, Paradigma Pendidikan Islam dan lain-
lain.8

Biografi Singkat Paulo Friere


Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah 19 September 1921 di
Recife, sebuah kota kecil yang letaknya di dekat pelabuhan di timur laut Brazil.
Refice adalah salah satu pusat kemiskinan dan keterbelakangan. Freire
dilahirkan oleh seorang ibu bernama Edeltrus Neves Freire, dan ayahnya
seorang polisi bernama Joaquim Thomis Tocles Freire. Freire berada dalam
didikan kedua orang tuanya dengan sikap demokratis, terbuka dan dialogis.
Sikap itu tercermin dalam tindakan kedua orangtuanya yang selalu
menekankan agar menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain.
Ketika krisis ekonomi melanda Brazil pada tahun 1929, keluarga Freire ikut
terkena dampaknya dan jatuh miskin. Masa kecil Freire adalah masa yang
memprihatinkan. Pada usia 8 tahun, Freire mengalami sendiri penderitaan
yang disebabkan karena kelaparan. Kondisi inilah yang menjadi embrio
perjuangan Freire nantinya, bahkan akhirnya mendorongnya untuk bertekad
mempertaruhkan seluruh hidupnya. Sejak saat itu Freire kecil telah
memutuskan hidupnya untuk berjuang demi kebebasan dan kemerdekaan dari
kelaparan. Pada 1931 ayah Freire meninggal dunia ketika ia dan keluarganya
baru saja pindah ke Jabatao. Freire dan keluarganya terus berjuang untuk
menata hidupnya supaya hidup sejahtera. Tiga tahun kemudian, ketika kondisi
ekonomi membaik, Feire melanjutkan sekolahnya. Bahkan Freire dapat
melanjutkan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi. Freire mulai belajar di

8
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D (Bandung: ALFABETA, 2009), 225. Lihat
juga Marzuki, Metodologi Riset (Yogyakarta: Ekonisia, 2005), 60.
17 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia


juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli
hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut.
Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah,
mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de
Oliveira, seorang rekan gurunya (yang kemudian menjadi kepala sekolah).
Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga
membesarkan kelima anak mereka. Setelah lulus sarjana hukum, dia bekerja
sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, bahkan menjadi Direktur bagian
pendidikan dan kebudayaan SESI (pelayanan sosial) di negara Pernambuco.
Pengalaman dibidang masyarakat selama bertahun-tahun membawanya
kepada kontak langsung dengan penduduk miskin di daerah perkotaan. Dari
kontak dengan masyarakat miskin tersebut yang menjadi cikal-bakal dialogis
dalam mengembangkan metode dialogis dalam pendidikan.9

Relevansi Pendidikan Kritis Paulo Freire dengan Pendidikan Islam


Pendidikan kita masih terkesan sebagai pendidikan yang membelenggu.
sistem pendidikan dengan konsep delivery system. Di sini terjadi praktik
pendidikan yang mengalir dari atas ke bawah (top-down), pengetahuan
tekstual masih berpola pada guru-siswa, yang kurang memperhatikan faktor
hak-hak anak secara demokratis dan kreatif, serta kurangnya pemberian
kesempatan kepada mereka untuk melakukan aktifitas dalam pendidikan.
Sistem pendidikan yang membelenggu ini pada gilirannya akan menghasilkan
manusia yang penurut, tidak kreatif bahkan memiliki ketergantungan tinggi.
Hal tersebut akan membuat mereka menjadi beban sosial, tidak mandiri,
bahkan tidak memiliki jati diri. Pendidikan demikian dapat dinyatakan sebagai

9
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. F Danuwinata (Jakarta: LP3ES, 2008), x-xi. Lihat juga Hanif
Dhakiri, Paulo Freire Islam dan Pembebasan (Jakarta: Djambatan, 2000), 17.
18 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

sistem pendidikan tertutup, kurang memberikan kebebasan dan pengalaman


kepada para peserta didik untuk berkreasi.10
Paradigma pendidikan kritis, sebagai paradigma pendidikan alternatif
yang digagas oleh Freire adalah sebagai sebuah kritik terhadap paradigma
pendidikan konservatif dan liberal, yang kini menguasai paradigma pendidikan
dominan yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga
formal maupun non formal. Paradigma pendidikan kritis yang digagas oleh
Freire menampilkan kritik yang sangat mendasar terhadap paradigma
pendidikan konservatif dan liberal yang telah dianggap gagal menjalankan visi
dan misi pendidikan sebagai proses humanisasi. Implikasi yang dihasilkan oleh
paradigma pendidikan yang dominan tersebut adalah output pendidikan yang
dihasilkan tidak mampu membawa ke arah perubahan yang konstruktif bagi
realitas kemanusiaan.11
Kegagalan paradigma pendidikan konservatif dan liberal dalam
menjalankan visi dan misi pendidikan tersebut, juga menarik perhatian para
tokoh pendidikan Islam kontemporer. Salah satu aspek penting yang
mendasari pemikir pendidikan Islam merumuskan konsep pendidikannya
adalah fenomena realitas dunia pendidikan Barat modern yang ditiru oleh
dunia Islam, namun kenyataannnya telah gagal mencapai tujuan sejati dari
pendidikan. Kegagalan paradigma pendidikan konservatif dan liberal dalam
menjalankan visi dan misi pendidikan tersebut, juga menarik perhatian para
tokoh pendidikan Islam kontemporer. Salah satu aspek penting yang
mendasari pemikir pendidikan Islam merumuskan konsep pendidikannya
adalah fenomena realitas dunia pendidikan Barat modern yang ditiru oleh
dunia Islam, namun kenyataannnya telah gagal mencapai tujuan sejati dari
pendidikan.

10
Immawati, Pendidikan Humanistik.
11
Lihat Mansour Fakih, Mansour Fakih, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakarta:
Insist, 2010), 23-27. Lihat juga Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan
dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Inspeal Press, 2003), 138-143.
19 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

Pendidikan menurut Muhammad Iqbal (pemikir Islam dari anak benua


India) bertujuan membentuk manusia sejati, dalam menggagas paradigma
pendidikan Islamnya, terlebih dahulu memberikan kritiknya terhadap
paradigma pendidikan Barat modern yang telah menghasilkan krisis
kemanusiaan yang berkepanjangan. Menurut Iqbal, kegagalan yang terjadi
dalam pendidikan Barat modern dikarenakan dalam pendidikan Barat modern
hanya menekankan aspek transformasi pengetahuan belaka, tanpa menaruh
perhatian pada hati nurani peserta didik. Sehingga sistem pendidikan ini
akhirnya akan menyebabkan perkembangan peserta didik tidak seimbang
antara aspek lahiriyah dan batiniyah.12
Umat Islam harus menyadari ”kegagalan” pendidikan karena pola lama
yang selama ini digunakan telah terbukti gagal menghantarkan terbentuknya
manusia-manusia cerdas, kritis dan kreatif.13 Sehingga mau tidak mau
pendidikan Islam harus menanggalkan paradigma lama menuju paradigma
baru yang berorientasi pada masa depan, berjiwa demokrtis, serta
berorientasi pada peserta didik.14 Secara konseptual pendidikan dalam Islam
tidak hanya proses belajar mengajar untuk mentransformasikan pengetahuan
belaka. Dalam pandangan pendidikan Islam, secara umum pendidikan
mencakup aspek pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia
pada kesempurnaan kemanusiaannya. Pada akhirnya, pendidikan dalam Islam
berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah manusia secara umum dan
mengantarkannya pada tujuan hidupnya yang mulia dengan mengembangkan
seluruh potensi manusia baik jasmani maupun rohani, menumbuhsuburkan
hubungan yang harmonis kepada Allah, manusia dan alam semesta.15
Dari latar belakang fenomenologis, defenisi dan orientasi pendidikan
yang digagas oleh Iqbal dan paradigma pendidikan kritis terlihat memiliki
12
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), 287-288.
13
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 49.
14
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia
(Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), 117.
15
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam: untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK (
Bandung: Pustaka Setia, 2001), 73.
20 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

relevansi yang sangat jelas. Dimana keduanya mendasarkan paradigma


pendidikan pada otokritik terhadap kegagalan paradigma pendidikan yang
telah ada, serta memiliki orientasi yang secara umum sama, yaitu pencapaian
humanisasi baik secara individu maupun sosial. Relevansi tersebut terlihat,
khususnya pada orientasi pendidikan untuk membentuk pribadi manusia
secara integral, dengan memperhatikan dan mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki manusia secara menyeluruh. Di samping itu, keduanya juga
memiliki relevansi secara sosiologis, di mana orientasi sosial dari pendidikan
adalah penyelesaian terhadap masalah-masalah zaman yang dihadapi demi
tercapainya transformasi sosial. Sasaran utama pendidikan dalam pendidikan
Islam juga sangat relevan dengan sasaran pendidikan yang ingin dicapai dalam
pendidikan kritis yaitu memanusiakan mansia. Sebagaimana Freire, dengan
konsep kesadaran kritisnya, yang menyatakan bahwa pendidikan mestilah
mengantarkan manusia untuk memahami seluruh aspek kehidupan sosial
masyarakat memiliki keterkaitan yang erat antara satu bidang dengan bidang
yang lain. Pendidikan mestilah mengantarkan manusia pada kesadaran kritis
dalam melihat seluruh aspek tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh al-
Toumy bahwa:
Pendidikan Islam harus berkaitan erat dengan realitas masayarakat,
kebudayaan, dan sistem sosial, ekonomi, dan politik. Pendidikan harus
juga berkaitan dengan aspirasi, harapan, kebutuhan, dan masalah-
masalah manusia di dalamnya. Pendidikan Islam tidak boleh tegak di atas
awang-awang, serta tidak terasing dari realitas kebudayaan dan sosial.
Pendidikan Islam harus selaras dengan kebudayaan yang hidup dan
berkembang di masyarakat, serta sistem-sistem sosial, ekonomi, dan
politik yang berkuasa di dalam masyarakat. Pendidikan Islam, tidak hanya
menyeseuaikan diri dengan apa yang ada di masyarakat, melainkan harus
berposisi sebagai perintis, pembimbing, pemimpin, serta pengkritik
terhadap sistem-sistem dominan tersebut.16

16
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), 47.
21 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

Dalam perspektif Islam, pendidikan sesuai fitrah manusia sangat mutlak


dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi fungsi, peran, dan eksistensi fitrah
kemanusiaannya. Pendidikan dalam pandangan para pemikir muslim adalah
pemenuhan jati diri atau esensi kemanusiaan dihadapan Tuhan. Pada konteks
ini pendidikan dalam perspektif Islam, lebih pada pemeliharaan, pemanfaatan,
dan pengembangan fitrah kemanusiaan, sehingga pendidikan Islam identik
dengan proses pengembangan yang bertujuan membangkitkan dan
mengaktifkan potensi-potensi yang dimiliki manusia.17 Hal ini senada dengan
karakterstik paradigma pendidikan kritis yang berorientasi mewujudkan
segenap potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh manusia secara maksimal
demi tercapainya cita-cita yang ideal.18 Dimana pendidikan kritis bertolak
belakang dengan paradigma pendidikan konservatif, yang cenderung
menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk melegitimasi sistem sosial,
politik, dan budaya (ideologi dominan) yang ada di masyarakat dan telah
mengenyampingkan peran kemampuan potensi nalar dan kreasi peserta
didik.19
Abdurrachman Assegaf menjelaskan bahwa pendidikan Islam merupakan
sebuah sistem yang telah memiliki basis nilai sebagai menghendaki pendidik-
peserta didik secara bebas beragumentasi tanpa merasa dibatasi oleh
kedudukan masing-masing dan hanya nilai atau etikalah yang menjembatani
proses ini, ketika pendidik mengungkapkan suatun pendapat, tidak layak
peserta didik menyelanya. Begitu pula sebaliknya, pendidik hendaknya
memberikan waktu bagi peserta didik untuk berekspresi, berargumentasi, dan
berkreasi bahkan berinovasi. Proses pembelajaran semacam ini, akan
menumbuhkan mental kemandirian daya kritis peserta didik. Dalam konteks
pendidik dan peserta didik tersebut, paradigma kritis akan menjadi sebuah
pendekatan humanistik-tauhidik dalam proses pembelajaran yang membentuk
17
Arifudin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kultura, 2008), 36.
18
Musthofa Rembangi, Pendidikan Transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah
Pusaran Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2008), xxvii.
19
Faqih, Pendidikan Kritis, 29.
22 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

manusia (pendidik dan peserta didik) menjadi diri yang memiliki independensi
akal, dengan mengacu pada nilai-nilai Islami, sehingga mampu
mengembangkan dan mengamalkan pengetahuannya secara praktis dengan
dilandasi kesadaran dan tanggung jawab. Pengakuan terhadap potensi
peserta didik tersebut, berarti mengupayakan kebebasan peserta didik untuk
memiliki daya kretivitas yang termanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang
memerankan dirinya sebagai subjek dalam pencarian pengetahuan. Hal
tersebut mencerminkan kebebasan manusia untuk berfikir dan bertindak,
sehingga menjadi manusia yang berkesadaran, kreatif, dan inovatif serta
mandiri.20
Keberadaan peserta didik sebagai subjek menghendaki manusia tersebut
untuk selalu aktif dan bertanggung jawab atas pemikiran dan tindakannya. Hal
ini diungkapan Paulo Freire, dengan mengutip kata-kata Erick Fromm, dalam
The Heart of Man, mengatakan:
...kebebasan untuk menciptakan dan membangun, untuk
mempertanyakan dan mencoba-coba. Kebebasan semacam ini
menghendaki manusia yang aktif dan bertanggung jawab, bukan budak
atau sekrup mati dalam mesin..tidak cukup sekedar bahwa manusia
bukanlah budak: jika kondisi sosial mengarah kepada kehidupan
otomaton, hasilnya bukan cinta kehidupan, tetapi cinta kematian.21

Freire, memformulasikan subjektifitas peserta didik dengan


terbentuknya dialektika pemikiran kritis dan kesadaran subjektif. Dalam
pengertian ini, paradigma kritis peserta didik hanya dapat tumbuh ketika ia
sendiri memiliki kesadaran atas keadaan diri dan realitas sosial yang
melingkupinya. Sehingga peserta didik mampu merefleksikan kehendaknya
sendiri, begitu pula kesadaran akan memiliki arti ketika ia mampu secara kritis
melihat realitasnya, sehingga dapat memahami keadaan dirinya dengan baik.

20
Abdurracman Assegaf, Pendidikan Madhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat
(Yogyakarta: Gama Media, 2008), 226-227.
21
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. F Danuwinata (Jakarta: LP3ES, 2008), 48.
23 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

Kristalisasi paradigma kritis dan kesadaran subyektif peserta didik pada


dasarnya terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan dan
memberdayakan akal pikirannya yang diimbangi iman kepada Tuhan. Di sini
akal pikiran yang mencirikan peserta didik sebagai manusia kritis berlandaskan
pada agama. Paradigma pendidikan Islam, yang menolak mengikuti secara
taklid kepada tradisi yang diwariskan dari nenek moyang maupun terhadap
konstruk ideologi dominan meniscayakan paradigma pendidikan Islam, yang
mendorong tumbuhnya sikap dan kesadaran kritis, seperti diharapkan oleh
paradigma pendidikan kritis. Konsep Islam yang sangat menekankan
pentingnya nalar kritis tersebut, Allah berfirman:
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan
Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya. (Qs. Yunus: 100).22

Senada dengan ayat di atas, Islam selalu mengajak manusia untuk


berfikir dan bernalar, pernyataan di atas menunjukkan arti penting ”akal kritis”
yang dimanifestasikan melalui pemberdayaan potensi fitrah manusia.
Paradigma kritis ini membawa kepada pemahaman bahwa kebenaran hakiki
akan ditemukan melalui proses berfikir (tafakkur), bukan hanya fanatik atau
taklid semata.23 Sehingga salah satu aspek yang terpenting dalam pendidikan
Islam adalah agar manusia menyadari bahwa apa yang menjadi keputusan
orang banyak tidak meniscayakan harus diikuti. Hal ini senada juga dengan
karakteristik pendidikan kritis yang menolak hegemoni ideologi dominan
sebagai sumber otoritas pengetahuan, norma, dan nilai yang mesti diyakini
mutlak kebenarannya oleh masyarakat.24 Ideologi dominan sebagai
mainstream yang menghegemoni masyarakat serta kebenarannya mesti
diyakini secara mutlak, akan membawa implikasi pada tumbuhnya sikap
fatalisme di masyarakat. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan hakekat

22
Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), 332.
23
Assegaf, Pendidikan Madhab Kritis, 228.
24
Faqih, Pendidikan Kritis, 29.
24 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

pendidikan kritis maupun pendidikan Islam. Hal ini didasarkan pada firman
Allah berikut:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta kepada Allah. (Qs. Al-An’am: 116 ).25
Dalam pandangan Freire, fanatisme akan merusak pikiran manusia dan
mematikan rasio serta kreativiatasnya. Fanatisme ini, mencirikan bahwa
manusia belum memiliki kesadaran, hal ini diungkapkan Freire sebagai berikut:
Dalam kenyataannya, penyadaran diri tidak akan mengarahkan
seseorang kepada sikap fanatik yang merusak. Sebaliknya, dengan
memungkinkan seseorang untuk memasuki proses sejarah sebagai
subyek yang bertanggung jawab, penyadaran ini mengantarkan mereka
ke dalam penacarian diri sendiri, dan menghindari fanatisme”.26
Paradigma pendidikan kritis juga memiliki relevansi dengan paradigma
pendidikan Islam pada cara pandang mengenai manusia dengan dunia.
Sebagaimana telah dijelaskan di bab sebelumnya, paradigma pendidikan kritis
menolak pandangan paradigma pendidikan liberal yang menganggap adanya
keterpisahan antara manusia dengan dunia. Dalam paradigma pendidikan
Islam, menurut al-Taomy, alam adalah mitra manusia dalam mengembangkan
segenap potensi yang dimilki untuk mencapai kemajuannya Dalam pandangan
Islam, antara manusia dan alam bukanlah dua entitas yang harus
diperlawankan. Alam semesta adalah sumber ilham dan tanda yang menolong
dan mengantarkan manusia untuk menemukan cahaya kebenaran dan
kebaikan.27
Manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta. Oleh
karena itu, dalam paradigma pendidikan Islam menolak dengan tegas
dikotomi yang dilakukan oleh paradigma pendidikan liberal antara manusia
dan alam. Akhirnya, baik pendidikan kritis maupun Islam, menjadikan

25
Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, 116.
26
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, 2.
27
Al-Saybany, Falsafah Pendiidkan, 76.
25 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

pendidikan sebagai proses konsintisasi atau proses penyadaran, yang


membuat manusia memiliki kesadaran kritis, reflektif, dan holistik dalam
mempersepsi, menghadapi, serta menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi dalam realitas kehidupannya. Dalam mengimplikasikan sikap kritis
tersebut, tidaklah bebas nilai, dalam pengertian mengabaikan nilai-nilai etika
mengenai tata cara berhubungan dan saling berdialog, baik antar murid,
maupun guru-murid. Akan tetapi, tetap mengacu pada nilai-nilai Islam sebagai
cerminan dalam melakukan hubungan tersebut, sehingga bukan pertentangan
yang mmuncul, namun kasih sayang, saling menerima pendapat orang lain;
bila itu suatu kebenaran, saling menghargai, dan lain sebaginya. Dengan
menempatkan nilai-nilai religius dalam proses pembelajaran tersebut akan
menumbuhkan kesadaran terhadap diri peserta didik untuk saling mengakui
eksistensi setiap individu, yang terlahir dari sikap yang harus dipegang oleh
masing-masing. Dengan demikian, penekanan dalam pendidikan kritis terletak
pada penggalian potensi (fitrah) peserta didik untuk secara bebas
merefleksikan gagasan dan mewujudkan kreatifitasnya tanpa ada pembatasan
yang bersifat struktural pada pendidik maupun peserta didik, dengan tetap
mengacu pada tata nilai Islam, sehingga yang menjadi tujuan pendidikan kritis
adalah terbentuknya kesadaran bersama untuk memiliki perhatian terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan terbentuknya sikap yang
mencerminkan akhlaq al-karimah dengan didasari nilai agama.28

Penerapan Pendidikan Kritis dalam Pendidikan Islam


Paradigma pendidikan pada ranah proses belajar mengajar, adalah
sebuah syarat utama dalam tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, paradigma pendidikan kritis
memiliki banyak persamaan dengan paradigma pendidikan Islam. Pendidikan
Islam bukan dengan serta merta menolak setiap gagasan yang berasal dari

28
Assegaf, Pendidikan Madhab Kritis, 229.
26 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

luar Islam. Dalam hal ini, pendidikan Islam bukanlah paradigma yang harus
dipertentangkan dengan paradigma pendidikan sekuler. Pendidikan kritis
adalah paradigma yang digagas oleh pemikir-pemikir non muslim, yang tidak
terlalu menekankan aspek spritualitas dan keimanan sebagai fondasi, atau
dengan kata lain paradigma pendidikan kritis adalah termasuk paradigma
pendidikan sekuler. Namun, proses pembelajaran yang ada dalam pendidikan
kritis dapat dijadikan sebuah acuan metodologis bagi pendidikan Islam dalam
merumuskan proses pembelajaran yang humanis serta dapat menjadi sarana
yang dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Paradigma pendidikan Islam, juga sangat menentang keras pola
pendidikan liberal atau konservatif, yang disebut oleh Freire dengan pola
pendidikan “gaya bank”. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik
bukanlah saran investasi yang akan dipetik hasilnya kelak. Selain pola
pendidikan dalam pandangan paradigma pendidikan Islam, juga bukan ajang
indoktrinasi untuk melegitimasi dan melanggengkan struktur sosial politik,
dan ekonomi yang menindas. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi,
pendidikan Islam dalam pembahasan ini, mengutip dari salah satu batasan
pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah tarbiyah al-muslimin dan
tarbiyah ‘inda al- muslimin.29
Berdasakan kesamaan prinsip pembelajaran tersebut, para pendidik
muslim dapat menjadikan pola-pola pembelajaran yang ada dalam paradigma
pendidikn kritis sebagai sebuah model pembelajaran yang akan diterapkan
dalam pendidikan Islam. Menurut al-Toumy, metode pembelajaran dalam
Islam, memiliki beberapa cirri-ciri umum yang menonjol, yaitu: 1). Berpadunya
metode dan cara-cara, dari segi tujuan dan alat, dengan jiwa ajaran dan akhlak
Islam yang mulia; 2). Metode pembelajaran Islam bersifat luwes serta dapat
menerima perubahan dan penyesuaian sesuai dengan keadan dan suasana

29
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008), 36.
27 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

serta mengikuti sifat peserta didik. Juga menerima perbedaan sesuai dengan
pembelajarn dari ilmu dan topik pelajaran tertentu, serta perbedaan pada
tingkat kemampuan dan kematangan peserta didik; 3). Metode pembelajaran
dalam Islam, dengan sungguh-sungguh berusaha mengaitkan antara teori dan
praktek atau antara ilmu dan amal; 4). Membuang cara-cara dalam mengambil
jalan pintas pada proses belajar mengajar; dan 5). Menekankan kebebasan
peserta didik berdiskusi, berdebat, berdialog dalam batas-batas kesopanan
dan saling hormat menghormati. Peserta didik memiliki kebebasan mutlak
untuk menyatakan pendapat di depan pendidik dan untuk berbeda dengan
pendidik dalam pendapat dan pikiran, jika ia mempunyai bukti-bukti yang
benar dan menguatkan pendiriannya. Menurut Prof. Muhammad al-Toumy,
berkaitan dengan ciri-ciri metode pembelajaran Islam tersebut. Metode
pembelajaran dalam Islam memiliki beberapa tujuan, yaitu : 1). Membantu
peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, dan sikapnya; 2). Membiasakan peserta didik untuk memahami,
berpikiran sehat, memperhatikan dengan tepat, mengamati dengan tepat,
sabar, rajin, dan teliti dalam menuntut ilmu, serta mendorong untuk memiliki
pendapat yang benar serta dapat melontarkannya secara berani dan bebas;
dan 3). Menciptakan suasana yang kondusif bagi proses pembelajaran.30
Dari pemaparan ciri dan tujuan metode pengajaran Islam di atas, maka
kita dapat menarik benang merah antara proses pembelajaran dalam
paradigma pendidikan kritis dan paradigma pendidikan Islam. Sebagaimana
dalam pendidikan kritis, dalam pendidikan Islam pada proses pembelajaran
peserta didik dan pendidik sama-sama berposisi sebagai subjek yang bersama-
sama menjadi pelaku aktif, sedangkan objek dari pembelajaran adalah ilmu
pengetahuan yang akan dikaji bersama. Penerapan pendidikan kritis, dapat
kita jadikan inspirasi dan acuan dalam mengembangkan pendidikan Islam.
Realitas umat Islam hari ini yang berada dalam masa-masa kemundurannya,

30
Al-Saybany, Falsafah Pendidikan Islam, 583-585.
28 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

disebabkan adanya kesalahan sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu,


rekonsturksi paradigma pendidikan dalam islam, khususnya pada wilayah
metode penerapan adalah suatu kemestian dalam memajukan pendidikan dan
peradaban Islam.
Sementara itu, menurut Muhammad Iqbal, dunia pendidikan Islam telah
lama terpasung dalam spiritualisme, serta steril dari dinamika persoalan dunia,
dan hal ini telah lama membuat dunia Islam terpuruk dalam kemunduran.
Menurutnya pendidikan semacam ini hanya dapat memenjarakann otak dan
jiwa peserta didik, dimana nantinya pendidikan semacam ini tidak akan
mampu mencetak manusia yang intelek yang dapat menyelesaikan berbagai
persoalan keduniaan. Semua kritik tajam ini dilakukan karena ia berpandangan
bahwa pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari peradaban
manusia, bahkan pendidikan merupakan subtansi dari peradaban manusia.
Untuk membangun peradaban baru yang jauh lebih baik, menurut Iqbal, duia
Islam dan Barat perlu dipertautkan dengan memadukan dualisme (antara
keduniaan dan keakhiratan/penalaran secara seimbang. Dengan memadukan
dua aspek ini akan melahirkan penalaran yang mengandung muatan
spiritualitas atau penalaran yang tercerahkan. Berlandaskan pada perpaduan
antara “penalaran” (intelektual) dan “cinta” (spiritualitas) merupakan hal
yang penting dalam dunia pendidikan, sebagai awal dari pembentukan dunia
baru dalam Islam.31
Dalam hal ini, penerapan metode pembelajaran dalam Islam yang selama
ini dilakukan dalam pendidikan Islam, dapat diberikan muatan-muatan yang
terkandung dengan metode pembelajaran dalam paradigma pendidikan kritis.
Menurut al-Toumy ada lima metode umum yang terdapat dalam proses
pembelajarn islam, yaitu: 1. Metode pengambilan kesimpulan (deduktif); 2.

31
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 287-288.
29 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Ainul Yaqin

Metode perbandingan (analogi); 3. Metode kuliah; 4. Metode diskusi; dan 5.


Metode kelompok kecil (halaqah).32
Kelima metode pembelajaran tersebut, dapat kita padukan dengan pola
pendidikan kritis, yang oleh Paulo Freire disebut dengan metode pembelajaran
fungsional, yang terdiri dari tiga tahapan utama: Pertama, tahap kodifikasi dan
dekodifikasi, yaitu tahap pendidikan elementer dalam “konteks teoritis” dan
“konteks kongkrit”. Tahapan ini sangat mirip dengan tahapan pengambilan
kesimpulan, perbandingan, dan kuliah dalam metode pembelajaran yang
digagas oleh al-Toumy. Metode kodifikasi dan dekodifikasi adalah tahapan
dalam proses pembelajaran yang mengarahkan kemampuan peserta didik
agar mampu melakukan pengambilan kesimpulan secara teoritis, serta dapat
mewujudkannya dengan melakukan perbandingan antara kesimpulan dari
teori-teroi yang didapatkan, untuk selanjutnya diperpegangi sebagai acuan
dalam kerangka ilmu pengetahuan. Tahapan ini diharapkan melatih
kemandirian para peserta didik muslim untuk mandiri dalam mengembangkan
pengetahuan yang diadapat dari gurunya. Sehingga dalam masyarakat muslim,
tidak ada lagi kejumudan dan kefanatikan buta yang selama ini berkembang
dan mengakibatkan kemunduran umat Islam. Kedua, tahap diskusi kultural
yang merupakan tahapan lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja
kecil yang sifatnya problematis. Metode diskusi dan kelompok kecil yang
digagas oleh al- Toumy dapat diberikan muatan kritis yang terkandung dalam
tahapan diskusi kultural Paulo Freire tersebut. Sehingga dari tahapan ini dapat
dihasilkan kemampuan problem solving dari peserta didik muslim. Sehingga
dalam konteks masyarakat muslim yang hari ini diliputi berbagai masalah,
dapat segera terselesaikan dengan lahirnya generasi muda muslim yang telah
dididik untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi oleh
umat Islam hari ini. Ketiga, tahap aksi kultural yang merupakan tahapan praksis
yang sesungguhnya, di mana setiap tindakan peserta didik baik secara individu

32
Al-Saybany, Falsafah Pendiidkan, 561-582.
30 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
Relevansi Pendidikan

maupun kelompoknya dapat menjadi bagian langsung dari realitas. tahapan


inilah yang tidak dijelaskan oleh al-Toumy, dan tahapan ini dapat dimasukkan
dalam metode pembelajaran Islam, agar peserta didik atau generasi muda
Islam dapat melakukan upaya-upaya praksis dalam memperbaiki kondisi umat
Islam yang terjadi hari ini. Kekurangan dari pendidikan islam yang terjadi hari
ini adalah kegagalan Islam pendidikan Islam dalam melahirkan “praktisi-
praktisi” muslim yang siap melakukan peubahan konstruktif di
masyarakatnya.33

Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan kritis
Paulo Freire dapat direlevansikan dengan konsep pendidikan Islam,
sebagaimana sajian tabel berikut:
Konsep Pendidikan Islam Konsep Pendidikan Paulo Freire
1. Paradigma pendidikan Islam 1. Paradigma pendidikan kritis yang
mengkritik terhadap kegagalan digagas oleh Freire menampilkan
paradigma pendidikan yang telah kritik yang sangat mendasar
ada, serta memiliki orientasi yang terhadap paradigma pendidikan
secara umum sama, yaitu konservatif dan liberal yang telah
pencapaian humanisasi baik secara dianggap gagal menjalankan visi
individu maupun sosial. dan misi pendidikan sebagai
proses humanisasi.
2. Peserta didik ditempatkan sebagai 2. Peserta didik ditempatkan sebagai
objek sekaligus subjek (pelaku) subjek (pelaku) dalam proses
dalam proses pendidikan. Peserta pendidikan.
didik ditempatkan sebagai subjek
(pelaku) dalam proses pendidikan.

33
Paulo Freire, Politik Pendidikan kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), xix.
31 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015
3. Omar Muhammad al-Toumy al-
Syaibany. Beliau mengatakan, 3. Dalam pengembangan kurikulum,
pendidikan Islam harus berkaitan Freire menyatakan bahwa
erat dengan realitas masayarakat, pendidikan mestilah
kebudayaan, dan sistem sosial, mengantarkan manusia untuk
ekonomi, dan politik. Pendidikan memahami seluruh aspek
harus juga berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat
aspirasi, harapan, kebutuhan, dan memiliki keterkaitan yang erat
masalah-masalah manusia di antara satu bidang dengan bidang
dalamnya. yang lain dan bersifat horisontal.
4. Islam selalu mengajak manusia 4. Pendidikan kritis yang menolak
untuk berfikir dan bernalar, hegemoni ideologi dominan
pernyataan di atas menunjukkan sebagai sumber otoritas
arti penting ”akal kritis” yang pengetahuan, norma, dan nilai
dimanifestasikan melalui yang mesti diyakini mutlak
pemberdayaan potensi fitrah kebenarannya oleh masyarakat.
manusia. Paradigma kritis ini
membawa kepada pemahaman
bahwa kebenaran hakiki akan
ditemukan melalui proses berfikir
(tafakkur), bukan hanya fanatik 5. Karakterstik paradigma
atau taklid semata. pendidikan kritis yang berorientasi
5. Pendidikan Islam identik dengan mewujudkan segenap potensi-
proses pengembangan yang potensi dasar yang dimiliki oleh
bertujuan membangkitkan manusia secara maksimal demi
sekaligus mengaktifkan potensi- tercapainya cita-cita yang ideal.
potensi yang dimiliki manusia. 6. Konsep pendidikan kritis Freire
menggunakan metode andragogi
6. Menekankan kebebasan peserta dialogis.

32 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015


didik berdiskusi, berdebat,
berdialog dalam batas-batas
kesopanan dan saling hormat
menghormati.

Pendidikan sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan yang utuh


dengan bagian-bagiannya yang berinteraksi satu sama lain. Jadi pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan aktivitas manusia yang terbentuk
dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan fungsional dalam usaha
mencapai tujuan akhir pendidikan.

Referensi
Arif, Arifudin. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kultura, 2008.
Asy-syaibany, Omar Muhammad At-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. terj.
Hasan Langgulung Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Inspeal Press, 2003.
Depag RI. Al- Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Intermasa, 1986.
Dhakiri, Muh. Hanif. Paulo Freire Islam dan Pembebasan. Salatiga: Djambatan
dan Pena, 2000.
Fakih, Mansour. Pendidikan Popular :Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:
Insist, 2010.
Freire, Paulo. Pendidikan Masyarakat kota. Yogyakarta: Lkis, 2003.
_________. Politik Pendidikan kebudayaan kekuasaaan dan Pembebasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
_________. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2008.
_________. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam: untuk Fakultas
Tarbiyah komponen MKK. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Marzuki, Metodologi Riset. Yogyakarta: Ekonisia, 2005.

33 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015


Ainul Yaqin

Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan


Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Naim, Ngainun. Rekontruksi Pendidikan Nasional Membangun Paradigma yang
Mencerahkan. Yogyakarta: Teras, 2010.
Rembangi, Musthofa. Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan
Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras, 2008.
Setyowati , Immawati Dwi. Pendidikan Humanistik. STAIN Purwokerto.
(diakses 01-03-2014).
Sudarwan, Danim. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung:
ALFABETA, 2009.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan di Indonesia: Belajar dari Paolo Freire dan Ki
Hajar Dewantara. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009.

34 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Anda mungkin juga menyukai